BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
V.1
Sisa Minyak di Pulau Pramuka Pengukuran sisa minyak di Pulau Pramuka dilakukan terhadap sampel pasir dan batuan. Total Petroleum Hydrocarbon yang terukur (Tabel V.1) digunakan untuk menganalisis kondisi lingkungan pasca terjadinya tumpahan minyak.
Tabel V.1 Hasil Pengukuran Sampel Nomor sampel
Beral labu ekstraksi
Berat awal Berat akhir (gram) (gram) 09B 88,9745 88,9890 010 108,2652 108,2668 011 108,1413 108,2632 011A 96,2754 96,5095 011B 99,6966 99,9687 012 88,9691 88,9964 015 96,2260 96,2738 015A 108,2045 108,4975 017 88,9238 88,9689 019 96,2807 96,2774 029 92,4343 92,4376 030 108,1924 108,2039 045 108,2501 108,2666 053 92,3759 92,4336 Sumber : Pengukuran laboratorium
Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) (mg/gram)
%
0,58 0,064 4,876 9,364 10,884 1,092 1,912 11,72 1,804 0 0,132 0,46 0,66 2,308
0,058 0,0064 0,4876 0,9364 1,0884 0,1092 0,1912 1,172 0,1804 0 0,0132 0,046 0,066 0,2308
Contoh pengukuran TPH (sampel 09B): -
⁄
88,9890 % 88,9745 · 1000 25 0,58 /
V-1
-
TPH (%) = (0,58 mg)/(1 gram x 1.10-3 kg/gram) = 580 mg/kg = (580 mg/kg)/(10000 (mg/kg)/%) = 0,058%
Gambar V.1 memperlihatkan peta sebaran sisa minyak di Pulau Pramuka. Konsentrasi sisa minyak tertinggi,, yakni 11.72 mg/gram terdapat di wilayah utara Pulau Pramuka, Pramuka yakni berada dii wilayah terumbu karang, pantai berpasir, dan letaknya letaknya jauh dari lokasi pemukiman. Lokasi pemukiman padat berada di wilayah tengah Pulau Pramuka. Menuju ke arah selatan, kepadatan semakin menurun. Pada area pemukiman, konsentrasi sisa minyak sudah rendah yakni 0.46 – 0.66 mg/gram.
Gambar V.1 V. Sebaran Sisa Minyak di Pulau Pramuka (mg/gram)
Untuk mengetahui apakah nilai konsentrasi yang diperoleh telah melampaui batas pencemaran, maka diperlukan adanya sebuah standar kualitas Total Petroleum Hydrocarbon di dalam sedimen atau tanah. Indonesia belum memiliki memiliki baku mutu yang mengatur hal ini secara spesifik. Peraturan yang cukup memiliki kaitan antara lain Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no 128 tahun 2003 mengenai Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Terkontamin oleh Minyak Bumi secara Biologis.
V-2
Terdapat beberapa peraturan luar negeri yang dapat dijadikan acuan perbandingan hasil pengukuran, diantaranya adalah American Petroleum Association(APA) dan Canadawide Standards for Petroleum Hydrocarbon in Soil. Baik KepMenLH maupun APA menetapkan baku mutu yang sama untuk TPH di dalam tanah yakni 10.000 mg/kg (1%). Sebuah studi menunjukkan bahwa angka ini merupakan batas protektif bagi kesehatan manusia (EPA, 2003). Nilai 1% juga digunakan di negara bagian Alberta, Canada. Sementara Canada-wide Standards menetapkan batas bawah konsentrasi TPH dalam tanah sebesar 0.56%. Nilai ini merupakan nilai batas untuk fraksi hidrokarbon nC35+ untuk wilayah pemukiman dan taman.
Berdasarkan hasil pengukuran sampel, setelah 2 (dua) tahun terjadi tumpahan masih teridentifikasi adanya minyak di wilayah pesisir Pulau Seribu. Sebagian besar konsentrasi sisa minyak berada di bawah referensi baku mutu, yakni 1% dan 0.56%. Hal ini menunjukkan bahwa minyak mengalami penguraian selama proses perjalanan dari titik tumpahan hingga terperangkap di dalam sedimen. Proses ini tentu didukung oleh faktorfaktor lingkungan, baik untuk proses penguraian secara fisik, kimia, dan biologi. Selain itu sebagian besar konsentrasi sisa minyak telah berada di bawah batas konsentrasi yang dapat membahayakan kesehatan manusia.
Kandungan hidrokarbon di wilayah pesisir dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan penduduk Pulau Pramuka. Dampak yang ditimbulkan dapat berupa dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek terjadi jika upaya pembersihan tidak dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi tumpahan. Ekosistem di sekitar wilayah perairan akan mati seketika akibat kurangnya suplai oksigen, sinar matahari, serta tingkat toksisitas dari petroleum itu sendiri. Pulau Pramuka merupakan kawasan penangkaran penyu sisik, budidaya ikan dan rumput laut, serta dikenal akan kawasan terumbu karang yang menjadi pusat objek wisata. Efek lethal dari tumpahan minyak dapat mengancam kehidupan makhluk-makhluk hidup tersebut. Selain itu, jika dibiarkan begitu saja, minyak akan terdampar ke pesisir pantai, terperangkap di dalam pasir hingga bertahun-tahun. Dampak jangka panjang yang ditimbulkan bergantung pada seberapa besar konsentrasi minyak yang terperangkap di dalam sedimen.
Negara bagian New Mexico di Amerika Serikat memiliki sebuah sistem pemberian nilai (Tabel V.2) untuk membuat sebuah evaluasi mengenai potensi resiko keberadaan minyak
V-3
terhadap kesehatan masyarakat, air, dan lingkungan. Berdasarkan sistem penilaian tersebut, sebagian besar sisa minyak mendapatkan nilai >19 dan 10-19.
Tabel V.2 Evaluasi Level Kegiatan Pembersihan Minyak di New Mexico (mg/gram) Nilai
>19
10-19
0-9
Benzene
0,010
0,010
0,010
BTEX
0,050
0,050
0,050
TPH
0,100
1,000
5,000
Sumber: EPA, 2003
Sisa minyak dengan nilai 0-9, yakni dengan konsentrasi di atas 5 mg/gram berada pada wilayah Pulau Pramuka utara dengan lokasi berada pada kawasan terumbu karang. Minyak yang tumpah pada kawasan ini dapat menutupi permukaan terumbu karang sehingga menghalangi kontak dengan sinar matahari dan oksigen yang menunjang kehidupan ekosistem. Apalagi terumbu karang menjadi penopang hidup bagi organisme lain, seperti ikan. Kehidupan organisme-organisme ini yang kemudian menunjang kehidupan penduduk pulau yang mengandalkan hidup dari sektor pariwisata dan perikanan. Oleh karenanya, upaya pembersihan di daerah terumbu karang perlu untuk dilakukan.
Selain terumbu karang, hutan bakau juga merupakan tutupan lahan yang terdapat di utara Pulau Pramuka. Kawasan hutan bakau berfungsi untuk menahan gelombang yang dapat menyebabkan abrasi pantai. Kawasan ini memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap tumpahan minyak, karena laju pertumbuhan hutan bakau yang sangat lambat. Selain itu, minyak yang telah masuk wilayah hutan bakau akan sulit untuk dibersihkan secara alami oleh gelombang laut yang tertahan. Minyak juga akan terperangkap dalam pasir dan sulit untuk diuraikan baik secara kimia maupun biologi. Sisa minyak di kawasan ini berkisar antara 0.00 – 11.72 mg/gram. Dengan konsentrasi yang cukup tinggi, hutan mangrove akan sulit untuk melakukan pemulihan secara alami. Oleh karena itu upaya pembersihan minyak perlu dilakukan. Rusaknya ekosistem hutan bakau akan mengakibatkan abrasi pantai karena berkurangnya kemampuan pantai untuk menahan gelombang.
Konsentrasi sisa minyak pada zona pemukiman di tengah menuju selatan Pulau Pramuka berkisar antara 0.132 – 0.46 mg/gram. Jika mengacu pada baku mutu, maka konsentrasi tersebut masih berada di bawah 1% sehingga tidak perlu diadakan suatu upaya
V-4
pembersihan minyak, seperti bioremediasi. Namun jika minyak bergerak cukup dalam ke bawah sedimen, minyak memiliki potensi untuk mencemari sumber air bagi penduduk pulau yang menggunakan sumur sebagai sumber air bersih. Selain itu pada wilayah timur pulau ini terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Diesel yang memiliki potensi untuk mencemari air. Karena karakteristik minyaknya yang mudah menguap maka tumpahan minyak dari PLTD mudah untuk menghilang dari wilayah pesisir. Namun, jika tumpahan terjadi dalam frekuensi yang tinggi, minyak dapat bergerak ke dalam sedimen dan menjadi sulit untuk dibersihkan. Untuk itu, pemantauan perlu dilakukan terhadap tingkat tumpahan minyak pada instalasi ini beserta pengaruhnya terhadap kualitas air tanah.
Pada zona barat daya Pramuka di mana kawasan permukiman cukup jauh dari pantai, sisa minyak berkisar antara 0.66 – 2.308. Walaupun berada jauh dari kawasan penduduk, minyak dapat mencemari pasir dan air, serta mencemari sumber air bersih yang digunakan penduduk dalam aktivitas sehari-hari. Upaya pembersihan perlu dilakukan jika ditemukan bahwa minyak yang tertinggal di daerah ini menyebabkan kontaminasi pada sumber air sumur penduduk.
V.2
Parameter yang Mempengaruhi Proses Minyak Tingkat konsentrasi sisa minyak di sekitar wilayah studi bervariasi dipengaruhi oleh proses penguraian yang terjadi pada minyak di setiap zona. Jenis dan laju proses penguraian ini dipengaruhi oleh jenis minyak yang tumpah serta faktor-faktor lingkungan tempat terjadinya tumpahan minyak. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi perairan yang mengelilingi daratan, tipe sedimen, tutupan lahan, temperatur, nutrien, salinitas, dan faktor-faktor lainnya. Model Environmental Sensitivity Index (ESI) pada bab sebelumnya menguraikan parameter-parameter klasifikasi garis pantai yang mempengaruhi kerentanan lingkungan antara lain energi gelombang dan pasut, kemiringan pantai, tipe sedimen, dan produktivitas biologi (Ali, 2003). Temperatur akan mempengaruhi penyebaran minyak, tingkat evaporasi, dan laju biodegradasi. Laju biodegradasi juga dipengaruhi oleh kandungan nutrien dan salinitas.
V.2.1 Gelombang dan Arus Pasang Surut Energi gelombang adalah fungsi dari rata-rata tinggi gelombang selama satu tahun sedangkan energi dari arus pasut dibangkitkan oleh elevasi pasut. Energi dari kedua parameter ini dapat menimbulkan arus menyusur pantai yang berpotensi memindahkan minyak dan membawa pasir atau kerikil ke arah lepas pantai serta
V-5
mengubur minyak. Semakin tinggi energi gelombang maka potensi untuk membersihkan minyak secara alami akan lebih mudah. Proses pembersihan minyak secara alami biasanya terjadi dalam waktu yang cepat dan hanya hitungan hari.
Minyak akan lebih mudah dibersihkan pada musim dengan energi gelombang dan arus pasang surut yang lebih besar. Energi gelombang dan kecepatan arus memiliki pola musiman, yakni di musim barat lebih besar dibandingkan pada musim timur (Ali, 2003). Arus menyusur pantai akan membawa tumpahan minyak ke arah pesisir pantai. Karena pada musim barat energi gelombang dan kecepatan arus lebih besar, maka minyak akan lebih cepat terbawa ke arah pantai. Namun, minyak dapat segera dibersihkan oleh datangnya gelombang yang kemudian membawa sebagian minyak menjauhi pantai. Proses tersebut menyebabkan konsentrasi minyak yang terperangkap di pantai menjadi lebih rendah.
Sementara pada musim timur energi gelombang akan lebih rendah sehingga minyak yang telah berada di daerah pantai akan lebih lama tertahan karena kecepatan arus pasut dan arus menyusur pantai yang lebih kecil tidak dapat mendorong minyak untuk menjauhi garis pantai. Kondisi ini menyebabkan minyak cenderung untuk diam di dalam pasir dan sulit untuk dibersihkan.
Selain membawa tumpahan minyak, gelombang laut juga akan membawa partikel massa air, diantaranya adalah nutrien yang dibutuhkan dalam proses biodegradasi. Energi gelombang yang lebih besar, yakni pada musim barat, akan membawa nutrien dalam jumlah yang lebih besar pula.
Tingkat energi gelombang rendah di daerah pesisir akibat gelombang telah pecah pada jarak yang jauh dari pantai. Kondisi ini mengurangi probabilitas terbentuknya gumpalan
minyak
(oil
globule)
yang
dapat
menurunkan
rasio
luas
permukaan/volume dan menurunkan kontak mikroorganisme dengan minyak serta tingkat biodegradasi minyak. Dengan luas permukaan molekul minyak yang besar, mikroorganisme sulit untuk melakukan degradasi terhadap tumpahan.
V-6
Tabel V.3 Residu Minyak Berdasarkan Klasifikasi Model Spasial
Titik 09B 10 11 011A 011B 12 15 015A 17 19 29 30 45 53 Ratarata
Kemiringan Pantai 0-5 0,0580 0,0064 0,4876 0,9364 1,0884 0,1092 0,1912 1,1720 0,1804 0,0000 0,0132 0,0460 0,0660 0,2308
Dermaga/ Seawall 0,0580 0,0064 1,0884 0,0460 0,0660 0,2308
0,3275
0,2493
Pasir 0,4876 0,9364 0,1092 0,1912 1,1720 0,1804 0,0000 0,0132 -
Produktivitas Biologi Terumbu Karang 0,1912 1,1720 0,1804 0,0000 0,0132 0,0460 0,0660 -
Agak Rentan 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Rentan 0,0580 0,0064 1,0884 0,0460 -
Sangat Rentan 0,4876 0,9364 0,1092 0,1912 1,1720 0,1804 0,0000 0,0132 0,0660 0,2308
0,3863
0,2384
0,0000
0,2997
0,3387
Tipe Sedimen
V-7
Zona Kerentanan Lingkungan
V.2.2 Kemiringan Pantai Kemiringan pantai berhubungan erat dengan tipe pantai dan daerah intertidal, semakin landai maka daerah intertidal akan semakin luas. Daerah intertidal yang luas mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi karena tingkat kesulitan untuk membersihkan minyak semakin sulit dan pengaruh energi gelombang dan arus pasut yang kecil.
Namun, zona intertidal yang luas dengan kemiringan pantai Pulau Pramuka yang landai (berkisar antara 00 – 50) membuat zona gelombang pecah jauh dari pantai sehingga energi gelombang akan mengecil ketika mendekat pantai. Akibatnya, minyak yang menutupi sedimen, terumbu karang, dan kayu tidak dapat dibersihkan dalam m jangka waktu singkat. Wilayah Pulau Pramuka dikelilingi oleh perairan dengan kemiringan <50 sehingga konsentrasi minyak bervariasi dari 0.000 % hingga 1.172% (Tabel Tabel V.3) V.3
Gambar V.2 Daerah Zona Gelombang Pecah (Sumber: Sumber: Ali, 2003) 2003
Gelombang pecah terjauh terjadi pada zona terumbu karang. Gambar V.2 menunjukkan bahwa pada zona terumbu karang dan titik gelombang pecah, kedalaman laut kurang dari 5 meter dan kemiringan pantai landai. Tumpahan minyak yang telah mendekati pantai akan sulit sulit terbawa oleh gelombang karena energi gelombang telah pecah sebelum memasuki kawasan terumbu karang.
V-8
Akibatnya terumbu karang akan rentan tertutupi dan terkontaminasi oleh lapisan minyak yang diam di zona ini.
Berdasarkan konsentrasi sisa minyak yang masih terkandung di daerah zona terumbu karang tersebut, konsentrasi berkisar antara 0 – 1.172%. Konsentrasi 1.172% berada di utara zona terumbu karang. Variasi konsentrasi yang terjadi dapat disebabkan oleh sumber minyak yang lebih dekat ke arah utara sera pola arus pada saat terjadi tumpahan yang bergerak ke arah utara Pulau Pramuka. Sisa minyak ini menunjukkan bahwa jika minyak tumpah di daerah dengan karakteristik kemiringan pantai landai dan gelombang pecah di titik cukup jauh dari pantai, maka minyak akan tinggal di daerah tersebut hingga waktu yang cukup lama.
Wilayah dengan karakteristik seperti di atas akan menerima dampak jangka panjang lebih besar daripada daerah-daerah lainnya. Selain merusak ekosistem terumbu karang, tumpahan minyak dapat merusak usaha keramba jaring apung yang dilakukan penduduk setempat.
V.2.3 Tipe Sedimen Terdapat tiga kelas tipe sedimen dalam klasifikasi kerentanan lingkungan ini yaitu bedrock, material buatan dan pasir. Pembagian kelas tersebut diambil berdasarkan sifat lapisan sedimen yaitu lapisan impermeable (lapisan yang tidak dapat ditembus minyak) dan lapisan permeable (lapisan yang dapat ditembus minyak). Bedrock merupakan tipe sedimen yang termasuk ke dalam sifat lapisan yang impermeable, material buatan merupakan tipe sedimen yang termasuk ke dalam lapisan impermeable dan permeable sedangkan pasir adalah sedimen yang permeable. Semakin permeable suatu sedimen maka tingkat kerentanan akan semakin tinggi atau semakin kecil ukuran sedimen maka tingkat kerentanan semakin besar.
Pasir sangat rentan terhadap tumpahan minyak, karena bersifat impermeable, dapat melarutkan minyak ke dalam butiran pasir. Pasir termasuk kategori yang sangat rentan, karena minyak dapat menyerap dan terkubur oleh pasir setelah teraduk oleh arus menyusur pantai. Sedangkan seawall dan dermaga relatif rentan terhadap minyak karena minyak dapat diangkat untuk dibersihkan atau terbawa arus menyusur pantai untuk menjauhi pantai, terutama ketika kondisi pasang.
V-9
Gambar V.3 menunjukkan bahwa sisa minyak minyak di daerah pasir lebih tinggi daripada saerah dermaga/seawall. dermaga/ Pasir di pantai wilayah Pulau Pramuka mengandung minyak 1.5x lebih besar daripada kandungan minyak yang terkandung di wilayah dermaga/seawall. dermaga/ . Dengan mempertimbangkan mempertimb adanya aktivitas kapal penyeberangan yang melabuh di daerah dermaga setiap hari, maka daerah ini pada dasarnya menerima tumpahan minyak dengan frekuensi lebih tinggi, yakni bersumber dari bocoran tanki bahan bakar kapal. Namun, dengan adanya aktivitas as tersebut, konsentrasi minyak di wilayah pasir masih lebih tinggi dibandingkan dengan daerah dermaga. Selain disebabkan oleh tipe sedimen di wilayah dermaga yang inpermeable,, tumpahan minyak yang berasal dari bahan bakar kapal merupakan jenis yang hampir seluruh bagian hidrokarbon memiliki karakteristik mudah terevaporasi.
Berbeda adanya dengan kasus tumpahan minyak yang bersumber dari jenis minyak mentah. Hanya sepertiga bagian dari minyak mentah yang dapat mengalami evaporasi (Oil In The Sea III, 2003). 2003). Sebagian lainnya selain akan terurai secara kimia dan biologi juga akan bergerak sesuai arus dan gelombang laut. Sisa dari minyak yang tidak menguap ini jika masuk ke area pantai berpasir akan terperangkap di dalam pasir. Tanpa adanya upaya pembersihan yang baik, minyak akan terus terkandung di dalam pasir.
Rerata Sisa Minyak
0,5000 0,3863
0,4000 0,3000
0,2493
0,2000 0,1000 0,0000 Dermaga/Seawall
Pasir
Tipe Sedimen
Gambar V.3 Rerata Sisa Minyak menurut Tipe Sedimen Dari hasil pengambilan sampel terlihat bahwa minyak tidak hanya terperangkap di sedimen seperti pasir, namun juga terperangkap di kayu yang berasal dari dermaga
V - 10
dan terumbu karang. Nilai konsentrasi maksimum pengukuran minyak diperoleh dari sampel terumbu karang dan kayu. Dari penampakan warna sampel telah menghitam dan mengeluarkan bau minyak.
Pada saat terjadi tumpahan, secara visual lapisan minyak akan terlihat di permukaan pantai. Selain mengancam kehidupan biota, dari sisi estetika kondisi ini akan mengurungkan niat wisatawan untuk mengunjungi pulau. Sehingga tidak hanya sekedar dampak lingkungan yang akan dialami oleh penduduk sekitar, namun juga dampak ekonomi akibat berkurangnya pemasukan dari bidang pariwisata.
V.2.4 Produktivitas Biologi Produktivitas biologi merupakan jenis tutupan lahan yang terdapat pada wilayah studi. Tutupan lahan seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, rawa, dan air payau merupakan wilayah-wilayah yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap tumpahan minyak.
Pulau Pramuka didominasi oleh tutupan lahan terumbu karang. Tutupan lahan lain yang terdapat di Pulau Pramuka yaitu hutan bakau. Tumpahan minyak akan membuat kondisi terumbu karang menjadi semakin parah, selain disebabkan oleh penangkapan ikan dengan menggunakan sianida oleh penduduk sekitar dan terjadinya bleaching sebagai salah satu bentuk dampak dari naiknya temperatur rata-rata laut.
Pada saat terjadi tumpahan, lapisan minyak akan berada di permukaan laut dan sebagian akan mengalami evaporasi. Hanya fraksi dari hidrokarbon dengan yang akan mengalami pergerakan secara vertikal. Jurnal Oil In The Sea III (2003) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa mekanisme minyak dapat turun ke dalam laut, antara lain karena massa minyak lebih besar daripada air, serta minyak terserap ke dalam sedimen tersuspensi dan sedimen kemudian mengendap di dasar laut. Salah satu penyebab minyak dapat terserap ke dalam sedimen tersuspensi adalah ekskresi dari zooplankton yang memakan butiran-butiran kecil minyak yang terdispersi di kolom air.
V - 11
Sisa minyak yang teridentifikasi di wilayah terumbu karang merupakan bagian minyak yang masuk ke dasar laut pada saat terjadi tumpahan. Pada wilayah dengan konsentrasi sisa minyak cukup tinggi, minyak diperkirakan diam di permukaan laut dalam waktu yang cukup lama akibat rendahnya gelombang dan arus pasang surut serta kemiringan pantai yang landai. Selain aktivitas zooplankton, waktu tinggal minyak yang lama menyebabkan bagian minyak dengan massa lebih besar dari air bergerak secara vertikal dan turun ke permukaan terumbu karang.
V.2.5 Temperatur Permukaan Laut (TPL) Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi biodegradasi hidrokarbon, temperatur merupakan salah satu faktor paling penting karena proses degradasi adalah suatu proses yang mengikuti hukum Arrhenius. Metabolisme mikrobial meningkat seiring dengan naiknya temperatur, dan umumnya meningkat dua kali lipat setiap kenaikan 100C pada rentang temperatur 10 hingga 400C (Coulon et al., 2004). Selain proses biodegradasi, TPL juga memberikan pengaruh terhadap proses lain dari penguraian minyak, yakni penyebaran minyak dan evaporasi.
Berdasarkan hasil pengklasifikasian citra, nilai sebaran temperatur pada musim timur berkisar antara 28.88-30.340C sementara pada musim barat berkisar antara 28.73-30.700C (Tabel V.4). Tabel V.4 Nilai Temperatur Permukaan Laut Rata-rata (0C) Tahun
Musim Timur
Musim Barat
2004
28.02 – 30.24
2005
Rata-rata M.Timur
M.Barat
28.59 – 30.60
29.17
29.21
29.43 – 31.23
28.93 – 31.09
29.77
29.83
2006
28.46 – 30.21
28.18 – 30.62
28.79
29.59
Rata-rata
28.88 – 30.34
28.73 – 30.70
29.24
29.56
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara temperatur di musim timur dan musim barat (Gambar V.4). Selain itu, sebaran temperatur di wilayah studi cenderung merata. Temperatur permukaan laut pada wilayah sekitar Pulau Pramuka pada musim barat memiliki rentang sempit antara 29.35 – 29.400C sementara pada musim timur antara 29.35 – 29.460C. Temperatur yang terukur sesuai dengan hasil pengukuran lapangan yang dilakukan LAPAN pada tahun
V - 12
2005, yakni 29-30.50C (Tabel IV.1). Berdasarkan pengukuran lapangan LAPAN terlihat bahwa memang temperatur di wilayah studi berada pada rentang yang sempit. Namun, tidak terlihatnya variasi yang signifikan antar titik di wilayah studi dapat disebabkan pula oleh resolusi citra yang kecil (4 km). Resolusi ini ternyata tidak dapat diterapkan secara maksimal pada wilayah kepulauan kecil, sehingga perlu dilakukan pengolahan dengan menggunakan citra berresolusi lebih tinggi.
Metabolisme mikrobial biasanya akan meningkat dua kali lipat setiap peningkatan temperatur 100C pada variasi temperatur 100C-400C (Bossert dan Bartha, 1984 dalam Coulon et. al, 2004). Berdasarkan hal tersebut maka tingkat sensitivitas lingkungan terhadap tumpahan minyak rendah karena adanya faktor pendukung temperatur yang cukup tinggi. Selain itu, nilai temperatur konstan baik di musim barat maupun musim timur (Gambar V.5), sehingga tidak terdapat perbedaan tingkat sensitivitas yang signifikan terhadap tumpahan minyak antar musim. Keadaan konstan ini disebabkan oleh lokasi wilayah studi di daerah tropis yang mengalami penyinaran matahari secara konstan.
(a)
V - 13
(b) Gambar V.4 (a) Peta Sebaran TPL Musim Timur (0C) dan (b) Peta Sebaran TPL Musim Barat (0C)
Temperatur (0C)
Musim Timur
Musim Barat
30 29,8 29,6 29,4 29,2 29 28,8 28,6 28,4 28,2
2004
2005
2006
Tahun
Gambar V.5 Variasi Temperatur antara Musim Timur dan Musim Barat
Temperatur permukaan laut selain menjadi faktor pendukung berlangsungnya biodegradasi minyak juga menjadi faktor pendukung proses penguraian minyak secara fisik. Pada suhu 150C dan waktu lebih dari 40 jam setelah terjadi tumpahan, V - 14
minyak jenis bensin akan terevaporasi >90%, minyak mentah 40%, dan solar >30% dari jumlah awalnya (Oil In The Sea III, 2003). Dengan TPL berada jauh di atas 150C, maka akan lebih banyak bagian dari tumpahan yang akan mengalami evaporasi. Sisa minyak yang tidak menguap akan bergerak, baik secara horizontal maupun vertikal ke dalam kolom air. Temperatur akan menurunkan densitas air, sehingga bagian minyak dengan densitas lebih besar akan masuk ke dalam air dan dapat diam di dasar laut. Di dasar laut, terutama laut dalam, minyak akan sulit terdegradasi baik secara kimia (fotokimia) dan biologi karena kurangnya kontak dengan cahaya matahari.
Karena temperatur cenderung merata di seluruh bagian wilayah studi, maka dapat disimpulkan bahwa tidak temperatur tidak memberikan pengaruh yang berbeda pada proses penyebaran dan penguraian minyak di setiap titik di wilayah studi. Sebagai faktor lingkungan, temperatur juga tidak memberikan pengaruh yang berbeda dalam proses yang terjadi pada minyak baik di musim timur maupun musim barat. Proses penyebaran minyak lebih dipengaruhi oleh energi gelombang, arus pasang surut, dan kemiringan pantai.
V.2.6 Klorofil-a Klorofil merupakan pigmen hijau yang ditemukan di sebagian besar tanaman, alga, dan cyanobacteria. Klorofil merupakan faktor penting dalam fotosintesis, karena memyebabkan tumbuhan dapat menerima energi dari cahaya. Klorofil-a merupakan salah satu jenis kelompok klorofil dengan rumus molekul C55H72O5N4ZMg dan penyebarannya universal. Klorofil-a memiliki korelasi positif terhadap keberadaan nitrogen (ammonia dan nitrit) serta fosfor (Abdel-Halim, 2007), sehingga konsentrasi klorofil-a di permukaan laut dapat dijadikan acuan untuk menggambarkan penyebaran nutrien di wilayah studi. Produksi fitoplankton di ekosistem akuatik sangat bergantung terhadap masukan nitrat-N dan fosfat-P ke dalam perairan (Ketchum et al., 1958 dalam Smith, 2007). Oleh karena itu tingkat nutrien di dalam ekosistem akuatik (N dan P) memiliki korelasi positif terhadap nilai produktivitas primer (klorofil-a). Hubungan ini telah lama digunakan untuk menganalisa kemungkinan terjadinya eutrofikasi dalam lingkungan pesisir dan estuari.
V - 15
Berdasarkan hasil klasifikasi citra, nilai klorofil-a pada musim timur berkisar antara 0.421 – 23.964 mg/m3 sementara pada musim barat berkisar antara 0.605 – 25.499 mg/m3 (Tabel V.5). Tabel V.5 Nilai Klorofil-a Rata-rata (mg/m3) Rata-rata
Tahun
Musim Timur
Musim Barat
2004
0.333 – 29.105
0.586 – 30.02
0.839
1.810
2005
0.379 – 24.683
0.309 – 14.899
0.944
1.259
2006
0.481 – 23.531
0.491 – 12.638
1.000
1.735
Rata-rata
0.421 – 23.964
0.605 – 25.499
0.928
1.601
M.Timur M.Barat
Nilai konsentrasi klorofil-a rata-rata pada wilayah Pulau Pramuka timur lebih rendah dibandingkan dengan wilayah Pulau Pramuka barat, yakni dengan rentang pada musim barat antara 1.20 hingga 22.72 mg/m3 dan pada musim timur antara 0.49 – 21.91 mg/m3. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pola sebaran klorofil-a baik di musim timur maupun musim barat (Gambar V.6). Berdasarkan hasil pengukuran LAPAN pada tahun 2005, diketahui bahwa nilai klorofil-a pada tahun 2005 adalah 0.203 – 1.120 mg/m3 (Tabel IV.1)
V - 16
(a)
(b) Gambar V.6 (a) Peta Sebaran Klorofil-a Musim Timur (mg/m3) dan (b) Peta Sebaran Klorofil-a Musim Barat (mg/m3)
Terumbu karang hidup di wilayah dengan karakteristik air laut yang jernih, hangat, dan cukup salinitas. Perairan dengan karakteristik seperti cenderung miskin akan kandungan nutrien (CoRIS, 2007). Terumbu karang hidup di zona Pulau Pramuka timur. Gambar V.6 menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a Pulau Pramuka sebelah timur jauh lebih rendah dibandingkan klorofil-a Pulau Pramuka sebelah barat. Akibatnya, pada zona terumbu karang nutrien menjadi faktor pembatas penguraian minyak secara biologi. Selain itu, konsentrasi klorofil-a yang rendah akan menyebabkan rendahnya sebaran mikroorganisme pengurai minyak. Mikrorganisme sendiri, seperti cyanobacteria dan fungi, merupakan sumber penyakit yang dapat merusak terumbu karang (CoRIS, 2007). Oleh karena itu keberadaanya di lingkungan terumbu karang merupakan indikasi menurunnya kondisi ekosistem terumbu karang.
Konsentrasi klorofil-a di wilayah Pulau Pramuka sebelah barat yang lebih tinggi daripada wilayah sebelah timur juga dapat disebabkan oleh aktivitas penduduk. Seperti terlihat pada Gambar V.6(b) bahwa pemukiman penduduk lebih padat di V - 17
sebelah barat pulau. Selain itu, aktivitas dermaga dan keramba jaring apung juga terdapat di sebelah barat pulau ini. Keseluruhan aktivitas tersebut dapat menambah masukan nutrien ke dalam perairan laut. Kandungan nutrien tersebut dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis dan menambah jumlah klorofil-a di dalam perairan. Pada batas-batas tertentu, kondisi ini menyebabkan lingkungan menjadi tempat yang baik bagi kehidupan mikroorganisme. Sehingga pada saat terjadi tumpahan, terdapat nutrien yang dapat mendukung mikroorganisme untuk melakukan penguraian terhadap minyak.
Tidak terdapat studi yang menjelaskan hubungan langsung antara laju biodegradasi dan konsentrasi klorofil-a. Klorofil-a sendiri berhubungan langsung dengan tingkat fotosintesis sehingga mempengaruhi keberadaan nutrien di perairan laut. Konsentrasi klorofil di atas 0.2 mg/m3 mengindikasikan kehadiran kehidupan plankton yang cukup untuk mendukung perikanan komersil (Gower, 1972 dalam Butler, 1988). Konsentrasi klorofil yang terukur citra satelit dan baik pada musik timur maupun musim barat serta hasil pengukuran lapangan LAPAN berada di atas 0.2 mg/m3. Keberadaan plankton ini menunjukkan sebaran nutrien yang dapat mendukung terjadinya proses biodegradasi terhadap tumpahan minyak.
Klorofil-a (mg/m3)
Musim Timur
Musim Barat
1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
2004
2005
2006
Tahun
Gambar V.7 Variasi Klorofil-a antara Musim Timur dan Musim Barat
Konsentrasi klorofil di wilayah studi memiliki pola musiman, yakni pada musim barat cenderung lebih tinggi daripada konsentrasi klorofil pada musim timur (Gambar V.7). Berdasarkan Wyrtki (1961) dalam Ali (2003), pada musim barat
V - 18
pola arus permukaan bergerak dari arah Laut Cina Selatan ke Laut Jawa dan Laut Flores. Sedangkan pada musim timur arus bergerak dari arah Barat, Laut Jawa menuju Laut Cina Selatan. Besarnya kecepatan arus pada musim yang berbeda ini sangat tergantung dari kecepatan anginnya, dengan kecepatan pada musim barat relatif lebih cepat dari musim timur. Konsentrasi klorofil-a pada musim barat lebih tinggi dari musim timur diperkirakan karena membawa massa air yang berasal dari Laut Cina Selatan dan melewati Selat Karimata sehingga terjadi pencampuran massa air. Hal ini juga didukung oleh kecepatan arus musim barat yang lebih tinggi daripada musim barat.
Berdasarkan standar kualitas air yang berlaku di Connecticut, yakni Connecticut Lake Trophic Classifications – Water Quality Standards, kondisi danau atau perairan oligotrofik mengandung klorofil-a dengan rentang 0 – 2 µg/L, mesotrofik 2 – 15 µg/L, eutrofik 15 – 30 µg/L, dan eutrofik tinggi >30 µg/L (EPA, 2000). Konsentrasi hasil citra satelit menunjukkan bahwa wilayah pesisir timur pantai wilayah studi berada pada kondisi oligotrofik sementara pesisir barat pantai Pulau Pramuka berada pada kondisi eutrofik. Kondisi eutrofik pada pantai barat Pulau Pramuka mengindikasikan resiko konsentrasi nutrien yang tinggi sehingga walaupun proses biodegradasi dapat berlangsung dengan baik, namun terdapat potensi terjadi alga bloom yang dapat menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi eutrofik dapat terjadi akibat adanya masukan nutrien secara berlebihan baik dari kegiatan pemukiman dan perikanan yang dilakukan di sekitar wilayah Teluk Jakarta.
V.2.7 Colored Dissolved Organic Matter (CDOM) CDOM adaah fraksi materi organik terlarut yang menyerap cahaya baik ultraviolet maupun cahaya tampak. CDOM disebabkan oleh pelapukan partikel organik (organic detritus), yang melepaskan senyawa tanin ke dalam air, sehingga menyebabkan warna air menjadi kuning hingga coklat. Pengukuran CDOM memiliki hubungan terhadap salinitas pada lingkungan pesisir. Semakin besar nilai koefisien absorpsi, nilai salinitas akan semakin kecil, dengan kasus-kasus tertentu dimana yang terjadi adalah sebaliknya (Coble et al., 2003).
Nilai CDOM rata-rata pada rentang waktu April-Mei 2008 berkisar antara 0.0231 – 0.3212 m-1. Gambar V.8 menunjukkan sebaran CDOM pada wilayah studi. Di
V - 19
sekitar wilayah Pulau Pramuka, nilai CDOM berada pada rentang 0.028 - 0.053 m1
. Area berwarna hitam di tengah gambar menunjukkan tidak ada nilai CDOM yang
teridentifikasi dari pengolahan citra. Nilai yang tidak teridentifikasi disebabkan kurangnya data citra harian untuk menghasilkan peta sebaran yang lebih merata.
Gambar V.8 Peta Sebaran CDOM
Untuk memperkirakan nilai salinitas berdasarkan nilai perolehan CDOM, dibutuhkan referensi hasil pengukuran lapangan. Tabel V.6 memperlihatkan perbandingan antara hasil pengukuran salinitas oleh LAPAN dan nilai CDOM. Nilai salinitas hasil pengukuran lapangan berada pada rentang 15-33‰.
Sebagian besar spesies laut hidup pada salinitas optimum berkisar antara 2.5 (25‰) hingga 3.5% (35‰) dan sulit atau tidak dapat tumbuh pada salinitas di bawah 1.5 (15‰) hingga 2% (20‰) (Zobell, 1973 dalam Zhu, 2001). Laju metabolisme hidrokarbon menurun seiring meningkatnya salinitas dari 3.3% hingga 28.4% pada studi kolam evaporasi garam (Ward dan Crock, 1078 dalam Zhu, 2001).
Dengan menggunakan grafik regresi, diperkirakan bahwa nilai salinitas di Pulau Pramuka sebelah barat adalah 31.94‰ sementara nilai salinitas Pulau Pramuka sebelah timur adalah 30.90‰. Hasil perolehan nilai salinitas tersebut menunjukkan V - 20
bahwa nilai salinitas di wilayah Pramuka berada dalam rentang salinitas optimum bagi kehidupan spesies laut hidup, termasuk mikroorganisme.
Dengan variasi
rentang yang sempit, diperkirakan sebaran mikroorganisme bersifat merata di sepanjang perairan Pulau Pramuka. Pada saat terjadi tumpahan, minyak akan dapat terdegradasi dengan adanya keberadaan mikroorganisme di perairan laut.
Tabel V.6 Perbandingan Hasil Pengukuran LAPAN dan Citra Satelit LAPAN (‰)
CDOM (m-1)
Timur P. Harapan
33
-
Antara P. Kalage & P. Kelapa
32
-
Antara P. Karang Bongkok & P. Kotok
32
-
Barat P. Gosong Pandan
32
0.053
Barat P. Semak Daun
32
0.053
KJA Gosong Pramuka
31
0.028
Barat P. Pramuka
31
0.028
KJA P. Panggang (Laguna)
30
0.028
Barat Laut P. Ayer
30
0.04
Timur P. Kaliage Besar
30
0.04
Timur P. Tidung
30
0.049
Antara P. Tidung Kecil & P. Tidung Besar Laguna P. Ayer
30
0.049
30
0.036
Selatan P. Pramuka
30
0.036
Barat Daya P. Semak Daun
30
0.053
Timur P. Payung
30
0.045
29.5
0.069
Antara P. Tikus & P. Burung
30
-
Selatan P. Pari
25
0.087
Antara P. Bokor & P. Untung Jawa
15
0.109
Selatan P. Untung Jawa
20
0.135
Selatan P. Bidadari
25
-
Titik
Barat P. Pari
Sumber : LAPAN (2005) dan hasil pengolahan citra Keterangan : (-) --> Tidak terdapat data
V - 21
Salinitas (‰)
35 30 25
R² = 0,756 20 15 10 0,02
0,07
0,12
CDOM (m-1)
Gambar V.9 Regresi antara CDOM dan Salinitas
Karena CDOM merupakan fraksi organik terlarut, maka CDOM juga dapat mempengaruhi kandungan substrat di wilayah perairan. Kandungan CDOM yang tinggi menyebabkan semakin tingginya senyawa organik sehingga laju biodegradasi semakin meningkat . Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh kandungan CDOM di perairan pesisir terhadap laju penguraian minyak alami secara biologi.
V.3
Analisis Kerentanan Wilayah Studi terhadap Tumpahan Minyak Sensitivitas lingkungan wilayah Pulau Pramuka terhadap tumpahan minyak berbeda antara musim barat dan musim timur. Perbedaan yang teridentifikasi terjadi akibat adanya perbedaan tingkat energi gelombang dan arus pasang surut serta sebaran nutrien di permukaan laut (Tabel V.7). Penyebaran minyak dipengaruhi oleh gelombang dan arus pasang surut, kemiringan pantai, temperatur, dan salinitas. Laju arus laut yang lebih besar akan membawa massa air lebih banyak. Massa air mengandung baik senyawa-senyawa nutrien yang berasal dari perairan lain namun juga bagian tumpahan minyak yang tidak terevaporasi atau berpindah secara vertikal. Jika energi gelombang rendah, minyak yang telah terbawa hingga ke daerah intertidal yang dangkal akan sulit dibawa menjauhi daerah pantai. Apalagi daerah dengan kemiringan landai mengelilingi seluruh pulau. Akibatnya, pada musim timur tumpahan minyak memiliki resiko merusak yang lebih tinggi tanpa adanya upaya pembersihan oleh manusia.
V - 22
Tabel V.7 Perbedaan Tingkat Kerentanan Wilayah Studi terhadap Tumpahan Minyak Parameter
Musim Timur
Musim Barat
Gelombang dan Arus Pasang Surut
Lebih besar
Lebih kecil
Kemiringan Pantai
Sama
Sama
Tipe Sedimen
Sama
Sama
Produktivitas Biologi
Sama
Sama
Temperatur Permukaan Laut
Sama
Sama
Nutrien
Lebih besar
Lebih kecil
Salinitas
-
-
Dengan temperatur cukup tinggi, yakni antara 28-300C, diperkirakan setelah beberapa hari terjadi tumpahan kurang lebih 40% tumpahan minyak akan mengalami evaporasi. Proses ini akan terjadi di sepanjang wilayah studi karena temperatur menyebar secara merata dalam rentang variasi yang sempit. Temperatur yang tinggi juga membantu menghilangkan tumpahan-tumpahan minyak yang seringkali terjadi akibat adanya aktivitas kapal penyeberangan di wilayah dermaga. Minyak yang digunakan sebagai bahan bakar kapal umumnya memiliki berat molekul ringan yang lebih mudah terevaporasi. Hanya dibutuhkan beberapa hari bagi minyak jenis ini untuk terevaporasi hingga 90% dari volume awalnya. Oleh karena itu, pada tumpahan di wilayah Pulau Pramuka proses evaporasi memegang peranan penting dalam mengurangi jumlah minyak yang tertinggal di lokasi kejadian. Di sisi lain, walaupun evaporasi dapat mengurangi volume dan toksisitas dari sisa tumpahan yang berada di permukaan laut, namun jika konsentrasinya tinggi komponen minyak dalam bentuk gas dapat mengakibatkan terjadi polusi udara dan mengkontaminasi habitat udara, seperti burung, dan manusia di sekitar pulau. Efeknya dapat bersifat efek akut, atau akan terakumulasi dan memberikan efek kronis jika paparannya terus menerus.
Walaupun tidak terdapat korelasi positif antara TPL, klorofil-a, dan CDOM (Gambar V.10), namun nilai TPL dan CDOM (salinitas) bersama-sama akan mempengaruhi massa jenis air. Pada wilayah dengan temperatur rendah dan salinitas tinggi, tumpahan minyak akan cenderung untuk tenggelam. Hal ini akan meningkatkan sensitivitas wilayah karena minyak di bawah laut lebih sulit untuk diurai oleh karena kurangnya sinar matahari, oksigen, dan tekanan yang tinggi.
V - 23
Temperatur (0C)
Temperatur (0C)
a
45 43 41 39 37
45 43 41 39 37
35
35
33
33
31
31
29
29
R² = 0,179
27
R² = 0,203
27
25
25 0
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
0
0,01
0,02
0,03
0,04
Klorofil-a (mg/L)
(a) Klorofil-a (mg/L)
Klorofil-a (mg/L)
0,06 0,07 Klorofil-a (mg/L)
(b)
(b)0,07 0,06 0,05 0,04 0,03
0,07 0,06 0,05 0,04 0,03
0,02
0,02
R² = 0,012
0,01
R² = 0,000
0,01
0
0 0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3 0,35 CDOM (m-1)
0
0,1
(c)
0,2
0,3 CDOM (m-1)
(d) Temperatur (0C)
45 Temperatur (0C)
0,05
43 41 39 37
45 43 41 39 37
35
35
33
33
31
31 29
29
27
R² = 0,000
27
R² = 0,009
25
25 0
0,1
0,2
0,3 0,4 CDOM (m-1)
(e)
0
0,1
0,2
0,3 0,4 CDOM (m-1)
(f)
Gambar V.10 (a) Korelasi antara klorofil-a musim barat dan TPL musim barat (b) Korelasi antara klorofil-a musim timur dan TPL musim timur (c) Korelasi antara CDOM dan klorofil-a musim barat (d) Korelasi antara CDOM dan klorofil-a musim timur (e) Korelasi antara CDOM dan TPL musim barat (f) Korelasi antara CDOM dan TPL musim timur Wilayah Pulau Pramuka memiliki salinitas yang tinggi namun juga memiliki temperatur permukaan laut yang tinggi. Oleh karena itu, walaupun terdapat sebagian kecil minyak
V - 24
yang akan bergerak secara vertikal, sebagian besar tumpahan minyak akan tetap berada di permukaan dan kolom air atas. Selain itu TPL yang tinggi akan menyebabkan sebagian besar minyak dengan berat molekul ringan lebih mudah untuk terevaporasi. Dengan faktor lingkungan ini, maka proses pergerakan secara vertikal tidak memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap ekosistem lingkungan.
Proses oksidasi secara kimia (fotooksidasi) akan berlangsung di sepanjang wilayah intertidal yang memiliki perairan dangkal dengan kedalaman 0-5 meter. Hal ini disebabkan pada perairan dangkal terdapat kontak sumber cahaya dari matahari lebih besar. Cahaya matahari sendiri berperan sebagai katalis.
Proses biodegradasi akan
cenderung terjadi pada wilayah timur pulau di mana tidak terdapat ekosistem terumbu karang. Penyebabnya adalah kandungan nutrien yang lebih tinggi di daerah ini, nilai salinitas yang optimum, dan temperatur yang tinggi. Keberadaan nutrien sendiri tidak dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas (Gambar IV.10), namun cenderung dipengaruhi karakteristik komunitas yang hidup di dalam ekosistem. Selain itu laju biodegradasi pada musim barat diperkirakan lebih tinggi daripada musim timur, karena energi gelombang yang lebih tinggi akan membawa nutrien dalam jumlah yang lebih besar serta memecah minyak menjadi gumpalan dengan luas permukaan lebih kecil. Luas permukaan yang lebih kecil memudahkan mikroorganisme untuk menguraikan molekul minyak tersebut.
Pada pemeriksaan sisa minyak diketahui bahwa konsentrasi sisa minyak tertinggi berada pada area dengan kandungan nutrien rendah. Beberapa sisa minyak yang juga memiliki konsentrasi sisa minyak tinggi berada pada daerah barat laut. Hal ini dapat disebabkan antara lain minyak yang terlebih dahulu terperangkap dalam sedimen atau minyak berada dalam bentuk tarball. Kedua bentuk tumpahan minyak ini memiliki sifat stabil dan sulit untuk mengalami proses penguraian kembali. Oleh karena itu, kandungan nutrien dan tipe sedimen sangat mempengaruhi kemampuan minyak untuk terurai, baik secara fisik, kimia, dan biologi.
Faktor tambahan lain yang menentukan laju biodegradasi adalah kemampuan mikroorganisme untuk melakukan kontak dengan hidrokarbon. Bila insiden tumpahan minyak bukan merupakan kejadian yang pertama kali, maka waktu respon mikroorganisme terhadap hidrokarbon akan berkurang namun tidak menambah laju kontaknya. Tumpahan minyak di Pulau Pramuka pada bulan Oktober 2004 bukan
V - 25
merupakan kejadian yang pertama kali. Oleh karena itu, mikroorganisme yang berada di wilayah tersebut memiliki waktu kontak lebih singkat dibanding insiden sebelumnya.
Berdasarkan klasifikasi model ESI (Ali, 2003),, konsentrasi sisa minyak tertinggi terdapat di daerah dengan kemiringan pantai landai, tipe sedimen pasir, dengan wilayah dilingkupi oleh terumbu karang. Pada model kerentanan lingkungan, wilayah dengan karakteristik tersebut tergolong sebagai sebagai wilayah sangat rentan. Rerata konsentrasi wilayah rentan dan sangat rentan adalah 0,30 % dan 0,34 %. Nilai maksimum untuk wilayah rentan adalah 1,09 % sementara untuk wilayah sangat rentan adalah 1,17 %. Hasil ini menunjukkan bahwa residu minyak di wilayah wilayah sangat rentan lebih tinggi dibandingkan wilayah rentan (Gambar V.11).
0,4000 Rerata Sisa Minyak
0,3387 0,2997 0,3000
0,2000
0,1000 0,0000 0,0000 Agak Rentan
Rentan
Sangat Rentan
Tingkat Kerentanan Lingkungan
Gambar V.11 Rerata Sisa Minyak menurut Tingkat Kerentanan Lingkungan
Walaupun pemeriksaan sisa minyak menunjukkan bahwa konsentrasi minyak telah berada di bawah baku mutu, namun berdasarkan erdasarkan analisis kerentanan lingkungan lingku terhadap parameter-parameter parameter lingkungan perlu adanya upaya manajemen penanggulangan tumpahan minyak. Hal ini untuk mencegah terjadinya sisa minyak dengan konsentrasi lebih tinggi jika terjadi insiden tumpahan dengan dengan volume minyak lebih besar. Dengan volume yang lebih besar, beban lingkungan akan semakin meningkat dan laju pemulihan secara alami akan berkurang. Upaya manajemen penanggulangan tumpahan minyak ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah daerah setempat, perusahaan minyak yang berada di sekitar wilayah studi, penduduk, dan juga wisatawan.
V - 26
Pengawasan terhadap proses pengeboran dan transportasi minyak perlu semakin diperketat oleh pemerintah dengan mengimplementasikan peraturan yang ada agar pelaku tumpahan dapat dituntuk untuk bertanggungjawab pada insiden yang terjadi. Partisipasi dari masyarakat dan organisasi lingkungan dalam mengawasi insiden tumpahan juga bermanfaat dalam mengindentifikasi dan menindak pelaku, serta melakukan proses pembersihan minyak untuk mengurangi beban lingkungan.
Perusahaan pengeboran minyak sebaiknya memiliki standar penanggulangan insiden tumpahan serta teknologi pembersihan tumpahan minyak yang dapat segera digunakan segera setelah terjadi tumpahan. Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 86 tahun 1990 tentang Pencegahan Pencemaran oleh Minyak dari Kapal-kapal, beberapa peralatan yang perlu dimiliki kapal tangki minyak antara lain pondasi, tangki, sera pipa peralatan pencegahan pencemaran, peralatan pemisah air dan minyak, serta tangki slop penampungan limbah bekas cucian tangki muatan dan bekas tolak bara.
Peralatan untuk membersihkan tumpahan minyak juga perlu dimiliki oleh pemerintah setempat ataupun pihak-pihak lain yang memiliki aktivitas di Pulau Pramuka. Proses pembersihan secara mekanis dapat dilakukan di wilayah-wilayah yang tidak rentan terjadi erosi atau memiliki habitat yang tidak sensitif. Minyak yang berada di area terumbu karang jika dibersihkan dengan menggunakan metode mekanis memiliki kemungkinan untuk merusak terumbu karang itu sendiri. Tumpahan minyak sebaiknya tidak memasuki area terumbu karang atau pantai berpasir. Untuk mencegah pergerakan minyak menuju daerah tersebut dapat
dengan menggunakan skimmer sebelum kemudian minyak
dibersihkan dari perairan. Program penanaman kembali pohon bakau serta terumbu karang dapat pula dilakukan untuk mengganti spesies yang mati dan rusak akibat tumpahan serta untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
V - 27