BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1.
Keadaan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat dalam/sekitar Kawasan TAHURA SULTENG
5.1.1. Keadaan Penduduk Jumlah penduduk kelurahan/desa yang termasuk dalam wilayah penelitian disajikan dalam Tabel 7. Masyarakat dari kelurahan/desa di sekitar TAHURA adalah komunitas asli (masyarakat lokal Kaili) yang memiliki akses cukup besar terhadap integritas dan keberlanjutan TAHURA Sulawesi Tengah. Tabel 7. Jumlah Penduduk dan Luas Wilayah perkelurahan/desa di sekitar Kawasan TAHURA Sulawesi Tengah. No.
Kecamatan/ Kabupaten/Kota
1. 2
Palu Selatan/Palu Palu Timur/Palu
3.
Sigi-Biromaru/ Donggala
Kelurahan/ Desa ¾ ¾ ¾ ¾
Kavatuna Poboya Tondo Layana Indah ¾ Pumbeve ¾ Ngata Baru ¾ Loru
Jumlah
Luas Wilayah (km2) 20,67 63,41 55,16 15,00
Jumlah KK
Jumlah Jiwa
613 601 2.588 607
2.666 1.287 10.097 2.579
Kepadatan Penduduk Per-km2 126 20 183 172
44,80
553
1987
44
224,32 57,68
284 496
2367 1906
11 33
5.742
22.889
481,048
Sumber : BPS, Kecamatan Dalam Angka (2004) ; Bappeda (2003) Dari jumlah penduduk dalam Tabel 7 di atas, yang termasuk dalam kawasan TAHURA, menempati hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), pegunungan dan bukit berjumlah 529 kepala keluarga dengan 2.416 jiwa, tersebar pada tujuh kawasan (dilihat Tabel 8).
Jumlah pemukim dalam kawasan bila dibandingkan
dengan penduduk kelurahan dan desa yang termasuk dalam tiga wilayah kecamatan, berkisar 9,21 % kepala keluarga atau 10,55 % jumlah jiwa. Angka tersebut jika ditilik dari prosentasenya masih rendah, namun bila dibandingkan dengan luasan TAHURA, dapat diprediksi akan mengalami proses degradasi
59
yang cepat manakala warga masyarakat yang memiliki akses di dalam kawasan tidak diberikan ruang sebagai salah satu komponen yang berperan aktif dan bertanggung jawab menjaga kelestarian kawasan itu. Tabel 8. Jumlah penduduk dalam kawasan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah.
No.
Kawasan
Lokasi/ Pemukiman
Jml KK
Jml Jiwa
Aktivitas (Tanaman yang diusahakan) Kebun coklat, merotan, berladang, Berburu, padi ladang, menjual kayu bakar, kopi, mangga, durian, Merotan, berladang, kebun coklat, kayu bakar. Berladang, beternak kambing & sapi, merotan, kayu bakar, bambu. Usahatani bawang, jagung, kacang tanah, dan tanaman pelindung.
1.
Dusun Tompu
Kalinjo Kambilo
47 36
230 200
2.
Paneki
Raranggonau
40
167
3.
Hulu DAS Uentumbu/ Kavatuna Valiri
86
357
4.
Bunti Pobau Bukit Poboya (PPN 25-29) Hulu Das RT.6 Pondo RT.7 RT.8 Vatutela Vatutela Bulu Vintu (RT. Bionga 19)
76
228
28 25 37 80 33
143 129 198 317 198
41
249
5. 6. 7.
Paranjese (RT.18)
Pendulang emas, berkebun coklat, mangga, durian, kelapa, bawang. Kebun cengkeh, kopi, berladang Kebun ubi, kopi, cengkeh, kayu bakar, kemiri, kelapa, sukun, jagung, Padi ladang, mangga, asam, cabe, Pisang, dll.
Jumlah 529 2.416 Sumber : Data Kelurahan (RT) dan Dusun /Desa (2006)
Penduduk masyarakat lokal Kaili di dalam kawasan, tertera pada Tabel 8 di atas, menunjukkan keberadaan pemukiman dalam kawasan saat ini adalah penduduk yang telah ada sebelumya. Mereka telah beranak pinang beratus tahun secara turun-temurun. Pemukiman yang dihuni saat ini dulunya adalah desa-desa tua yang kini telah menjadi dusun dan lingkungan dari kelurahan. Hal ini terjadi pergeseran karena perubahan dan perkembangan kota Palu dengan pertumbuhan penduduk 5 tahun terakhir rata-rata 3,15 % pertahun atau dari 269.083 jiwa tahun 2000 menjadi 304.674 jiwa tahun 2005. Pertambahan penduduk kota dalam
60
kurung waktu tertentu akan mempengaruhi situasi wilayah TAHURA yang hanya berjarak 4-11 km dari Kota Palu, terutama pada penguasaan lahan untuk pemukiman dan lahan untuk usaha pertanian. Dengan perkembangan yang cukup pesat ini yang di dalamnya juga kepentingan yang tidak mungkin dihindarkan, maka kebijakan seharusnya dapat menerjemahkan secara benar makna ”untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan Undang-Undang Pokok Agraria (Maria Sumardjono, 2005). Pertambahan penduduk dengan kebutuhan-kebutuhan dasar yang semakin tinggi akan mempercepat proses perubahan sosial dan ekonomi masyarakat yang berekses pada penguasaan sumberdaya alam.
Perubahan ini juga tidak terlepas
dari intervensi pemerintah untuk merubah struktur kehidupan sosial masyarakat yang tadinya sangat kental dengan pola kehidupan yang sepenuhnya bergantung kepada sumberdaya alam, bagaimana dapat merubah pola kehidupan pada sektorsektor jasa. Peran ini sepenuhnya dilakoni pemerintah sebagai pemegang kendali akses sumberdaya dan memiliki pawer dalam banyak hal. Pembangunan yang dilakoni pemerintah sejak orde baru hingga sekarang masih menganut pola-pola top down dan berorientasi pada kepentingan sesaat dan sepihak. Tidak sedikit masyarakat yang menerima dampak dari perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi.
Kasus Dompu dan Taman Hutan Raya Marhum di Sulawesi
Tenggara perlu menjadi bahan perenungan bagi pengambil kebijakan, betapa lemahnya keadilan atas rakyat yang juga bagian dari negeri ini (Noerdin & Nainggolan dalam Suporahardjo, 2006)10. Masyarakat lokal Kaili yang bermukim dalam kawasan ini juga dijuluki sebagai masyarakat tradisional yang menganggap segala sesuatu dalam alam saling berhubungan. Sudah merupakan sebuah kebudayaan untuk memperlakukan alam dengan arif dan bijaksana untuk menghindari dampak buruk dari alam (Marten, 2001).
Dalam konteks inilah masyarakat lokal Kaili menganggap
kehadiran pihak luar di lingkungan mereka merupakan ancaman bagi kelestarian 10
Kelompok tani Cando Permai dan Mada Feli memiliki niat baik dan berkeinginan untuk mengelola kawasan hutan yang telah rusak dan telah berhasil menjadi hutan kembali, justru bukan mendapatkan penghargaan dari pemerintah Kabupaten Dompu, namun sebaliknya ”mereka ditangkap dan dijebloskan kepenjara dengan cara sewenang-wenang oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Dompu dan selanjutnya dituntut oleh Kejaksaan Negeri Dompu dan dihukum penjara oleh Putusan Pengadilan Negeri Dompu antara 6 (enam) sampai 9 (sembilan) bulan penjara (Noerdin, W dan Nainggolan L, 2005; 23).
61
alam khususnya sumberdaya hutan. Pihak luar dipersepsikan sebagai pembawa pembaharuan dan perubahan yang dapat menciptakan malapetaka bagi mereka terutama kelompok-kelompok yang akan mengakses sumberdaya hutan berupa penebangan pohon-pohon yang berdiameter besar.
Jika mereka yang datang
hanya bermaksud mengambil hasil hutan berupa kayu tanpa ada rekomendasi dari kepala desa kami halau dan kalau tidak mau pergi akan dilaporkan kepada pemangku adat untuk diproses lanjut. Persepsi masyarakat lokal Kaili tentang Taman Hutan Raya, diketahui hanya terbatas pada singkatan TAHURA.
Dari 52 responden di komunitas
masyarakat sekitar 17,31 % yang hanya mengetahui singkatan TAHURA, namun fungsi dan kegunaan Taman Hutan Raya terhadap kelestarian hutan tidak diketahui atau sekitar 82,69 % dari jumlah responden. Tabel 9 di bawah ini menunjukkan persepsi masyarakat tentang Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah. Tabel 9. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah Kelompok Umur Responden 27 - 30 31 - 35 36 - 40 41 - 50 > 51 Total
Jumlah Responden 6 9 13 13 12 52
Persepsi Tahu 2 1 (ragu-ragu) 2 3 1 9
Tidak Tahu 4 8 11 10 11 44
Informan selain masyarakat lokal Kaili, para pejabat yang memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan kawasan TAHURA juga sebagai sumber informasi yang dapat djadikan petimbangan dalam analisis. Pemangku kepentingan
dimaksud
disajikan
dalam
Tabel
10.
Persepsi
para
responden/informan yang juga bagian dalam penentuan keputusan pengelolaan Taman Hutan Raya, berbeda satu sama lain. Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa instansi sektoral yang sesungguhnya pemegang kunci (stakeholder
kunci)
justru
tidak
dapat
memberikan
penjelasan
yang
menggambarkan pengelolaan TAHURA dalam konsteks kebijakan, dan belum membagi peran masing-masing sektor secara teknis.
62
Hasil dari indepth interview (wawancara mendalam) dengan masyarakat lokal Kaili dan instansi sektoral secara terpisah menunjukan perbedaan informasi yang cukup signifikan. Masyarakat berpendapat bahwa pemerintah tidak memperdulikan rakyatnya dalam beragam aspek termasuk dengan menjadikannya wilayah ini sebagai TAHURA. Tidak sedikit lahan milik masyarakat yang dieksploitasi, dan dimasukkan dalam areal TAHURA dengan tidak mengganti rugi atau tanpa kompensasi. Tabel 10. Perspektif pemangku kepentingan dan pejabat yang berkaitan dengan keberlanjutan TAHURA.
Informan/ Responden
Jabatan
Haerul Anantha, Ir. Trimuljono Admomartono, Ir.
Kepala Dinas
Istanto, M.Sc
Kepala Balai
Said Awad, MH, Drs. Ardin T.Tayeb, MT, SE
Kepala Badan Kasie Perencanaan dan Tata Ruang Wilayah. Wakil Ketua
Helmy D. Yambas, SE Hedar Laudjeng, SH Rusdi Mastura Zainal Arifin H. Tongko, MS. Ir. Usman, SH. MH Harun Lapasere, Drs.
Kepala Balai
Ketua Walikota Kepala Dinas Kepala Biro Hukum Sekretaris
Instansi/ Institusi Dinas Kehutanan Propinsi Sulteng Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Palu-Poso Sulteng Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) VI Sulawesi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Sulteng Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Sulteng
Peme rintah
Konsep pengelolaan Tidak Peme P.emeri jelas rintah ntah+ + Masy + Masy. Stakhld
9 9
9 9 9
9
DPRD Propinsi Sulteng Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perkumpulan Bantaya Pemerintrah Kota Palu. Dinas Kehutanan Kota Palu. Sekretariat Pemda Sulteng LPPM Universitas Tadulako
9 9
9
9 9 9 9
Dari hasil wawancara mendalam dengan para pimpinan instansi yang juga merupakan elemen yang bertanggung jawab dalam proses penetapan dan
63
keberlanjutan Taman Hutan Raya, namun faktanya memperlihatkan berbagai perspektif dan konsep yang berbeda dalam pengelolaan TAHURA.
Dinas
Kehutanan misalnya memberikan pernyataan dan menjelaskan dengan lugas bahwa pengelolaannya hanya dapat dilakukan pemerintah tanpa peran pihak lain (kelola mono sektoral). Dalam perspektif ini menunjukkan ego sektoral dari setiap instansi cukup tinggi, sementara pengelolaan yang ideal adalah megkolaborasikan berbagai konsep yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi tipikal wilayah bersangkutan dan melakukannya secara bersama dengan peran fungsional masing-masing. Hal lain menunjukkan bahwa pengelolaan TAHURA masih berpegang pada pengelolaan preservasi tanpa memperbolehkan aktivitas lain sekitar dan dalam kawasan, sementara fakta menunjukkan terdapat ratusan hektar lahan milik warga dan komunal serta ribuan jiwa penduduk penghuni dengan aktivitas usahatani dan sejumlah kearifan yang dimiliki dalam mengelola sumberdaya alam.
Keadaan inilah yang menyebabkan salah satu timbulnya
proteksi masyarakat terhadap lahan-lahan yang de fakto-nya telah dimiliki secara turun temurun, sementara pihak pemerintah daerah tidak memberikan kesempatan bagi pemilik lahan melakukan akses dari pemilikan berbagai bukti
berupa
tanaman keras dan sumberdaya lainnya. Hal yang serupa namun berbeda versi adalah Biro Hukum Sekretariat Daerah, menyatakan pengelolaan sepenuhnya dilakukan pemerintah, untuk pelibatan masyarakat dalam memanfaatkan lokasi-lokasi yang telah ditetapkan pemerintah menjadi TAHURA, perlu dilihat kembali aturannya.
Berkaitan
dengan fungsi biro hukum yang bertanggung jawab terhadap penyusunan peraturan daerah tentang TAHURA, namun sampai saat ini pemikiran untuk melakukan upaya-upaya penguatan dari aspek hukum atas sumberdaya TAHURA belum ada11. Kondisi ini menunjukkan betapa tidak pedulinya pihak-pihak yang berkompeten terhadap sebuah kawasan yang merupakan sumber kehidupan bagi sebagian masyarakat Kota Palu. 11
Usman Suhudin, SH,MH (Kepala Biro Hukum PemDa Sulteng) menyatakan “tidak tahu menahu hal tentang TAHURA, silahkan ditanyakan kepada Dinas Kehutanan, saya mau rapat”. Dalam perspektif Kepala Biro Hukum, TAHURA adalah sepenuhnya wewenang dinas teknis, termasuk penyusunan peraturan yang berhubungan dengan kawasan dimaksud, dan biro hukum bertugas untuk membuat keputusan-keputusan pemerintah yang berkaitan dengan sekretariat, dan memfilekan keputusan-keputusan pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Disini nampak mekanisme dan koordinasi sangat lemah dan tidak berjalan.
64
Dalam perspektif masyarakat lokal Kaili pendidikan merupakan faktor penting yang harus menjadi perhatian pemerintah, namun kenyataan di lapangan menunjukkan ketidakpedulian kepada masyarakat lokal di dalam kawasan TAHURA yang semakin termarginalkan dalam berbagai aspek. Sentuhan pembangunan hanya diperuntukkan kepada wilayah-wilayah yang secara kasat mata dan selalu dilalui oleh para pejabat daerah dan atau pejabat negara. Hal ini dapat dibuktikan
bahwa dilokasi penelitian menunjukkan persentase terbesar
adalah masyarakat yang hanya dapat menikmati jenjang pendidikan formal pada Sekolah Menengah Pertama ke bawah. Keragaman masyarakat yang menempuh jenjang pendidikan formal merupakan indikasi rendahnya kemampuan masyarakat dari aspek ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tujuh komunitas masyarakat lokal yang mendiami kawasan ini masih dapat dikategorikan rata-rata berpendidikan rendah. Jenjang pendidikan formal masyarakat lokal Kaili dari tujuh komunitas yang tersebar dalam kawasan TAHURA berdasarkan sampel penelitian, disajikan dalam Tabel 11 berikut : Tabel
11. Jenjang Pendidikan Formal Informan dalam/sekitar TAHURA SULTENG.
Komunitas (1) Vintu Vatutela Bunti Pobau Hulu DAS Pondo Uentumbu/ Hulu Das Mamara Tompu Raranggo nau
Desa/ Kelurahan
Kecamatan
Jumlah Informan
Jenjang Pendidikan (Orang) Tamat SMP
Tamat SLTA
Tamat PT
(4)
Tamat SD/SR (5)
8 8 9 7
7 4 2 -
2 4 1
1 2 3 6
-
(2) Layana Indah Tondo Poboya Poboya
(3) Palu Timur
Kavatuna
Palu Selatan
9
7
1
1
-
Ngata Baru
Sigi Biromaru Sigi Biromaru
7
6
1
-
-
4
3
1
-
-
52
29
10
13
-
Pumbeve Jumlah
Palu Timur Palu Timur Palu Timur
Dari jumlah tersebut di atas menggambarkan sumberdaya manusia masyarakat lokal yang berdomisili di dalam kawasan TAHURA dapat
65
dikategorikan masih rendah atau perlu dilakukan peningkatan sumberdaya melalui berbagai program pendidikan. Sumberdaya manusia dari masing-masing kawasan sangat beragam, yang secara keseluruhan dapat diproporsikan yang menamatkan pendidikan Sekolah Dasar sebesar 55,77 %, menamatkan Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) sebesar 19,23 %, menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebesar 25,00 % dan menamatkan Pendidikan pada Perguruan Tinggi negeri maupun swasta belum ditemukan dari tujuh (7) kawasan yang menjadi lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan kelemahan dan terbatasnya akses masyarakat dalam memperoleh informasi termasuk mendapatkan kesempatan menuntut ilmu di jalur pendidikan formal. Selain kesempatan mendapatkan akses pengetahuan, juga dibatasi oleh rendahnya pendapatan petani pada umumnya yang berada dalam dan sekitar kawasan TAHURA. Ketaatan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah mengenai adanya program yang menetapkan status kawasan mereka menjadi kawasan pelestarian (preservasi), sesungguhnya cukup tinggi, hanya saja pihak pengelola yang diberikan wewenang negara belum mengkomunikasikannya dengan pihak yang berkepentingan termasuk masyarakat lokal Kaili. Pembangunan dalam era sebelumnya bahkan sampai sekarang belum memperdulikan keberadaan masyarakat lokal khususnya yang berada dalam kawasan TAHURA. Masyarakat lokal Vatutela misalnya, sebelum ada pembangunan Universitas Tadulako, kebutuhan air belum mrenjadi masalah bagi mereka. Setelah hadir Universitas Tadulako dengan bertambahnya pembangunan BTN di kawasan Kelurahan Tondo, masyarakat Vatutela semakin terdesak dan kebutuhan air juga semakin lama kian bermasalah. Sumber air DAS Vatutela mulai dibendung dan dibuat bak penampung untuk dialirkan ke Kampus Universitas Tadulako dan Perumahan Dosen, maka kekeringan sudah sering melanda masyarakat di DAS Vatutela dan kini masalah utama bagi kehidupan masyarakat Vatutela. Akses masyarakat terhadap air DAS Vatutela hilang karena kekuasaan dan terbatasnya kapital dalam mengakses air untuk didistribusikan kepada publik. Karena air masih dianggap publik goods, pihak Universitas Tadulako dan pemerintah daerah menganggapnya bukan sesuatu yang harus dipertimbangkan
66
dan dikaji, sesungguhnya siapa yang lebih memiliki akses untuk mendapatkan air tersebut. Pemukiman-pemukiman tersebut digambarkan pada peta penyebaran pemukiman penduduk dan lahan kebun rakyat di dalam kawasan TAHURA SULTENG sebagai berikut : Vatutela vintu Bunti Pobau
DAS Pondo
Uentumbu
Tompu Tompu
Kws. Raranggonau
Gambar 10. Peta Taman Hutan Raya (TAHURA) SULTENG
5.1.2. Keadaan Sosial Budaya. Masyarakat pemukim tetap di dalam kawasan merupakan komunitas masyarakat adat dari komunitas asli Kaili Ledo dan Kaili Tara. Beberapa hal yang berkaitan dengan kebiasaan dalam memanfaatkan sumberdaya alam seperti halnya mengelola sumber air yang dikenal dengan “Ada’ Pombagi Uve” yang dilakukan oleh seorang Punggava yang ditunjuk Totua Nu Ada’ . Untuk menanggulangi gangguan pada tanaman (hama dan penyakit) dilakukan upacara adat yang dikenal dengan “Nompaura” (menolak bala’). Selanjutnya, jika terjadi kekeringan sepanjang tahun masyarakat secara
67
keseluruhan atas pimpinan Totua nu ada’ melakukan upacara adat “Nora’a Binangga” dengan memotong kambing di hulu sungai. Kegiatan ini diwajibkan diikuti oleh masyarakat sekitar dan dalam kawasan yang berpandangan bahwa interaksi alam dan kehidupan masyarakat yang terdapat di dalamnya tidak dapat dipisahkan. Interaksi yang harmonis dengan alam telah berlangsung lama dari generasi ke generasi.
Kondisi seperti ini akan berpeluang besar dijadikan
kekuatan dalam melestarikan kawasan ini, namun yang menjadi pertimbangan serius dan sebagai konsekwensi logis bahwa mereka dapat hidup dari sumberdaya kawasan tanpa mengeksploitasi sumberdaya alam (kayu) dalam TAHURA. Masyarakat lokal Kaili dalam melakukan interaksi sosial dengan pihak lain dan atau antar sesamanya memberikan kesempatan kepada yang lebih tua dari aspek umur. Dalam pergaulan sehari-hari telah terbiasa dengan kondisi yang berlaku dalam struktur keluarga. Kebiasaan tersebut juga menjadi budaya yang terpelihara dalam komunitas masyarakat ini. Jika terdapat individu yang tidak mematuhi norma atau tatanan, akan terpinggirkan dan tidak mendapat penghargaan di tengah masyarakat, dan dianggap tidak mempunyai etika adat, dalam komunikasi bahasa Kaili Ledo disebut sebagai “le no’ada” atau Kaili Tara menyebutnya “ta no ada”. Budaya ini memberikan gambaran bahwa sesungguhnya masyarakat komunitas Kaili sangat terbuka dengan segala hal karena indikator keterbukaan suatu masyarakat dapat dilihat dari keterbukaannya menerima perubahan dalam berbagai hal. Dalam melakukan aktivitas pertanian, secara tipologi dari tujuh komunitas yang masuk di dalam kawasan TAHURA berbeda-beda berdasarkan kondisi wilayah dan geografisnya. Masyarakat Raranggonau (Tanalando), dan Tompu mendiami pegunungan di kawasan Timur dari Kota Palu dengan ketinggian 6001150 meter dari permukaan laut (mdpl). Komunitas Masyarakat Uentumbu menghuni kawasan hulu DAS Kavatuna, komunitas masyarakat Vatutela menghuni sekitar DAS Vatutela, dan komunitas masyarakat Vintu menghuni kawasan bukit Bulu Bionga dan DAS Vintu. Masyarakat Tanalando dan Tompu adalah kmunitas lokal Kaili berdialek Ledo, masyarakat Uentumbu campuran dari dialek Kaili Ledo dan Kaili Tara ; kawasan ini berbatasan antara kawasan Tompu dan Poboya.
Uentumbu
68
merupakan pertemuan kedua wilayah ini, dan sebagian masyarakat Tompu melakukan migrasi, dan demikian pula halnya masyarakat Poboya yang berdialek Tara. To ri Tompu atau komunitas masyarakat yang mendiami kawasan Tompu (pegunungan Bulili) dengan ketinggian 700-1000 mdpl, sebagian besar penduduknya memeluk agama Kristen dan lainnya agama Islam. Komunitas ini adalah sub-Etnik Kaili Ledo sama dengan Raranggonau, dalam eksistensinya memiliki sistem pengelolaan dengan claim wilayah/tanah adat, hutan adat dengan azas kelola bersama untuk kepentingan bersama dan keberlanjutan bagi anak cucu. Aktivitas keadatan yang dapat dilihat disaat menyusun perencanaan pembukaan lahan dengan melakukan hal-hal sebagai berikut : 1.
Notava’a adalah kegiatan ritual yang dilakukan oleh pemangku adat yang memahami dan mengenal dengan benar sistem dan pengetahuan bertani. Kegiatan ini dilakukan beberapa orang pemangku adat yang dipimpin oleh pemimpin petani yang disebut Sobo. Sobo adalah totua nu ada (ketua pemangku adat) yang diangkat petani melalui musyawarah adat atau dalam komunitas masyarakat petani adalah pemimpin petani. Sobo dibantu oleh seorang wakil yang dikenal dengan sebutan Tuntu. Jika seorang petani ingin membuka lahan maka ritual adat yang dapat ikut dalam kelompok upacara tersebut adalah pemilik yang akan membuka lahan setelah dimusyawarahkan di pertemuan pemuka adat. Bahan-bahan dalam acara ritual tersebut yang harus disediakan oleh pemilik yang akan membuka lahan adalah sambulu gana yang meliputi antara lain pinang muda, daun dan buah sirih, kapur sirih satu genggam, gambir, daun taba, daun cocor bebek, dan sesajian lainnya berupa makanan dari beras ketan putih, telur satu butir dan ayam jantan putih satu ekor. Bahan-bahan tersebut disajikan di daun Kambuno dan atau pisang mentah, dan diletakkan pada posisi tengah areal dimana rencana akan dibuat kebun. Selanjutnya Sobo melaksanakan acara ritual dengan diakhiri melepas ayam jantan putih tersebut di areal dimaksud. Proses untuk menunggu apakah areal tersebut dapat dibuka untuk menjadi lahan kebun, ditunggu selama tujuh hari terhitung mulai saat melakukan acara ritual tadi. Informasi atau kontak spritual langsung dilakukan oleh Sobo, petani yang
69
akan membuka areal tersebut datang menanyakan kepada Sobo tentang peluang boleh atau tidak diberikan membuka lahan di areal dimaksud. Jika informasi yang disampaikan Sobo bahwa areal tersebut tidak boleh diganggu, maka petani tadi mencari lokasi lain untuk dilakukan kembali ritual yang namanya Tava’a. 2.
Nantalu. Kegiatan yang dilakukan ketika membuka kebun dengan menebang pohon-pohon, dengan syarat bahwa pohon yang besar di atas diameter 100 m tidak boleh ditebang. Untuk mengawali penebangan dilakukan oleh Sobo sebagai prasyarat menandakan lokasi yang telah dilakukan ritualnya tadi telah direstui untuk dijadikan kebun atau ladang. Sobo selain melakukan penebangan awal sebagai pertanda lokasi tersebut dapat dijadikan ladang, sekaligus melaksanakan tugasnya meminta kepada sang pencipta dan penguasa alam untuk memberikan izin dan rejeki pada petani yang bersangkutan agar ladang tersebut menghasilkan produksi yang optimal. Dalam
waktu
yang
bersamaan
Sobo
menentukan
posisi
sentral
(tengah/pusat) kebun yang disebut Pobanea dengan syarat tanah subur (kaisia). 3.
Nogane adalah rangkaian ritual dalam setiap akan melakukan aktivitas dan atau akan mengolah lahan, demikian pula halnya akan menerima hasil produksi. Aktivitas tersebut dilakukan jika akan memohon sesuatu kepada sang pencipta baik untuk memproteksi gangguan dari dalam maupun dari luar, agar kesinambungan usahatani dapat berkelanjutan.
4.
Novunja adalah kebiasaaan yang dilakukan setelah panen atau biasa disebut dengan ada’ mpae. Aktivitas Novunja hanya dilakukan pada komoditas padi ladang dan atau padi sawah yang pelaksanaannya sudah menjadi aturan adat atau semua aktivitas mengikuti aturan keadatan masing-masing lokasi dan komunitas tertentu. Kearifan-kearifan tersebut berlangsung secara sistematis yang diwariskan
dari leluhur secara berurutan dalam keturunan masing-masing keluarga. Dogma keadatan diberikan kepada turunan yang dikomunikasikan secara lisan tanpa dokumen tertulis. Sistem ini telah terkomunikasi dengan teratur dan telah menjadi pemahaman kolektif dalam suatu komunitas masyarakat lokal. Sistem ini secara
70
sistematis diterima dan dipahami baik oleh generasi mereka tanpa kecuali,, suatu keyakinan bila hal ini tidak dilaksanakan akan berdampak pada keluarga dan atau komunitas bersangkutan berupa sanksi adat yang dalam kepercayaan komunitas masyarakat lokal Kaili di Sulawesi Tengah adalah “Nerapi tupu ntana” (bila tidak dilaksanakan akan meminta korban). Kultur bertani masyarakat lokal Kaili adalah berladang. Sawah merupakan introduksi atau yang diadopsi dari luar. Sistem bertani ladang di tanah Kaili membagi dua tipe yaitu Talua dan Pampa. Talua secara filosofis, dimaknai sebagai suatu aktivitas bertani yang produksinya akan dapat memenuhi kebutuhan selama satu periode panen. Masyarakat lokal Kaili melakukan sistem pergiliran (rotasi) berkebun ladang selama satu tahun atau berdasarkan umur padi lokal 5-6 bulan. Pampa adalah sistem usahatani pekarangan dan atau di luar pekarangan. Pampa dalam pertanian modern hampir sama atau identik dengan mix farming (sistem usahatani campuran). Pampa dikelola untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara rutin (sehari-hari) selama menunggu panen padi ladang atau produksi tanaman tahunan dari kebun besar (talua). Pampa dikelola dengan luas tidak melebihi dari 0,5 hektar (0-0,5 hektar). Produksi hasil usahatani pampa tidak untuk komersil atau dijual, kecuali konsumen yang datang ke pampa atau ke rumah tangga petani untuk membelinya dengan takaran tertentu. Sistem penukarannya-pun tidak dibatasi dengan nilai tukar uang, bisa barter seperti warga dari wilayah pesisir (pantai) membawa ikan atau garam, dibarter dengan ubi jalar, singkong, jagung, sayur atau beras padi ladang. Dengan demikian maka indikator pampa bukanlah dalam bentuk barang, benda atau suatu komoditas (jenis kayu, rotan, atau tanaman tertentu).
Pampa juga merupakan proses atau pola bertani
masyarakat Kaili. Sebelum membuka hutan (lahan baru), didahului mengerjakan lahan untuk pampa agar dalam proses pembukaan lahan baru tidak kekurangan pangan. Tanaman-tanaman yang ditanam adalah jenis tanaman musiman atau berumur pendek seperti ubi jalar, jagung, singkong, dan sayur-sayuran. Dalam proses pembukaan awal dilakukan dengan ritual adat melalui pemangku adat atau sobo. Kaili Tara dan Kaili Ledo di kawasan TAHURA, berprinsip bahwa hubungan alam dengan manusia pada hakekatnya untuk manusia (Mattulada, tt).
71
Perspektif tersebut menggambarkan bahwa alam sekitar bagi masyarakat ini harus diperlakukan dengan baik agar dapat memberikan penghidupan untuk selamanya dan menjamin antar generasi. Makna penggambaran tersebut bahwa alam beserta isinya (sumberdaya alam) harus dikelola dengan kearifan-kearifan yang menghargai hak-hak alam, karena di alam banyak mahluk lain selain manusia yang membutuhkan sumber penghidupan yang sama, termasuk yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Untuk itu dalam proses pengelolaannya selalu diawali dengan ritual-ritual yang intinya memohon kepada yang kuasa (penguasa alam) dapat mengizinkannya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan ummat manusia. Jika dalam proses awal terdapat gejala yang mengindikasikan tidak dapat dibuka untuk ladang, maka harus dicari tempat lain untuk ladang yang layak dan terjamin dari aspek ekologis. Komunitas di dalam/sekitar kawasan ini mengelola sumberdaya hutan, mengelompokannya dalam lansekap hutan menurut perspektif manfaat dan fungsi dari ekosistem yang ada. Masyarakat adat Kaili Ledo dan Kaili Tara membagi hutan dengan fungsi-fungsi tertentu sebagai berikut : 1. Pangale mbongo dalam perspektif masyarakat adat To ri Tompu, Tori Lando bo To po Tara, merupakan hutan alam primer yang belum dijamak dan atau disebut dengan hutan alam primer. 2. Pangale yaitu hutan alam yang
pernah dijamak manusia, namun telah
kembali pulih hutannya dengan komposisi lengkap seperti semula, atau biasa disebut dengan hutan sekunder. 3. Nava adalah hutan yang telah diberakan selama minimal 10 (> 10) tahun dan telah ditumbuhi pohon-pohonan dan tegakan yang pohonnya masih dibawah diameter 40 cm. 4. Tinalu adalah bekas kebun yang mengalami masa bera di bawah 10 tahun atau antara 5-10 tahun. 5. Ova adalah bekas kebun yang telah mengalami masa bera di bawah lima (< 5) tahun atau dikenal dalam perspektif umum merupakan hutan semak belukar. Ova
cukup beragam menurut pemanfaatannya, ciri khasnya adalah telah
tumbunh tanaman keras terutama jenis tanaman hortikultura.
72
6. Olo, kawasan yang dilarang melakukan aktivitas apapun di dalamnya. Kawasan ini merupakan area yang dijaga sebagai sumber mata air, berelevasi di atas 30 % dan zona-zona penyangga dalam beragam perspektif. Selain sebagai zona penyangga, kawasan ini dijaga keutuhannya termasuk sumberdaya tambang, habitat hidupan liar (flora dan fauna) endemik yang harus mendapat perlindungan secara kolektif yang disepakati dalam musyawarah adat, dan telah menjadi komitmen turun-temurun antar generasi. Lansekap hutan menurut perspektif masyarakat Kaili Ledo (Topo Ledo) dan Topo Tara, mirip dengan komunitas masyarakat adat Ngata Toro (To ri Toro)
di dataran Lindu Kecamatan Kulawi dan Topo Da’a di pegunungan
Marwola dan Gawalise Kecamatan Marawola . To ri Toro membagi lansekap hutan (Sangaji, 2001; Adiwibowo, 2005) sebagai berikut : 1. Wanangkiki untuk jenis hutan lumut dan menjadi habitat berbagai satwa dan hewan-hewan liar. Dalam kategori hutan ini tidak ada aktivitas manusia di sana. Luas Wanangkiki sekitar 2.300 ha. 2. Wana adalah
kawasan hutan primer yang belum pernah ada kegiatan
pengolahan kebun. Wana dimanfaatkan khusus untuk pengambilan damar, rotan, wewangian, obat-obatan dan sewaktu-waktu tempat untuk berburu binatang dan mencari ikan di sungai. Pada aliran sungai yang mengandung emas dilakukan pendulangan oleh masyarakat. Luas Wana seluas 11.290 hektar. 3. Pangale yaitu untuk hutan yang berada di pegunungan dan dataran. Pangale termasuk kategori hutan sekunder karena sudah pernah diolah, tetapi telah menjadi hutan. Pangale disiapkan untuk kebun dan datarannya untuk sawah atau ladang. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan, kayu, pandan hutan, obat-obatan dan wewangian. Luas pangale berkisar 2.950 hektar (hasil pemetaan). 4. Oma adalah hutan bekas kebun yang sering diolah utamanya untuk tanaman kopi, coklat, dan tanaman tahunan lainnya. Menurut usia pemanfaatannya Oma terdiri atas tiga jenis yaitu (a) oma ntua yakni bekas kebun yang ditinggalkan antara belasan hingga 20-an tahun, (b) oma ngura yakni bekas kebun yang ditinggalkan antara tiga hingga belasan tahun, yang merupakan
73
jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua. Tumbuhan yang tumbuh masih dapat ditebas dengan menggunakan parang, semak dan belukar merupakan ciri khasnya, (c) oma ngkuku adalah bekas kebun yang berusia antara satu sampai dua tahun, vegetasi dominan rerumputan. 5. Balingkea, yakni bekas kebun yang usianya enam bulan sampai satu tahun, sering dimanfaatkan untuk palawija. Untuk
komunitas
Topo
Da’a
di
pegunungan
Marawola
yang
mengelompokkan diri sebagai To Pakava atau To Pinembani (Laudjeng, 1998) dan To Kamalisi di pegunungan Gawalise (Saleh, 2001), pengelolaannya identik sebagai berikut : 1. Pangale, hutan primer yang belum pernah disentuh atau dikelola untuk kebun. Vegetasi utama adalah kayu jenis pohon, rotan dan tumbuhan lain. Kawasan hutan tersebut dimanfaatkan untuk tempat buruan binatang dan satwa. 2. Ova, untuk bekas ladang yang telah ditinggalkan antara 5-10 tahun. Jenis vegetasi utama adalah kayu jenis tihang yang dimanfaatkan untuk kayu bakar dan ramuan rumah, termasuk berbagai jenis rotan. 3. Tinalu, untuk kebun ladang mereka dan, 4. Olo adalah wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat dikelola.
Olo
dijadikan tempat penyimpan bente (sajian-sajian upacara adat) sebagai perlindungan terhadap bencana.
5.1.3. Perekonomian Masyarakat Lokal di dalam/sekitar Kawasan. Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah (TAHURA SULTENG) berbatasan langsung dengan kelurahan/desa dalam Wilayah Kota Palu, Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah dan penduduknya sebagian besar memiliki pola kehidupan perkotaan, namun aktivitas penduduk yang berada di sekitar batas areal dan yang berada di dalam kawasan umunya petani ladang yang sumber pendapatannya berasal dari hasil hutan non kayu. Hal ini akan menjadi ancaman dan atau potensi yang besar terhadap kelestarian dan keberlanjutan kawasan TAHURA. Masyarakat yang bermukim di dalam kawasan hutan bermata pencaharian bertani dan memiliki sumber pendapatan beragam.
Untuk masyarakat yang
bermukim di hulu DAS Kavatuna Lingkungan Uentumbu dan Valiri 80 %
74
bersumber dari hasil hutan non kayu, utamanya rotan dan sebagian kayu bakar. Masyarakat yang berada di bukit Poboya bersumber dari usahatani bawang dan sebagian kayu bakar. Berbeda halnya dengan masyarakat Vatutela yang berpendapatan dari hasil produksi perkebunan berupa buah cengkeh, kopi dan kemiri, sebagian dari mengumpul kayu bakar dan mengumpul batu kali. Peternakan domba, kambing dan sapi dijadikan sebagai tabungan bila kondisi mendesak baru dijual seperti membiayai anak sekolah, kuliah dan kebutuhan lain yang sama pentingnya, berupa pesta kawin, sunatan atau hajatan. Masyarakat dusun Tompu dan Raranggonau, aktivitas untuk mencari sumber pendapatan masih bersifat nomaden, selain berkebun tanaman sayur-sayuran, coklat dan padi ladang mereka juga melakukan pencarian rotan, dan hasil dari penjualan buahbuahan seperti durian, langsat, nenas, pepaya dan lain-lain. Pendapatan masyarakat yang bersumber dari hasil produksi rotan dalam perbulannya sebesar Rp. 382.500 (tiga ratus delapan puluh dua ribu lima ratus rupiah) dari penjualan 450 kg rotan dengan harga Rp. 850 perkilogramnya. Dari pendapatan ini dipotong biaya (konsumsi) selama dalam hutan (14-21 hari) sebanyak Rp. 99.000 (sembilan puluh sembilan ribu rupiah). Jadi praktis yang diterima bersih dari hasil merotan sebanyak R. 292.500 (dua ratus embilan puluh dua ribu lima ratus rupiah). Pendapatan tersebut bila dibandingkan dengan keadaan saat ini maka strata hidup keluarga masyarakat di hulu DAS Kavatuna (lingkungan Uentumbu) masih dalam taraf berpendapatan rendah (miskin). Untuk pendapatan yang bersumber dari hasil produksi usahatani dan perkebunan adalah coklat, beras padi ladang, sayur-sayuran, ubi jalar, ubi kayu (singkong), mentimun, labu, bawang, pepaya dan lain-lain.
Setiap kawasan
pemukiman membawa produksinya ke pasar yang terdekat, dan sehari menjelang hari pasar semua produk-produk yang akan dibawa ke pasar telah siap dan berkumpul pada satu tempat dari warga masyarakat. Untuk kawasan Tompu berkumpul di Boya Tana Nenggila untuk bersam-sama pergi ke pasar Ngata Baru (Kapopo) besok harinya. Warga dari kawasan Raranggonau langsung turun ke Pasar Biromaru. Untuk warga Uentumbu dan Valiri turun ke pasar Lasoani, demikian pula halnya bagi warga Poboya.
Warga dari Vatutela dan Vintu
75
langsung ke pasar Masomba Palu dan pasar Mamboro dan akses transportasi lebih baik dibanding warga dari lokasi lainnya. Sumber pendapatan
komunitas masyarakat Vatutela selain dari hasil
usahatani juga berprofesi sebagai pengumpul batu kali. Setiap warga dapat mengumpul 3-4 kubik dalam sehari dengan harga di lokasi sebesar Rp. 2.500–Rp. 4.000 per kubik. Penghasilan yang dapat diperoleh dari profesi mengumpul batu kali rata-rata sebesar Rp. 315.000 (Tiga ratus lima belas ribu rupiah), dengan perhitungan rata-rata mengumpul 3,5 kubik dan penghasil sebesar Rp. 10.500 per hari. Komunitas masyarakat Vatutela berkisar 10 % dari sumber penghasilan mengumpul batu kali (batu pondasi). Pendapatan yang diperoleh dari masing-masing komunitas tidak sama. Komunitas masyarakat di kawasan Poboya baik yang berada di kawasan Hulu Sungai Pondo (melintasi Kelurahan Poboya), maupun di kawasan Bunti Pobau yang bersumber dari usahatani bawang, dan pendulang emas berpenghasilan lebih besar dibanding komunitas di kawasan Raranggonau, Tompu, Uentumbu, Vatutela dan Vintu. Penghasilan bersih yang diperoleh dari komunitas12 masyarakat Bunti Pobau dan DAS Pondo (Poboya) masing-masing informan ratarata antara Rp 1.500.000-Rp, 4.500.000, bahkan sampai 9 juta rupiah setiap panen bawang. Dalam setahun dapat berproduksi 3-4 kali panen bergantung iklim dan cuaca. Untuk petani bawang bila curah hujan terlalu tinggi akan berdampak kurang menguntungkan bagi petani bawang di kawasan Poboya. Dengan melihat kondisi ini akan membuka ruang dan peluang yang menjanjikan bagi keberlanjutan Taman Hutan Raya, jika komunitas-komunitas ini diberikan ruang dan kesempatan untuk menggarap lahannya masing-masing secara intensif yang didukung oleh kebijakan politik pembangunan pertanian berbasis komunitas.
5.1.4. Penggunaan Lahan di dalam/sekitar Kawasan TAHURA Lahan kebun masyarakat yang menjadi sumber pendapatan dan penghidupan rumah tangga petani selama ini dan sudah diusahakan secara turun temurun (hak de fakto) adalah masuk di dalam kawasan TAHURA. Total luasan keseluruhan sejumlah 656,72
hektar
dari 529 kepala keluarga dan kebun
komunal 30 hektar atau 9,63 % dari luas TAHURA SULTENG, yang terdistribusi 12
Komunitas dalam kamus antropologi mendefiniskan sebagai kesatuan sosial yang terutama terikat oleh rasa kesadaran wilayah (Koentjaraningrat, 2003).
76
dalam tujuh (7) kawasan yaitu kawasan Bulu Bionga (Vintu) Kelurahan Layana Indah, Kawasan Vatutela Kelurahan Tondo, Kawasan Bunti Pobau Kelurahan Poboya, Hulu DAS Poboya, kawasan Uentumbu-Valiri Kelurahan Kavatuna, Kawasan Bulu Bulili Tompu Desa Ngata Baru (Kapopo) dan Kawasan Raranggonau Desa Pumbeve. Lahan-lahan yang dimiliki berada di bukit, hulu sungai dan pegunungan yang sebagian besar di atasnya ditanami tanaman perkebunan (tanaman keras), kecuali kawasan Bunti Pobau pada lokasi PPN 25, 26 dan 29, umumnya bercocok tanam bawang merah dan bawang goreng. Dari luasan pemilikan lahan tersebut di dalamnya beragam tanaman yang merupakan akses masyarakat dan sekaligus mendorong keras keinginan masuk di dalam kawasan tersebut selain akses untuk memanen hasil hutan non kayu berupa rotan dan damar. Kepemilikan lahan secara de fakto ini sebesar 9,63 % dari total luas TAHURA 7.128 hektar. Kondisi ini perlu dijadikan bahan pertimbangan yang serius bagi pengambil kebijakan di daerah, dimana mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan sumberdaya alam tempat mereka tinggal dan hidup sejak dahulu hingga saat ini. Sumberdaya hutan adalah bagian dari kehidupan dan penghidupan masyarakat lokal (adat), dan merupakan estetika, ikatan moral dan memiliki nilai kultural. Dengan demikian maka sumberdaya berupa lahan, segala yang hidup di atasnya adalah pemilikannya jelas dan tentunya akses terhadap sumberdaya tersebut juga tinggi. Pemilikan lahan kebun dari masing-masing kawasan yang masuk dalam Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Luas pemilikan (penguasaan) lahan kebun warga masyarakat Kaili di lokasi penelitian.
Komunitas Masyarakat Vintu (Bulu Bionga) Vatutela Uentumbu (DAS Mamara, Kavatuna) Bunti Pobau (PPN 25, 26, 29) DAS Pondo/Poboya Tompu (Bulu Bulili) Raranggonau Jumlah
Jumlah KK 74 80 86 76 90 83 40 529
Rata-rata pemilikan lahan (ha) 1,11 0,80 1,08
Total Luas lahan (ha) 82,14 64,00 92,88
0,75 2,3 1,3 1,17
57,00 207,00 107,90 45,80 656,72
77
Tabel 12 menunjukkan pemilikan lahan rata-rata setiap kepala keluarga (rumah tangga petani) seluas 1,21 hektar atau antara 0,75-2,3 hektar. Luasan tersebut dimanfaatkan untuk beragam jenis tanaman untuk pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga petani yang bersanggotakan 4-10 orang. Tabel 13. Jenis Padi Lokal dan tanaman pangan/sayuran di lokasi Penelitian13. No.
Jenis Komoditas (nama lokal)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Pae Saralonja Pae Sarasabe Pae Pelisi Pae Tolevonu Pae Merianggi koyo Pae Banjarone Pae Toparia Pae Topase Pae Pulumuto Pae Meringgi pulu Pae Toburane Pae Bude Pae Pulungguni Pae Mpoiri
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Marisa nete (Cabe rawit) Parancina (Tomat) Tambue (kacang panjang) Palola (Terung) Paku (paku-pakuan) Tavanjuka (Daun melinjo) Uvu lauro (umbut rotan) Robu volo vatu (Bambu) Toboyo (Labu) Kacang Kedelai Kacang hijau Buncis Kasubi (Singkong) Pia (Bawang) Ntomoloku (Ubi jalar) Paria Tampai Cangkore (Kacang tanah) Antimu (Ketimun) Kula (Jahe merah) Kuni (Kunyit) Balintua (Laos) Valangguni Tumbavani (Sereh) Sarao Vongu Dale (jagung)
13
Harga (Rp)
4.000 1.000 1.000 500 500 500 1.500 1.000 1.000 5.000 2.500 2.000 1.000 1.000 500 2.500 9.000 3.000 2.000 500 -
Pae (bahasa daerah Kaili) sinonim dengan padi.
Jangka tanam (bln) & panen 4 3 4 5 5 5 3 5 5 5 4 5 4 3 Tidak menentu
Keterangan Tidak dijual atau untuk kebutuhan sendiri (konsumsi keluarga).
Dijual per liter Dijual per mangkok Idem Per 3 buah Per ikat Per ikat Per 1 buah Per loyang Per buah Per kilogram Per liter Per liter Tidak dijual Per ikat Tidak dijual Per 5 buah Per ikat Per kaleng (blek) Tidak dijual Per kilogram Per kilogram Per kilogram Tidak dijual Per ikat Tidak dijual Tidak dijual. Tidak dijual
78
Tabel 13 menggambarkan jenis tanaman musiman yang diusahakan petani untuk kebutuhan hidup dan sebagai sumber penghasilan rumah tangga adalah padi ladang beragam jenis dan tanaman pangan lainnya. Dari sejumlah Komoditas yang diusahakan tidak semuanya memiliki akses ke pasar, namun disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Komoditas tersebut selain untuk dijadikan sumber penghasilan, juga untuk kebutuhan rumah tangga dan sebagian diberikan kepada keluarga yang datang dari jauh sebagai tanda hubungan kekerabatan. Tanah tersebut merupakan penguasaan melalui warisan leluhur (de fakto) yang secara adat telah diakui leberadaannya, namun negara melihat pemilikan berdasarkan de jure (hak milik) yang dibuktikan dengan atribut hukum (administratif : izin, sertifikat dan lainnya). Tanah dan penguasaannya merupakan suatu faktor yang sangat krusial bagi masyarakat umumnya, khususnya bagi masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan (petani) yang dalam perkembangan kehidupannya baik sosial, ekonomi dan politik (Bappenas, 1994). Secara umum petani komunitas masyarakat lokal Kaili dari tujuh kawasan ini menggunakan sistem rotasi dalam mengelola ladang, dan mereka telah terbiasa berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang lain yang dikuasainya, kemudian memanfaatkan ladang tersebut untuk jenis tanaman tertentu yang dapat menunjang keberlanjutan hidupnya. Sistem berladang mereka berpindah-pindah, namun pemukiman tempat tinggal menetap dan berkumpul dalam satu tempat, namun masih terdapat juga lokasi yang menyebar berdasarkan pola kebun seperti Tompu dan Raranggonau. Untuk lokasi Uentumbu, DAS Pondo, Bunti Pobau, Vatutela dan Vintu cenderung berkumpul dalam satu wilayah pemukiman, kebun hanya tempat untuk mendapatkan nafkah hidup dari usahatani semusim dan produksi tanaman perkebunan. Sistem usahatani masyarakat lokal Kaili di dalam kawasan TAHURA cukup beragam, dari sistem rotasi, semi intensif sampai usahatani intensif. Keragaman pola usahatani ini menggambarkan tingkat keragaman pengetahuan bertani yang juga disebabkan karena faktor geografis dan topografis kawasan masing-masing. Untuk komunitas masyarakat lokal Kaili Tara yang mendiami kawasan Bulu Bionga yang meliputi Vintu dan Vatutela adalah menganut sistem bertani menetap dengan pola semi intensif. Komoditas yang dikembangkan umumnya tanaman perkebunan dan kehutanan sebagian kecil tanaman pangan
79
seperti jagung, singkong, sayur-sayuran dan beternak. Lahan-lahan yang dikelola adalah lahan milik individu (keluarga : warisan tetua). Demikian pula halnya pada masyarakat lokal Kaili Tara di Uentumbu Kavatuna. Pola pertaniannya adalah semi intensif dengan sumber penghasilan menetap adalah rotan (hasil hutan non kayu), dan beternak. Untuk kawasan Bunti Pobau adalah komunitas masyarakat lokal Kaili Tara yang mendiami kawasan pegunungan Masomba, dan DAS Pondo Poboya menggunakan sistem pengelolaan intensif dengan komoditas yang dikembangkan adalah tanaman bawang. Petani di lokasi ini menggunakan sistem bertani intensif dengan sarana produksi dan sistem pertanaman yang telah mengikuti pola usahatani intensif dan panen rutin setiap tiga bulan. Berbeda halnya dengan komunitas masyarakat lokal Kaili Ledo di Tompu dan Raranggonau. Pola bertani masyaralat topo Ledo di Raranggonau dan Tompu adalah menggunakan sistem rotasi untuk lahan-lahan perladangan, dan lahan-lahan pekarangan dilakukan dengan pola tradisional. Lahan pekarangan dalam perspektif masyarakat Kaili Ledo di Tompu dan Raranggonau menyebutnya sebagai pampa. Lokasi pampa dapat berada di luar pemukiman dan atau di dekat kebun (talua), dengan catatan luasnya tidak melebihi atau dibawah 0,5 ha dan tanaman yang dikembangkan adalah tanaman yang berumur pendek untuk konsumsi rumah tangga sehari-hari (tanaman campuran). Pengelolaan pampa dilakukan secara rutin. Lokasi yang ditanami dengan tanaman tahunan adalah tanah yang diberakan, dan akan diolah kembali setelah beberapa tahun biasanya minimal 5 tahun14. Akses terhadap pemanfaatan sumberdaya dalam kawasan yang telah berlangsung selama ini, kini berbeda dengan sebelumnya. Masyarakat lokal Kaili (petani) merasa terhambat dan terganggu dengan penyampaian dan pengumuman yang disampaikan dari petugas lapangan dari Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah yang menegaskan bahwa setiuap warga masyarakat yang memotong cabang dan ranting pohon di dalam kawasan akan dikenakan denda percabangnya Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah)15.
14
Hasil wawancara dengan Hi. Djadja (63 th), tokoh adat Vintu, tanggal 17 Mei 2006 ; Tanah yang diberakan biasanya minimal 5 tahun bar udiolah lagi. Maksud pemberakan adalah untuk mengembalikan kesuburan tanah yang telah digunakan untuk tanaman semusim seperti padi dan jagung. 15 Hasil wawancara dengan Muslima (67 th) dan warga masyarakat dalam pertemuan, 25 Juli 2006 di Bantaya Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur.
80
Tanaman perkebunan dan buah-buhan bagi petani juga merupakan komoditas yang menjadi perhatian untuk penghasilan jangka panjang dan memiliki akses pasar yang besar seperti disajikan dalam Tabel 14. Tabel 14. Jenis tanaman perkebunan dan hortikultura di lokasi penelitian. Jenis Tanaman
Musim Panen
Kaluku (Kelapa) Biau (Kemiri) Kopi Cengkeh Tule (Air aren) Kalosu (Pinang) Bou (Buah sirih) Soklati (Cocoa) Loka (Pisang) Taipa (Mangga) Lonja (Langsat) Bunga pepaya Ganaga (Nangka) Tara’a (Nenas) Duria (Durian)
Tidak menentu 3 kali /tahun 3 kali /tahun 2 kali/tahun 1 kali/minggu Tidak menentu Tidak menentu Tidak menentu Tidak menentu 1 kali/tahun 1 kali/tahun Tidak menentu Tidak menentu Tidak menentu Tidak menentu
Harga (Rp) 7.000 4.000 10.000 3.000 1.000 1.000 15.000 3.000 1.000 2.000 500 -
Keterangan Tidak dijual Per kilogram Per liter Per kilogram Per botol Per 5 buah Per 5 buah Per kilogram Per sisir Per 5 buah Per liter Per mangkok Tidak dijual Tidak dijual Tidak dijual
Tanaman tersebut ditanam pada lahan-lahan kebun dan lahan pekarangan. Untuk beberapa jenis tanaman perkebunan di tanam pada lahan-lahan berlereng dan lahan-lahan dekat dengan sumber air seperti tanaman kemiri, durian dan mangga ; sementara tanaman nangka dan nenas umumnya ditanam pada pinggir kebun atau tanda batas dengan lahan-lahan lain. Hasil produksi tanaman tersebut di atas dijual di tempat dan sebagian kecil dibawa ke pasar. Harga yang tercantum adalah harga berlaku di tingkat petani. Produksi yang bersumber dari sumberdaya hutan adalah rotan. Rotan merupakan sumber pendapatan masyarakat yang umumnya enam komunitas masyarakat (Vintu, Vatutela, DAS Poboya, Uentumbu, Tompu dan Rarangonau) yang disajikan dalam Tabel 15.
81
Tabel 15. Jenis Rotan Hasil Produksi dari Kawasan Hutan TAHURA dan sekitarnya. No.
Jenis Rotan (nama lokal).
Harga Pasar Lokal (Rp) 1. Lauro Langguku (Rotan Lambang) 90.000/100 kg 2. Lauro Barabata (Rotan Batang) 110.000/100 kg 3. Lauro Leluo (Rotan Batang) 110.000/100 kg 4. Lauro Manggauva (Rotan Uban) 90.000/100 kg 5. Lauro Patani (Rotan Tohiti) 80.000/100 kg 6. Lauro Vatu (Rotan Tohiti) 80.000/100 kg 7. Lauro Nanga (Rotan Batang Merah) 80.000/100 kg 8. Lauro Ngguluvi (Rotan Noko) 80.000/100 kg 9. Lauro Laru (Rotan Ombol) 95.000/100 kg 10. Lauro Lere 95.000/100 kg 11. Lauro Mputi 2.000/ikat 12. Lauro Ronti 2.000/ikat 13. Lauro Matangii 80.000/100 kg 14. Lauro Bao 2.000/ikat 15. Lauro Ape 2.000/ikat 16. Lauro Nggarea 2.000/ikat 17. Lauro Paloe 2.000/ikat 18. Lauro Njanepa 2.000/ikat 19. Lauro Boga 2.000/ikat Sumber : Masyarakat Tompu, Raranggonau dan Uentumbu, Juni 2006
Selain aktivitas bertani, merotan, mendulang emas dan mengumpul batu kali, warga masyarakat memiliki dan memelihara ternak. Ternak-ternak digembalakan pada padang penggembalaan di sekitar dan dalam kawasan TAHURA pada siang hari dan dimasukkan di kandang pada malam hari. Hewan ternak yang digembalakan meliputi ternak domba, kambing, sapi, dan sebagian kecil pemilik ternak kuda. Jumlah ternak yang digembalakan di sekitar dan dalam kawasan TAHURA disajikan dalam Tabel 16.
82
Tabel 16. Jumlah dan Jenis Ternak yang digembalakan di sekitar/dalam kawasan TAHURA SULTENG. Jenis Ternak (Ekor) Desa/Kelurahan/ Lokasi Sapi Kambing Domba Layana Indah/Vintu 112 520 95 Tondo/Vatutela 425 875 180 Kavatuna/Uentumbu 516 4.640 2.125 Poboya/Bunti Pobau/Hulu 475 220 381 DAS Pondo Ngata Baru/Tompu 35 500 128 Pumbeve/Raranggonau 140 366 205 Jumlah 1.703 7.121 3.114 Sumber : BPS, Kecamatan Dalam Angka, 2005.
Dari
Kuda 23 14 50 32 119
data tersebut di atas menggambarkan bahwa populasi ternak
peliharaan cukup besar yang membutuhkan areal yang luas. Daya tampung dalam setiap unit ternak membutuhkan lahan seluas 10.000 m2/4 ekor ternak sapi.
Setiap jenis ternak membutuhkan daya tampung yang berbeda dan
ketersediaan pakan yang berbeda pula. sebanyak 6-10
Untuk ternak domba dan kambing
unit ternak per hektarnya.
Dengan demikian jumlah ternak
kambing dan domba yang berjumlah 10.235 ekor membutuhkan luasan lahan untuk padang penggembalaan sekitar antara 1.023,5 -1.705,8 hektar, dan ternak sapi membutuhkan luasan lahan sebesar 425,75 hektar (3-4 unit ternak/ha). Dengan demikian maka akses penggembalaan terhadap sumberdaya lahan di dalam kawasan TAHURA berkisar sebesar antara 1.448,75 - 2.131,55 hektar. Dengan demikian akses nasyarakat untuk lahan penggembalaan seluas antara 20,32-29,90 %. Ternak bagi masyarakat di kawasan Taman Hutan Raya merupakan sumber pendapatan dan dapat berfungsi ganda, bergantung situasi yang dihadapi keluarga petani, dijual disaat mendesak.
83
5.2. Aspek Historis TAHURA SULTENG Dalam
perspektif
sejarah,
berawal
dari
dilaksanakannya
Proyek
Penghijauan Nasional (PPN) ke 30 tahun 1990 di kawasan Ngata Baru (Kapopo) Kecamatan Sigi-Biromaru Kabupaten Donggala oleh Pemerintah Daerah melalui koordinasi Wakil Gubernur Sulawesi Tengah. Proses pelaksanaannya hingga Tahun 1994, dilakukan secara bersama antar Pemda Sulteng dengan APHI Komisariat Daerah Sulawesi Tengah (Dinas Kehutanan, 2002). Kegiatan pemeliharaan dilakukan mulai tahun 1995 sampai sekarang, dan pembiayaannya dibebankan pada sumber dana APBD Propinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1995, tanggal 4 September 1995, lokasi PPN ke 30 seluas 100 hektar dimasukkan menjadi bagian Taman Hutan Raya yang meliputi gabungan dari kawasankawasan yakni Cagar Alam Poboya dengan luas 1.000 hektar, Hutan Lindung Paneki seluas 7.000 hektar sehingga luas keseluruhan TAHURA menjadi 8.100 hektar.
Proses perubahan dan perkembangan kawasan bergerak terus seiring
dengan perkembangan penduduk, maka pada tanggal 29 Januari 1999 terbit Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 24/Kpts-II/1999 menetapkan tata batas, status TAHURA dengan luas 7.128 hektar sehingga wilayah ini merupakan temu gelang. Untuk menindaklanjuti kebijakan Nasional di atas, Gubernur Sulawesi Tengah meresponnya dengan menetapkan lokasi PPN ke 30 menjadi Taman Wisata Alam Kapopo melalui Surat Keputusan Nomor : 188.44/1400/Dis 1200 PAR-G.57/2003. Pemerintah sebagai pemegang hak atas tanah, sebelumnya telah dibuat kebijakan melalui Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor SK.239/591/IX/1987 tentang pengawasan tanah negara Bumi Roviga oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Tanah Negara yang dimaksud dalam surat keputusan tersebut adalah kawasan bagian Utara TAHURA sekarang, dan sebagian telah menjadi pemukiman transmigrasi swakarsa Lingkungan Industri Kecil Layana Indah. Luas tanah-tanah negara yang dianggap tidak bertuan sekalipun pemiliknya berada di dalam kawasan ini, seluas ± 6.750 Ha.
84
Dalam Surat Keputusan No. SK.239/591/IX/1987 menetapkan lima (5) point sebagai berikut : (a) Tanah Negara seluas ± 6.750 Ha dengan keadaan penggunaan tanah berupa semak belukar, padang rumput, hutan belukar, tanah gundul, maupun tanah tegalan dinyatakan berada dibawah pengawasan Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. (b) Bagi masyarakat yang bermaksud memanfaatkan kawasan tersebut, pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah akan mengeluarkan rekomendasi yang dikoordinasikan oleh Bappeda Tingkat I Sulawesi Tengah. (c) Kepada masyarakat yang merasa menguasai tanah negara di kawasan tersebut dalam waktu tiga (3) bulan setelah dikeluarkannya surat keputusan ini supaya melaporkan kepada pemerintah daerah tingkat I Sulawesi Tengah yang dikoordinir oleh Bappeda Tingkat I Sulawesi Tengah dengan membawa bukti penguasaannya, untuk keperluan pengaturan lebih lanjut. (d)Tidak dibenarkan kepada masyarakat baik yang merasa menguasai tanah maupun yang akan menguasai tanah di kawasan tersebut untuk melakukan pematokan, pemagaran, tanpa seizin Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah. Dengan menelaah isi dari keputusan tersebut dengan realitas lapangan bahwa kebijakan dan tindakan yang dilakukan pemerintah daerah adalah sepihak tanpa mempertimbangkan situasi yang sebenarnya. Pada situasi saat itu (Tahun 1987) adalah kekuatan rezim orde baru yang menempatkan posisi masyarakat dipihak yang lemah. Saat itu memang kekuatan dan kekuasaan berada di pihak pemerintah, dan masyarakat semata obyek bagi pembangunan dalam berbagai aspek. Sepuluh bulan kemudian, menyusul permohonan Gubernur Sulawesi Tengah, Abdul Azis Lamadjido, SH dengan Surat Nomor. 522.5/2835/Ro.BKLH, tanggal 13 Juli 1988, yang menindaklanjuti Surat Permohonan Nomor 104/VII1/KM-II/1988 tanggal 14 Maret 1988 dengan harapan Menteri Departemen Kehutanan R.I dapat mempercepat proses realisasi permohonan pembangunan Taman Hutan Raya Palu. TAHURA juga bagian yang tidak terpisahkan dari rekomendasi hasil penelitian yang dilakukan Paimbonan dkk (1993) dalam Bappeda (2003) mengenai Rancangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Terpadu DAS Palu seluas 30.000 hektar dan Rancangan Teknik detail Rehabilitasi Lahan dan
85
Konservasi Tanah Sub DAS Kavatuna seluas 10.000 hektar yang dibiayai oleh Dana Proyek Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Kantor Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah Sub Balai RLKT Tahun 1993. Dari proyek tersebut salah satu kebijakan yang diimplementasikan adalah penghijauan pola khusus lembah Palu seluas 1.483,34 hektar yang tersebar pada tiga sub DAS yaitu sub-sub DAS Kavatuna 311,35 hektar, Mamara/Ngia 431,80 hektar, dan Paneki 957,50 hektar dengan teknik konservasi menggunakan teras guludan, teras bangku dan penanaman cover crop. Sub-sub Das tersebut adalah lokasilokasi yang rawan erosi dan banjir sehingga perlu mendapat prioritas. Lokasi tersebut merupakan bagian dari kawasan TAHURA. Luas lokasi TAHURA yang masuk dalam perencanaan konservasi pada lahan-lahan kritis dan rawan erosi seluas 2.589,95 hektar sampai tahun anggaran 2002/2003 (Bappeda, 2003).
5.3. Kebijakan-kebijakan dalam Pengelolaan TAHURA SULTENG. Berangkat dari perspektif manfaat Taman Hutan Raya bagi suatu lingkungan dimana kawasan tersebut merupakan penyangga bagi Kota Palu. TAHURA dengan Hutan Lindung Paneki, Cagar Alam Poboya, Taman Wisata Kapopo dan beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti DAS Kavatuna dengan sub-sub DAS-nya (DAS Poboya, DAS Vatutela dan DAS Vintu) adalah daerah tangkapan air yang juga menjadi sumber air minum bagi masyarakat Kota Palu dan untuk pengairan ratusan hektar sawah. Ketergantungan masyarakat dan mahluk hidup terhadap sumber air dari kawasan ini cukup besar, maka implementasi kebijakan yang dikeluarkan untuk mengantisipasi kondisi kekurangan air bahkan kekeringan seperti introduksi tanaman penghijauan yang sesuai dengan iklim setempat. Instansi pemerintah seperti Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) merupakan salah satu bentuk kepedulian dari aspek kebijakan untuk pengelolaan DAS yang berada di Lembah Palu khususnya dan Sulawesi Tengah umumnya. Kebijakan selain yang dilakukan institusi BP-DAS adalah penetapan kawasan lembah Palu menjadi Pola Pengelolaan Khusus yang dikoordinasikan BAPPEDA Propinsi Sulawesi Tengah bertujuan untuk kelestarian sumberdaya dan kesinambungan sumberdaya hayati melalui program-program konservasi. TAHURA adalah salah satu kawasan yang
86
menjadi konsentrasi pengelolaan kawasan dari program Pola Pengelolaan Khusus yang melibatkan para sektor (lintas sektoral). Pertanyaan yang akan muncul, akankah koodinasi berjalan dengan program kolektif atau hanya sebuah program yang indah di tatanan konsep, tapi implementasi seperti apa...???. Beberapa hal yang dapat dijadikan indikator, bahwa sejak penetapan pola pengelolaan khusus tahun 2003 hingga sekarang belum ada yang dapat dilihat dari kebijakan dan konsep yang telah disusun rapi dan menjanjikan itu. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah merupakan payung hukum bagi pemerintah daerah untuk melakukan program-program yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam di daerah. Peraturan tersebut tidak ditindaklanjuti dalam Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah Nomor 2 Tahun 2004 yang di dalamnya termasuk Taman Hutan Raya (TAHURA). Peraturan Pemerintah No. 62/1998 tidak terdapat dalam diktum Peraturan Daerah No. 2/1004. Dalam Bab V menjelaskan mengenai kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya dan kawasan tertentu. Bab tersebut menjelaskan mekanisme pengelolaan yang mengindikasikan adanya ruang bagi masyarakat di dalam kawasan budidaya dan kawasan tertentu. Dalam pasal 18 poin (2) dijelaskan bahwa kriteria kawasan lindung untuk Taman Hutan Raya sebagai berikut : ¾ Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh atau-pun kawasan yang sudah berubah. ¾ Memiliki keindahan alam, tumbuhan, satwa dan gejala alam. ¾ Mudah dijangkau dan dekat dengan pusat-pusat permukiman penduduk. ¾ Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli dan atau bukan asli. Pasal tersebut tidak memuat dan menjelaskan bahwa di dalam kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi Taman Hutan Raya (TAHURA), di dalamnya terdapat ratusan kepala keluarga dan ribuan jiwa manusia yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya kawasan hutan Peraturan tersebut masih mengundang pertanyaan banyak pihak, termasuk dalam proses penyusunan Paraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 tentang RTRWP Propinsi Sulawesi Tengah. TAHURA dalam Peraturan Daerah tersebut hanya salah satu
87
poin dari pasal 1 dalam Bab Ketentuan Umum. TAHURA disebutkan disini adalah kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa, alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan latihan, budaya pariwisata dan rekreasi.
Dari batasan ini tidak mengandung dimensi yang memberikan ruang
bagi masyarakat yang secara de fakto telah memiliki akses di dalam kawasan tersebut sebelum peraturan ini diterbitkan. Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dalam pasal 2 menyebutkan bahwa : (a)
Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan serta mempertimbangkan masukan dari dinas, instansi terkait, kabupaten dan aspirasi masyarakat, (b) Keterbukaan, partisipatif, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Peraturan Daerah ini tidak berimplikasi pada pengambil kebijakan yang berwenang melakukan koordinasi dan mengimplementasikannya. Program implementasi umumnya sektoralis, sehingga program-program yang semestinya dilakukan secara holistik (bersama) nampaknya sangat sulit untuk dilakukan.. Peraturan daerah hanya sebagai persyaratan administratif belaka, bukan dijadikan roh bagi setiap program pembangunan kewilayahan. Jika dimaknai isi dari pasal 2 Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 tersebut di atas sesungguhnya memberikan peluang yang sangat luas kepada masyarakat dalam prakondisi kebijakan. Dalam situasi yang sebenarnya berbeda dari harapan dan keinginan yang akan dicapai dalam peraturan daerah tersebut. Poin dua (2b) pasal 2 tersebut mengindikasikan adanya persamaan hak dan kewajiban dalam memanfaatkan ruang yang ada, baik dalam prakondisi maupun dalam penyusunan produk kebijakan sampai pada implementasinya. Namun yang perlu dicermati bahwa stakeholders berbeda-beda dalam menentukan tujuan, rencana maupun tindakan.
88
5.4. Kebijakan Penetapan Tata Batas, Luas Wilayah dan Status TAHURA. Penetapan Tata batas, Luas Wilayah dan Status TAHURA Sulawesi Tengah yang sebelumnya adalah kawasan yang terbuka bagi berbagai pihak dalam memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan berupa kayu dan produk non kayu (rotan, damar, hasil tambang dll). Perencanaan kawasan ini setelah berlakunya keputusan Menteri Kehutanan dengan beberapa prinsip pengembangan yaitu (1) prinsip pelestarian (preservasi dan konservasi) lingkungan alami dari kawasan TAHURA, (2) prinsip pemanfaatan berbagai potensi lingkungan alami kawasan TAHURA sebagai media pendidikan, (3) prinsip pengembangan berbagai potensi lingkungan alami pada kawasan TAHURA untuk kegiatan pariwisata dan pembibitan serta koleksi flora dan fauna (Kanwil Dephut Sulteng, 1997). Prinsip ini mengacu pada landasan pengembangan dari rencana tata letak (Site
plan)
yang
berupaya
untuk
melestarikan,
memanfaatkan
dan
mengembangkan berbagai potensi alami yang dapat menjadi suatu wadah aktifitas masyarakat di dalam kawasan hutan dan masyarakat umum dalam rangka pengenalan, menanamkan rasa cinta dan rasa kepemilikan. Aktivitas ini menurut Kantor Wilayah Kehutanan Sulteng (1997) dilakukan melalui beberapa pola antara lain : 1. Melestarikan berbagai potensi flora, fauna dan ekosistem hutan existing dalam
dan
sekitar
hutan
TAHURA
Sulteng
sebagai
kekayaan
keanekaragaman hayati yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya. 2. Memanfaatkan berbagai potensi flora dan fauna dan ekosistem existing yang berada di sekitar dan dalam hutan sebagai kekayaan keanekaragaman hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, ekonomi dan pendidikan. 3. Mengembangkan berbagai potensi flora, fauna dan ekosistem hutan existing yang berada sekitar dan dalam kawasan hutan sebagai kekayaan keanekaragaman hayati yang dapat dinikmati sebagai wahana dalam berbagai aktifitas sosial, ekonomi dan budaya termasuk kegiatan rekreasi dan olah raga.
89
Taman Hutan Raya (TAHURA) SULTENG dikukuhkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 24/Kpts-II/1999, menetapkan status, tata batas dan luas menjadi 7.128 (Tujuh Ribu Seratus Dua Puluh Delapan) hektar. Dari luasan yang tertata batas saat ini termasuk dalam wilayah Kota Palu seluas 4.696,27 Ha, dan Wilayah Kabupaten Donggala seluas 2.431,73 Ha. Keputusan ini merupakan pembaharuan dari Surat Keputusan No. 461/KptsII/1995 dengan luas keseluruhan 8.100 ha, dengan nama TAHURA PALU. Pengukuhan kawasan hutan sejak dimulai dengan penunjukan kawasan hutan per propinsi pada tahun 1982-an yang dikenal dengan istilah Tata Guna Hutan Kesepakatan (Depatemen Kehutanan, 2004). Saat ini Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) sudah tidak digunakan dan diganti dengan penunjukan kawasan hutan dan perairan propinsi dengan merujuk pada SK Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003. Surat Keputusan tersebut dibuat berdasarkan masukan pemerintah daerah dalam bentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi
(RTRWP)
yang
dipaduserasikan
dengan
kepentingan
Departemen Kehutanan atau dikenal dengan TGHK baru. Untuk Propinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Sulawesi Tengah, di dalam pasalnya memuat Taman Hutan Raya (TAHURA) SULTENG. Keputusan-keputusan yang menjadi acuan penetapan kawasan hutan sebagai berikut : ¾ SK Menhut No. 634/Kpts-II/1996 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan. ¾ SK Menhut No. 635/Kpts-II/1996 tentang Panitia Tata Batas. ¾ SK Menhut No. 613/Kpts-II/1997 tentang Pedoman Pengukuhan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Perairan. ¾ SK Menhut No. 48/Kpts-II/2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan. ¾ SK Menhut No. 70/Kpts-II/2001 tentang tentang Penetapan Kawasan Hutan, Pereubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan.
90
¾ SK Menhut No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan. Proses pelaksanaan tata batas, penetapan luas dan status tidak melalui sosialisasi terlebih dahulu, baik terhadap masyarakat di dalam/sekitar kawasan maupun
kepada
stakeholder
yang
berkepentingan
terhadap
sumberdaya
TAHURA, dan pemerintah dalam hal ini bertindak sepihak. Sementara dalam TGHK baru pada dasarnya untuk penunjukan kawasan hutan tidak menghilangkan hak seseorang atau kelompok masyarakat atas tanahnya yang berada pada wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan hutan (Departemen Kehutanan, 2004). Dengan mengacu pada isi keputusan tersebut maka pelaksanaan rekonstruksi kembali tata batas kawasan hutan TAHURA SULTENG masih memungkinkan untuk dilakukan dengan pelibatan para pihak (stakeholders), duduk satu meja (molibu). Hasil wawancara dengan informan yang memiliki interest termasuk penentu kebijakan bahwa untuk pengembangan ke depan agar TAHURA dapat berkesinambungan, pihak pengelola (Dinas Kehutanan) harus berani melakukan rekonstruksi total tata batas, dan dalam proses rekonstruksi tersebut harus melibatkan penuh masyarakat di dalam kawasan dan stakeholders terkait untuk menyusun perencanaan bersama11. Hal yang sama disampaikan Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah VI Sulawesi bahwa pengelolaan TAHURA harus dilakukan secara khusus dengan membentuk Unit Pengelolaan Teknis Daerah (UPTD) dan masyarakat sebagai subyek harus masuk dalam organik sebagai representasi komunitasnya. Kemandegan TAHURA disebabkan antara lain belum transparannya pengelola terhadap stakeholders khususnya masyarakat lokal penghuni dalam kawasan yang secara defakto telah memiliki sumberdaya, memelihara dan memanfaatkannya untuk kehidupan secara turun temurun.
5.5. Kebijakan Konservasi Kawasan TAHURA Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Paimbonan dkk dalam Bappeda (2003) mengenai Rancangan Teknik Detail Rehabilitasi Lahan dan 11
Wawancara dengan Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Palu_Poso, Ir. Trimujono Admomartono, April 2006.
91
Konservasi Tanah Sub DAS Kavatuna seluas 10.000 Ha. Penentuan ini didasarkan atas kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung dan kawasan produksi yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan N0. 683/Kpts/Um/8/1981 dan Keputusan Presiden No. 48/1983. Ketiga keputusan tersebut menekankan pada tiga faktor yang harus diperhatikan yakni (a) Kelerengan tanah, (b) Jenis tanah menurut kepekaannya, dan (c) Curah hujan ratarata harian. Kebijakan
tersebut
dilakukan
sebelum
dikeluarkannya
kebijakan
penetapan kawasan Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan lokasi PPN 30 menjadi TAHURA Sulawesi Tengah. Untuk menindaklanjuti kebijakan tersebut, pihak PDAM melakukan introduksi program berupa pemasanagan pipa air dan pembangunan bak-bak air pada masing-masing kawasan yang membutuhkan kontribusi air untuk kesinambungan kehidupan tanaman-tanaman konservasi yang diintrodusir pada program sejuta pohon yang secara seremoni dilakukan pada Pekan Penghijauan Nasional (PPN) 30 di Kapopo. Untuk mewujudkan program besar ini pihak pemerintah daerah melakukan pengembangan sebagian kawasan ini untuk sektor pariwisata untuk dapat memberikan pemasukan bagi daerah, dan menyerahkannya kepada Dinas Pariwisata sebagai pelaksana teknis, melalui Surat Keputusan Nomor: 188.44/1400/Dis 1200 PAR-G.57/2003.
Dalam tataran implementasi sangat
menyedihkan, fasilitas yang dibangun hanya untuk kepentingan sesaat, ”proyek oriented”. Kondisi saat ini fasilitas yang dibangun dengan biaya mahal telah menjadi tempat berlindungnya hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing dikala hujan dan tidak pernah ditemukan seorangpun pengelola di dalam kawasan ini selama penelitian.
5.6. Keterlibatan Stakeholder dalam Proses Penetapan TAHURA. Proses penetapan TAHURA menjadi kawasan pelestarian alam merupakan integral kebijakan pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Tengah melalui Gubernur yang salah satu dasar pertimbangan bahwa pengembangan Kota Palu ke depan akan diarahkan pada wilayah bagian Utara dan Timur Kota Palu. Konsekwensi dari kebijakan ini adalah banyaknya lahan-lahan milik masyarakat yang dialihfungsikan pemanfaatannya dari lahan penggembalaan dan kebun jagung
92
dikala hujan, menjadi tempat pembangunan sarana dan prasarana seperti Kampus Universitas Tadulako, yang telah mengambil lahan masyarakat sebesar 250 Ha, tanpa ganti rugi. Demikian pula halnya lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk pemukiman transmigrasi Lingkungan Industri Kecil (LIK) yang saat ini telah didefinitifkan menjadi kelurahan Layana Indah. Lokasi pemukiman tersebut sebelumnya adalah lahan kebun jagung masyarakat dan areal penggembalaan ternak sapi, kambing dan domba masyarakat Vintu dan Dupa Indah. Karena areal tersebut termasuk dalam wilayah pengawasan Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Gubernur No. SK.239/591/IX/1987 yang ditanda tangani oleh Abdul Azis Lamadjido, SH ; maka penempatan warga transmigran-pun tidak dilakukan konsolidasi dan konsultasi dengan masyarakat. Pada era tersebut keputusan pemerintah segalagalanya, bagi yang melakukan kritik dianggap suversif, sehingga sulit mendapatkan political will terhadap masyarakat miskin yang jumlahnya terbesar dari penduduk keseluruhan Kota Palu hingga sekarang. Dengan situasi ini maka berbagai tanggapan dari para pihak sebagai bentuk responsibilitas individu sebagai pejabat atau bagian dari pengambil kebijakan di daerah. Banyak komentar yang dilontarkan ketika dilakukan dialog (diskusi) dengan mereka, setelah kebijakan kawasan ini diserahkan kepada pemerintah daerah c/q Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Sikap tersebut merupakan bentuk kepedulian yang tidak memiliki akses langsung, sehingga mengharapkan pengelolaan kawasan perlu melibatkan stakeholders, dengan masukan-masukan konstruktif yang perlu mendapat umpan balik dari pemegang wewenang, disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17. Stakeholders Petani, pdlg emas, perotan Bapedalda
Keterlibatan stakeholders dalam proses tata batas TAHURA SULTENG Aspek keterlibatan
Tanggapan/Komentar
Sumber Informasi
Tidak terlibat
Pemerintah bertindak sepihak
Responden
Tidak terlibat
¾ Kawasan TAHURA perlu dipertahankan. ¾ Perlu sosialisasi intensif ¾ Konservasi tetap digalakkan sesuai dengan konsep bersama. ¾ Tidak layak untuk dilakukan eksploitasi apapun bentuknya.
Drs. Said Awad, MH (Kepala BAPEDALDA SULTENG)
93
BKSDA
BP-DAS
Terlibat, perencanaan awal, site plan – implementa si sebelum diserahkan ke pemda. Terlibat, perencanaan -site plan
BAPPEDA SULTENG
Terlibat, dalam penyusunan draf Peraturan daerah tentang RTRWP Sulteng.
LSM Perkum pulan Bantaya
Tidak terlibat dan tidak dilibatkan
Dinas Kehutanan
Pengendali dan pemegang hak pengelolaan
DPRD Propinsi
Penetapan PerDa
¾ Kawasan tersebut, daerah jalur penerbangan pesawat penumpang. ¾ Harapannya dapat berlanjut dan semua pihak bisa terlibat. ¾ Secara teknis selalu memberikan masukan kepada Dinas Kehutanan ¾ Pemerintah daerah belum konsern mengelola TAHURA. ¾ Perlu dibentuk secepatnya UPTD (Unit Pengelola Teknis Daerah). ¾ Kesinambungan program, harus melibatkan masyarakat dalam kawasan. ¾ Pengelolaan masih dilakukan sektoral oleh instansi teknis. ¾ Untuk menghindari konflik, perlu rekonstruksi total tata batas kawasan. ¾ Dinas kehutanan harusnya melakukan implementasi program bersama masyarakat. ¾ Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam kelompok pengelola sebagai kontrol pengamanan TAHURA dengan pendekatan budaya. ¾ Secara khusus TAHURA belum dibuat Perdanya, telah termuat dalam salah satu pasal pada Perda No. 2 Tahun 2004. ¾ Untuk keberlanjutan pelestarian, rencana eksploitasi tambang emas di Poboya di tolak. ¾ Rencana pembukaan jalan poros ParigiPalu, melintasi TAHURA tidak disetujui Gubernur krn merusak ekosistem (dlm pidato tertulis). ¾ Tidak ada pengakuan terhadap masyarakat lokal, secara de fakto memiliki sumberdaya. ¾ Kawasan hutan tetap, perlu dirubah adalah peraturan. ¾ TAP MPR No. IX/2001 ttg pembaruan agraria, UU/peraturan bertentangan otomatis tidak berlaku termasuk UU Kehutanan. ¾ Perlu dilakukan lokakarya sekaligus perumusan dan seklaigus produk kebijakan TAHURA. ¾ Belum ada kegiatan yang signifikan, dan penetapan dilakukan sepihak tanpa melibatkan masyarakat. ¾ Izin untuk pemanfaatan sumberdaya alam TAHURA belum diberikan kepada siapapun. ¾ Perda TAHURA secara khusus belum ada. ¾ TAHURA termuat salah satu pasal dalam Perda No. 2 Thn 2004.
Kepala BKSDA Wil VI Sulawesi : Ir. Istanto, M.Sc dan Ir. Toran Lamban Tobing. Kepala BPDAS PaluPoso : Ir. Trimuljono Admomartono.
Sekretaris Bappeda : Sakina, SE dan Ardin T.Tayeb, SE.MT (Kasie Tata Ruang Daerah). Hedar Laudjeng, SH
Kepala Dinas Kehutanan : Ir. Chairul Anantha dan Kasubdin KPA : Ir. Jein. Pimpinan Dewan :H. Helmy D. Yambas, SE
94
Pelaksanaan kegiatan tata batas berdasarkan Surat Tugas Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah, Nomor
5.98/II-5/KW-PL/88. (dulunya
Kantor Wilayah). Dinas Kehutanan dalam hal ini sebagai pemegang kendali dan pemegang hak pengelolaan. Penetapan dan pemasangan tapal batas TAHURA dilakukan sejak Tahun 1986-1987, lalu dilanjutkan pada Tahun 1996-1997, dan kemudian tapal batas permanen Tahun 1999-2000 untuk proyek Pengelolaan Khusus dan TAHURA.
5.7. Analisis Right, Responsibility, Revenues dan Relationship (4 R). 5.7.1. Hubungan Stakeholder dalam Pengelolaan TAHURA SULTENG Pengelolaan suatu kawasan berupa TAHURA tidak dapat berjalan secara harmonis
dan
berkesinambungan
manakala
tidak
dilaksanakan
secara
komprehenship dan pola kolaboratif. Stakeholder yang berkepentingan merupakan elemen penting yang tidak bisa diabaikan dalam proses pengelolaannya. Masyarakat komunitas lokal yang berdomisili di kawasan ini dapat dijadikan baromater untuk menilai perkembangan kawasan dari waktu ke waktu, terutama dalam aspek perubahan tutupan lahan dan degradasi dan deforestasi. Mereka yang lebih
mengetahui
dan
memahami
kawasannya
dimana
mereka
hidup.
Sumberdaya alam khususnya hutan bagi masyarakat lokal adalah sumber penghidupan yang sangat erat kaitannya baik dari aspek emosional maupun empirik. Dalam proses pengelolaannya juga ditentukan oleh hubungan-hubungan emosional, hubungan kelembagaan dan hubungan kekerabatan yang melakukan aktivitas sosial dan ekonomi. Hubungan-hubungan antar stakeholder belum terbangun suatu pola yang konsern dengan pengembangan TAHURA sebagai kawasan/daerah penyangga untuk Kota Palu dan sekitarnya. Hubungan stakeholder khususnya bagi pengendalian sosial umumnya dilakukan antara individu atau antar orang. Pengendalian merupakan salah satu fungsi pencipta kondisi bagi kepribadian manusia. Manusia tidak melakukan sesuatu secara serta merta, akan tetapi kemungkinan besar berdasarkan kesadaran (Soekanto dan Tjandrasari, 1987). Dari sejumlah stakeholder yang memiliki interest di TAHURA, hampir bahkan tidak ditemukan adanya hubungan yang dilakukan melalui program bersama di dalam kawasan hutan TAHURA dengan pelibatan masyarakat secara
95
partisipatif. Keikutsertaan yang diberikan sesuai dengan kemampuannya adalah sesuatu yang perlu diapresiasi dan diberikan penghargaan, namun sampai akhir penelitian tidak satu-pun informasi baik dari komunitas masyarakat lokal maupun stakeholder lain seperti LSM, Lurah/Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RT, menyampaikan keharmonisan dimaksud. Dari hasil simulasi yang dilakukan bahwa hubungan-hubungan baik secara individu (aktor) maupun kelembagaan berbeda dari setiap komunitas yang berada di dalam kawasan TAHURA. Hubungan-hubungan tersebut dapat dilihat dari hasil simulasi berikut ini : 5.7.1.1. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Tmur. BKSDA Camat Dishut
DPRD Masyarakat
Distamen
LSM
Lurah
PDAM
Untad Gambar 11. Simulasi hubungan kelembagaan dengan diagram venn, di komunitas masyarakat Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur.
Keadaan yang digambarkan komunitas masyarakat Vatutela dalam simulasi di atas menunjukkan tidak adanya komunikasi yang dilakukan baik dari stakeholder di luar pemerintah maupun pihak pemerintah, kecuali Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Institusi di luar LSM melakukan aktivitas pembangunan
bersangkutan
yang
berkaitan
dengan
pengembangan
kemasyarakatan sangat jarang melakukan proses komunikasi baik kelompok kecil di masyarakat maupun kolektif. Dari gambaran tersebut menunjukkan kurang harmonisnya hubungan antar komunitas masyarakat dalam kawasan dengan Dinas Kehutanan yang secara kelembagaan bertanggung jawab dengan penetapan tata batas TAHURA, di dalamnya lahan masyarakat. Hubungan-hubungan antara stakeholder, menunjukkan tidak adanya koordinasi dan komunikasi yang
96
dilakukan mengenai keberadaan TAHURA. Sementara kawasan ini adalah sumber penghidupan masyarakat di dalam/sekitar kawasan, juga bagian dari ekosistem TAHURA. Dari hasil pengembangan diskusi terfokus (FGD) komunitas masyarakat lokal Vintu bahwa TAHURA diartikan sebagai Taman Hutan Rakyat. Pengertian ini membuat gerang dan marah terhadap pemerintah yang sewenang-wenang melakukan klaim terhadap lahan mereka. Bahkan ada yang memahaminya hutan tersebut dijadikan Taman Rakyat oleh pemerintah. Komunikasi yang tidak terjalin antara masyarakat dan pemerintah sebagai pemegang hak kelola, hal tersebut menjadi krusial ketika kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melakukan aktivitas kemasyarakatan dan memberikan informasi yang tanggung. Informasi yang disampaikan kelompok ”LSM” mengindikasikan bahwa pemanfaatan sumberdaya dalam kawasan tersebut sepenuhnya akses masyarakat lokal dan atau komunitas masyarakat adat dalam situasi tertentu tidak dapat optimal. 5.7.1.2. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di Vintu Kelurahan Layana Indah Kecamatan Palu Timur. Dishut Palu
Disos Dishut Prop.
Gambar 12.
P.kop
Pol Masyarakat
Binsa LSM
Diskes
B.dal da
PPL
Simulasi hubungan stakeholder pada komunitas masyarakat Vintu Kelurahan Layana Indah Kecamatan Palu Timur.
Pola hubungan yang terjadi pada komunitas masyarakat lokal Vintu berbeda dengan komunitas masyarakat di tempat lain yang masuk dalam kawasan TAHURA.
Dari simulasi yang diperlihatkan di atas bahwa yang melakukan
interaksi dengan masyarakat justru institusi-institusi yang secara formal dan tidak memiliki wewenang terhadap kebijakan TAHURA.
Informasi tentang lahan-
lahan masyarakat vintu yang masuk di dalam kawasan TAHURA justru
97
disampaikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) disaat melakukan aktivtas pemberdayaan masyarakat di komunitas tersebut. Gambar simulasi di atas menunjukkan bahwa institusi yang melakukan interaksi dengan masyarakat adalah sektoral sifatnya, antar instansi tidak pernah melakukan koordinasi baik pada level pengambil kebijakan maupun dalam tataran impelementasi. Instansi berjalan sendiri-sendiri dan enjoi dengan program sektoralnya, yang tujuannya hanya sekedar memenuhi target proyek. Indikator yang dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan bersifat proyek oriented berupa plotplot percontohan dilakukan sendiri oleh instansi bersangkutan bersama PPL-nya tanpa
dibangun komitmen bersama dengan masyarakat sebagai pelaku dan
sasaran program, seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Peternakan, Perkebunan dan Kehutanan Kota Palu pada komunitas masyarakat Vintu. Masyarakat berpandangan, proyek tersebut diciptakan untuk tujuan instansi bersangkutan,
dimana
masyarakat
berasumsi
mereka
dijadikan
obyek.
Indikatornya bahwa memasukkan proyek ini tidak dilakukan konsultasi publik (komunikasi dan dialog) sebelumnya, masyarakat suka atau tidak suka harus menerimanya.
Contoh dalam penetapan lokasi proyek, tidak perlu mendapat
persetujuan masyarakat pemilik lahan, penetapan instansi pemerintah (dinas teknis bersangkutan) sudah yang terbaik. Stakeholder selama keberadaan TAHURA belum pernah melakukan interaksi dengan masyarakat, walaupun ada program yang dilakukan stakeholder bersangkutan di lingkungan Vintu kawasan Bulu Bionga. Stakeholder yang berkepentingan terutama pihak pemerintah mengintroduksi program sektoralnya tanpa menjadikan masyarakat sebagai mitra dalam proses penyelenggaraan program, tetapi sebagai obyek bagi pembangunan proyek bersangkutan. 5.7.1.3. Komunitas Masyarakat Kaili Tara di Bunti Pobau Keluarahan Poboya Kecamatan Palu Timur. BKSDA Camat
DPRD Distamen
Masyarakat
Dishut Palu
Lurah
PPL
PDAM
Gambar 13. Simulasi Hubungan stakholders di Komunitas Masyarakat Bunti Pobau Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur
98
Hasil simulasi yang dilakukan masyarakat lokal yang beraktivitas sebagai petani bawang di Bunti Pobau Kelurahan Poboya, yang juga dijadikan sebagai lokasi penghijauan yang dikenal dengan PPN 25, 26, dan 29, menunjukkan bahwa peran pemerintah sangat kecil untuk melakukan proses pengembangan usaha perekonomian petani, sementara produksi bawang merah petani di kawasan ini cukup memadai. Tanpa intervensi pemerintah saja pendapatan dari produksi bawang merah antara 2,5 sampai 9 juta per kepala keluarga per panen. Komunitas masyarakat lokal di kawasan ini juga adalah masyarakat adat Kaili Tara. Kepemilikan lahan di wilayah ini secara de fakto sejak sebelum negara Republik Indonesia terbentuk. Beberapa indikator yang dapat ditunjukkan berupa tempat-tempat atau lokasi diberikan nama dan tanda-tanda bekas pemukiman berupa pekuburan Pomene. Selain pekuburan, lokasi-lokasi di daerah ini telah memiliki nama seperti Bunti Lari, Kapu’a, Sigogo, Rima-rima, Tanunggu, Lelona, Pompole Rogo, Pogimba, Pobau (tempat membuat adat), Songgoraka, Tanibo, Marambu, Masinoe, dan Bosena. Tanaman-tanaman masyarakat yang dapat dijadikan bukti hak milik adalah kemiri, mangga, kelapa, durian, kopi dan lain-lain. Tanaman-tanaman tersebut menunjukkan bukti tanaman leluhur komunitas masyarakat adat Tara. Tanaman tersebut perlu dilindungi karena merupakan sumber penghidupan masyarakat. Klaim tanah yang dilakukan pihak pemerintah dan melarang adanya aktivitas di dalamnya, merupakan perampasan hak atas tanah ulayat dan tanah individu masyarakat, yang dijadikan kawasan cagar alam. 5.7.1.4.
Komunitas Masyarakat Kaili Tara di DAS Poboya Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur. BKSDA
DPRD
Camat Lurah LSM
Dishut
Distamen
Masyarakat
CPM
P.rot an
Gambar 14. Simulasi Hubungan stakholder di Komunitas Masyarakat Hulu DAS Pondo dam Bunti Pobau Kelurahan Poboya Kecamatan Palu Timur
99
Hasil simulasi yang ditunjukkan pada gambar 14 di atas bahwa interaksi hubungan antar stakeholder sangat sektoralis dimana masing-masing melakukan aktivitas program sangat jarang melakukan koordinasi. Aktivitas yang diperoleh beberapa stakeholder agar mendapatkan akses di TAHURA melalui masyarakat berupa berbagai provokasi program seperti halnya konsorsium LSM yang menamakan dirinya sebagai Koalisi ORNOP untuk Hutan Sulawesi Tengah disingkat KORAN. Stakeholder lain melakukan program sektoral berupa memberikan
bantuan
kepada
masyarakat
sebagai
investasi
sosial
agar
mendapatkan akses terhadap hutan di TAHURA. Untuk akses terhadap sumberdaya alam seperti pertambangan emas, bagi PT. Citra Palu Minerals (CPM) dari Rio Tinto Group mendapatkan legitimasi untuk mengakses sumberdaya TAHURA melalui Pemerintah Daerah untuk melakukan eksplorasi dan menentukan titik-titik pemboran dalam kawasan. Dalam proses ini menimbulkan konflik horisontal antara sesama masyarakat yang tidak mau menerima kehadiran perusahaan tersebut untuk mengeksplorasi dan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam di wilayah mereka. Bagi kelompok yang berpihak kepada PT. CPM adalah mereka yang telah melakukan hubungan-hubungan sosial dan mendapatkan kapital (kekuatan) untuk menekan masyarakat yang menolak kehadiran pertambangan. Dari penekanan-penekanan yang dilakukan dari pihak pendukung CPM, menimbulkan konflik horisontal bahkan vertikal. Kehadiran Dinas Pertambangan dan CPM adalah sumber konflik berdarah di kawasan Poboya Kecamatan Palu Timur. Dari fenomena sosial yang krusial ini menyebabkan konflik fisik (berdarah) antara sesama warga yang mendapat suplai dari pihak perusahaan dengan masyarakat yang menolak pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi tambang di wilayah ini.
Kelompok
masyarakat yang menolak mendapat penguatan dari LSM melalui lokakarya dan aktivitas bersama menyusun perencanaan pemanfaatan kawasan untuk dijadikan bahan masukan kepada Pemerintah Daerah c/q Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Lokakarya yang dilakukan tanggal 30 Mei sampai 1 Juni 2006 dengan topik cara Kelola TAHURA Berbasis Komunitas, yang dihadiri oleh perwakilan masing-masing komunitas masyarakat dengan enam poin kesepakatan (Koran, 2006) sebagai berikut :
100
1.
2. 3. 4. 5. 6.
Masyarakat pengolah dan pemanfaat hasil hutan non kayu (rotan, damar, madu dll), mendapatkan dukungan dan perlindungan dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah atas dasar keberlanjutan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan TAHURA. Di kawasan TAHURA tidak ada penambangan (batu, pasir, emas dll), kecuali dilakukan dengan praktek-praktek kearifan tradisional yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Penempatan tapal batas TAHURA harus melibatkan masyarakat. Keterlibatan pemerintah dalam mengelola TAHURA sangat dibutuhkan apabila memperhatikan azas manfaat yang besar bagi kepentingan mayarakat. Reboisasi di TAHURA harus menggunakan tanaman produktif. Mendesak kepada pemerintah untuk merevisi hasil tapal batas TAHURA dengan melibatkan masyarakat se-tempat.
Jika dimaknai keenam poin di atas, sepenuhnya wewenang di pihak masyarakat. Dengan fenomena yang ada sekarang perlu penelaahan lebih cermat dan belajar dari pengalaman yang terjadi pada kawasan Dongi-dongi Taman Nasional Lore Lindu, berakhir pada open akses yang kebablasan. Keterlibatan para pihak dalam proses pengelolaan TAHURA perlu membangun komitmen dan tanggungjawab berkaitan dengan keberlanjutan integritas kawasan. Pemanfaatan potensi sumberdaya kawasan berupa kandungan tambang emas, perlu pengaturan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan hak-hak alam juga menjadi perhatian yang serius bagi para penambang. Praktek penambangan rakyat dengan menggunakan teknologi sederhana yang tidak berdampak pada kerusakan lingkungan seperti penggunaan keset kaki untuk mendapatkan emas dari hasil galian dalam sungai perlu dipertahankan, dan penggunaan teknologi seperti ini perlu diatur melalui mekanisme keadatan. 5.7.1.5. Komunitas Masyarakat Kaili Tara & Ledo di Uentumbu Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan. BKSDA
Dishut Palu
Masyarakat Camat Gambar 15.
Lurah
Pdg. Rotan
DPRD Dishut Prop. PDAM
Simulasi Hubungan stakeholder di Komunitas Masyarakat Uentumbu Kelurahan Kavatuna Kecamatan Palu Selatan
101
Komunitas masyarakat lokal Uentumbu Kelurahan Kavatuna memiliki kelompok usaha rotan. Kelompok tersebut mengkhususkan diri sebagai kelompok yang sumber pendapatannya dari hasil rotan. Kelembagaan kelompok ini mendapat dukungan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palu berupa bantuan
dana
untuk
kelompok
baik
penguatan
kelembagaan
maupun
pengembangan usaha. Selain dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palu, juga mendapat supporting program dari Lurah dan pemerintah kecamatan. Pemasangan tapal batas oleh Dinas Kehutanan pada Tahun 1997 tidak dilakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat di kawasan ini. Personil yang ditugaskan merekrut dua orang warga masyarakat lokal di Uentumbu (Sanarudin/56 thn dan Desa/52 thn) sebagai tenaga kerja dengan upah per harinya Rp.4.000 (empat ribu rupiah) selama satu bulan. Setelah pemasangan tapal batas tersebut, kedua warga ini diberikan insentif sebesar Rp. 40.000 (empat puluh ribu) per bulan selama tiga bulan untuk menjaga dan mengawasi tapal batas yang telah terpasang di kawasan Hulu Sungai Mamara Kavatuna. Untuk mendukung kebijakan TAHURA tersebut, pihak Pemerintah Daerah melalui PDAM melakukan pemasangan pipa dan pembuatan bak-bak air pada masing-masing kawasan yang dianggap kritis (kekurangan) air yang akan digunakan untuk menanam pohon yang akan ditanam berupa penghijauan dan reboisasi dari Departemen Kehutanan. Dalam kegiatan ini pihak PDAM melakukannya tanpa melibatkan masyarakat sehingga nampak saat ini campuran semen yang berserakan berbentuk segi empat (bekas bak) dan sebagian tinggal puing-puing semen. 5.7.1.6. Komunitas Masyarakat Kaili Ledo di Tompu Desa Ngata Baru (Kapopo) Kecamatan Biromaru Kabupaten Donggala. Dishut Prop.
Camat
BKSDA LSM Masyarakat
Kades
P. Rotan
Gambar 16. Simulasi Hubungan stakholder di Komunitas Masyarakat Tompu Desa Ngata Baru Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
102
Masyarakat
Tompu atau lebih dikenal dengan sebutan To ri Tompu
mendiami kawasan pegunungan Bulili, tepatnya arah Timur dari Desa Ngata Baru (Kapopo) Kecamatan Sigi-Biromaru Kabupaten Donggala. Tompu berjarak 10 km dari Ibukota Kecamatan Sigi-Biromaru, 50 km dari Ibukota Kabupaten Donggala dan hanya 15 km dari Kota Palu Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah. Tompu adalah Desa Tua sebelum Indonesia merdeka, dan dikenal sebagai Desa Adat atau Ngata topo ada’ (Karim, at al, 2005). Masyarakat Tompu dalam melakukan hubungan sosial selalu dituntun dengan etika sosial yang meurut adat dalam bertutur kata haarus mengikuti kaidah yang diajarkan tetua (totua ada’). Komunitas masyarakat lokal Tompu yang dalam hubungan sosial memiliki kesadaran
yang
tinggi.
Kesadaran
sosial
individu
terhadap
kelompok
(komunitasnya) merupakan suatu aspek penting dalam proses pengendalian sosial maupun perkembangan kepribadian. Perilaku ini merupakan suatu kesadaran manusia terhadap tindakan fihak lain terhadap komunitasnya dan terhadap pelbagai jenis perilaku (Tjandrasari dan Soekanto, 1987). Kesadaran ini (protes terhadap sesuatu) muncul tatkala tim pengukur tapal batas kawasan TAHURA datang melakukan aktivitas di wilayahnya dengan menggelar tenda di halaman Kepala Dusun Kalinjo-Tompu tanpa melakukan konsultasi dan pemberitahuan.
Keadaan ini merubah suasana dan pemikiran
komunitas masyarakat adat dan bereaksi terhadap obyek dengan situasi yang berbeda dari sebelumnya. Kesadaran ini tidak hanya mencakup kesadaran akan reaksi pihak lain terhadap perilaku kelompok dalam komunitas masyarakat, tetapi kemampuan untuk membayangkan reaksi apa yang akan tinbul terhadap perilaku pendatang yang datang melakukan pengukuran di lahan-lahan komunal dan individu (warga). Dampak dari timbulnya kesadaran sosial, individu menyadari akan posisinya secara relatif dalam suatu kelompok atau komunitas adat. Individu merasakan dan menyadari akan lebih terhormat, berprestasi dan harga dirinya akan terpelihara jika kesadaran untuk melakukan aksi diserahkan kepada institusi adat untuk mengakomodirnya. Dengan demikian dia menganggap dirinya mempunyai suatu kedudukan tertentu yang merupakan unsur yang sangat kuat dalam pengendalian sosialnya.
Pengendalian sosial dari individu dalam
komunitas ini cenderung mentaati pola perilaku yang melembaga dan menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak disukai kelompok atau komunitasnya.
Kepercayaan pada pola perilaku yang telah melembaga ini
merupakan hasil pengalaman sosial dan partisipasinya dalam kelompok. Akan
103
tetapi masih ada sebagian kecil dalam kelompok yang terbatas kemampuannya dalam memahami aturan-aturan yang telah disepakati dalam institusi adat sehingga melanggarnya. Totalitas perubahan kesadaran ini merupakan hasil dari proses interaksi dengan pihak luar yang memakan waktu cukup lama. 6.7.1.7. Komunitas Masyarakat Kaili Ledo di Raranggonau (Tanalando) Desa Pumbeve Kecamatan Biromaru Kabupaten Donggala. Hasil simulasi di komunitas masyarakat Tanalando di bawah ini berbeda dengan beberapa komunitas lainnya yang ada dalam kawasan TAHURA. Kontak yang dilakukan oleh pihak kecamatan, maupun pihak Kabupaten dan Propinsi berkaitan dengan program sektoral khususnya dengan status kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), tapal batas kawasan TAHURA bergeser ke arah Utara. Pemukiman Tanalando masuk dalam areal HPT, namun sebagian lahan-lahan kebun masyarakat masuk dalam kawasan TAHURA. BKSDA
Distan
Dishut Prop.
Camat Masyarakat Kades
DPRD
Disos
P. Rotan
Gambar 17. Simulasi Hubungan stakholder di Komunitas Masyarakat Raranggonau Desa Pumbeve Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.
Pola bertani masyarakat Tanalando, dalam membuka lahan tidak semua pohon ditebang, disisahkan sebahagian pohon-pohon khususnya yang berdiameter di atas 60 cm. Tujuannya untuk pelindung tanaman coklat dan sebagai penyangga jika terjadi hujan khususnya lahan-lahan yang berada pada kemiringan. Untuk komunikasi/interaksi dengan pihak luar, komunitas ini lebih sering dikunjungi seperti pemerintah desa, kecamatan dan instansi sektoral seperti petugas lapangan dari Dinas Kehutanan dan pedagang rotan.
Mereka ini
melakukan kontak langsung dengan masyarakat Tanalando. Instansi lain datang hanya berkunjung, tetapi tidak melakukan kontak langsung dengan masyarakat.
104
Komunikasi hanya dilakukan dengan kepala Desa Pumbeve dan Kepala Dusun, berkaitan dengan program yang akan digulirkan di komunitas ini.
5.7.2.
Hak Pemanfaatan Sumberdaya Alam TAHURA. Hak pemilikan (Property right) untuk memanfaatkan sumberdaya alam
bagi masyarakat komunitas lokal didasarkan pada konsep de jure dan de fakto. Hak kepemilikan (property right) yang dilegalisasi oleh pemegang hak yang diwariskan negara adalah pemerintah.
Pemerintah melalui Departemen
Kehutanan mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan property right mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan kepentingan para stakeholder. Hutan bukan hanya sebagai sumberdaya alam yang menunjang pembangunan ekonomi, tetapi sebagai sumberdaya alam yang menunjang pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup (keseimbangan ekosistem). Kebijakan yang bersifat sentralistik, tanpa ada mekanisme bagi masyarakat untuk memberikan apresiasi (umpan balik), kurang berhasil dalam mengakomodir kepentingan stakeholder maupun masyarakat di dalam kawasan hutan. Pemerintah tidak cukup hanya mengandalkan informasi mengenai karakteristik lokal sumberdaya hutan dan lingkungannya sebagai landasan pengambilan keputusan dan pengendalian (Ichwandi, 2003). Hak pemanfaatan bisa juga terkait dengan eksploitasi ekonomi sumberdaya (Dietz, 2005). Hak dalam prakteknya tidak selalu harus menentukan siapa yang dizinkan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.
Hak
sekurang-kurangnya mengandung tiga komponen yaitu subyek hak, obyek hak, dan jenis haknya.
Selanjutnya dalam sistem tenurial penting diketahui siapa
yang memiliki hak (de jure) atas sumberdaya dan siapa dalam kenyataannya (de fakto) menggunakan sumberdaya. Pada hakekatnya terdapat empat (4) jenis property right
terhadap
sumberdaya yang berbeda satu sama lain, yaitu milik priadi (private property), milik umum atau bersama (common property) milik negara (state property), dan tidak bertuan (open access).
Jenis-jenis property right
tersebut, TAHURA
SULTENG mengakomodasi ketiganya kecuali open acces. Secara normatif
105
sumberdaya hutan tidak terdapat kawasan open acces karena semua kawasan hutan di Indonesia adalah dikuasai oleh negara atau state property. Dari 52 informan yang dicoba dieksplorasi informasinya terdapat 3 responden atau sebesar 5,76 % yang memiliki hak milik secaraa de jure. Selebihnya kepemilikan de fakto sebesar 94,24 % atau sebanyak 48 responden. Hak de fakto tersebut diwarisi dari leluhur/tetua yang menurun secara terstruktur dari generasi ke generasi berikutnya. Kepemilikan yang ada bagi masyarakat lokal di dalam kawasan TAHURA, karena pengakuan adat, hubungan sosial dan kekerabatan yang terjalin di masyarakat secara harmonis. Kontrak sosial yang ada di antara sesama warga masyarakat hanya karena dilatari komitmen moral dan mempercayai serta meyakini amanah atau pesan-pesan yang ditinggalkan generaasi sebelumnya atau orang tua bersangkutan. Dengan kondisi terkini saat ini yang menjadi polemik bahkan konflik adalah penetapan hak terhadap masyarakat lokal yang belum ada ketegasan pemerintah atau dengan perkataan lain bahwa pihak pemerintah hanya mengakui hak sesorang jika dibuktikan dengan legal fomal berupa izin, sertifikat dan sejenisnya, dan ini banyak terjadi di dalam kawasan hutan oleh pemerintah menetapkan kebijakan tanpa memperdulikan masyarakat yang ada di dalamnya. Sementara pemilikan yang ada di masyarakat khususnya di luar Jawa dan Madura, kebanyakan hak kepemilikan ditetapkan berdasarkan hubungan-hubungan sosial dan adat atau konvensi. Dalam berbagai fenomena yang ada, dan tragedi berdarah karena perebutan hak, Kartodihardjo (2005) menyatakan bahwa penetapan hak secara tepat adalah keselarasan antara hak dan kewenangan lembaga lokal (misalnya : institusi adat), serta hak dan kewenangan pemerintah. Selanjutnya dipertegas lagi, jika hal ini tidak dilakukan maka masyarakat akan menetapkan keputusan-keputusan yang diambil di luar hukum yang berlaku, dan akan membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sangat sulit bahkan tidak mungkin dijalankan. Kemandegan TAHURA SULTENG merupakan implikasi ketidak selarasan dalam menetapkan kawasan tersebut, masyarakat dipandang sebagai komponen yang tidak penting dan tidak memahami sesuatu, bahkan diasumsikan masyarakat mudah dipindahkan, jika tidak mau akan memanfaatkan semua
106
kekuatan untuk memindahkannya ke tempat lain. Keadaan ini terbukti ketika kawasan ini direncanakan akan diusulkan menjadi Taman Hutan Raya, masyarakat Tompu yang berjumlah di atas 1000-an kepala keluarga dipindahkan ke Palolo sebagai warga transmigrasi lokal yang dikenal dengan program resetlemen. Warga yang pertama dibawa dengan diberikan berbagai fasilitas adalah Kepala Desa Tompu. Hal ini dimaksudkan agar warganya tidak bisa berbuat banyak (tidak dapat melakukan perlawanan), karena pengayom selama ini sudah tidak ada lagi. Dengan keterpaksaan, sebagian ikut program yang lainnya melakukan perjalanan sendiri bergantung keinginan dimana ada kehidupan yang bisa memberikan nafkah keluarga, mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup sehari dua. Penyebaran masyarakat saat itu hampir semua wilayah ada, termasuk wilayah Parigi, sekarang telah menjadi Kabupaten Parigi Moutong.
5.7.3. Akses Stakeholder terhadap Pengelolaan TAHURA Akses menurut Ribot dan Peluso (2003) merupakan kemampuan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam bentuk benda, jasa, ilmu pengetahan, dan lainlain melalui individu, organisasi, komunitas masyarakat, kelompok tani, dan sebagainya. Stakeholders yang berkepentingan dalam pengelolaan akses sumberdaya alam Taman Hutan Raya Sulawesi Tengah, disajikan dalam Tabel 18. Kepentingan tersebut menunjukkan keragaman penggunaan akses, dan melihat mekanisme pengelolaan akses siapa dan mendapatkan apa di dalam kawasan TAHURA tersebut (Ribot dan Peluso, 2003). Petani menggunakan sumberdaya alam melalui pemanfaatan lahan yang diperoleh dan mengalir dari leluhur (nenek moyang yang menurun berdasarkan garis keturunan) antar lintas generasi. Sementara stakeholder lain berupa pemanen rotan mengakses sumberdaya hasil hutan non kayu berdasarkan hak dejure yang dimiliki seperti izin pengolahan yang diperoleh dengan membayar provisi kepada Dinas Kehutanan, dengan jangka waktu tertentu dan volume produksi yang terbatas setiap produk. Dari tujuh kawasan pemukiman di dalam dan sekitar TAHURA hak pemilikan atas sumberdaya khususnya lahan tidak ditemukan secara de jure, namun de fakto-nya masyarakat lokal Kaili telah memiliki dan mengelolanya
107
secara lintas generasi melalui pengakuan institusi adat dengan hubunganhubungan sosial yang harmoni antar individu dan komunitas masyarakat setempat. Akses tersebut telah berlangsung lama dengan kebiasaan dan prosedur lokal yang dilakukan institusi adat kepada warganya. Hal yang sama terhadap hak kepemilikan (property right) komunal atas sumberdaya berupa tanaman kopi di lahan-lahan adat yang luasnya berkisar 30 hektar yang saat ini dikuasai oleh komunitas masyarakat lokal Kaili Tara di Vatutela Kelurahan Tondo Kecamatan Palu Timur. Namun sampai akhir penelitian dilakukan, belum memperlihatkan pengakuan pemerintah daerah terhadap kepemilikan sumberdaya komunal yang juga merupakan sumber pendapatan bagi warga masyarakat lokal Kaili di wilayah ini. Dalam konteks ini sangat ironis tatakala TAHURA menjadi kawasan pelestarian disatu sisi dan kepentingan ekonomi warga masyarakat untuk penghidupan keluarga petani di sisi lain. Kepentingan-kepentingan inilah yang menjadi sumber permasalahan jika mekanisme pengelolaan akses sumberdaya alam yang tertata batas dalam kawasan TAHURA tidak jelas. Pemerintah daerah dengan mengacu pada peraturan-peraturan yang ada, kepentingan-kepentingan stakeholders tersebut akan dapat terfasilitasi manakala pemerintah daerah merespon dan menindaklanjuti peraturan-peraturan yang dijabarkan sesuai dengan kondisi lokal wilayah, akan mendapatkan dukungan moril masyarakat lokal Kaili dalam kawasan dan stakeholder lainnya. Dari kedua kepentingan tersebut, masyarakat lokal Kaili tidak menolak kehadiran TAHURA sebagai kawasan pelestarian, namun perlu dipertimbangkan hak-hak de fakto yang juga menjadi sumber penghidupan dari 529 kepala keluarga dengan 2.416 jiwa yang bergantung pada sumberdaya alam TAHURA.
108
Tabel 18. Kepentingan Stakeholders atas sumberdaya alam TAHURA Stakeholders Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah DPRD Propinsi Sulawesi Tengah Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs) Petani (subsisten) Perotan Pendulang emas PT. Citra Palu Minerals Pedagang sumberdaya hasil hutan
Kepentingan atas sumberdaya alam TAHURA Perlindungan dan pelestarian hutan alam, konservasi, pengaturan/pengelolaan, pemanfaatan dan penerapan peraturan. Menyusun dan menetapkan peraturan daerah mengenai TAHURA Penguatan masyarakat lokal Kaili dan konservasi alam. Pengelolaan lahan usahatani (akses terhadap lahan & kebun) Mengakses sumberdaya alam (hasil hutan : kayu dan non kayu). Mengakses sumberdaya tambang di DAS Poboya (emas). Mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya tambang di Cagar Alam Poboya TAHURA Sulawesi Tengah. Membeli hasil hutan kayu dan non kayu (rotan)
Dinas Kehutanan (pemerintah) secara normatif adalah pemegang wewenang dalam pengelolaan Taman Hutan Raya, dan mengatur stakeholders sesuai dengan kepentingannya masing-masing, namun kenyataan di lapangan tidak demikian. Banyak kebijakan yang tumpang tindih, hak pemilikan individu maupun komunal umumnya tidak mendapatkan pengaturan yang jelas, termasuk zona pengelolaan dan pemanfaatan bagi pemangku kepentingan dan masyarakat dalam kawasan.
Kepentingan stakeholders atas sumberdaya alam TAHURA
tersebut dipetakan berdasarkan aliran akses dengan fakta lapangan sebagaimana disajikan dalam gambar 18 di bawah ini.
109
Kades
PHH Militer
Pdlg Emas Pekayu/ Perotan
Klaim Pemerintah
K. adat Petani
PEMDA/ DISHUT
CPM
Sumberdaya TAHURA SULTENG
konflik
LSM
Donatur
Legenda : : : : : :
Relasi bisnis (antar stakeholder dan atau donatur). Interaksi kapital mutualistis. Akses Institusi Adat atas komunitasnya terhadap sumberdaya alam. Aliran akses atas sumberdaya Pemicu & mediasi.
: Klaim kawasan oleh pemerintah. Gambar 18. Peta akses stakeholders dalam pengelolaan TAHURA SULTENG
Dari gambar tersebut menunjukkan karakteristik dan peta penggunaan akses oleh stakeholder atas sumberdaya alam TAHURA. Akses stakeholders khususnya masyarakat lokal Kaili yang direpresentasikan oleh petani, pendulang emas dan perotan berjalan secara alami dengan hubungan-hubungan sosial yang telah terbangun bertahun-tahun, baik internal maupun hubungan dengan pihak luar. Masyarakat lokal Kaili adalah pengguna akses (gain) atas sumberdaya alam dan de faktonya, mereka sebagai pemilik sebagian sumberdaya alam berupa lahan dan tanaman-tanaman keras yang ada di dalamnya. Pemilikan ini merupakan warisan dari tetua (totua) yang mengalir secara turun-temurun. Selain masyarakat lokal Kaili yang memanfaatkan sumberdaya tersebut, terdapat pihak lain yang memanfaatkan aliran akses dari petani, perotan dan pendulang emas seperti pedagang hasil hutan (PHH). PHH adalah pemanfaat akses dengan perantaraan stakeholder lain dengan menggunakan kemampuan kapitalnya. Dengan kapital yang dimiliki, dalam keadaan tertentu berkemampuan mengendalikan akses dari sumberdaya alam yang ada. Dalam kenyataannya di lapangan, ditemukan
110
beberapa penggarap (tenaga kerja) bukan pemilik lahan. Pemilik lahan adalah pemodal (beberapa pejabat di daerah) yang mempekerjakan sekelompok masyarakat sebagai tenaga kerja harian. Beberapa kasus tersebut ditemukan pada petani bawang di Bunti Pobau. Pemanfaat akses selain masyarakat lokal Kaili adalah militer dan atau pihak yang memiliki kekuasaan dan teknologi untuk dijadikan kekuatan mendapatkan akses sumberdaya melalui hubungan-hubungan dengan stakeholder yang mengakses langsung. Proses-proses tersebut berjalan secara normal tanpa menimbulkan ekses-ekses negatif. Kebijakan pemerintah melalui KepMenHut No. 461/Kpts-II/1995, maka ditetapkan kawasan Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan PPN 30 menjadi TAHURA, klaim-pun terjadi pada tahun 1997 dengan membatasi akses masyarakat lokal Kaili melakukan aktivitas usahatani dan kegiatan ekonomi lainnya di dalam kawasan yang telah dipatok (di tata batas sementara). Kemudian penetapan tata batas permanen dilakukan tahun 1999 dengan mengganti tapal batas yang terbuat dari kayu dengan tapal batas yang terbuat dari semen bertulang besi. Dari proses penataan batas tahun 1997, maka tahun 1998 pengusiran dan pemindahan terhadap masyarakat lokal Kaili yang berada dalam kawasan ke wilayah lain juga dilakukan seperti komunitas masyarakat Vatutela, Poboya, Tompu dan Raranggonau, namun masyarakat tetap bertahan dan melakukan perlawanan12. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak mengakui kepemilikan de fakto (praktek kepemilikan adat), dan masyarakat tidak dapat menunjukkan kepemilikan formal yang berdasarkan hukum atau peraturan yang dianggap sah oleh negara (Affif, 2002). Ketidakpedulian negara atas pemilikan de fakto berdampak pada situasi yang tidak kondusif yaitu keadaan menjadi krusial, perlawanan laten di masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan telah tercipta dan menjadi borok yang disembunyikan. Perlawanan laten tersebut terakumulasi beriring dengan proses waktu, terekpresikan secara reflektif tatkala pemerintah memberikan izin pengelolaan tambang emas di Cagar Alam Poboya kepada PT. Citra Palu Mineral dan melakukann eksplorasi Tahun 1994-1995, dilanjutkan tahun 1997-200213. Dalam proses eksplorasi ini konflik horisontal dan vertikal terjadi. Konflik horisontal adalah kelompok yang berpihak pada swasta dengan
12 13
Hasil wawancara ”Muslima” (67 th), tokoh masyarakat Vatutela, 17 Juli 2006. ”Sarjun (43 th)” warga Poboya yang menjadi tenaga eksploratif tambang tahun 1997-1998. Pada eksplorasi ditemukan 22 titik bor yang siap dieksploitasi oleh PT. Citra Palu Minerals (anak perusahaan Rio Tinto Group). Wawancara 27 Juli 2006.
111
masyarakat yang mempertahankan eksistensi kawasan tetap terlindungi dari eksploitasi. Masyarakat dari kelompok konservasionist dibantu oleh kelompok pekerja sosial termasuk LSM yang melakukan penguatan terhadap masyarakat agar tetap melakukan perlawanan dan mempertahankan eksistensi cagar alam sebagai yang perlu mendapat perlindungan. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (Dinas Kehutanan) dengan eksistensi TAHURA menjadi buruk dan dianggap tidak bertanggung jawab serta melanggar komitment. Pemerintah dalam perspektif masyarakat atas keberlanjutan eksistensi TAHURA adalah kendali atas akses, yang mengatur pengelolaan konservasi agar tetap berkelanjutan, namun faktanya justru sebaliknya ; berpihak kepada pemilik modal (kelompok kapitalis). Pengelolaan akses di tataran implementasi, institiusi adat sangat besar peranannya khususnya dalam proses pengaturan anggota (warganya) dalam melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam sekalipun institusi adat tidak melakukan akses langsung secara teknis. Dalam perilaku masyarakat lokal Kaili (komunitas masyarakat adat) sangat taat dengan keputusan adat dan tunduk dengan aturan-aturan yang berkaitan dengan religiusitas. Mekanisme akses dari pemanfaatan sumberdaya alam di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 19 di bawah ini : Tabel 19. Peran stakeholders berdasarkan mekanisme akses sumberdaya TAHURA Stakeholders
Pengguna akses (Gain)
Dinas Kehutanan PT. Citra Palu 9 Minerals Petani (subsisten) 9 Perotan 9 Pendulang emas 9 Pengumpul batu kali 9 LSM Traeler 9 Institusi adat 9 Sumber : Ribot dan Peluso (2003).
Dinas
Kehutanan
adalah
Mekanisme akses Kendali akses (Control acces) 9
Memelihara akses (Maintain akses) 9 9 9 9
9
pemegang
wewenang
9
terutama
untuk
mengendalikan akses sumberdaya kawasan TAHURA. Dengan ditetapkannya kawasan ini menjadi wilayah konservasi maka tanggung jawab penuh berada pada Dinas Kehutanan, baik propinsi maupun kabupaten/kota, yang mewakili pemerintah atas negara. Jika kontrol akses dilakukan dengan baik berdasarkan
112
mekanisme tersebut di atas, konflik atas pemanfaatan sumberdaya alam akan dapat ditekan dan dieliminir, pada gilirannya akan dapat dilakukan pengelolaan kolaboratif berdasarkan fungsi yang sebenarnya. Fakta menunjukkan mekanisme tidak berjalan dan kurang harmonisnya hubungan sosial dalam pemanfaatan sumberdaya, sengketa antar petugas lapangan dari instansi pemerintah sering saja terjadi dalam areal petani yang dimanfaatkan untuk tanaman bawang dan palawija lainnya14. Stakeholders yang berfungsi menjadi pengendali akses adalah Dinas Kehutanan, dan pada level implementasi adalah institusi adat (kelembagaan adat) setempat. Dinas Kehutanan (pemerintah) melakukan kontrol pada tataran kebijakan termasuk pengaturan pemberian izin pemanfaatan sumberdaya alam. Dengan melihat mekanisme yang ditunjukkan dalam Tabel 19 di atas, keragaman pemanfaatan sumberdaya tersebut sesungguhnya dapat berjalan jika sistem governance terhadap pengelolaan sumberdaya alam berjalan dengan baik. Kelembagaan adat dalam memfasilitasi warganya untuk mengakses sumberdaya alam didasarkan pada kearifan-kearifan lokal yang didominasi norma dan etika yang bersumber dari adat istiadat dan kepercayaan (Kartodihardjo, 2006). Masyarakat lokal Kaili Ledo dan Tara di lokasi penelitian, tergolong dalam kelompok penerima manfaat/pengguna dari sumberdaya alam di kawasan ini. Stakeholders yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah petani, pendulang emas, pengumpul batu kali, PT. Citra Palu Mineral, traeler, dan institusi adat. Dalam proses memanfaatkan sumberdaya, beberapa stakeholder yang termasuk dalam kelompok ini sekaligus memelihara sumberdaya yang diakses, kecuali pendulang emas, pengumpul batu kali, PT. Citra Palu Mineral dan traeler (pedagang/pengusaha hasil hutan). Institusi adat merupakan stakeholder yang termasuk dalam kelompok pengguna tidak langsung, pemelihara akses sumberdaya melalui kearifan-kearifan lokal yang dimiliki dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan sebagai pengontrol akses melalui etika moral yang sudah merupakan keharusan dan dogma terhadap warga (anggota) komunitas masyarakat adat bersangkutan. Dalam pelaksanaan aktivitas ekonomi mereka berupa mengambil sumberdaya alam di dalam kawasan tetap dalam koridor etika yaitu 14
”Ali Djaludin M (57 th), sengketa pemanfaatan lahan untuk pembibitan tanaman Jarak dari
PemDa Kota Palu dengan masyarakat petani bawang di Bunti Pobau Poboya, wawancara 7 Agustus 2006.
113
memperhatikan hak-hak alam seperti rotan yang berada di sekitar hulu sungai tidak boleh diambil atau ditebang15. Tabel 20.
Ringkasan dari right, responsibility dan revenues di TAHURA SULTENG
Stakeholders
Right
Responsi bility (3) Ada
(1) Petani subsisten
(2) Hak : ada Akses : ada
Pendulang emas
Hak : tidak ada Akses : ada
Tidak ada
Penambang batu kali Petani bawanhg Pengambil rotan Pedagang rotan Kepala Dinas Kehutanan
Hak : tidak ada Akses : ada Hak : ada Akses : ada Hak : ada Akses : ada Hak : tidak ada Akses : ada Hak : ada Akses : ada
Tidak ada
Pimpinan DPRD PT. Citra Palu Minerals
Hak : tidak ada Akses : ada Hak : ada Akses : ada
Tidak ada
LSM
Hak : tidak ada Akses : ada Hak : tidak ada Akses: tidak ada
Ada
Hak : tidak ada Akses : ada Hak : tidak ada Akses : ada Hak : ada Akses : ada
Ada
Babinsa PPL Kepala Dinas Pertambangan Kades/Kepala Dusun/RT
Ada Ada Tidak ada Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada Ada
Revenues (4) Menerima pemasukan dari penjualan hasil padi ladang, coklat, kemiri, buah-buahan, sayuran dan lain-lain. Menerima penjualan emas hasil dulangan, sebesar Rp. 20.000-Rp. 50.000/hari atau 25 kaca/hari. Menerima hasil penjualan batu kali dan kerikil. Menerima hasil penjualan bawang sebesar 2,5 s/d 9 juta per panen. Menerima hasil penjualan rotan sebesar Rp. 292.500 per bulan (pdpt, beresih). Menerima manfaat/produksi rotan dari petani kelompok pengambil rotan. Menerima hasil pengurusan hak (berupa Izin, restribusi) sumberdaya hutan kayu dan non kayu (mendapatkan fee dari hasil hutan). Mendapatkan fee dari hasil pengurusan izin eksploitasi/eksplorasi sumberdaya. Dapat melakukan eksplorasi dan datadata/tiik-titik pemboran (5 titik bor = 3 ttk dalam kawasan, 2 ttk sekitar kawasan. Mendapatkan manfaat dari donor, melalui akses masyarakat terhadap kawasan hutan. Manfaat langsung dan tidak langsung dengan pedagang rotan dan kayu (hasil sumberdaya hutan). Manfaat langsung berupa honor dari aktivitas yang dilakukan. Manfaat izin berupa fee dari perusahaan pertambangan dalam kawasan hutan. Menerima pungutan hasil kesepakatan dengan petani/perotan dll (untuk kas dusun/RT, sebagian ke desa/kas kelurahan).
Dari ringkasan right, responsibility dan revenues di atas menunjukan bahwa
proporsi
masing-masing stakeholder berbeda-beda terhadap kawasan
TAHURA, baik dalam bentuk tanggung jawab maupun manfaat yang diterima. 15
Sanatanji (58 th), tokoh masyarakat di Uentumbu : Syarat-syarat rotan yang layak diambil. Jenis rotan yang diambil adalah jenis batang yang ukurannya berdiameter 4-7 cm dengan panjang antara 10-20 meter setiap batangnya.
114
Demikian pula terhadap pemegang wewenang (yang memberikan hak) pengelolaan kepada stakeholder. Dengan ringkasan tersebut dapat diihat siapasiapa yang mendapatkan hak, akses dan manfaat, dan siapa saja yang tidak mendapatkan hak, tetapi mendapatkan akses dan manfaat dari sumberdaya, bahkan dapat dilihat pula siapa-siapa yang tidak mendapatkan hak dan akses namun mendapatkan manfaat dari sumberdaya tersebut. Keragaman yang mendapatkan sesuatu dari sumberdaya tersebut bagi aktor/stakeholders bisa jadi karena memang berdasarkan legal hukum mendapatkan haknya, dan tanpa legal hukum namun memiliki akses
karena
interaksi dan hubungan-hubungan sosial, pengakuan adat yang telah berlangsung turun-temurun untuk mendapatkan hak dan menerima manfaat. Selain hubungan kelembagaan, dapat pula manfaat diterima karena hubungan sosial yang dijalin secara personal lalu dilegalisasi melalui konvensi (hukum adat), berdasarkan realitas wajar mendapatkan akses dan hak dengan kriteria-kriteria yang situasional. Hubungan-hubungan sosial ini menurut Faucault dalam Peluso dan Ribot (2003), dalam situasi tertentu masyarakat memiliki kekuatan yang lebih ketika memiliki hubungan sosial. Petani subsisten (masyarakat lokal) yang merupakan stakeholder utama telah mendapatkan kepemilikan de fakto yang diwariskan leluhurnya dan dilegitimasi oleh adat, pengakuan sosial komunitas masyarakat setempat sehingga akses yang dimiliki juga berdasarkan pemilikan yang keabsahannya diakui berdasarkan hubungan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian tanggung jawab terhadap sumberdaya juga besar dimana alam merupakan sumber penghidupan satu-satunya yang harus dijaga kelestarian dan kesinambungannya untuk anak cucu (generasi yang akan datang). Fakta-fakta yang dapat membuktikan kuat dan besarnya akses terhadap sumberdaya dimaksud adanya berupa tanaman-tanaman perkebunan (coklat, cengkeh, kelapa, kemiri, durian, langsat) dan tanaman musiman seperti berbagai sayur mayur, tanaman pangan, padi ladang dan pohonpohon tanaman leluhur. Selain tanaman tersebut penamaan lokasi-lokasi kebun dan pekuburan tua secara massal. Dari fenomena yang ada, Tawney dalam Ribot dan Peluso (2003), mulai memperluas definisi property menjadi kepemilikan akses pasar. Selanjutnya dikemukakan aspek “tangible” dan “ingtangible” dalam
115
menilai suatu komoditas, bahwa dalam suatu kepemilikan terdapat
berbagai
hubungan sosial. Untuk pendulang emas dan penambang batu kali memiliki akses terhadap pemanfaatan sumberdaya alam pada Daerah Aliran Sungai Pondo yang mengandung emas. Pendulang emas tersebut malakukan aktivitas tanpa menggunakan legal formal berupa hak pemanfaatan sumberdaya seperti atribut hukum (izin pengolahan, keterangan dari pemerintah setempat, dll). Hak dan akses merupakan dua konsep yang berbeda dalam perspektif pemanfaatan sumberdaya alam. Hak (right) adalah pemilikan sesuatu sumberdaya yang dibuktikan dengan atribut hukum berupa perizinan dan sejenisnya yang dikeluarkan oleh lembaga atau intansi pemerintah yang diberikan wewenang berdasarkan aturan perundang-undangan.
Akses dalam perspektif masyarakat
lokal Kaili merupakan suatu pemilikan yang telah lama berlangsung, dan beriteraksi dengan alam dan sumberdaya di dalamnya. Situasi ini masyarakat merasakan dampak yang sangat besar pengaruhnya terhadap proses aktivitas berusaha, khususnya kegiatan usaha di sektor pertanian dan tanaman keras. Stabilitas sumberdaya alam selama dikelola oleh masyarakat adat tidak berkurang dalam pengertian kemampuan lahan untuk mengakomodasi siklus ekologi kawasan yang ada saat ini. Masyarakat lokal Kaili (adat) menganggap segala sesuatu dalam alam saling berhubungan, dan percaya bahwa semua kejadian langsung atau tidak, merupakan sebuah konsekwensi dari perilaku manusia. Persepsi masyarakat lokal Kaili di TAHURA tentang alam tersebut hampir sama dengan konsep ekologi manusia, bahwa perbuatan manusia akan menghasilkan efek berantai melalui ekosistem dan sistem sosial (Marten, 2001). Oleh karena itu dalam proses pengaksesan sumberdaya selalu mengikuti kaidah dan etika, nilainilai yang ada selama ini, baik sumberdaya yang dapat diperbaharui (reneweble resources) maupun yang tidak dapat diperbaharui (Non reneweble resources), dimana alam dipahami mempunyai sifat keseimbangan yang mudah rusak jika manusia merubah ekosistem dari kondisi alamnya (Kartodihardjo, 2006). Masyarakat lokal Kaili merupakan suatu kesatuan masyarakat adat yang bersifat otonom dimana mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik, ekonomi dsb), dan selain itu bersifat otohton yaitu suatu kesatuan masyarakat adat
116
yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan atas bentukan desa dengan LKMD-nya (Fay dkk, 2000). Kehidupan komunitas masyarakat kini tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan organisasi kehidupan negara, bangsa yang lebih besar dan berformat nasional (Wignyosoebroto, 1999a dalam Fay dkk, 2000), sehingga rumusan-rumusan mengenai masyarakat adat yang dibuat pada masa sebelum kemerdekaan cenderung kaku dalam kondisi masyarakat adat yang statis tanpa tekanan perubahan. Sementara rumusan masyarakat adat yang dibuat setelah kemerdekaan lebih bersifat dinamis melihat kenyataan masyarakat adat saat ini dalam tekanan perubahan. Beberapa ciri pokok masyarakat hukum adat merupakan suatu kelompok manusia, mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari kekayaan perorangan mempunyai batas wilayah tertentu, dan mempunyai kewenangan tertentu (Maria Sumardjono, 2005). Selanjutnya dijelaskan, hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat (subyek hak) dan tanah/wilayah tertentu (obyek hak), dan adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah dan sumberdaya alam (hutan), dan perbuatan-perbuatan hukum. Hak-hak menurut Fay dkk (2004) berisi wewenang untuk : (a) mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam, dll), persediaan (pembuatan pemukiman/perladangan baru) dan pemeliharaan tanah, (b) mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu pada subyek tertentu), dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan dll). Wewenang hak ulayat tersebut menyatarakn bahwa hubungan antar masyarakat hukum adat dan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antar negara dan tanah menurut pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (Maria Sumardjono, 2005). Akses yang didapatkan dalam bentuk penerimaan secara langsung maupun tidak langsung merupakan sebagian dari konsekwensi adanya kemampuan yang dimiliki pada masing-masing stakeholders selain hak yang dimiliki, seperti
kelompok pengambil/pemungut rotan. Besar-kecilnya akses
kelompok ini sangat bergantung pada pemegang hak legal (pemilik izin) pengelolaan sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu. Manfaat yang
117
diterima secara langsung (revenues) oleh stakeholder dari akses sumberdaya alam di TAHURA disajikan dalam Tabel 21 berikut : Tabel 21. Pendapatan rata-rata warga masyarakat lokal (adat) per bulan di lokasi penelitian. Komunitas masyarakat Vintu
Sumber penghasilan
Komoditas campuran, karyawan perusahaan rotan Vatutela Coklat, cengkeh, kopi, batu kali, karyawan perusahaan roti Bunti Pobau Komoditas Bawang DAS Pondo Emas, coklat, bawang, kemiri Uentumbu Rotan (hasil hutan non kayu) Tompu Komoditas campuran, rotan Raranggonau Komoditas campuran
Penghasilan Pengeluaran Rata-rata (Biaya Pendapatan (bln, panen) produksi) 520.000 30.000 490.000 300.000
-
300.000
1.000.000 1.106.000
113.300 123.330
886.700 983.330
382.500
99.000
292.500
280.000
-
280.000
800.000
125.000
675.000
Tabel 21 di atas menunjukkan besarnya penerimaan stakeholders dari pengelolaan akses sumberdaya alam di dalam kawasan TAHURA yang umumnya belum memiliki hak de jure kecuali pengelola rotan yang menggunakan izin pengolahan dari salah seorang pemegang hak (eks HPH). Penerimaan yang bersumber dari sumberdaya alam non hutan berupa produk-produk pertanian seperti bawang, sayur-sayuran, padi, coklat, kopi, cengkeh dan tanaman perekebunan lainnya merupakan kepemilikan de fakto atas pengolahan lahan untuk tanaman pertanian dan perkebunan. Akses terhadap sumberdaya lahan/tanah dari masing-masing individu dan atau keluarga berbeda, brgantung kemampuan dan kebutuhan keluarga petani serta kepemilikan yang dipersyaratkan dari komunitas adat yang diwariskan dari leluhur tetuanya. Analisis ”3R” (Right, responsibility, Revenues) mempresentasikan siapa yang memiliki tanggung jawab besar melalui penilaian bersama yang dilakukan kelompok komunitas masyarakat dengan bobot tertentu, stakeholder mana yang
118
mengendalikan akses (pemegang hak kelola), dan siapa yang menerima manfaat atau pengguna serta pemelihara akses sumberdaya TAHURA. Tabel 22. Right, responsibility dan revenues, 14 dari 22 stakeholders. Stakeholders Right Petani Akses thdp Subsisten lahan, partisipasi dalam keputusan Pendulang Tidak ada emas Penambang Tidak ada Batu kali Petani Akses terhadap Bawang lahan, partisipasi dalam keputusan Kelompok Akses terhadap Rotan hasil hutan non kayu Dinas Supervisi, Kehutanan pengelolaan Pimpinan DPRD
Nilai 2
Nilai 1
0
Tidak ada
0
0
Tidak ada
0
2
Merencanakan tata guna lahan, register Menanam bibit rotan dalam hutan Kontrol tebangan, menarik pajak, koordinasi Kontrol terhadap pelaksanaan perda
1
3 4
Akses terhadap masyarakat lokal ttg penerapan perda HGU penuh
2
Tidak ada
0
LSM
Tidak ada
0
Kades/ Kadus/ RT
Akses terhadap semua sumberdaya
3
Babinsa
Tidak ada
Distamen PPL
PT.Citra Palu Minerals Pedagang Rotan
Responsibility Merencanakan tata guna lahan dan registrasi
3
Mengelola pertambangan emas dgn baik Tidak ada
Revenues Menjual, konsumsi hasil tani Menjual hasil pendulangan Menjual hasil tambangan Menjual hasil usahatani
Nilai 5
2 2 5
3
Menjual hasil hutan non kayu
5
2
Penerimaan dari hasil hutan dan fee
3,5
1
Penerimaan PAD dari intansi teknis
2
0
Belum ada
0
0
Menerima rotan dari masyarakat lokal Menerima jasa dari dampingan
3
2
Fee, upah, hadiah
1
0
Memfasilitasi, mendampingi masyarakat lokal (adat) Menjaga dan mengawasi kawasan, wilayahnya Tidak ada
0
1
Tidak ada
0
Tidak ada
0
Akses terhadap informasi
2
Fee, upah, hadiah Fee dari perizinan tambang Upah/gaji dari kerja penyuluhan.
5
Menyampaikan 1 penyuluhan, infomrasi kemasyarakat Keterangan : 1= sangat kurang, 2= kurang, 3= cukup/sedang, 4=tinggi, (maksimum)
5=
2
2 2
sangat tinggi
119
Tabel 22
di atas merupakan hasil perumusan
3R dari stakeholder
masyarakat lokal. Dalam proses menentukan penilaian tersebut, setiap komunitas masyarakat
yang
berkumpul
dan
tergabung
dalam
satu
kelompok,
mempresentasikan tabel mereka dan peserta bersama-sama mengecek hasilnya. Pengecekan setiap baris dan kolom “R”, untuk konsistensi dan kesepakatan akhir. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemerintah (Dinas Kehutanan) kurang mengambil tangung jawab dalam pengelolaan dan keberlanjutan TAHURA. Kurangnya tanggung jawab ini diindikasikan belum sinkronnya peraturan perundang-undangan dengan kebijakan di daerah dalam hal pengelolaan kawasan TAHURA, dan atau pemerintah daerah tidak mau peduli dengan kondisi yang sedang maupun akan terjadi16. Hasil rumusan yang dilakukan bersama masyarakat dalam kawasan TAHURA menunjukkan bahwa Dinas Kehutanan yang memiliki kewenangan besar dalam pengelolaan, namun kenyataannya di lapangan tidak memperlihatkan fakta tersebut.
Petugas dari Dinas Kehutanan hanya beraktivitas melakukan
pelarangan bagi masyarakat untuk berusaha di dalam kawasan dengan berkelik dibelakang
peraturan preservasi, bahwa masyarakat tidak boleh mengganggu
sumberdaya yang berada di dalam kawasan sekalipun milik masyarakat sebelumnya. Komunitas masyarakat lokal yang berada pada setiap kawasan merupakan satu kelompok diskusi yang melakukan interaktif. Dalam penelitian ini terdapat 7 (tujuh) kawasan (kelompok masyarakat lokal) yang menjadi sumber data dan kelompok diskusi yang mengambil 14 stakeholder untuk dianalisis. Analisis untuk situasi saat ini dilakukan melalui kelompok, diskusi dan persetujuan setiap hak, tanggung jawab dan manfaat yang berkaitan dengan TAHURA secara langsung, setiap stakeholder pada kondisi sekarang dan yang aktual. Kelompok mencatat masalah-maslah kunci dan memberikan suatu nilai relatif (0 = tidak ada, 5= tertinggi/maksimum) untuk setiap 3R di dalam tabel. Stakeholder dengan kebijakan atau tanggung jawab legal bukan merupakan tanggung jawab yang
16
Wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sulawewsi Tengah ”Ir. Haerul Anantha” bahwa kewewenang pengelolaan oleh pemerintah pusat, dan penetapan tata batas dilakukan secara sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan pihak lain termasuk masyarakat setempat.
120
secara aktual ada, penggambaran itu merefleksikan kebijakan dan nilai merefleksikan kenyataan. Tabel 23. Perbandingan antar Stakeholder dari Aspek Hak, Tanggung Jawab dan Manfaat (Penerimaan). Stakeholder yang paling tinggi : Hak. 1. Dinas Kehutanan 2. PT.Citra Palu Minerals/Kades/Kad us/ Ka.RT 3. Petani subsisten/Petani bawang/PPL
Stakeholder yang paling tinggi : Tanggung jawab. 1. LSM. 2. Kelompok Rotan 3. Dinas Kehutanan/Kades/ Kadus/ Ka. RT. 4. Petani subsisten/ Petani bawang/ Pimpinan DPRD/ PPL
Stakeholder yang paling tinggi : manfaat. 1. Petani subsisten/ petani bawang/ Kelompok rotan. 2. Dinas Kehutanan 3. Pedagang rotan 4. Pendulang emas, Pimpinan DPRD/ LSM/Dinas Pertambangan, PPL.
Perbandingan antar stakeholders dari aspek hak, tanggung jawab dan manfaat yang berbeda. Dinas Kehutanan (pemerintah) yang merupakan stakeholder yang mendapatkan hak tertinggi dan memiliki wewenang terhadap pengelolaan TAHURA Sulawesi Tengah, namun dalam kenyataannya tidak memberikan apresiasi bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya di dalam kawasan termasuk masyarakat pemukim yang ada di dalam dan sekitar kawasan. Pada sisi lain Dinas Kehutanan kurang mengambil tanggung jawab dalam hal pengelolaan sehingga situasi di lapangan terjadi mis-komunikasi antar stakeholder dan masyarakat lokal yang bergantung sepenuhnya kepada sumberdaya di dalam kawasan TAHURA. Kelompok (stakeholders) yang memiliki tanggung jawab besar terhadap keberlanjutan pelestarian TAHURA adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dalam beberapa pertemuan dan lokakarya yang dilakukan perkumpulan oraganisasi non pemerintah (LSM) seperti KORAN (koalisi ornop untuk hutan Sulawesi Tengah) dan LSM perkumpulan Bantaya, menginginkan adanya pengelolaan berbasis komunitas dan ekologis. Hal ini masih dalam tataran wacana yang disosialisasikan kepada beberapa komunitas masyarakat lokal yang berada dalam kawasan. Situasi akan berbeda jika konsep pengelolaan yang ditawarkan kepada komunitas bukan hasil kesepakatan duduk bersama antar pihak. Dua kelompok ORNOP yang melakukan aktivitas pendampingan yang berbeda dalam
121
mengembangkan program untuk pengelolaan TAHURA. Kelompok pertama melakukan advis penguatan dari aspek kelembagaan adat masyarakat. Kelompok ini cukup piawai dalam mengembangkan program-program pemberdayaan, dimana penguatan terhadap hak-hak komunal dan hak-hak alam dilakukan sesuai dengan aturan pengelolaan berdasarkan kearifan yang dimiliki. Kelompok kedua melakukan aktivitas yang bersifat insidental dengan pertemuan-pertemuan melalui lokakarya yang dibiayai oleh salah satu donatur (founding).
Aktivitas yang
dilakukan masih terbatas pada membangun wacana masyarakat untuk merubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam TAHURA, namun dampak dari wacana tersebut terhadap suatu konsep pengelolaan atas sumberdaya alam tidak dipikirkan matang. Kasus Dongi-dongi merupakan pengalaman yang berharga untuk dijadikan acuan dan perenungan bagi ornop yang melakukan aktivitas provokatif terhadap suatu pengelolaan yang tidak melalui kolaborasi antar pihak baik pengguna akses dan pemelihara maupun pengelola yang sekaligus melakukan kontrol akses. Konflik dan kerusakan sumberdaya alam khususnya hutan tidak selamanya kekeliruan dari pengelola, namun tida terlepas dari peran dan campur tangan pihak-pihak ornop dalam melakukan aktivitas yang over information terhadap komunitas yang masih terbatas dalam aspek penyerapan informasi. Hasil penelitian yang dilakukan Adiwibowo (2005) bahwa keterlibatan pihak elit masyarakat dan ornop atas rusaknya kawasan hutan Dongi-dongi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Stakeholders yang menerima manfaat besar atas sumberdaya di dalam kawasan adalah petani, perotan, namun dalam proses pengelolaan usahatani dan aktivitas mengambil rotan merasa terganggu dan tertekan17, karena beberapa hal antara lain (a) petani tidak memiliki kepemilikan secara yurisdiksi, namun lahanlahan usahatani yang dikelola saat ini merupakan warisan leluhur (de fakto), (b) perotan menggunakan izin kelola milik pengusaha, bukan hak langsung yang diberikan dari pemegang wewenang (Dinas Kehutanan), hanya menggunakan jasa izin kelola hasil hutan non kayu. 17
Ketiga komponen di atas akan dapat berjalan
Wawancara dengan Ali Djaludin M (57 th) tokoh masyarakat lokal Kaili (adat), profesi sebagai petani bawang ; pemerintah kota Palu mengusir petani dari lahan usahataninya dengan dasar bahwa tanah yang digunakan sekarang adalah tanah negara, masyarakat tidak berhak untuk beraktivitas di lahan tersebut karena lokasi ini akan digunakan untuk tanaman jarak, kecuali “bapak mau ikut program ini’; pertengkaran 5 Agustus 2006, ”Ali Djalaludin M dipanggil ke Kantor Camat Palu Timur, memberikan keterangan mengenai status tanah/lahan garapan petani di Bunti Pobau Kelurahan Poboya yang dijadikan lokasi penanaman bawang masyarakat petani saat ini.
122
dengan baik jika didukung oleh hubungan komunikasi dan jaringan kerja yang harmonis (networking) antar stakeholder. Bagaimana hubungan antar stakeholder di TAHURA SULTENG dapat dilihat dalam Tabel 24 berikut.
Keterangan Kualitas relasi Baik (B) Sedang (S) Kurang (K) Buruk (Br) (-)
: : : : : : :
Kepala Dinas Kehutanan
DPRD Propinsi
PT. Citra Palu Minerals
Pedagang Rotan
LSM
Kades/Kadus/Ketua RT
Babinsa
Dispertamen
PPL
B ///
Kelompok rotan
Petani subsisten Penambang emas Penambang batu kali Petani bawang Kelompok rotan Dinas Kehutanan Pimp.DPRD PT. Citra Palu Minerals Pedagang Rotan LSM Kades/Kadus/ RT Babinsa Distamen PPL
Petani Bawang
Stakeholder
Penambang Batu Kali
Penambang Emas
Tabel 24. Ringkasan hubungan antar stakeholder di TAHURA SULTENG
B B ///
B B -
B -
K K -
-
Br Br
-
B B B
B B B
B B B
K K
-
///
B ///
K K ///
B //
B S /////
B K -
B K K Br
B K S Br
B B S
B B B
S B -
//
B /////
B B /////
B B //
K Br B ////
K S B //
Baik (B), Sedang (S), Kurang (K), Buruk (Br), Ttidak ada interaksi (-). Ada interaksi personal/institusi, sinergis berkelanjutan min 3 kali kontak/3 bln. Ada interaksi, sinergis, tidak berkelanjutan, maksimal 3 kali kontak/3 bln. Ada interaksi, kurang sinergis, berpolemik, sekali kontak, tidak berkelanjutan. Ada interaksi, tidak sinergis, konfliktual. Tidak ada interaksi sama sekali
Hubungan/interaksi kelembagaan atau institusi dan personal antar stakeholder bergantung konteks dari terjadinya hubungan itu. Sebelum ditetapkannya kawasan TAHURA relasi dari pihak yang memiliki kepentingan di wilayah ini adem-adem saja, berjalan secara alami, tidak ada tekanan, namun setelah ditetapkannya menjadi kawasan konservasi dalam bentuk TAHURA maka stakeholder yang terlibat langsung dan menggantungkan penuh sumber
123
kehidupannya pada sumberdaya dalam hutan dengan sendirinya terusik dan merasa diganggu dan mendapat tekanan dari pihak pemerintah. Stakeholders selain masyarakat lokal terusik untuk mengambil peran untuk dapat memiliki akses, melakukan berbagai aktivitas melalui masyarakat lokal dengan bermacam tipe, model dan pendekatan. Hubungan satu stakeholder dengan stakeholder lain cukup beragam versinya, bergantung akses apa yang ada dan seberapa besar sumberdaya yang akan diakses dalam kawasan itu. Hubungan-hubungan sosial yang dilakukan antar stakeholders merupakan suatu cara untuk memelihara akses dan bahkan mengontrol akses. Kontrol akses adalah kemampuan untuk memediasi akses yang dimiliki pihak lain. Dari aspek definisi kontrol atau kendali akses adalah memeriksa, mengarahkan, dan mengatur aktivitas. Dari sekian banyak stakeholder, maka yang berwewenang sebagai pengendali akses adalah pejabat atau institusi yang diberikan kewenangan berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku secara normatif. Dinas Kehutanan merupakan Perangkat Pemerintah Daerah yang diberikan wewenang (hak) untuk mengendalikan akses sumberdaya TAHURA. Paling tidak ada kecenderungan untuk membentuk suatu sistem antar sesama stakeholder dan memandang dirinya merupakan suatu kesatuan (Roling & Jiggings, 1998 dalam Suporahardjo, 2006). Perubahan paradigma yang cukup pesat, namun tidak diikuti dengan perubahan peraturan dan perundang-undangan, sehingga disemua penjuru Nusantara terjadi konflik tenurial yang tak lain adalah perebutan hak dan akses sumberdaya alam sebagai tumpuan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Sejak pemerintahan Orde Baru, penguasa negara memperekenalkan konsep baru dalam pemilikan tanah, yang pada intinya adalah perwujudan kekuatan mereka atas rakyatnya (Malik et al, 2003). Konsep kepemilikan pribadi semakin kukuh dan meluas dalam masyarakat seiring dengan kukuh dan meluasnya kapitalisme sebagai suatu sistem produksi. Konsep pemilikan ini ternyata diikat pula dengan suatu jalinan hubungan politik, sosial, ekologi dan budaya. Dalam kawasan Tompu yang masuk dalam kawasan TAHURA jugar terjadi pengkaplingan tanah hutan belukar oleh mantan Bupati Donggala yang saat ini kondisinya masih semak belukar dan hutan sekunder, tepatnya melintasi jalan ke Dusun Tompu.
124
Secara tipologis, kepemilikan di dalam TAHURA SULTENG dapat dibedakan menjadi beberapa tipe kepemilikan yaitu, pemilikan pribadi (private property), pemilikan negara (state property), dan pemilikan komunal (communal property). Ketiga pemilikan ini selalu berdampingan dalam suatu kawasan atau tumpang tindih dan bahkan sampai konflik antara masyarakat lokal dan pihak luar yang mendapatkan legitimasi negara untuk menguasai sebagian sumberdaya alam (Malik at al, 2003). Di Sulawesi Tengah sendiri ditemui peraturan bahwa Gubernur atau Bupati dapat melakukan pencabutan hak atas tanah.
Hal ini antara lain dapat
dilihat dalam Peraturan Menteri no. 15/1975 (sudah dicabut) dan Perda Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah No. 2/1973. Perda tersebut secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (Bupati) untuk melakukan pencabutan hak atas tanah. Beberapa kasus di Sulawesi menurut Bachriadi at al (1997) seperti kasus Paguyaman di Sulawesi Utara, kasus Wewangriu di Sulawesi Selatan dan kasus Kasimbar di Sulawesi Tengah menunjukkan betapa aparatur negara bertindak dengan berbagai macam cara untuk membebaskan tanah dari penguasaan rakyat setempat agar pihak swasta dapat mendirikan perkebunan besar di daerah tersebut. Kasus semacam ini hingga sekarang di Sulawesi Tengah masih saja terjadi dengan versi yang identik yaitu di kawasan PPN 25, 26 dan 29 (masih dalam kawasan TAHURA), pihak pemerintah daerah kota Palu melakukan klaim terhadap tanah yang sedang digunakan petani untuk penanaman bawang. Pemaksaan terhadap petani karena awalnya masyarakat belum siap menerima tanaman jarak sebagai tanaman monokultur yang harus dikembangkan di kawasan ini. Proyek jarak yang dilakukan Pemerintah Kota Palu adalah kerjasama dengan pihak perusahaan dari Surabaya, mengintroduksi program tersebut untuk diterima dan menggantikan tanaman bawang petani. Penolakan dilakukan masyarakat petani karena pendapatan yang akan diperoleh dari penanaman jarak dan sumber pendapatan yang rutin ke depan bagi petani belum jelas. Perundang-undangan/peraturan
telah
memberikan
penguatan
dan
pengakuan terhadap kepemilikan masyarakat lokal (komunitas masyarakat adat) yang ditunjukkan dengan TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam ; dalam beberapa pasal menyatakan : (a) menghormati dan menjunjung tinggi hak azasi manusia (pasal 4), (b) mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukun adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria/sumberdaya alam, (c)
125
melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat (pasal 5 at b), (d) memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggungjawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional (pasal 5 at c).
Dengan
demikian maka peraturan yang ada di bawahnya baik undang-undang dan atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah perlu menyesuaikan dengan TAP MPR No. IX/2001 yang merupakan payung hukum bagi peraturan di bawahnya.
Segala peraturan yang bertentangan secara hirarkhis harus
diharmonisasi agar tidak menimbulkan masalah pada level daerah (di lapangan). Hubungan kelembagaan atau isntitusi dari stakeholders yang memiliki kepentingan dengan TAHURA masih merupakan sesuatu yang banyak menimbulkan pertanyaan. Dinas Kehutanan sebagai leading sekor yang memiliki wewenang untuk mengkomunikasikan kepada stakeholder lain terhadap pengelolaan tersebut menemui kendala. Dalam perspektif institusi (Dinas Kehutanan) saat ini, TAHURA hanya digunakan sebagai penggembalaan ternak rakyat yang berada di dalam maupun sekitar kawasan. Relasi dengan stakeholder yang berkepentingan belum menunjukkan adanya komunikasi dua arah, dalam pengertian belum ada aktivitas yang signifikan dilakukan institusi terhadap pengelolaan TAHURA yang memberikan akses masyarakat di dalamnya. Hubungan yang dilakukan masih terbatas pada hubungan-hubungan personal (antar individu) seperti saat pemancangan patok, membawa beban petugas di lapang dll. Program sektoral yang pernah dilakukan sebelum ditetapkan menjadi TAHURA yaitu program reboisasi tahun 1991, 1992 dan 1993, dikala itu masih dalam bentuk Cabang Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Dinas Kehutanan masih selalu menimbulkan polemik di masyarakat (stakeholders) yang sampai saat ini belum memperlihatkan keseriusan melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula halnya dengan investor tambang emas PT.Citra Palu Minerals, anak perusahaan Rio Tinto Group yang berkantor pusat di Inggeris), masih juga menimbulkan pertanyaan para stakeholders dan masyarakat umum sekitar kawasan TAHURA. Keluarnya legitimasi pemerintah terhadap CPM atas sumberdaya di TAHURA karena relasi yang baik kedua pihak (lihat Tabel 24), namun menimbulkan
beragam perspektif, dimana tindakan
126
pemerintah/daerah
bertentangan
dengan
peraturan
perundangan.
Sikap
ambiguisitas pemerintah tersebut dipersepsikan dalam beberapa faktor antara lain : (a) mengacu dengan keputusan bersama Menteri Kehutanan dan Pertambangan tentang pengelolaan sumberdaya tambang di kawasan hutan, (b) belum menelaah secara seksama bahwa selain keputusan beresama tersebut terdapat peraturan yang menggugurkannya (peraturan pemerintah dan undang-undang), (c) pemerintah daerah berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) untuk mengejar target APBD tahunan, tanpa mengkaji aspek-aspek produksi yang memungkinkan dan layak untuk dikelola sebagai sumber pendapatan daerah, (d) pemerintah (Deparetemen Kehutanan) tidak melakukan kontrol yang baik terhadap usulan dan persetujuan gubernur (pemerintah daerah), berkaitan dengan eksplorasi/eksploitasi tambang di kawasan cagar alam dan hutan lindung. Faktorfaktor lain yang menyebabkan keluarnya izin pengelolaan tambang emas di kawasan Cagar Alam Poboya masih perlu dibuktikan dengan data-data yang akurat dan cukup lama.
membuktikannya membutuhkan kiat-kiat khusus dan waktu yang
127
5.8. Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam TAHURA Produk kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berkaitan dengan TAHURA dikaji melalui content analysis, disajikan dalam tabel 25 berikut : Tabel 25. Perlindungan Negara terhadap Masyarakat Lokal (adat) atas Pengelolaan Sumberdaya Alam. Kebijakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998, tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Kandungan peraturan perundangan yang berpihak pada masyarakat atas pengelolaan sumberdaya alam (SDA). Hak Akses (Pemanfaatan) Mekanisme ¾ Peranserta rakyat dalam konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna (pasal 37 ayat 1). ¾ Dalam mengembangkan peranserta rakyat, pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan (pasal 37 ayat 2) ¾ TAHURA dikelola ¾ Rencana pengelolaan dgn melakukan kawasan cagar alam upaya pengawetan (TAHURA) disusun keaneka ragaman berdasarkan kajian aspek jenis tumbuhan dan ekologis, teknis, satwa beserta ekonomis, dan sosial ekosistemnya (psl budaya (psl 14). 37). ¾ Untuk membina fungsi ¾ Penetapan daerah daeraah penyangga penyangga tetap pemerintah mlkkn : menghormati hakpeningkatan pemahaman hak dr pemegang masy, thp konservasi sda hak (psl 56). hayati & ekosistemnya,
¾ Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. (pasal 7). ¾ Untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan TAHURA dengan mengikutsertakannya rakyat. (pasal 34).
Pasal 38 (ayat 1), Dlm rangka pelaksanaan konservasi, pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan di bidang tersebut kepada pemda sebagaimana dimaksud dalam UU No.5/1974 tentang pokokpokok pemerintahan di daerah. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah (ayat 2).
¾ Rencana pengelolaan kawasan diatur dgn keputusan menteri (psl 14 ayat 3), cukup banyak peluang masyarakat untuk berperan, tetapi belum terwujud.
128
peningkatan pengetahuan, keterampilan, rehabilitasi lahan, produktivitas, dan kegiatan lain untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat (psl 57). ¾ Tidak memperoleh ¾ Masyarakat berhak Peraturan akses pemanfaatan Pemerintah Nomor mendapatkan penyuluhan, sumberdaya alam. pengelolaan hasil hutan 62 Tahun 1998, ¾ Mekanisme non kayu, perburuan tentang penyerahan pengelolaan hutan tradisional, dan pelatihan sebagian urusan lindung, cagar alam keterampilan (pasal 5 ayat pemerintahan di dan area pemanfaatan j). bidang kehutanan termasuk posisi kepada daerah masyarakat tidak jelas. ¾ Penetapan tata batas, status ¾ Tidak mengatur akses KepMenHut No. masyarakat dalam dan luas TAHURA 8.100 461/Kpts-II/1995 pengelolaan ha. tentang perubahan TAHURA. fungsi cagar alam poboya seluas 1.000 ha, hutan lindung paneki 7.000 ha, lokasi PPN XXX seluas 100 ha menjadi TAHURA PALU. ¾ Tidak mengatur ¾ Menetapkan Kelompok KepMenHut No. pengelolaan akses Hutan TAHURA seluas 24/Kpts-II/1999 sumberdaya alam oleh 7.128 ha dengan nama tentang penetapan masyarakat lokal Kaili TAHURA SULTENG. kelompok hutan TAHURA seluas ¾ Menetapkan tata batas tetap dalam TAHURA. dengan Berita Acara Tata 7.128 ha, terletak Batas (BATB) tanggal 13 di Kec. Palu Juni 1997. Selatan, Palu Timur dan SigiBiromaru Kab. Donggala, bernama TAHURA SULTENG. ¾ Religi dan budaya. ¾ Hutan hak (hutan adat). Undang-Undang ¾ Pembentukan wilayah ¾ Masyarakat hukum adat Nomor 41 Tahun pengelolaan dan unit ¾ Mendapatkan izin 1999, tentang kelola yang situasional pemungutan hasil hutan Kehutanan. (sosial budaya, non kayu. ¾ Memungut hasil hutan ekonomi, institusi untuk kebutuhan sehari- masyarakat (masy. lokal/adat). hari. ¾ Manfaat optimal untuk ¾ Melakukan pengelolaan kesejahteraan hutan berdasarkan hukum masyarakat. adat, tidak bertentangan
Tidak tercantum aspek pemanfaatan sumberdaya alam dalam pengelolaan TAHURA oleh masyarakat dari isi 8 bab, 20 pasal.
Tidak mengatur mekanisme pengelolaan akses pengelolaan sda dan merupakan legalitas hukum sebagai pengukuhan TAHURA.
Tidak mengatur mekanisme pengelolaan.
¾ Pengukuhan kws hutan harus memperhatikan RTRWP (pasal 15 ayat 2). ¾ Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan
129
¾ Mendapatkan hasil kawasan, izin hutan kayu dan non usaha pemanfaatan jasa kayu. lingkungan, dan ¾ Pemerintah daerah izin pemungutan dapat bertindak jika hasil hutan bukan terjadi kerusakan yang merugikan masyarakat. kayu (pasal 26 ayat 2). ¾ Pemanfaatan hutan ¾ Pembentukan adat yang berfungsi wilayah lindung dan konservasi pengelolaan hutan dapat dilakukan dilaksanakan sepanjang tidak mengganggu fungsinya untuk tingkat propinsi, (pasal 37 ayat 2). kabupaten/kota ¾ Pembentukan wlayah dan unit pengelolaan hutan tkt. pengelolaan. Unit pengelolaan (pasal 17 ayat 1) dilaksanakan dgn mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi DAS, sosial budaya, ekeonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk hukum adat dan batas administrasi pemerintahan (pasal 17 ayat 2). ¾ Mekanisme ¾ Zona pemanfaatan ¾ Tata hutan, penyusunan telah diatur dan lainnya karena pengelolaan, berdasarkan fungsi & kondisinya pemanfaatan dan peraturan dapat dmanfaatkan pengunaan kawasan perundangan untuk rekreasi, dikelola unit pengelola dan penelitian, teknis (pasal 2 ayar 2), penjabarannya pendidikan, dan kewenangan oleh pemerintah penunjang budidaya; pemerintah dan daerah dan pemDa pemanfatan (psl 3). melalui PerDa tradisional dan ¾ Penyusunan rencana dan petunjuk rehabilitasi pengelolaan, teknis (penjelasan psl 8 pemanfaatan, opersional. ayat 3 butir a, b &c). penggunaan hutan ¾ Hutan hak didasarkan pertimbangan dibuktikan dgn alas kekhasan daerah, kondisi titel (hak atas tanah), sosial budaya & (psl 67); hutan hak lingkungan yg terkait berfungsi kws dgn kelestarian hutan dan konservasi & kepentingan masyarakat
dengan undang-undang. ¾ Mendapatkan pemberdayaan. ¾ Mendapatkan kompensasi atas hilangnya akses dan hak atas tanah karena penetapan kawasan hutan. ¾ Mendapat pendampingan dari pihak lain (LSM, pemerintah, swasta) untuk rehabilitasi hutan. ¾ Mengajukan gugutan perwakilan ke penegak hukum atas kerusakan hutan yang merugikan masyarakat lokal.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
18
SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan), hasil hutan yang berasal dari hutan negara , SATS (Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa), untuk tumbuhan dan satwa liar, dan SKAU (Surat Keterangan Asal Usul), untuk hasil hutan yang berasal dari hutan hak.
130
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan19 dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
19
luas (penjelasan psl 3); memperhatikan hak-hak masyarakat dalam pembagian blok (penjelasan psl 5). ¾ Tata hutan kws TAHURA dilaksanakan unit pengelolaan (penentuan tata batas; iventarisasi, edentifikasi, perisalahan kondisi kawasan; pengumpulan data sosial budaya di kws hutan & sekitarnya, pemancangan tata batas blok; pengukuran dan pemetaan) (psl. 9 ayat 1) ¾ Kws blok : pemanfaatan, koleksi tanaman, perlindungan dan blok lainnya (blok pemanfaatan tradisional, rehabilitasi dll) (psl 9 ayat 2). ¾ Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan serta pemanfaatan hutan di seluruh kws hutan mrpk kewenangan pemerintah dan PemDa (psl 3). ¾ Pada areal tertentu dalam kws hutan ditetapkan oleh pemerintah sbg hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa, dan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK). (psl 11 ayat 2). ¾ Pemerintah, PemDa propinsi & kabupaten/kota, sesuai kewenangannya wajib mengembangkan hutan hak melalui fasilitasi, penguatan kelembagaan dan sistem usaha (psl. 103)
lindung dapat dirubah statusnya menjadi kws hutan dan pemerintah berkewajiban memberi kompensasi kpd pemegang hak (psl 69). ¾ Masyarakat dapat mengakses sumberdaya hasil hutan sesuai dgn peraturan yang berlaku berupa surat dokumen (SKSHH, SATS, & SKAU)18 sbg bukti legalitas untuk dasar pengkuran dan pengujian fisik hail hutan (psl 73-78). ¾ Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal,adil, & lestari bagi kesejahteraan masyarakat (psl 17 ayat 1). ¾ Pemanfaatan hutan yaitu pemanfaatan kws, jasa lingkungan, hasil hutan kayu & non kayu, pemungutan hasil hutan kayu & non kayu (psl 17 ayat 2).
¾ Mekanisme telah diatur dalam peraturan ini, dan perlu ditindaklanjuti dalam peraturan daerah dan petunjuk operasional mengenai kejelasan peran masing-masing sesuai fungsi hutan dan peruntukannya.
Tata hutan adalah suatu kegiatan untuk mengorganisasikan areal kerja KPH sesuai dengan karakteristik KPH dan hak-hak masyarakat sehingga perencanaan dan kegiatan pengelolaan KPH dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien (penjelasan psl. 11 ayat 1).
131
¾ Hak masyarakat adat Ketetapan MPR dilindungi, dihormati dan Nomor : dihargai oleh negara atas IX/MPR/2001, sumberdaya alam (pasal 4 tentang Pembaruan ayat j). Agraria dan ¾ Melaksanakan penataan Pengelolaan kembali penguasaan, Sumberdaya Alam. pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land reform), yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat (pasal 4 ayat k).
¾ DPR bersama ¾ Masyarakat berhak Presiden mendapatkan akses berkewajiban informasi mengenai untuk mereubah potensi sumberdaya semua undangalam di daerahnya dan undang dan pemerintah peraturan berkewajiban pelaksanaannya mendorong yang tidak sejalan terwujudnya tanggung dengan TAP MPR jawab sosial untuk No. IX/MPR/2001 menggunakan (pasal 6). teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional (pasal 5 ayat 2 poin c). ¾ Kriteria panitia ¾ Masyarakat lokal tata batas areal memiliki akses untuk yang ditata batas membuat share dan meliputi 9 unsur pengakuan terhadap di ketuai oleh penataan batas kws Bupati/walikota. hutan. Salah satu unsur ¾ Masyarakat di dalamnya mengetahui aktivitas adalah tokoh dan dapat dilibatkan masyarakat dalam proses setempat (pasal 8 pengukuran. ayat b). ¾ Memahami fungsi kws ¾ Standar panitia TAHURA melalui penyuluhan atau tata batas sebagai sosialisasi dari kawasan hutan pelaaksana/petugas. adalah pejabat ¾ Dalam proses instansi pemda, pelaksanaan tata batas pejabat instansi masyarakat lokal kehutanan yang seperti institusi adat menangani harus masuk sebagai pengukuhan komponen di kawasan hutan di dalamnya. daerah, kepala ¾ Menerima informasi desa, tokoh/ketua yang lebih lengkap dan masyarakat adat mendapatkan manfaat setempat (pasal dari program yang 14). akan maupun sedang dilaksanakan.
Keputusan Menteri ¾ Kriteria status areal yang ditata batas sbg kws hutan Kehutanan Nomor memperoleh pengakuan : 32/Kpts-II/2001, para pihak (masyarakat, tentang Kriteria badan hukum, pemerintah) dan Standar di sepanjang trayek Pengukuran penataan batas (pasal 7 Kawasan Hutan. ayat 2 poin c). ¾ Kriteria Berita Acara Tata Batas (BATB) sementara telah diumumkan kepada masyarakat (pasal 9 ayat 3 poin a1). ¾ Memuat pernyataan pengakuan masyarakat di sepanjang trayek penataan batas kawasan hutan (pasal 9 ayat 3 poin a2). ¾ BATB definitif, adanya pernyataan tidak tercatat hak-hak kepemilikan atas tanah, tanam tumbuh, bangunan dsb (pasal 9 ayat 3 poin b2). ¾ Berita acara pengakuan hasil pembuatan batas yang ditandatangani oleh wakil/tokoh/Ketua adat masyarakat setempat, kepala desa, instansi kehutnanan daerah, camat, ketua tim pelaksana tata batas dan bupati/walikota (pasal 12 ayat 2 poin a). ¾ Wilayah pengelolaan ¾ Pemerintah Keputusan Menteri ¾ Penyelenggaraan hutan kabupaten/kota hutan kemasyarakatan kemasayarakatan bertujuan Kehutanan Nomor menetapkan adalah kawasan hutan untuk memberdayakan 31/Kpts-II/2001, kriteria masyarakat yang menjadi sumber masyarakat setempat dalam tentang
132
pengelolaan hutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya (pasal 3). ¾ Ruang lingkup penyelenggaraan hutan kemasyarakatan meliputi pengaturan tugas dan fungsi serta tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam aspekaspek penetapan wilayah pengelolaan, penyiapan masyarakat, perizinan, pengelolaan, dan pengendalian. (pasal 4). ¾ Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin lain di bidang kehutanan (pasal 5 ayat 2). ¾ Penentuan rencana lokasi dan luas areal kerja jangka waktu pengelolaan, dilakukan secara partisipatif oleh pemerintah kabupaten/kota bersama masyarakat setempat dengan memperhatikan kemampuan kelompok, potensi lahan dan hutan, dan pertimbangan teknis dari instaansi kehutanan di daerah (pasal 12 ayat 3). ¾ Hak pemerintah pusat KepMenHut No. terhadap pengelolaan 107/Kpts-II/2003 TAHURA masih tentang didominasi, daerah hanya Penyelenggaraan merupakan perpanjangan Tugas Pembantuan tangan pemeerintah pusat Pengelolaan dan masyarakat lokal Kaili TAHURA oleh dalam kawasan hutan juga Gubernur atau menjadi korban kebijakan. Bupati/Walikota. Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.
setempat yang penghidupan perlu dipersiapkan masyarakat setempat sebagai calon (pasal 6 ). pengelola hutan ¾ Meningkatnya kemasyarakatan kesiapan kelembagaan (pasal 15). masyarakat setempat ¾ Blok perlindungan yang difasilitasi adalah bagian areal pemerintah kabupaten/ kerja yang harus kota (pasal 12). dilindungi ¾ Kegiatan pemanfaatan berdasarkan di hutan lindung dapat pertimbangan dilakukan pada blok keberlanjutan perlindungan dan blok hidrologis antara budidaya (pasal 38). lain : 200 meter ¾ Apabila pengelolaan dari tepi mata air hutan kemasyarakatan dan kiri kanan menimbulkan kerugian sungai di daerah bagi kepentingan rawa, 100 meter umum dari segi dari kiri kanan tepi sungai, 50 meter lingkungan hidup, dari tepi kiri kanan masyarakat luas dapat anak sungai, 2 kali melakukan gugatan kedalaman jurang perwakilan kepada dari tepi jurang, pemerintah lahan berlereng kabupaten/kota. (pasal lebih dari 40 %, 54). serta pertimbangan pelestarian plasma nutfah.
¾ Akses daerah terhadap ¾ Tugas pembantuan TAHURA terbatas, berkaitan dengan karena pemerintah teknis pusat belum dioordinasikan sepenuhnya kepada BKSDA menyerahkan kepada sebagai daerah karena masih pelaksanaan ada kepentingan yang program pusat di lebih besar. daerah (pasal 2 ayat 2).
133
¾ Akses masyarakat Pengelolaan Surat Keputusan ¾ Hak masyarakat terhadap Dinas terhadap hak milik dilakukan Gubernur Nomor : lahan dan tanaman di dalamnya dikurangi bahkan akan dikurangi dan Pariwisata, peran 188.44/1400/DIS lambat laun akan masyarakat tidak akan dihilangkan. Pemilik BUDPARhilang karena kekuatan jelas. lahan/tanah tidak dapat G.57/2003. mengembangkannya, setiap penguasa (kekuasaan). tiga bulan harus melapor ke pemerintah daerah yang dikoordinasikan oleh Bappeda Propinsi Sulteng. ¾ Untuk menikmati dan ¾ Masyarakat Peraturan Daerah ¾ Untuk memanfaatkan memberikan memanfaatkan ruang ruang berdasarkan Nomor 2 Tahun saran, tanggapan beserta sumberdaya potensinya, diarahkan pada 2004, tentang kepada gubernur alam yang terkandung pola investasi untuk Rencana Tata melalui Tim di dalamnya, berupa meningkatkan Ruang Wilayah Koordinasi manfaat ekonomi, pembangunan kawasan Propinsi Sulawesi Penataan Ruang sosial dan lingkungan (pemerintah, swasta, dan Tengah Daerah (TKPRD), dilaksanakan atas masyarakat), disampaikan dasar penguasaan, meminimalkan konflik secara lisan atau sesuai dengan pemanfaatan ruang dan tertulis. Secara ketentuan peraturan mengupayakan sinergi teknis mekanisme perundangan ataupun pembangunan yang tinggi peran masyarakat atas hukum adat dan (kabupaten/kota dan akan diatur kebiasaan yang propinsi). melalui keputusan berlaku atas ruang ¾ Berperan serta dalam gubernur (belum pada masyarakat proses perencanaan tata ada). setempat. ruang, pemanfaatan ruang, ¾ Pemberian informasi, ¾ Penggantian yang dan pengendalian layak atas saran, pertimbangan pemanfaatan ruang. kerugian terhadap atau pendapat dalam ¾ Pengakuan dan perubahan status penyusunan strategi perlindungan hak-hak semula yang dan struktur keperdataan masyarakat dimiliki pemanfaatan ruang (pasal 100 ayat d). wilayah propinsi (pasal masyarakat akibat ¾ Mempereoleh penggantian pelaksanaan 106 ayat d). yang layak atas kondisi RTRWP Sulawesi yang dialami masyarakat Tengah sebagai akibat pelaksanaan diselenggarakan kegiatan pembangunan dengan cara yang sesuai dengan rencana musyawarah antar tata ruang (pasal 100 ayat pihak e). berkepentingan (pasal 103 ayat 1).
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 menjelaskan bahwa perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis
yang
menunjang
kelangsungan
kehidupan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (psl 7). Hal ini menunjukan betapapun kawasan pelestarian alam dan kawasan konservasi berupa Taman
134
Nasional, Taman Hutan Raya (TAHURA), dan Taman Wisata Alam, memperkuat keyakinan bahwa manusia juga merupakan ekosistem di dalamnya. Dengan demikian maka peran serta rakyat (masyarakat) dalam pengelolaan kawasan pelestarian, konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat dalam kawasan hutan. Peran-peran masyarakat tersebut diarahkan dan digerakan pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Dalam hal ini pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat melalui pendidikan dan penyuluhan dalam mengembangkan peranserta tersebut. Undang-undang merupakan kerangka normatif yang dijadikan acuan bagi pengelola, dan elemen yang terkait termasuk masyarakat. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 merupakan aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Peraturan Pemerintah (PP) tersebut memaklumatkan kepada pengelola (pemerintah) bahwa penyusunan rencana pengelolaan kawasan TAHURA (Cagar Alam, Hutan Lindung, Wisata Alam) berdasarkan kajian aspek ekologis, teknis, ekonomis, sosial budaya dan politik. Aspek-aspek tersebut merupakan dasar yang menjadi pertimbangan untuk memberikan ruang dan peluang bagi masyarakat untuk dapat berperan aktif dalam pengelolaannya.
Keterlibatan masyarakat sangat penting dan prioritas harus
diberikan khususnya bagi daerah-daerah yang kawasan hutannya telah dikelola secara efisien oleh masyarakat. Hal ini mungkin dapat memperkecil biaya transaksi seperti memberikan penguatan dan hak-hak masyarakat adat (Fay dkk, 2006). Hal tersebut sejalan dengan bunyi pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 bahwa penetapan daerah-daerah penyangga tetap menghormati hak-hak dari pemegang hak. Untuk membina fungsi daerah penyangga pemerintah diwajibkan melakukan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, peningkatan rehabilitasi lahan, peningkatan produktivitas dan kegiatan lainnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Konsep tersebut sangat memadai untuk dijadikan pegangan bagi komunitas masyarakat di dalam kawasan hutan, namun masih panjang prosedural untuk mencapainya.
135
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah, maka proses pengelolaan TAHURA SULTENG berada pada pemerintah daerah. Peraturan tersebut justru tidak memberikan kejelasan bagi masyarakat dalam pengelolaan TAHURA. Peraturan ini (PP No.62/1998) seharusnya menindaklanjuti peraturan No. 68/1998 yang harapannya dapat memperjelas mekanisme pengelolaan untuk menjadi acuan teknis bagi pemerintah daerah, namun hal ini masih jauh dari keinginan hati rakyat. Akses masyarakat terhadap sumberdaya alam semakin tidak jelas termasuk hak-hak de fakto diabaikan. Peraturan tersebut nampaknya hanya mengadopsi sebagian isi dari PP No. 68/1998, bukan menjabarkan, menyempurnakan kelemahan, dan memperjelas peran daerah termasuk masyarakat dan stakeholder seperti dinyatakan dalam pasal 5 ayat 1 PP No. 62/1998 berbunyi masyarakat berhak mendapatkan penyuluhan, pengelolaan hasil hutan non kayu, perburuan tradisional dan pelatihan keterampilan masyarakat. Dalam situasi yang berbeda, terbit Keputusan Menteri Kehutanan No. 461/Kpts-II/1995, yang menetapkan perubahan fungsi Cagar Alam Poboya, Hutan Lindung Paneki dan PPN xxx menjadi Taman Hutan Raya dengan nama sementara TAHURA PALU.
Keputusan tersebut tidak mengatur akses masyarakat dalam
pengelolaan TAHURA. Untuk memperjelas statusnya, maka terbit lagi Keputusan Menteri Kehutanan No. 24/Kpts-II/1999 yang mengukuhkan kelompok hutan TAHURA SULTENG seluas 7.128 hektar yang sekaligus menetapkan tata batas tetap dengan mengacu pada Berita Acara Tata Batas (BATB) tangal 13 Juni 1997. Proses penandatanganan berita acara yang seharusnya diwakili oleh semua elemen (para stakeholders), nampaknya belum memenuhi aspirasi para pihak. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan didapatkannya tapal batas yang dipancang di dalam kebun dan halaman rumah warga (kasus Tompu), yang seharusnya tidak terjadi. Tahapan pemancangan awal adalah penetapan tata batas dengan titik koordinat melalui foto citra, namun setelah dilakukan ground chek atau dilakukan trayek batas maka koordinat yang berada pada kebun dan halaman warga masyarakat sudah dilakukan pergeseran dan pengelola harusnya sudah melakukan negosiasi, komunikasi dan
136
penyampaian bahwa wilayah tersebut telah ditetapkan sebagai daerah pelestarian alam dengan nama TAHURA yang juga di dalamnya masyarakat sebagai bagian ekosistem. Fungsi dan peruntukan TAHURA seharusnya telah dipahami masyarakat saat pelaksanaan trayek batas, akan tetapi hal ini tidak terjadi. Petugas lapangan mengabaikan keberadaan masyarakat di dalam kawasan sehingga akhir-akhir ini menjadi krusial dan menuai protes bahkan jika tidak dilakukan negosiasi dengan para pihak yang terkait khususnya masyarakat pemukim dalam kawasan, akan terjadi penolakan atas kehadiran TAHURA. Hal ini tentu tidak diinginkan terjadi, karena TAHURA SULTENG merupakan penyangga kehidupan dan sumber air bagi umumnya masyarakat di wilayah Timur Kota Palu. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang merupakan revisi dari UU No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, memberikan ruang dan peluang yang besar bagi masyarakat adat dan menghargai hak-hak ulayat, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat dengan prinsipprinsip keberlanjutan. Hak-hak yang harusnya diterima masyarakat dan mendapat pelayanan pemerintah berupa pengakuan dan pemberian hak komunal dan privat, mendapatkan pemberdayaan dan pendampingan baik dilakukan langsung maupun melalui kemitraan dengan pihak lain. Hal ini akan berkonsekwensi pada pengelolaan yang taat aturan termasuk dalam penggunaan izin pemanfaatan sumberdaya hasil hutan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah melakukan gugutan perwakilan ke penegak hukum atas kerusakan hutan yang merugikan masyarakat lokal. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat lokal menurut perspektif peraturan perundang-undangan kehutanan menunjukkan adanya keinginan yang baik sekalipun masih terdapat kelemahan-kelemahan. Hal ini dapat ditunjukan dalam pasal-pasal UU No. 41/1999 bersama pelaksanaannya. UU No. 41/1999 mengamanatkan bahwa pembentukan wilayah pengelolaan, pemanfaatan sumberdaya alam (hutan) mempertimbangkan situasi lokal dalam aspek-aspek sosial, budaya, ekonomi dan institusi masyarakat lokal yang bermuara pada pensejahteraan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah daerah diberikan wewenang untuk bertindak jika terjadi hal-hal yang merugikan masyarakat. Pemaknaan hal tersebut menunjukan
137
bahwa berbagai program pembangunan dan aktivitas yang bersentuhan langsung dengan sumberdaya alam (hutan), tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan pemerintah semata dan pendekatan sektoral, namun keterlibatan para pihak dari awal (proses prakondisi) hingga pada pengambilan keputusan akhir. Keterlibatan ini tentu saja akan berkelanjutan dan kontinue dalam berbagai aspek yang berkaitan pengelolaan sumberdaya dalam kawasan hutan TAHURA. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Peraturan tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Untuk memenuhi kebutuhan para pihak, dilakukan penyempurnaan PP No. 34/2002 dengan PP No. 6 Tahun 2007. Selain penyempurnaan atas PP No. 34/2002 yang secara substansi memberikan perubahan signifikan, namun kelemahannya memposisikan pihak swasta pemilik izin untuk tetap eksis melakukan eksploitasi tambang di dalam kawasan hutan lindung dan cagar alam. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 akan mengundang polemik dan sumber memicu konflik baru, jika pemegang izin penambangan emas di TAHURA akan melakukan aktrivitasnya. Peraturan tersebut telah melegalkan kembali penambangan dalam kawasan hutan tanpa kecuali, baik hutan lindung, kawasan cagar alam maupun kawasan-kawasan hutan yang berpenghuni sekalipun. Dalam penjelasan pasal-pasalnya telah menyebutkan dan memberikan ruang yang jelas kepada masyarakat di sekitar/dalam kawasan hutan, namun nampaknya dilematis.
Sementara dalam pasal 17 ayat 2 menyebutkan,
pemanfaatan hutan adalah pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan non kayu dan pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu. Bunyi ayat tersebut jika di integrasikan dengan TAP MPR No. IX/MPR/2001, nampaknya menunjukkan adanya penguatan secara normatif bagi masyarakat, namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sudah sejauh manakah aturan pelaksanaan ini dijalankan pada tataran implementasi ? Sudah siapkah dan atau seperti apa respon pemerintah daerah
138
dalam
menyikapi
peraturan
tersebut
dalam
mengintegrasikannya
dengan
pembangunan daerah? Sebagai konsekwensi dari sebuah peraturan pelaksanaan, maka dibuatlah keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 32/Kpts-II/2001 tentang kriteria dan standar pengukuran kawasan. Keputusan tersebut dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan atau implementasi kebijakan tidak kebablasan, sehingga perlu petunjuk yang runut sampai pada tingkat pelaksanaan. Beberapa pasal dalam keputusan tersebut menyebutkan bahwa kriteria penetapan status areal yang ditata batas sebagai kawasan hutan memperoleh pengakuan para pihak (masyarakat, badan hukum, pemerintah daerah hingga tingkat desa dan dusun) disepanjang trayek penataan batas (pasal 7 ayat 2 poin c). Makna eksplisit yang dapat dicermati dari ayat tersebut, saat melakukan trayek penataan batas telah teridentifikasi/teriventarisir berbagai
informasi
tentang
hal-hal
yang
berkaitan
dengan
kriteria
yang
dipersyaratkan dalam trayek penataan batas. Keadaan ini dari fakta lapangan yang ada di TAHURA SULTENG, bahwa penyelesaian administrasi dilakukan pada elitelit dari desa-propinsi ; komponen masyarakat termasuk rakyat yang terkena dengan trayek batas diabaikan.
Dalam pasal lain juga berbunyi kriteria Berita Acara Tata
Batas (BATB) sementara telah diumumkan kepada masyarakat (pasal 9 ayat 3 poin a1), dan selanjutnya dalam ayat 3 poin b2 pasal yang sama berbunyi BATB definitif adanya pernyataan tidak tercatat hak-hak kepemilikan atas tanah, tanaman tumbuh, bangunan/pemukiman. Berita acara pengakuan hasil pembuatan batas yang ditandatangani oleh wakil/tokoh/ketua adat masyarakat setempat, kepala desa, instansi kehutanan daerah, camat, ketua tim pelaksana tata batas dan bupati/walikota (pasal 12 ayat 2 poin a). Hasil penelitian menunjukan sejumlah tujuh tokoh adat komunitas, dan sejumlah responden yang kena trayek penataan batas tidak pernah membubuhi tandatangan ataupun cap jempol dalam sebuah berita acara yang berkaitan dengan penataan batas TAHURA SULTENG. Masyarakat umumnya penduduk dari komunitas yang berdomisili dalam kawasan tidak tahu-menahu seperti apa bentuk dan pengelolaannya, dan mereka akan dikemanakan jika peraturan menurut petugas lapangan Dinas Kehutanan Propinsi
139
akan bebas dari pemukiman masyarakat.
Informasi tersebut sangat ironis jika
memaknai pengertian ekosistem, bahwa pemukiman masyarakat dalam kawasan merupakan bagian dari ekosistem kawasan, telah menyatu dengan alam sekitar dan hidup dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam pelaksanaan di lapangan sangat berbeda dengan yang dianjurkan dalam keputusan ini. Pasal 14 berbunyi, standar panitia tata batas sebagai kawasan hutan adalah pejabat instansi pemerintah daerah, pejabat instansi kehutanan yang menangani pengukuhan kawasan hutan di daerah, kepala desa, tokoh/ketua masyarakat adat setempat.
Tokoh masyarakat
adat20, dan beberapa pejabat instansi pemerintah21, yang berkaitan dengan penatapan TAHURA SULTENG menunjukan tidak dilibatkannya komponen lokal (institusi adat, tokoh masyarakat dari masing-masing-masing komunitas). Produk kebijakan yang ada saat ini cukup memadai untuk mengeliminir kesenjangan yang terjadi dari dampak penataan batas, jika respons pemerintah daerah cerdas mengapresiasinya, namun beberapa peraturan masih juga terdapat kelemahan antar peraturan yang satu dengan lainnya. Peraturan operasional seyogyanya tidak membingungkan masyarakat, dimana peraturan perundangan merupakan acuan dalam kehidupan bermasyarakat termasuk mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan dan penghidupan yang layak. Kenyataan menunjukkan tidak sedikit peraturan yang menimbulkan kontraversi di kalangan masyarakat dan stakeholder (Kartodihardjo, 2006).
Kartodihardjo memberikan contoh empirik mengenai perubahan-perubahan
peraturan yang kontradiktif, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
20
Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat adat : Randa Wali (tokoh adat Tana Lando), Pasiringgi (tokoh adat masyarakat Tompu), Sanatandji (tokoh adat masyarakat Uentumbu), Ali Djaludin M (tokoh adat masyarakat Bunti Pobau & DAS Pondo), Muslima (tokoh adat masyarakat Vatutela) dan Hi. Djadja (tokoh adat masyarakat Vintu), mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses penataan batas hingga pengambilan keputusan penetapan kawasan hutan TAHURA SULTENG. 21 Hasil wawancara dengan para top pimpinan : Said Awad (Kepala BAPEDALDA Propinsi Sulawesi Tengah, Istanto (Kepala BKSDA), Trimuljono Admomartono (Kepala BP-DAS), dan Hedar Laudjeng (Ketua LSM Perkumpulan Bantaya), memperkuat keyakinan bahwa pelaksanaan tata batas dilakukan sepihak, tanpa negosiasi dengan aktor di dalamnya. Bahkan dalam wawancara dua orang pimpinan instansi pemerintah menyarankan untuk dilakukan rekonstruksi kempali tata batas TAHURA SULTENG yang telah ditetapkan definitif saaat ini. Pertimbangannya, jika masyarakat bukan pelaku dan masuk dalam organik pengelolaan, program tersebut tidak akan jalan, stagnasi, dan kawasan tersebut akan terancam tereksploitasi tanpa terkendali.
140
(Perpu) No. 1 Tahun 2004 tentang perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan22. Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 merupakan salah satu peraturan teknis pelaksanaan dari UU No. 41/1999 yang dapat memberikan peluang yang luas bagi masyarakat, dan dapat mengakomodir kepentingan banyak pihak. Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat khususnya yang berdomisili dalam kawasan hutan. Ruang lingkup penelenggaraan hutan kemasyarakatan meliputi pengaturan tugas dan fungsi serta tanggung jawab pemerintah daerah dan masyarakat dalam aspek-aspek wilayah pengelolaan, penyiapan masyarakat, perizinan pengelolaan dan pengendalian (pasal 4). Hal ini sekali lagi dinyatakan bahwa antar pemerintah daerah dengan masyarakat belum dapat melakukan negosiasi, dimana paradigma pemerintah daerah saat ini kekuatan dan keabsahan dari TAHURA SULTENG adalah legalitas formal dan administratif, dan jika terdapat kelompok masyarakat yang memprotes dan atau menolak berarti melawan pemerintah. Sementara paradigma yang dianut masyarakat berbeda, yaitu raakyat juga merupakan bagian dalam menentukan keputusan, apalagi kawasan tersebut adalah juga hak de fakto yang telah lama dikuasai sebelum ditetapkan menjadi TAHURA SULTENG. Perbedaan paradigma tersebut merupakan salah satu faktor penghambat bagi keduanya untuk bersepakat (pemerintah ego dengan kekuasaannya vs masyarakat berpandangan kebenaran ada di pihak mereka). Dampak yang diterima oleh pemerintah daerah dalam proses penetapan tersebut adalah menurunnya kepercayaan masyarakat atas pengelolaan TAHURA SULTENG. Rendahnya ketidakpercayaan masyarakat kepada birokrasi pemerintah, dengan tidak melaksanakan beberapa amanah dari isi peraturan seperti penentuan rencana lokasi dan luas areal kerja jangka waktu pengelolaan, dilakukan secara partisipatif oleh pemerintah kabupaten/kota bersama masyarakat setempat dengan memperhatikan kemampuan kelompok, potensi lahan, hutan dan pertimbangan teknis dari instansi 22
Lihat Kartodihardjo, H. (2006 ; 77 - 99), kronologis perubahan undang-undang no. 41/1999 tentang Kehutanan dan perundangan lainnya, menunjukkan kelemahan pemerintah dalam penyusunan peraturan perundang-undangan pengelolaan sumberdaya alam, dalam Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia.
141
kehutanan di daerah (pasal 12 ayat 3). Daerah dalam pengelolaan TAHURA belum merupakan bagian yang strategis dan prioritas dalam pengembangan program, apalagi kebiasaan yang telah bertahun-tahun dengan pengelolaan yang sifatnya sektoralis, sementara TAHURA pengelolaannya holistis. Untuk merubah kebiasaan ini membutuhkan proses yang melembaga dengan keinginan dan kemampuan profesional yang memadai dari pemimpinnya. Tidak berjalannya governance resources
karena ketidakmampuan pengelola dalam mengkolaborasikan beragan
kepentingan di dalamnya. Hal ini dibenturkan lagi dengan KepMenHut No. 107/KptsII/2003 tentang penyelenggaraan tugas pembantuan pengelolaan TAHURA oleh Gubernur dan Bupati/walikota bahwa hak pemerintah pusat terhadap pengelolaan TAHURA masih dominan, dan daerah hanya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Tugas pembantuan tersebut secara teknis dikoordinasikan kepada BKSDA sebagai pelaksana program pusat di daerah (pasal 2 ayat 2). Kondisi ini sangat sulit untuk dapat berkomunikasi dengan baik di tataran implementasi khususnya dalam aspek koordinasi. Secara hirarki birokrasi, BKSDA dalam struktur pemerintahan termasuk dalam eselon III, sementara Dinas Kehutanan eselon II. Situasi ini masing-masing instansi dalam institusi pemerintah sendiri masih menunjukan ego sektoral dan strukturalnya, bukan berpegang pada prinsip fungsional terhadap sesuatu program yang merupakan tanggung jawabnya. Data faktual menunjukkan kelemahan kapasitas kelembagaan pemerintah yang diwakili Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah. Indikator lain yang dapat ditunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah No. 62/1998 mengamanatkan pengelolaan di bidang kehutanan khususnya TAHURA SULTENG adalah wewenang pemerintah daerah tingkat II (baca pasal 5 dan 6). Sesuatu yang ironis ditemukan di lapangan bahwa pengelolaan TAHURA tidak dapat berjalan (oleh Pemda Kabupaten dan kota), karena kendala utama adalah belum adanya pelimpahan wewenang dan atau wewenang berada pada Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Tengah23
23
”Ir. Zainal Arifin H. Tongko, SH, MS”, Kepala Dinas Kehutanan Kota Palu Sulawesi Tengah.
Dinas Kehutanan Kota Palu menunggu kewenangan pengelolaan di Propinsi sekaligus kebijakan pengelolaannya. Belum ada tindaklanjut dari Propinsi mengenai SK Menteri No. 24/Kpts-II/1999 kepada
142
Pelaksanaan tugas pembantuan sebagaimana pasal 7 dalam Peraturan Pemerintah No. 62/1998 yang ditindaklanjuti dengan KepMenHutBun No. 107/KptsII/2003 tentang penyelenggaraan tugas pembantuan pengelolaan TAHURA oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Pengelolaan TAHURA dalam pasal 2 dan 5 PP No. 62/1998 yang diperjelas dalam pasal 7, bahwa tugas pembantuan dapat berjalan jika kegiatan pengelolaan mendapat persetujuan Menteri Kehutanan.
Keadaan ini
merupakan salah satu indikasi bahwa pengelolaan TAHURA separuh sentralistik, atau dapat dikatakan belum sepenuhnya otonom. Situasi seperti ini pihak pusat belum sepnuhnya memberikan kewenangan, dan mengindikasikan pemerintah daerah nampaknya belum memiliki ”kemampuan" untuk mengelola TAHURA secara komprehenship, karena kawasan ini banyak kepentingan yang terlibat (stakeholders). Hal ini terbukti bahwa selama penyerahan kepada pemerintah daerah tahun 1998, belum terdapat aktivitas yang signifikan dilakukan, terutama koordinasi yang melibatkan stakeholders, khususnya masyarakat lokal Kaili yang bermukim dalam kawasan sejak lama. Faktor lain yang menjadi hambatan di daerah adalah tidak berjalannya pengelolaan dan kurang dipahaminya peraturan yang telah diterbitkan pemerintah, baik pengelola yang terlibat dalam kebijakan maupun pengelola teknis, termasuk peraturan daerah (PerDa) No. 2 Tahun 2004 mengenai Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah. Peraturan Daerah yang mengatur khusus TAHURA SULTENG belum dibuat termasuk perangkat teknis lainnya (lunak dan kasar). Hal ini diperkuat dengan persepsi dari Dinas Kehutanan yang seolah-olah bukan wewenangnya dalam melakukan pengelolaan yang mengkoordinasikan para stakeholder yang berkepentingan di dalamnya. Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 nampaknya belum dicermati baik pimpinan instansi (Kepala Dinas, Kepala Sub Bidang maupun pengelola Teknis Lapangan). Situasi ini sangat ironis tatkala pemegang kendali tidak memahami apa yang akan dikerjakan, sementara pihak lain banyak yang bergantung kepada-nya, dan yang lebih memilukan bahwa kebijakan
daerah tingkat II sehingga dinas teknis belum bisa ”sembarang masuk”, wawancara tanggal 3 Agustus 2006 di ruang kerjanya di Palu.
143
pengelolaan kawasan tersebut masih
berada sebagian pada pemerintah pusat 24 .
Sementara peraturannya telah jelas bahwa pemerintah propinsi (dinas) melaksanakan kebijakan
pengelolaan
TAHURA
lintas
kabupaten
dan
kota,
dan
dinas
kabupaten/kota melaksanakan kebijakan pengelolaan TAHURA SULTENG dalam wilayah kabupaten/kota. Gubernur menindaklanjuti kebijakan ini juga seadanya, hanya melihat dari sisi kepentingan kontribusi pendapatan daerah, bukan memandang sebagai aset daerah yang akan memberikan kontribusi besar dalam berbagai hal untuk mendukung keberlanjutan pembangunan masa depan dan ekosistem kawasan hidrologi yang kepentingannya sama dengan aspek lain. Indikator tersebut ditunjukkan dengan sikap pemerintah daerah bahwa hingga penelitian ini selesai, belum dibuatnya Peraturan Daerah yang mengatur secara mandiri, dan kontribusi TAHURA SULTENG dengan ekosistem yang ada ; masyarakat bukan sebagai aset yang dapat memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian daerah, namun dianggap sebagai hambatan dan tantangan/ancaman.
Sementara ruang yang diberikan kepada masyarakat
sebagaimana termaktub dalam Peraturan Daerah No. 2/2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah dinyatakan, untuk menikmati dan memanfaatkan ruang beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya berupa manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dilaksanakan atas dasar penguasaan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku atas ruang pada masyarakat setempat.
Hal yang sama
disebutkan dalam pasal 103 ayat 1 PerDa No. 2/2004 berbunyi pergantian yang layak atas kerugian terhadap perubahan status semula yang dimiliki masyarakat akibat pelaksanaan RTRWP Sulawesi Tengah, diselenggarakan dengan cara musyawarah antar pihak yang berkepentingan. Peraturan tersebut hanya merupakan slogan dan persyaratan administratif, bukan menjadi acuan dalam menyusun setiap program implementasi. Hal yang lebih ironis lagi tentang persepsi Dinas Kehutanan yang
24
Hasil Wawancara Pth. Kadis Kehutanan “Ir. Haerul Anantha” dan Ir.Jein, Kepala Sub Bidang Konservasi dan Pelestarian Hutan Alam (KPHA) Propinsi Sulawesi Tengah, Maret 2006.
144
seolah-olah
bukan
wewenangnya
dalam
melakukan
pengelolaan
untuk
mengkoordinasikan para stakehoder yang terkait dengan TAHURA SULTENG. Peraturan yang melarang aktivitas di dalam kawasan Taman Hutan Raya tidak cukup dan tidak menjamin kelestarian dan rusaknya kawasan hutan. Bagaimana ekosistem kehidupan bisa dijalankan bersama antar perangkat hukum yang mengatur pengelolaan memberikan peluang dan akses yang sama sehingga keberadaan hutan TAHURA merupakan tanggung jawab bersama.
Masyarakat di dalam kawasan
bersama institusi adatnya dapat dimaksimalkan fungsinya sebagai aktor yang benarbenar eksis, bukan hanya slogan yang dijadikan persyaratan administratif. Mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan
(prakondisi, perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi), termasuk peran kontrol diberikan kepada institusi adat yang eksis di lapang atau lokasi dimana mereka bermukim.
Keadaan ini akan lebih
memberikan dampak positif yang menjanjikan atas keberlanjutan terjaganya ekosistem TAHURA. Hal tersebut didukung dengan kondisi geografis pemukiman warga berada hampir semua sisi yang masuk dalam trayek batas. Situasional tersebut menganjurkan untuk didefinisikan tersendiri menurut perspektif lokasi yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya yang unik, sehingga dalam implementasi dapat berjalan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Hal ini akan dapat berjalan jika semua elemen duduk satu meja untuk mengharmonisasi kebijakan-kebijakan yang diangap belum sinkron dengan situasi lokal daerah Sulawesi Tengah. Jika hal ini dilakukan maka yang akan terjadi adalah peninjauan kembali trayek batas secara bersama (komprehenship) sehingga akan menghasilkan peta dengan alur penyesuaian situasi lapangan.
Hasilnya mungkin bukan hanya
berupa satu cincin gelang utuh, tapi akan terbentuk beberapa cincin-cincin gelang yang diantaranya adalah kebun rakyat dan lahan-lahan komunal. Akses terhadap kebun-kebun dan lahan komunal ini jika dimaksimalkan akan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan ekonomi petani, sosial budaya dan ekologis, pada
145
gilirannya hutan TAHURA akan terjaga dari gangguan baik dari dalam sendiri maupun dari luar25. Secara operasional petunjuk
termasuk mekanisme pengelolaan TAHURA,
sampai penelitian ini selesai dilaksanakan belum ditemukan peraturan maupun kebijakan lain yang menjelaskan mekanisme dan peran masing-masing stakeholder. Peraturan daerah yang menjadi acuan bagi pengelola belum dibuat, dan kini terjadi stagnasi dalam pengelolaannya. Daerah dalam hal ini nampaknya masih bingung dan enggan berbuat banyak, yang seharusnya memiliki apresiasi yang tinggi untuk merespon kebijakan pelimpahan wewenang pengelolaan
berdasarkan PP No.
62/1998. Pasal 3 dalam peraturan pemerintah tersebut menjelaskan, proporsi daerah dalam pengelolaan TAHURA meliputi kegiatan pembangunan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangannya. Lebih lanjut dijelaskan pada ayat berikutnya ; perlu dilakukan iventarisasi hak-hak pihak ketiga yang berkaitan dengan trayek batas. Hal ini belum pernah dilakukan khususnya tentang iventarisasi pada pihak ketiga, sehingga sampai saat ini polemik TAHURA tak kunjung berakhir. Undang-undang mengenai otonomi daerah (desentralisasi), yang menawarkan sejumlah peluang bagi maasyarakat lokal untuk mendapatkan ruang aspirasi yang lebih besar dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (hutan). Pemerintah yang terdesentralisasi akan lebih dekat dengan masyarakat, karenanya harus lebih tanggap terhadap tuntutan lokal dibandingkan skema pemerintahan yang terpusat (Fay dkk, 2006).
Selanjutnya, proses desentralisasi ternyata pemerintah
daerah yang tidak siap menghadapi reorganisasi skala besar, termasuk Sulawesi Tengah dengan beberapa daerah tingkat II, mengindikasikan belum sepenuhnya berkemampuan mengakses kebijakan tersebut dalam berbagai aspek pembangunan. Dalam atmosfir perubahan yang begitu cepat, stakeholder yang memiliki akses lebih baik kepada informasi pasar serta hubungan yang baik dengan calon pembeli potensial, serta kepada pejabat-pejabat pemerintah, memiliki keuntungan 25
Komunikasi personal dengan Languha, A. (April 2006) di Palu. Konsep pengelolaan yang berdimensi situasional perlu menjadi pertimbangan mendasar dalam perumusan kebijakan pengelolaan akses susmberdaya TAHURA SULTENG ke depan, karena di dalam kawasan terdapat ratusan hektar kebun ladang privat dan komunal dengan 529 KK (2.416 jiwa) yang menggantungkan kehidupannya dengan sumberdaya alam di TAHURA.
146
yang luar biasa.
Masyarakat tidak menikmati keunggulan tersebut, karenanya
menerima keuntungan yang sedikit. Dalam situasi tertentu, desentralisasi cenderung menjadi kendaraan bagi elit, politikus dan aparat keamanan setempat yang bergabung mengeksploitasi hutan (Down to Earth 2002 dalam Fay dkk, 2006). Secara keseluruhan
pengelolaan TAHURA SULTENG dengan proses
desentralisasi yang dipertegas melalui Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 dan didukung dengan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi Sulawesi Tengah. Pengaturan ruang daerah termasuk TAHURA, salah satu pasal di dalamnya, namun secara eksplisit dalam operasional TAHURA tidak ditindaklanjuti dalam mekanisme pengelolaan.
Banyak peraturan
pemerintah yang justru tidak menguraikan bahkan cenderung menyembunyikan dan menafikan keberadaan tanah-tanah ulayat masyarakat adat, yang secara kasar maupun halus yang diubah menjadi kawasan luas konsesi pembalakan hutan, perkebunan besar, dan pertambangan. Piranti hukum hanyalah langkah awal untuk memberikan basis keabsahan de jure, sehingga rakyat tidak lagi mempunyai alasan tandingan secara legal formal untuk mempertahankan hak-hak mereka. Perjuangan komunitas masyarakat adat Kaili Ledo dan Tara mempertahankan hak-haknya sedang berjalan, dan pemerintah daerah-pun hingga saat ini belum memberikan pengakuan dan perlindungannya. Dengan demikian, dapat dikemukakan beberapa hal yang menjadi kelemahan dalam pengelolaan akses sumberdaya TAHURA dari konteks kebijakan sebagai berikut : 1) Belum adanya aturan main yang jelas, ketidakmampuan pemerintah pusat untuk memantau dan menegakan undang-undang yang telah diterjemahkan menjadi prakarsa pemerintah daerah yang ternyata melampaui rentang tanggung jawab yang diberikan undang-undang dan peraturan yang diterbitkan pemerintah pusat (Fay dkk, 2006). 2) Proses
desentralisasi
telah
menciptakan
gelombang
harapan
dan
meningkatkan tekanan untuk perubahan di tingkat kabupaten dan kota, hingga mencapai titik dimana pemerintah pusat kehilangan kendalinya terhadap proses tersebut.
147
3) Pada daerah tingkat II, Kabupaten Donggala dan Kota Palu perwujudan peluang untuk menetapkan klaim atas sumberdaya TAHURA menciptakan sejumlah tuntutan yang kuat untuk penyelesaian konflik, dan faktanya pemerintah kabupaten dan kota tidak berkemampuan menyelesaikannya. 4) Pemerintah kabupaten dan kota berwewenang untuk menerbitkan perizinan bagi eksploitasi sumberdaya hutan skala kecil sehingga mereka memperoleh insentif untuk mempercepat eksploitasi guna meningkatkan pendapatan daerahnya. 5) Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 tidak disinggung ketentuan mengenai peranserta masyarakat dan urusan pemerintahan daerah di bidang kehutanan. Peranserta masyarakat adalah salah satu syarat terlaksananya sistem pemerintahan yang baik dan demokratis. Apabila peranserta masyarakat diabaikan, maka dikhawatirkan pembangunan yang dilaksanakan tidak mencerminkan aspirasi masyarakat (terjadinya pembangunan yang semu). 6) Kebijakan mengenai peranserta masyarakat dalam Peraturan Daerah No. 2/2004 tidak memberikan definisi yang jelas, dalam proses mana masyarakat berperan, apakah hanya terbatas pada menyetujui hasil keputusan
dari
pemerintah (seperti sekarang?) atau dilibatkan dari prakondisi penyusunan kebijakan hingga pengambilan keputusan.!!!