20
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Keadaan Umum Responden Petani yang mengikuti program Koperasi Hutan Jaya Lestari di Desa
Lambakara ini berjumlah 579 orang. Untuk pengambilan sampel digunakan statistik parametrik yang membutuhkan sampel minimal 30 sampel. Dari total petani tersebut diambil sampel sebanyak 55 orang sebagai responden. Dasar yang digunakan di dalam pengambilan sampel adalah luasan lahan hutan rakyat, dimana petani dibagi kedalam tiga strata yaitu strata I dengan luasan lahan <0,5 ha dengan jumlah responden 14 orang (25,45%), strata II dengan luasan lahan 0,5-1 ha dengan jumlah responden 11 orang (20%), dan strata III yang mempunyai luasan lahan lebih dari 1 ha dengan jumlah responden 30 orang (54,55%). Responden mempunyai tingkat pendidikan tergolong sedang. Dari 55 responden, yang menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMP dan SMA masing-masing sebesar 13 orang dan 15 orang. Sebagian besar responden mempunyai tingkat pendidikan SD dengan jumlah 18 responden dan 5 orang melanjutkan ke jenjang kuliah dengan beragam tingkat seperti D1, D3, dan S1. Sedangkan responden yang tidak pernah sekolah sebanyak 4 orang (Tabel 2). Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA Kuliah Jumlah
I (<0,5 ha) n %
Strata Responden II (0,5-1 ha) III (>1 ha) n % n %
n
1 4 5 1 3 14
1 6 2 2 0 11
4 18 13 15 5 55
7.14 28.57 35.71 7.14 21.43 100
9.09 54.55 18.18 18.18 0.00 100
2 8 6 12 2 30
6.67 26.67 20.00 40.00 6.67 100
Jumlah % 7.27 32.73 23.64 27.27 9.09 100
Dari data di atas dapat diketahui tingkat pendidikan responden tergolong rendah, karena masih banyak orang yang lulusan SD tinggal di daerah tersebut. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi pola pikir responden dalam menjawab soalsoal quisioner serta di dalam mengelola hutan rakyatnya.
21
Seluruh responden mempunyai status sudah berkeluarga dengan jumlah anggota keluarga rata-rata 4-5 jiwa. Mata pencaharian pokok yaitu sebagai petani baik pada strata I (64%), strata II (91%), maupun pada strata III (53,33%). Mata pencaharian pokok yang menempati urutan kedua yaitu mata pencaharian yang berhubungan dengan wiraswasta. Dalam hal ini wiraswasta dapat diartikan mereka yang memperoleh hasil dari membuka lapangan pekerjaan sendiri seperti warung, ataupun sebagai pengrajin dan penjual jasa. Dari tabel 3 terlihat bahwa pada strata I sebanyak 3 responden (21%) bermata pencaharian sebagai wiraswasta, strata II sebanyak 1 responden (9%), strata III sebanyak 8 responden (26,67%). Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada tabel 3. Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian pokok
Mata Pencaharian PNS Guru Tani Wiraswasta Karyawan Kades Total
I (<0,5 ha) n % 0 0 0 0 9 64 3 21 2 14 0 0 14 100
Strata Responden II (0,5-1 ha) III (>1 ha) n % n % 0 0 3 10.00 0 0 1 3.33 10 91 16 53.33 1 9 8 26.67 0 0 0 0.00 0 0 2 6.25 11 100 30 100
5.2
Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat
5.2.1
Pola Tanam dan Jenis Tanaman
n 3 1 35 12 2 2 55
Jumlah % 5.45 1.82 63.64 21.82 3.64 3.64 100
Masyarakat di sana umumnya menanam tanaman jati diselingi dengan tanaman tumpang sari. Tanaman tumpang sari yang banyak diminati oleh para petani yang mengikuti koperasi KHJL ini umumnya lada. Bibit lada yang mereka dapat berasal dari bantuan-bantuan, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan uang lagi untuk membeli bibit lada. Untuk jarak tanam, petani hutan rakyat sudah punya inisiatif untuk menanam jati dalam ukuran 3x3m. Biasanya mereka menanam dengan menyelingi tanaman tumpang sari, sehingga mereka memperoleh manfaat ganda dan penghasilan tambahan dalam mengelola hutan rakyat.
22
Petani hutan rakyat Desa Lambakara umumnya menanam jati. Mereka berpikir bahwa jati akan memberikan pendapatan yang tinggi di masa depan dibandingkan tanaman lain. Petani memperoleh benih jati dari BPDAS Sampara. Benih diberikan secara gratis tanpa dipungut biaya sedikitpun. Namun sering kali benih yang sampai ke tangan masyarakat busuk. Hal ini dikarenakan oleh lamanya benih yang didistribusikan ke masyarakat dan tempat penyimpanan benih yang tidak layak karena benih hanya di bungkus dengan kantong plastik yang tidak kedap udara. Dalam penyimpananya, sering kali benih terjemur terlalu lama dan terkena hujan. Ini terjadi karena pihak koperasi tidak mempunyai tempat khusus dalam penyimpanan benih sehingga benih diletakkan di halaman depan koperasi. Untuk menutupi kekurangan bibit di masyarakat, kebanyakan masyarakat mencari bibitbibit jati yang berasal dari pohon induk. Biasanya mereka menunggu musim dimana pohon jati berbunga. Dalam mengambil bibit yang jatuh pun ada perhitungannya. Umumnya masyarakat di sana mempunyai pohon induk yang digunakan dalam memperoleh bibit jati.
5.2.2
Tahapan Pembangunan Hutan Rakyat Pembangunan hutan rakyat di desa Lambakara ini terdiri dari beberapa
kegiatan antara lain : Penyediaan benih, pembersihan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. 1. Pengadaan benih Benih jati diperoleh dari BPDAS yang dibagikan secara gratis. Ada juga yang memanfaatkan benih jati yang petani ambil saat jati memasuki musim berbunga. Benih-benih yang diberikan tadi terlebih dahulu dilakukan seleksi, sehingga di mana benih yang diberikan secara gratis itu benar-benar benih yang bagus. Sering kali benih yang diberikan itu kondisinya sudah rusak dan jelek dikarenakan jarak yang ditempuh dan waktu yang dibutuhkan untuk sampainya benih itu ke tangan masyarakat cukup lama. 2. Persiapan lahan Kegiatan persiapan lahan ini dilakukan dengan cara membersihkan alangalang maupun gulma lain yang ada di sekitar hutan rakyat. Setelah pembersihan
23
lahan selesai baru dipasang ajir, dengan jarak tanam 3x3m. Setelah pemasangan ajir selesai dilakukan maka langkah selanjutnya adalah pembuatan lubang tanam, dimana lubang tanam dibuat dengan ukuran 1x1x1m. Setelah pembuatan lubang tanam maka bibit siap untuk ditanam. 3. Penanaman dan Pemupukan Setelah penebangan dilakukan, para anggota koperasi diwajibkan untuk menanami kembali tanah-tanah mereka yang terdaftar dengan jumlah bibit yang memadai untuk menggantikan pohon-pohon yang telah ditebang. Keberhasilan penyemaian (penanaman) yang ditanami oleh anggota koperasi dipantau secara dekat selama tiga tahun pertama untuk memastikan tercapainya tujuan yang ingin dicapai. Di kawasan hutan jati rakyat, dengan pohon dan anak jati yang tumbuh secara berdekatan, para anggota akan diajari untuk senantiasa memperjarang penanaman (hanya untuk pohon jati) agar tingkat pertumbuhan pohon maksimal dan berkualitas tinggi. Sesuai dengan standar SOP yang ada bahwa dalam proses penanaman, bibit yang siap ditanam dimasukkan di dalam lubang yang telah disiapkan, setelah dikeluarkan dari polybag dengan cara disobek dengan hati-hati agar tidak merusak akar. Bibit itu haruslah ditanam bersama tanahnya agar akar jati tidak terlambat pertumbuhannya. Dalam menanam jati, hendaknya kita membuat lubang yang dalam untuk menghindari kekeringan akar dan akar tidak terlipat. Setelah bibit di masukkan ke dalam lubang, timbun lubang tanam itu dengan tanah dan tinggikan di sekitar batang tanaman agar genangan air tidak terkumpul di akar jati yang baru ditanam. Bila jati ditanam terlambat pada musim kemarau, maka di sekitar batang jati ± 1m di sekeliling batang tanahnya dibuat lebih rendah (cekungan) agar air yang ada terkumpul di sekitar akar pohon dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Dalam perawatannya, bibit jati seharusnya diberi perlakuan yang baik. Perlakuan itu meliputi pemindahan bibit dari persemaian ke lokasi penanaman harus dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak akar dan mengakibatkan stres. Selama proses pemindahan, usahakan bibit tidak mengalami proses kekeringan. Penanaman harus dilakukan setelah bibit dipindahkan ke lokasi penanaman dan
24
jangan sekali-kali memangkas akar bibit jati yang akan ditanam. Semakin banyak akar akan membuat pertumbuhan semakin baik. Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu diberi pupuk kandang pada lubang tanaman, kemudian baru bibit ditanam. Untuk lahan yang dikelola secara tumpang sari penanaman bibit tanaman pokok diikuti dengan penanaman tanaman pertanian di sela-sela tanaman pokok, dengan jenis tanaman jagung, lada, dan singkong. 4. Pemeliharaan Pemeliharaan dilakukan dengan cara pemangkasan cabang. Untuk lahan yang dikelola secara tumpangsari, pemangkasan cabang dilakukan sepanjang lahan masih ditanami tanaman pertanian yaitu sampai tahun ke tiga. Sedangkan untuk lahan yang dikelola secara monokultur pemangkasan cabang hanya dilakukan pada tahun pertama saja. 5. Pemanenan Tahapan perencanaan panen dimulai dari up-date data inventarisasi dan menetapkan JTT kemudian dikeluarkan data layak panen untuk keseluruhan anggota KHJL. Koordinator unit akan mengajukan permohonan panen yang dilampiri dengan permohonan uang muka. Setelah dihitung biaya dan menyesuaikan jumlah volume yang akan dikirim, maka KHJL akan mengeluarkan ijin panen. Pelaksanaan panen akan dimulai apabila uang muka telah diberikan sebesar 60% dari estimasi volume pohon berdiri dan pemanenan diawasi oleh tim Grading yang siap memberi identitas COC pada setiap potongan kayu yang akan dibentuk square. 6. Pemasaran Untuk pemasaran tanaman pokok hutan rakyat, koperasi mewajibkan para anggotanya untuk menjual kayunya kepada koperasi. Jika ada anggotanya yang menjual kayunya kepada orang lain, maka koperasi berhak untuk memberi sanksi kepada yang melanggar. Dan si pelanggar bisa dicabut status keanggotaannya oleh pengurus koperasi KHJL.
25
5.3
Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat
5.3.1
Pendapatan Rumah Tangga Petani Dari 55 responden, sebanyak 53 responden memperoleh penghasilan dari
bertani. Baik itu petani sawah yang menghasilkan padi,maupun petani lahan kering yang menghasilkan hasil bumi seperti palawija maupun buah-buahan. Penghasilan petani sangat beragam. Hal ini tergantung dari luasan lahan yang mereka garap dan mereka punyai. Seluruh responden yang mengikuti KHJL ini umumnya semua mempunyai mata pencaharian sampingan. Perbedaan sumber-sumber mata pencaharian responden akan berpengaruh langsung terhadap jumlah pendapatan responden. Pendapatan masyarakat selama setahun terakir dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Pendapatan rata-rata responden dari berbagai sumber pada tahun 2008 Sumber Pendapatan Usaha tani Hutan rakyat Peternakan Sumber lain Jumlah
I (<0,5 ha) (Rp/th) 4,130,000 2,207,143 821,429 3,714,286 10,872,858
(%) 38.0 20.3 7.6 34.2 100
II (0,5-1 ha) (Rp/th) (%) 6,854,545 53.1 2,309,091 17.9 254,545 2.0 3,500,000 27.1 12,918,181 100
III (>1 ha) (Rp/th) 5,476,667 3,715,000 311,333 9,041,667 18,544,667
(%) 29.5 20.0 1.7 48.8 100
Dari tabel 4 strata I dapat diketahui bahwa pendapatan petani terbesar diperoleh dari usaha tani sebesar Rp.4.130.000.00 per tahun (38%). Tidak terlalu berbeda jauh dengan sumber pendapatan dari sumber lain seperti wiraswasta dan gaji bulanan pekerjaan lain seperti guru, PNS, dan lain-lain, yaitu sebesar Rp. 3.714,286.00 per tahun (34,2%). Pendapatan paling kecil terdapat di sektor peternakan yaitu Rp. 821.429.00 per tahun (7,6%). Hal ini terjadi karena banyak responden yang tidak mau menjual ternak mereka dan kebanyakan ternak mereka dikonsumsi sendiri. Sehingga dapat kita ketahui bahwa pada strata I responden lebih memprioritaskan pada pertanian dan sumber lain. Pada strata II dapat kita ketahui bahwa pendapatan terbesar dari sektor pertanian atau usaha tani sebesar Rp. 6.854.545.00 per tahun (53,1%). Sedangkan sumber pendapatan terkecil terletak pada sektor peternakan yaitu Rp. 254.545.00 per tahun (2%). Pada strata II terlihat bahwa selain dari sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama, mata pencaharian sumber lain memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan total petani.
26
Pada strata III sektor pertanian tidak memberikan kontribusi yang banyak terhadap pendapatan petani. Hal ini terlihat pada sektor pertanian yang tidak terlalu besar yaitu Rp. 5.476.667.00 per tahun (29,5%). Sedangkan dari sumber pendapatan lain seperti wiraswasta dan gaji bulanan pekerjaan lain seperti guru, PNS, dan lain-lain, memberikan kontribusi terbesar terhadap pendapatan total petani yaitu sebesar Rp. 9.041.667.00 per tahun (48,8%). Hal ini terlihat bahwa responden pada strata III menjadikan bertani sebagai mata pencaharian sampingan. Maksud arti dari mata pencaharian pokok adalah responden menjadikan suatu jenis pekerjaan sebagai sumber pendapatan keluarga yang utama. Sedangkan arti dari pekerjaan sampingan adalah responden menjadikan pekerjaaan yang ada selain pekerjaan pokok sebagai salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan dalam upaya memenuhi kebutuhan keluarga. Tabel 5. Kontribusi Pendapatan Responden Hutan Rakyat terhadap pendapatan Total Rata-rata pada Tahun 2008 Strata
I II III
Pendapatan Rata-Rata Hutan Rakyat Total Kontribusi (Rp/thn/Ha) (Rp/thn/Ha) (%) 2,207,143 10,872,858 20.30 2,309,091 12,918,181 17.87 3,715,000 18,544,667 20.03
Pada tabel 5 menjelaskan kontribusi pendapatan responden hutan rakyat terhadap pendapatan total. Pada strata I memberikan kontribusi sebesar 20,3%; strara II sebesar 17,87%; dan strata III sebesar 20,03%. Pendapatan pertanian lebih besar daripada pendapatan hutan rakyat namun lebih kecil daripada pendapatan lain-lain / non pertanian. Ini menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat hanya merupakan pekerjaan tambahan atau dapat dikatakan pekerjaan waktu luang saja sedangkan para petani hutan rakyat mengandalkan pendapatannya pada pekerjaan luar pertanian. Hal ini dikarenakan hutan rakyat mempunyai pertumbuhan tegakan yang lama sehingga tidak dapat memberi hasil yang cepat dan rutin. Hutan rakyat ini digunakan untuk keperluan mendesak serta sebagai tabungan untuk masa depan.
27
5.3.2
Pengeluaran Rumah Tangga Petani Pengeluaran setiap responden masing-masing strata berbeda-beda hal ini
dipengaruhi oleh pola konsumsi, tingkat pengetahuan, jumlah tanggungan setiap keluarga dan faktor lainnya. Jenis-jenis pengeluaran masyarakat untuk semua responden hampir sama yaitu untuk memenuhi kebutuhan beras dan non beras, biaya pendidikan, biaya transportasi, biaya usaha tani, dan untuk pengeluaran lainlain. Responden diklasifikasikan berdasarkan luasan hutan rakyatnya, bukan berdasarkan luasan pertanian sehingga pengeluaran rata-rata tiap responden berbeda-beda. Rata-rata pengeluaran petani per tahun dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Rata-rata pengeluaran responden pertahun Sumber Pengeluaran Beras Non beras Input usaha tani Pendidikan Lain-lain Jumlah
I (<0,5 ha) (Rp/th) 2,292,857 2,171,429 745,714 1,002,857 4,047,143 10,260,000
(%) 22.3 21.2 7.3 9.8 39.4 100
II (0,5-1 ha) (Rp/th) (%) 2,774,545 26.6 2,022,727 19.4 754,545 7.2 1,063,636 10.2 3,797,273 36.5 10,412,726 100
III (>1 ha) (Rp/th) 2,619,333 2,958,000 945,533 963,333 5,079,033 12,565,232
(%) 20.8 23.5 7.5 7.7 40.4 100
Pada strata I pengeluaran terbanyak pada kebutuhan hal lain-lain seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, rekreasi, peralatan rumah tangga, pajak, dan biaya tak terduga lainnya, yaitu Rp. 4.047.143.00 per tahun (39.4%). Dan pengeluaran terkecil pada kebutuhan akan input usaha tani yaitu sebesar Rp. 745.714.00,- per tahun (7.3%). Hal ini terjadi karena banyak responden yang enggan atau tidak mau menggunakan pupuk dalam kegiatan penanaman. Dan jarang sekali responden melakukan perawatan terhadap tanaman yang mereka punyai sehingga kebutuhan mereka akan input usaha tani sangat kecil. Besarnya nilai kebutuhan akan hal-hal lain itu terjadi karena banyak responden mempunyai pengeluaran yang tiba-tiba di dalam kurun waktu satu tahun ini. Selain itu juga kebutuhan responden akan kendaraan sangat tinggi sehingga memerlukan konsumsi bahan bakar yang tinggi pula. Rumah juga mempunyai sumber pengeluaran yang tinggi dikarenakan harga material yang harganya cukup mahal di pasaran. Pada strata II pengeluaran terbesar masih pada kebutuhan lain-lain yaitu sebesar Rp. 3.797.273.00 per tahun (36,5%). Sedangkan untuk pengeluaran paling
28
kecil ada pada kebutuhan akan input usaha tani sebesar Rp. 754.545.00 per tahun (7,2%). Pada strata III pengeluaran terbesar juga pada kebutuhan akan lain-lain dengan rata-rata sebesar Rp. 5.079.033.00 per tahun (40.4%) dan kebutuhan terkecil pada imput usaha tani yaitu dengan rata-rata sebesar Rp. 945.533.00 per tahun (7.5%). Tingkat pengeluaran responden akan sangat berpengaruh pada pendapatan per kapita responden. Dengan pengeluaran yang besar maka pendapatan per kapita responden akan berkurang, apabila pengeluaran lebih besar daripada pendapatan maka responden akan mengalami defisit yang mengakibatkan responden harus mengeluarkan sejumlah uang dari tabungannya untuk memenuhi kebutuhannya, sedangkan jika pengeluaran lebih kecil daripada pendapatan maka responden akan mendapatkan sisa yang dapat ditabung untuk kebutuhan yang akan datang. Pada tabel 7 secara keseluruhan dari ketiga kelas, presentase pendapatan terhadap pengeluaran adalah 125,9%. Dengan kata lain masyarakat di Desa Lambakara dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan mempunyai sisa. Sisa dari pendapatan tersebut biasanya mereka gunakan untuk membeli barang yang bersifat monumental seperti membangun rumah, membeli tanah, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya presentase pendapatan total rata-rata terhadap pengeluaran total rata-rata dapat dilihat di table 7. Tabel 7. Presentase Pendapatan Total Rata-rata terhadap Pengeluaran Total Ratarata Kelas
Pendapatan Rata-rata
Pengeluaran Rata-rata
Presentase Pendapatan Terhadap Pengeluaran (%)
I
10,872,857
10,260,000
106.0
II
12,918,182
10,412,727
124.1
III
18,544,667
12,565,233
147.6
Rata-rata
14,111,902
11,079,320
125.9
5.4
Analisis Finansial Usaha Hutan Rakyat Untuk mengetahui kelayakan pengusahaan hutan rakyat dilakukan analisis
finansial dengan menggunakan metode analisis aliran kas dari biaya dan pendapatan yang telah didiskonto. Besarnya suku bunga yang digunakan adalah
29
18% yaitu suku bunga yang berlaku tahun 2008 di daerah penelitian pada saat dilakukan penelitian. Biaya pengusahaan hutan rakyat terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang ada dalam pengusahaan hutan rakyat yaitu biaya sewa/pajak tanah. Sedangkan biaya variabel yang terdapat dalam pengusahaan hutan rakyat yaitu : biaya pengadaan bibit dan benih, biaya tanam, biaya pemeliharaan, biaya pemanenan, dan biaya tak terduga lainnya. Kriteria Kelayakan yang digunakan dalam analisis adalah Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara present value daripada benefit dan present value daripada biaya, Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR). Berdasarkan lampiran 4 dapat dilihat bahwa biaya pengusahaan hutan rakyat di Desa Lambakara terdiri dari : A. Biaya tetap 1. Biaya pajak rata-rata pada strata I sebesar Rp. 9.893,00 per tahun, pada strata II sebesar Rp. 15.409,00 per tahun, dan pada strata III sebesar Rp. 19.983,00 per tahun. Biaya pajak ini dikeluarkan terus setiap tahunnya. Besar kecilnya biaya pajak ini tergantung dari luasan lahannya. B. Biaya variabel 1. Biaya pengadaan bibit dengan menghitung upah pekerja dan jasa yang dikeluarkan. Pada strata I, biaya bibit yang diperoleh sebesar Rp. 25.000,00 per tahun, pada strata II sebesar Rp. 26.364,00 per tahun, dan strata III sebesar Rp. 31.000,00 per tahun. 2. Biaya pembuatan ajir pada strata I sebesar Rp. 100.000,00 per tahunnya, strata II sebesar Rp. 125.000,00 per tahun, dan pada strata III sebesar Rp 200.000,00 per tahunnya. 3. Biaya tanam yang terdiri dari pembuatan lubang tanam, pengadaan pupuk, serta upah tukang. Biaya tanam pada strata I sebesar Rp. 149.643,00 per tahun, pada strata II biaya tanamnya sebesar Rp. 314.545,00 per tahunnya, dan pada strata III biaya tanamnya sebesar Rp. 400.167,00 per tahunnya. 4. Biaya pemeliharaan terdiri dari biaya pemangkasan cabang, pengadaan alat, serta biaya pemberian pupuk tambahan. Biaya tersebut di total dan mendapatkan rata-rata pertahunnya yang dikeluarkan petani pada strata I
30
sebesar Rp. 82.857,00 per tahun, pada strata II sebesar Rp. 231.364,00 per tahun, dan pada strata III sebesar Rp. 259.833,00 per tahun. 5. Biaya pemanenan terdiri dari biaya penyewaan alat serta upah tukang. Biaya pada strata I sebesar Rp. 307.857,00 per tahunnya, pada strata II sebesar Rp. 387.273,00 per tahunnya, dan pada strata III sebesar Rp. 505.000,00 per tahun. Biaya panen ini akan berubah ketika volume tebangan bertambah. 6. Untuk biaya lain-lain seperti pengadaan makanan kecil ataupun rokok pada strata I sebesar Rp. 17.857,00 per tahunnya, strata II sebesar Rp. 25.000,00 per tahunnya, dan pada strata III sebesar Rp. 51.667,00 per tahunnya. C. Perkiraan Nilai Tegakan Sisa pada Tahun 2008 Perkiraan nilai tegakan sisa ini merupakan perkiraan biaya yang dikeluarkan oleh petani saat pertama kali orang tua mereka menanam jati hingga sekarang. Nilai ini diperoleh dari jumlah volume sisa yang ada saat sekarang atau volume yang belum ditebang hingga tahun 2008 saat penelitian ini dilakukan dikalikan dengan harga tegakan yang berlaku di pasar. Harga tegakan saat pohon berdiri diperoleh dengan pengurangan harga log yang berlaku di pasar dengan biaya pemanenan. Harga log yang berlaku di pasar saat ini adalah Rp. 1.500.000,00/m3. Tabel 8. Rincian biaya pemanenan Biaya sewa chainsaw Upah buruh angkut Biaya Penampungan di TPN Pengangkutan dari TPN ke TPK Biaya Total Pemanenan
: : : : :
300000 50000 175000 100000 625000
Dari tabel terlihat bahwa total biaya pemanenan sebesar Rp. 625.000,00 /m3. Setelah diketahui volume sisa rata-rata dari masing-masing strata, maka dapat diperoleh nilai tegakan sisa pada tahun 2008 dengan cara mengkalikan harga tegakan pada tahun 2008 dengan volume tegakan sisa. Nilai tegakan sisa ini dikalikan lagi dengan 50% mengingat bahwa tegakan jati di Konawe Selatan ini umumnya berupa tegakan jati sisa penebangan. Selain itu juga jika dilihat dari hasil panen yang mereka peroleh, banyak yang terbuang daripada yang terpakainya. Rata-rata pohon jati yang dimiliki warga juga banyak yang cacat growong. Maka dari itu, pengkalikan 50% dari nilai tegakan sisa ini
31
mempunyai maksud memperoleh nilai yang bersih untuk dimasukkan ke dalam tabel aliran cash flow. Dengan pendekatan tersebut, nilai tegakan sisa pada strata I diperoleh sebesar Rp. 10.305.313,00 (untuk 23,56m3); Strata II sebesar Rp. 16.384.256,00 (untuk 37,45m3); Strata III sebesar Rp. 25.531.159,00 (untuk 58,36m3). D. Simulasi Proyeksi Hasil Tanam Pada Lampiran 6 dapat dijelaskan bahwa penghitungan dilakukan hingga tahun ke-33 atau tahun 2041. Diperkirakan pada tahun 2023, tanaman jati yang sekarang baru berumur 3 tahun sudah mencapai umur 18 tahun dan sudah dapat di panen. 1. Strata I Terlihat pada lampiran 6 strata I pada tahun 2005 hingga tahun 2018 masih menggunakan atau masih memanen tegakan sisa tanaman jati yang lama yaitu sebesar 2,12 m3. Tahun 2019, volume tegakan sisa sudah habis. Maka untuk kontinyuitas penghasilan petani dari hutan rakyatnya sejat tahun tersebut (2019) hingga tahun 2022 akan memanfaatkan tanaman jati yang akan dipanen pada tahun 2023. Pada tahun 2023 volumenya sudah berkurang karena dimanfaatkan pada tahun 2019 hingga tahun 2022 menjadi 11,76 m3. Dari tahun 2024 hingga tak terhingga sudah memanfaatkan tegakan jati yang mereka tanam tahun 2005 yaitu sebesar 20 m3. 2. Strata II Pada strata II tahun 2005 hingga tahun 2022 masih memanfaatkan jati sisa sebesar 2,5m3/th. Pada tahun 2023 hingga tahun selanjutnya sudah bisa memanen jati yang mereka tanam di tahun 2005 sebesar 24m3/th. 3. Strata II Pada strata III tahun 2005 hingga tahun 2025 masih memanfaatkan jati tahun 2005 yaitu sebesar 3,16m3/ha. Namun tahun 2026 volume sisanya menjadi 1,48m3. Pada tahun 2023 sudah bisa memanfaatkan tanaman jati yang ditanam tahun 2005, sehingga tahun tersebut volume yang ditebang menjadi 28,13m3 hingga tahun 2025. Tahun 2026 dipanen sebesar 26,78m3. Selanjutnya dari tahun 2027 hingga tahun seterusnya dipanen sebesar 32m3.
32
Setelah diketahui pendapatan kotor hutan rakyat dan biaya pengusahaan hutan rakyat, maka dapat dilakukan perhitungan analisis finansial pada masingmasing strata. 5.4.1
Analisis Finansial Usaha Hutan Rakyat Pada Periode Pembenahan Pada periode pembenahan ini dihitung hingga tahun 2023 dikarenakan
tegakan jati yang baru ditanam pada tahun 2005 sudah mencapai umur 18 tahun dan sudah siap panen pada tahun tersebut. Pada periode ini masyarakat Konawe lebih memfokuskan pada kegiatan penanaman dan diharapkan pada tahun 2023 tanaman yang mereka tanam sudah dapat mereka panen. Sedangkan pemungutan hasil selama periode ini merupakan pemanfaatan tanaman sisa hasil penanaman waktu yang lalu. Berdasarkan lampiran 7 untuk strata 1 dapat dijelaskan bahwa sumber yang masuk dalam aliran kas ini berasal dari penjualan log. Pada strata 1 biaya penjualan log sebesar Rp. 2.543.828,00 per tahunnya hingga tahun 2022 dan pada tahun 2023 sudah memanfaatkan tanaman jati baru yang di tanam tahun 2005 sebesar Rp. 14.115.000,00. Nilai ini didapat dari penjualan rata-rata kayu jati rakyat per tahunnya. Untuk arus kas keluar pada dasarnya merupakan proyeksi biaya-biaya yang akan dan atau yang telah dikeluarkan selama periode analisis investasi yang ditetapkan. Pada strata ini kas yang keluar pada tahun ke-0 adalah perkiraan nilai tegakan sisa pada tahun 2008 yang besarnya Rp. 10.305.313,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-14 (2022) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 693.107,00 dan pada tahun ke-15 (2023) besarnya Rp. 2.089.326,00. Setelah semuanya dihitung, didapat bahwa kas keluar pada tahun 2008 sebesar Rp. 10.305.313,00. Pada tahun ke-1 hingga tahun ke-14 kas keluarnya jumlahnya sama yaitu Rp. 693,107,00 dan tahun ke-15 sebesar Rp. 2.089.326,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar -Rp. 27.501,00; BCR sebesar 1,00; dan IRR sebesar 17,94%. Pada lampiran 8 strata II kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-13 sebesar Rp. 2.994.436,00 sedangkan tahun ke-14 besarnya Rp. 2.940.000,00 dan tahun ke-15 sebesar Rp. 28.800.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa pada tahun
33
2008 sebesar 37,45m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 16.384.256,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-13 (2021) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 1.124.995,00. Pada tahun ke-14 nilainya Rp. 1.117.209,00 dan tahun ke-15 sebesar Rp. 4.455.493,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar -Rp. 4.231.546,00; BCR sebesar 0,78; dan IRR sebesar 12,37%. Pada lampiran 9 strata III kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-14 sebesar Rp. 3.791.160,00 dan tahun ke-15 sebesar Rp. 42.195.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa pada tahun 2008 sebesar 58,36m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 25.531.159,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-14 (2022) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 1.467.460,00 sedangkan pada tahun ke-15 besarnya Rp. 6.577.538,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar -Rp. 9.254.448,00; BCR sebesar 0,67; dan IRR sebesar 10%. Suku bunga yang digunakan adalah suku bunga yang dipakai di daerah penelitian, yaitu sebesar 18% (2008). Dari hasil perhitungan analisis finansial dalam satu periode pembangunan hutan rakyat pada masing-masing strata maka diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 9. Analisis Finansial pada Periode Pembenahan Strata I II III
Analisis Finansial NPV BCR -27.501 1,00 -4.231.546 0,78 -9.254.448 0,67
Status IRR 17,94 12,37 10,00
Impas Tidak Layak Tidak Layak
Dari tabel 8 di atas, terlihat bahwa pengusahaan hutan rakyat pada strata II dan III tidak layak secara finansial untuk diusahakan di desa Lambakara. Pada penilaian finansial pengusahaan hutan rakyat di Desa Lambakara strata I didapatkan hasil NPV negatif sebesar Rp. 27.501,00. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat di strata I impas karena nilai negatif Rp. 27.501,00 jika dibandingkan dengan nilai pendapatan dari hutannya tidak terlalu berpengaruh. Nilai NPV negatif di dapat pada strata II dan strata III dengan masing-masing nilai NPV sebesar –Rp. 4.231.546,00 dan -Rp. 9.254.448,00. BCR pada strata II dan III
34
nilainya kurang dari satu. Berarti hutan tersebut tidak layak untuk di usahakan. IRR strata II dan III lebih kecil dari discount rate (18%) maka usaha hutan rakyat tersebut tidak layak. 5.4.2
Analisis Finansial Usaha Hutan Rakyat Selama Daur Pertama Pembenahan (Periode Pembenahan + Periode Mantap)
1.
Skenario 1 Pada skenario satu ini terlihat pada lampiran 6 dimana tanaman jati yang
ditanam oleh petani pada strata I, strata II, dan strata III masing-masing sebanyak 25 pohon per tahun, 30 pohon per tahun, dan 40 pohon per tahun (sesuai dengan yang dianjurkan oleh KHJL yaitu apabila melakukan pemanenan sebanyak 1 pohon maka petani diwajibkan menanam 10 pohon). Pada lampiran 10 strata I biaya penjualan log sebesar Rp. 2.543.828,00 per tahunnya hingga tahun 2022 dan pada tahun 2023 sudah memanfaatkan tanaman jati baru yang di tanam tahun 2005 sebesar Rp. 14.115.000,00. Pada tahun ke-16 (2024) hingga tahun ke-33 (2041) di peroleh penghasilan sebesar Rp. 24.000.000,00. Nilai ini didapat dari penjualan rata-rata kayu jati rakyat per tahunnya. Untuk arus kas keluar pada dasarnya merupakan proyeksi biaya-biaya yang akan dan atau yang telah dikeluarkan selama periode analisis investasi yang ditetapkan. Pada strata ini kas yang keluar pada tahun ke-0 adalah perkiraan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Nilai tegakan sisa pada tahun 2008 diperoleh dari perkalian antara volume tegakan sisa dengan harga tegakan. Volume tegakan sisa pada strata I sebesar 23,55m3. Nilai tegakan sisanya sebesar Rp. 10.305.313,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-14 (2022) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 693.107,00 sedangkan pada tahun ke-15 (2023) besarnya Rp. 2.089.326,00. Pada tahun ke-16 (2024) hingga tahun ke-33 (2041) besarnya biaya operasional sebesar Rp. 3.282.722,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar Rp. 7.704.499,00; BCR sebesar 1,59; dan IRR sebesar 25,08%. Pada lampiran 11 strata II kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-13 sebesar Rp. 2.994.436,00 sedangkan tahun ke-14 besarnya Rp. 2.940.000,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 28.800.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa
35
pada tahun 2008 sebesar 37,45m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 16.384.256,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-13 (2021) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 1.124.995,00. Pada tahun ke14 nilainya Rp. 1.117.209,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 4.455.493,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar Rp. 4.854.191,00; BCR sebesar 1,24; dan IRR sebesar 20,82%. Pada lampiran 12 strata III kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-14 sebesar Rp. 3.791.160,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-17 sebesar Rp. 42.195.000,00. Pada tahun ke-18 diperoleh penjualan log sebesar Rp. 40.170.000,00 dan pada tahun ke-19 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 38.400.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa pada tahun 2008 sebesar 58,36m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 25.531.159,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-14 (2022) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 1.467.460,00 sedangkan pada tahun ke-15 hingga tahun ke-17 besarnya Rp. 6.577.538,00. Pada tahun ke-18 besarnya biaya operasional sebesar Rp. 6.308.072,00 dan pada tahun ke-19 hingga tahun ke-33 besarnya Rp. 6.072.538,00. Setelah dihitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar Rp. 3.241.314,00; BCR sebesar 1,11; dan IRR sebesar 19,23%. Tabel 10. Analisis Finansial Selama Daur Pertama Pembenahan Berdasarkan Strata Luasan Lahan (Periode Pembenahan + Periode Mantap) Strata I II III
Analisis Finansial NPV BCR 7.704.499 1,59 4.854.191 1,24 3.241.314 1,11
Status IRR 25,08 20,82 19,23
Layak Layak Layak
Dari tabel 9 di atas, terlihat bahwa pengusahaan hutan rakyat pada strata I, II, III layak secara finansial untuk diusahakan di desa Lambakara. Pada penilaian finansial pengusahaan hutan rakyat di Desa Lambakara strata I didapatkan hasil NPV sebesar Rp. 7.704.499,00. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat layak di usahakan. Nilai NPV positif juga di dapat pada strata II dan strata
36
III dengan masing-masing nilai NPV sebesar Rp. 4.854.191,00 dan Rp. 3.241.314,00. Strata III memperoleh NPV terkecil dikarenakan pada strata tersebut JPT rata-rata yang diperoleh sangat kecil dan tidak sebanding dengan luasan lahannya yang di atas satu hektar. Dapat juga dilihat bahwa BCR pada strata I lebih dari satu (BCR>1), ini berarti bahwa setiap pengeluaran Rp. 1.- akan memperoleh keuntungan sebesar nilai BCR yang dihasilkan. BCR pada strata II dan III nilainya juga lebih dari satu. Berarti hutan tersebut layak untuk di usahakan. IRR strata I, II, III lebih besar dari discount rate (18%) maka usaha hutan rakyat tersebut layak. Terlihat bahwa NPV pada strata II dan III nilainya lebih kecil dari strata I, hal ini diduga karena pihak koperasi mewajibkan adanya sistem tebang satu tanam sepuluh. Karena berlakunya sistem tersebut mengakibatkan strata II dan III hanya melakukan penanaman sangat sedikit. Banyak lahan yang tidak termanfaatkan secara maksimal. Pada strata II terlihat hanya melakukan kegiatan penanaman sebanyak 30 tanaman baru pertahunnya, sedangkan strata III melakukan kegiatan penanaman sebanyak 40 pohon. Hal ini mengakibatkan banyak lahan yang tidak termanfaatkan secara maksimal dan hasilnya juga kurang maksimal. Maka untuk memenuhi lahan yang belum termanfaatkan itu, KHJL hendaknya menambah jumlah tanaman yang akan di tanam pada strata II dan III. Pada strata II jumlah yang ditanam sebanyak 30 tanaman, sedangkan rata-rata luasan lahan yang diperoleh strata II sebesar 0,84 ha. Seharusnya jumlah tanaman yang ditanam di strata II sebanyak 924 tanaman, tetapi kenyataan di lapangan hanya sebanyak 540 tanaman yang diperoleh dari 30 tanaman dikalikan dengan 18 tahun (daur dari tanaman ditanam hingga dipanen). Maka untuk memenuhi kekurangan itu perlu adanya penanaman lagi sebanyak 384 tanaman atau sekitar 20 tanaman lagi pertahun.Pada strata III juga terlihat adanya kekurangan penanaman. Luasan lahan rata-rata yang dimiliki strata III sebesar 2,19 ha. Seharusnya jumlah tanaman yang ditanam di strata III sebanyak 2409 tanaman, tetapi kenyataan di lapangan hanya sebanyak 720 tanaman yang diperoleh dari 40 tanaman dikalikan dengan 18 tahun (daur dari tanaman ditanam hingga dipanen). Maka untuk memenuhi kekurangan itu perlu adanya penanaman lagi sebanyak 1680 tanaman atau sekitar 95 tanaman lagi pertahun.
37
2.
Skenario 2 Pada skenario 2 dilakukan peningkatan kegiatan penanaman. Pada strata II
dilakukan peningkatan penanaman tanaman jati yang tadinya ditanam sebanyak 30 tanaman baru per tahunnya menjadi 50 tanaman. Pada strata III dilakukan juga peningkatan kegiatan penanaman dari yang ditanam sebanyak 40 tanaman baru per tahunnya menjadi 135 tanaman. Pada lampiran 13 strata II kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-13 sebesar Rp. 2.994.436,00 sedangkan tahun ke-14 besarnya Rp. 2.940.000,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 48.000.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa pada tahun 2008 sebesar 37,45m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 16.384.256,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-13 (2021) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 1.388.300,00. Pada tahun ke14 nilainya Rp. 1.341.610,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 7.415.231,00. Setelah di hitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar Rp. 10.022.538,00; BCR sebesar 1,42; dan IRR sebesar 22,35%. Pada lampiran 14 strata III kas masuk pada tahun ke-1 hingga tahun ke-14 sebesar Rp. 3.791.160,00 dan tahun ke-15 hingga tahun ke-17 sebesar Rp. 133.395.000,00. Pada tahun ke-18 diperoleh penjualan log sebesar Rp. 131.370.000,00 dan pada tahun ke-19 hingga tahun ke-33 sebesar Rp. 129.600.000,00. Kas yang keluar pada tahun ke-0 merupakan nilai tegakan sisa pada tahun 2008. Volume tegakan sisa pada tahun 2008 sebesar 58,36m3. Nilai tegakan sisa pada tahun tersebut strata II sebesar Rp. 25.531.159,00. Biaya operasional pada tahun ke-1 (2009) sampai tahun ke-14 (2022) besarnya sama yaitu sebesar Rp. 3.706.483,00 sedangkan pada tahun ke-15 hingga tahun ke-17 besarnya Rp. 112.442.733,00. Pada tahun ke-18 besarnya biaya operasional sebesar Rp. 110.687.199,00 dan pada tahun ke-19 hingga tahun ke-33 besarnya Rp. 109.152.732,00. Setelah dihitung cash balancenya dan di kalikan dengan discount rate, di dapat NPV sebesar Rp. 27.849.197,00; BCR sebesar 1,6; dan IRR sebesar 23,22%.
38
Dari hasil tersebut terlihat bahwa strata II dan strata III telah mengalami peningkatan nilai NPV dengan masing-masing sebesar Rp. 10.022.538,00 dan Rp. 27.849.197,00. Ini terbukti bahwa semakin luas lahan yang dimiliki masyarakat, maka semakin besar pula nilai NPV yang dimiliki oleh masyarakat. Tabel 11. Analisis Finansial Selama Daur Pertama Pembenahan Berdasarkan Strata Luasan Lahan Setelah Mengalami Peningkatan Pemanaman Pada Strata II dan III Strata I II III
5.5
Analisis Finansial NPV BCR 7.704.499 1,59 10.022.538 1,42 27.849.197 1,60
Status IRR 25,08 22,35 23,22
Layak Layak Layak
Analisis Sensitivitas Analisis kepekaan (sensitivity analysis) adalah suatu teknik untuk menguji
sejauh mana hasil analisis yang telah dilakukan peka terhadap perubahan faktorfaktor yang berpengaruh (Nugroho 2007). Analisis ini hanya dilakukan pada usaha yang layak dijalankan berdasarkan analisis finansial sebelumnya. Dalam hal ini hanya strata I yang layak dalam pelaksanaan hutan rakyat. A.
Analisis Sensitivitas Pada Periode Pembenahan Hutan Rakyat Ada berbagai alternatif yang dapat dipilih agar usaha yang dijalankan oleh
masyarakat di Konawe Selatan ini dapat layak dijalankan selama periode pembenahan hutan rakyat. Salah satunya bisa dengan menaikkan harga kayu. Untuk mengusahakan agar hutan di strata I, II dan III dapat layak dijalankan, maka perlu adanya peningkatan harga penjualan kayu yang berlaku di Konawe Selatan. Pada strata I dilakukan peningkatan harga kayu dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masing-masing peningkatan biaya harga kayu dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 20,56; 23,12; 25,64; 28,14; dan 30,61. Hal ini menunjukkan bahwa apabila harga kayu di tingkatkan maka usaha tersebut menjadi layak untuk diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%.
39
Pada strata II dilakukan peningkatan harga kayu dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masing-masing peningkatan biaya harga kayu dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 14,4; 16,35; 18,24; 20,09; dan 21,91. Hal ini menunjukkan bahwa apabila harga kayu naik 30% keatas, statusnya menjadi layak diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%. Pada strata III dilakukan peningkatan harga kayu dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masing-masing peningkatan biaya harga kayu dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 11,82; 13,51; 15,13; 16,7; dan 18,23. Hal ini menunjukkan bahwa apabila harga kayu naik 50% keatas, statusnya menjadi layak diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%. Adapun grafik perubahan IRR sebagai akibat dari peningkatan produksi atau volume dan peningkatan biaya pengusahaan hutan di Konawe Selatan strata I, strata II dan strata III pada gambar 1, 2 dan gambar 3.
strata I Nilai IRR (%)
40 30 20 strata I
10 0 10% 20% 30% 40% 50%
Gambar 1. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat kenaikan harga (%) Strata I
40
Nilai IRR (%)
strata II 25 20 15 10 5 0
strata II
10% 20% 30% 40% 50%
Gambar 2. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat kenaikan harga (%) Strata II
strata III Nilai IRR (%)
20 15 10 strata III
5 0 10% 20% 30% 40% 50%
Gambar 3. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat kenaikan harga (%) Strata III B.
Analisis Sensitifitas Selama Daur Pertama Pembenahan Hutan Rakyat Perubahan biaya pengusahaan tanaman rakyat akan berpengaruh terhadap
penerimaan dan tingkat keuntungan. Biaya pengusahaan tanaman diasumsikan akan naik pertahunnya dengan presentase peningkatan biaya pengusahaan yang dirancang pada kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan pada strata I dilakukan peningkatan biaya pengusahaan dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masing-masing peningkatan biaya pengusahaan hutan dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 24,65; 24,23; 23,81; 23,40; dan 22,99. Hal ini menunjukkan bahwa apabila biaya pengusahaan naik sebesar 50%, usaha tersebut masih layak untuk diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut masih lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%.
41
Pada strata II dilakukan peningkatan biaya pengusahaan dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masingmasing peningkatan biaya pengusahaan hutan dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 20,42; 20,02; 19,63; 19,24; dan 18,85. Hal ini menunjukkan bahwa apabila biaya pengusahaan naik sebesar 50%, usaha tersebut masih layak untuk diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut masih lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%. Pada strata III dilakukan peningkatan biaya pengusahaan dengan kisaran 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50%. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan analisis kepekaan dapat diketahui bahwa nilai IRR untuk masingmasing peningkatan biaya pengusahaan hutan dengan presentase 10%, 20%, 30%, 40%, dan 50% berturut-turut adalah 18,89; 18,54; 18,2; 17,86; dan 17,52. Hal ini menunjukkan bahwa apabila biaya pengusahaan naik sebesar 30%, usaha tersebut masih layak untuk diusahakan sebab nilai IRR yang dihasilkan pada presentase kenaikan biaya tersebut masih lebih besar dari pada suku bunga yang berlaku yaitu 18%. Sedangkan apabila biaya pengusahaan naik diatas 30%, maka pengusahan hutan rakyat tidak layak untuk diusahakan sebab nilai IRR lebih kecil dari suku bunga yang berlaku. Adapun grafik perubahan IRR sebagai akibat dari peningkatan biaya pengusahaan hutan di Konawe Selatan pada masing-masing strata pada gambar 4, 5, dan 6.
Nilai IRR (%)
strata I 25 24 23
strata I
22 10% 20% 30% 40% 50%
Gambar 4. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat Kenaikan Biaya Pengusahaan (%) Strata I
42
Nilai IRR (%)
strata II 21 20 19
strata II
18 10% 20% 30% 40% 50%
Gambar 5. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat Kenaikan Biaya Pengusahaan (%) Strata II
Nilai IRR (%)
strata III 19 18.5 18 17.5 17 16.5
strata III
10% 20% 30% 40% 50%
Gambar 6. Grafik Perubahan IRR (%) Akibat Kenaikan Biaya Pengusahaan (%) Strata III
5.6
Analisis Pola Kemitraan
5.6.1
Kemitraan antara KHJL dengan Masyarakat KHJL dan petani hutan rakyat melakukan kemitraan dengan pola
kemitraan jangka panjang yang ditandai dengan adanya hubungan jual beli antara KHJL dengan petani hutan rakyat yang mengharuskan anggotanya menjual kayunya pada KHJL. Hubungan ini juga bisa dilihat dari tanggungan biaya yang dibagi-bagi antara KHJL dengan masyarakat. Misalnya dalam kegiatan pengangkutan kayu, jasa TPK, dan ongkos-ongkos lain selama kayu tersebut dalam perjalanan kluar ke TPK. Kisaran pembagian biayanya yaitu 50% masyarakat dan 50% KHJL, sehingga rakyat tidak terlalu menanggung biaya yang besar. Selain melakukan kemitraan dengan petani dalam pemanenan kayu rakyat, KHJL juga melakukan kemitraan dengan pihak lain yang masih berhubungan
43
dengan kegiatan pemanenan terutama pada tempat penyewaan truk, karena KHJL belum memiliki aset atau peralatan pemanenan yang memadai. Hal ini menjadi kelemahan industri pemanenan hutan yang ada di lokasi karena hingga saat ini KHJL belum memiliki aset berupa kendaraan operasional dalam pengangkutan kayu sehingga biaya yang dikeluarkan cukup besar. Ini termasuk dalam pola kemitraan jangka pendek atau insidental, karena KHJL hanya memerlukan jasa tersebut selama proses pemanenan saja.
5.6.2
Kemitraan Antara TFT dengan KHJL Kerjasama antara TFT (Tropical Forest Trust) dengan KHJL (Koperasi
Hutan Jaya Lestari) termasuk dalam pola kemitraan jangka panjang. Karena kedua belah pihak saling bergantungan. Dari pihak TFT, mereka membantu dalam hal pemasaran. TFT akan mendapatkan fee atau persenan dari setiap kayu yang laku terjual ke luar. Pihak KHJL pun sangat mengharapkan bantuan dari pihak TFT dalam hal pemasaran dan pemberian materi-materi juga pelatihan dalam bidang kehutanan. Seperti dinyatakan dalam MOU bahwa TFT menyanggupi untuk memberi pelatihan dan petunjuk kepada pengurus KHJL mengenai pengelolaan hutan secara berkesinambungan serta memberi pinjaman dana sebagai modal awal untuk mengelola hutan. TFT juga memfasilitasi KHJL untuk memperoleh sertifikat FSC, juga membantu dalam menjual kayu jati yang mereka produksi.
5.7
Pemasaran Hasil Hutan Rakyat Pemasaran kayu hasil produksi KHJL dilakukan berdasarkan pesanan dan
produksi yang dilakukan KHJL tidak melebihi jatah tebangan tahunan sesuai perhitungan data potensi layak panen. Target pemasaran kayu dalam bentuk square bersertifikat FSC KHJL berdasarkan RAT 2007 bahwa pada tahun 2008 sebesar 300 M3 dengan kisaran nilai Rp. 1,8 Milyar. Metode pemasaran dilakukan dengan beberapa cara antara lain : melalui fasilitasi pendamping dalam melakukan pertemuan dengan buyer, penyebaran leflet/brosur. Tetapi umumnya para buyer mengetahui informasi kayu FSC KHJL dari browsing internet.
44
KHJL sejak menerima sertifikat atau dalam proses penilaian telah memproduksi sebanyak 1714,6583M3 (berdasarkan pendekatan volume pohon berdiri saat inventrisasi) atau square log 1168,1059 M3 dan telah dipasarkan ke industri di Pulau Jawa antara lain: Solo, Jepara, Semarang, Surabaya dan Tangerang. Khusus tahun 2007, KHJL berhasil memasarkan 11 kontainer square log sebesar 244,8511 M3. KHJL hanya membeli kayu dari milik anggota dengan tetap mengacu pada sistem yang sudah terbangun di internal KHJL dalam bingkai prinsip-prinsip FSC. KHJL tidak pernah melakukan pembelian tegakan jati yang belum terdaftar sebagai anggota.