BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Orientasi Kancah Pelaksanaan perlakuan dilakukan pada tanggal 22 sampai dengan 25 Desember 2012. Kelompok perlakuan diikuti oleh 4 peserta. Kegiatan dan materi pelatihan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran modul untuk pelatih. Hasil analisa akan diuraikan dalam dua bagian. Pertama adalah hasil analisa kuantitatif, yaitu analisa berdasarkan skor interaksi sosial ibu dan anak. Kedua berupa uraian data kualitatif untuk masing-masing individu berdasarkan hasil wawancara dan observasi sebelum pelatihan, selama proses pelatihan, evaluasi pelatihan, dan setelah diberi pelatihan.
B. Pelaksanaan Penelitian Penelitian bermain pura-pura ini diikuti oleh delapan orang ibu yang memiliki anak retardasi mental usia di bawah lima tahun. Berikut ini akan dipaparkan bagaimana penelitian ini telah berlangsung. 1.
Penentuan subjek penelitian Penentuan subjek penelitian ini telah ditentukan sejak peneliti melakukan studi pendahuluan. Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak retardasi mental dengan usia mental di bawah lima tahun. Peneliti melakukan screening menggunakan skala Binet terhadap anak retardasi mental untuk memperoleh kriteria subjek dalam penelitian ini.
53
54
Sebanyak enam anak retardasi mental mengikuti tes Binet di Yayasan Mutiara Center. Berdasarkan hasil skala Binet yang dilakukan terhadap anak retardasi mental, peneliti menemukan empat anak retardasi mental yang memiliki usia mental di bawah lima tahun. Selanjutnya ibu dari keempat anak retardasi mental dengan usia di bawah lima tahun ini diambil sebagai subjek, dan dikelompokkan ke dalam kelompok kontrol. Peneliti juga melakukan screeming menggunakan skala Binet di SD Negeri 01 Sukorame, Boyolali. Sebanyak delapan anak retardasi mental mengikuti screening, dan peneliti menemukan enam anak retardasi mental dengan usia mental di bawah lima tahun. Selanjutnya enam ibu dari anak retardasi mental yang memiliki usia mental di bawah lima tahun tersebut menjadi subjek dalam kelompok perlakuan, namun hanya empat ibu yang sanggup mengikuti pelatihan bermain pura-pura sampai selesai. 2.
Pelaksanaan pengumpulan data Data mengenai interaksi ibu dan anak retardasi mental dikumpulkan dengan meminta peserta mengisi skala interaksi ibu dan anak. Data interaksi ibu dan anak retardasi mental dikumpulkan sebelum perlakuan pada tanggal 19 Desember 2012 atau 3 hari sebelum pelatihan diberikan. Data setelah perlakuan diambil pada tanggal 26 Desember 2012. Data tindak lanjut dilakukan pada tanggal 8 Januari 2013 atau tiga belas hari setelah pelatihan diberikan. Penskoran dilakukan setelah semua data interaksi ibu dan anak retardasi mental terkumpul. Skor skala bergerak dari 0 sampai 4, dengan
55
memperhatikan sifat item yang favourable dan unfavourable. Skor masingmasing peserta kemudian dijumlahkan, sehingga menjadi skor total. Skor total sebelum, sesudah, dan tindak lanjut penelitian ini yang akan dipakai dalam analisa data. Sebagai data tambahan, peneliti melakukan wawancara terhadap ibu dan anak sebelum, sesudah pelatihan. maupun tindak lanjut. 3.
Pelaksanaan perlakuan Pelatihan bermain pura-pura ini dilaksanakan dalam 4 tahap, yaitu; a) tahap pemberian materi secara kelompok, b) simulasi dan pemberian umpan balik secara kelompok, c) bermain peran dan pemberian umpan balik secara individu, dan d) praktek bermain bersama anak dengan tema piknik di pantai, santai di rumah, dan bermain bersama teman. Keseluruhan materi disampaikan secara aktif dan interaktif, dengan melibatkan peserta dalam berbagai kegiatan selama pelatihan, sehingga setiap materi dikaitkan dengan perilaku atau hal yang dialami peserta. Materi pelatihan disampaikan dengan berbagai metode, yaitu ceramah, diskusi, simulasi, testimoni, presentasi, menyaksikan tayangan video, tugas individu, dan praktek bermain bersama anak. Sesi pertama merupakan sesi pemberian materi yang dilakukan secara kelompok, meliputi; a) Perkembangan dan hambatan anak retardasi mental, b) Menyusun permainan, c) Mengenali diri, d) Menangkap imajinasi anak, dan e) Menetapkan aturan. Sebelum memasuki materi perkembangan dan hambatan anak retardasi mental, fasilitator dan peserta saling berkenalan dengan bernyanyi. Selanjutnya fasilitator memberikan penjelasan mengenai
56
tujuan, isi, harapan, tata tertib, dan kontrak yang telah disepakati oleh peserta dan peneliti dan pengambilan data pra tes. Materi pertama diberikan sebagai materi pendahuluan untuk memberikan suasana penerimaan, penghargaan, dan pemberian motivasi kepada peserta. Materi diawali dengan memutar video mengenai anak retardasi mental yang sedang menunjukkan kemampuan menarinya di atas panggung. Selanjutnya, fasilitator memberikan testimoni kepada peserta mengenai kondisi masing-masing peserta dalam mengasuh anak retardasi mental. Testimoni ini dimaksudkan supaya ibu dapat berbagi perasaan dan pengalaman kepada orang lain. Dengan demikian ibu merasakan kehangatan, penerimaan, dan penghargaan dari fasilitator. Pemberian motivasi juga diberikan fasilitator dengan memberikan informasi mengenai tidak adanya perbedaan tahapan perkembangan yang akan dilalui anak retardasi mental dengan anak normal. Fasilitator kemudian memberikan penjelasan mengenai tahapan perkembangan anak kepada peserta.
Kegiatan ini dilakukan supaya di lain waktu partisipan dapat
menjaga semangat dalam mengasuh anak retardasi mental. Materi kedua yaitu menyusun permainan. Pemberian materi diawali dengan memutar video mengenai seorang ibu yang sedang bermain bersama anaknya, kemudian melakukan diskusi mengenai bermain dan pengaruhnya terhadap anak. Fasilitator kemudian memberikan penjelasan mengenai bagaimana cara menyusun sebuah permainan, sehingga peserta dapat mengarahkan permainan, dan menangkap kebutuhan dan keinginan anak
57
yang tertuang dalam simbolisasi. Pemberian materi kedua diakhiri dengan memberikan tugas kepada peserta untuk menceritakan tema yang biasa digunakan anak ketika bermain. Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan kesadaran kepada peserta supaya di lain waktu peserta mampu memanfaatkan, menyiapkan, dan menyajikan sebuah permainan, supaya ibu dapat menggali keinginan dan kebutuhan anak yang tidak terungkap. Materi ketiga diberikan
untuk memberikan kesadaran kepada ibu
untuk lebih mendengarkan dan memperhatikan anak karena emosi yang dibawa ibu ketika berinteraksi dengan anak dapat mempengaruhi perilaku anak. Awalnya, fasilitator menjelaskan bahwa selama terjadi proses interaksi antara ibu dan anak, terdapat hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Dengan demikian emosi ibu saat berinteraksi dengan anak sangat mempengaruhi perilaku anak, dan perilaku anak mempengaruhi emosi ibu. Tim fasilitator kemudian membantu peserta untuk mengenali emosi dengan metode kontras. Icebreaking diberikan di antara pemberian materi ketiga dan keempat. Semua peserta dipersilahkan berdiri, kemudian bersama-sama dengan fasilitator melakukan “tepuk semangat,” sambil berdiri. Kegiatan ini dilakukan untuk memecah kejenuhan peserta dan meregangkan otot-otot akibat duduk terlalu lama, sehingga peserta tetap memiliki semangat untuk mengikuti pelatihan. Materi keempat diberikan untuk memberikan kesadaran kepada ibu bahwa sekalipun anak menderita retardasi mental, ibu perlu juga mengikuti
58
imajinasi anak, sekalipun imajinasi tersebut sederhana, karena melalui imajinasi yang dibawa anak ini, ibu dapat mengetahui sampai dimana perkembangan anak. Fasilitator memberikan cara bagaimaman memberikan kesempatan kepada anak untuk mengatur dan memimpin jalannya permainan, dan memberikan rangsang untuk berbicara dan bertindak. Fasilitator memberikan tugas diskusi dengan memberikan contoh kasus kepada peserta dengan memutar video tentang anak yang sedang bermain bersama ibu. Materi kelima diberikan untuk memberikan kesadaran kepada ibu bahwa di lain waktu ibu dapat mengubah perilaku yang tidak diinginkan dari anak melalui penetapan sebuah aturan. Fasilitator memberikan bimbingan bagaimana menetapkan target perilaku yang ingin dirubah, memilih, dan menetapkan sebuah aturan, kemudian menjalankan dan aturan tersebut secara konsisten. Tugas diberikan di akhir pemberian materi dengan melakukan diskusi mengenai perilaku anak yang kurang diinginkan ibu, dan cara ibu menanganinya, kemudian partisipan diminta untuk membuat penetapan aturan yang hendak dilakukan ibu untuk mengubah perilaku anak yang tidak diinginkan ibu. Istirahat diberikan kepada peserta pelatihan, sebelum memasuki sesi kedua. “Tepuk semangat” kembali dilakukan untuk mengawali sesi simulasi. Tahapan simulasi ini dilakukan oleh 2 orang asisten fasilitator, yang memerankan sebagai ibu dan anak yang sedang bermain. Fasilitator kemudian memberikan penjelasan kepada peserta mengenai aplikasi
59
keempat materi yang telah dijelaskan secara lisan ke dalam perilaku yang diperankan oleh kedua asisten. Dalam sesi simulasi ini, peserta diminta untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas. Sesi ketiga dilakukan di hari kedua, yaitu bermain peran. Sebelum bermain peran dilakukan, fasilitator memastikan kembali pemahaman ibu terhadap ketrampilan bermain bersama anak dengan melakukan simulasi terlebih dahulu. Kali ini simulasi dilakukan peserta dan asisten fasilitator. Peserta berperan sebagai ibu, dan asisten fasilitator berperan sebagai anak. Umpan balik diberikan fasilitator setelah selesai simulasi. Selesai melakukan simulasi, peserta dipersilahkan melakukan bermain peran. Bermain peran dilakukan oleh peserta dan anak. Umpan balik diberikan fasilitator setelah melakukan bermain peran,
bermain peran selesai dilakukan. Setelah peserta melakukan praktek bersama dengan
tema piknik di pantai. Hari ketiga peserta praktek bermain bersama anak dengan tema bersantai di rumah, dan hari keempat peserta bermain bersama anak dengan tema bermain bersama teman.
C. Hasil Penelitian Berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian intervensi pelatihan bermain pura-pura terhadap interaksi ibu dan anak retardasi mental. Hasil penelitian akan dipaparkan secara kelompok dan individual.
60
1.
Analisa kelompok Analisa kelompok dilakukan dengan membandingkan hasil data pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Berikut ini hasil perolehan skor total pada kelompok perlakuan dan kontrol dalam tabel 8. Tabel 8 menunjukkan bahwa interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol berada dalam kategori sedang, meskipun terdapat satu subjek pada kelompok kontrol yang memiliki interaksi ibu dan anak retardasi mental rendah. Tabel 8. Skor total dan kategorisasi interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol Kelompok perlakuan Pra perlakuan
Kelompok kontrol
Pasca
Tindak
perlakuan
lanjut
Subjek 1(A)
53
60
62
Pra perlakuan
Amatan ulang
Amatan
1
ulang 2
Subjek 1(C)
58
50
71 Tinggi
Kategori*
Sedang
Sedang
Sedang
Kategori*
Sedang
Sedang
Subjek 2(R)
63
76
72
Subjek 2(T)
59
60
73
Kategori*
Sedang
Tinggi
Tinggi
Kategori*
Sedang
Sedang
Tinggi
Subjek 3(W)
56
70
71
Subjek 3(G)
29
32
67
Kategori*
Sedang
Tinggi
Tinggi
Kategori*
Rendah
Rendah
Tinggi
Subjek 4(P)
53
67
70
Subjek 4(N)
50
52
74
Kategori*
Sedang
Tinggi
Tinggi
Kategori*
Sedang
Sedang
Tinggi
*tingkat interaksi ibu dan anak retardasi mental
Skor total interaksi ibu dan anak retardasi mental yang telah diperoleh pada kelompok perlakuan dan kontrol selanjutnya dianalisis secara kuantitatif menggunakan bantuan software program SPSS 15,00 for windows. Sebelum menguji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan uji asumsi untuk melihat dan menentukan teknik analisis yang lebih tepat untuk dilakukan, apakah menggunakan nonparamentrik atau parametrik. a. Uji Asumsi (Kuantitatif) Uji asumsi dilakukan untuk melihat dan menentukan teknik analisis yang lebih tepat dilakukan, apakah menggunakan nonparametrik atau
61
parametrik. Sebelum dilaksanakan analisis data untuk menguji hipotesis maka terlebih dahulu perlu dilakukan uji asumsi, yaitu uji normalitas dan homogenitas. 1) Uji normalitas sebaran Uji normalitas sebaran
dilakukan untuk mengetahui apakah
skor hasil pengukuran sampel memiliki sebaran normal berdasarkan kriteria normalitas. Hasil uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan teknik Kolmogorov Smirnov dengan bantuan software program SPSS for Windows versi 15,00. Kaidah pedoman pengujian yang diberlakukan adalah jika harga p > 0,05 maka sebaran dikatakan mengikuti distribusi normal. Sebaliknya bila harga p < 0,05 maka sebaran dikatakan tidak normal. Hasil pengujian normalitas yang tercantum pada tabel 9
menunjukkan bahwa sampel interaksi ibu dan anak retardasi mental memiliki sebaran normal. Artinya distribusi interaksi ibu dan anak retardasi mental bersifat normal. Tabel 9. Hasil uji normalitas sebaran Keterangan Pra perlakuan N 8 Rerata SD K-SZ P
52,63 10,378 0,778 0,580 Normal
Hasil Analisis Pasca perlakuan 8
Tindak lanjut 8
58,38 13,794 0,486 0,972 Normal
67,00 4,276 0,731 0,659 Normal
2) Uji homogenitas Uji homogenitas perlu dilakukan untuk meyakinkan bahwa proporsi kedua kelompok tidak jauh berbeda keragamannya. Hasil uji homogenitas dalam penelitian ini menggunakan teknik Levene test
62
dengan bantuan software program SPSS for Windows versi 15,00. Kaidah pedoman pengujian yang diberlakukan adalah jika harga p > 0,05 maka sebaran dikatakan homogen. Sebaliknya bila harga p < 0,05 maka sebaran dikatakan tidak homogen. Hasil pengujian homogenitas yang tercantum pada tabel 10 menunjukkan bahwa sampel interaksi ibu dan anak
retardasi mental memiliki sebaran homogen. Artinya interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol memiliki keragaman yang sama. Tabel 10. Hasil uji homogenitas Hasil analisis Pasca perlakuan
Pra perlakuan Levene test 2,592
P 0,159
Homogen
Levene test 0,777 Homogen
p 0,412
Tindak lanjut Levene test 0,339
p 0,581
Homogen
b. Uji Hipotesis Uji asumsi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebaran subjek termasuk dalam kategori normal dan homogen, maka analisis yang dilakukan menggunakan pendekatan parametrik. Penggunaan pendekatan parametrik dilakukan dengan pertimbangan bahwa melalui pendekatan parametrik generalisasi sampel tidak terbatas pada kelompok yang diberi perlakuan, namun bisa lebih luas sesuai dengan karakteristik subjek yang telah ditetapkan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh positif pelatihan bermain pura-pura terhadap interaksi ibu dan anak retardasi mental.
63
Uji t pada kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan untuk mengetahui bahwa perubahan dalam interaksi ibu dan anak yang terjadi memang karena pemberian perlakuan dengan intervensi pelatihan bermain pura-pura, dan bukan karena perbedaan kelompok. Pengujian hipotesis uji t dilakukan secara bertahap. Tahap tersebut adalah: 1) Menguji skor total interaksi ibu dan anak retardasi mental pada pra perlakuan antara kelompok perlakuan dan kontrol Uji t terhadap skor total interaksi ibu dan anak retardasi mental dilakukan untuk mengetahui interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum diberi perlakuan. Hasil pengujian tercantum pada tabel 11. Tabel 11. Hasil uji t pada pra perlakuan antara kelompok perlakuan dan kontrol N Rerata t p KK* KP+ KK* KP+ 4 4 * Kelompok Kontrol + Kelompok Perlakuan
49,00
56,75
-1,030
0,343
Hasil Tidak signifikan
Tabel 11 menunjukkan nilai t sebesar -1,030 dan signifikansi nilai p>0,05. Artinya tidak ada perbedaan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol, karena belum diberi pelatihan bermain pura-pura bersama anak. Grafik 1 menjelaskan lebih lanjut perbedaan interaksi ibu dan anak retardasi mental sebelum diberi perlakuan pada kelompok perlakuan dan kontrol.
skor interaksi ibu dan anak retardasi mental
64
70
Kelompok perlakuan
60 50
Kelompok kontrol
40 30 20 10 0 1
2
3
4
subjek
Grafik 1. Perbedaan skor interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum diberi perlakuan
2) Menguji skor total interaksi ibu dan anak retardasi mental pada pasca perlakuan antara kelompok perlakuan dan kontrol. Uji t dilakukan untuk mengetahui perubahan interaksi ibu dan anak retardasi mental setelah diberi perlakuan. Apakah interaksi ibu dan anak retardasi mental berbeda antara kelompok perlakuan dan kontrol setelah diberi perlakuan. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 12. Tabel 12. Hasil uji t antara skor pasca perlakuan kelompok perlakuan dan kontrol N Rerata t P Hasil KK* KP+ KK* KP+ 4 4 * Kelompok Kontrol + Kelompok Perlakuan
48,50
68,75
-2,913
0,027
Signifikan
Tabel 12 menjelaskan bahwa nilai t=-2,913 dan nilai p<0,05. Artinya terdapat perbedaan signifikan interaksi ibu dan anak retardasi mental antara kelompok perlakuan dan kontrol. Perbedaan interaksi ibu dan anak retardasi mental terjadi karena adanya pemberian pelatihan bermain pura-pura bersama anak. Grafik 2 menjelaskan
65
adanya perbedaan interaksi ibu dan anak retardasi mental antara
skor interaksi ibu dan anak retardasi mental
kelompok perlakuan dan kontrol setelah diberi perlakuan. 80
kelompok perlakuan
70 60 50
kelompok kontrol
40 30 20 10 0 1
2
3
4
subjek
Grafik 2. Perbedaan skor interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol setelah diberi perlakuan
3) Menguji skor pra perlakuan-pasca perlakuan pada kelompok perlakuan dan kontrol Uji t antar skor pra perlakuan-pasca perlakuan pada kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut pada kelompok mana terjadi perubahan interaksi ibu dan anak retardasi mental secara signifikan sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Hasil pengujian dapat dilihat secara lengkap pada tabel 13. Tabel 13. Hasil uji t skor pra perlakuan-pasca perlakuan antara kelompok perlakuan dan kontrol Skor Pra perlakuan Pasca perlakuan t p interaksi N Rerata N Rerata KK* 4 KP+ 4 * Kelompok Kontrol + Kelompok Perlakuan
49,00 56,75
4 4
48,50 68,25
0,197 -9,662
0,856 0,002
Tabel 13 menunjukkan bahwa interaksi ibu dan anak retardasi mental mengalami perubahan pada kelompok perlakuan dengan nilai
66
t=-9,662, dan p<0,05. Artinya interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan mengalami perubahan yang signifikan, setelah diberi pelatihan bermain pura-pura bersama anak. Peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi mental terjadi karena sebelum praktek bermain pura-pura bersama anak dilakukan, ibu telah dibekali materi empat keterampilan bermain bersama anak, kemudian ibu diberikan kesempatan untuk melakukan permainan peran (role play) untuk memastikan bahwa ibu telah memahami materi keterampilan bermain pura-pura bersama anak. Umpan balik diberikan oleh psikolog kepada ibu, supaya ibu benar-benar menguasai empat keterampilan bermain pura-pura bersama anak, sehingga ketika ibu mempraktekkan bermain bersama anak tidak lagi terjadi kekeliruan. Interaksi ibu dan anak masih bersifat satu arah ketika ibu dan anak praktek bermain bersama dalam sesi bermain peran. Ibu terlihat kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengatur jalan cerita. Ibu terlalu mengarahkan permainan kepada anak, atau ibu terlalu sibuk dengan materi permainan yang hendak dimainkan, sehingga tidak memperhatikan aktivitas anak. Anak juga tampak ragu dalam menyatakan keinginannya kepada ibu. Dengan demikian nuansa penerimaan ibu terhadap kehadiran anak terasa kurang, sehingga interaksi ibu dan anak masih kurang bermakna.
67
Setelah diberikan umpan balik oleh psikolog interaksi ibu dan anak bersifat dua arah. Ibu memberikan kesempatan kepada anak untuk mengawali interaksi, namun anak tidak segera mengawali interaksi, sehingga ibu mengawali interaksi dengan menanyakan mainan apa yang diinginkan anak. Ibu kemudian menjalankan peran yang diinginkan anak dan mengikuti arahan anak. Ibu merespons pesan anak, baik verbal maupun non verbal. Anak pun menjawab respons ibu dengan raut muka kegirangan, sambil menyatakan pikiran dan perasaannya. Anak menyatakan inisiatifnya di antara alur cerita atau mengungkapkan bahasa simbol yang membuat ibu tertawa karena lucu, atau terkejut karena isi simbol mengungkapkan pikiran anak yang tidak pernah diduga ibu. Selama berinteraksi dengan anak ibu memberikan internalisasi nilai kepada anak, seperti mengucapkan salam sebelum memasuki rumah. Pendalaman dan penjelajahan tema cerita juga terjadi selama ibu bermain bersama anak. Penjelajahan cerita terjadi ketika ibu sudah tidak
dapat
lagi
melakukan
pendalaman
cerita
atau
anak
mengemukakan inisiatif untuk memerankan peran yang lain. Perubahan interaksi ibu dan anak retardasi mental tidak terjadi pada kelompok kontrol, karena kelompok kontrol tidak diberikan pelatihan bermain pura-pura bersama anak. Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai t=0,197, dan nilai p>0,05 pada kelompok kontrol. Artinya
68
tidak terdapat perbedaan yang signifikan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada pra perlakuan dan pasca perlakuan. Grafik 3 dan 4 menjelaskan peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi mental
80
70
70 60 50 40 30 20 10 0 Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
skor interaksi ibu dan anak retardasi mental
skor interaksi ibu dan anak retardasi mental
terjadi secara signifikan pada kelompok perlakuan.
60 50 40 30 20 10 0 Ibu C
Pra perlakuan
Pasca perlakuan
Grafik 3. Perbedaan skor interaksi ibu dan anak retardasi mental pada pra dan pasca perlakuan kelompok perlakuan
Ibu T
Ibu G
Ibu N
subjek
subjek Pra perlakuan
Pasca perlakuan
Grafik 4. Perbedaan skor interaksi ibu dan anak retardasi mental pada pra dan pasca perlakuan pada kelompok kontrol
Tabel 14 menjelaskan lebih lanjut gain score atau skor perolehan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada pra-pasca perlakuan pada kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil skor perolehan pada kelompok perlakuan menunjukkan rentang peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi mental yang jauh. Rentang skor perolehan yang jauh pada kelompok perlakuan disebabkan pemberian pelatihan bermain pura-pura pada kelompok perlakuan. Sebaliknya, pada kelompok kontrol hanya terjadi sedikit peningkatan skor perolehan, bahkan satu subjek mengalami penurunan. Rentang skor perolehan
69
yang sedikit pada kelompok kontrol terjadi karena pada kelompok kontrol tidak diberi pelatihan bermain pura-pura. Tabel 14. Skor perolehan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan dan kontrol Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol Subjek Skor perolehan interaksi ibu Subjek Skor perolehan interaksi ibu dan anak retardasi mental dan anak retardasi mental A R W P
7 13 14 14
C T G N
-8 2 3 2
4) Menguji skor pasca perlakuan-tindak lanjut pada kelompok perlakuan dan skor amatan ulang 1-amatan ulang 2 pada kelompok kontrol Uji t antara skor pasca perlakuan dan tindak lanjut pada kelompok perlakuan dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut konsistensi dari perlakuan pelatihan bermain pura-pura yang telah diberikan pada kelompok perlakuan. Hasil uji t dijelaskan lebih lanjut pada tabel 15. Tabel 15. Hasil uji t skor pasca perlakuan-tindak lanjut pada kelompok perlakuan Pasca tes Tindak lanjut t N Rerata N Rerata 4
68,25
4
68,75
-0,322
p
0,769
Tabel 15 menjelaskan bahwa pada kelompok perlakuan terdapat nilai t=-0,322, dan p>0,05 pada pasca perlakuan ke tindak lanjut. Artinya tidak terdapat perbedaan signifikan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada pasca perlakuan ke tindak lanjut. Tidak adanya signifikansi menunjukkan bahwa pelatihan bermain pura-pura masih bertahan setelah tigabelas hari perlakuan. Grafik 5 menjelaskan
70
konsistensi hasil perlakuan pada kelompok perlakuan setelah sepuluh
skor interaksi ibu dan anak retardasi mental
hari diberi perlakuan. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Pasca perlakuan Tindak lanjut
Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik 5. Konsistensi interaksi ibu dan anak retardasi mental pada kelompok perlakuan setelah sepuluh hari diberi perlakuan
Selanjutnya uji t antara skor amatan ulang 1-amatan ulang 2 pada kelompok kontrol dilakukan untuk mengetahui apakah pelatihan bermain pura-pura benar-benar memberikan kontribusi terhadap peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi. Pelatihan bermain purapura diberikan pada kelompok kontrol setelah melewati masa penantian selama dua bulan, yaitu pada tanggal 20-23 Februari 2013. Tabel 16 menunjukkan adanya peningkatan rerata interaksi ibu dan anak retardasi mental pada amatan ulang1-amatan ulang 2. Artinya peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi mental memang terjadi karena pelatihan bermain pura-pura. Tabel 16. Hasil uji t skor amatan ulang 1-amatan ulang 2 pada kelompok kontrol Pasca perlakuan Tindak lanjut t N Rerata N Rerata 4 48,50 4 71,25 -4,997
p 0,15
71
Grafik 6 perbedaan skor interaksi ibu dan anak retardasi
skor interaksi ibu dan anak retardasi mental
mental pada amatan ulang 1-amatan ulang 2. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Amatan ulang 1
Amatan ulang 2
Ibu C
Ibu T
Ibu G
Ibu N
subjek Grafik 6. Perbedaan interaksi ibu dan anak retardasi mental pada amatan ulang 1amatan ulang 2 pada kelompok kontrol
c. Kategorisasi Aspek dalam Interaksi Ibu dengan Anak Retardasi Mental Berikut ini akan dipaparkan perubahan skor per aspek dalam interaksi ibu dan anak retardasi mental pada tabel 17-26. 1) Aspek ketenangan Tabel 17. Hasil kategorisasi aspek ketenangan Subjek Pra perlakuan Skor Kategori A 5 Sedang R 4 Rendah W 3 Rendah P 4 Rendah
Pasca perlakuan Skor Kategori 8 Tinggi 10 Tinggi 5 Sedang 8 Tinggi
Tindak lanjut Skor Kategori 8 Tinggi 8 Tinggi 8 Tinggi 9 Tinggi
Tabel 17 menunjukkan bahwa ibu di dalam kelompok perlakuan mengalami peningkatan pada aspek ketenangan. Awalnya ibu kurang tenang di dalam merespons perilaku anak yang tidak diinginkan, karena ibu kurang memahami kebutuhan anak. Ketidaktenangan ibu di dalam merespons perilaku anak yang tidak diinginkan menyebabkan ibu
72
bersikap kurang konsisten di dalam menanggapi perilaku anak yang tidak diinginkan ibu. Setelah mengikuti pelatihan bermain pura-pura ibu lebih tenang dan bersikap lebih konsisten di dalam merespons perilaku anak yang tidak diinginkan. Pada tahap tindak lanjut ibu masih memiliki kesadaran akan kebutuhan anak. Ibu bersikap lebih tenang dan konsisten dalam merespons perilaku anak yang tidak diinginkan, dan perilaku anak yang tidak diinginkan ibu berkurang kemunculannya. Perubahan aspek ketenangan ini dapat dilihat pada grafik 7.
skor interaksi ibu dan anak retardasi mental
A. Aspek Ketenangan
12 Pra perlakuan
10 8
Pasca perlakuan
6 4
Tindak lanjut
2 0 Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik 7. Kategorisasi aspek ketenangan pada kelompok perlakuan
2) Aspek perhatian terpusat kepada anak (B) Tabel 18. Hasil kategori aspek perhatian terpusat kepada anak Subjek Pra perlakuan Pasca perlakuan Skor Kategori Skor Kategori A 7 Sedang 7 Sedang „ R 6 Sedang 5 Sedang W 6 Sedang 8 Tinggi P 5 Sedang 7 Sedang
Tindak lanjut Skor Kategori 4 Sedang 8 Sedang 6 Sedang 7 Sedang
Tabel 18 menunjukkan bahwa ibu dalam kelompok perlakuan mengalami peningkatan dalam aspek perhatian terpusat kepada anak. Sebelum mengikuti pelatihan bermain pura-pura perhatian ibu sudah terpusat kepada anak. Ibu tetap memberikan respons, dan perhatian
73
kepada anak, sambil menyelesaikan pekerjaannya. Setelah mengikuti pelatihan bermain pura-pura perhatian ibu lebih terpusat lagi kepada anak. Ibu meletakkan pekerjaan yang bisa ditunda dan memberikan perhatian kepada anak. Pada tahap tindak lanjut ibu tetap memberikan perhatian kepada anak. Anak kini lebih mengerti kesibukan ibu, dan bisa diajak bekerja sama, sehingga anak tidak lagi perlu merengek untuk meminta perhatian. Perubahan aspek perhatian terpusat kepada anak ini dapat dilihat pada grafik 8.
skor interaksi ibu dan anak retardasi metnal
B. Aspek perhatian terpusat kepada anak
10
8 6
Pra perlakuan
4
Pasca perlakuan
2
Tindak lanjut
0 Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik 8. Kategorisasi aspek perhatian terpusat kepada anak pada kelompok perlakuan
3) Aspek kehangatan (C) Tabel 19 menunjukkan bahwa ibu dalam kelompok perlakuan mengalami peningkatan dalam aspek kehangatan ibu terhadap anak.
Tabel 19. Hasil kategori aspek kehangatan Subjek Pra perlakuan Skor Kategori A 7 Sedang R 12 Sangat tinggi W 4 Rendah P 7 Sedang
Pasca perlakuan Skor Kategori 8 Tinggi 8 Sedang 9 Tinggi 7 Sedang
Tindak lanjut Skor Kategori 9 Tinggi 9 Tinggi 6 Sedang 9 Tinggi
74
Kehangatan yang diberikan ibu kepada anak bervariasi antara ibu satu dengan ibu yang lainnya. Pada ibu yang masih kurang hangat dalam berinteraksi dengan anak retardasi mental menjadi semakin hangat setelah mengikuti pelatihan bermain pura-pura. Kehangatan ibu kepada anak ditunjukkan ibu dengan memberikan pujian terhadap perilaku anak yang sesuai aturan. Anak lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan rawat diri. Anak menjadi lebih tahu kebutuhan ibu. Kehangatan ditunjukkan ibu dengan memuji anak atau menemani
skor interaksi ibu dan anak retardasi mental
bermain. Grafik 9 menunjukkan ibu perubahan pada aspek kehangatan. C. Kehangatan
14 12 10 8 6 4 2 0
Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut
Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik 9. Kategorisasi aspek kehangatan pada kelompok perlakuan
4) Aspek konsistensi terhadap rutinitas (D) Tabel 20 menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan interaksi pada aspek konsistensi terhadap rutinitas. Artinya pelatihan bermain pura-pura tidak mempengaruhi konsistensi ibu terhadap rutinitas anak. Tabel 20. Hasil kategori aspek konsistensi terhadap rutinitas Subjek Pra perlakuan Pasca perlakuan Skor Kategori Skor Kategori A 4 Sedang 4 Sedang R 6 Sedang 6 Sedang W 6 Sedang 4 Sedang P 5 Sedang 6 Sedang
Tindak lanjut Skor Kategori 5 Sedang 6 Sedang 4 Sedang 6 Sedang
75
Sebelum ibu mengikuti pelatihan bermain pura-pura ibu telah terbiasa memberikan contoh untuk membiasakan perilaku rutin terhadap anak, seperti membuang sampah pada tempat sampah. Setelah diberi pelatihan bermain pura-pura ibu tetap memberikan contoh untuk membiasakan anak melakukan rutinitas. Pada tahap tindak lanjut ibu tidak memiliki kesulitan untuk memberikan contoh untuk membiasakan perilaku rutinitas. Grafik 10 menunjukkan grafik perubahan pada aspek konsistensi terhadap rutinitas.
skor intersaksi ibu dan anak retardasi mental
D. Aspek konsistensi terhadap rutinitas
7 6 5
Pra perlakuan
4
Pasca perlakuan
3
Tindak lanjut
2 1 0 Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik 10. Kategorisasi Aspek Konsistensi Terhadap Rutinitas pada Kelompok Perlakuan
5) Aspek konsistensi respon terhadap cara anak dalam menarik perhatian lingkungan (E) Tabel 21 menunjukkan bahwa ibu dalam kelompok perlakuan tidak mengalami perubahan pada aspek respon ibu terhadap cara anak dalam menarik perhatian lingkungan. Artinya pelatihan bermain purapura tidak memiliki pengaruh terhadap konsistensi respon ibu terhadap cara anak dalam menarik perhatian lingkungan.
76
Tabel 21. Hasil Kategori Aspek Konsistensi Respon Terhadap Cara Anak Dalam Menarik Perhatian Lingkunga Subjek Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut Skor Kategori Skor Kategori Skor Kategori A 4 Sedang 5 Sedang 4 Sedang R 8 Sedang 7 Sedang 6 Sedang W 6 Sedang 4 Sedang 6 Sedang P 6 Sedang 6 Sedang 5 Sedang
Sebelum mengikuti pelatihan bermain pura-pura ibu telah konsisten dalam merespons cara anak dalam menarik perhatian lingkungan, seperti dalam merespon anak ketika berada di lingkungan atau orang asing. Setelah diberi pelatihaan bermain pura-pura ibu tetap konsisten dalam merespons cara anak menarik perhatian ibu ketika bertemu orang asing. Pada tahap tindak lanjut ibu masih tetap konsisten dalam merespons cara anak menarik perhatian ibu ketika bertemu orang asing. Grafik perubahan pada aspek konsistensi respon terhadap cara anak dalam menarik perhatian lingkungan terlihat pada grafik 11.
interaksi ibu dan anak retardasi mental
E. Aspek konsistensi respon terhadap cara anak dalam menarik perhatian lingkungan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut
Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik11. Kategorisasi Aspek Konsistensi Respon terhadap Cara Anak Dalam Menarik Perhatian Lingkungan
77
6) Aspek mendorong anak berinisiatif dalam berkomunikasi (F) Tabel 22 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dalam aspek mendorong anak berinisiatif dalam berkomunikasi setelah diberi perlakuan. Tabel 22. Hasil Kategori Aspek Mendorong Anak Berinisiatif dalam Berkomunikasi Subjek Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut Skor Kategori Skor Kategori Skor Kategori A 5 Sedang 7 Sedang 10 Tinggi R 1 Sangat rendah 9 Tinggi 8 Tinggi W 3 Rendah 4 Sedang 9 Tinggi P 7 Sedang 8 Tinggi 8 Tinggi
Sebelum mengikuti pelatihan bermain pura-pura ibu tidak terbiasa mendorong anak berinisiatif dalam berkomunikasi. Ibu tidak pernah teribat dalam aktivitas bermain anak. Ibu kurang memiliki usaha membangun komunikasi timbal balik dengan anak. Ibu kurang memberikan stimulasi dengan memainkan peran sosial, sehingga anak terangsang untuk berinisiatif. Setelah diberi pelatihan bermain purapura ibu bisa memainkan peran sosial, sehingga anak terangsang untuk berinisiatif. Dengan demikian komunikasi antara ibu dan anak retardasi mental bersifat timbal balik. Pada tahap tindak lanjut ibu tetap terlibat di dalam aktivitas bermain anak. Grafik perubahan pada aspek mendorong anak berinisiatif dalam lingkungan ditunjukkan oleh grafik 12.
78
interaksi ibu dan anak retardasi mental
F. Aspek mendorong anak berinisiatif dalam berkomunikasi
12 10
Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut
8 6 4 2 0 Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik 12. Kategorisasi Aspek Mendorong Anak Berinisiatif dalam Berkomunikasi
7) Aspek negosiasi emosi (G) Tabel 23 menunjukkan bahwa ibu memiliki peningkatan interaksi dengan anak retardasi mental. Tabel 23. Hasil Kategori Aspek Negosiasi Emosi Subjek Pra perlakuan Pasca perlakuan Skor Kategori Skor Kategori A 2 Sangat rendah 3 Rendah R 4 Rendah 9 Tinggi W 8 Sedang 9 Tinggi P 4 Rendah 8 Tinggi
Tindak lanjut Skor Kategori 8 Tinggi 6 Sedang 7 Sedang 10 Tinggi
Sebelum diberi pelatihan ibu kurang mampu melakukan pertukaran emosi dengan anak. Respons ibu yang kurang tepat terhadap perilaku anak yang tidak diinginkan ibu menyebabkan anak tidak mengetahui bahwa perilaku anak tidak dikehendaki ibu. Setelah diberi pelatihan bermain pura-pura ibu lebih terampil dalam melakukan pertukaran emosi dengan anak. Ibu lebih tepat dalam merespons perilaku anak yang tidak diinginkan, sehingga ibu bisa membantu anak di dalam mengelola emosi. Pada tahap tindak ibu masih melakukan pertukaran emosi. Perilaku mengambeg anak berkurang. Anak juga
79
lebih bisa diajak bekerjasama. Grafik 13 menunjukkan perubahan interanalisasi nilai pada ibu.
interaksi ibu dan anak retardasi mental
G. Aspek negosiasi emosi
12 10
Pra perlakuan
8 Pasca perlakuan
6 4
Tindak lanjut
2 0 Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik 13. Kategorisasi aspek negosiasi Emosi
8) Aspek internalisasi nilai (H) Tabel 24 menunjukkan bahwa subjek telah terbiasa melakukan internalisasi nilai pada anak retardasi mental, sehingga setelah diberi perlakuan ibu tetap memberikan internalisasi nilai ketika berinteraksi dengan anak. Tabel 24. Hasil kategori aspek internalisasi Subjek Pra perlakuan Skor Kategori A 10 Tinggi R 11 Sangat tinggi W 12 Sangat tinggi P 5 Sedang
Pasca perlakuan Skor Kategori 10 Tinggi 11 Sangat tinggi 12 Sangat tinggi 6 Sedang
Tindak lanjut Skor Kategori 7 Sedang 9 Tinggi 10 Sangat tinggi 8 Tingggi
Pada tahap tindak lanjut ibu tetap melakukan internalisasi nilai kepada anak retardasi mental ketika berinteraksi. Grafik 14 menunjukkan perubahan internalisasi nilai pada ibu.
80
interaksi ibu dan anak retardasi mental
H. Aspek internalisasi nilai 14 12
Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut
10 8 6 4 2 0 Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik 14. Kategorisasi aspek Internalisasi
9) Aspek mendengarkan anak berbicara (I) Tabel
25
menunjukkan
bahwa
subjek
telah
terbiasa
mendengarkan anak berbicara. Sampai dengan tindak lanjut pelatihan pun subjek tetap bersedia mendengarkan anak berbicara. Interanalisasi nilai dapat dilihat pada grafik 15. Tabel 25. Hasil kategori aspek mendengarkan anak berbicara Subjek Pra perlakuan Pasca perlakuan Skor Kategori Skor Kategori A 4 Sedang 4 Sedang R 5 Sedang 6 Sedang W 8 Sedang 8 Tinggi P 5 Sedang 5 Sedang
Tindak lanjut Skor Kategori 3 Sedang 7 Sedang 8 Tinggi 5 Sedang
Pada tahap tindak lanjut ibu tetap mendengarkan anak berbicara ketika melakukan internalisasi nilai kepada anak retardasi mental ketika berinteraksi. Grafik 15 menunjukkan perubahan internalisasi nilai pada ibu.
81
I. Aspek mendengarkan anak bicara Interaksi ibu dan anak retardasi mental
10 Pra perla kuan
8 6
Pasca perla kuan
4 2 0 Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik 15. Kategorisasi Aspek Mendengarkan Anak Berbicara
10) Aspek memberikan penjelasan terhadap argumen anak (J) Tabel 26 menunjukkan terjadinya peningkatan dalam aspek memberikan penjelasan terhadap argumen anak. Tabel 26. Hasil kategori aspek memberikan penjelasan terhadap argumen anak Subjek Pra perlakuan Pasca perlakuan Tindak lanjut Skor Kategori Skor Kategori Skor Kategori A 4 Rendah 4 Sedang 4 Sedang R 6 Sedang 6 Sedang 5 Sedang W 4 Rendah 7 Sedang 7 Sedang P 4 Rendah 6 Sedang 4 Sedang
Sebelum diberi pelatihan bermain pura-pura ibu kurang terampil dalam memberikan penjelasan terhadap argumen anak. Ibu hanya diam saja terhadap perilaku anak yang tidak sesuai dengan lingkungan, karena kondisi anak memang berbeda dengan anak normal pada umumnya. Setelah diberi pelatihan pura-pura ibu lebih aktif di dalam memberikan penjelasan terhadap argumen anak. Ibu lebih aktif dalam memberikan arahan dan penjelasan terhadap perilaku anak yang sesuai dan tidak sesuai dengan lingkungan. Demikian pula pada tahap tindak lanjut ibu masih aktif dalam memberikan penjelasan terhadap perilaku anak di lingkungan. Grafik peningkatan aspek memberikan penjelasan terhadap argumen anak dapat dilihat pada grafik 16.
82
J. Aspek memberikan penjelasan terhadap argumen anak
interaksi ibu dan anak retardasi mental
8 7
Pra perlakuan
6 5
Pasca perlakuan
4
Tindak lanjut
3 2 1 0 Ibu A
Ibu R
Ibu W
Ibu P
subjek
Grafik 16. Kategorisasi aspek Memberikan Penjelasan terhadap Argumen Anak
Berdasarkan pada kategorisasi aspek interaksi ibu dan anak retardasi mental tersebut, dapat disimpulkan perubahan frekuensi pada tahap tindak lanjut penelitian untuk menyimpulkan adanya perbedaan dominasi pada aspek-aspek dalam skala interaksi ibu dengan anak. Adapun perbedaan hasilnya pada tabel 27. Tabel 27. Perbedaan Frekuensi Tindak Lanjut pada Aspek-Aspek Interaksi Ibu dan Anak Retardasi Mental Aspek Kategorisasi dan frekuensi Pra perlakuan Tindak lanjut ST T S R SR ST T S R SR Ketenangan 1 3 4 Perhatian terpusat pada anak 1 3 1 3 Kehangatan 1 2 1 3 1 Konsistensi terhadap rutinitas 4 4 Konsistensi Respon terhadap Cara Anak 4 4 Dalam Menarik Perhatian Lingkungan Mendorong Anak Berinisiatif dalam 2 1 1 4 Berkomunikasi Negosiasi emosi 1 2 1 2 2 Internalisasi 2 1 1 1 2 1 Mendengarkan Anak Berbicara 4 1 3 Memberikan Penjelasan terhadap Argumen 1 3 4 Anak Keterangan : ST : Sangat tinggi T : Tinggi S : Sedang R : Rendah SR : Sangat rendah
83
Tabel 27 menunjukkan bahwa aspek perhatian terpusat kepada anak berada pada kategori tertinggi. Disusul aspek internalisasi dan mendengarkan anak berbicara. Ketiga memberikan penjelasan terhadap argumen anak. Keempat ketenangan. Kelima kehangatan. Keenam konsistensi terhadap rutinitas, konsistensi respon terhadap cara anak dalam menarik perhatian lingkungan, dan mendorong anak berinisiatif dalam berkomunikasi. Ketujuh negosiasi emosi. Analisa Individual Analisa individual dilakukan untuk memaparkan dinamika interaksi ibu dengan anak retardasi mental secara individu.
a. Subjek A Grafik 17 menjelaskan dinamika interaksi ibu A dan anak retardasi mental.
70 skor interaksi ibu A dan anak retardasi mental
2.
60 50 40 30 20 10 0 Pra perlakuan
Pasca perlakuan
Tindak lanjut
waktu
Grafik 17. Skor Interaksi Ibu A dan anak retardasi mental pada pra dan pasca perlakuan, dan tindak lanjut
84
A adalah seorang ibu dengan pendidikan terakhir menengah atas. Ananda (P) adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Ibu A adalah ibu rumah tangga yang memiliki kesibukan sebagai petani. Sehari-hari ibu melakukan pekerjaan rumah dan menyiapkan makan untuk beberapa buruh yang membantunya bekerja di sawah. Ibu A sekeluarga tinggal bersama dengan ayahnya. Rumahnya bersebelahan dengan adiknya. Sebelum diberi perlakuan, interaksi ibu A dengan anak tergolong sedang, dengan skor 51 (grafik 17). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas terungkap bahwa sebelum mengikuti pelatihan bermain purapura, ibu A jarang terlihat mengantar anaknya berangkat dan menjemput ke sekolah. Biasanya kakek yang mengantarkan anak ke sekolah. Apabila ada pertemuan kelas, ibu A juga biasa datang terlambat, dan dalam pertemuan wali murid yang terakhir ini ibu A tidak terlihat (wawancara, Desember 17, 2012). Menurut kakek sikap ibu A terhadap anak sama seperti ibu A pada umumnya; menyuapi anak ketika makan, merapikan mainan anak, atau memberikan sesuatu yang diminta anak. Menurut kakek sikap ibu A yang demikian adalah wajar, karena memang anak ibu A berbeda dengan kedua kakaknya. Menurut kakek sikap anak dari ibu A selama ini memang selalu ingin menang sendiri. Semua orang yang ada di rumah harus menuruti keinginannya. Apabila tidak dituruti, anak akan marah. Kalau sudah marah anak bisa membanting apa saja yang ada di dekatnya (wawancara, Desember 18, 2012).
85
Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu A terungkap bahwa sebelum diberi perlakuan respons ibu A terhadap perilaku anak masih tidak konsisten. Ibu A merespons perilaku anak tidak berdasarkan pada kebutuhan anak, melainkan berdasarkan pada kecemasan ibu akan penilaian dari lingkungan terhadap perilaku ibu A. Ibu A mengatakan bahwa: “...Saya pernah mencoba untuk tidak segera memberikan keinginan ananda, tapi tangisannnya mbak....dikiranya anak saya, saya hajar atau bagaimana...” (wawancara, Desember 19, 2012) Ibu juga mengatakan, “...Daripada saya merasa malu dan sungkan, saya turuti saja keinginannya.” (wawancara, Desember 19, 2012).
Ucapan ibu A menunjukkan bahwa ibu A sesungguhnya mengetahui bahwa respons terhadap anak kurang tepat, namun ibu kurang memahami kebutuhan anak, sehingga ibu A menjadi cemas dalam memberikan respons kepada anak. Kekurangpahaman ibu A akan kebutuhan anak mendorong ibu untuk memberikan keinginan anak. Ibu mengatakan: “...Pokoknya harus dituruti.” (wawancara, Desember 19, 2012). Ibu A juga mengatakan,“Daripada nangis, saya kasih aja.” (wawancara, Desember 19, 2012). Sebelum diberi pelatihan dalam berinteraksi dengan anak ibu A kurang menyadari seberapa besar kehangatan yang diberikannya kepada anak. Ibu A menganggap bahwa kerepotan yang dialami ibu bisa jadi membuat ibu A mengabaikan anak secara tidak sengaja. “Saya itu ibu rumah tangga, tapi saya merasa pekerjaan saya tidak ada habisnya.Ada saja yang harus saya kerjakan. Mungkin saya tidak menyadari ketika anak saya mengajak tersenyum saya. Tapi kalau dia mengajak bicara saya, sambil tersenyum, saya nggak mengabaikan.” (wawancara, Desember 19, 2012).
86
Kerepotan ibu A ini mendorong anak untuk meminta waktu khusus kepada ibu A untuk memperoleh kehangatan yang dibutuhkan anak. Ibu A mengatakan:“Sukanya ananda mengajak saya keluar rumah, sore hari biasanya saya disuruh menemani dia duduk di teras melihat temantemannya bermain. Kalo saya masuk biasanya ananda marah.” (wawancara, Desember 19, 2012). Sebelum diberi pelatihan ibu A kurang mampu menangkap perasaan anak, sehingga ibu A kurang tepat di dalam merespons keadaan emosi anak ketika anak merajuk. Keadaan emosi yang ditunjukkan anak kepada ibu A menunjukkan sebuah kebutuhan anak akan perasaan aman. Perasaan kurang aman pada anak ini kurang tertangkap oleh ibu A. Ibu A mengatakan:“Kalo cuman nangis biasa ya nggak tak kasih........kalau nangisnya sampai mbeker-mbeker gitu, nanti ..yo wis... nanti tak beliin, gitu... nangisnya nanti baru diem....” (wawancara, Desember 19, 2012). Respons ibu A terhadap perilaku merajuk anak menjadi tidak konsisten, karena respons ibu A bukan pada rasa kurang aman anak, melainkan pada akibat dari rasa kurang aman anak. Ibu A mengatakan bahwa: “...biasanya saya bujuk, nanti tak ajak pergi ke mana... atau tak beliin apa...gitu biasanya nangisnya berhenti.. Saya tuh juga susah...gimana ya...kalau dikasih nanti dia manja. Kalau nggak tak kasih, kadang nangisnya sampai kayak gitu...” (wawancara, Desember 19, 2012).
Sebelum diberi pelatihan ibu A menjadikan kondisi keterlambatan anak sebagai halangan untuk memberikan penjelasan terhadap perilaku anak yang kurang sesuai dengan harapan lingkungan. Ibu A mengatakan: “Saya tahu kondisi dia yang seperti itu, tapi kalau disuruh mau berangkat,
87
kalau pas nggak mau berangkat saya diam saja, saya juga nggak pernah tanya macam-macam.” (wawancara, Desember 19, 2012). Selama pelatihan berlangsung ibu A tampak memperhatikan materi dan penjelasan yang disampaikan fasilitator dengan tatapan mata tertuju ke arah fasilitator. Sesekali ibu A tampak melirik ke arah peserta lain yang sedang bertanya atau menyampaikan aspirasinya kepada fasilitator. Ibu A juga mengerjakan semua tugas yang diperintahkan fasilitator (observasi, Desember 22, 2012). Selama mengikuti permainan peran, ibu A terlihat kurang memberikan
kesempatan
kepada
anak
untuk
memegang kendali
permainan. Ibu A tampak canggung di dalam berinteraksi dengan anak, sedangkan anak tampak tidak terpengaruh oleh kehadiran ibu A, karena perhatian anak ada pada permainan. Pada saat permainan diletakkan di hadapan anak, anak segera bermain pasir. Ibu A mengambilkan mainan kepiting, memberikan kepada anak, dan meminta anak untuk mencetak kepiting dengan pasir yang dipegang anak, kemudian ibu A mengambilkan sekop untuk anak, supaya anak mengambil pasir dengan sekop, bukan dengan tangan. Anak tampak menuruti apa yang diinginkan ibu A. Anak juga diam saja ketika ibu A mengambilkan boneka anak laki-laki dan meminta anak untuk mendudukkan boneka tersebut, kemudian ibu A mendudukkan boneka perempuan dewasa di samping boneka anak lakilaki (observasi, Desember 23, 2012).
88
Setelah diberikan umpan balik oleh fasilitator terjadi perubahan interaksi ibu A dan anak retardasi mental. Perubahan interaksi ibu A dan anak retardasi mental terlihat ketika bermain bersama anak dengan tema satu. Ibu A kini lebih memberikan kesempatan kepada anak untuk mengarahkan permainan. Awalnya anak terlihat ragu. Anak memegang boneka perempuan, kemudian menggerakkannya secara perlahan sambil memandang wajah ibu A, seolah meminta persetujuan. Ibu A segera merespons tatapan mata anak dengan senyuman. Anak melanjutkan keinginannya dengan mengambil ember dan sekop, memasukkan pasir ke dalam ember sambil menunduk. Ibu A merespons perilaku anak dengan bertanya kepada anak sedang bermain apa. Internalisasi nilai berhitung diberikan ibu A kepada anak pada kesempatan ini. Ibu A juga membantu anak berhitung bila anak berhenti (observasi, Desember 23, 2012). Pelebaran tema dilakukan ibu A setelah anak tidak bergeming pada permainan ember, pasir, dan sekop. Ibu A mengajak anak bermain di pantai dengan menggerakkan boneka perempuan dewasa ke dekat boneka anak laki-laki. Interaksi ibu A dan anak tampak mulai menghangat pada cerita ini. Sesampainya di pantai, ide cerita tidak dimunculkan oleh anak, karena itu ibu A menanyakan kepada anak bahwa anak sedang main apa, namun anak tidak juga menjawab pertanyaan ibu A, sehingga ibu A merangsang respons anak dengan mengatakan. “Itu kura-kura sedang apa?” Pendalaman cerita kemudian terjadi, dan muncul beberapa inisiatif dari anak. Adanya pendalaman cerita dan inisiatif anak ini menjadikan
89
interaksi di antara ibu A dan anak menjadi semakin hangat dan penuh makna (observasi, Desember 23, 2012). Pada tema kedua, interaksi diawali oleh ibu A yang mengajak anak bermain bersama. Di awal permainan sudah muncul inisiatif anak untuk membuat sebuah cerita. Ibu A mengikuti arahan anak dan terjadi interaksi timbal balik. Sayangnya pendalaman tidak terjadi dalam cerita ini, karena ibu A terlalu tergesa-gesa melakukan pelebaran cerita dengan mengajak anak untuk mandi. Akhirnya tidak terjadi pendalaman tema dalam cerita ini. Anak mengakhiri aktivitas mandi dengan kembali melakukan aktivitas bermain pasir seperti yang dilakukan sebelumnya (observasi, Desember 24, 2012). Pada tema ketiga, interaksi terjalin lebih alamiah. Interaksi diawali oleh ibu A dengan mengajak anak bermain bersama. Muncul inisiatif anak untuk menentukan cerita dalam tema ini, dan ibu A mengikuti arahan anak untuk mendudukkan boneka dewasa perempuan di samping boneka anak laki-laki. Pelebaran cerita dilakukan ibu A dengan mengajak anak bermain petak umpet. Di sinilah pendalaman cerita terjadi. Permainan berakhir karena anak beralih pada permainan pasir, dan ketika ibu A berusaha melibatkan boneka anak laki-laki yang lain, anak tidak membalas interaksi ibu A (observasi, Desember 25, 2012). Setelah diberi pelatihan bermain pura-pura, skor ibu A meningkat sebanyak 9 poin. Setelah diberi perlakuan ibu A merespons perilaku anak yang sedang merajuk dengan lebih tenang.
90
“Kalo ngambeg tak diemin aja mbak. Saya pura-pura tidak melihat dia menangis. Nanti lama-lama nangsinya berhenti trus mendekati saya. Kalau udah gitu saya bisa memberikan alasan mengapa saya tidak menuruti keinginan dia. Reaksi dia diam saja, dan mengangguk-angguk.” (wawancara, Desember 26, 2012).
Ibu A mulai menangkap kebutuhan anak dan bersikap konsisten terhadap perilaku anak yang tidak diinginkan oleh ibu A. Ibu A mengatakan bahwa: “Kalo sekiranya yang diminta ananda itu berbahaya, misalnya pilek setiap kali minum es, saya tidak akan mengijinkan ananda walaupun dia menangis. Kalau menangis paling...saya diamkan saja, nanti kalo sudah tenang saya beri tahu kalau ananda sering pilek karena minum es, makanya saya tidak mengijinkannya, nanti kalau sakit adik nggak bisa masuk sekolah.” (wawancara, Desember 26, 2012).
Anak pun mulai bisa menangkap keinginan lingkungan terhadap dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan ucapan ibu A“Kadang saya beri langsung, kalo itu baik, misal minta makan. Kalau nggak, misal minta jajan yang berbahaya, nggak langsung saya kasih. Nggak ngambeg, kalau dikasih tahu alasannya dia nggak ngambeg.” Perilaku anak yang mudah merajuk juga mulai berkurang, “Setelah ikut pelatihan itu...ananda jarang ngambeg mbak..kalo minta sesuatu masih suka..., tapi nggak ngrajuk kayak biasanya.” (wawancara, Desember 26, 2012). Setelah diberi pelatihan, ibu A lebih sering memberikan kehangatan dengan memberikan pujian. Ibu A mengatakan: “Pintar...!” atau “Bagus...!” bila mau makan sendiri, atau bikin susu sendiri.” (wawancara, Desember 26, 2012). Anak pun merespons kehangatan ibu dengan senyuman. Ibu mengatakan: “...Biasanya dia tersenyum kalau saya puji.....” (wawancara, Desember 26, 2012).
91
Ibu A menanyakan keadaan anak, dan merespons permintaan anak secara non verbal. Ibu A mengatakan: “Saya berusaha untuk menanggapi anak saya, misalnya saat anak saya sedang asyik bermain sendiri saya tanya sedang ngapain? Sambil ngingetin dia atau saat hari sudah siang saya menanyakan sudah makan apa belum? Kalo pas sudah hampir malam saya tanya sudah mandi?” (wawancara, Desember 26, 2012).
Setelah diberi pelatihan ibu A menyisihkan waktu untuk memperhatikan anak dengan merespons permintaan anak. Ibu A mengatakan: “....saya sedang mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci misalnya, kemudian ananda meminta sesuatu, saya kan nggak pas lihat wajahnya, tapi saya dengar, dan saya menjawab.” (wawancara, Desember 26, 2012). Anak menjadi lebih ceria, penurut, dan tidak mudah merajuk. Ibu A mengatakan:“Saya merasa ananda sekarang ini lebih ceria, tidak ..sebentar-sebentar
ngambeg
kalau
minta
sesuatu.”
(wawancara,
Desember 26, 2012). Setelah diberi pelatihan perilaku merajuk anak tidak tampak. Ibu A mengatakan: “Sampai saat ini emang ananda belum pernah nangis yang seperti dulu, tapi kalau dia menginginkan sesuatu seperti biasanya, yang dulu pakai nangis mbeker-mbeker, sekarang bisa diajak bicara dan mau mengerti.” (wawancara, Desember 26, 2012). Anak menjadi mengerti keinginan lingkungan dengan menuruti perintah ibu A. Ibu A mengatakan:“Ananda anak penurut. Apabila ananda dimintain tolong, maka ananda akan berangkat.” (wawancara, Desember 26, 2012). Pada lembar evaluasi, ibu A menuliskan bahwa ibu A merasa senang dengan adanya pelatihan bermain pura-pura ini, karena ibu A
92
menjadi lebih tahu bagaimana menghadapi anaknya yang sering merengek-rengek ketika meminta sesuatu. Guru juga mengatakan bahwa ibu A pernah mengatakan kepada guru bahwa anak kini lebih mudah diatur daripada sebelumnya. Guru pernah mengatakan bahwa ibu A lebih sering terlihat mengantar dan menjemput anaknya, dibandingkan dengan kakeknya. Grafik 17 menunjukkan bahwa terdapat kenaikan 2 poin pada pasca perlakuan ke tindak lanjut. Artinya terdapat peningkatan interaksi ibu dan anak retardasi mental sebelum dan setelah diberi perlakuan. Menurut ibu A sejak mengikuti pelatihan bermain pura-pura sampai dengan kini, perilaku tantrum anak jarang muncul. Ibu A mengatakan: “Setelah ikut pelatihan itu...ananda jarang ngambeg mbak..kalo minta sesuatu masih suka..., tapi nggak ngrajuk kayak biasanya.” (wawancara, Januari 8, 2013). Meskipun anak masih suka marah apabila keinginanya tidak terpenuhi, namun anak bisa diberi pengertian. Ibu A mengatakan: “...nggak segera saya kasih. Dia mau mengerti, ngambegnya masih....tapi paling sebentar. Nggak lama kayak dulu lagi.” (wawancara, Januari 8, 2013).
Ibu A menganggap
bahwa anaknya kini lebih ceria dan menurut pada ibu A. Ibu A mengatakan: “Saya merasa ananda sekarang ini lebih ceria, tidak ..sebentar-sebentar ngambeg kalau minta sesuatu. Apalagi setelah saya puji...kayaknya dia menjadi lebih menuruti kata-kata saya.” (wawancara, Januari 8, 2013).
93
b. Subjek R Ibu R adalah seorang guru SD. Anak terakhir dari keempat anak ibu R menderita retardasi mental. Grafik 18 menjelaskan dinamika interaksi ibu R dan anak retardasi mental.
skor interaksi ibu R dan anak retardasi mental
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Pra perlakuan
Pasca perlakuan
Tindak lanjut
waktu
Grafik 18. Skor interaksi ibu R dan anak retardasi mental pada pra dan pasca perlakuan, dan tindak lanjut
Sebelum diberi pelatihan bermain pura-pura interaksi ibu R dan anak retardasi mental berada dalam kategori sedang, dengan total skor sebesar 63 (grafik 18). Menurut guru luar biasa, guru biasa bertemu dengan ibu R hanya pada pertemuan wali murid. Di luar jam pertemuan wali murid, ibu R tidak pernah terlihat di sekolah, sebab anak biasanya berangkat dan pulang ke sekolah sendiri dengan berjalan kaki, meskipun rumah anak agak jauh dari sekolah. Guru menambahkan bahwa anak dari ibu R merupakan anak yang pendiam dan penurut (wawancara, Desember 17, 2012).
94
Menurut ibu R, ibu R telah memiliki kesiapan memiliki anak retardasi mental sejak anak berada dalam kandungan. Saat mengandung, ibu R tidak menyadari kehamilannya. Ibu R menyangkan bahwa panas dan flu yang dideritanya disebabkan oleh fisiknya yang sedang melemah, karena itu ibu R segera meminum obat dari dokter umum. Ibu R menyadari bahwa dirinya hamil setelah bulan kelima. Itu pun karena perutnya yang terasa semakin membuncit (wawancara, Desember 19, 2012). Ibu R melanjutkan bahwa seluruh anggota keluarga sangat menyayangi dan memperhatikan anak, terlebih kakak yang nomor tiga. Kakak selalu menanyakan keberadaan adik, apabila adik tidak ada di rumah. Kakak juga selalu memikirkan adik, apabila adik sedang sakit. Kadang kakak menemani adik bermain, kadang ibu R juga bermain bersama anak, atau hanya menemani anak bermain di dekatnya, sambil tiduran menonton televisi. Biasanya anak bermain pasaran atau boneka (wawancara, Desember 19, 2012). Suami ibu R juga menjelaskan bahwa seluruh anggota keluarga bisa menerima keadaan anak. Anak sendiri adalah anak yang pendiam. Seandainya anak marah, paling hanya diam saja tidak mau diajak bicara. Pada akhirnya anak akan diam dengan sendirinya apabila anak sudah merasa puas. Biasanya memang kami hanya mendiamkan saja apabila anak marah (wawancara, Desember 19, 2012).
95
Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu R terungkap bahwa sebelum diberi perlakuan ibu R kurang memahami kebutuhan anak, dan sering merayu anak supaya anak berhenti merajuk. Ibu mengatakan: “Biasanya kalau saya bilang ke dia nanti tak belikan sesuatu atau tak kasih sesuatu dia mau berhenti merajuk.” (wawancara, Desember 19, 2012). Sikap ibu dalam merespons perilaku anak juga tidak konsisten. Apabila ibu teringat anak bisa menjadi manja apabila ibu memberikan keinginan anak, maka ibu tidak memberikan apa yang diinginkan anak. Ibu mengatakan: “.....Takut saya kalau ananda menjadi manja. Jadi kadang kalo ananda meminta uang untuk beli jajan, kadang saya beri, kadang juga tidak.” (wawancara, Desember 19, 2012). Namun bila ibu R teringat dengan kondisi retardasi mental anak ibu akan memberikan keinginan anak. “...Saya merasa kasihan karena ananda berbeda dengan saudaranya yang lain. Pada saat ananda menangis kadang saya teringat hal itu, maka saya akan memberikan apa yang diinginkan ananda.” (wawancara, Desember 19, 2012). Sebelum diberi perlakuan ibu R juga biasa membiarkan anak bermain sendiri. Ibu R mengatakan: “Kalau ananda sudah main sendiri ya sudah. Asyikk dia...” (wawancara, Desember 19, 2012). Setelah diberi perlakuan ibu lebih sering melibatkan diri dalam berinteraksi dengan anak. Ibu R mengatakan: “Kalo pura-pura kesakitan jarang, tapi saya pura-pura menjatuhkan mainannya sering. Maksud saya biar dia menyusun kembali. Puzzle biasanya, atau yang dipasang-pasangkan itu lho. “(wawancara,
96
Desember 19, 2012). Ibu R juga mau bermain bersama dengan anak. Ibu R mengatakan: “Sekali aja aku biarin mainan sendiri.” (wawancara, Desember 19, 2012). Melalui ini ibu R bisa mengetahui sampai dimana kemampuan kognitif anak. Ibu R mengatakan: “Kadang saja saya menyembunyikan puzzlenya yang sedang dimainkan. Saya pengen tahu apakah adik sadar kalo mainannya ada yang kurang atau tidak.” (wawancara, Desember 19, 2012). Sebelum diberi perlakuan ibu R kurang dalam melakukan pertukaran emosi dengan anak. Ibu R lebih sering menggunakan emosi yang menyatakan penolakan kebutuhan anak. Rayuan yang digunakan untuk menyampaikan perasaan ibu kepada anak tidak dapat dimengertti anak, dan perilaku anak semakin menjadi, karena kebutuhan anak tidak dapat dimengerti ibu. Ibu mengatakan: “Kalau ananda menangis..kadang sampai merajuk juga. Saya rayu-rayu dia untuk tidak menangis juga tetap nggak diam..... Akhirnya saya tinggal pergi, daripada saya emosi. Saya gemes kalau ananda sudah mulai seperti itu.....” (wawancara, Desember 19, 2012).
Pada saat ibu R bermain peran terungkap keterampilan ibu R dalam bermain dengan anak. Ibu R mengambil boneka dewasa perempuan, berjalan mendekat kepada anak, sedangkan anak tampak asyik menata mainan pantai, sambil menatap boneka dewasa perempuan yang mendekat kepadanya. Anak mengatakan kepada boneka dewasa tersebut bahwa anak ingin bermain kura-kura dengan cara menunjukkan kura-kura ke hadapan boneka dewasa tersebut, kemudian meletakkannya di hadapan boneka dewasa perempuan. Ibu R kemudian mengambilkan mainan kepiting untuk
97
anak, dan mendudukkannya di samping kura-kura. Anak mengangguk (observasi, Desember 23, 2012). Setelah diberikan umpan balik oleh psikolog terjadi perubahan interaksi ibu R dan anak retardasi mental ke arah yang lebih baik. Perubahan interaksi ibu R dan anak retardasi mental dapat dilihat pada saat ibu bermain bersama anak. Pada tema satu interaksi diawali oleh ibu R yang menanyakan mainan kepiting berwarna merah yang sedang dipegang anak. Anak menjawab pertanyaan ibu R dengan singkat, “kepiting” dan tetap asyik mengobrak abrik pasir dengan mainan kepiting. Ibu R berusaha menjalin interaksi lebih dalam lagi dengan bertanya kepada anak, “kepitingnya sedang apa?” Anak tidak dapat menjawab pertanyaan ibu R. Ibu R kemudian mengambil mainan kura-kura sambil berkata, “Ayo lomba lari kepiting!‟ Anak melihat kepada ibu R, tersenyum, dan menghentikan
kegiatannya
yang
sedang
mengobrak-abrik
pasir.
Kedalaman cerita menjadikan interaksi antara ibu R dan anak semakin hangat. Di dalam interaksi ini ibu R memberikan rangsang kognitif kepada anak, seperti “Kepiting sama kura-kura jalannya cepat mana?” Percakapan yang melibatkan rangsang kognitif ini berakhir setelah ibu tidak lagi menemukan gagasan (observasi, Desember 23, 2012). Ibu R kemudian mengambil boneka dewasa perempuan, sambil berkata, “Adik mau mainan apa?” anak memandang ke arah ibu sambil mengambil boneka anak perempuan. Interaksi antara ibu R dan anak semakin dalam dengan percakapan antara ibu R dan anak mengenai
98
rambut yang rambut anak yang harum karena rajin keramas. Canda dan tawa juga menyertai interaksi ibu R dan anak (observasi, Desember 23, 2012). Canda dan tawa ibu R dan anak berakhir karena anak mengambil mainan kura-kura dan meletakkan boneka anak perempuan di pojok kota pasir. Kesempatan ini dimanfaatkan ibu R dengan mendekatkan boneka perempuan dewasa ke arah kura-kura dan berkata, “Aku bonceng..!” Anak tampak mengerti maksud ibu, kemudian merespons dengan tersenyum pada ibu R, dan menjawab, “Nanti kura-kuranya tenggelam. Selanjutnya interaksi antara ibu R dan anak terjalin semakin dalam, akrab, dan hangat, disertai dengan canda tawa. Percakapan antara ibu R dan anak melibatkan nilai-nilai kebaikan kepiting yang memberikan pertolongan kepada boneka perempuan dewasa dan kura-kura yang tenggelam. Kepiting membawa boneka perempuan dewasa dan kura-kura ke bibir pantai. Sesampainya di bibir pantai boneka perempuan dewasa mengajak anak bermain pasir. Berakhirlah cerita di tema pertama. Pada tema kedua, permainan diawali oleh anak yang meminta tolong ibu R untuk membukakan kardus berisi mainan rumah-rumahan. Ibu R segera merespons permintaan anak dengan membukakan kardus, dan memberikan rangsang dengan memberikan internalisasi nilai warna melalui perabotan yang ada di dalam kardus rumah-rumahan. Interaksi yang hangat dan mendalam terjalin melalui percakapan antara ibu R dan anak ketika ibu R dan anak menata perabotan rumah-rumahan. Inisiatif
99
anak muncul di saat anak menata perabotan mainan, seperti anak menidurkan boneka anak perempuan di dalam rumah, dan keluar rumah mengambil mainan pantai berbentuk bintang untuk makan boneka anak perempuan (observasi, Desember 24, 2012). Interaksi yang terjalin antara ibu R dan anak melibatkan umpan balik percakapan mengenai aktivitas anak yang sedang tidur, kemudian anak memerankan diri sebagai ibu R yang sedang menyuapi anak dan meminumkan susu. Ibu R memperhatikan anak ketika anak memerankan diri sebagai ibu R yang sedang menyuapi dan memberi susu kepada anak. Dalam interaksi ini, ibu R memerankan diri sesuai dengan arahan anak. Rangsang yang diberikan ibu R kepada anak membuat cerita semakin kaaya dan interaksi menjadi akrab dan hangat. Rangsang diberikan kepada anak ketika gagasan dari anak tidak muncul. Apabila gagasan dari anak muncul, ibu R memperhatikan dan mengikuti arahan anak (observasi, Desember 24, 2012). Cerita semakin seru dengan munculnya gagasan dari anak dengan mengatakan, “sudah sore, adik mandi dulu.” Anak menciptakan simbol aktivitas mandi dengan membuat gundukan pasir dan memandikan boneka anak perempuan di atasnya. Ibu R memberikan pujian kepada anak ketika anak melakukan aktivitas mandi ini dengan mengatakan, “Adik mandi...segar!!!” Rangsang yang diberikan ibu R kepada anak dengan mengingatkan anak untuk kramas ketika mandi menciptakan gagasan baru pada anak untuk melakukan aktivitas mandi secara lengkap, mulai dari
100
mengguyur badan, kramas, memakai minyak kayu putih, baju, dan bedak. Permainan berakhir setelah anak meletakkan boneka anak perempuan (observasi, Desember 24, 2012). Pada tema ketiga permainan diawali oleh ibu R yang membawa boneka anak perempuan dengan tangan kanan ke depan rumah sambil berkata, “assalamu‟alaikum!” tangan kiri ibu R mengambil boneka perempuan dewasa, digerakkannya berjalan ke arah pintu rumah dan menjawab salam, “Wa‟alaikumsalam adik.! ada temenmu datang!” Anak sedang menata perabotan rumah ketika ibu R berkata. Anak mengangkat kepala, menghadap ke arah ibu sambil tersenyum. Ibu R kemudian memberikan internalisasi nilai kesopanan dalam bertamu dengan bertanya kepada anak, jawabnya bagaimana?” (observasi, Desember 25, 2012). Anak menghentikan aktivitasnya dalam menata perabotan, kemudian mengambil dan menggerakkan boneka anak perempuan satunya sebagai teman anak. Anak menyatakan gagasan dalam memberikan nama teman dan mainan yang hendak dimainkan dengan temannya, yaitu pasaran. Ibu R memberikan rangsang sekaligus internalisasi nilai kebersihan dengan mengatakan untuk bermain pasaran di luar rumah saja. Ibu R sengaja membiarkan anak menciptakan simbolisasi dengan mengatakan kepada anak, “Ibu masuk dulu.... ibu mau masak.“ Ibu R memperhatikan anak yang sedang bermain dengan temannya. Anak menciptakan simbol dengan mencari
bunga yang telah diperolehnya.
Berdua dengan temannya, dan mengambil mainan di kotak pasir sebagai
101
bunga. Anak juga menyatakan gagasannya untuk bermain jual beli dengan temannya. Kesempatan ini dimanfaatkan ibu R untuk terlibat kembali di dalam aktivitas bermain anak, dengan mengatakan, “Aku ikutan beli yaa...?” Anak menjawab, “Iya...ibu R sebelah sini...” Anak menunjuk ke arah boneka anak perempuan dewasa untuk duduk di samping boneka anak perempuan (observasi, Desember 25, 2012). Ibu R mengikuti arahan anak dengan mendudukkan boneka perempuan dewasa di samping boneka anak perempuan, kemudian berkata, “Aku beli gado-gadonya dua...” Percakapan yang berlanjut antara ibu R dan anak membuat interaksi yang terjalin antara ibu R dan anak semakin mendalam. Permainan kemudian berakhir karena anak mengeluh capek (observasi, Desember 25, 2012). Pada lembar evaluasi subjek P menuliskan bahwa subjek P sangat senang dengan adanya pelatihan bermain ini. Subjek P merasa banyak manfaat yang diperoleh. Subjek P juga menginginkan adanya pelatihan serupa untuk meningkatan pengetahuannya tentang bagaimana mengasuh anak dengan benar. Setelah diberi pelatihan bermain pura-pura, interaksi ibu R dan anak menjadi tinggi. Grafik 18 menunjukkan peningkatan interaksi setelah diberi perlakuan sebesar 13 poin. Ibu R mengatakan: “....Kalo misalkan ananda makan jajan yang ada msg nya atau mainan yang sudah punya, biasanya tidak langsung saya kasih. Saya katakan untuk membeli lainnya saja, karena jajannya ada pengawetnya, nanti batuk....” Ibu R tidak lagi
102
membelikan sesuatu kepada anak karena rasa tidak tega karena kekurangan yang dimiliki anak. Ibu R mengatakan: “Nggak pernah lagi berikan anak karena gak tega...” (wawancara, Desember 26, 2012). Anak menjadi lebih bisa diajak kerjasama oleh ibu R. Ibu R mengatakan: “Sampai saat ini ananda belum pernah merengek meminta mainan lagi. Kemarin sempet minta mi instan padahal sudah dilarang sama dokter, karena ada masalah pada pencernaannya. Saya ajak dia untuk belanja ke pasar, dan dia mau. Sesampainya di pasar saya ajak dia makan soto kesukaannnya.” (wawancara, Desember 26, 2012).
Sebelum diberi perlakuan ibu R pernah berinteraksi dengan anak untuk mendorong anak berkomunikasi. Ibu R mengatakan: “Pernah sekali saya pura-pura kesakitan waktu ananda memencet hidung saya waktu saya gendong. Saya pura-pura teriak “Wow!” Nggak sakit sebenarnya cuman saya pura-pura aja biar dia tidak nangis....” (wawancara, Desember 19, 2012).
Setelah diberi perlakuan anak kini mau menuruti perintah ibu R tanpa merasa keberatan. Ibu R mengatakan: “Kadang aja saya pura-pura “ennnakkk .....maemnya” biar ananda mau makan. Soalnya kalo udah pegang komputer, disuruh makan sama mandi susahnya setengah mati. Dengan begitu dia nanti mau mandi dan makan tanpa marahmarah.” (wawancara, Desember 25, 2012).
Setelah diberi perlakuan ibu R mampu menyatakan perasaan ketidaksetujuan atas perilaku anak tanpa memberikan nuansa penolakan. Ibu R mengatakan: “Kebetulan ini ananda tidak pernah merajuk. Paling banter menangis bila keinginannya tidak saya turuti. Saya diamkan dulu sesaat...saya dekati ananda bila terlihat agak membaik, saya berikan dia pengertian. Biasanya mau mendengarkan. Diam saja sih, tapi dia mau mendengarkan.”(wawancara, Desember 25, 2012).
Anak pun kini lebih memahami keinginan ibu R dengan tidak mudah merengek. Ibu R mengatakan:
103
“Kalau nangis biasa mbak...tapi nggak sampai merengek. Kalau meringik masih suka, apalagi kalau saya masih repot... saya bilangin, “sabarlah dikk...sebentar lagi atau besok ibu berikan, sekarang makan roti ini dulu seadanya. Ini lho...rotinya enak.”(wawancara, Dersember 26, 2012).
Interaksi ibu R dan anak pada tindak lanjut memang turun sebesar 2 poin, namun masih berada dalam satu kategori, yaitu tinggi. Ibu R tetap tenang dalam menghadapi anak, dan keterlibatan emosi dengan anak ketika berinteraksi juga semakin tampak, sehingga ibu bisa melakukan kompromi dengan anak. Ibu R mengatakan: “Kebetulan kemarin ananda mengambil mainan punya tetangga, mainannya anak yang lebih kecil dari dia. Nangis lah...mainannya diambil sama anak saya.Saya minta untuk saya kembalikan nggak boleh. Marah dia, setiap saya dekati dia lari. Saya diamkan saja, pura-pura nggak tahu. Saya pura-pura bermain permainan baru. Dia mengajak saya untuk bermain, mainannya tetangga diletakkan.”(wawancara, Januari 8, 2013).
Ibu R juga tetap trampil dalam menjalin interaksi timbal balik, dan terarah dengan anak. Dengan demikian ibu R dapat mendorong anak untuk berinisiatif dalam lingkungan. “Kadang saja saya tidak akan berikan jika itu tidak baik untuk ananda. Biasanya saya mengalihkannya pada kesibukan atau kegiatan lain, atau mengajaknya berbicara, namun kalau tidak bisa saya alihkan, ya....terpaksa saya turuti keinginannya, tapi bila itu baik. Kalau tidak saya diamkan saja, pura-pura nggak melihat. Kadang nggak tega juga mendengar dia menangis, namun bila saya terus menerus merayunya, dia nanti akan menjadi anak manja.”(wawancara, Januari 8, 2013)
104
c. Subjek W Ibu W adalah seorang ibu rumah tangga. Ananda adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Grafik 19 menunjukkan dinamika interaksi
skor interaksi ibu W dan anak retardasi mental
ibu W dan anak retardasi mental. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Pra perlakuan
Pasca perlakuan
Tindak lanjut
waktu
Grafik 19. Skor Interaksi Ibu W dan Anak Retardasi Mental pada Pra dan Pasca perlakuan, dan Tindak Lanjut
Menurut ibu W apapun keadaan anak, anak adalah anugerah dari Tuhan. Ibu W pun mengaku tidak menuntut terlalu banyak pada anak dalam hal akademis. Ibu W hanya menginginkan anaknya menjadi mandiri dengan bersekolah, memiliki kegiatan sendiri, dan dapat berinteraksi dengan teman-teman yang lainnya (wawancara, Desember 18, 2012). Menurut ibu W pada saat anak di dalam kandungan, selama sembilan bulan ibu W harus beristirahat di atas tempat tidur. Pada saat anak masih kecil, anak jarang bermain di rumah. Anak seringnya bermain di pemakaman di ujung jalan tempat tinggal subjek. Apabila
105
semua pintu dikunci ibu W anak dapat keluar rumah lewat jendela (wawancara, Desember 18, 2012). Menurut ibu W, ibu W tidak pernah memanjakan anak, sekalipun anak mengalami hambatan kognitif. Ibu W tetap berusaha membuat anak mandiri, karena itu ibu W tidak selalu memberikan apa yang diinginkan ananda dengan segera, sekalipun anak menangis meronta-ronta. Berbeda dengan suaminya yang selalu memberikan apa yang diinginkan anak dengan segera. Menurut ibu W suami ibu W bersikap demikian, karena suami merasa tidak bisa mendampingi anak setiap hari, karena harus bekerja di luar kota. Apabila suaminya libur panjang di rumah, anak memiliki lebih dekat dengan suami ibu R. Kemana saja ayahnya bergerak, anak pasti akan mengikutinya (wawancara, Desember 18, 2012). Anak pertama ibu W menjelaskan bahwa adiknya selalu bersama dengan ibu W karena ayah mereka bekerja di luar kota. Waktu kecil adik selalu bermain di luar rumah. Adik sering bermain di pemakaman yang ada di ujung jalan. Sebenarnya ibu W sudah melarang adik untuk bermain di luar rumah, namun entah mengapa adik selalu bisa keluar rumah. Sekarang ini adik sudah mau bermain di dalam rumah. Biasanya bermain bunyi-bunyian, yang membikin suara rumah menjadi berisik. Apabila adik main di luar rumah paling bermain sepeda, itupun tidak lama. Kadang kakak merasa jengkel kalau adik sudah mulai memukul-
106
mukul, namun kakak memilih mengalah dengan belajar di rumah teman (wawancara, Desember 18, 2012). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas terungkap bahwa ibu W sering terlihat mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah. ibu W juga rajin mengikuti pertemuan wali murid, dan selalu menanyakan perkembangan anaknya kepada guru (wawancara, Desember 17, 2012). Sebelum diberi pelatihan bermain pura-pura diberikan interaksi ibu W dan anak retardasi mental berada dalam golongan sedang (poin 56 pada grafik 19). Sebelum diberi pelatihan ibu W kurang tenang di dalam merespon perilaku anak. Respon ibu W terhadap perilaku anak tidak berdasarkan pada kebutuhan anak, melainkan berdasarkan kebutuhan ibu W sebagai individu yang lebih memahami kebutuhan anak, dibandingkan dengan anak sendiri. Ibu W mengatakan: “Kalau merajuk? Saya bisa tahan sampai lama kalau mendiamkan ananda, saat merajuk (menangmenangan sama ananda)...”(wawancara, Desember 19). Sebelum diberi pelatihan ibu kurang memberikan kehangatan kepada anak karena alasan kesehatan. Ibu W mengatakan: “Bukannya saya mau mengabaikan ananda, tapi kalau saya merasa capek saya harus istirahat dan tidur, kalau tidak darah tinggi saya bisa kambuh.” Anak merasakan kehilangan perhatian dari ibu. Ibu W mengatakan: “Kadang-kadang juga nggak boleh kalau saya tiduran. Sering juga diganggu supaya bangun dan menemaninya.” (wawancara, Desember 19, 2012).
107
Sebelum diberi perlakuan ibu tidak pernah bermain bersama anak. ibu W mengatakan: “Saya membiarkan ananda bermain sendiri.” Ibu W tidak pernah memanfaatkan waktu anak untuk terlibat dan mendorong anak berinisiatif dalam berkomunikasi. Ibu W mengatakan: “Saya tidak pernah melakukan interupsi ketika anak sedang bermain. Saya biarkan saja ananda apabila sudah asyik bermain dengan mainannya. Saya juga tidak pernah berpur-pura mengganggu anak untuk mencari perhatian anak.” (wawancara, Desember 19, 2012).
Sebelum diberi perlakuan ibu kurang mampu bertukar emosi dengan anak. Ibu W berikan saja keinginan anak dengan segera, dan tidak mengkomunikasikan konsekuensi dari permintaan anak. Ibu W mengatakan: “Kalau sudah begitu saya merasa risih, makanya lebih baik saya menuruti keinginan ananda, daripada dia merajuk. Ya...saya rayurayu, gimana caranya supaya dia berhenti merajuk.” (wawancara, Desember 19, 2012). Berdasarkan observasi selama bermain peran terlihat interaksi ibu W dan anak masih bersifat satu arah. Ibu W tidak segera memberikan respon ketika anak memegang mainan, walaupun ibu W juga sudah memegang mainan. Inisiatif anak dalam berkomunikasi juga tidak muncul, maka ibu W mengambil alih kepemimpinan dalam permainan tersebut dengan mengarahkan anak untuk mengambil mainan yang diinginkan ibu W (observasi, Desember 23, 2012). Interaksi ibu W dan anak mengalami perubahan setelah diberikan umpan balik oleh psikolog. Perubahan interaksi ibu W dan anak retardasi mental terlihat pada saat ibu W dan anak retardasi mental bermain
108
bersama. Pada tema pertama, interaksi diawali oleh ibu W dengan menawarkan beberapa mainan kepada anak. Anak pun segera menanggapi penawaran ibu dengan memilih mainan pasir dan ember. Kehangatan interaksi ditunjukkan ibu dengan memberikan pertolongan kepada anak ketika ember yang sedang diisi anak selalu terjatuh, karena ember tidak dipegang anak. Ibu W memberikan pertolongan dengan menyarankan anak untuk memegang ember dengan tangan kiri dan sekop untuk mengambil pasir dengan tangan kanan. Ibu W kemudian menawarkan kepada anak untuk mencetak pasir dengan mainan pantai yang diinginkan anak, sekalipun anak belum selesai memenuhi ember dengan pasir (observasi, Desember 23, 2012). Selesai mengikuti penawaran ibu W anak menunjukkan rasa ingin tahunya dengan bertanya kepada ibu W apa nama dan fungsi mainan garu yang sedang dipegangnya. Anak kemudian melanjutkan permainan dengan mengajak ibu W untuk membuat rumah dari gundukan pasir. Ibu W merespon inisiatif anak dengan menawarkan kepada anak untuk membuat gundukan pasir dengan tangan saja, namun anak tetap menghendaki menggunakan sekop. Ibu W pun mengikuti keinginan anak, dan melakukan internalisasi nilai berhitung kepada anak (observasi, Desember 23, 2012). Selesai bermain dengan pasir dan berhitung tampak ibu W memberikan penawaran kepada anak untuk bermain apa lagi, dan anak meresponnya dengan mengambil mainan gajah, dan membuat yakin
109
bahwa gajah tersebut sedang lapar. Interaksi antara ibu W dan anak terjalin melalui percakapan antara ibu W dan anak. Simbolisasi tiba-tiba muncul dari anak dengan perilaku anak yang mengambil boneka laki-laki dewasa. Anak mengatakan bahwa boneka tersebut adalah ayahnya, dan anak ingin menguburkan boneka tersebut. Ibu W berusaha mengalihkan perhatian anak dengan bertanya pada anak mengenai permainan apa yang sedang dimainkan anak. Anak menjawab pertanyaan ibu dengan mengatakan bahwa anak sedang bermain pasir, namun anak kembali lagi pada idenya untuk menguburkan ayahnya. Ibu W tampak tidak menyerah dengan keinginan anak dengan melakukan penawaran kepada anak untuk menguburkan kaki boneka laki-laki tersebut. Anak menuruti keinginan ibu W, namun anak tetap mengucapkan takbir, dan permainan berakhir (observasi, Desember 23, 2012). Pada tema kedua anak mengawali interaksi dengan mengambil mainan rumah-rumahan yang masih terbungkus rapi dan meletakkannya di lantai. Anak kemudian meminta persetujuan menempatkan mainan boneka kepada dengan menanyakan dimana mainan rumah-rumahan diletakkan. Ibu W menyatakan persetujuan dengan menganggukkan kepala. Interaksi antara ibu W dan anak terjalin timbal balik dalam aktivitas menata asesoris yang ada di dalam kotak mainan. Anak mengamati asesoris tersebut satu per satu, kemudian meminta persetujuan kepada ibu W mengenai nama dan fungsi mainan tersebut
110
dengan bertanya, “Ini apa bu?” sambil menggaruk-garukkannya di atas pasir (observasi, Desember 24, 2012). Simbolisasi
dimunculkan
anak
ketika
anak
tidak
bisa
membukakan pintu yang terpasang dalam mainan rumah-rumahan. Melalui peristiwa ini anak menyatakan idenya untuk mengucapkan salam ketika mau masuk ke dalam rumah. Interaksi antara ibu dan anak terus berlanjut. Di tengah-tengah interaksi ibu W dan anak, tiba-tiba anak menanyakan keberadaan ayah kepada ibu W sambil memegang boneka dewasa laki-laki. Belum sempat ibu W menjawab, anak kembali lagi pada rasa ingin tahunya mengenai pintu rumah-rumahan yang tidak bisa dibuka. Rasa ingin tahu anak berhenti ketika ibu W mengatakan kepada anak bahwa pintu rumah tidak perlu dibuka karena adik tidur di dalam rumah (observasi, Desember 24, 2012). Tema menjadi melebar setelah anak mengambil boneka anak lakilaki yang masuk ke dalam rumah dan menonton televisi. Anak kembali lagi melakukan pelebaran dengan mengambil boneka laki-laki dewasa dan memandikannya. Pendalaman cerita diawali sendiri oleh anak, ibu W hanya mengikuti arahan anak. Percakapan di antara ibu W dan anak berlangsung secara hangat. Percakapan berakhir setelah ibu W mengajak semua anggota keluarga berjalan-jalan. Anak pun menyetujui ajakan ibu W, namun anak mengemukakan ide untuk mengubur rumah. Ibu W tampak terkejut mendengar ide anak, kemudian bertanya mengapa rumah dikubur, dan menyarankan untuk tidak mengubur rumah. Anak
111
menjawab ucapan ibu W dengan mengatakan bahwa rumah dikubur karena hujan (observasi, Desember 24, 2012). Selesai memperoleh jawaban dari anak, ibu W mengembalikan cerita pada ide berjalan-jalan ke pantai. Sesampainya di pantai anak mengemukakan ide lagi untuk mengubur semua anggota keluarga dengan pasir. Ibu W menjawab ide anak dengan mengatakan bahwa kalau dikubur nanti nggak bisa nafas, maka yang dikubur kakinya saja. Anak pun tertawa mendengar ucapan ibu W, kemudian tertawa. Cerita berakhir setelah ibu mengatakan bahwa kaki semua boneka telah hangat karena dikubur pasir (observasi, Desember 24, 2012). Pada tema ketiga interaksi antara ibu W dan anak berlangsung lebih alami, dan hangat. Interaksi diawali oleh ibu W yang meletakkan mainan rumah-rumahan di atas lantai. Anak memegang boneka anak laki-laki,
berdiri
di
depan
pintu
rumah,
berkata,”neng-nong!”
Kesempatan ini dimanfaatkan ibu W untuk memberikan internalisasi mengucapkan salam sebelum memasuki rumah. Salam tersebut adalah “Assalamu‟alaikum!” Anak tidak menirukan salam seperti saran ibu W, karena ibu W sudah menyuruh anak untuk masuk rumah melewati samping rumah. Anak mengikuti permintaan ibu W untuk masuk ke dalam rumah, namun tidak melalui samping seperti yang disarankan ibu W. Anak masuk ke dalam rumah melalui atas rumah-rumahan. Anak memasuki rumah lewat samping sambil tersenyum setelah ibu W bertanya kepada anak, “lho kok lewat atas, lewat samping sini lho..”
112
Pada saat anak telah sampai di samping rumah, ibu W teringat dengan internalisasi ucapan salam sebelum memasuki rumah. Ibu W menyuruh anak untuk kembali dulu ke depan pintu dan mengucap salam, karena sebelumnya anak belum mengucap salam (observasi, Desember 25, 2012). Internalisasi nilai kembali lagi dilakukan ibu W ketika anak meletakkan boneka laki-laki di lantai kedua untuk tidur. Ibu W mengatakan bahwa anak belum mandi, dan sebelum tidur seharusnya anak mencuci kaki. Anak tampaknya memperoleh ide dari ucapan ibu W, karena anak mengutarakan niatnya untuk mandi. Anak pun kemudian melakukan aktivitas mandi di dalam kotak pasir dan menggunakan pasir sebagai air. Selesai melakukan aktivitas memakai baju dan berdandan anak mengajak ibu W untuk berangkat ke sekolah, bukan tidur seperti ide anak sebelumnya. Anak kemudian memandikan boneka anak perempuan dan memerankan sebagai teman sekolah yang bernama Rima. Anak juga memandikan boneka laki-laki dewasa dan memerankannya sebagai guru sekolah yang bernama Pak A. Semua boneka yang dimandikan tersebut kemudian terlibat dalam aktivitas sekolah. Permainan berakhir setelah semua boneka selesai melakukan aktivitas sekolah dan pulang ke rumah (observasi, Desember 25, 2012). Di dalam cerita yang dimainkan oleh anak terjadi interaksi antara ibu W dan anak yang terjadi secara hangat. Pertukaran percakapan yang terjadi di antara ibu W dan anak menunjukkan bahwa ibu W mampu
113
menangkap pikiran dan perasaan anak. Ibu W memanfaatkan permainan ini untuk memberikan internalisasi kepada anak. Ibu W pun tidak memberikan
komentar
ketika
anak
memunculkan
gagasan
dan
simbolisasi yang muncul di luar dugaan ibu W. Ibu W mampu memberikan rangsang ketika anak belum mengemukakan gagasaannya. Rangsang yang diberikan ibu W berupa penawaran atau permintaan yang tidak memaksa. Apabila anak menyetujui penawaran atau permintaan ibu W, maka terjadilah pendalaman cerita dan interaksi yang hangat. Apabila anak tidak menyetujui penawaran atau permintaan ibu W, maka anak memunculkan gagasan yang sesuai dengan pikiran dan perasaannya (observasi, Desember 25, 2012). Setelah diberi pelatihan bermain pura-pura, interaksi ibu W dan anak berada dalam kategori tinggi dengan kenaikan skor sebesar 14 poin. Grafik 19 menunjukkan interaksi ibu W dan anak retardasi mental pada pra tes, pasca tes, dan tindak lanjut. Setelah diberi perlakuan ibu mampu mengkomunikasikan perasaannya kepada anak. Ibu W mengatakan: “Bila saya kecapekan, saya akan bilang kepada ananda bahwa saya membutuhkan waktu sejenak untuk beristirahat karena saya merasa capek.” Anak pun bisa mengerti kebutuhan ibu W akan beristirahat. Ibu W mengatakan: “...Bila sudah seperti itu, dia akan mengerti. Dia akan mengatakan, “Ibu tidur!” kalau sudah begitu, dia tidak lagi mengganggu saya.” Ibu W juga berusaha hadir menemani anak, sekalipun lelah. Ibu W mengatakan:
114
“..Saya menemani ananda sekalipun saya merasa capek, sambil tiduran karena saya capek. Pada saat saya merasa capek, saya mengatakannya kepada ananda...” Ibu W mau meluangkan waktu memperhatikan anak, sekalipun sedang repot. Ibu W juga mengatakan: “Biasanya ananda mintanya diambilkan makanan, maka pekerjaan saya letakkan. Saya ambilkan makanan, maka ananda akan makan sendiri. Sekalipun pekerjaan rumah saya banyak, kalau ananda minta saya letakkan cucian saya dan menemani ananda menonton televisi, ya saya harus meletakkannya...” (wawancara, Desember 26, 2012).
Interaksi ibu W dan anak tetap konsisten pada tindak lanjut, dengan kenaikan skor sebesar 1 poin (grafik 19). Interaksi ibu W dan anak retardasi mental tetap terjalin secara timbal balik dan terarah. Ibu W tetap tenang dalam merespons perilaku anak. Ibu W mengatakan: “Kadang saya memberikan sesuatu kepada ananda karena merasa tidak tega. Saat ananda menginginkan sesuatu, kadang tidak langsung saya berikan. Apabila ananda tampak mau merajuk, saya ajak bicara, tentang acara di televisi misalnya, apabila ananda menonton tv, atau tentang sepedanya kalau ananda baru saja bermain sepeda.” (wawancara, Januari 8, 2013).
Dalam berinteraksi dengan anak retardasi mental ibu W tetap membantu anak dengan memberikan dorongan kepada anak dalam berinisiatif dalam lingkungan. Ibu W mengatakan: “Saya sering mengajak ngobrol dia dengan berpura-pura mengganggu dia. Misalnya pada saat ananda mewarna atau menggambar kemarin, saya ikut bersama ananda. Saya katakan kepada ananda bahwa saya akan menggambar kucing, tapi yang saya gambar anjing, ananda berteriak sambil tertawa, „Itu anjing!” saya berpura-pura terkejut juga, “ Iya, ibu lupa! Ini kan anjing, bukan kucing” (wawancara, Januari 8, 2013).
115
d. Subjek P Ibu P adalah ibu rumah tangga dengan dua orang anak. Ananda sendiri adalah anak kedua dari dua bersaudara. Grafik 20 menunjukkan
skor interaksi ibu P dan anak retardasi mental
perubahan dinamika interaksi ibu P dan anak retardasi mental. 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Pra perlakuan
Pasca perlakuan
Tindak lanjut
waktu
Grafik 20. Skor Interaksi Ibu dan Anak partisipan saat pra tes, pasca tes, dan tindak lanjut
Sebelum diberi pelatihan bermain pura-pura, interaksi ibu P dan anak retardasi mental berada dalam golongan sedang (grafik 20). Menurut ibu P seluruh anggota keluarga bisa menerima kehadiran anaknya yang retardasi mental. Ibu P mengakui bahwa anak memiliki kedekatan dengan sang ayah. Suami ibu P biasanya selalu memberikan apa yang diminta anak dengan segera. Sikap suami dari ibu P ini, menurut ibu P merupakan penyebab dari perilaku anak yang sering membuat pusing ibu P (wawancara, Desember 18, 2012). Suami dari ibu P hanya tersenyum ketika ditanya mengenai kondisi anak. Menurut suami dari ibu P, tidak akan ada orang tua yang mau memiliki anak dengan kondisi retardasi mental. suami dari ibu P menganggap bahwa memiliki anak retardasi mental merupakan ujian dari
116
Tuhan, maka tidak ada salahnya apabila suami dari ibu P memberikan kebutuhan anak. Ayah mengakui bahwa dirinya sering dimarahi oleh ibu P, karena selalu memberikan apa yang diminta anak. Suami dari ibu P selalu memberikan apa yang diminta anak karena tidak tega menolak. Suami dari ibu P menganggap bahwa apa yang diminta anak masih berada dalam kondisi wajar. Suami dari ibu P menambahkan bahwa selama ini ibu P memang tidak pernah menemani anak bermain. Anak biasa bermain sendiri atau dengan teman-temannya (wawancara, Desember 18, 2012). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas terungkap bahwa ibu P sering terlihat menjemput anaknya. Ibu P terlihat beberapa kali datang apabila ada pertemuan wali murid. Guru mengatakan bahwa anak dari ibu P sering mengganggu teman di sekolah. Apabila tiba jam pelajaran individu, anak sering menolak dengan tidak masuk kelas individu apabila dipanggil temannya. Anak baru mau mendatangi kelas individu apabila dijemput guru di kelas klasikal. Menurut guru, ibu P sering terlihat memarahi anak, ketika menjemput atau mengantar anak di sekolah, dan guru tidak tahu apa alasan ibu P (wawancara, Desember 17, 2012). Sebelum diberi perlakuan ibu P kurang memahami kebutuhan anak, sehingga ibu P kurang tenang dalam menghadapi perilaku anak. Ibu R mengatakan: “Selama ini, ananda kalau meminta sesuatu memang harus, maksudnya kalau tidak saya turuti, biasanya merengek-rengek. Saya merasa risih apabila dia
117
sudah mulai merengek. Kalau saya tidak menurutinya dia semakin merengek.”(wawancara, Desember 19, 2012).
Sebelum diberi perlakuan ibu P masih jarang terlibat secara mendalam dalam aktivitas anak. Artinya ibu P hanya menemani anak bermain secara fisik, namun tidak terlibat dalam aktivitas bermain anak. Ibu mengatakan: “Kadang-kadang saya menemani ananda main. Menemaninya ya..di dekat dia. Saya biasanya sambil tiduran atau menonton tivi sambil istirahat, dia nanti mainan di dekat saya.” (wawancara, Desember 19, 2012). Sebelum diberi perlakuan, dalam berinteraksi dengan anak retardasi mental ibu P kurang memberikan pertukaran emosi kepada anak. Ibu P menuruti saja perminataan anak supaya anak diam. Ibu P mengatakan: “Apabila ananda merengek, saya harus merayu dia dulu supaya diam. Kalau saya menuruti keinginannya, dia baru bisa diam.” (wawancara, Desember 19, 2012). Selama pelatihan terlihat bahwa ibu P tampak mengikuti dan memperhatikan fasilitator dalam menjelaskan materi ketrampilan bermain. Ibu P tampak aktif dalam mengutarakan pendapat dan perasaannya ketika fasilitator mengajukan beberapa testimoni. Ibu P juga dapat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan fasilitator dengan baik, dan beberapa kali mengajukan pertanyaan pada hal-hal yang kurang jelas. Ibu P pun juga tampak asyik dalam mengikuti simulasi yang diberikan tim fasiliator, dan ikut tertawa ketika terjadi peristiwa yang menggelikan (observasi, Desember 22, 2012).
118
Saat bermain peran, ibu P tampak terlalu mendominasi permainan. Ibu P kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengatur jalannya cerita. Ibu P tampak tidak memperhatian anak yang sedang bermain pasir di kotak pasir dengan kedua tangannya. Ibu P tampak memberikan penawaran kepada anak untuk bermain di pantai, namun anak tidak memberikan respon. Ibu P segera mengambil pasir dengan sekop dan memasukkannya ke dalam ember. Anak yang melihat aktivitas ibu P tampak tersenyum dan meminta permainan tersebut. Ibu P menyerahkan permainan tersebut dan membiarkan anak bermain sendiri, memasukkan pasir ke dalam ember (observasi, Desember 23, 2012). Interaksi ibu P dan anak retardasi mental mengalami perubahan ke arah lebih baik setgelah diberi umpan balik oleh psikolog. Perubahan interaksi ibu P dan anak retardasi mental terlihat pada tema pertama. Interaksi ibu P dan anak diawali oleh ibu P yang menyatakan keinginannya untuk terlibat bermain bersama anak dengan mengatakan, “Adik sedang mainan apa?” Awalnya anak memberikan respon atas permintaan ibu P secara non verbal dengan mengangkat wajah ke arah ibu P sambil tersenyum malu, dan anak kembali memasukkan mainan ke dalam ember menggunakan tangannya. Ibu P tetap berusaha menjalin interaksi dengan memberikan bantuan dengan mengambilkan sekop dan memberikannya kepada anak sambil mengatakan ”Pakai ini dik!” ketika anak terlihat kerepotan memasukkan pasir ke dalam ember. Anak menerima tawaran ibu P, kemudian memasukkan pasir ke dalam ember
119
menggunakan sekop. Ibu P membiarkan anak bermain pasir sampai ember terisi penuh oleh pasir. Setelah pasir memenuhi ember ibu P meminta anak menumpahkan pasir kembali ke dalam kotak pasir dengan mengatakan, “Ditumpah ke sini dik!” kemudian meminta anak untuk mencetak mainan kura-kura dan kepiting dengan pasir.
Anak pun
mengikuti ajakan ibu P, namun anak kembali pada mainan sekop, ember, dan pasirnya setelah mengikuti ajakan ibu P (observasi, Desember 23, 2012). Usaha ibu P dalam menghidupkan interaksi mulai membuahkan hasil, ketika ibu P mengajak anak bermain di pantai bersama ayah. Internalisasi nilai persaingan diberikan ibu P kepada anak. Interaksi yang terjalin antara ibu P dan anak semakin menghangat di akhir permainan, dan terjadi pendalaman cerita yang memunculkan simbolisasi keinginan anak bahwa pemenang pasti akan diberikan hadiah. Interaksi timbal balik yang hangat antara ibu P dan anak pada akhirnya memunculkan inisiatif anak untuk mengajak ibu P membuat rumah pasir dan berfoto bersama. Sayangnya, permainan ini diakhiri oleh ibu P dengan mengatakan bahwa hari sudah siang (wwawancara, Desember 23, 2012). Pada tema kedua interaksi terjadi secara alamiah, diawali oleh ibu P dengan mengambilkan rumah-rumahan kepada anak, kemudian meletakkannya di atas lantai. Anak pun menyambut ajakan ibu P dan bekerjasama dengan ibu P dalam
menata perabotan mainan rumah-
rumahan. Dalam interaksi yang terjalin secara timbal balik antara ibu P
120
dan anak muncul inisiatif anak untuk memerankan sebuah cerita dengan mengatakan, “Aku nonton tv sik ya bu...”. Ibu P melakukan pelebaran tema setelah ibu P tidak memperoleh respon dari anak ketika bertanya tentang isi cerita dalam acara televisi yang sedang ditonton anak dengan mengajak anak untuk mandi (observasi, Desember 24, 2012). Tampaknya anak tidak begitu tertarik dengan penawaran peran oleh ibu P, karena anak tidak melakukan kedalaman cerita. Anak justru menyatakan inisiatifnya untuk memerankan kegiatan makan. Anak pun memberikan arahan cerita kepada ibu P, dan terjadilah kedalaman cerita. Kesempatan ini digunakan ibu P untuk memberikan pujian kepada anak dengan mengatakan bahwa anak menjadi anak pintar apabila mau makan sendiri. Anak pun membalas pujian ibu P dengan senyuman, namun tidak melaksanakan apa yang diminta oleh ibu P. Anak justru meminta ijin untuk bermain bola kepada ibu P (observasi, Desember 24, 2012). Pada tema ketiga, interaksi diawali oleh inisiatif ibu P yang membawakan semua boneka ke hadapan anak dan mengatakan bahwa itu semua adalah teman-teman anak yang ingin bermain bersama anak. Anak pun merespons rangsang ibu P dengan mengambil salah satu boneka anak laki-laki, dan memberikan nama boneka tersebut satu per satu. Anak memunculkan inisiatifnya dengan menyatakan keinginannya untuk bermain bersama temannya, yang bernama Dito. Respons anak dibalas ibu dengan anggukan kepala, kemudian interaksi antara ibu P dan anak
121
terjadi semakin mendalam. Permainan berakhir karena anak mengeluh capek (observasi, Desember 25, 2012). Pelebaran cerita terjadi oleh ibu P dengan mengajak anak untuk mandi, karena hari sudah sore. Setelah anak selesai melakukan aktivitas mandi, anak mengajak ibu P untuk menonton televisi. Permainan berakhir karena anak mengeluh capek (observasi, Desember 25, 2012). Selama mengikuti pelatihan, ibu P tampak memperhatikan arahan fasilitator dengan seksama. Ibu P juga menyelesaikan semua tugas yang diberikan dengan beberapa kali bertanya pada fasilitator apabila merasa ada hal yang kurang jelas. Pada lembar evaluasi, ibu P menuliskan bahwa ibu P merasa senang bisa mengikuti pelatihan bermain pura-pura ini, karena ibu P memperoleh pengetahuan baru tentang bagaimana mendidik anak dengan benar. Ibu P juga berharap akan ada pelatihan-pelatihan serupa setelah pelatihan bermain ini (observasi, Desember 22, 2012). Setelah diberi perlakuan interaksi ibu P dan anak retardasi mental meningkat menjadi tinggi sebesar 14 poin (grafik 20). Dalam berinteraksi dengan anak retardasi mental, ibu P kini lebih tenang dalam menghadapi perilaku anak. Ibu P mengatakan: “Apabila sesuatu yang diminta sekiranya tidak terlalu penting untuk ananda, saya tidak akan memberikannya. Paling juga masih ngambeg, diam, namun tidak lama. Beberapa saat kalau sudah ngambeg, dia akan mendekati saya dan mulai mengajak bicara.” (wawancara, Desember 26, 2012).
Setelah diberi perlakuan ibu P kini dapat mendorong anak dalam berinisiatif di lingkungan, sekaligus merangsang kognitif anak ketika berinteraksi. Ibu P mengatakan:
122
“Kadang saya ikutan bermain game dengan ananda apabila saya sedang tidak ada pekerjaan. Biasanya saya akan berpura-pura bertanya kepada ananda. “Apa ya warna buah mangga?” sekarang kan banyak game-game edukasi. Bila ananda menjawab, “Kuning!” maka saya akan memberinya warna kuning.” (wawancara, Desember 26, 2012).
Ibu P kini juga dapat melakukan pertukaran emosi kepada anak dengan mengalihkan perhatian pada saat anak menginginkan sesuatu yaang membuat anak menjadi sakit. Ibu P mengatakan: “Saya hanya berikan sesuai dengan kebutuhan ananda. Ananda kemarin diberi jajan yang mengandung penyedap rasa oleh temannya. Saya iingatkan dengan rasa sakit di tenggorokan setelah memakan makanan tersebut, ananda memilih jajanan yang lainnya, dan menanyakan apakah jajanan tersebut mengandung penyedap rasa.” (wawancara, Desember 26, 2012).
Perilaku anak kini menjadi lebih kooperatif. Anak mampu menyatakan keinginannya kepada ibu tanpa merasa takut. Ibu P mengatakan: “Sekarang ini dia selalu bertanya dahulu sebelum memakannya. “ini pakai pengawet nggak mah?” (wawancara, Desember 26, 2012). Grafik 20 menunjukkan bahwa interaksi ibu P dan anak retardasi mental meningkat sebesar 3 poin pada tahap tindak lanjut. Ibu P tetap memberikan kehangatan kepada anak dengan terlibat dalam aktivitas anak. Ibu P mengatakan: “Sekalipun saya lelah, saya sempatkan untuk bermain dengan ananda.” (wawancara, Januari 8, 2013). Dalam interaksinya dengan anak retardasi mental ini ibu P tetap melakukan interaksi timbal balik dan terarah, sehingga dapat mendorong anak dalam berinisiatif dalam lingkungan. Ibu P mengatakan: “Saya
123
mengambil salah satu mainan ananda, kemudian, “Lha aku diambil sama raksasa.” (wawancara, Desember 26, 2012).
D. Pembahasan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh pelatihan bermain pura-pura terhadap interaksi ibu dan anak retardasi mental. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif interaksi ibu dan anak retardasi mental yang signifikan setelah diberi pelatihan bermain pura-pura.
Terdapat
peningkatan yang signifikan setelah diberi perlakuan berupa pelatihan bermain pura-pura. Sementara itu pada kelompok kontrol, sekalipun terdapat penurunan skor rerata antara sebelum dan sesudah diberi pelatihan bermain pura-pura, namun tidak menunjukkan perbedaan interaksi ibu dan anak retardasi mental secara signifikan, karena masih berada pada kategori yang sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dalam penelitian ini telah terbukti. Interaksi ibu dan anak pada kelompok perlakuan ini sebelumnya memang sudah berada dalam karegori sedang, karena ibu selama ini telah menjalankan perannya sebagai pengasuh yang merawat, memelihara, memberi petunjuk dan latihan kepada anak. Hanya saja ibu kurang trampil dalam mengikuti karakteristik perkembangan anak di setiap tahap perkembangannya, karena ibu dalam merawat, memelihara, memberi petunjuk dan latihan kepada anak tersebut kurang melibatkan afeksi. Kurang terlibatnya afeksi ibu di dalam merawat, memelihara, memberi petunjuk dan latihan kepada anak bisa jadi membuat ibu mengalami hambatan
124
dalam menjembatani antara kebutuhan dan keinginan anak, dengan kebutuhan dan keinginan ibu, ketika ibu memperhatikan kebutuhan anak. Bisa jadi ibu kurang mampu menjembatani kecemasan ibu terhadap masa depan anak dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki anak, ketika memberikan dukungan terhadap aktivitas yang membuat anak merasa senang. Bisa jadi juga ibu mengalami kesulitan dalam menjembatani kecemasan ibu oleh penerimaan lingkungan dan kebutuhan anak dalam mengenali lingkungan, ketika memberikan internalisasi nilai-nilai kebaikan kepada anak. Dalam pelatihan bermain pura-pura ini, ibu diberikan bekal beberapa keterampilan yang dapat membantu ibu dalam mengenali dan memanfaatkan ikatan alamiah antara ibu dan anak, sehingga ibu dapat menjalin interaksi yang mendalam dengan anak. Topham, dan Fleet (2011) mengakui bahwa porsi penerimaan ibu terhadap kehadiran anak retardasi mental yang sebanding dengan kebutuhan anak akan menciptakan interaksi yang mendalam dengan anak. Interaksi yang mendalam ini akan diperoleh apabila ibu terampil dalam memanfaatkan ikatan alamiah ibu dan anak. Pemberian keterampilan kepada ibu dalam mengenali dan memanfaatkan ikatan alamiah ini lebih dalam memperbaiki interaksi ibu dan anak, dibandingkan dengan menghadirkan ibu, anak, dan terapis dalam satu sesi terapi. Di dalam pelatihan bermain pura-pura ini ibu diajarkan untuk menerima kehadiran dan memberikan kehangatan kepada anak. Hal ini dilakukan oleh fasilitator dengan menciptakan suasana penerimaan dan kehangatan di dalam pelatihan, sehingga ibu dapat menerima umpan balik dari fasilitator tanpa merasa
125
dirinya diperintah oleh fasilitator. Suasana penerimaan dan kehangatan yang diberikan fasilitator kepada ibu merupakan energi positif yang diberikan untuk menggugah kesadaran ibu akan pentingnya perasaan menerima dan memberikan kehangatan dalam menjalin interaksi dengan anak, sehingga ibu dapat mengikuti perkembangan anak. Energi positif yang diberikan ibu ketika berinteraksi dengan anak pada saat bermain bersama membuka empati ibu terhadap anak. Rasa empati ini berkaitan dengan keterampilan untuk mengikuti imajinasi anak. Empati yang diberikan, memudahkan ibu di dalam mengikuti isi pikiran dan perasaan anak yang telah dicurahkannya secara bebas, tanpa merasa takut dimarahi. Menurut Topham, dan Fleet (2011) penerimaan ibu terhadap kehadiran anak merupakan pintu keberhasilan bagi ibu dalam menerapkan keterampilan bermain. Suasana penerimaan yang diterima anak menciptkan kehangatan, dan kenyamanan. Dengan demikian anak dapat mengendalikan permainan tanpa merasa takut dicela, karena inti bermain bersama adalah ibu bersikap sebagai cermin bagi anak. Ibu bersedia menerima arahan dari anak dan tidak memberikan komentar ataupun penilaian terhadap arahan anak. Dalam pelatihan bermain pura-pura ini, ibu juga diberikan keterampilan dalam menyusun permainan. Keterampilan ini dibutuhkan ibu, supaya ibu mampu membuat manipulasi lingkungan yang berkaitan dengan perilaku atau sikap yang hendak diungkap, dan menangkap sumber munculnya perilaku atau sikap yang hendak diungkap tersebut. Dengan demikian, ibu tidak lagi bergantung kepada terapis untuk memperbaiki interaksi dengan anak retardasi mental. Hasil
126
pemberian keterampilan menyusun permainan ini sesuai dengan hasil penelitian Topham dan Fleet
(2011) yang menjelaskan bahwa keterampilan menyusun
permainan dapat menolong ibu menjadi agen terapis dalam menangani permasalahan anak dengan memanfaatkan ikatan alamiah yang dimiliki antara ibu dan anak. Pelatihan bermain pura-pura ini tidak dapat menjadi media bagi keterampilan ibu dalam menetapkan aturan, karena pada saat ibu mempraktekkan keterampilan bermain bersama anak, ibu tidak perlu memberikan peringatan terhadap perilaku anak yang dapat merusak jalannya permainan, karena anak dapat diajak bekerjasama. Dengan demikian, pengaruh keterampilan ibu dalam menetapkan aturan tidak dapat meningkatkan interaksi ibu dan anak retardasi mental. Penerapan dalam beberapa keterampilan tersebut terlihat di dalam praktek bermain bersama anak. Berdasarkan hasil obeservasi, terungkap bahwa sebelum diberi umpan balik, ibu tampak kesulitan menyesuaikan diri dengan permainan yang dipegang anak. Ibu tampak terlalu sibuk mencari mainan yang tepat untuk anak atau terlalu diam dan kurang memberikan rangsang kepada anak. Rangsang yang diberikan ibu justru tidak mendorong inisiatif anak, dan tidak dapat membantu anak untuk mampu mengarahkan permainan. Setelah diberi umpan balik, keterampilan bermain ibu semakin meningkat dari tema pertama sampai dengan tema ketiga. Suasana penerimaan dan empati ibu terhadap anak mulai terasa. Interaksi menjadi semakin mendalam, menghangat dan alamiah. Anak
127
mampu menyatakan inisiatifnya, memunculkan simbolisasi, dan ibu mempunyai kesempatan untuk memasukkan internalisasi kepada anak. Hasil observasi terhadap keterampilan bermain ibu ketika praktek bersama anak tersebut sesuai dengan pernyataan Topham, dan Fleet (2011) bahwa penerimaan dan empati ibu terhadap anak menciptakan rasa percaya anak terhadap lingkungan. Anak dapat merasakan keamanan dan kenyamanan, sehingga anak dapat menyatakan pikiran dan perasaan secara bebas melalui simbolisasi ataupun verbal, tanpa merasa takut akan dimarahi oleh ibu. Pendalaman dan penjelajahan tema yang muncul di setiap tema dalam interaksi ibu dan anak retardasi mental yang terjalin ketika bermain bersama menghasilkan kekayaan isi cerita. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ibu memiliki peran aktif bagi anak dalam menjelajahi tema cerita melalui rangsang dan umpan balik afektif yang tepat dari ibu terhadap anak, sehingga interaksi ibu dengan anak retardasi mental menjadi mendalam dan penuh makna. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Venuti, Falco, Giusti, dan Bornstein (2008) bahwa kualitas afeksi yang positif dari ibu dalam berinteraksi dengan anak retardasi mental ketika bermain bersama, menunjukkan munculnya pengalaman cerita yang lebih banyak, dibandingkan dengan apabila anak bermain sendiri. Simbol yang dimunculkan pada cerita anak retardasi mental ketika berinteraksi bersama ibu dalam bermain menunjukkan kemampuan kognitif anak retardasi mental. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sekalipun anak retardasi mental memiliki hambatan dalam perkembangan kognitif, namun kemampuan
128
kognitif anak retardasi mental tidak berhenti. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian McCune dan Nicolich (1981) bahwa isi simbolis permainan anak retardasi mental sama dengan anak yang memiliki perkembangan kognitif sama. Simbol yang dimunculkan anak dalam berinteraksi dengan ibu, ketika bermain bersama tidak berbeda jauh dari kehidupan sehari-hari anak retardasi mental. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian McCune dan Nicolich (1981) bahwa pengalaman anak dalam mengenali objek dalam situasi nyata mempengaruhi kecakapan anak dalam berpura-pura. Simbol yang dimunculkan anak retardasi mental dalam berinteraksi dengan ibu, ketika bermain bersama sesuai dengan kapasitas kognitif anak yang berusia di bawah lima tahun (tahap pra operasional), yang sedang belajar merepresentasikan objek dengan kata-kata. Menurut Casby (2003) perkembangan bermain anak usia di bawah lima tahun berkaitan dengan penggunakan objek yang berkaitan dengan fungsi sosial. Anak memproduksi perilaku yang berkaitan dengan objek yang dikenali anak dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat anak memproduksi
perilaku
ini,
terjadi
proses
kognitif
berupa
mengenali,
memproduksi, ataupun berpura-pura menjadi sesuatu. Semua tujuan ini dapat dicapai secara optimal melalui bermain pura-pura. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Stagnitti, dan Unsworth, (2004) bahwa bermain pura-pura memberikan kontribusi pada perkembangan kognitif dan sosial, dibandingkan dengan bentuk perilaku bermain yang lainnya. Interaksi antara ibu dan anak retardasi mental ini memang mengalami peningkatan yang cukup tajam setelah diberikan perlakuan pelatihan bermain
129
pura-pura, namun tidak begitu tajam setelah tahap tindak lanjut. Hal ini disebabkan pengaruh pelatihan bermain pura-pura tidak berkaitan secara langsung dengan perilaku tertentu. Guo (2005) menjelaskan bahwa manfaat pelatihan ketrampilan bermain ini lebih menekankan pada peningkatan nilai afeksi antara ibu dan anak, sehingga perlu dilakukan diskusi lanjutan antara profesional dengan ibu untuk membahas reaksi perilaku yang berkaitan dengan emosi atau kognitif, untuk membuka pertahanan ibu terhadap ketidaksadaran yang dapat menghambat penerimaan ibu terhadap respon anak.
E. Keterbatasan Penelitian Keberlangsungan penelitian ini tentunya tidak terhindar dari keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian. Peneliti menyadari adanya kelemahan dalam penelitian ini, yaitu : 1.
Hasil penelitian ini lebih fokus pada perubahan interaksi ibu dan anak retardasi mental, namun dalam proses penelitian peneliti menemukan bahwa penerimaan ibu terhadap anak retardasi mental juga menjadi faktor penting dalam berinteraksi dengan anak retardasi mental, dan dalam penelitian ini belum banyak digali.
2.
Pelatihan ini tidak dapat menghilangkan semua hambatan ibu dalam berinteraksi dengan anak retardasi mental mengingat keterbatasan waktu.