BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Peran Pemerintah Dalam Mengeluarkan Regulasi Orang Tua Yang Mempekerjakan Anak Dibawah Umur Di Kota Gorontalo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 20 “ Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”. Pasal 21 “ Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak , dan kondisi fisik/mental”. Sejauh ini pemerintah Kota Gorontalo belum mengeluarkan kebijakan khusus berupa Peraturan Daerah (Perda) kepada orang tua yang mempekerjakan anak yang masih dibawah umur. Hal ini disebabkan oleh realitas yang ada dilapangan bahwa masih maraknya anak-anak yang berkeliaran di Kota Gorontalo seperti, maraknya pengamen, anak jalanan, dan juga pekerja anak yang berada diwilayah perbelanjaan Kota Gorontalo. Namun, berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa Sistem Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi pengelolaan manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga diperlukan pembaharuan pendidikan secara berencana,
32
terarah, dan berkesinambungan1. Untuk meningkatkan layanan pendidikan yang semakin merata dan berkualitas, maka Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus bekerja sama dengan dinas tenaga kerja dan transmigrasi melakukan berbagai langkah strategis untuk memberikan layanan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak memerlukan layanan khusus, termasuk pekerja anak dan anak yang berada di pedalaman dan di daerah terpencil yaitu Program Penarikan Pekerja Anak melalui Program Keluarga Harapan. Program Penarikan Pekerja Anak yang di canangkan oleh Pemerintah Pusat di dukung oleh Pemerintah Kota Gorontalo. Di Kota Gorontalo program Penarikan Pekerja Anak sudah berjalan dalam 5 tahun terakhir. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Jumlah pekerja anak di Kota Gorontalo 2008-20012 Tahun No.
Uraian 2008 Jumlah pekerja anak
45
2009 -
2010 60
2011 60
2012 120
Sumber : Dinas social dan tenaga kerja kota gorontalo Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa keberadaan pekerja anak di Kota Gorontalo mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 jumlah pekerja anak sebanyak 45 orang, serta telah mendapat tindak lanjut dari pemerintah. Pada tahun 2009 jumlah pekerja anak tidak ada atau 0.
1
Direktorat pembinaan khusus,2011.Petunjuk teknis Program Pengurangan Pekerja Anak.jakarta.hlm 6
33
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Rusli Zakaria, S.Sos selaku ketua bidang jaminan social, mengatakan bahwa pada tahun 2009 program Penarikan Pekerja Anak tidak dijalankan, sehingga tidak terlihat keberadaan pekerja anak. Hal ini dikarenakan pemerintah masih ingin melihat hasil yang ditunjukan program Penarikan Pekerja Anak tahun 2008. Sehingganya program ini tidak berjalan.( wawancara 11 April 2013). Setelah Tahun 2010 program Penarikan pekerja anak kembali dijalankan, dengan mendata kembali anak-anak yang bekerja. Dari data tersebut terdapat sebanyak 60 orang pekerja anak dikota gorontalo dan telah memperoleh tindak lanjut dari pemerintah berupa rekomendasi pedidikan baik secara formal maupun non formal. Perbedaan terlihat antara tahun 2008 dan juga tahun 2010 bahwa pekerja anak mengalami peningkatan. Berdasarkan hal tersebut penulis dapat menyimpulkan, peningkatan ini diakibatkan oleh data pada tahun 2009. Jika pada tahun 2009 pemerintah menjalankan program tersebut, maka akan terlihat keberadaan jumlah pekerja anak, sehingga bisa melakukan perubahan untuk tahun kedepannya, guna menghindari peningkatan jumlah pekerja anak. Berbeda dengan hasil wawancara dengan bapak Suhendro S, selaku anggota di Hubungan Industrial Pengawasan Tenaga Kerja mengatakan bahwa peningkatan pekerja anak pada tahun 2010 di akibatkan oleh beberapa faktor, seperti terbukanya peluang untuk anak masuk dalam dunia kerja, dan juga tidak adanya kebijakan yang secara tegas melarang kepada anak-anak maupun orang tua yang mempekerjakan anaknya. Sampai sejauh ini pemerintah masih berpegang pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
34
tentang Perlindungan Anak. Selain itu juga pemerintah telah memberikan sosialisasi khususnya kepada orang tua terkait dengan keberadaan pekerja anak.(wawancara 13 mei 2013). Pada tahun 2011 jumlah pekerja anak sebanyak 60 orang. Dari tahun 2010 jumlah pekerja anak berada pada titik yang sama. Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Rusli Zakaria S.Sos mengatakan bahwa meskipun tidak mengalami peningkatan jumlah pekerja anak bukan berarti pemerintah hanya sekedar menjalankan Program Penarikan Pekerja Anak, tanpa melakukan hal-hal lain yang dapat memperkecil jumlah pekerja anak. Meskipun jumlah pekerja anak tidak mengalami penurunan dan menunjukan hasil yang maksimal dari tahun sebelumnya pemerintah ikut senang, keberhasilan ini disebabkan pada tahun 2011 selain program Penarikan Pekerja Anak pemerintah juga telah mengadakan razia terhadap anak-anak yang bekerja dan terfokus pada anak yang bekerja sebagai pengemis jalanan, pengamen, dan juga anak-anak yang meminta-minta dengan motif sumbangan kotak amal. Razia ini diadakan tiap bulan sekali oleh pemrintah namun tidak menutup kemungkinan ketika mendapat laporan dari masyarakat tentang anak-anak tersebut diatas maka diadakan razia secara mendadak. Awalnya program ini banyak menimbulkan permasalahan, khususnya pada anak itu sendiri, sebab dari si pelaku sulit untuk diadakan razia, bahkan mereka menolak untuk dirazia, alasannya, bahwa ini merupakan tempat untuk mencari nafkah. Akibat dari hal tersebut pemerintah harus bekerja keras dalam menangani anak-anak yang sulit dirazia. Dengan bantuan masyarakat akhirnya anak-anak mengerti, tetapi hal
35
itu bukan terakhir untuk mereka, meskipun sudah dirazia dan jumlahnya berkurang, anak-anak itu bisa balik lagi (wawancara 11 April 2013). Tahun 2012 jumlah pekerja anak mengalami penigkatan yang cukup pesat, dimana pada tahun 2011 hanya berjumlah 60 orang tahun 2012 meningkat menjadi 120 orang. Hal ini menunjukan bahwa program yang telah dijalankan dari tahun sebelumnya tidak memperlihatkan hasil, justru menambah daftar pekerja anak. Berdasarkan hasil wawancara dengan Rusli Zakaria peningkatan yang terjadi pada tahun 2012 diakibatkan oleh beberapa hal seperti, tidak adanya pengawasan dari orang tua, anggapan yang salah terhadap dunia pendidikan, ikutikutan. Apabila anak jauh dari pengawasan orang tua, maka secara otomatis anak tersebut akan bertindak sesuai dengan keinginannya. Anggapan yang salah terhadap dunia pendidikan, anak seringkali menganggap bahwa pendidikan bukanlah hal yang penting buat mereka, pendidikan hanyalah menyusahkan, harus sesuai dengan aturan. Anak ketika melihat temannya bekerja, awalnya dia ikutikutan, lama-kelamaan ia akan menekuni pekerjaan itu dan meninggalkan sekolah (wawancara 13 April 2013). Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara diatas menurut hemat penulis bahwa, peningkatan jumlah pekerja anak diakibatkan oleh tidak adanya suatu regulasi khusus yang menangani orang tua yang mempekerjakan anak, pemerintah saat ini masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Meskipun pemerintah telah menjalankan beberapa program guna meminimalisisr jumlah pekerja anak, belum juga terlihat secara jelas
36
penurunan angka pekerja anak. Dan hal tersebut memerlukan suatu aturan yang secara tegas melarang kepada anak-anak untuk bekerja dalam kondisi apapun. Mencermati permasalahan anak yang membutuhkan perhatian dari semua pihak, baik keluarga, maupun elemen pemerintah juga tidak lepas dari peran serta Komnas Perlindungan Anak. Peran Komnas Perlindungan Anak khususnya kepada anak-anak yang terpaksa bekerja yaitu: 1) Melakukan pengawasan terhadap kinerja dalam implementasi UndangUndang dan Kebijakan tentang perlindungan anak; 2) Melakukan penegakan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berkaitan dengan larangan mempekerjakan anak; 3) Merumuskan sanksi pelanggar hak anak dan pekerja anak; 4) Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pekerja anak; 5) Memberikan pembatasan waktu yang ketat dalam melaksanakan pekerjaannya di tempat kerja untuk paling lama 4 jam kerja sehari, dan dilarang untuk melakukan kerja lembur; 6) Pemberlakuan standard keselamatan dan kesehatan secara konsisten dan wajar; 7) Melakukan pengawasan implementasi pemerintahan daerah terhadap peraturan daerah tentang upaya penghapusan pekerja anak; 8) Melaksanakan program perlindungan pekerja anak melalui program Penarikan Pekerja Anak.2 2
http://www.komnasperlindungan anak.or.id/wp-content/uploads/eka tjahjanto WEB.pdf. diakses 13 juni 2013
37
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suhendro selaku anggota di Hubungan
Industrial
dan
Pengawasan
Ketenagakerjaan
Kota
gorontalo
mengatakan bahwa terkait dengan program-program yang telah di jalankan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak khususnya penanganan pekerja anak, di kota gorontalo sendiri terdapat beberapa program yang telah dijalankan seperti, melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pekerja anak, serta melaksanakan program Penarikan Pekerja Anak. Selebihnya pemerintah saat ini masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Wawancara 13 Juni 2013). Program Penarikan Pekerja Anak melalui Program Keluarga Harapan (PPAPKH) merupakan program yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, yang di dukung serta oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. PKH (Program Keluarga Harapan) lebih dititikberatkan pada upaya membantu Rumah Tangga Sangat Miskin agar mau dan mampu mengakses layanan kesehatan dan pendidikan serta membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat sangat miskin. Oleh karenanya, ada beberapa hal yang perlu dicermati bersama antar unsur terkait pelaksanaan Program Keluarga Harapan3. Pelaksanaan PKH (Program Keluarga Harapan) secara berkesinambungan setidaknya
hingga
tahun
2015
akan
mempercepat
pencapaian
tujuan
Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals atau MDGs). Ada 5 komponen MSGs yang secara tidak langsung akan terbantu oleh PKH (Program
3
Departemen Tenaga Kerja.2006.Pedoman Operasional PPA-PKH.Direktorat Pengawasan Perempuan Dan
Anak.Jakarta Selatan.hlm;2
38
Keluarga Harapan), yaitu pengurangan penduduk miskin dan kelaparan, pendidikan dasar, kesetaraan gender, pengurangan angka kematian bayi dan balita, serta pengurangan kematian ibu melahirkan. PKH (Program Keluarga Harapan), bantuan akan diberikan kepada rumah tangga sangat miskin (RTSM) jika mereka melaksanakan kewajiban yaitu menyekolahkan
anaknya,
melakukan
pemeriksaaan
kesehatan,
termasuk
pemeriksaan gizi dan imunisasi balita, serta memeriksakan kandungan bagi ibu hamil. Dalam jangka pendek bantuan ini akan membantu mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), sedangkan dalam jangka panjangnya diharapkan akan memutus rantai kemiskinan antar generasi. Inpres No 3 tahun 2010 menekankan bahwa anak jalanan, pekerja anak dan Anak Berkebutuhan Khusus (cacat) harus masuk menjadi penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH). Karena itu dibutuhkan perbaikan prosedur verifikasi oleh Pusat dan Daerah untuk me-mapping anak-anak tersebut dan masing-masing sektor terkait, perlu memfasilitasi Daerah untuk membangun Rumah Singgah, Shelter dan sekolah-sekolah luar biasa bagi anak cacat. Yang kedua, mengingat bahwa Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan program yang syarat dengan kriteria, oleh karenanya “data” memegang peranan sangat penting untuk mengetahui berapa besar pembayaran atau penyaluran bantuan dapat dilakukan. Data indentik dengan potret capaian kinerja pelaksanaan program yang akan diwujudkan. Ketiga, dalam rangka percepatan proses pembayaran kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), Standard Operating Procedure (SOP) yang telah ada dipatuhi sehingga pembayaran dapat tepat waktu.
39
Serta nota-nota perjanjian khususnya antara Kementrian social
dengan PT
Posindo maupun PT BRI Tbk agar diselesaikan pada tahun sebelumnya sehingga pada tahun depan semua berjalan dengan lebih cepat4. Yang tidak kalah penting adalah koordinasi antara Kementerian dan Pemerintah Daerah harus terus ditingkatkan, walaupun saat ini sudah memadai, di mana peserta Program Keluarga Harapan (PKH) sudah mendapat Jamkesmas, beasiswa miskin dan sebagainya. Penggunaan Basis Data terpadu sebagai data dasar pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan termasuk Program Keluarga Harapan (PKH) perlu mendapat dukungan tidak saja di Pusat tapi juga di Daerah. Khususnya terkait dengan kepemilikan KTP oleh para Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Dengan mengundang Ketua Bappeda, Kepala Dinas Sosial, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Kanwil Kementerian Agama dari 14 propinsi dan 53 kabupaten/kota wilayah barat Indonesia, hal ini dapat menjadi perhatian bersama, khususnya Kemendagri, Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil yang terkait langsung dapat terus mendorong Pemda untuk memfasilitasi KTP bagi Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), termasuk akte kelahiran untuk anak-anak Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM)5. Pada tataran komunitas, peran pendamping merupakan ujung tombak keberhasilan pelaksanaan program ini. Bagaimana mensupervisi atau menuntun,
4
5
http//:www.sosnakerkotagorontalo.blogspot.com, diakses pada tanggal 23 April 2013
http//:www.sosnakerkotagorontalo.blogspot.com, diakses pada tanggal 23 April 2013
40
bagaimana mengadvokasi informasi Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) untuk mengakses layanan Program Keluarga Harapan (PKH) bahkan kesemua pihak bermuara pada pendamping sebagai lapis pertama unsur pelaksana Program Keluarga Harapan (PKH). Oleh karenanya dibutuhkan dukungan penuh dari pihak Pemda dan seluruh komponen yang terkait di daerah setempat dalam membangun harmonisasi pemahaman dan penyediaan sarana prasarana yang menunjang fungsi Pendamping. Dimana setiap Pendamping bertanggung jawab atas 200 hingga 300 Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM), dengan lokasi yang tidak selalu berdekatan.Satu hal yang menggembirakan bahwa semakin banyak pemerintah daerah
yang
memberikan
respon
positif
untuk
secara
bersama-sama
menanggulangi dan mensukseskan program ini dengan “sharing anggaran” melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dilain pihak lembagalembaga nonpemerintah nasional dan internasional juga telah terlibat aktif melakukan evaluasi maupun kajian Program Keluarga Harapan (PKH) sematamata untuk mendukung dan mewujudkan penyelenggaraan yang lebih baik. Tentu masih banyak persoalan dan tantangan yang dihadapi ke depan apalagi dengan perluasan propinsi pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH). Jika menoleh ke belakang, pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) mengalami progres yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, demikian pula untuk pelaksanaannya selalu dilakukan penyempurnaan dengan senantiasa meningkatkan koordinasi lintas sektoral baik pusat maupun daerah. Diawali Tahun 2007, Program Keluarga Harapan (PKH) telah menjangkau 387.928 RTSM di 7 propinsi (DKI Jakarta, Jabar, Jatim, Sumbar, Gorontalo, Sulut, NTT), 48 Kab/Kota dan 337 kecamatan,
41
dengan 1.364 pendamping dan 192 operator. Dan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan jumlah sasaran. Tahun 2011 Program Keluarga Harapan (PKH) dialokasikan telah menjangkau 1.116.000 Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) di 25 provinsi, 103 kabupaten, 1.126 kecamatan, dengan 4.119 pendamping dan 526 operator 6. Sedangkan pada tahun 2012,Program Keluarga Harapan (PKH) direncanakan akan menjangkau 1.516.000 Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM)
di 33 propinsi, 166 kabupaten/kota, melibatkan 6.119
pendamping dan 718 operator. Tentu ini bukan pekerjaan mudah apalagi jika Program Keluarga Harapan (PKH) diterapkan di daerah yang sulit supply sidenya. Sehingga hanya dengan koordinasi yang baiklah kesulitan dan tantangan ini dapat diselesaikan7. Undang-Undang telah menekankan kepada setiap orang atau badan melarang untuk mempekerjakan anak yang masih dibawah umur. Mempekerjakan anak bisa saja akan tetapi harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan seperti, pekerjaan yang dilakukan si anak tidak boleh membahayakan baik fisik maupun moral, pekerjaan si anak tidak boleh melebihi waktu 3 jam dalam sehari, pekerjaan si anak bukanlah sebagai media untuk mendapatkan diskriminasi melainkan sekedar untuk melatih minat anak. Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua, yang tidak boleh diabaikan, Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anakanak yang belum dewasa sampai anak-anak yang bersangkutan dewasa atau dapat 6 7
http//:www.sosnakerkotagorontalo.blogspot.com, diakses pada tanggal 23 April 2013 Ibid
42
berdiri sendiri. Orang tua merupakan yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupun social (Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak )8. Pasal 3 UU No.4 Tahun 1979 menentukan bahwa anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh Negara atau orang atau badan. Berdasarkan ketentuan ini, dapat diketahui bahwa anak yang tidak mempunyai orang tua dapat diasuh oleh wali melalui perwalian yang di tentukan oleh pengadilan atau pihak yang berwenang, oleh orang tua angkat melalui pengangkatan anak atau adopsi dan dapat diasuh di panti asuhan yang dikelola oleh pihak swasta maupun pemerintah. Namun, dari sekian orang tua masih banyak yang rela mempekerjakan anaknya yang masih dibawah umur, atau belum dewasa demi menopang kehidupan keluarga. Dikota Gorontalo sendiri orang tua yang mempekerjakan anak yang masih dibawah umur mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Orang tua yang mempekerjakan anak semakin bertambah di akibatkan karena beberapa hal seperti faktor ekonomi dan minat anak lebih cenderung kepada bekerja dan bekerja. Uang merupakan faktor terpenting bagi anak dan keluarga, sehingga tidak banyak orang tua yang memilih mempekerjakan anaknya ketimbang di sekolahkan. Angka perbandingan jumlah anak-anak yang bekerja dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini sangat memprihatinkan, dan hal ini sangat mengharapkan uluran tangan serta peran pemerintah, khususnya pemerintah Kota dalam menangani serta mengurangi orang tua yang mempekerjakan anak yang masih
8
Gultom Maidin.2008.Perlindungan hukum terhadap anak.Bandung:Refika Aditama.hlm.1
43
dibawah umur demi kelangsungan ekonomi keluarganya.Sering dijumpai anakanak yang seharusnya berada dalam dunia pendidikan, justru lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 20 “ Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”. Pasal 21 “ Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hokum anak, urutan kelahiran anak , dan kondisi fisik/mental”. Pasal 22 “ Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaran perlindungan anak”9. Pasal 23 ayat (1) “ Negara dan pemerintah menjamin
perlindungan,
pemeliharaan,
dan
kesejahteraan
anak
dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hokum bertanggung jawab terhadap anak”, ayat (2) “Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak”. Pasal 24 “ Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak”. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Perlindungan anak dalam proses pembangunan
9
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.Hlm;20
44
nasional dilakukan sebagian dari proses peningkatan kualitas manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Pasal 25 Kewajiban dan tanggungjawab keluarga dan orangtua adalah 10: 1) Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. 2) Menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. 3) Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (Pasal 26). Penyelenggaraan perlindungan anak dapat dilaksanakan baik dalam sektor agama, kesehatan, pendidikan, sosial yang juga diatur dalam undang-undang ini. Perlindungan khusus dalam Pasal 59 menyatakan bahwa pemerintah dan lembaga negara lain berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/ atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.Pasal 66 menyatakan perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan
10
Naskah Akademik ilmu perundang-undangan kelompok XI.Hlm;16
45
masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang tereksploitasi tersebut dapat dilakukan melalui : a) Penyebarluasan dan/ atau sosialisasi ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual b) Pemantauan, pelaporan, pemberian sangsi dan c) Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual11. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak. Peran masyarakat adalah masyarakat dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak. Peran masyarakat tersebut dilakukan oleh
orang-perseorangan,
lembaga
perlindungan
anak,
lembaga
sosial
kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa (Pasal 72). Pasal 77 mengatur mengenai ketentuan pidana bagi setiap orang yang melakukan tindakan : a) Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami krugian, baik secara materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya atau b) Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,Dipidana dengan
11
Http:// document/publicat ion/wcms123584.pdf., diakses pada tanggal 23 April 2013
46
pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). Bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan, anak korban perdagangan dan anak korban kekerasan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,(seratus juta rupiah) (Pasal 78)12. Pasal 80 memberikan ketentuan yaitu bagi setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, atau ancaman kekerasan, penganiayaan terhadap anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (Tiga) tahun 6 (Enam) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp.72.000.000,- (Tujuh Puluh Dua Juta Rupiah)13. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 2 ayat (1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar; (2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna; 12
13
Ketentuan Pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hlm;44 Ibid.
47
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan yang baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan; (4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar14. Pasal 4 “Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orang atau badan”. Pasal 5 “Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar”. Pasal 8 “Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membedabedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan social”. Pasal 9 “Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun social”. Pasal 10 ayat (1) "Orang tua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagaimana termaksud dalam Pasal 9, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal itu ditunjuk orang atau badan sebagai wali”. Pencabutan kuasa asuh dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban orang tua yang bersangkutan untuk membiayai, sesuai dengan kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan, dan pendidikan anaknya15. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, hak anak telah diatur. Menyebutkan setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, 14 15
Naskah Akademik ilmu perundang-undangan kelompok XI. Hlm;21 Ibid.
48
keluarga, masyarakat dan negara (Pasal 52 ayat (1)). Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan (ayat (2)). Setiap anak sejak dalam kandungan berhak
untuk
hidup,
mempertahankan
hidup
dan
meningkatkan
taraf
kehidupannya (Pasal 53 ayat (1)). Setiap anak berhak untuk mendapatkan untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak tersebut (Pasal 58 ayat (1))16. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman (ayat 2)). Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya, mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti (Pasal 60 ayat (1)). Setiap anak berhak mencari, menerima dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan niali-nilai kesusilaan dan kepatuhan (ayat (2)). Setiap anak berhak beristirahat, bergaul dengan anak yang sebayanya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan bakat, minat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya (Pasal 61). Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan
16
Naskah Akademik ilmu perundang-undangan kelompok XI. Hlm;22
49
jaminan sosial yang layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya (Pasal 61). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial dan mental spiritualnya (Pasal 64). Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak serta dari bnerbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Dengan penjelasan, berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya mencakup kegiatan produktif, peredaran dan perdagangan sampai dengan penggunaannya yang tidak sesuai dengan ketentuan peratuan perundang-undangan (Pasal 65)17. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 66 ayat (1)). Hukum mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak (ayat 2). Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum (ayat 3). Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya boleh dilaksanakan sebagai upaya terakhir (ayat 4). Setiap anak yang dirampas kebebasannya barhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan diri dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya (ayat 5). Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan 17
Maulana Hasan Wadong.2000.Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.Jakarta.hlm; 3
50
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum (ayat 7). Setelah melaui beberapa tahapan kajian, pemerintah akhirnya mengeluarkan Undang-Undan Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Anehnya, Undang-undang tersebut justru tidak mengadakan larangan mutlak bagi anak-anak untuk melakukan pekerjaan, melainkan hanya mengadakan pembatasanpembatasan saja18. Memang, tidaklah mudah untuk melarang begitu saja, anakanak untuk tidak terlibat secara aktif dalam suatu kegiatan ekonomi. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dicantumkan larangan secara tegas bagi “ setiap pengusaha yang mempekerjakan anak “ (Pasal 68). Dalam Pasal 1 angka 20 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun. Ketentuan tentang batas umum anak tersebut sejalan dengan isi Pasal 2 ayat (3) dari Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973, yang intinya menyebutkan bahwa, batas usia minimum tidak kurang dari usia penyelesaian wajib belajar, dan dalam kasus apapun tidak kurang dari 15 tahun. Akan tetapi larangan itu ada pengecualiannya, yakni anak yang berumur 13 sampai dengan 15 tahun dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosialnya (Pasal 69); pekerjaan ditempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 70); pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71)19.
18 19
Muladi.2005.Hak Asasi Manusia.PT.Refika Aditama.Bandung.hlm;204 Op.Cit.hlm;207
51
Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi syarat, yaitu : 1) Izin tertulis dari oarng tua atau wali; 2) Perjanjian kerja antara pengusaha dan orang tua wali; 3) Waktu kerja tidak boleh lebih 3 jam; 4) Dilakukan pada siang hari dan tidak menganggu waktu sekolah; 5) Keselamatan dan kesehatan kerja; 6) Adanya hubungan kerja yang jelas; 7) Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 72 “Dalam haL Anak di pekerjakan bersama-sama dengan pekerja/Buruh dewasa maka tempat kerja Anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/Buruh Dewasa”. Hal ini disadari oleh lembaga-lembaga internasional, yang telah mengakui adanya hak anak-anak untuk bekerja, yang disertai dengan upaya-upaya untuk memberikan perlindungan-perlindungan, dengan meletakkan prinsip-prinsip dasar yang mengutamakan pertimbangan dari sisi kepentingan anak, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 32 Konvensi Hak Anak yang menyebutkan adanya: 1) Hak untuk mempertahankan hidup (survival). 2) Pengutamaan kepentingan anak ( the best interest of the child )20 Dengan adanya prinsip survival, anak-anak yang dalam keadaan sulit harus memperoleh bantuan terbaik untuk dapat melangsungkan hidup mereka. Pada umumnya kebanyakan pihak akan berbicara mengenai program-program
20
Muladi.2005.Hak Asasi Manusia.PT.Refika Aditama.Bandung.hlm;205
52
kesehatan dan gizi. Meskipun demikian, hak anak dalam mencari nafkah untuk hidupnya sendiri maupun untuk keluarganya dapat dijadikan alasan yang kuat untuk mempertanyakan berbagai kebijakan penghapusan pekerja anak, karena tidak semua pemerintah mampu memberikan bantuan kepada semua keluarga yang mengalami kesulitan. Jika keluarga atau orang tua dan pemerintah tidak dapat memberikan jaminan bahwa besok anak masih dapat makan secara layak dan bersekolah seperti anak-anak yang lain, tentunya anak harus mengharapkan pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, otonomi dan hak anak untuk menentukan nasibnya sendiri perlu dihormati. Berdasarkan uraian diatas, olehnya tindakan pemerintah seharusnya tidak begitu saja melarang anak-anak untuk bekerja dan menghapuskan hak dari anak-anak untuk bekerja. Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan,
pertama,
memperbaiki
kapasitasnya
untuk
melayani
kepentingan anak dan keluarganya, dengan menyediakan fasilitas, yang memang sangat diperlukan bagi anak-anak yang terpaksa bekerja, ataupun dapat mengentaskan mereka dari kegiatan ekonomi, sehingga mereka dapat mengenyam hak-hak lainnya sebagai anak, bukan hanya sebagai pekerja21. Kedua, berupaya semaksimal mungkin untuk melindungi anak dari upaya eksploitasi. Hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan: 1) Negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma; 2) Mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh setiap anak; 21
Muladi.2005.Hak Asasi Manusia.PT.Refika Aditama.Bandung.hlm;206
53
3) Membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampilan bagi anak, dan; 4) Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah. Terkait dengan itu, juga meliputi : 1) Hak untuk memperoleh informasi; 2) Hak untuk bermain dan rekreasi; 3) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya; 4) Hak untuk kebebasan berpikir dan beragama; 5) Hak untuk mengembangkan kepribadian; 6) Hak untuk memperoleh identitas; 7) Hak untuk didengar pen- dapatnya, dan; 8) Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik. Sebagaimana kita sadari bahwa Anak merupakan anugerah dari Tuhan yang maha Esa yang wajib dijaga dari segala bentuk kekerasan baik secara ekonomi, politik dan budaya. Keberadaan anak dalam lingkungan keluarga haruslah kita perhatikan bersama, peran awal yang terlihat dalam perkembangan anak dala keluarga yaitu, adalah peran awal dari kedua orang tua. Terutama peran seorang ibu. Namun, berdasarkan kenyataan yang ada dilapangan saat ini, bahwa tidak sedikit orang tua yang memilih mempekerjakan anak yang masih dibawah umur, padahal jikalau kita kaji secara ilmiah, bahwa mempekerjakan anak yang masih dibawah sangatlah melanggar etika serta hak anak sebagaimana yang termaktub dalam konvensi hak-hak anak khususnya dilingkungan wilayah Negara republik
54
Indonesia22. Anak dilahirkan merdeka, tidak boleh dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi kemerdekaan anak harus dilindungi dan diperluas dalam hal mendapatkan hak atas hidup dan hak perlindungan baik dari orang tua, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Perlindungan anak tersebut berkaitan erat untuk mendapatkan hak asasi mutlak dan mendasar yang tidak boleh dikurangi satupun atau mengorbankan hak mutlak lainnya untuk mendapatkan hak-haknya sebagai manusia seutuhnya bila ia menginjak dewasa, dengan demikian bila anak telah menjadi dewasa, maka anak tersebut akan mengetahui dan memahami mengenai apayang menjadi dan kewajiban baik terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hak asasi anak adalah hak asasi manusia plus dalam arti kata harus mendapatkan perhatian khusus dalam memberikan perlindungan, agar anak yang baru lahir, tumbuh dan berkembang mendapat hak asasi manusia secara utuh. Sebagai salah satu Negara yang telah merativikasi Konvensi Hak Anak ( KHA ), maka Negara harus menjalankan kesepakatan-kesepatan yang tertuang dalam peraturan tersebut yang tidak lain memberikan perlindungan kepada hak-hak anak. Satu-satunya ketentuan yang menyangkut pekerja anak dalam Konvensi Hak Anak (KHA) terdapat di dalam pasal 32, yang menyatakan23: 1) Negara peserta akan mengakui hak anak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan dari pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu pendidikan anak, atau yang merugikan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau social anak.
22 23
Sri Widoyati Wiratmo Soekito.1989. anak dan wanita dalam hukum.LP3ES.Jakarta.hlm;2 Muladi.2005.Hak Asasi Manusia.PT.Refika Aditama.Bandung.hlm;206
55
2) Negara
peserta
akan
mengambil
langkah-langkah
legislative,
administrative, social dan pendidikan guna menjamin implementasi pasal ini. Implementasi dari apa yang tercantum di dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dengan diratifikasinya konvensi ILO Nomor 182 tentang usia minimum diperbolehkannya anak untuk bekerja, pemerintah menyusun rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dengan melibatkan berbagai komponen yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional24. Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2001. Rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak merupakan pedoman bagi pelaksanaan program aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) adalah: a. Segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage) dan penghambatan (serfdom) serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pergerakan anak secara paksa atau wajib untuk di manfaatkan dalam konflik bersenjata. b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno.
24
Muladi.2005.Hak Asasi Manusia.PT.Refika Aditama.Bandung.hlm;207
56
c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. d. Pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Sebagai pelaksanaan Ratifikasi ILO No. 182 tersebut diatas, pemerintah telah menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak melalui keputusan presiden No. 59 Tahun 2002, yang secara khusus memunculkan beberapa contoh bentuk pekerjaan terburuk untuk anak seperti25: 1) Anak-anak yang dilacurkan; 2) Anak-anak yang bekerja di pertambangan; 3) Anak-anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara; 4) Anak-anak yang bekerja disektor kontruksi; 5) Anak-anak yang bekerja di jermal; 6) Anak-anak yang bekerja sebagai pemulung sampah; 7) Anak-anak
yang dilibatkan dalam
produksi
dan kegiatan
menggunakan bahan-bahan peledak; 8) Anak-anak yang bekerja dijalan; 9) Anak-anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga; 10) Anak-anak yang bekerja di industry rumah tangga; 11) Anak-anak yang bekerja disektor perkebunan;
25
http//:document/publicat ion/wcms121303.pdf. diakses pada tanggal 23 April 2013
57
yang
12) Anak-anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu; 13) Anak yang bekerja pada industri dan kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya26. 4.2 Faktor-Faktor yang menyebabkan anak harus ikut bekerja Setiap hal yang dilakukan tentu akan menimbulkan kendala tertentu. Begitu pula dengan anak-anak yang terpaksa terjun kedunia kerja sebelum mencapai usia legal. Sebagaimana yang telah di amanatkan dalam Undang-Undang bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa yang wajib dijaga dari segala bentuk pelanggaran yang bertentangan dengan haknya. Setiap orang tidak ingin melihat ketika anaknya harus ikut bekerja, namun sejalan dengan perkembangan zaman membawa perubahan yang besar, dimana permintaan akan kebutuhan selalu lebih besar dari pada alat pemenuhan kebutuhan memicu setiap orang untuk ikut serta dalam bekerja, sama halnya dengan orang tua. Orang tua yang mempekerjakan anak yang belum mencapai usia legal diakibatkan oleh beberapa faktor. Faktorfaktor yang menyebabkan anak harus ikut bekerja terbagi atas dua yaitu, faktor Eksternal dan faktor Internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar anak seperti, Faktor Kemiskinan, Faktor Lingkungan, Faktor Orang tua, Faktor Peluang untuk anak masuk dunia kerja, sedangkan faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri anak seperti, Faktor Minat anak. Berdasarkan data diatas terlihat bahwa faktor kemiskinan sangat mendominasi anak-anak haru ikut bekerja. Selama ini berbagai upaya telah dilakukan untuk
26
http//:document/publicat ion/wcms121303.pdf. diakses pada tanggal 23 April 2013
58
mengurangi kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan pangan, layanan kesehatan dan pendidikan, peluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir, pembangunan sarana dan prasarana dan pendamping 27 . Belum teratasinya masalah kemiskinan mendorong pemikiran akan perlunya suatu strategi
baru
penanggulangan
kemiskinan
yang
lebih
permasalahan kemiskinan. Pandangan konvensional
menyentuh
menyebutkan
akar bahwa
kemiskinan sebagai masalah kekurangan modal dan menganggap masyarakat miskin sebagai obyek yang tidak memiliki informasi dan pilihan sehingga tidak perlu terlibat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik.Tidak mungkin akan ada anak terlantar di jalan-jalan, penjualan anak dibawah umur, mempekerjakan anak dibawah umur jika orang tua mereka mempunyai penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarga dan anaknya. Implikasi dari pandangan ini adalah pemerintah mempunyai peran dominan untuk menyediakan modal dan kebutuhan dasar masyarakat miskin. Pendekatan ini terbukti kurang optimal dalam memecahkan masalah kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh kesulitan anggaran dan lemahnya rancangan kebijakan karena tidak menyentuh akar masalah kemiskinan, tetapi juga tidak adanya pengakuan dan penghormatan atas suara-suara dan hak-hak dasar masyarakat miskin. Kemiskinan sebagai masalah multidimensi, kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin, dan
27
Nelson Pomalingo.2007.Pembangunan Gorontalo.The Presnas Center.Gorontalo.hlm.10
59
keterbatasan akses masyarakat miskin dalam penentuan kebijakan public yang berdampak pada kehidupan mereka28. Menurut wawancara dengan bapak Rusli Zakaria, penyebab dari peningkatan jumlah pekerja anak adalah masalah kemiskinan sangatlah sulit untuk ditanggulangi, sebab semakin hari semakin tinggi permintaan yang harus dipenuhi sedangkan untuk memenuhinya sangat sulit didapatkan (wawancara 23 April 2013). Tantangan yang dihadapi oleh masyarakat miskin dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Masyarakat miskin mempunyai akses yang rendah terhadap pendidikan formal dan nonformal. Keterbatasan pengetahuan atau wawasan terhadap pendidikan, khususnya sekolah, menyebabkan hasrat orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya menjadi hilang.29 Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan, terbatasnya jumlah dan mutu prasarana dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah guru bermutu di daerah yang komunitas miskin, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk prose belajar mengajar, terbatasnya jumlah lembaga pendidikan di pedesaan. 2) Anggapan yang salah tentang sekolah Kebanyakan orang miskin beranggapan bahwa sekolah itu tidak penting. Sebab, hal yang terpenting adalah, kekayaan yang bisa mengeluarkan mereka dari kemiskinan. Mengapa mereka beranggapan demikian ? sebab, orang miskin selalu berpikiran pendek, instan, dan pragmatis. 28 29
Nelson Pomalingo.2007.Pembangunan Gorontalo.The Presnas Center.Gorontalo.hlm;11 Suyadi,2011,Miskin bukan halangan sekolah,Buku Biru.jogyakarta.hlm:20
60
Mereka hanya berpikir bagaimana bisa makan hari ini ? bagaimana mereka bisa membayar seluruh utang mereka ? bagaimana mereka bisa menghidupi anak istri ? bagaimana mereka membayar biaya pengobatan anak mereka ?. Mereka beranggapan bahwa sekolah tidak penting karena pendidikan tidak bisa menyelesaikan berbagai persolan praktis dalam hidup mereka. Karena itu, hal yang terpenting adalah makan, membayar utang, serta mencukupi kebutuhan sehari-hari30. Hal ini semakin diperparah oleh rumor yang berkembang dimasyarakat jika sekolah hanya untuk mencari pekerjaan. Jika orang miskin telah mempunyai pekerjaan yang relative mapan, seperti buruh bangunan, tukang las, pegawai bengkel, dan tukang besi, maka mereka akan menganggap sekolah tidak penting. Sebab, mereka sudah tidak membutuhkan pekerjaan lagi. Terlebih lagi jika mereka terpengaruh oleh berbagai informasi yang menyatakan bahwa banyak sarjana yang menganggur alias tidak memperoleh pekerjaan sekarang ini. Hal tersebut memicu orang tua untuk memilih tidak menyekolahkan anaknya.31 3) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha. Masyarakat miskin umumnya menghadapi terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya kemampuan yang dimilki menyebabkan masyarakat miskin sulit mengembangkan usahanya, dan cenderung lebih mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian. 4) Kebiasaan menyalahkan pemerintah 30 31
Suyadi,2011,Miskin bukan halangan sekolah,Buku Biru.jogyakarta.hlm:24 Ibid.
61
Banyak orang miskin yang menganggap bahwa kemiskinan akibat roda pemrintahan
yang
tidak
becus
membuat
program
pengentasan
kemiskinan. Mereka juga beranggapan bahwa pemerintah-lah yang selama ini membelenggu mereka agar mereka tetap berada dilembah kemiskinan. Tidak mungkin akan ada anak putus sekolah jika pemerintah memurahkan biaya sekolah dan memperbaiki serta melengkapi semua kebutuhan sekolah. Begitulah anggapan masyarakat kepada pemerintah32. Misalnya, ketika mereka ingin membuka usaha kecil-kecilan,mereka tidak dipercaya oleh bank saat mengajukan pinjaman. Pihak bank mensyaratkan berbagai prosedur, termasuk persyartan jaminan surat berharga, yang tidak mungkin dipenuhi oleh orang-orang miskin. Ketika mereka terlambat membayar uang sekolah, mereka ditagih berkali-kali sehingga anak merasa dipermalukan di depan teman-temannya. Orang tuapun merasa kesulitan mencari pinjaman karena masyarakat tidak mempercayai mereka dapat mengembalikannya. Akhirnya, anak dan orang tua “ sepakat “ untuk putus dari sekolah.33 Yang kedua, Faktor minat anak sangat berpengaruh terhadap anak-anak yang ikut bekerja. Hal tersebut terlihat pada data diatas, setelah faktor kemiskinan, yang mendominasi anak-anak ikut bekerja adalah minat anak. Hal ini dipengaruhi oleh motif yang berkembang dilingkungan anak-anak yaitu “ ikut-ikutan”. Anak-anak pada awalnya hanya dengan motif ikut-ikutan, tetapi lama kelamaan Si anak lebih menekuni pekerjaan itu, lebih parahnya lagi justru anak lebih memilih untuk 32 33
Suyadi,2011,Miskin bukan halangan sekolah,Buku Biru.jogyakarta.hlm:26 Op.Cit.hlm:27
62
bekerja dari pada harus sekolah. “ sekolah itu membosankan, tiap hari harus bangun pagi, ditambah lagi dengan uang jajan yang tidak mencukupi kebutuhan” kata Andi, salah seorang anak yang bekerja sebagai penjual tas plastik di Pasar Sentral Kota Gorontalo. Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Faktor yang ketiga yaitu faktor lingkungan. Hal ini terjadi di lingkungan tempat tinggal anak, dimana anak yang tidak terbiasa bekerja jadi ikut bekerja karena pertimbangan dekat dengan area tempat tinggal, sehingga anak sedikit demi sedikit sudah mulai terlibat dalam bekerja, dan telah melupakan dunianya sebagai anak. Faktor keempat yang menyebabkan anak haru ikut bekerja yaitu faktor orang tua. Dengan keterbatasan Sumber Daya Manusia, Banyak orang tua yang pendidikannya masih dibawah. Hal ini menimbulkan pengetahuan yang dimiliki orang tua juga belum optimal, sehingga banyak menimbulkan hal-hal yang tidak berdasarkan peraturan. Sama halnya dengan anak, akibat dari orang tua yang minim pendidikannya, tidak bisa mengembangkan usahanya, hanya pasrah pada keadaan, maka anak jadi ikut serta dalam membiayai kebutuhan hidup. Kurangnya pengawasan orang tua juga memicu anak-anak ikut bekerja. Berdasarkan hasil wawancara dengan Andi, seorang anak yang bekerja sebagai penjual tas plastik di pasar sentral kota gorontalo mengatakan bahwa dirinya telah mendapat ijin dari orang tuanya dan bahkan disuruh oleh orang
63
tuanya. Hal tersebut dapat dibenarkan oleh Renol salah satu temannya yang juga bekerja di pasar sentral (wawancara 2 mei 2013). Mengingat kondisi ekonomi keluarga yang tidak tercukupi, maka orang tua terpaksa membiarkan anaknya bekerja. Pasal 26 (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk, mengasuh, mendidik, memelihara, melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan bakat, dan minatnya serta orang tua berhak mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Orang tua kurang paham dengan masa depan anaknya, sehingga mereka sangat perlu diberikan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan anak Bangsa. Selain itu, ada faktor lain yaitu disisi lain orang tua mungkin sudah bekerja namun kebutuhan rumah tangga yang terlalu besar dengan biaya hidup yang tinggi. Jika anak tidak ikut bekerja, kemungkinan besar mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari- harinya. Dengan demikian anak pun terpaksa dan dipaksa untuk ikut membantu menghasilkan rupiah demi kelangsungan hidup mereka34. Mereka tidak mempunyai cara lain untuk menghasilkan rupiah selain dengan bekerja pada usia dini. Jika mereka bekerja setiap harinya, maka mereka tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengenyam bangku pendidikan. Orang tua seharusnya memelihara, mendidik dan membesarkan anak-anaknya agar mempunyai kemampuan dan berguna untuk masa depannya. Bukan sebaliknya malah mengajak anaknya untuk bekerja pada usia dini dan ikut menanggung kebutuhan hidup yang seharusnya dilakukan oleh orang tua. Tak hanya itu pekerja
34
http ://docs. Google.com /makalah pekerja anak. pdii.lipi.go.id/index.php.di akses 12 mei 2013.
64
anak usia dini akan banyak kehilangan haknya untuk hidup sehat, mendapatkan waktu bermain dan mendapatkan pendidikan disekolah. Disadari maupun tanpa disadari banyak orang tua yang menjadikan anaknya sebagai komoditas dan mengganggap anaknya sebagai hak milik yang bisa dijual ketika perekonomian mulai menurun. Namun, semua orang tua pasti tidak akan menjerumuskan anaknya ke arah yang tidak baik. Mereka pun menginginkan yang terbaik untuk anaknya agar kelak menjadi anak yang sukses dan berguna bagi keluarga maupun bagi Bangsa dan Negara. Namun mereka tetap tidak mempunyai cara lain untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka pasti ingin mendapatkan rupiah dari hasil yang halal. Daripada mereka bermalas- malasan dengan mengemis dan menjadi anak gelandangan 35 . Sebuah ilustrasi mengatakan bahwa Tidak mungkin akan ada kekerasan terhadap anak,kegiatan pornografi terhadap anak, dan kegiatan tidak baik lainnya jika orang tua mengawasi anak-anaknya secara benar,mendidik secara benar dan memberikan lingkungan yang baik untuk perkembangan dan pembangunan karakter sikap anak36. Faktor terakhir yang menyebabkan anak harus ikut bekerja yaitu faktor terbukanya peluang untuk anak masuk dalam dunia kerja. Ketidak efektifan dari penerapan system peraturan, tidak adanya sanksi yang tegas melarang anak-anak untuk bekerja, mendorong anak ikut bekerja. Tidak mungkin akan ada anak-anak yang mempunyai sikap-sikap tidak baik, perbuatan yang menyalahi aturan jika semua elemen masyarakat mau peduli terhadap mereka. Minimnya kasus tentang 35 36
http:// makalah pekerja anak.mengais rupiah dari bengkel sempit.diakses pada tanggal 12 mei 2013 http ://docs. Google.com /makalah pekerja anak. pdii.lipi.go.id/index.php, diakses pada tanggal 12 mei
2013.
65
pekerja anak yang diangkat kepermukaan menyebabkan pemerintah sulit mengidentifikasi jumlah pekerja anak. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas menurut hemat penulis bahwa peningkatan jumlah pekerja anak pada awalnya masih di dominasi oleh faktor kemiskinan. Penanggulangan masalah kemiskinan harus melibatkan semua pihak. Selain itu juga, faktor minat anak, lingkungan, pengawasan orang tua, dan terbukanya peluang juga menjadi penyebab anak-anak harus bekerja. Pada dasarnya segala sesuatu hal yang dilakukan mempunyai sebab tertentu. Dan hal ini tidak akan terjadi jika pemerintah mengeluarkan kebijakan (regulasi) yang secara tegas menyatakan pelarangan anak-anak untuk bekerja baik dalam kondisi bagaimanapun.
66