BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA A. Sejarah dan Landasan Hukum Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia sebelum diundangkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pada masa penjajahan Belanda, arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa belumlah dikenal oleh bangsa Indonesia karena pada saat itu yang berlaku adalah hukum adat, akan tetapi, orang-orang Eropa telah mengenal Lembaga arbitrase yang telah dibentuk sebelumnya oleh Pengusaha Belanda melalui Kamar Dagang Eropa yang diatur dalam hukum acara perdata bagi golongan orang Eropa Burgerlijke Reglement op de Rechtsvordering (“BRV”).1 Berdasarkan BRV, hukum acara arbitrase yang menyelesaikan sengketa perdagangan diatur secara pasti dalam Pasal 615 – Pasal 651 BRV. Selanjutnya, dalam perkembangan yang terjadi, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini mendapatkan permasalahan, yaitu pengadilan bagi golongan Eropa secara formal dihapuskan oleh pemerintah bala tentara Jepang yang berakibat bahwa BRV yang didalamnya juga mengatur mengenai lembaga arbitrase menjadi tidak berlaku.2 Sejarah hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimulai semenjak Indonesia terlepas dari penjajahan bangsa Belanda dan Jepang hingga kemudian meraih kemerdekaannya pada tahun 1945. Pada saat itu, Indonesia tidak memiliki undang-undang ataupun peraturan apapun yang dapat digunakan sebagai sistem hukum Negara, hingga pada akhirnya, Indonesia mengadopsi hukum peninggalan Belanda dan kemudian menganut sistem hukum Eropa Kontinental sebagai dasar sistem hukumnya hingga dikeluarkannya hukum yang lebih baru untuk 1
Prof. Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum Perusahaan Indonesia, cetakan ke III, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) hlm.586
2
id.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
mengakomodir
permasalahan
hukum
yang
berkembang
seiring
waktu.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Karen Mills,3 “When Indonesia attained independence, in 1945, the then governing Dutch laws remained in force until such time as new laws would be promulgated to replace them. Thus Indonesia remains a civil law jurisdiction, with Dutch law as the underlying basis.” Sebagai Negara Hukum Eropa Kontinental, Indonesia mengadopsi Hukum perdata yang diatur dibawah Burgerlijke Wetboek (“BW”), hukum acara perdata umum untuk kalangan Jawa Madura – Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”), hukum acara perdata Rechtsreglement Buitengewesten (“RBG”) dan BRV (Burgerlijke Reglement op de Rechtsvordering) yang pada dasarnya telah dihapuskan di era penjajahan Jepang. Perangkat-perangkat hukum inilah yang kemudian digunakan untuk mengatur arbitrase sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa investasi serta transaksi bisnis dan perdagangan internasional.
A.1. HIR dan BRV sebagai Landasan Utama Hukum Arbitrase Indonesia Landasan titik tolak pengaturan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa diluar pengadilan dalam sistem tata hukum Indonesia pada dasarnya terletak pada Pasal 377 HIR dan 705 RBG yang mengatur,4 “jika seseorang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Kedua pasal tersebut menjadi landasan pengaturan dalam kehidupan dan praktek hukum arbitrase, karena pasal ini menegaskan bahwa: a.
Pihak-pihak yang bersangkutan diperbolehkan menyelesaikan sengketa melalui juru pisah atau arbitrase.
3
Karen Mills, Arbitration Process in Indonesia, (Hong Kong: Sweet & Maxwell, 1999),
hlm.1
4
Pasal 377 HIR (Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 705 RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
b.
Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk keputusan.
c.
Untuk itu, baik para pihak maupun arbiter wajib tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa.
Dengan jelas terlihat bahwa, Pasal 377 HIR dan 705 RBG memberikan kemungkinan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di luar jalur kekuasaan pengadilan apabila mereka menghendakinya akan tetapi dengan satu syarat bahwa, hukum yang digunakan oleh pihak yang bersengketa tetap mengacu kepada hukum/peraturan yang berlaku bagi Bangsa Eropa. Kehadiran dari dua pasal tersebut diatas hanyalah memberikan gambaran terhadap pemberian kewenangan berdasarkan doctrine of comity kepada juru pisah diluar pengadilan Indonesia tetapi pasal tersebut tidak memberikan pengaturan lebih lanjut terhadap suatu prosedur maupun pengaturan tata cara penyelesaian sengketa (hukum acara arbitrase) dari sejak awal pendaftaran penyelesaian sengketa hingga akhir dijatuhkannya putusan. Untuk mengisi ketiadaan pengaturan tentang prosedur dan tata cara penyelesaian sengketa melalui juru pisah (arbitrase), Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG langsung menunjuk aturan pasal-pasal arbitrase yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Bergerlijke Rechtsverordering) yaitu pada pasal 615-651 sebagai hukum acara penyelesaian sengketa yang wajib untuk diikuti. Sebagai pedoman umum aturan arbitrase yang diatur dalam RV meliputi lima bagian pokok berikut:5 1. Bagian
Pertama
(Pasal
615-623):
Persetujuan
arbitrase
dan
pengangkatan arbiter. 2. Bagian Kedua (pasal 624-630): Pemeriksaan di muka badan arbitrase. 3. Bagian Ketiga (Pasal 631-640): Putusan arbitrase. 4. Bagian Keempat (Pasal 641-647): Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase. 5
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 23
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
5. Bagian Kelima (Pasal 647-651): Berakhirnya acara-acara arbitrase. Sistematika tersebut dibuat pada tahun 1849 dan pada saat itu mungkin sudah memenuhi kebutuhan praktek, akan tetapi, pada kenyataannya, ketentuan arbitrase yang diatur dalam BRV tidak mengatur aspek-aspek hukum internasional serta meliputi hal-hal yang berkenaan dengan pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing baik dalam kegiatan penanaman modal asing maupun dalam lalu lintas dunia perdagangan.6 Adapun alasan masih digunakannya HIR dan BRV pada saat itu adalah karena adanya ketentuan hukum yang terdapat dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 45”) yang menentukan,7 “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini.” Dengan adanya ketentuan Pasal tersebut dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan belum adanya suatu peraturan khusus tentang arbitrase, membuat Indonesia tetap memberlakukan Reglemen Acara Perdata dibawah HIR, RBG dan BRV sebagai landasan utama pengaturan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa.
A.2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia Indonesia pada dasarnya,8 telah melakukan berbagai usaha untuk membangun kembali serta meningkatkan perkembangannya sebagai suatu Negara. Semenjak 1967, pada awal-awal diterapkannya Rencana Pembangunan Lima 6
Sujud Margono, ADR dan Arbitrase, op.cit., hlm.110
7
Pasal II Aturan Peralihan, Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, sehubungan dengan pengaturan pasal ini, Karen Mills juga menambahkan bahwa, “Indonesia is a civil jurisdiction, having adopted Dutch Laws and practice at the time of Indonesia’s independence in 1945. However, one of the basic problems for the new independent government was how much of the law applied under the colonial system should be maintained. It was obvious that some aspects of the old legal system were at odds with the principle of a newly independent state. One such unacceptable principle was the maintenance of different laws for the different population group and thus unification of law in as many fields became a priority. The new Indonesian Constitution therefore brought all Indonesians under the same laws. The Law Constitution provided that old Dutch laws not in conflict with the new Constitution would remain valid, if not fully binding at least as guidelines, unless and until they were superseded by new laws of the Republic, sebagaimana tertulis dalam Karen Mills, Arbitration Process in Indonesia, loc.cit.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Tahun (“Repelita”) pertama oleh Pemerintah, Indonesia telah mempromosikan PMA (Penanaman Modal Asing) dan sejauh ini telah sukses menarik perhatian dari beberapa Negara maju seperti, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris dan beberapa Negara tetangga di Asia. Indonesia memahami bahwa program penanaman modal ini adalah esensial terhadap perbaikan Negara dan secara fisik telah mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Indonesia sebagai Negara yang kaya akan Sumber Daya Alam, memiliki banyak tenaga kerja, serta potensi pasar yang menjanjikan, mengundang PMA dan ahli manajerial teknis internasional. Indonesia telah menerbitkan peraturan, undangundang serta hukum finansial aset dan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan PMA dimana ini merupakan bagian yang tersalurkan paling banyak oleh perusahaan-perusahaan bisnis asing, yang beroperasi secara utuh atau secara parsial di Indonesia. Indonesia bahkan mengijinkan perusahaan asing untuk tetap beroperasi di Indonesia dengan tetap berada di bawah hukum Negara asalnya atau Negara lainnya, yang mana secara konsekuen, dengan adanya hukum dari beberapa Negara ini menyebabkan sudut pandang hukum yang berbeda-beda dan terkadang berujung kepada suatu sengketa. Sehubungan dengan kemungkinan sengketa yang muncul dari suatu hubungan hukum Indonesia dengan asing tersebut maka, dengan tetap memberlakukan BW sebagai Hukum Perdata, serta HIR dan BRV sebagai hukum 8
Priyatna Abdurrasyid mengatakan bahwa, “It is a fact, that Indonesia is sincere in the efforts to reconstruct and develop its country. Since 1967, at the beginning of the 1 st Five Year Plan, Indonesia has promoted Foreign Investment and so far has successfully attracted considerable attention, especially from potential creditor countries such as the USA, Japan, West Germany, France, Britain, and from the neighboring Asian countries as well. We are aware that there foreign investment programs are essential for the recovery of our country and so physically able to serve the welfare of our people. Indonesia, which is rich in natural resources and raw materials, where manpower is in abundance and with promising market potential, invites foreign capital and international technical managerial expertise’s. Indonesia has promulgated asset of financial and economic rules and regulations with the aim to encourage foreign capital investment and these are for the most part channeled through foreign business enterprises, whose operations wholly or partially take place in Indonesia. Indonesia even still permits foreign companies to carry out business in Indonesia and continue operating under the laws of their own or of other preferred countries; consequently, partly caused by various points of laws, the foreign business enterprises sometimes become entangled in disputes concerning their operation, among themselves or against nationals,” sebagaimana tertulis dalam Priyatna Abdurrasyid, “Cooperation of The Indonesian National Board of Arbitration with Foreign Arbitration Tribunals”, dalam Arbitration in Indonesia and International Conventions on Arbitration, The Indonesian National Board of Arbitration (BANI), (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 22
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
acara perdata (arbitrase) Indonesia, Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kuasa Kehakiman (“UU 14/1970”) pada tanggal 17 Desember 1970. Penerbitan UU 14/1970 tersebut didasari oleh adanya suatu ketentuan yang diatur dalam UUD 1945 mengatur bahwa,9 “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang.” Ketentuan Pasal 24 tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lainnya yang membawahi penanganan dan pemeriksaan perkara arbitrase dikarenakan tidak adanya suatu peraturan dan badan peradilan khusus yang menangani arbitrase dibawah undang-undang pada saat itu. Wewenang dan kompetensi Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang menangani dan memeriksa perkara arbitrase sebagaimana disebut diatas, diperkuat dengan ketentuan Pasal 3 UU 14/1970 yang mengatur bahwa,10 “semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan dengan Undang-Undang,” ditambah dengan penjelasannya yang mengatur bahwa, “penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.” Munculnya UU 14/1970 sebagai undang-undang yang mengatur kuasa kehakiman sebagai lembaga peradilan yang menangani perkara arbitrase menandakan bahwa arbitrase dalam bentuk formal telah berkembang di Indonesia pada era 1970-an. Penerbitan UU 14/1970 kemudian diikuti oleh pembentukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”) sebagai lembaga peradilan yang secara khusus menangani perkara arbitrase dalam negeri. Pembentukan BANI ini diprakarsai oleh Kamar Dagang Indonesia (“Kadin”) melalui akta pendirian yang telah disetujui dan didukung Menteri Kehakiman, Menteri Negara Perekonomian 9
Pasal 24, Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
10
Pasal 3 beserta penjelasannya, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kuasa Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, LN Tahun 1970 Nomor 74, TLN Nomor 2951
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
dan Perindustrian, Ketua Bappenas, Ketua Mahkamah Agung dan Presiden Republik Indonesia, yang dibuat di hadapan notaris pada tahun 1977 untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap sengketa yang diselesaikan dalam arbitrase, khususnya di Indonesia. Dasar hukum keberadaan BANI yang didirikan berdasarkan akta notaris tersebut kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang, yaitu, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1987.11 Didirikannya BANI didasari oleh adanya suatu fakta bahwa kebutuhan akan kehadiran suatu lembaga arbitrase yang independen yang dikelola, diatur serta dijalankan dengan baik sangatlah penting dalam suatu kondisi dimana sedang terjadi peningkatan PMA melalui joint venture yang terjadi di wilayah Indonesia sebagai Negara berkembang. Fakta lainnya adalah dimana Perusahaan joint venture pada kenyataannya, mendirikan perusahaan di Indonesia, memperkerjakan tenaga kerja Indonesia, menyewa kediaman dan membeli kebutuhan harian dari warga Negara Indonesia, sehingga menurut hukum perdata internasional, Hukum Indonesia berlaku bagi mereka. Oleh karena itu, sangatlah logis dan disarankan bahwa, dalam hal terjadinya sengketa dalam suatu kontrak joint venture, para pihak akan membawa sengketa mereka kepada arbiter yang memiliki pengetahuan hukum terhadap hukum Indonesia dan keadaan lokal.12 Pembentukan BANI tidak untuk menciptakan persaingan dengan badan arbitrase asing, karena BANI memiliki karakteristik yang sama, antara lain: 1.
Memastikan bahwa sumber hukum yang mempengaruhi sengketa, dalam hal ini, hukum yang diterapkan menjadi hukum yang
11
Prof. Abdulkadir Muhammad, op,cit., hlm. 593
12
R. Subekti mengatakan bahwa, “for Indonesia being a developing country, a well running arbitration is going to be indispensable with a view of the ever increasing number of joint ventures… As a matter of fact, joint ventures companies are usually running enterprises in Indonesian territory, employing Indonesian workers, renting premises and buying their daily supplies from Indonesian nationals, so that according to the rules of International Private Law, The Indonesian Law is applicable. It is therefore, logical and advisable that, in case of a dispute arising from such joint-venture contracts, the parties will submit their dispute to arbitrators who have knowledge of the Indonesian Law and the local situation,” sebagaimana tertulis dalam R. Subekti, “Introducing The Indonesian National Board of Arbitration”, dalam Arbitration in Indonesia and International Conventions on Arbitration, The Indonesian National Board of Arbitration (BANI), (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 10
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
menjadi hukum di masa yang akan datang (de lege lata ot de lege feranda). 2.
Arbitrase mengacu kepada arbiter, dasar konsensual kewenangan jurisdiksional; merupakan suatu hal yang tepat bila keinginan para pihak dalam sengketa berperan penting, dan oleh karena itu, maka hukum yang diterapkan menjadi hukum penyelesaian sengketa mereka di masa yang akan datang.
3.
Kemandirian keinginan para pihak secara normal berpengaruh dalam tahap:13 a.
Hukum yang akan mengatur dalam arbitrase;
b.
Hukum yang akan diterapkan sehubungan dengan materi sengketa, yang biasanya muncul dalam hubungan kontraktual.
4.
Kemandirian para pihak akan memungkinkan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kekurangan dalam pengaturan hubungan hukum internasional. Hal tersebut menghindari konflik sistem hukum nasional dalam lingkup arbitrase dan mempersempit konflik hukum dan konflik jurisdiksi.
5.
Secara internasional, kemandirian tersebut akan memperoleh signifikasi dasar-dasar pengaturan hukum internasional dan akan menjadi hukum kebiasaan dalam sistem hukum nasional.
6.
Permohonan yang nyata terhadap batas kemandirian kontraktual dilengkapi oleh perjanjian arbitrase yang disepakati para pihak.
7.
Sistem hukum nasional dibutuhkan untuk mengontrol pelaksanaan putusan arbitrase.
8.
Kemandirian para pihak disertai dengan kebebasan untuk memilih hukum nasional yang paling tepat untuk digunakan dalam penyelesaian sengketa.
9.
Setidaknya para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan sengketa mereka di Pengadilan.
13
Priyatna Abdurrasyid, op.cit., hlm. 24
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
10.
Para pihak secara umum mengharap suatu pemikiran yang menunjukkan fleksibilitas yang secara normal tidak terpisahkan dalam proses peradilan.
Berdasar kepada karakteristik-karakteristik di atas, pendirian BANI pada saat itu, merupakan suatu terobosan besar dalam hukum arbitrase nasional Indonesia, mengingat Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur tentang arbitrase, namun sudah menerbitkan undang-undang yang mengatur tentang lembaga yang secara khusus menangani arbitrase diluar kekuasaan kehakiman.
A.3. UNCITRAL Arbitration Rules sebagai Landasan Hukum Arbitrase Internasional dalam Lingkup Hukum Nasional Pendirian BANI pada tahun 1977 diikuti dengan dimasukkannya sumber hukum internasional kedalam sistem tata hukum nasional Indonesia, dimana Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani resolusi UNCITRAL Arbitration Rules pada tanggal 15 Desember 1976. UNCITRAL Arbitration Rules, sebagai suatu peraturan yang mengglobalisasikan serta menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara arbitrase dalam hubungan perdagangan internasional,14 serta kemudian menjadi salah satu sumber hukum internasional yang mengatur tentang arbitrase di Indonesia. Beberapa pokok materi yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rules adalah (pada tahun 1976):15
Section 1. Introductory Rules 1.
Scope of application (Pasal 1) Penerapan kalusula atau perjanjian arbitrase antara pihak yang bersengketa harus dalam bentuk tertulis (agreed in writing).
14
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 69
15
Pasal 1 – 41, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Arbitration Rules 1976 (Lex Mercatoria)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
2.
Notice and calculation of periods of time (Pasal 2) Pasal 2, UNCITRAL Arbitration Rules mengatur ketentuan tenggang waktu yang digariskan tata cara perhitungan batas waktu mengenai adanya pemberitahuan (notice) yang mana dalam hal ini meliputi pengumuman (notification), komunikasi (communication) atau usul (proposal), dianggap sudah diterima terhitung sejak disampaikan secara fisik atau in person ke alamat atau tempat tinggal, tempat usaha atau alamat surat (mailing address).
3.
Notice of arbitration (Pasal 3) Pasal 3 mengatur tentang terminologi yang digunakan terhadap para pihak dalam persidangan arbitrase mengacu kepada Penggugat (Claimant) dan Tergugat (Respondent), sedangkan Pasal 3 (2) mengatur bahwa persidangan dimulai sejak pemberitahuan persidangan arbitrase diterima oleh Tergugat. Ayat selanjutnya mengatur tentang persyaratan yang perlu dipenuhi dalam pemberitahuan persidangan arbitrase yaitu: a.
Penyelesaian sengketa menggunakan arbitrase;
b.
Mencantumkan nama dan alamat para pihak;
c.
Membuat penunjukkan klausula arbitrase dalam perjanjian;
d.
Membuat penunjukkan tentang sengketa apa yang timbul dalam perjanjian;
e.
Memuat dasar gugatan/klaim;
f.
Mengindikasikan jumlah yang keluar;
g.
Memuat permohonan putusan;
h.
Mengisi jumlah arbiter yang berisi proposal penunjukkan arbiter atau pejabat berwenang, pemberitahuan penunjukkan persidangan arbitrase dan pernyataan klaim.
4.
Representation and assistance (Pasal 4) Berisi tentang ketentuan bahwa para pihak harus memberitahu pihak lainnya perihal bantuan hukum atau perwakilannya dalam persidangan yang telah dipilih olehnya.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Section II. Composition of The Arbitral Tribunal 5.
Number of arbitrators (Pasal 5) Pasal ini mengatur jumlah arbiter, apabila para pihak belum menentukan dalam perjanjian atau tidak setuju mengenai penunjukkan jumlah arbiter dalam waktu 15 hari setelah diterimanya pemberitahuan persidangan arbitrase, jumlahnya adalah 3 (tiga).
6.
Appointment of arbitrators (Pasal 6 - 8) Pasal 6 mengatur penunjukkan arbiter tunggal; Pasal 7 berisi ketentuan tentang prosedur penunjukkan tiga arbiter dalam persidangan; dan Pasal 8 UNCITRAL Arbitration Rules mengatur apabila
Dewan
Penunjukkan
ditentukan
oleh
pihak
yang
bersengketa maka para pihak menyediakan: a.
Salinan pemberitahuan persidangan arbitrase;
b.
Salinan perjanjian yang menunjukkan subyek sengketa; dan
c.
Salinan perjanjian arbitrase apabila terpisah dari perjanjian pokok.
7.
Challenge of arbitrators (Pasal 9 - 12) Pasal 9 mengatur kewajiban arbiter untuk mengungkapkan kepada Dewan Penunjukkan dan para pihak yang bersengketa keadaan yang dapat menimbulkan keraguan terhadap kemandirian dan kemampuannya untuk tidak memihak secara adil; Pasal 10 menentukan bahwa terhadap keadaan ragu-ragu tersebut muncul, kompetensi panel arbiter dapat dichallenge. Pasal 11, UNCITRAL Arbitration Rules berhubungan dengan prosedur challenge. Dimana pihak yang ingin men-challenge arbiter memiliki jangka waktu 15 hari untuk mengajukan challenge tersebut semenjak pemberitahuan penunjukkan arbiter atau sejak tanggal pihak tersebut menyadari dapat diajukannya dasar challenge. Pasal 12, mengatur ketentuan apabila challenge yang diajukan tidak diterima oleh pihak satunya. Dalam hal ini, apabila challenge diterima, maka arbiter substitusi ditunjuk sesuai pasal 6 – 9.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
8.
Replacement of an arbitrator (Pasal 13) mengatur bahwa apabila arbiter gagal dalam bertindak, arbiter baru akan ditunjuk.
9.
Repetitions of hearings in the event of the replacement of an arbitrator (Pasal 14) Dalam pasal ini, apabila arbiter ditunjuk oleh salah satu pihak digantikan, Pengadilan arbitrase dalam menentukan apakah akan melanjutkan persidangan atau mengulang kembali persidangan sebelumnya, meminta persetujuan para pihak.
Section III. Arbitral Proceedings 10.
General provisions (Pasal 15) Pasal 15 menentukan bahwa Pengadilan dalam memeriksa serta menangani perkara harus memperlakukan para pihak yang bersengketa secara adil dan kedua pihak tersebut diberikan kesempatan yang sama untuk menghadirkan pembelaannya.
11.
Place of arbitration (Pasal 16) merujuk kepada penunjukkan tempat dilaksanakannya arbitrase.
12.
Language (Pasal 17) Bahasa yang digunakan dalam persidangan.
13.
Statement of claim (Pasal 18) Dalam Pasal ini dipersyaratkan suatu salinan pernyataan klaim / gugatan beserta perjanjian para pihak untuk dilampirkan dalam pemberitahuan persidangan arbitrase.
14.
Statement of defence (Pasal 19) Pernyataan pembelaan yang diajukan oleh Tergugat diatur dalam Pasal ini.
15.
Amendments to the claim or defence (Pasal 20) Perubahan atau penambahan / melengkapi pernyataan pembelaan selama persidangan arbitrase.
16.
Pleas to the jurisdiction of the arbitral tribunal (Pasal 21)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Mengatur bahwa Pengadilan arbitrase memiliki kewenangan untuk mengatur keberatan terhadap jurisdiksinya sendiri dan juga eksistensi dan validitas dari perjanjian arbitrase tersebut. 17.
Further written statements (Pasal 22) Mengatur tentang adanya suatu penambahan terhadap pernyataan klaim ataupun pembelaan dapat dimintakan oleh Pengadilan arbitrase kepada para pihak untuk menyediakan kedua pernyataan tersebut dalam bentuk tertulis.
18.
Periods of time (Pasal 24 - 25) Dalam Pasal 24 ini, Pengadilan memiliki kebijaksanaan untuk menentukan jangka waktu penambahan pernyataan ini dapat berlangsung serta mengatur bahwa tiap pihak memiliki kewajiban untuk mengajukan bukti-bukti terhadap fakta yang mendukung klaimnya atau pembelaannya serta Pengadilan arbitrase dapat meminta para pihak untuk menyediakan dalam bentuk ringkasan (summary). Pasal 25 di satu sisi, mengatur bahwa apabila Pengadilan mengatur bahwa pernyataan oral akan didengar dalam persidangan
ini,
maka
pihak
Pengadilan
arbitrase
harus
memberitahu para pihak terhadap waktu, tempat, serta tanggal diadakannya persidangan tersebut. 19.
Interim measures of protection (Pasal 26) Pengadilan arbitrase dapat menjatuhkan putusan sela atas permohonan salah satu pihak dengan maksud untuk melindungi subjek perkara dari sengketa tersebut.
20.
Experts appointed by the arbitral tribunal (Pasal 27) Pengadilan arbitrase juga memiliki kewenangan untuk menunjuk para ahli untuk menjadi saksi dalam persidangan, dimana pernyataannya kemudian dicatat dan para pihak memiliki hak untuk memeriksa pencatatan pernyataan saksi ahli tersebut.
21.
Default (Pasal 28)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Sama halnya dengan UNCITRAL Model Law, UNCITRAL Arbitration Rules juga mengatur tentang kesalahan para pihak dalam menyajikan pernyataan klaim serta pernyataan pembelaan. 22.
Closure of hearings (Pasal 29) Pengakhiran persidangan arbitrase diatur dalam Pasal ini.
23.
Waiver of right to object (Pasal 30) Dalam hal salah satu pihak mengetahui bahwa terdapat beberapa kesalahan dalam penerapan UNCITRAL Arbitration Rules dalam persidangan ini namun tidak menyatakan keberatannya, maka haknya untuk mengajukan keberatan yang dimiliki olehnya adalah hangus.
Section IV. The Award 24.
Decisions (Pasal 31) Prosedur pengambilan keputusan arbitrase oleh tiga arbiter didasari oleh suara terbanyak (Majority Decision).
25.
Form and effect of the award (Pasal 32) Mengatur bentuk putusan dan efek dari putusan arbitrase tersebut.
26.
Applicable law, amiable compositeur (Pasal 33) Pengadilan arbitrase menerapkan hukum yang telah dipilih oleh para pihak sehubungan dengan pokok perkara.
27.
Pasal 34 Mengatur Penyelesaian persidangan arbitrase
28.
Interpretation of the award (Pasal 35) Dalam pasal ini, pihak yang bersengketa dapat memohon interpretasi terhadap putusan kepada Pengadilan arbitrase dalam jangka waktu 30 hari setelah diterimanya putusan arbitrase.
29.
Correction of the award (Pasal 36) Memberikan ketentuan pembenaran terhadap kesalahan pengetikan putusan.
30.
Additional award (Pasal 37) Pasal 37 mengatur para pihak memiliki hak untuk memohon putusan tambahan dilakukan apabila dipertimbangkan bahwa
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
putusan sebelumnya telah gagal untuk memenuhi klaim yang diajukan dalam persidangan arbitrase. 31.
Cost (Pasal 38 - 40) Pasal 38 – 40 mengatur bahwa penghitungan biaya arbitrase dimasukkan dalam putusan arbitrase serta dihitung dari biaya perkara, biaya perjalanan dan pengeluaran lain sehubungan dengan persidangan seperti pengunaan saksi ahli, bantuan lain, biaya perjalanan saksi lainnya serta biaya untuk Dewan Penunjukkan.
32.
Deposit of costs Para pihak diharuskan untuk mendepositkan uang yang diperlukan untuk biaya penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 38.
UNCITRAL Arbitration Rules pada dasarnya serupa dengan UNCITRAL Model Law. Letak perbedaannya adalah;16 UNCITRAL Model Law mengatur sebuah pola yang dapat diadopsi oleh perancang hukum di Pemerintah Nasional Negara-Negara sebagai bagian dari peraturan domestik tentang arbitrase sedangkan UNCITRAL Arbitration Rules dipilih oleh para pihak sebagai bagian dari penyelesaian sengketa dalam kontrak mereka atau setelah sengketa tersebut timbul, untuk mengatur hukum acara arbitrase yang dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak tersebut. Singkat kata, Model Law dipilih dan diadopsi oleh Pemerintah, sedangkan Arbitration Rules, dipilih oleh pihak-pihak dalam perjanjian mereka. Partisipasi Indonesia sebagai Negara yang ikut menandatangani resolusi UNCITRAL tidaklah membuahkan hasil yang signifikan terhadap perkembangan arbitrase di Indonesia. Berdasar kepada fakta diatas, UNCITRAL Arbitration Rules hanya berlaku bagi pihak yang memilihnya sebagai hukum acara arbitrase di Indonesia melalui BANI, dan hal tersebut hanyalah berlaku secara nasional, mengingat BANI adalah lembaga arbitrase nasional Indonesia. Pembentukan 16
Perserikatan Bangsa-Bangsa, “FAQ - UNCITRAL and Private Disputes / Litigation”, United Nations Commission on International Trade Law, didapat dari http://www.uncitral .org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration_faq.html, diakses pada 30 Desember 2010, 23:35 WIB
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
BANI pada tahun 1977 dan penandatanganan UNCITRAL Arbitration Rules memang merupakan terobosan dalam sistem tata hukum arbitrase yang pertama di sistem tata hukum Indonesia, namun belum dapat mengakomodir pengaturan tentang arbitrase asing di Indonesia.
A.4. Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 sebagai Bentuk Ratifikasi Konvensi New York 1958 Indonesia kemudian mengambil langkah selanjutnya untuk memberikan suatu kontribusi bahwa hukum arbitrase Indonesia dapat diterima dalam lingkup hukum internasional dengan berpartisipasi menjadi Negara anggota Konvensi New York 1958 dengan meratifikasi Konvensi New York 1958 yang kemudian diterapkan dalam hukum nasional Indonesia melalui penerbitan Perpres 34/1981. Tineke Louise mengatakan bahwa terdapat beberapa alasan Indonesia meratifikasi Konvensi New York:17 1.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal. Pertama dalam tahun 1966 timbul suatu perubahan pokok dalam kebijaksanaan pemerintah RI dibidang keuangan dan ekonomi. Dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/1966/MPRS khususnya BAB VIII mengenai hubungan ekonomi, telah ditentukan bahwa karena kebutuhan perkembangan nasional maka penanaman modal asing perlu diikutsertakan. Perubahan padangan terhadap PMA antara lain disebabkan karena adanya suatu penelitian yang telah dilakukan oleh United Nation terhadap
Multinational
Corporation,
sehubungan
dengan
kekhawatiran yang dikemukakan oleh Negara-Negara tertentu terhadap peranan yang dimainkan oleh perusahaan demikian dalam masalah ekonomi dan politik Negara-Negara tertentu. Kesimpulan dari panitia ahli adalah bahwa perusahaan multinasional demikian dapat membawa kontribusi baik bagi perkembangan apabila 17
Tineke Louise, op.cit., hlm. 49-78
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
diawasi dengan tepat. Terlebih lagi Indonesia telah membangun kerjasama dengan Negara lain dalam bentuk investment protection agreement,
Investment
Guarantee
Agreements,
Economis
Cooperation Agreements yang merupakan perjanjian-perjanjian yang bertujuan memberikan perlindungan dan keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan yang telah diberikan oleh UU PMA. Dalam Investment Agreements tersebut diatur beberapa prinsip pokok yaitu: A most favourate nation clause dan National Treatment Clause. 2.
Dengan
ikut
sertanya
Indonesia
pada
Konfrensi
tentang
penyelesaian perselisihan antara Negara dan warga Negara asing mengenai penanaman modal asing, Undang-Undang No. 32 Tahun 1968. Dalam rangka untuk mendorong dan membina penanaman modal asing di Indonesia, pemerintah RI telah merasa perlu untuk turut menandatangani Konvensi Washington. Konvensi ini diprakarsai oleh International Bank For The Reconstruction and Development, karena Indonesia menjadi anggota pada Bank Dunia maka telah dipenuhi persyartan untuk ikut serta pada Konvensi Washington ini. Oleh karena itu, beberapa waktu setelah diundangkannya UU No. 1/1967 maka Indonesia turut serta dalam Konvensi Washington pada tanggal 16 Februari 1966 dan pada tanggal 29 Juni 1968 pemerintah
telah
menetapkan
Undang
–
Undang
tentang
Persetujuan atas konvensi tentang penyelesaian perselisihan anatara Negara dan warga Negara asing mengenai penanaman modal. 3.
Sebagai anggota PBB, Indonesia tidak hendak “terpencil” dari perkembangan dan pergaulan dunia Internasional.
4.
Karena
Negara-Negara
modern
(termasuk Negara-
Negara
ASEAN) juga sudah menjadi peserta Konvensi New York 1958 ini.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Sebagaimana
alasan-alasan
tersebut
diatas,
kesediaan
pemerintah
Indonesia untuk meratifikasi Konvensi New York yang dituangkan dalam Perpres 34/1981 merupakan suatu terobosan yang memberikan suatu universalitas hukum internasional
tentang
pengaturan
pengakuan
dan
pelaksanaan
arbitrase
internasional dalam teritori Negara Indonesia serta diharapkan bahwa ratifikasi Konvensi New York tersebut dapat mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau “joint venture” di Indonesia.18 Diratifikasinya Perpres 34/1981 dengan segala harapan-harapannya di satu sisi ternyata tidak mampu untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Hal ini dikarenakan, belum ada peraturan pelaksana (hukum acara) dibawah Perpres 34/1981 yang mengatur tentang prosedur dan tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim memberikan suatu pandangan mengapa peraturan pelaksana dari Konvensi New York tidak kunjung diterbitkan demi terlaksananya Perpres 34/1981. Mereka menyatakan bahwa, pada dasarnya, “berdasarkan Kepres 34/1981 tersebut, maka setiap keputusan arbitrase asing yang (i) dikeluarkan di Negara yang ikut meratifikasi New York Convention; (ii) Negara tersebut juga menerapkan asas resiprositas, dan (iii) dengan catatan bahwa keputusan arbitrase asing tersebut adalah bidang hukum dagang (commercial nature) serta (iv) tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public policy), maka keputusan arbitrase asing tersebut akan dapat dilaksanakan di Indonesia. Sebagian ahli berpendapat bahwa penerapan ketentuan New York Convention tidak membutuhkan peraturan pelaksanaan lebih lanjut, dikarenakan keputusan arbitrase asing yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebut dalam Keppres 34/1981 dapat dilaksanakan di Indonesia, mengingat Keppres tersebut
18
Bagian Penjelasan, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Penanaman Modal Antar Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968, LN Tahun 1968 Nomor 32, TLN Nomor 2852
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
merupakan wujud ratifikasi Indonesia dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.19 Dengan ketiadaan peraturan pelaksana untuk membimbing Pengadilan Indonesia untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing, memaksa Indonesia untuk tetap menggunakan BRV sebagai hukum acara yang mengatur prosedur dan tata cara terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing itu sendiri dengan memberikan kewenangan kepada juru pisah untuk memeriksa dan memutus suatu perkara sengketa perdagangan komersial internasional atas dasar pasal 377 HIR dan 705 RBG beserta perangkat-perangkat hukum arbitrase lainnya sebagaimana telah disebutkan diatas. Di satu sisi, hukum acara arbitrase yang diatur dalam BRV, dirasa tidak bersahabat terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia karena adanya peraturan yang mengatur bahwa pada dasarnya Indonesia tidak menerima putusan yurisdiksi Negara lain untuk dapat diterapkan pelaksanaannya di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya pengaturan dalam pasal 463 yang menyatakan bahwa: 20
“(1) Kecuali seperti ditentukan dalam pasal 724 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan lain-lain ketentuan perundang-undangan, keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan luar negeri, tidak dapat dieksekusi (dilaksanakan) di Indonesia; (2) Perkara-perkara sedemikian dapat diajukan lagi dan diputuskan di dalam badanbadan peradilan di Indonesia; (3) Berkenaan dengan pengecualian-pengecualian yang tercantum didalam ayat (1) di atas, maka keputusan-keputusan dari hakim luar negeri dapat dijalankan hanya setelah memperoleh suatu perintah fiat eksekusi (executoir) dalam bentuk seperti ditentukan dalam pasal 435 yang telah diperoleh oleh pihak pemenang dari Pengadilan Negeri di Indonesia yang berwenang di tempat dimana keputusan asing ini harus dilaksanakan;
19
Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, “Arbitrase di Indonesia Beberapa Contoh kasus dan Pelaksanaan dalam Praktik” dalam Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2: Arbitrase di Indonesia, hlm. 92-93
20
Pasal 436 BRV (Burgerlijke Reglement op de Rechtsvordering)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
(4) Untuk memperoleh perintah fiat eksekusi tersebut, tidak perlu untuk mengadili perkara yang bersangkutan sekali lagi.”
Keadaan mengenai tidak adanya suatu peraturan pelaksana dibawah Perpres 34/1981 sebagai peraturan yang mengatur ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan oleh badan arbitrase internasional telah membawa sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Noah Rubbins mengatakan bahwa, “Indonesia’s antiquated arbitration legislation led to decades of problems in enforcing foreign decisions. This legally is due chiefly to an article of the Dutch Civil Code stating that judgment of foreign court may not be recognize in local courts, in the absence of any express law on arbitration, Indonesian courts interpreted the Civil Code instruction as extending equally to foreign arbitral awards.”21
A.5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 Berdasar kepada kondisi sistem tata hukum Indonesia yang masih belum memiliki suatu peraturan pelaksana putusan arbitrase asing dan berdasar kepada fakta bahwa Indonesia telah melakukan penandatanganan UNCITRAL Arbitration Rules serta meratifikasi Konvensi Internasional yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (Konvensi New York), Pemerintah akhirnya menetapkan suatu peraturan perundangan baru tepat 9 (sembilan) tahun setelah peratifikasian Konvensi New York. Peraturan perundangan yang diterbitkan pada tanggal 1 Maret 1990 tersebut merupakan peraturan pelaksana yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibawah kuasa kehakiman tertinggi di Indonesia yaitu Perma 1/1990 (Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing). Perma ini merupakan jawaban dan partisipasi terhadap tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing, mengingat bahwa secara factual, 21
Noah Rubbins, “The Enforcement and Annulment of International Arbitration Awards in Indonesia”, AM. U. INT’LL L. Rev., 2005, hlm. 366
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
meskipun Pemerintah RI berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 telah mensahkan dan menggabungkan diri ke dalam Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (“Konvensi Washington”), ternyata eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia tetap mengalami kegagalan. Selain dari itu, dalam Perpres 34/1981, Pemerintah RI telah mensahkan dan bergabung kedalam Konvensi New York 1958 dimana pengesahana tersebut secara de facto dan de yure telah menempatkan Indonesia sebagai Negara yang terikat dan harus patuh serta rela “mengakui” dan melaksanakan eksekusi setiap putusan arbitrase asing, namun, kenyataan masih tetap berbicara lain, setiap permintaan eksekusi putusan arbitrase asing selalu kandas didepan Pengadilan. Langkah tersebut tetap tidak mengubah sikap Pengadilan untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Alasan pokok Pengadilan menolak pengakuan dan pelaksanaan eksekusi tersebut adalah karena adanya pertimbangan penolakan eksekusi yang dicantumkan dalam putusan tersebut yang berisi, “Meskipun sudah ada Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, putusan arbitrase asing tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Indonesia, kalau belum ada peraturan pelaksananya.” Jadi menurut Mahkamah Agung, walaupun Indonesia telah mensahkan dan bergabung dengan Konvensi New York 1958, tidak otomatis putusan-putusan arbitrase asing dapat dieksekusi semata-mata atas kekuatan Keppres 34/1981.22 Perma ini sangatlah sederhana karena hanya terdiri dari 9 (Sembilan) pasal yang dibagi dalam 6 (enam) Bab. Adapun sistematika dari Perma ini adalah: 23
1.
Umum (Pasal 1 – 3);
2.
Exequatur (Pasal 4);
22
Mahkamah Agung, Putusan Nomor 2944 K/Pdt/1983, 29-11-1984, Putusan ini dimuat sebagai lampiran V dalam buku Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 108; M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 58-59
23
Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Peraturan Nomor 1 Tahun 1990
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
3.
Tata Cara Permohonan untuk memperoleh Exequatur (Pasal 5);
4.
Tata Cara Sita dan Pelaksanaan Putusan (Pasal 6);
5.
Tentang Biaya (Pasal 7);
6.
Bab VI (diatur kemudian).
Sehubungan dengan ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1958, Perma ini telah mengakomodir ketentuan-ketentuan beserta asas-asasnya, antara lain:24 1.
Asas Executorial Kracht Asas ini diatur dalam Pasal 2 Perma, dimana menurut Pasal ini, putusan arbitrase asing disamakan dengan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sebagaimana kita ketahui bahwa, menurut Konvensi New York 1958, putusan arbitrase asing adalah final dan mengikat, maka dengan disamakannya putusan arbitrase asing sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan sendirinya dalam putusan tersebut telah terkandung “kekuatan eksekusi” atau executorial karcht”. Dengan kata lain, setiap putusan arbitrase asing yang diajukan permohonan eksekusinya di Indonesia; (a) harus diakui keabsahannya dan (b) harus dijalankan eksekusinya (enforcement). Sebenarnya, tentang pengertian putusan arbitrase asing yang dirumuskan dalam pasal 2 Perma, mengacu kepada rumusan Pasal 1 ayat 1 Konvensi New York 1958. Hal itu adalah wajar, dikarenakan sumber rujukan utama penjabaran Perma adalah Keppres
34/1981;
sedangkan
Keppres
tersebut
tiada
lain
merupakan “pengesahan” atas Konvensi New York 1958. Oleh karena
itu,
setiap
rumusan
Perma,
harus
mengacu
menyesuaikan diri dengan Pasal-Pasal Konvensi tersebut. 2.
24
Asas Resiprositas
M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 62-67
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
dan
Asas resiprositas (reciprocity) merupakan asas fundamentum dalam Konvensi New York 1958. Asas ini diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Konvensi yang menentukan bahwa setiap Negara anggota peserta Konvensi berhak “menyatakan” atau mengumumkan pada waktu ratifikasi bahwa pengakuan dan pengeksekusian putusan arbitrase asing didasarkan atas asas resiprositas di antara sesama Negara peserta Konvensi (any state may on the basis of reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State). Asas resiprositas yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Konvensi New York
1958,
nampaknya
diambil
sepenuhnya
oleh
Perma,
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi: 25
“suatu putusan arbitrase asing di wilayah hukum Republik Indonesia dapat diakui dan dilaksanakan apabila:26 Putusan ini dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun perorangan di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan Negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta Pelaksanaan Arbitrase Asing. Pelaksanaan didasarkan atas azas timbal balik (resiprositas).”
Memperhatikan penegasan asas resiprositas, Perma menuntut adanya saling hormat menghormati dan saling menghargai antara Negara yang satu dengan Negara yang lainnya dalam pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Pasal 3 ayat 1 25
Pasal 3 ayat 1, Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Peraturan Nomor 1 Tahun 1990
26
Pasal 3, Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Peraturan Nomor 1 Tahun 1990
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Perma merupakan penegasan tentang kerelaan dan kesediaan Indonesia mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase yang harus bersifat “timbal balik” oleh Negara lain, agar asas kederajatan yang timbal balik dapat dituntut dalam pergaulan internasional atas suatu masalah hukum yang terbina dari suatu hubungan ikatan bilateral atau multilateral. 3.
Asas Pembatasan Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 Perma yang mengatur bahwa,27 “Putusan-putusan Arbitrase tersebut dalam ayat (1) di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang,” menunjukkan adanya pembatasan berlakunya pengakuan dan pelaksanaan putusan-putusan yang menurut hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang. Kesediaan badan Peradilan Indonesia mengakui serta mengeksekusi putusan arbitrase asing, tidak boleh menyimpang dari putusan yang menyangkut perselisihan dalam bidang Hukum Dagang. Asas pembatasan yang diatur dalam Pasal tersebut sejalan dengan lampiran Keppres No. 34 Tahun 1981, yang menegaskan “and that it will apply the Convention only to the differences ariseing out of legal relationship, whether contractual or not, which are considered as commercial under Indonesian Law…” Sedang yang dinyatakan dalam Lampiran Keppres tersebut merujuk kepada diperbolehkannya pembatasan yang disebut dalam Pasal 1 ayat 3 Konvensi New York 1958. Dalam kalimat terakhir pasal ini, diatur suatu ketentuan yang memberi hak kepada setiap Contracting State untuk membatasi pengakuan serta pengeksekusian putusan arbitrase asing terbatas pada bidang Hukum Dagang (some states have ratified or acceded subject to reservation, natabily specifying
27
Pasal 3 ayat 2, Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Peraturan Nomor 1 Tahun 1990
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
that the Convention’s application is subject to reciprocity or that is limited to business and commercial transaction. 4.
Asas Ketertiban Umum Asas lain yang menjadi fundamentum pengakuan serta pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing adalah “ketertiban umum” atau “public policy”. Asas ini diatur dalam Pasal 3 ayat 3 Perma yang berbunyi,28 “Putusan-putusan Arbitrase Asing tersebut dalam ayat (1) di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.” Disitu ditegaskan bahwa putusan-putusan arbitrase asing yang diakui serta yang dapat dieksekusi di Indonesia hanya terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan “ketertiban umum.” Asas ketertiban umum juga merupakan asas fundamentum dalam Konvensi New York 1958, dimana asas tersebut ditegaskan dalam Pasal V ayat 2 huruf b yang berbunyi,29 “the recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country”. Oleh karena ketertiban umum dipandang sebagai salah satu asas dalam Konvensi, memberi kewenangan bagi Negara yang diminta eksekusi, untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan apabila putusan bertentangan dengan kepentingan umum Negara yang bersangkutan.
Berdasarkan kepada asas-asas tersebut diatas, sebenarnya Perma 1/1990 tersebut memberikan suatu pengaturan secara lebih rinci tentang arbitrase serta telah mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional 28
Pasal 3 ayat 3, Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Peraturan Nomor 1 Tahun 1990
29
Pasal V ayat 2 (b), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention)
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958 dengan memberikan pengaturan terhadap prosedur dan tata cara (hukum acara) pelaksanaan putusan arbitrase asing dibandingkan dengan hukum acara perdata yang diatur dibawah BRV, akan tetapi, belumlah menggantikan adanya peraturan hukum acara perdata dibawah BRV. Dengan kata lain, Indonesia memiliki perangkat hukum acara arbitrase yang tumpang tindih dalam sistem hukum Negaranya. Bentroknya hukum acara dalam Perma ini dan BRV dapat dilihat dari adanya catatan akan permohonan putusan arbitrase yang terjadi pada kisaran tahun 1990-1998, dimana diantara selang waktu tersebut, terdapat 16 (enam belas) pendaftaran pelaksanaan putusan arbitrase asing yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendaftaran ini akan tetapi, tercatat 8 (delapan) permohonan pelaksanaan diberikan exequatur, dua aplikasi ditolak, dua permohonan dicabut, serta status lainnya tidak diketahui.30 Permasalahan ini belumlah selesai hingga Indonesia menerbitkan suatu peraturan perundang-undangan baru yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui arbitrase asing yang secara lebih spesifik untuk memberikan jaminan transparansi serta kepastian dan perlindungan hukum kepada para pelaku usaha penanaman modal maupun international business and commercial trade dengan mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing pada tahun 1999 sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958 yang diratifikasi oleh Indonesia.
B.
Sikap Pengadilan Indonesia terhadap Putusan Arbitrase Asing sebelum diundangkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam penanaman modal (investment), transaksi bisnis internasional
(international business transaction) ataupun transaksi dagang internasional (international commercial trading), terdapat kemungkinan timbul sengketa antara partner asing dengan partner domestik dalam kerjasama (joint operation) mereka atau perusahaan joint venture maupun antara investor asing dengan pemerintah 30
Tony Budidjaja, op.cit., hlm. 2
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
lokal. Hampir secara pasti dapat dikatakan perjanjian joint venture sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya sengketa antara para pihak.31 Robert Briner mengatakan bahwa, “International commercial arbitration is the servant of international business and Trade.”32 Arbitrase memang dipilih oleh para pihak-pihak pelaku usaha yang bersengketa dalam penanaman modal dan International Commercial Trade untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam hal kesalahpahaman penafsiran dan penerapan perjanjian, perselisihan kepentingan dan pendapat dalam kesepakatan perjanjian, pengingkaran pelaksanaan kewajiban perjanjian, ataupun karena adanya kerugian dalam pelaksanaan perjanjian yang pada dasarnya isinya telah disepakati oleh mereka. Pada kenyataannya, arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang sejak awal telah dipilih dan ditentukan dalam perjanjian para pelaku usaha karena pertimbangan keuntungan-keuntungan yang diberikan bagi para pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa investasi, transaksi bisnis dan dagang internasional mereka, juga memiliki kekurangan. Letak kekurangan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang murah, cepat, rahasia, efektif serta sifat putusannya yang bersifat final dan mengikat, adalah pada tidak mudahnya memberikan efek in force kepada pelaksanaan putusan arbitrase yang kemudian menimbulkan esensi efektifitas kewajiban hukum kepada para pihaknya. Tony Budidjaja mengatakan bahwa,33 “Most arbitral awards are considered final and binding on the parties, and having received an award made in its favor, the successful party in arbitration can expect one of three things to happen: 31
Ridwan Khairandy, op.cit., hlm. 192
32
Robert Briner, op.cit., hlm. 14
33
Tony Budidjaja, loc.cit.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
(a)
The other party to the arbitration honors the award by (1)
Voluntarily paying to the successful party the amounts awarded to it; or
(2)
Accepting any declarations made in the award and acting (or, as the case may be, desisting from a particular course of conduct) in accordance with them; or
(b)
The other party fails to honor the award but takes no active steps to resists the award; or
(c)
The other party actively resists the award.
Sebagaimana pernyataan tersebut diatas, pada kenyataannya putusan arbitrase hanya “dianggap” final dan mengikat kepada para pihak pelaku usaha yang bersengketa dimana pelaksanaannya tersebut pun hanya berbentuk tanggung jawab moral apabila tidak dimintakan penetapan kepada jurisdiksi pengadilan atau forum lain yang memiliki kewenangan yang sama dibawah hukum internasional. William W. Park menambahkan bahwa,34 “The New York Convention operates on two levels to promote the international currency of commitments to arbitrate. First, the Convention requires deference to valid arbitration agreements. Second, courts must enforce foreign awards34 as they would domestic onesRecognition of awards, however, is subject to several defenses. One group furthers the loser's right to a fair arbitration, by allowing courts to reject awards tainted with excess of authority and procedural irregularity. Another set of defenses protects the forum's own interest in withholding support for awards that deal with nonarbitrable subjects or violate public. The effectiveness of the Convention largely depends on each country's national arbitration law.” Pada dasarnya, pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing memang memberikan dua pilihan yaitu dilaksanakannya putusan tersebut secara sukarela (tanggung jawab moral) atau membutuhkan penetapan pelaksanaan oleh Pengadilan agar putusan tersebut dapat berlaku secara efektif dan kemudian menimbulkan tanggung jawab secara hukum. Dalam prakteknya akan tetapi, para 34
William W. Park, “Duty and Discretion in International Arbitration”, The American Journal of International Law, Vol. 93, No. 4 (Oct., 1999), hlm. 809-810
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
pihak yang bersengketa membutuhkan suatu penetapan jurisdiksi pengadilan atau forum lain yang memiliki kewenangan yang sama dibawah hukum internasional, karena rata-rata pihak yang dirugikan dalam putusan arbitrase akan terus mencari cara untuk mengesampingkan tanggung jawabnya dalam beberapa jurisdiksi pengadilan di Negara-negara untuk melepaskan tanggung jawab hukumnya dibawah putusan arbitrase.35 Huala Adolf menambahkan, meski arbitrase menyandang berbagai keuntungan, namun pada prakteknya pun ternyata memiliki kelemahankelemahan, antara lain:36 1.
Untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah, dalam hal ini, kedua belah pihak yang bersengketa harus memiliki kesepakatan dalam perjanjian mereka terlebih dahulu, termasuk pada pemilihan forum arbitrase asing yang tidak mudah.
2.
Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase dalam teritori Negara lain masih merupakan permasalahan yang sulit.
3.
Sebagaimana
diketahui
bahwa
arbitrase
menganut
sistem
nonpreseden atau keterikatan kepada putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Dimana, dengan tidak adanya preseden tersebut, sangatlah dimungkinkan adanya keputusan yang saling berlawanan (conflicting decision), dan berujung kepada fleksibilitas dalam pengambilan keputusan sulit dicapai.
Pelaksanaan putusan arbitrase, khususnya arbitrase asing pada dasarnya tidaklah mudah.37 Sulitnya melaksanakan suatu putusan arbitrase dalam teritori Negara dimana putusan tersebut akan dilaksanakan dikarenakan terdapat 35
Alan Redfern dan Martin Hunter mengatakan,”finally, the losing party may resist any attempt by the winning party to obtain recognition or enforcement of the award, in whatever jurisdiction this is sought, sebagaimana tertulis dalam Alan Redfern, op.cit., hlm. 444
36
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, op.cit., hlm. 16-17
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
perbedaan pengaturan dan penerapan hukum nasional terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dalam tiap-tiap sistem hukum nasional Negaranegara di dunia, berbedanya pengaturan hukum dagangnya,38 kemampuan dan keahlian hakim yang berbeda-beda dalam menafsirkan putusan arbitrase, dapat atau tidaknya sistem hukum positif negara tempat dimana putusan arbitrase tersebut akan dilaksanakan mengakomodir putusan arbitrase tersebut merupakan beberapa alasan sulitnya pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam teritori suatu Negara. Dapat atau tidaknya putusan arbitrase dilaksanakan dalam teritori suatu Negara serta mengakomodir atau tidaknya ketentuan-ketentuan hukum arbitrase nasional Negara terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, dapatlah dilihat dalam sejarah hukum arbitrase sebagai hukum penyelesaian sengketa penanaman modal atau international commercial trade dalam Negara tersebut. Sehubungan dengan sejarah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia adalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sejarah hukum arbitrase di Indonesia sangatlah unik, dimana, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang arbitrase, baik secara langsung ataupun tidak langsung tapi dihubung-hubungkan yang hanya mengisi suatu pengaturan arbitrase dalam lingkup tata hukum nasional dan tidak secara internasional. Turut sertanya Indonesia dalam beberapa Konvensi internasional seperti Konvensi mengenai penyelesaian sengketa arbitrase antara Negara dan subjek nasional Negara lain (Konvensi Washington) dan Konvensi yang mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing secara spesifik masih belum dapat menerima putusan arbitrase asing untuk dilaksanakan dalam sistem tata hukum nasional serta wilayah Negara Indonesia. 37
Rene David mengatakan bahwa, “it is not always easy to draw the line between arbitration and justice by the state,” sebagaimana tertulis dalam Rene David, op.cit., hlm. 8
38
Eric A. Posner mengatakan bahwa, “a judicial system that enforces contracts idiosyncratically would probably not respect a choice of law term. This problem is the result of the diversity of commercial law regimes among states, and the diversity of their judicial systems,” sebagaimana tertulis dalam Eric A. Posner, “Arbitration and the Harmonization of International Commercial Law: A Defense of Mitsubishi”, 39 Va. J. Int'l L. 647, Virginia Journal of International Law Association, Spring, 1999, hlm. 648
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Adapun pernyataan Mahkamah Agung yang menentukan bahwa, “Meskipun sudah ada Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, putusan arbitrase asing tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Indonesia, kalau belum ada peraturan pelaksananya,” menunjukkan sikap pengadilan Indonesia kurang dapat menerima pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Diundangkannya peraturan pelaksana (Keppres 34/1981 dan Perma 1/1990) yang membawahi ketentuan Konvensi New York 1958 pun ternyata hanya menyebabkan tumpang tindihnya hukum acara pengakuan dan pelaksanaan arbitrase di Indonesia, karena peraturan pelaksana tersebut tidak menggantikan suatu ketentuan hukum acara yang telah diatur sebelumnya (Pasal 436 BRV) yang mengatur bahwa keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan luar negeri, tidak dapat dieksekusi (dilaksanakan) di Indonesia. Hal ini sangatlah menghambat pelaksanaan ketentuan Konvensi New York dalam tata hukum Indonesia tentang arbitrase. Rumitnya pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia dibuktikan dengan adanya beberapa contoh perkara yang membuktikan bahwa sistem hukum Indonesia tidak bersahabat dengan putusan arbitrase internasional yang diputuskan oleh badan arbitrase internasional yang terletak dalam teritori Negara anggota Konvensi New York. Kasus-kasus tersebut antara lain:
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
B.1. Trading Corporation of Pakistan Limited v. PT Bakrie Brothers Perkara ini terjadi pada tahun 1981, dimana sebuah putusan arbitrase internasional dari badan arbitrase Inggris dimintakan pelaksanaan eksekusinya di Indonesia oleh pihak yang bersengketa. Perkara ini adalah perkara antara Trading Corporation of Pakistan Limited v. PT Bakrie and Brothers,39 dimana, kedua belah pihak bersengketa dan Pakistan Trading Company Ltd. mengajukan masalahnya kepada badan arbitrase Inggris (Federation of Oils, Seed and Fats Association Ltd.) dengan dasar Bakrie Brothers tidak mengikuti isi kontrak dan tidak membayar ganti rugi. Badan Arbirase tersebut melalui putusan nomor 2282 tanggal 8 September 1981 membebani pihak Bakrie Brothers untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 98510,74. Pakistan Trading Company Ltd. telah memohon Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melaksanakan putusan arbitrase London tersebut, dengan dasar (1) Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 (Keppres 34/1981); (2) bahwa, Keppres 34/1981 berlaku secara resiprositas antara negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi New York dan Inggris adalah salah satu anggota Konvensi New York. Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
dalam
putusannya
Nomor
64/Pdt/G/1984/PN.JKT.SEL menolak permohonan Pakistan Trading Company Ltd. PN mengatakan bahwa putusan arbitrase tersebut tidak berkekuatan hukum sehingga tidak dapat dilaksanakan karena dalam pertimbangannya, putusan arbitrase tersebut tidaklah sah karena putusan tersebut dibuat di Inggris, sedangkan menurut asas resiprositas yang tercantum dalam Keppres 34/1981, Inggris tidak berhak untuk memutus perkara arbitrase ini sebab Negara yang saling berhubungan (contracting states) adalah Indonesia dan Pakistan, bukan Indonesia dan Inggris. Pertimbangan lainnya adalah bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan prosedur pengambilan putusan oleh badan arbitrase dimana pihak Bakrie Brothers tidak diberikan kesempatan untuk membela diri sebagaimana diatur dalam Pasal V (3) Konvensi New York. Atas perkara ini, Pakistan Trading Company Ltd., mengajukan upaya hukum hingga kasasi, dimana 39
Erman Rajagukguk, “Implementation of The 1958 New York Convention in Several Asian Countries…”, op.cit., hlm. 6-7
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
permohonan kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung, karena menurut Mahkamah Agung keputusan Judex Facti tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 10 (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal 636 RV, 637 RV, 639RV, 642 RV.
B.2. Navigation Maritime Bulgare v. PT Nizwar Perkara ini telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2944K/PDT/1983 tertanggal 29 November 1984 dalam sengketa
antara
Navigation
Maritime
Bulgare
sebuah
perusaaan
yang
berkedudukan di Bulgaria melawan PT. Nizwar.40 Kasus ini bermula dari Navigation Maritime Bulgare mengajukan permohonan fiat eksekusi (eksekutor) kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas putusan arbitrase di London yang telah menghukum PT Nizwar untuk membayar klaim sejumlah US$ 72.756,39 ditambah dengan bunga 7.5% per tahun, dihitung sejak1 Januari 1975 sampai dengan keputusan arbitrase dilaksanakan untuk kepentingan dan keuntungan Navigation Maritime Bulgare, dimana Mahkamah Agung Indonesia kembali memberikan putusan bahwa putusan arbitrase asing tetap tidak dapat dilaksanakan di Indonesia karena Pemerintah Indonesia tidak berhasil dalam menerbitkan peraturan pelaksana yang memberikan kewenangan pada Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing di Indonesia, seperti yang diamanatkan oleh Konvensi New York 1958. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut: a.
Sesuai dengan yurisprudensi di Indonesia, putusan pengadilan asing dan putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, kecuali antara Republik Indonesia dan Negara asing yang bersangkutan diadakan perjanjian tentang pelaksanaan putusan pengadilan asing/putusan arbitrase asing.
40
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 2944K/Pdt/1983 tentang perkara antara PT Nizwar dan Navigation Maritime Bulgare, Tanggal 20 Agustus 1984, didapat dari http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/, diakses pada 16 Desember 2010, 13:00 WIB
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
b.
Republik Indonesia tidak mutlak terikat pada perjanjian-perjanjian internasional yang diadakan oleh Pemerintah Belanda pada masa penjajahan.
c.
Sehubungan
dengan
Keppres
34/1981
tentang
pengesahan
Convention on the Recognition of Foreign Arbitral Awards, sesuai dengan praktek hukum yang berlaku masih harus ada peraturan pelaksanannya, yaitu untuk menetapkan apakah permohonan putusan arbitrase asing dapat diajukan langsung pada pengadilan negeri, jika dapat, maka pengadilan negeri yang mana ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.”
B.3. E.D. Dan F.MAN (SUGAR) Ltd. v. Yani Harianto Perkara ini merupakan kasus pertama bagi Indonesia yang menolak pelaksanaan keputusan arbitrase asing berdasarkan ketertiban umum.41 Putusan kasus ini, mengakibatkan penetapan Mahkamah Agung RI tanggal 1 Maret 1991 mengenai dikabulkannya permohonan exequatur putusan arbitrase London 1989 menjadi irrelevant untuk dilaksanakan. Pokok sengketa dari perkara ini adalah perkara jual beli gula. Putusan Mahkamah Agung mengatakan bahwa Pengusaha Indonesia (Yani Harianto) tidak berwenang untuk mengadakan perjanjian jual beli gula karena berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1971 tertanggal 14 Juli 1971 yang mengatur bahwa impor gula hanya boleh dilakukan oleh Badan Usaha Logistik Negara (Bulog). Mahkamah Agung mengatakan bahwa jual beli gula tersebut adalah batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan yang ada. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang adanya klausula halal dalam suatu perjanjian yang dibentuk oleh para pihak pelaku usaha dimana isi atau ketentuan dari perjanjian yang mengikat mereka tidaklah 41
Winata E. Kusnandar, “Meninjau Mekanisme Arbitrase di Dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999”, dalam Arbitrase Dan Mediasi, Jakarta, 08 & 09 Oktober 2002, hlm.79-82
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
bertentangan dengan peraturan yang ada dan berlaku (hukum positif) di Indonesia. Adanya pengaturan jual beli gula melalui Keppres yang menyatakan bahwa, jual beli gula hanya boleh dilakukan oleh Bulog, menandakan bahwa pihak individu maupun perusahaan diluar bulog tidak dapat melakukan transaksi jual beli gula karena akan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Eksistensi dari perjanjian tersebut oleh karena itu, dapatlah dibatalkan karena tidak sesuai dengan ketertiban umum hukum nasional Indonesia.
B.4. PT Batu Mulia Utama v. Sainrapt et Brice Societe Auxiliarre d’ Enterprises Societe Routiere Colas (“SSC”) Perkara ini bermula dari adanya perjanjian kerja sama antara PT Batu Mulia dengan SSC. Dalam perjanjian tersebut, ada 2 (dua) pasal yang berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa.42
Pasal XXIII menyatakan sebagai berikut: “All disputes arising in connection with this Agreement shall be finally settled under the Rules of Concilliation and Arbitration of International Chamber of Commerce (“ICC”) by one or more arbitrators appointed in accordance with the said rules. The arbitration shall be held in Jakarta, Indonesia.”
Pasal XVIII menyatakan sebagai berikut: “This Agreement shall be governed by the laws of the Republic of Indonesia. For the implementation and consequences of this Agreement all parties choose the permanent and irrevocable domicile ath the office of the Registrar of the District Court of in Jakarta.”
PT Batu Mulia Utama dengan mendasarkan diri pada ketentuan Pasal XVIII juncto Pasal XXIII menggugat pihak SSC di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta penetapan agar penyelesaian sengketa ini diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”). Gugatan ini dinyatakan tidak dapat diterima. Di tingkat banding, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
42
Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, op.cit., hlm. 94-95
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
tersebut dibatalkan. Gugatan PT Batu Mulia Utama dikabulkan sebagian dan kemudian diperintahkan agar sengketa ini diselesaikan melalui BANI. Pihak SSC mengajukan kasasi, putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dibatalkan dan dengan mengadili sendiri, gugatan semula dari PT Batu Mulia Utama ditolak oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berpendapat bahwa pilihan hukum dan pilihan domisili sebagaimana terdapat dalam Pasal XVIII tidak mempengaruhi berlakunya Pasal XXIII. Meskipun dipilih hukum Indonesia dan pilihan domisili adalah di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta, hal ini tidak menjadikan bahwa penyelesaian atas sengketa yang timbul harus diselesaikan melalui BANI. Para pihak dengan tegas telah menentukan ICC sebagai badan arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul berdasarkan perjanjian itu. Arbitrase dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ICC dari Paris, tetapi tempat arbitrase di Jakarta, dan tidak harus BANI, oleh karena para pihak tidak memilih peraturan arbitrase BANI sebagai yang berlaku. Kesimpulan dari keputusan ini adalah adanya dua hal pokok yaitu, pertama, dimungkinkan adanya klausul arbitrase yang menentukan dipakainya peraturan suatu badan arbitrase internasional (dalam hal ini ICC Rules) walaupun kedua, arbitrase itu diadakan di Jakarta serta telah dipilih hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku. Dari permasalahan tersebut beserta keempat contoh kasus diatas, dapatlah dilihat bahwa memang peraturan perundang-undangan Indonesia tentang arbitrase sangatlah tidak bersahabat dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di dalam teritorinya. Kehadiran peraturan-peraturan tersebut diatas hingga diterbitkannya Perpres yang meratifikasi sebuah Konvensi Internasional tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing diharapkan mampu berkolaborasi dan saling mendukung sehingga menciptakan keharmonisan dan sikronisasi peraturan mengenai arbitrase, dan tentunya hal ini akan membawa kepada suatu kepastian dan perlindungan hukum di bidang penyelesaian sengketa. Pada kenyataannya, banyaknya peraturan-peraturan yang mengatur tentang arbitrase tersebut menimbulkan adanya suatu keadaan tumpang tindihnya peraturan yang mengakibatkan ketidakpastian hukum terhadap suatu putusan arbitrase asing untuk dapat dilaksanakan di Indonesia serta menimbulkan
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
ketiadaan perlindungan hukum bagi pihak-pihak pelaku usaha investasi serta transaksi bisnis dan perdagangan internasional yang bersengketa. Terlebih lagi ketika suatu hukum baru yang diciptakan masih berkolaborasi dengan ketentuan peraturan-peraturan yang ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi dan perkembangan dunia bisnis dan perdagangan Internasional serta investasi.
C.
Diterbitkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta ruang lingkupnya terhadap Putusan Arbitrase Asing Melihat kepada perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas
di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam reglemen acara perdata BRV yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam hukum acara perdata BRV. Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap hukum acara perdata BRV baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan. Pengaturan secara formal mengenai penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase baru ada setelah 54 tahun Indonesia mendeka, yaitu dengan diterbitkannya Undang Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU 30/1999) pada tanggal 12 Agustus 1999. Adapun pertimbangan diundangkannya Undang-undang ini adalah:43 1.
Penyelesaian
sengketa
perdata
(termasuk
juga
sengketa
perdagangan) disamping dapat diajukan ke peradilan umum, juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan arternatif penyelesaian sengketa.
43
Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
2.
Perundang – undangan yang kini berlaku untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya. Perundangundangan yang dimaksud adalah hukum acara arbitrase yang berpedoman pada ketentuan – ketentuan Pasal 615 – 651 BRV.
Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Sehubungan dengan penerbitan UU 30/1999, Noah Rubbins memberikan pernyataan bahwa,44 “Law No. 30 of 1999 offered predictability and harmonization with global standards which could have helped draw indispensable foreign capital back to the country after the 1997-1998 financial crisis and it have hobbled the development of clear and predictable rules concerning enforcement of foreign awards in Indonesia.” Dia menambahkan bahwa,45 “the Indonesian legislature designed this new law to repair the former system’s ambiguities, particularly in connection with the enforcement of foreign arbitral awards, and this new law adopts the UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration.” UU ini mengatur suatu hubungan hukum antara pihak-pihak yang terlibat dalam hal perjanjian dagang internasional yang telah mengatur tentang klausula arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa sebagai suatu forum untuk
44
Noah Rubbins, op.cit., hlm. 362-364
45
ibid, hlm. 369-370
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
menyelesaikan sengketa yang muncul dalam perjanjian mereka. Pasal 2 UU 30/1999 mengatur ketentuan tersebut dengan isi pasalnya bahwa:46
“Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.”
UU 30/1999 yang terdiri dari 82 Pasal, telah mengatur hal - hal terkait dengan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dengan berusaha mengatur seluruh aspek baik hukum acara maupun substansinya, serta ruang lingkupnya yang meliputi aspek arbitrase nasional dan internasional. Ketentuan tersebut terdiri dari XI Bab yang mengatur: 1.
Bab I – Ketentuan Umum (Pasal 1 – 5). Bab ini mengatur tentang ketentuan secara umum dari arbitrase seperti definisi umum, kewenangan Pengadilan Negeri terhadap mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase, serta ketentuan yang melarang wanita sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 617 ayat (2) hukum acara perdata sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini, dan tidak dapat dipertahankan lagi dalam iklim kemerdekaan ini, yang sepenuhnya mengakui persamaan hak wanita dengan hak pria.
2.
Bab II – Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 6). Dalam Bab II diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
46
Pasal 2, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. 3.
Bab III – Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter, Dan Hak Ingkar (Pasal 7 – 26). Bab III memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan yang harus dipenuhi untuk arbitrase, syarat pengangkatan arbiter serta mengatur mengenai hak ingkar dari para pihak yang bersengketa.
4.
Bab IV – Acara yang Berlaku Dihadapan Majelis Arbitrase (Pasal 27 – 51). Dalam bab ini, diatur tata cara untuk beracara di hadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya termasuk menetapkan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang yang sudah rusak serta mendengarkan keterangan saksi dan saksi ahli.
5.
Bab V – Pendapat dan Putusan Arbitrase (Pasal 52 – 58). Berisikan penentuan syarat lain yang berlaku mengenai putusan arbitrase, kemudian diatur pula kemungkinan terjadi suatu persengketaan mengenai wewenang arbiter, pelaksanaan putusan arbitrase
nasional
maupun
internasional
dan
penolakan
permohonan perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir, dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali. 6.
Bab VI – Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal 59 – 69).
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka Undangundang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional. Bab VI UU ini, menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang-undang ini dapat dioperasionalkan
sampai
pelaksanaan
putusan,
baik
yang
menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan. 7.
Bab VII – Pembatalan Putusan Arbitrase (Pasal 71 – 72). Salah satu ketentuan yang diatur dalam pasal ini adalah adanya permohonan pembatalan putusan arbitrase, diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
8.
Bab VIII – Berakhirnya Tugas Arbiter (Pasal 73 – 75). Bab ini mengatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.
9.
Bab IX – Biaya Arbitrase (Pasal 76 – 77). Pasal 76-77 hanya mengatur tentang biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter.
10.
Bab X – Ketentuan Peralihan (Pasal 78 – 80). Ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diperiksakan dan diproses.
11.
Bab XI – Penutup (Pasal 81 – 82) Bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 hukum acara perdata BRV dan Pasal 377
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
hukum Indonesia Yang Diperbaharui HIR dan Pasal 705 Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura, RBG, dinyatakan tidak berlaku.
UU 30/1999 dapat dikategorikan sebagai peraturan pelaksana dari diratifikasinya Konvensi New York dan Konvensi Washington yang lebih rinci dibanding dengan hukum acara arbitrase sebelumnya yang diatur dibawah BRV. Hal ini dapat dilihat dari bab-bab tersebut diatas serta dengan adanya bab khusus yang mengatur tentang pelaksanaan putusan arbitrase asing pada Bab VI. Pasal 1(9), Pasal 62 dan Pasal 66 ayat 1 UU 30/1999 memberikan paparan lebih jelas tentang ketentuan yang telah mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing oleh badan arbitrase internasional yang telah sesuai dengan kedua Konvensi tersebut, khususnya Konvensi New York. Ketentuan ketiga Pasal tersebut berbunyi:47
Pasal 1 (9): Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
Pasal 60: “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.”
Pasal 66 (1): “Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; (b) Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
47
Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan”
Melihat dari ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah menerima adanya pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di wilayahnya melalui adanya suatu keterikatan dalam perjanjian baik secara bilateral maupun multilateral, sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1958 yang merupakan hukum multilateral yang khusus mengatur tentang arbitrase, dimana, Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York dalam hukum nasionalnya. Adanya prosedur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dalam teritori Indonesia diatur oleh UU 30/1999 dalam pasal 67 yang mengatur bahwa:48 “(1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan: a. Lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.”
Bab VI UU 30/1999 juga memberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan serta memberikan kewenangan untuk menentukan serta memberikan eksekuatur 48
Pasal 67, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia.49 Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:50 a.
Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
b.
Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c.
Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d.
Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e.
Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Untuk suatu putusan arbitrase dapat dilakukan dalam teritori Negara Indonesia harus sesuai dengan ketertiban umum Negara Indonesia sebagaimana 49
Pasal 65 dan 66 (e), Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
50
Pasal 66, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
patokan tentang ketertiban umum tersebut ditentukan berdasarkan suatu pembatasan bahwa putusan arbitrase asing tersebut tidak secara nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia.51 Secara a contrario Putusan Arbitrase Internasional yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud tidak dapat dilaksanakan. Di samping itu, berdasarkan doktrin ada kemungkinan bagi para pihak untuk menolak keputusan tersebut didasarkan pada doktrin pembatalan (nullity doctrine). Alasan-alasan yang dapat diajukan antara lain yaitu:52 1)
Bila Mahkamah Arbitrase tidak mempunyai kewenangan dimana instrumen akan melaksanakan tugasnya tidak sah, atau belum mempunyai kekuatan berlaku/telah direalisir.
2)
Jika arbiter yang dipilih telah melebihi wewenang yang diberikan para pihak dan gagal dalam menerapkan instruksi yang diberikan para pihak kepadanya, dalam kaitannya dengan hukum yang harus diterapkan/diminta untuk memilih alternatif yang harus diputuskan sendiri.
3)
Bila mahkamah melebihi aturan dasar prosedur hukum dalam memutuskan perkara.
4)
Prinsip bahwa kepada kedua belah pihak harus diberikan kesempatan
yang
sama
untuk
mempresentasikan
kasusnya
mengenai masalah yang mendasar. 5)
Gagal untuk memberikan alasan suatu keputusan dapat dijadikan dasar untuk menolak keputusan arbitrase. Alasan suatu keputusan sangat penting bagi para pihak karena para pihak ingin mengetahui
51
Pasal 66 (c) Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872 dan Pasal 4 (2), Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
52
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: UI Press, 2006), hal 53-54.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
tanggapan dari mahkamah atas argumen yang diajukan lebih mendasar sehingga suatu alasan putusan menjamin bahwa mahkamah menentang godaan untuk menyederhanakan dan dasar keputusan merits of the case. 6)
Suatu putusan merupakan putusan yang curang. Termasuk ketidakjujuran dalam mempresentasikan suatu kasus di depan mahkamah, atau korupsi oleh salah satu anggota mahkamah dan kesalah mendasar (essensial error).
Pengakuan dan Pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam lingkup pelaksanaan UU 30/1999 dapatlah ditolak berdasarkan pernyataan di atas, namun kewenangan terhadap adanya penolakan pelaksanaan putusan hanya diberikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Disamping Pengakuan, pelaksanaan serta penolakan pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam teritori Negara Republik Indonesia, UU 30/1999 juga mengatur tentang pembatalan suatu putusan arbitrase asing. Hal tersebut diatur dalam Pasal 70 UU 30/1999 yang berbunyi:53
Pasal 70: Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
UU 30/1999 pada dasarnya telah mengambil suatu langkah untuk menerima karakterisasi arbitrase dalam teritori hukum nasional mereka, sebagaimana diatur pula dalam Perma 1/1990 yang menyatakan bahwa putusan 53
Pasal 70, Republik Indonesia, Undang Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 138, TLN Nomor 3872
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
arbitrase internasional yang diputus melalui arbitrase, baik dalam teritori Indonesia maupun diluar Indonesia dilaksanakan berdasarkan jurisdiksi Indonesia. 54
Tony Budidjaja mengatakan bahwa,55 “it is important to note that the
Indonesian Arbitration Law uses the term of “International Arbitration Awards” instead of “Foreign Arbitration Awards” as used by the New York Convention and the Supreme Court’s Regulation No.1 of 1999.” Ketentuan mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional yang diatur dalam UU 30/1999 dengan Perma 1/1990 pada dasarnya memiliki beberapa persamaan dan perbedaan, baik dalam prosedur permohonan pelaksanaan, tata cara pemberian pelaksanaan, dll, namun, UU 30/1999 mengatur secara lebih rinci tentang hukum acaranya. Persamaan dan perbedaan UU 30/1999 dan Perma 1/1990 dapat dilihat dalam beberapa pasal yang mengaturnya persamaannya antara lain: 1.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat merupakan forum yang memiliki kewenangan untuk memberikan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase.
2.
Kedua peraturan ini berlandaskan asas reprositas.
3.
Adanya unsur ketertiban umum sebagai landasan yang harus dipenuhi oleh putusan arbitrase internasional untuk dapat dilaksanakan di Indonesia.
4.
Memerlukan eksekuatur dari pihak Pengadilan.
5.
Persamaan
unsur-unsur
yang
wajib
dipenuhi
dalam
hal
permohonan pendaftaran, yaitu:
54
Karen Mills mengatakan bahwa, “The New Law codifies and confirms that Indonesia takes the territorial position on characterisation of arbitrations, as also set out in Supreme Court Regulation No. 1 of 1990, defining international awards as those rendered in arbitrations with the venue, or seat, outside of Indonesia and domestic awards as those rendered in any arbitration held within the bounds of the nation’s archipelagic jurisdiction,” sebagaimana ditulis dalam Karen Mills, “Enforcement of Arbitral Awards in Indonesia & Other Issues of Judicial Involvement in Arbitration”, Karimsyah Law Firm, Jakarta, 1 Maret 2003, hlm. 3
55
Tony Budidjaja, Public Policy as Grounds for Refusal of Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in Indonesia, (Jakarta: PT Tata Nusa, 2002), hlm.26
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
a.
Asli putusan atau turunan putusan Arbitrase Asing yang telah diotentikasi tersebut sesuai dengan ketentuan perihal otentikasi dokumen-dokumen asing, serta naskah terjemahan resminya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
b. Asli perjanjian atau turunan perjanjian yang menjadi dasar putusan Arbitrase Asing yang telah diotentikasi sesuai dengan ketentuan perihal otentikasi dokumen-dokumen asing, serta naskah terjemahan resminya, sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. c.
Keterangan dari perwakilan diplomatik Indonesia di negara di mana putusan Arbitrase Asing tersebut diberikan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat secara bilateral dengan negara Indonesia ataupun terikat secara bersama-sama dengan negara Indonesia dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan suatu putusan Arbtrase Asing.
Sedangkan, perbedaan yang terletak di antara mereka adalah: 1.
UU 30/1999 mengatur prosedur pelaksanaan putusan arbitrase internasional secara lebih rinci dibanding dengan Perma 1/1990.
2.
UU 30/1999 mengatur tentang adanya pembatalan putusan arbitrase internasional.
3.
Dalam UU 30/1999, exequatur diberikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sedangkan dalam Perma diberikan oleh Mahkamah Agung.
4.
UU 30/1999 mengatur tentang adanya prosedur pengajuan banding terhadap
adanya
penolakan
pelaksanaan
putusan
arbitrase
internasional oleh Pengadilan Negeri.
Berdasarkan
kepada
pengaturan-pengaturan
UU
30/1999
tentang
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing diatas, membuktikan bahwa pada dasarnya, UU 30/1999 telah berhasil untuk memperbaiki sistem hukum arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa dengan mengadopsi dan memenuhi
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.
standar internasional yang ditetapkan dan diamanatkan oleh Konvensi New York 1958. Dengan adanya UU 30/1999, ambiguitas pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase pun tidak berbenturan dengan pelaksanaan Undang-Undang Kehakiman serta hukum acara perdata (HIR, RBG, BRV) yang kepastian dan pengaturan hukum prosedural arbitrasenya sudah tidak applicable dengan perkembangan hukum arbitrase serta tidak bersahabat dengan putusan arbitrase internasional bila dihubungkan dengan Indonesia sebagai salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi New York.
Penerapan dan..., M. Taufiq A., FH UI, 2011.