BAB III PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA
E. Pengakuan Berdasarkan Prinsip Teritorial Pengakuan (recognition) harus dibedakan dengan pelaksanaan (enforcement). Menurut Sudargo Gautama 56 pengakuan tidak begitu mendalam akibatnya dari pada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak, seperti tindakantindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan dengan peradilan dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan atau diharapkan tindakan yang demikian itu. Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti mengapa orang dapat dengan mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar negeri dari pada pelaksanaannya. Putusan-putusan badan peradilan suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Hal ini merupakan asas dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) dan sudah lama dianut dalam berkontrak, dimana putusan Hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja. 57 Negara Indonesia menganut ketentutan bahwa putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di wilayah Indonesia. 58 Putusan Hakim asing tidak dapat dianggap sama dan sederajat dengan putusan Hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia sendiri. Ketentuan tersebut erat kaitannya dengan 56
Sudargo Gautama (III), Loc. cit, hal. 278. Sudargo Gautama (V), Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 281. 58 Lihat, Pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) walaupun sebenarnya ketentuan R.V. sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, namun oleh karena Herziene Indonesich Reglement (HIR) yang mengatur hukum acara perdata bagi golongan Bumiputra dan yang sekarang digunakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak menyebutkan atau mengatur mengenai putusan asing ini,maka ketentuan R.V. tersebut kiranya dapat dijadikan pedoman. 57
Universitas Sumatera Utara
principle of territorial soveregnty (prinsip kedaualatan teritorial) dimana berdasarkan asas ini putusan Hakim asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan di wilayah negara lain atas ketentuannya sendiri. 59 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak merumuskan pengertian arbitrase
nasional,
justru
disebutkan
adalah
pengertian
putusan
arbitrase
internasional. Dalam Pasal 1 Angka 9 disebutkan; ”Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbitrase perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase internasional”. Jika menggunakan penafsiran argumentum a contrario 60 dapat dirumuskan pengertian putusan arbitrase nasional sebagai putusan yang dijatuhkan di wilayah hukum Republik Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia. Dari rumusan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional digunakan prinsip kewilayahan atau kedaulatan teritorial. 61 Oleh karena itu, sepanjang putusan arbitrase dilakukan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase internasional atau asing. Jadi, ciri putusan arbitrase asing yang didasarkan pada faktor teritorial tidak mensyaratkan perbedaan kewarganegaraan dan perbedaan tata 59
Sudargo Gautama (III), Ibid, hal. 279. Sudikno Mertokusumo., Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi Ke-4, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal. 165-167. Argumentum a contrario berdasarkan pada postulat Aristoteles bahwa, ”peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama”. Artinya,pengertian tertentu (yaitu arbitrase nasional) tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi justru diatur adalah kebalikan dari pengertian tersebut (yaitu arbitrase internasional). Dalam situasi demikian, untuk pengertian yang tidak secara khusus diatur dalam undang-undang tersebut berlaku sebaliknya. 61 Gatot Sumartono., Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 69. 60
Universitas Sumatera Utara
hukum. Meskipun para pihak yang terlibat dalam sengketa adalah warga negara Indonesia, jika putusan arbitrase atas sengketa mereka dijatuhkan di luar wilayah hukum Indonesia, maka secara otomatis putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. Di sini jelas karena faktor teritorial mengungguli faktor kewarganegaraan dan faktor tata hukum. Prinsip teritorial di atas juga dianut oleh Konvensi New York 1958 hal ini terdapat pada Pasal 1 Ayat (1) konvensi tersebut. 62 Dalam ketentuan ini lebih menegaskan prinsip kewilayahan, bahkan tidak melihat lagi perbedaan mengenai status kewarganegaraan para pihak dan juga hukum yang digunakan. Jadi. Jadi, putusan arbitrase dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing atau Internasional jika diputuskan di luar wilayah negara yang diminta pengakuan (recognition) dan eksekusi (enforcement). Di samping itu, Pasal 1 Ayat (1) Konvesi New York 1958 juga menyatakan bahwa ruang lingkup konvensi berlaku atas putusan-putusan arbitrase yang tidak dianggap sebagai putusan-putusan domestik di negara di mana pengakuan dan pelaksanaan arbitrase tersebut dimohonkan. Ketentuan tersebut menyangkut putusan yang dilakukan di dalam negeri dengan menggunakan hukum asing. Artinya, jika para pihak menggunakan hukum asing sebagai dasar bagi penyelesaian sengketa mereka, maka, walaupun putusan arbitrase tersebut dijatuhkan di wilayah Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase Internasional (bagi Indonesia). Sebaliknya, walaupun para pihak yang bersengketa bukan warga negara Indonesia, tetapi mempergunakan hukum Indonesia sebagai hukum substantif bagi penyelesaian 62
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
sengketa arbitrase mereka di Indonesia, maka putusan arbitrase tersebut merupakan putusan arbitrase nasional. Dalam kaitan itu, perlu dibedakan antara pelaksanaan putusan arbitrase Nasional dengan arbitrase Internasional. Pelaksanaan arbitrase Nasional berdasarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Konvensi New York 1985, dan Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Untuk Pelaksanaan arbitrase Internasional berdasarkan Konvensi New York 1985. Lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 1990, ditujukan untuk mengantisipasi permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Dikeluarkannya Perma ini, maka berakhir masa kekosongan hukum tentang pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Jangkauan kekuatan Perma ini tidak hanya meliputi arbitrase asing yang telah ada sebelum Perma dikeluarkan, baik terhadap putusan yang belum pernah diajukan, maupun yang sudah pernah ditolak eksekusinya. Penolakan atau pernyataan eksekusi putusan arbitrase asing tidak dapat diterima atas alasan peraturan pelaksana belum ada seperti yang terjadi di masa sebelum Perma Nomor 1 Tahun 1990 berlaku.
F. Pengakuan Terhadap Putusan Arbitrase Asing Masalah pengakuan tidak begitu mendalam terhadap yang diakibatkannya daripada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak, seperti tindakan-tindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan dengan peradilan dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan atau diharapkan tindakan yang demikian itu. Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti mengapa orang dapat dengan mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar negeri dari
Universitas Sumatera Utara
pada pelaksanaannya. Oleh karenanya, maka untuk istilah pelaksanaan (enforcement) harus dibedakan dengan istilah pengakuan (recognition).63 Putusan-putusan badan peradilan dan arbitrase suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Hal ini merupakan asas pengakuan terhadap unsur-unsur dalam HPI dan sudah lama dianut dalam berkontrak, dimana putusan Hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja. 64 Negara Indonesia menganut ketentutan bahwa putusan Hakim asing tidak dapat diakui untuk dilaksanakan di wilayah Indonesia. 65 Putusan Hakim asing tidak dapat dianggap sama atau sederajat dengan putusan Hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia sendiri. Ketentuan tersebut erat kaitannya dengan prinsip kedaualatan teritorial dimana berdasarkan asas ini putusan Hakim asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan di wilayah negara lain atas ketentuannya sendiri. 66 Konvensi arbitrase Internasional utama yang erat kaitannya dengan pengakuan adalah The New York Convention on the Recognition and Enforcement of Arbitrase Awards of 1958 yakni Konvensi New York tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase tahun 1958. 67 Dimana bahwa dalam konvensi ini tidak berkenaan dengan peraturan pelaksanaan arbitrase internasional, tetapi mengatur masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional yang
63
Sudargo Gautama (III), Op. cit, hal. 278. Sudargo Gautama (V), Op. cit, hal. 281. 65 Pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) walaupun sebenarnya ketentuan R.V. sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, namun oleh karena Herziene Inland Reglement (HIR) yang mengatur hukum acara perdata bag golongan Bumiputra dan dan yang sekarang digunakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak menyebutkan atau mengatur mengenai putusan asing ini,maka ketentuan Rv. tersebut kiranya dapat dijadikan pedoman. 66 Sudargo Gautama (III), Op. cit, hal. 279. 67 Australia, Indonesia, Malaysia dan Singapura telah meratifikasi konvensi ini. 64
Universitas Sumatera Utara
dibuat oleh berbagai badan arbitrase, baik domestik maupun internasional. Konvensi ini juga mengatur pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan arbitrase. Dalam Pasal II Konvensi New York 1958, dinyatakan bahwa: 68 1. Setiap orang yang mengadakan perjanjian harus mengakui perjanjian tertulis dimana para pihak menyerahkan semua perselisihan yang telah atau akan timbul di antara mereka sehubungan dengan hubungan hukum yang telah ditentukan, baik yang bersifat kontraktual atau tidak, berkenaan dengan sesuatu hal yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, kepada arbitrase; 2. Istilah kesepakatan tertulis memuat klausa arbitrase di dalam sebuah perjanjian atau sebuah kesepakatan arbitrase, yang ditandatangani oleh para pihak atau dimuat dalam exchange of letter atau telegram; 3. Pengadilan dari suatu negara yang membuat perjanjian, saat ini bertindak dengan para pihak telah membuat kesepakatan menurut pengertian pasal ini, atas permintaan dari salah satu pihak akan merujukkan para pihak kepada arbitrase, kecuali bila pengadilan tersebut menemukan bahwa kesepakatan tersebut batal demi hukum, tidak berlaku atau tidak mungkin dilaksanakan. Konvensi New York berfungsi untuk mendorong kerjasama antara negaranegara pembuat kontrak, dan menyeragamkan kebiasaan negara-negara tersebut dalam melaksanakan putusan arbitrase asing. Konvensi ini dianggap sebagai traktat Internasional yang paling penting sehubungan dengan arbitrase komersial Internasional, karena konvensi ini menawarkan kepastian dan efisiensi dalam pelaksanaan putusan-putusan arbitrase Internasional. Negara Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 ini melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Dalam ratifikasi tersebut, Indonesia meletakkan persyaratan yaitu; Pertama, Indonesia hanya akan melaksanakan putusan apabila putusan tersebut mengenai sengketa yang termasuk ke dlaam ruang lingkup hukum dagang. Kedua, Indonesia hanya akan melaksanakan ptusan arbitrase asing, apabila negara dimana
68
Maqdir Ismail., Loc. cit, hal. 17. terjemahan dalam bentuk bahasa Indonesia atas Pasal II Konvensi New York 1958.
Universitas Sumatera Utara
putusan arbitrase tersebut dibuat, juga adalah negara peserta Konvensi New York 1958. prinsip ini dikenal pula dengan istilah resiprositas. Ketiga, Indonesia hanya akan melaksanakan putusan arbitrase asing apabila putusan tersebut tidak melanggar ketertiban umum ditanah air. Sebaliknya apabila ternyata putusan tersebut melanggar ketertiban umum, maka putusan tersebut tidak akan diakui dan dilaksankan. Dalam Konvensi New York 1958, mengatur masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di dalam wilayah para pihak yang membuat perjanjian. Putusan arbitrase asing adalah putusan arbitrase yang dibuat di luar yurisdiksi pihak yang membuat perjanjian, yang di wilayah merekalah putusan tersebut akan diakui dan dilaksanakan. 69 Konsep yang luas ini meliputi putusan arbitrase yang dibuat di luar negara dimana putusan itu akan dilaksanakan. Traktat ini juga dapat diperluas pada putusanputusan yang dianggap sebagai putusan dalam negeri yang tunduk pada hukum dari negara tempat dimana dibuat pelaksanaan putusan tersebut. Dengan demikian putusan arbitrase asing adalah setiap putusan arbitrase yang pengaruhnya tidak didasarkan pada hukum domestik di tempat putusan tersebut akan diakui dan dilaksanakan. Menurut Pasal I Ayat (2) Konvensi New York 1958, istilah putusan arbitrase memuat bukan saja putusan yang dibuat oleh para arbiter yang ditunjuk untuk setiap kasus, namun juga putusan yang dibuat oleh badan-badan arbitrase permanen dimana para pihak telah menyerahkan kasus mereka. Berdasarkan pengertian arbitrase asing, menyiaratkan kewajiban yang luas bagi para pihak pembuat perjanjian terhadap Konvensi New York 1958. Kewajiban ini mengharuskan pihak pembuat perjanjian melaksanakan putusan arbitrase yang 69
Pasal I Konvensi New York 1958.
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan menurut hukum suatu negara yang menolak untuk menerima Konvensi New York 1958. Konsekuensi ini tidak konsisten dengan pengertian resiproksitas (timbal balik), yang menjadi dasar dari kebanyakan konvensi dan traktat internasional. Para pihak yang terikat dalam pembuatan kontrak atau perjanjian dalam konvensi ini diijinkan untuk mengumumkan bahwa pelaksanaan putusan hanya terbatas pada mereka yang melakukan hubungan komersial sebagaimana diakui di dalam hukum pihak yang membuat perjanjian atau kontrak tersebut. 70 Ketentuan putusan hakim asing pada umumnya tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan undang-undang lain, putusan-putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai perhitungan umum terhadap kapal atau pemilik kargo yang diangkut oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Akan tetapi keputusan arbitrase pada umumnya dapat dilaksanakan di luar negeri. Putusan asing di Indoensia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya sekedar suatu ”fakta”, berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di 70
Teks asli menyatakan, ”saat menandatangai, mensahkan atau mnyetujia konvensi ini, atau memberitahukan perpanjangan di abwah Pasal X, negara manapun pada dasar pelaksanaan putusan yang mengeluarkan di wilayah negara pembuat perjanjian lainnya. Negara tersebut juga dapat menyaakan bahwa mereka akan menggunakan konvensi tersebut kepada perbedaan-perbedaan yang timbul dari hubungan-hubungan hukum, baik mngenai perjanjian maupun tidak, yang dianggap sebagai komersial di bawah hukum nasional dari negara yang mengeluarkan deklarasi tersebut”.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan bahwa ”...keputusankeputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia.” 71 Kedaulatan hukum adalah harga yang sangat tinggi untuk dibayar. Belum lagi masalah formalitas putusan, sistem hukum yang diterapkan, serta proses putusan itu sendiri dibuat. Untuk putusan misalnya yang sederhana, putusan di Indonesia harus dimulai dengan kepala putusan yang berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak adanya bunyi kepala putusan tersebut, maka akan membuat putusan tersebut menjadi tidak sah atau batal (null and void). Kendala lain yang mengganjal adalah bahwa konvensi-konvensi yang ada akan mendapat resistensi dari negara-negara yang sednag berkembang. Masalahnya adalah menyangkut fakta bahwa negara-negara inilah yang kemungkinan akan lebih banyak dihadapkan pada masalah permohonan pengakuan putusan badan pengadilan asing. Masalah lain misalnya Indonesia belum atau tidak mau menjadi anggota the Hague Conference, dengan demikian prospek ke depan terhadap mengikatnya substansi aturan Konvensi Den Haag 2005, masih tetap tampak jauh dari harapan. Hal ini berlainan dengan keputusan di dalam pengadilan. Secara internasional, pengaturan pelaksanaan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing diatur dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959.
71
Putusan asing di Indoensia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya sekedar suatu ”fakta”, berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan bahwa ”...keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia.”
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal V Konvensi New York 1958, memuat alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan putusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut. Pasal ini memuat 7 (tujuh) alasan penolakan pelaksanaan suatu putusan arbitrase yaitu: 1. Bahwa para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau menurut hukum negara dimana putusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku; 2. Pihak terhadap mana putusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mempertahankan sengketa (pembelaannya); 3. Putusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau putusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan oleh badan arbitrase; dan 4. Komposisi arbitrator atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau putusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara dimana putusan dibuat. Konvensi New York Tahun 1958 tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981. Keppres ratifikasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung
Universitas Sumatera Utara
Republik Indonesia melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar negeri kemudian diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peraturan yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian exequatur putusan arbitrase asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma Nomor 1 Tahun 1990. peraturan yang menjadi sumber hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap berpedoman pada Pasal 436 R.V. dengan menerapkan pasal-pasal tentang tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR. 72 Belakangan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Menurut Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase asing yang berkakekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase Internasional. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan lembaga arbitrase/arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase Internasional. 72
M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 437.
Universitas Sumatera Utara
Ciri putusan arbitase asing di dasarkan pada faktor wilayah atau teritorial. Setiap putusan yang dijatuhkan di luar teritorial Republik Indonesia dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. 73 Hal ini, tidak menguntungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum, meskipun para pihak yang terlibat di dalam putusan adalah orang-orang Indonesia dan sama-sama warga negara Indonesia, jika putusannya dijatuhkan di luar negeri, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. 74 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Putusan itu dijatuhkan oleh badan arbitase atau arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pelaksanaanna didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas); 2. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang; 3. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
73 74
Ibid, hal. 438. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kontrak dagang internasional selalu terdapat kemungkinan bertemunya dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Tidak mungkin semua sistem hukum tersebut diberlakukan. Di sini sangat diperlukan adanya pilihan hukum untuk diakui masalah kepastian hukumnya. Ketika negosiasi dilakukan, permasalahan pilihan hukum ini harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Pilihan hukum tersebut diikuti dengan pilihan yurisdiksi. Bagi pengusaha Indonesia sebaiknya pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi diarahkan kepada hukum Indonesia dan pengadilan dan arbitrase Indonesia.
G. Pelaksanaan Putusan Pengadilan atau Arbitrase Asing Pihak asing dalam menentukan klausul pilihan yurisdiksi dan pilihan hukum umumnya lebih menghendaki pengadilan dan hukum di negara mereka sendiri. Jika tidak, mereka bersedia menggunakan hukum Indonesia, tetapi pilihan yurisdiksinya mengacu kepada pengadilan atau arbitrase asing yang tidak harus mengacu kepada pengadilan atau arbitrase di negara mereka, yang intinya tidak diadili di Indonesia. Kemudian, pilihan yirusdiksinya juga mengacu kepada pengadilan di negara bagian New York. Terhadap keadaan semacam ini, akan menimbulkan persoalan sehubungan dengan bagaimana melaksanakan putusan pengadilan tersebut jika yang kalah dalam pengadilan adalah pengusaha Indonesia. Padahal yang bersangkutan jelas berdomisili di Indonesia dan tidak memiliki harta benda di New York, apakah putusan Hakim tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia?, apakah putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan tanpa harus mengadilinya lagi di Indonesia?, dan apakah Hakim dari Indonesia terikat pada putusan Hakim dari negara asing tersebut?.
Universitas Sumatera Utara
Umumnya ketentuan putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Dikatakan pada umumnya, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan undang-undang lain, putusan-putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai perhitungan avarai umum (grosse avaraij) terhadap oemilik kapal atau pemilik kargo yang diangkut oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Keputusan arbitrase pada umumnya dapat dilaksanakan di luar negeri. Hal ini berlainan dengan keputusan di dalam pengadilan. Secara internasional, pengaturan pelaksanaan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing diatur dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959 Konvensi New York Tahun 1958 tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1981. Keppres ratifikasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar negeri kemudian diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peraturan yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian pelaksanaan putusan arbitrase asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma Nomor 1
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1990. Sedangkan peraturan yang menjadi sumber hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap berpedoman pada Pasal 436 R.V. dengan menerapkan pasal-pasal tentang tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR. 75 Belakangan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Menurut Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase asing yang berkakekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase Internasional. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan lembaga arbitrase/arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase Internasional. Ciri putusan arbitase asing di dasarkan pada faktor wilayah atau teritorial. Setiap putusan yang dijatuhkan di luar teritorial Republik Indonesia dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. 76 Ciri putusan arbitrase asing di dasarkan pada faktor teritorial, tidak menguntungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum, meskipun para pihak yang terlibat di dalam putusan adalah orang-orang Indonesia
75 76
Ibid, hal. 437. Ibid, hal. 438.
Universitas Sumatera Utara
dan sama-sama warga negara Indonesia, jika putusannya dijatuhkan di luar negeri, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. 77 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional; 2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; 3. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; 4. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat; dan 5. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari amhkamah agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kontrak dagang internasional selalu terdapat kemungkinan bertemunya dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Tidak mungkin semua sistem hukum tersebut diberlakukan. Di sini sangat diperlukan adanya pilihan hukum. Ketika negosiasi dilakukan, permasalahan pilihan hukum ini harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Pilihan hukum tersebut diikuti dengan pilihan yurisdiksi. Bagi pengusaha Indonesia sebaiknya pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi diarahkan kepada hukum Indonesia dan pengadilan dan arbitrase Indonesia. Untuk lebih jeasnya, mengenai pengaturan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Asing di Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 77
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah, telah menggariskan ketentuan di dalam Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69. Pasal 67 dinyatakan sebagai berikut: (1) Permohonan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitra Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; (2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat1 harus disertai dengan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan arbitrase internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahas Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat diajukan banding maupun kasasi,dan penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase asing dapat diajukan di tingkat kasasi, serta dengan pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Untuk lebih jelasnya di dalam Pasal 68 dinyatakan sebagai berikut: (1) Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi; (2) Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi; (3) mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, dalam jangka waktu paling lama 90 hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh mahkamah agung; dan (4) Terhadap putusan mahkamah agung sebagaiman dimaksud dalam pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk pelaksanaan sita eksekusi, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusata memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memiliki kewenangan relatif di bidangnya. Dalam Pasal 69, telah disebutkan secara tegas sebagai berikut: (1) Setelah ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya; (2) Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi; dan (3) Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan megikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam hukum acara perdata. Pelaksanaan putusan arbitrase asing di Australia dilaksanakan berdasarkan undang-undang federal dan neara bagian. Pasal 8 International Arbitration Act 1974 mengatur mengenai pengakuan dan penyelenggaraan sebuah putusan asing. Pasal 8 Ayat (2) menyatakan bahwa, “putusan arbitrasi asing dapat dilaksanakan di dalam wilayah hukum pengadilan negera bagian atau wialayah sebagaimana bila putusan dibuat di negara bagian atau wilayah tersebut menurut hukum yang berlaku”. 78 Sebuah putusan asing adalah putusan yang dibuat menurut kesepakatan arbitrase di sebuah negara selain Australia, dan yang mengikuti hasil Konvensi New York 1958. mengikuti Pasal 8 Ayat (1) sebagai suatu dasar hukum penting menyatakan bahwa penyelenggara putusan asing di semua negara bagian di Australia kecuali Queensland dilakukan berdasarkan peraturan Mahkamah Agung. Di Indonesia putusan Arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan melalui perintah yang diberikan berdasarkan peraturan konvensi yang berlaku, misalnya Konvensi Jenewa 1927 atau Konvensi New York 1958, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan putusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, tetapi
78
Maqdir Ismail, Op. cit, hal. 99.
Universitas Sumatera Utara
karena ratifikasi tidak selalu disertai dengan penjelasan yang detil mengenai prosedur pelaksanaannya, maka pelaksanaan putusan sering kali tidak mudah, termasuk pelaksanaan putusan atas dasar kesepakatan bilateral dan Convention for the Settlement Investment Disputes 1965. Karena itu masalah utama bagi Indonesia saat ini adalah tidak adanya peraturan mengenai prosedur pelaksanaan putusan arbitrase yang didapatkan melalui pengadilan Indonesia, sehingga putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan secara langsung di Indonesia. 79 Pada tahun 1990, Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompetensi Pengadilan Arbitrase, yang intinya menegaskan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diberi kuasa sebagai badan yang berwenang manangani pelaksanaan putusan arbitrase (Ayat 1). Sementara pada Ayat 2 disebutkan bahwa setiap putusan arbitrase memiliki status final dan mengikat. Sedangkan Ayat 3 satu demi satu mengatur mengenai persyaratan prosedur penyelenggaraan yaitu dinyatakan bahwa putusan arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di Indonesia bila putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia. Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentan Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia apabila putusan arbitrase itu dijatuhkan oleh arbiter atau Majelis Arbitrase di siatu negara yang terikat secara bilateral maupun multilateral terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional. Putusan inipun
79
Syarat-syarat suatu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia bila memenuhi ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah, antara lain; putusan arbitrase itu dijatuhkan oleh arbiter atau Majelis Arbitrase di suatu negara yang terikat oleh perjanjian dengan Indonesia secara bilateral atau multilateral tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional.
Universitas Sumatera Utara
hanya terbatas pada putusan yang masuk dalam lingkup hukum perdagangan. Putusan ini juga dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri. Akan tetapi bila putusan itu menyangkut negara Republik Indonesia, maka putusan itu baru dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang melaksanakan putusan arbitrase asing tidak dapat diajukan banding ataupun kasasi, hanya saja putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolaklah yang dapat diajukan kasasi. 80
H. Penolakan Terhadap Putusan Pengadilan Arbitrase Asing Penolakan terhadap putusan pengadilan arbitase asing, sangat berkaitan erat dengan fungsi dan kewenangan suatu lemabaga arbitrase domestik. Putusan arbitrase asing yang domohonkan untuk dilaksanakan atau diaeksekusi pada suatu negara tertentu dapat ditolak permohonannya jika tidak sesuai atau bertentangan dengan kewenangan (kompetensi atau jurisdiksi) suatu negara. Begitu pula dengan suatu perkara yang belum diputus ataupun yang akan dieksekusi pada suatu negara tertentu, dapat dibatalkan permohonannya apabila bertentangan dengan wilayah kekuasaan hukum negara tersebut. Misalnya di Indonesia, Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan disebut dalam pasal-pasal harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti,
80
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa,
Pasal 66.
Universitas Sumatera Utara
maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. 81 Masalah pembatalan putusan arbitrase di Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu sebagai berikut: Pasal 70 menyebutkan bahwa: ”Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atu dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; dan c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.” Dalam Pasal 71 dinyatakan bahwa, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri.” Menurut Pasal 72, dinyatakan bahwa: (1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada ketua pengadilan negeri; (2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dikabulkan, ketua pengadilan negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase; (3) Putusan atas permohonan pembatalan ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diterima; (4) Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke mahkamah agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir; dan (5) Mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh mahkamah agung.
81
Ibid, penjelasan Pasal 70.
Universitas Sumatera Utara
Masalah penolakan terhadap putusan pengadilan arbitase asing, erat kaitannya dengan masalah kewenangan (kompetensi atau yurisdiksi) suatu lemabaga arbitrase domestik untuk menerima, mengadili, dan memutus, serta mengeksekusi terhadap suatu perkara bisnis Internasional. Yurisdiksi pengadilan di dalam kaidah HPI merupakan kekuasaan dan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum asing yang relevan. Yurisdiksi yang diakui dan dijalankan secara internasional, bagi pengadilan suatu negara harus mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau harta kekayaan yang dipersengketakan. Dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku dewasa ini di Indonesia dan juga pengaturannya terdapat pada HIR dan Rbg tidak terdapat ketentuan khusus mengenai kompetensi pengadilan (yurisdiksi) di Indonesia dalam mengadili perkara-perkara perdata yang mengandung elemen asing. Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat bertempat tinggal atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka di tempat sebenarnya ia berada. Tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah suatu Pengadilan Negeri, menurut Pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal. Yurisdiksi menurut Sudargo Gautama, merupakan ketentuan penting yang ada hubungannya dengan perkara yang bersifat HPI terdapat dala Pasal 118 ayat (3)
Universitas Sumatera Utara
HIR. 82 Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri ditempat penggugat. Kemudian apabila gugatan tersebut berkaitan dengan benda tidak bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri dimana benda tetap itu terletak. Pasal 118 ayat (4) HIR, terdapat ketentuan yang menegaskan, bahwa jika terdapat pilihan domisili, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang telah dipilih tersebut. Yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara diamana tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia, sehingga prosedur khusus telah dilakukan. 83 Pengkajian di dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 sub 8 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvorerdering (RV) 84 mengenai Dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat kepada yang bertempat tinggal di luar Indonesia sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat pengadilan dimana seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan eksploit untuk yang bersangkutan kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim. 85
82
Sudargo Gautama (III), Op. cit, hal. 210. Ibid, hal. 211. 84 Ketentuan ini merupakan reglemen hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi. Namun apabila di dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan tertentu mengenai hukum acara perdata, misalnya mengenai arbitrase, maka ketentuan Rv dapat dijadikan sebagai pedoman. 85 Sudargo Gautama (III), Ibid, hal. 211. 83
Universitas Sumatera Utara
Uraian di atas memberikan arahan untuk dapat disimpulkan, bahwa prinsip penyampaian gugatan harus dilakukan di tempat tinggal pihak tergugat. Kewenangan mengadili pertama-tama didasarkan pada asas the basis of presence, yakni pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara teritorial atas semua orang dan benda yang berada dalam batas-batas wilayah negaranya. Pengecualiannya adalah berkaitan dengan imunitas negara berdaulat dan staf diplomatik. 86 Prinsip
efektivitas
juga
memegang
peranan
penting,
di
samping
pertimbangan-pertimbangan untuk memberi perlindungan sewajarnya terhadap semua orang yang mencari keadilan. Prinsip efektivitas berarti, bahwa pada umumnya Hakim hanya akan memberikan putusan yang pada hakikatnya akan dapat dilaksanakan kelak. Tentunya yang paling terjamin apabila gugatan diajukan di hadapan pengadilan dimana pihak tergugat dan benda-bendanya berada. 87 Negara-negara di dunia masing-masing memiliki hukum acara. Hukum acara ini terkadang memiliki persamaan tetapi terkadang juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan ini banyak dipengaruhi oleh tradisi hukum yang diikuti, kondisi masyarakat dan sejarah hukum negara yang bersangkutan. Kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul dikemudian hari dapat diantisipasi sejak dini. Permasalahan ini diselesaikan dengan merumuskan klausul pilihan yurisdiksi (Choice of Forum) di dalam kontrak bisnis yang bersangkutan. Pilihan yurisdiksi ini bermakna bahwa, para pihak di dalam kontrak sepakat memilih forum atau lemabaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di antara kedua belah pihak.
86 87
Ibid, hal. 213. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pilihan yurisdiksi ini dapat mengacu kepada pengadilan di salah satu negara dari para pihak yang mengadakan transaksi. Pilihan yurisdiksi ini juga dapat merujuk kepada suatu lembaga arbitrase di negara tertentu yang dilaksanakan di negara tertentu. Para pihak yang bersengketa mempunyai kebebasan untuk memilih forum. Mereka dapat menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih Hakim lain. Namun, sedemikian tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi tidak berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah hukum intern negara yang bersangkutan Hakim tidak berwenang adanya. Misalnya untuk Nederland tidak dapat dipilih Hakim jika menurut hukum Belanda sama sekali tidak ada Hakim Belanda yang relatif berwenang mengadili perkara itu. 88 Pilihan forum menurut Convention on the Choice of Court 1965 terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat Internasional. Pilihan forum tidak berlaku bagi status atau kewenangan orang atau badan hukum keluarga, termasuk kewajiban atau hak-hak pribadi atau financial antara orang tua dan atau antara suami dengan istri seperti: 1. Permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir (1); 2. Warisan; 3. Kepailitan; dan 4. Hak-hak atas benda yang tidak bergerak. 89 Pengadilan Arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili
88 89
Ibid, hal. 233. Ibid, hal. 234.
Universitas Sumatera Utara
perkara tersebut. Salah satu cara untuk menentukan berwenang atau tidaknya ia mengadili perkara yang bersangkutan adalah dengan meneliti klausul pilihan yurisdiksi yang terdapat di dalam kontrak yang bersangkutan. Hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung elemen asing menemui adanya pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau menunjuk kepada badan arbitrase lain tetapi berlainan kompetensi relatifnya, maka Hakim yang bersangkutan harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Misalnya dalam sebuah kontrak ekspor-impor antara pengusaha Indonesia dengan pengusaha Amerika Serikat di Indonesia, para pihak memilih yurisdiksi District of Court di New York. Jika terjadi sengketa antara pihak-pihak, kemudian pengusaha Indonesia itu mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka seharusnya Hakim menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Para pihak di dalam substansi kontrak ternyata memilih forum arbitrase di luar negeri atau di Indonesia misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau Badan Arbitrase Syari’ah Nasional, maka perkaranya tidak dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. Hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang dan menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan tersebut. Pilihan yurisdiksi dalam praktik, walaupun sudah merujuk kepada sebuah lembaga arbitrase dan dilaksanakan di luar negeri seperti di Singapura atau di Paris, sering kali patner atau mitra dari Indonesia berusaha untuk tidak patuh terhadap isi kontrak yang bersangkutan. Mitra atau pengusaha Indonesia sering kali membawa perselisihan yang mereka hadapkan ke pengadilan negeri di Indonesia, kendati telah ada pilihan forum. Biasanya pihak pengusaha asing mengajukan eksepsi, yang isinya
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa pengadilan negeri yang memiliki kompetensi untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan karena telah ada pilihan forum yang merujuk kepada arbitrase tertentu dan dilaksanakan di luar negeri. Atas pengadilan tersebut, putusan pengadilan negeri menunjukkan keragaman. Ada yang menerima eksepsi tersebut, tetapi juga ada yang menolaknya. Dengan ditolaknya eksepsi tersebut, maka Hakim melanjutkan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Praktik di Mahkamah Agung menunjukkan hal yang berbeda. Mahkamah Agung konsisten menghormati pilihan yurisdiksi yang telah ditentukan para pihak. Pilihan yurisdiksi arbitrase seperti tersebut di atas telah diakui dan diatur dalam Konvensi New York tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri. Hasil konvensi tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34 Tahun 1981. Badan-badan peradilan di Indonesia juga negara lainnya yang terikat pada konvensi tersebut harus pula menyatakan dirinya tidak berwenang atau menolak untuk mengadili suatu sengketa dimana para pihak telah menentukan pilihan terhadap arbitrase sebagai pilihan yurisdiksi mereka. 90 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang terkait di dalam perjanjian arbitrase.
90
Sudargo Gautama (V), Op. cit, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL
A. Pilihan Hukum Yang Mengatur Kontrak Dagang Internasional Mutlak Harus Ditegaskan Sebagai suatu hubungan hukum, selain harus digambarkan bahasa atau diredaksikan dengan kalimat yang jelas dan mudah dimengerti, intepretasi keadilan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan kontrak tersebut akan sangat ditentukan oleh hukum yang berlaku. Dalam hal kontrak dagang tersebut merupakan kontrak internasional, sangat penting pula kiranyauntuk menentukan hukum mana yang menjadi dasar untuk memeriksa atau mengadili kontrak tersebut. Dengan kalimat lain, harus ada pilihan hukum (choice of law) yang tegas sebagai hukum yang mengatur kontrak dengan internasional tersebut. Karena bila kontrak dagang internasional tersebut dibangun tanpa dengan tegas menyatakan hukum mana yang dipilih sebagai hukum yang mengatur (governing law) dari kontrak tersebut, maka akan terjadi permasalahan dalam penentuan hukum mana yang menjadi dasar untuk mengadili permasalahan dalam kontrak tersebut nantinya. Misalnya, jika suatu kontrak jual beli yang disepakati oleh pihak Indonesia sebagai penjual dengan pihak Jerman sebagai pembeli, tidak dengan jelas menyepakati hukum mana yang berlaku sebagai hukum yang mengatur kontrak tersebut, maka akan terjadi permasalahan karena ada dua hukum negara yang secara bersama-sama hadir yang menjadi dasar ketundukan dari masing-masing pihak berkontrak tersebut. Walaupun dalam prinsip-prinsip hukum perdata internasional dimungkinkan untuk terlebih dulu melakukan penentuan untuk memilih hukum mana
Universitas Sumatera Utara
yang paling dominan mempengaruhi kontrak tersebut untuk dapat ditentukan sebagai hukum yang menjadi dasar mengadili, akan tetapi hal tersebut akan membutuhkan suatu proses yang tidak selalu mudah untuk diputuskan oleh hakim secara benar. Ketentuan-ketentuan ataupun prinsip-prinsip hukum yang menjadi dasar pemenuhan keabsahan dari suatu kontrak juga akan sangat ditentukan berdasarkan hukum yang dipilih tersebut. Misalnya bagaimana suatu penawaran dan penerimaan dapat menjadi suatu kesepakatan, dan kemungkinan-kemungkinan apa yang membuat kesepakatan yang telah dicapai tersebut dapat dibatalkan, ataupun dapat dirubah, tanpa menimbulkan konsekuensi pelanggaran kontrak. Hukum yang dipilih (governing law) tersebut pula yang menentukan dasar dari kecakapan masing-masing pihak yang berkontrak. Misalnya, dalam hal pihak-pihak yang berkontrak adalah orang pribadi, maka governing law tersebut yang akan menjadi dasar penentuan dari umur berapa yang dapat dikategorikan telah cakap untuk berkontrak, 21 tahun atau 18 tahun 91? dan bila pihak-pihak yang berkontrak tersebut ternyata merupakan perusahaan, maka akan perlu ditegaskan tentang sifat dari badan usaha tersebut, apakah dalam bentuk partnership atau badan hukum serta bagaimana ketentuan hukum setempat mengatur keabsahan pendirian dan keabsahan berkontrak dari perusahaan tersebut, serta bagaimana domisili suatu perusahaan yang mempunyai aktivitas multinasional ditentukan, termasuk juga status dan kedudukan seluruh harta yang dimilikinya. Demikian pula halnya, untuk menentukan apakah segala perikatan-perikatan yang disepakati dalam kontrak tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum, 91
Ricardo Simanjuntak (I)., Loc. cit, hal. 18. dijelaskan bahwa dewasa di Indonesia dalam KUH Perdata, Pasal 330, dinyatakan, “jika orang tersebut telah berumur 21 tahun atau berada di bawah 21 tahun akan tetapi telah menikah. Tetapi di banyak negara seperti Jerman, Inggris dewasa adalah 18 tahun, sementara di Switzerland 20 tahun, di Austria 19 tahun.
Universitas Sumatera Utara
kesusilaan, dan ketertiban umum yang berlaku, akan sangat ditentukan oleh hukum negara yang dipilih sebagai governing law tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa ketentuan hukum nasional suatu negara termasuk juga hukum yang tumbuh sebagai hasil dari pengakuan ataupun ratifikasi dari ketentuan-ketentuan ataupun hukum-hukum internasional yang telah disepakatinya melalui traktat ataupun kovensi sebagai salah satu sumber hukum internasional yang mengikat negara-negara yang menyetujuinya, seperti misalnya; komitmen internasional terhadap penghargaan HAKI, pemeliharaan lingkungan hidup melalui pembatasanpembatasan produk kehutanan, kesepakatan anti dumping, kompetisi sehat serta komitmen pembebasan sekat-sekat perdagangan, dan lain-lain, sehingga juga menjadi suatu ketentuan yang harus dipatuhi dalam aktivitas kontrak dagang internasional yang melibatkan hukum nasional dari negara tersebut ataupun yang dilaksanakan di negara tersebut. Secara teknis, dalam upaya untuk mengatisipasi suatu keadaan dimana ketentuan-ketentuan ataupun poin-poin perikatan yang telah disepakati oleh pihak yang berkontrak tersebut ternyata bertentang dengan ketentuan hukum yang berlaku, pada umumnya dalam kontrak dagang internasional tersebut dibangun suatu klausula yang dikenal dengan “klausula keterpisahan”. Klausula tersebut pada prinsipnya menegaskan bahwa jikapun ada kesepakatan-kesepakatan (poin-poin perikatan) dalam kontrak yang telah disepakati tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, maka disepakati bahwa hanya poin-poin kesepakatan (perikatan) tersebut saja yang batal, sementara ketentuan lainnya dalam kontrak tersebut akan tetap berlaku. Walaupun pelaksanaan ketentuan ini akan pula didasarkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip ataupun ketentuan yang berlaku di
Universitas Sumatera Utara
negara yang menjadi pilihan hukum kontrak, akan tetapi kehadiran klausula ”Keterpisahan” ini menunjukkan adanya kesadaran dari awal bahwa kebebasan berkontrak yang dimiliki oleh masing-masing pelaku usaha sebenarnya dibatasi oleh keberlakukan dari kentuan hukum negara yang mengaturnya. Pemahaman terhadap prinsip-prinsip tersebut di atas, akan membuat masingmasing pelaku usaha berupaya sejak awal perancangan kontrak untuk menyesuaian segala bentuk keinginan yang akan diikatnya dalam kontrak dagang internasional tersebut terhadap kepastian keberlakukan dan pelaksanaannya, berdasarkan ketentuan hukum dari negara yang dipilih, atau berdasarkan dimana aktivitas yang menjadi wilayah pelaksanaan aktivitas perdagangan tersebut dilaksanakan, dengan tetap memberlakukan “klausula keterpisahan” untuk mengantisipasi kemungkinan masih terjadinya pertentangan hukum dari bagian perikatan yang telah disepakati tersebut.
B. Kontrak Dagang Internasional Harus Secara Tegas Menentukan Pilihan Yurisdiksi Berperkara baik Melalui Pengadilan Atau Arbitrase Dalam hal terjadinya konflik terhadap pelaksanaan suatu kontrak, sangat penting pula ditegaskan pengadilan ataupun forum penyelesaian mana yang akan mengadili jika terjadi konflik (dispute) dalam pelaksanaan dari kontrak tersebut. Pada umumnya pengadilan negara yang hukumnya telah dipilih sebagai governing law dari kontrak akan dipilih sebagai pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan setiap pekara yang timbul dari kontrak dagang internasional, walaupun para pihak dapat menyepakati pengadilan perkara yang timbul dari kontrak tersebut dapat dilakukan di negara lain.
Universitas Sumatera Utara
Untuk pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi harus memerlukan perhitungan yang tepat, karena akan sangat ditentukan oleh bagaimana hukum dan pengadilan tersebut secara baik membela hak-hak dari pihak berkontrak. Misalnya dalam berkontrak dagang internasional tersebut hanya bernilai kecil, misalnya perjanjian antara pelaku usaha Indonesia dengan Swedia yang menyepakati kontrak jual beli senilai 1 miliar Rupiah, dimana pilihan hukum kontrak tersebut disepakati hukum Swedia dan pengadilan yang akan mengadili permasalahan yang timbul dari kontrak tersebut adalah pengadilan Swedia. Tentunya telah dapat dibayangkan bagaimana kesulitan yang dihadapi, bila kemudian pelaku usaha Swedia tersebut wan prestasi, yang membuat pelaku usaha Indonesia harus mengajukan gugatan perdata di pengadilan Swedia. Besar kemungkinan, walaupun dasar hukumnya kuat, akan sangat sulit untuk dilaksanakan mengingat biaya untuk mengajukan gugatan yang akan dikeluarkan akan tidak sangat seimbang dengan jumlah yang akan diklaim, belum lagi waktu yang akan digunakan. 92 Pilihan yurisdiksi berperkara, juga secara strategis harus diperhitungkan terhadap wilayah hukum dari dimana proyek yang disepakati dalam kontrak tersebut dilaksanakan dan yang juga sangat penting dimana aset-aset mitra berkontrak tersebut berada. Dalam hal misalnya, pilihan hukum dan pilihan jurisdiksi dari suatu kontrak dagang internasonal berbeda dengan domisili hukum keberadaan dari aset yang akan dieksekusi sehubungan dengan putusan tersebut, maka putusan tersebut akan bersifat kebijakan luar negeri terhadap negara dimana aset tersebut berada, sehingga tidak dapat dengan begitu saja dieksekusi, kecuali bila diantara negara tempat pengadilan memutuskan tersebut telah terjalin kesepakatan internasional 92
Ibid, hal. 20.
Universitas Sumatera Utara
untuk saling melaksanakan putusan masing-masing pengadilannya di masing-masing wilayah negaranya. Hal yang sama juga terjadi dalam memilih forum penyelesaian perkara dari kontrak tersebut melalui Arbitrase (dalam bentuk lembaga ataupun ad hoc). Walaupun pilihan penyelesaian perkara yang merupakan alternatif diluar pengadilan ini telah menjadi pilihan yang lebih disukai oleh pelaku-pelaku usaha internasional, akan tetapi harus pula secara hati-hati diperhitungkan tentang tempat dimana Arbitrase tersebut akan dilakukan, dan bagaimana cara arbitrase tersebut akan dilakukan. Misalnya menggunakan arbiter tunggal atau panel. 93 Di Indonesia, lembaga arbitrase Indonesia, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada dasarnya telah tumbuh menjadi tempat penyelesaian perkara yang diperhitungkan tidak saja oleh pelaku-pelaku usaha nasional akan tetapi juga oleh pelaku-pelaku usaha internasional, sehingga sangat pula layak untuk dinegosiasikan sebagai forum penyelesaian sengketa kontrak dagang internasional dalam setiap kontrak dagang internasional yang melibatkan pelaku usaha Indonesia. Akan tetapi dalam hal BANI tidak disetujui oleh mitra berkontrak asing sebagai forum penyelesaian sengketa dagang tersebut, daripada harus memilih lembaga Arbitrase yang berdomisili sangat jauh dari Indonesia, seperti misalnya di Prancis ataupun di Amerika, lembaga Arbitrase Singapur, SIAC perlu dipertimbangkan sebagai laternatif, karena sangat lebih memungkinkan bagi pelaku usaha Indonesia, dari sisi wilayah dan biaya.
93
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
C. Kontrak Dagang Internasional Tanpa Governing Law (Contract Sans Loi) Pada umumnya dalam setiap kontrak dagang internasionalselalu dicantumkan pilihan hukum, baik itu hukum dari suatu negara tertentu maupun hukum yang merupakan general principles of lawi atau lex mercatoria, sebagai aturan hukum materil yang akan mengatur hubungan hukum yang ada dengan segala konsekuensinya yang lahir dari suatu kontrak dagang internasional. Namun demikian perkembangan hukum dewasa ini menunjukkan sudah adanya pembentukan kontrak dagang internasional yang tidak merujuk pada berlakunya suatu aturan hukum tertentu, kecuali yang sudah diatur dalam kontrak dagang internasional itu sendiri. Kontrak dagang internasional yang demikian seringkali disebut dengan nama perjanjian tanpa hukum yang berlaku (contrat sans loi). 94 Keberadaan dari kontrak dagang internasional tanpa hukum yang berlaku (contrat sans loi) ini bukan tanpa masalah dan telah menerbitkan berbagai macam kontroversi. Salah satunya adalah pengakuan akan keberadaan dari kontrak dagang internasional tanpa hukum yang berlaku (contrat sans loi) tersebut. Secara konseptual, para pihak diberi kewenangan untuk membentuk kontrak dagang internasional dan mangatur isi kontrak dagang internasional sebagaimana yang mereka suka, namun yang demikian tidak dapat dilupakan bahwa adnya kewenangan yang demikian (kebebasan berkontrak) baru ada manakala sistem hukum yang ada yang berlaku pada suatu negara tertentu memungkinkan para pihak untuk melakukan hal tersebut. Dalam hal sistem hukum yang berlaku bagi para pihak dalam kontrak dagang internasional tersebut memberikan batasan dalam bentuk
94
Klaus Peter Berger, “Contrat with no Governing Law in Private International Law and Non State Law”, diterjemahkan oleh Gunawan Widjaja, (Germany: Country Report), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
ketentuan memaksa yang merupakan public order yang tidak boleh disimpangi, maka tentunya ketentuan-ketentuan yang bertentang tersebut (yang diatur dalam kontrak dagang internasional jual beli internasional tersebut) tidak dapat dipaksakan keberlakuannya oleh para pihak. Dalam hal ini, praktik pengadilan 95 dan arbitrase yang berlaku di dunia ini menunjukkan bahwa untuk mengisi kekosongan yang ada, serta untuk menentukan saat terbentuknya kontrak dagang internasional dan keabsahan dari kontrak dagang internasional yang dibentuk tetap merujuk pada ketentuan hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kontrak dagang internasional yang tidak menentukan hukum yang berlaku tersebut (contrat sans loi) tetap diberlakukan sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum jual beli tersebut, hanya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum domestik dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional ditunjuk dan selanjutnya dipergunkan sebagai hukum yang berlaku. Jadi dalam hal ini sebenarnya, berbeda dari lex mercatoria sebagai governing law dengan pelengkap hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku; sedangkan bagi kontrak dagang internasional yang mengakui dirinya sebagai contrat sans loi, the governing law adalah hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku dengan pelengkapnya adalah aturan yang dibuat dalam kontrak dagang internasional jual beli internasional tersebut, selama dan sepanjang tidak bertentangan dengan the governing law tersebut. Dikatakan demikian oleh karena dalam hal yang pertama jika terjadi 95
Gunawan Widjaja, Loc. cit, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
pertentangan antara lex mercatoria yang dipilih dengan hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku, yang dipergunakan adalah lex mercatoria. Sedangkan dalam hal kedua, jika terjadi pertentangan antara ketentuan hukum yang diatur dalam perjanjian yang mengakui dirinya sebagai contrat sans loi dengan hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku, yang dipergunakan adalah hukum dari negara yang berdasarkan pada kaedah hukum perdata internasional dipergunakan sebagai hukum yang berlaku.
D. Penyelesaian Sengketa Kontrak Dagang Internasional yang Dikenal di Indonesia 1. Masalah Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Dagang Internasional Indonesia a. Kepastian hukum sebagai pertimbangan utama Investor Apapun alasannya, pelaku bisnis selalu mencari kepastian hukum, sebab pengusaha atau Investor sangat membutuhkan ketenangannya berusaha, berharap mendapatkan insentif yang memadai dari pemerintah dimana para pelaku bisnis itu berinvestasi dan memperoleh peluang untuk berkembang dengan lingkungannya, dengan karyawannya dan dengan mitranya secara baik. Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang. Selain faktor ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum. 96 Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-
96
Sentosa Sembiring., Hukum Investasi, (Bandung: Nuansa Alia, 2007), hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
undangan sebagai dasar hukum setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. 97 Bila suatu negara ingin menjadi tujuan berinvestasi, maka hukum terkait prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian hukum. Berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastian hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi, baik asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing menempatkan asas kepastian hukum dalam posisi teratas dari sepuluh asas penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia sebagai negara hukum ang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. Namun masalah kepastian hukum dalam penyelenggaraan investasi, tidak seluruhnya ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum dalam undang-undang tersebut. Kepastian hukum dalam pengertian substansi harus pula didukung oleh substansi hukum pada bidang hukum bisnis lainnya dan ditentukan pula aspek dan ditentukan pula aspek kepastian dalam strukrut penegakan hukum. Kepastian hukum dalam transaksi kontrak dagang di Indonesia masih sangat rendah dan sangat mempengaruhi minat para investor. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dengan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, Badan Usaha Milik Negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap
97
Mahmul Siregar., ”Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional”, Volume 27 Nomor 24 Tahun 2008, hal. 60, dan bandingkan dengan Pasal 3 Undan-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing.
Universitas Sumatera Utara
ditengarahi adanya praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak pada terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyaknya investor jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa karena baru dua tiga tahun berjalan, kontrak dibatalkan oleh pengadilan. 98 Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan mengingat sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai, kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak seolah-olah tidak berlaku di Indonesia. 99 Investor asing mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka kepastian persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Pridential, PT. Danareksa Jakarta, PT. Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper, serta anak perusahaannya, di Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi komersial
yang
dibuat
berdasarkan
perjanjian
Internasional.
Kondisi
ini
menimbulkan dampak besar terhadap tingkat resiko Indonesia di pasar modal Internasional dan atas arus modal langsung. 100 Kontrak dagang Internasional pada umumnya didasarkan pada kontrak yang telah disepakati dan mengikat. Dengan adanya kontrak yang mengikat tersebut melahirkan keyakinan para pihak terhadap ekspektasi yang akan didapatkannya dari pelaksanaan kontrak tersebut, dan untuk harapan tersebut, para pihak bersedia 98
Richardo Simanjuntak (II)., Relevansi Eksekusi Putusan Pengadilan Niaga dalam Transaksi Bisnis Internasional, Makalah dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22 No. 4 tahun 2003, hal. 61. 99 Muhammad Ikhsan., ”Perbaiki Iklim Investasi, Pesan Bagi Pemerintah Baru”, (Kompas, 31 Mei 2004). 100 Hikmahanto Juwana., ”Kepastian Hukum”, Seputar Indonesia 30 Juli 2007, diakses dari http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/kepastian-hukum-2html, diakses terakhir tanggal 25 September 2008.
Universitas Sumatera Utara
menggunakan sumber daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang diinginkan tersebut. Untuk memastikan harapan para pihak tersebutlah kontrak yang diikat tidak saja sebagai sumber kewajiban moral tetapi juga sumber kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati. 101 Sebagai konsekuensinya, maka hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut.102 b. Kepastian hukum dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing Penyelesaian
sengketa
kontrak
dagang
umumnya
dilakukan
secara
konvensional melalui litigasi, akan tetapi implikasi kegiatan bisnis yang sangat pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan, dimana pengadilan sering dianggap tidak profesional dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen. 103 Sehingga para investor dalam menyelesaikan sengketa kontrak dagang dengan memilih jalan lain yakni melalui penyelesaian sengketa arbitrase. Banyak faktor yang mendorong para pelaku bisnis Internasional memilih arbitrase, di antaranya adalah karena putusan arbitrase bersifat final and binding (final dan mengikat) dan karenanya cenderung siap untuk dilaksanakan, dan sifat arbitrase yang menjamin netralitas Dewan Arbitrase yang dipilih para pihak, artinya tidak mempunyai karakter nasional. 104
101
Todung Mulya Lubis., ”Infrastruktur dan Kepastian Hukum”, (Kompas: Selasa, 14 Juni
2005). 102
Fred B.G. Tambunan., ”Kekuatan Mengikat Perjanjiandan Batas-Batasnya”, Makalah, (Jakarta: Juli 1998), hal. 1. 103 United Kingdom Report, Departement of Trade and Industry, (London: 1996,) hal. 3. 104 Erman Suparman., Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, (Jakarta: Tatanusa, 2004), hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Alasan tersebut di atas, selalu menjadi pertimbangan pihak asing melakukan kontrak dagang di Indonesia. Pertimbangan pertama lebih mengarah kepada aspek kepastian hukum, dan pertimbangan kedua lebih ditujukan untuk menghindari kemungkinan terjadi nasionalisme sempit pada hakim pengadilan nasional. Pasal 60 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS, karakteristik final and binding pada putusan arbitrase diakui secara imperatif karena tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali teradap putusan arbitrase. Namun pada kenyataannya, erdapat sengketa transaksi bisnis Internasional yang telah diputus oleh arbitrase, khususnya badan arbitrase nasional justru menimbulkan kontroversi dan pelaksanaan putusannya masih berlarut-larut yang berujung pada pencitraan lemahnya kepastian hukum di Indonesia. c. Kepastian hukum dalam kepailitan Salah satu bidang hukum yang terkait dengan kontrak dagang Internasional adalah hukum kepailitan. Hukum kepailitan juga mejadi salah satu faktor pertimbangan bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pada umumnya secara tradisional hukum kepailitan lebih banyak diperbincangkan dalam konteks hukum nasional. Namun dengan adanya kontrak dagang Internasional, kepastian hukum dalam hukum kepailitan menjadi sorotan masyarakat bisnis Internasional dan dapat mempengaruhi iklim investasi suatu negara. 105 2. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Sebagai Alternatif Konflik, sengketa, pelanggaran atau pertikaian antara atau terkait dua individu atau lebih dewasa ini telah dan akan terus menjadi fenomena biasa dalam masyarakat. Situasi itu akan semakin merepotkan dunia hukum dan peradilan apabila 105
Jurnal Hukum Bisnis, Op. cit, hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
semua konflik, sengketa atau pertikaian itu diproses secara hukum oleh peradilan. Dalam kaitan itu diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau ADR yang tidak membuat masyarakat tergantung pada dunia hukum peradilan yang terbatas kapasitasnya, namun tetap dapat menghadirkan rasa keadilan dan penyelesaian masalah. Mekanisme tersebut sebenarnya telah memiliki dasar hukum dan telah memiliki preseden serta pernah dipraktikkan di Indonesia walau jarang disadari. Mekanisme tersebut juga memiliki potensi untuk semakin dikembangkan di Indonesia. Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalahkalah” atau “menang-kalah”. 106 Memang, tidak terlalu tepat untuk mengatakan yang sebaliknya, bahwa dalam suatu negara kekuasaan belaka atau machtstaat, yang cenderung dilakukan adalah proses penegakan hukum formal melalui litigasi. Dalam kenyataannya, di negaranegara seperti itu, kalaupun dilakukan suatu proses penegakan hukum terhadap suatu perbuatan melanggar hukum, yang sering terjadi adalah suatu formalitas hukum atau bahkan pengenyampingan hukum sama sekali. Adalah kooptasi besar-besaran pada elemen-elemen negara bidang hukum itulah (contoh adalah terhadap peradilan),
106
Teguh Soedarsono., Kadiv Binkum Polri, dalam presentasi Makalah mengenai ”Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, Jakarta, Mabes Polri, Desember 2006.
Universitas Sumatera Utara
sehingga mampu menghasilkan putusan yang tidak hanya bias dan diskriminatif tetapi justru malah tidak adil 107. Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau untuk patuh pada hukum ataupun yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih resolutif (sebagai suatu kata bentukan “resolusi” yang dapat diartikan sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal, pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka. 108 Sedangkan kelemahan dari penggunaan sistem ini adalah, dapatnya menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelanggar aturan. Salah satu persoalan penting yang menjadi pertanyaan adalah, bagimana hubungan antara ADR dan Restorative Justice (RJ). Tetapi RJ merupakan salah satu model
ADR
dimana
lebih
ditujukan
pada
kejahatan
terhadap
sesama
individu/anggota masyarakat dari pada kejahatan terhadap negara. Dalam RJ, pihakpihak yang terlibat lebih diutamakan untuk menyelesaikan masalahnya bukan semata-mata melalui penyelesaian hukum, tetapi memberikan kesempatan kepada 107
Adrianus Meliala, ”Adakah Model-Model Resolusi Konflik”, artikel, Koran Tempo, tanggal 10 April 2001. 108 Mas Achmad Santosa, & Wiwiek Awiati., ”Alternative Dispute Resolution (Negosiasi & Mediasi)”, Naskah Presentasi, ICEL, (Jakarta: tanpa penerbit dan tanpa tahun), hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
para pihak yang terlibat untuk menentukan solusi, membangun rekonsiliasi demikian pula membangun hubungan yang baik antara korban dan pelaku. Singkatnya, RJ menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat dimana terdapat tanggungjawab bersama antar para pihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat. Dalam peradilan formal, ADR tidak terlepas dari Pasal 130 HIR/154 Rbg yang memberi dasar hukum adanya Court Annexed Mediation (lembaga mediasi di pengadilan). Karena Pasal 130 HIR/154 Rbg kurang jelas baik prosedur, tahapan dan acaranya, maka Mahkamah Agung RI pada tanggal 11 September 2003 mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah dikeluarkannya Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma tersebut dikeluarkan berdasarkan
pertimbangan bahwa
institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus 109. Maka, hakim dalam hal ini berperan aktif untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa dalam waktu 22 hari. Pada tingkat Mahkamah Agung dewasa ini, telah sejak lama dibentuk Pusat Mediasi Nasional yang berfungsi untuk menyebarluaskan kemampuan khususnya bagi para hakim dalam rangka melakukan mediasi antar para pihak dalam kasus yang memungkinkan hal itu terjadi. Selanjutnya, dorongan melakukan mediasi terkait penyelesaian kasus juga dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai tingkatan
109
Artidjo Alkostar, “Alternative Dispute Resolution Sebagai Salah Satu Bentuk Mekanisme Pemecahan dan Penanganan Masalah dalam Proses Penegakan Hukum Polri”, Makalah Seminar, Jakarta, 28 Februari 2007, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
kewilayahan. Salahsatunya adalah yang hingga kini ditumbuhkembangkan LP3S melalui program Balai Mediasi Desa di Nusa Tenggara Barat 110. Bagian dari ADR atau disebut juga dengan Penyelesaian Sengketa Alternatif dan penerapan ADR di antaranya adalah mediasi, konsilisi, negosiasi, telah berkembang lama. Misalnya, Jepang pada zaman Tokugawa, telah menerapkan konsiliasi sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Selanjutnya dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Konsiliasi Perdata atau “Minji Chotei Ho” pada tahun 1951. 111 Negara Cina dan Jepang sudah sejak lama mengenal mediasi juga sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Hal ini sejalan dengan kultur masyarakat Cina tidak suka kepada Pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Di sini sengketasengketa perdata diselesaikan melalui mediator. Untuk priode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat kontroversi antara kaum Confucius dan Legalist mengenai bagaimana mengatur masyarakat. Di satu pihak, kaum Confucius menekankan pentingnya ditegakkan prinsip-prinsip berdasarkan moral (LI). Sedangkan kaum Legalist memandang perlunya aturan-aturan hukum tertulis yang pasti (FA). 112 Pada umumnya rakyat mulai sadar dan menerima ikatan-ikatan moral yang berlaku lebih banyak akibat pengaruh sanksi sosial dari pada karena dipaksakan oleh hukum yang berlaku. Oleh karenanya clan, gilda, dan kelompok golongan terkemuka (gentry) menjadi institusi hukum yang informal dalam menyelesaikan sengketa110
LP3ES, “Program Penguatan Balai Mediasi Desa”, Naskah Proposal yang Dibuat Dalam Rangka Pencarian Pendanaan, Jakarta, 2005, hal. 5. 111 Hideo Tanaka, ed, The Japanese Legal System, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1988), hal. 492. 112 Erman Rajagukguk., Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, (Jakarta: Chandra Pratama, 2000), hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
sengketa dalam masyarakat Cina tradisional. Kepala clan, gilda dan tokoh masyarakat menjadi penengah (mediator) dalam sengketa-sengketa yang timbul dan bila perlu mengenakan sanksi disipliner dan denda. Confuciusnisme yang mengartikan FA sebagai hukuman (HSING), bukan merupakan cara yang baik untuk menjaga ketertiban sosial. Menurut Erman Rajagukguk, masuk akal , jika masyarakat Cina tradisional enggan membawa persengketaan di antara mereka ke depan pengadilan yang resmi, karena hubungan yang harmonis bukan konflik mendapatkan tempat yang tinggi di masyarakat. 113 Pengalaman Jepang setelah Tokugawa, tepatnya pada era Restorasi Meiji tahun 1868 Jepang telah berhubungan dengan dunia Barat, dimana orang-orang Jepang berangkat untuk belajar, misalnya ke Jerman mempelajari antara lain perdagangan maritim. Tahun 1895 Jepang menjadi negara Modern dan telah menganut sistim hukum modern. 114 Namun, pada saat sekarang ini Jepang dihadapkan dengan gelombang globalisasi, yang merupakan gelombang ketiga reformasi hukum secara besar-besaran setelah modernisasi Meiji. Globalisasi ekonomi
Jepang membuat ”sistim” tradisional menjadi besar dan juga kini
membutuhkan sistim baru yang menunjukkan standar global. Aktivitas perdagangan dan bisnis Jepang, baik di dalam dan luar Jepang, telah membuat makin banyak sengketa perdagangan dalam lingkup antar negara. Oleh karena itu, metode penyelesaian sengketa dalam perdagangan harus dikaji sesuai dengan standar
113
Ibid, hal. 105-106. Dan Fenno Henderson., Conciliation and Javanese Law: Tokugawa and Modern, (Tokyo: University of Tokyo Press, 1965), hal. 47. 114
Universitas Sumatera Utara
global. 115 Salah satu model penyelesaian sengketa yang berkembang adalah arbitrase, tetapi konsep arbitrase dapat ditafsirkan secara berbeda
oleh setiap kultur dan
arbitrasi tidak dapat ditujukan menyelesaikan sengketa yang melibatkan konflik kultural. 116 Tradisi Jepang bersama dengan Cina dan negara-negara Asia Timur lainnya yang dipengaruhi oleh filosofi Confucian, memiliki kultul konsiliatori, dimana mediasi atau konsiliasi sudah lama diakui sebagai mekanisme yang lebih cocok untuk penyelesaian sengketa. Hal ini sejalan dengan kultur Jepang yang menekankan keharmonisan, yang pada gilirannya mempengaruhi untuk mengutamakan mediasi dan konsiliasi dan bukan litigasi. Menurut pengamatan Yosunobu Sato, efisiensi penyelesaian sengketa yang lain, seperti arbitrasi, sekarang ini dipertanyakan keberadaannya. Sebab sama dengan litigasi, tidak fleksibel, mahal dan memakan waktu lama. 117 Dengan demikian menurut Sato, sekarang ini tipe mediasi dan konsiliasi yang biasanya ditemukan dalam tradisi Asia Timur telah diambil sebagai alternatif atau pelengkap terhadap proses arbitrasi sebagai suatu pola ADR. Cina, Hongkong, Korea dan Singapore secara formal telah mengadopsi sistim konsiliasi. Bahkan, bukan saja negara-negara Asia Timur, tetapi juga beberapa negara lain, termasuk yang menganut common law telah memadukan penyelesaian mediasi dan konsiliasi tersebut.118
115
Yasunobu Sato., “The Japanese Model of Dispute Processing”, Proceedings of the Roundtable Meeting, “Law, Development and Socio-Economic Changes in Asia II,” Bangkok, 19-20 November 2001, hal. 152. 116 Ibid, hal. 156. 117 Ibid, hal. 157. 118 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Penerapan ADR di Amerika Serikat yang pada umumnya merujuk kepada alternatif-alternatif adjudikasi pengadilan atas konflik, seperti negosiasi, mediasi, arbitrasie, 119 dilatarbelakangi oleh faktor-faktor gerakan reformasi pada awal tahun 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam bidang hukum dan masyarakat akademis mulai merasa keprihatinan serius mengenai efek negatif yang semakin meningkat dari litigasi.
Legislasi yang dilaksanakan pada tahun 1960 telah
menjamin berbagai perlindungan individu dari hak-hak konsumen sampai hak sipil. Namun, perjuangan untuk mendapatkan hak-hak tersebut melalui sistim hukum sudah menjadi beban yang rumit. Oleh karena itu, orang mulai mencari alternatif terhadap adjudikasi pengadilan atas konflik. 120 Berdasarkan latar belakang munculnya ADR, baik di Amerika yang didasarkan atas ketidakpuasan masyarakat pada administrasi pengadilan, maupun di negara-negara Asia Timur yang didasarkan pada kultur yang menekankan keharmonisan, seperti kultur Jepang dan Indonesia yang juga mempunyai kultur yang mendukung ADR tersebut. Hal itu telah membuat ADR semakin populer, bahkan berbagai negara telah mengaturnya melalui undang-undang. Misalnya, Indonesia mempunyai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 121 menyebutkan, bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
119
Jacqueline M. Nolan Haley., Alternative Dispute Resolution In A Nutshell, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1992), hal. 2. 120 Ibid, hal. 4. 121 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara komunikasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Bila dikaitkan dengan cita-cita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna membentuk Negara Hukum (rechtstaat), dan bukan Negara Kekuasaan (machtstaat), maka salah satu indikator sasarannya adalah terbentuknya kondisi dan kemampuan warga negara atau masyarakat untuk patuh hukum, atau bahkan masyarakat yang patuh hukum. Dalam situasi tersebut, proses penegakan hukum
tidak
seyogyanya
sepenuhnya
atau
selamanya
dilakukan
dengan
mempergunakan metode keadilan formal yakni melalui pengadilan, yang salah satunya berupa tindakan represif kepolisian dan dilanjutkan dengan proses hukum litigatif. Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif tersebut banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalahkalah” atau “menang-kalah”. Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau untuk patuh pada hukum ataupun yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih resolutif (sebagai suatu kata bentukan “resolusi” yang dapat diartikan sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal,
Universitas Sumatera Utara
pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka. 122 Alternatif terkait pengenyampingan tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan dan atau perbuatan tertentu, bisa dilakukan mekanisme ADR. Adapun beberapa prinsip utama dari model berpikir alternatif penyelesaian sengketa dari dalam peradilan sehingga menjadi di luar pengadilan tersebut adalah sebagai berikut
123
:
1. Titik berat adalah pada kualitas kasus, bukan kuantitasnya. Sumber daya perlu dikerahkan guna mengungkap kasus secara tuntas dan, olehkarenanya, tidak perlu mengejar jumlah; 2. Amat memelihara hak-hak individual dan juga memperhatikan situasi individual tersangka. Selanjutnya, model ini juga menekankan pentingnya memperhatikan hak-hak korban; dan 3. Jika hukum dianggap memperburuk situasi tersangka serta korban, demikian pula diprediksikan tidak akan memperbaiki hubungan dengan korban, maka sebaiknya tidak atau jangan dipergunakan. Sehingga diharapkan akan ada lebih banyak lagi terobosan yang dilakukan para pihak yang terlibat dalam kontrak dagang internasional untuk memungkinkan memilih jalur ADR. ADR tentu saja tidak seyogyanya dilihat sebagai kompetitor, tetapi justru penyaring atau filter agar kasus yang benar-benar kompleks yang kemudian dilakukan secara profesionalisme. 3. Arbitrase Sebagai Pilihan Hukum yang Paling Populer bagi Pelaku Bisnis Arbitrase sebagai instrumen penyelesaian sengketa yang populer saat ini dalam menyelesaikan sengketa bisnis Internasional, karena arbitrase memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan sistem peradilan formal di pengadilan.
122 123
Mas Achmad Santosa & Wiwiek Awiati, Op. cit, hal. 5. Adrianus Meliala, Op. cit, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
a. Kelebihan arbitrase Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding). Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer dan semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa Internasional. 124 Dewasa ini, arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian yang sangat populer diminati masyarakat khususnya dalam penyelesaian sengketa mengenai transaksi bisnis Internasional atau kontrak dagang Internasional. Kecenderungan di dalam kontrak-kontrak dagang Internasional, para pihak biasanya memilih arbitrase sebagai pilihan yurisdiksi. Pilihan tersebut didasarkan pada keunggulan atau keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, antara lain berkenaan dengan: 125 1) Kebebasan, kepercayaan dan keamanan. Arbitrase pada umumnya dipilih oleh pengusaha, pedagang atau investor karena memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada mereka. Selain itu, secara relatif memberikan rasa aman terhadap keadaan yang tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda, juga terhadap kemungkinan putusan Hakim yang berat sebelah melindungi kepentingan pihak lokal dari mereka yang terlibat dalam suatu perkara; 2) Keahlian arbiter (expertise). Pihak-pihak sering memilih arbitrase karena mereka memiliki kepercayaan yang besar pada keahlian para arbiter mengenai permasalahan yang dipersengketakan dibandingkan dengan menyerahkan kepada pengadilan umum. Mereka dapat mengangkat atau menunjuk arbiter atau suatu panel arbitrase yang memiliki keahlian terhadap suatu pokok perasalahan yang dipersengketakan. Hal tersebut tidak dapat dijamin dalam sistem badan peradilan umum seperti Pengadilan Negeri di Indonesia; 3) Cepat dan hemat biaya. Proses pengambilan keputusan melalui arbitrase seringkali lebih cepat, tidak terlalu formal, dan lebih murah dari pada proses litigasi di pengadilan. Putusan arbitrase biasanya ditetapkan bersifat final dan tidak dapat dibanding; 124
Huala Adolf., Loc. cit, hal. 23. Gary Goodpaster et.al, Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia, dalam Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk, eds, “Arbitrase di Indonesia”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 19-21. 125
Universitas Sumatera Utara
4) Bersifat rahasia; Arbitrase berlangsung dalam lingkungan yang bersifat privat dan bukan bersifat umum, maka arbitrase bersifat tertutup. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau merugikan para pihak akibat penyingkapan informasi kepada umum. Selain itu hal ini juga dapat melindungi mereka dari publisitas yang merugikan dan akibat-akibat, seperti kehilangan reputasi, bisnis dan pemicu bagi tuntutantuntutan lainnya yang dalam proses judikasi publik dapat mengakibatkan sengketa secara terbuka; 5) Bersifat non precedent. Sistem hukum yang bersifat preseden (precedent) mempunyai pengaruh penting dalam pengambilan keputusan mengakibatkan keputusan arbitrase pada umumnya tidak memiliki nilai atau sifat preseden. Para pihak khawatir akan menciptakan preseden yang merugikan yang mungkin dapat mempengaruhi kepentingannya di masa mendatang. Karena itu untuk perkara yang serupa mungkin saja dihasilkan putusan arbitrase yang berbeda sebab arbitrase tidak akan memberikan preseden; dan 6) Kepekaan arbitrator. Para Hakim dan Arbiter menetapkan ketentuan hukum untuk membantu penyelesaian perkara yang mereka hadapi, namun dalam hal-hal yang relevan, arbiter akan lebih memberikan perhatian terhadap keinginan, realitas, dan praktek dagang para pihak. Sebaliknya, pengadilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat publik, seringkali memanfaatkan sengketa privat untuk lebih menonjolkan nilai-nilai masyarakat. Akibatnya di dalam penyelesaian sengketa privat, pertimbangan Hakim lebih mengutamakan kepentingan umum. Kepentingan privat atau pribadi dinomorduakan. Arbiter pada umumnya menerapkan pola nilai-nilai sebaliknya. Pengusaha asing selain cenderung memilih hukum negaranya sendiri, juga lebih menyukai pilihan forum arbitrase di luar negeri. Pilihan hukum asing dan pilihan forum arbitrase di luar negeri yang demikian itu dilatarbelakngi oleh keyakinan bahwa hukum dan pengadilan di negera berkembang kurang dapat memberikan rasa aman bagi mereka. Pengusaha asing seringkali khawatir terhadap hukum dan Hakim negara berkembang. Bagi mereka, hukum di negara berkembang sukar untuk diketahui. Ibarat orang harus melompat di dalam kegelapan atau masuk dalam rimba raya dengan hutan belukar hingga tidak tahu jalan keluarnya. 126 Mereka takut akan hukum yang tidak diketahui tersebut. Juga ada ketakutan atau keraguan pengadilan atau Hakim yang melaksanakan hukum yang kurang 126
Sudargo Gautama (I)., Loc. cit, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
diketahui oleh mereka. Munir Fuady, mengatakan kelebihan arbitrase dibandingkan dengan pengadilan secara konvensional adalah sebagai berikut: 127 a) Prosedur tidak berbelit-belit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu relatif singkat; b) Biaya lebih murah; c) Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum; d) Hukum terhadap prosedur pembuktian lebih rileks; e) Para pihak dapat memilih hukum mana yang diberlakukan arbitrase; f) Para pihak dapat memilih sendiri arbiternya; g) Dapat memilih arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya; h) Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi; i) Keputusan umumnya final and binding (tanpa harus banding atau kasasi); j) Keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali; k) Prosedur arbitrase lebih mudah oleh masyarakat luas; dan l) Menutup kemungkinan untuk dilakukan ”forum shopping”. Sedangkan kelebihan arbitrase menurut Runtung Sitepu adalah: 128 a) Dijamin kerahasiaan para pihak; b) Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; c) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e) Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat diselesaikan. Menurut penulis, masyarakat khususnya para pelaku bisnis dapat memilih untuk menyelesaiakn sengketa bisnisnya melalui cara-cara dalam arbitrase adalah karena; adanya kebebasan, kepercayaan, kedamaian, wasit atau arbiter memiliki keahlian, lebih cepat dan hemat biaya, bersifat rahasia, adanay kepekatan arbiter atau wasit, bersifat non preseden, pelaksanaan putusannya lebih mudah dilakukan.
127
Munir Fuady., Arbitrase Nasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 94. Runtung Sitepu., “Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Adat pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan rapat terbuka Universitas Sumatera Utara, (Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 1 April 2006), hal. 20. 128
Universitas Sumatera Utara
b. Kekurangan arbitrase Di samping kelebihan-kelebihan arbitrase juga memiliki kekurangankekurangan, antara lain adalah sebagai beikut: 129 1) Hanya baik dan tersedia dengan baik terhdap perusahaan-perusahaan yang bonafide; 2) Due process kurang terpenuhi; 3) Kurang unsur finality; 4) Kurang power untuk menggirng para pihak ke settlement; 5) Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi, dan lain-lain; 6) Kurangnya power untuk hal-hal law enforcement dan eksekusi putusan; 7) Dapat menyembunyikan disputes dari public security; 8) Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif; 9) Kemungkinan timbulnya putusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada sistem precedent terhadap putusan sebelumnya dan juga karena unsur fleksibilitas dari arbiter. Karena itu, putusan arbitase tidak prediktif; 10) Kualitas putusannya sangat tergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa norma yang cukup untuk menjaga standar mutu putusan arbitrase. Oleh karena itu, sering dikatakan, ”an arbitration is as good as arbitrators”; 11) Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan konvensional yang ada; dan 12) Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan. c. Kewenangan (Kompetensi atau Yurisdiksi) Pengadilan Arbitrase Yurisdiksi pengadilan di dalam HPI merupakan kekuasaan dan kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan menentukan suatu permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk diputuskan dalam setiap kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum asing yang relevan. Yurisdiksi yang diakui dan dijalankan secara internasional, bagi pengadilan suatu negara (propinsi atau negara bagian dalam sistem hukum negara federal) harus mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau harta kekayaan yang dipersengketakan.
129
Munir Fuady., Op. cit. hal. 95.
Universitas Sumatera Utara
Yurisdiksi pengadilan di dasarkan pada lokasi atau tempat objek yang terletak di dalam wilayah yang akan diberlakukan yurisdiksi. Jika gugatan yang dimaksudkan untuk meminta tanggung jawab seseorang atau membebankan kewajiban terhadap seseorang, maka pengadilan memberlakukan yurisdiksi in personam dan gugatan tersebut merupakan gugatan in personam. 130 Hukum Acara Perdata yang berlaku dewasa ini di Indonesia dan juga pengaturannya terdapat pada HIR dan Rbg tidak terdapat ketentuan khusus mengenai kompetensi pengadilan (yurisdiksi) di Indonesia dalam mengadili perkara-perkara perdata yang mengandung elemen asing. Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat bertempat tinggal atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka di tempat sebenarnya ia berada. Tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah suatu Pengadilan Negeri, menurut Pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal. Yurisdiksi menurut Sudargo Gautama, merupakan ketentuan penting yang ada hubungannya dengan perkara yang bersifat HPI terdapat dala Pasal 118 ayat (3) HIR. 131 Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri ditempat penggugat (Forum Actoris). Kemudian apabila gugatan tersebut berkaitan dengan benda tidak bergerak (benda tetap), gugatan diajukan kepada pengadilan negeri dimana benda tetap itu terletak (Forum Rei Sitae).
130 131
Ibid. hal. 60. Sudargo Gautama (III), Loc. cit, hal. 210.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 118 ayat (4) HIR, terdapat ketentuan yang menegaskan, bahwa jika terdapat pilihan domisili, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang telah dipilih tersebut (Chice of Forum). Yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara diamana tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia, sehingga prosedur khusus telah dilakukan. 132 Pengkajian di dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 sub 8 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvorerdering (RV) 133 mengenai Dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat kepada yang bertempat tinggal di luar Indonesia sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat pengadilan dimana seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan eksploit untuk yang bersangkutan kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim. 134 Uraian di atas memberikan arahan untuk dapat disimpulkan, bahwa prinsip penyampaian gugatan harus dilakukan di tempat tinggal pihak tergugat. Kewenangan mengadili pertama-tama didasarkan pada asas the basis of presence, yakni pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara teritorial atas semua orang
132
Ibid, hal. 211. Ketentuan ini merupakan reglemen hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi. Namun apabila di dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan tertentu mengenai hukum acara perdata, misalnya mengenai arbitrase, maka ketentuan RV dapat dijadikan sebagai pedoman. 134 Sudargo Gautama (III)., Op. cit, hal. 211. 133
Universitas Sumatera Utara
dan benda yang berada dalam batas-batas wilayah negaranya. Pengecualiannya adalah berkaitan dengan imunitas negara berdaulat dan staf diplomatik. 135 Pilihan yurisdiksi ini dapat mengacu kepada pengadilan di salah satu negara dari para pihak yang mengadakan transaksi. Pilihan yurisdiksi ini juga dapat merujuk kepada suatu lembaga arbitrase di negara tertentu yang dilaksanakan di negara tertentu. Para pihak yang bersengketa mempunyai kebebasan untuk memilih forum. Mereka dapat menyimpang dari kompetensi relatif dengan memilih Hakim lain. Namun, sedemikian tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi tidak berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah hukum intern negara yang bersangkutan Hakim tidak berwenang adanya. Misalnya untuk Nederland tidak dapat dipilih Hakim jika menurut hukum Belanda sama sekali tidak ada Hakim Belanda yang relatif berwenang mengadili perkara itu. 136 Pilihan forum menurut Convention on the Choice of Court 1965 terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat Internasional. Pilihan forum tidak berlaku bagi status atau kewenangan orang atau badan hukum keluarga, termasuk kewajiban atau hak-hak pribadi atau financial antara orang tua dan atau antara suami dengan istri seperti: 137 1. Permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir (1); 2. Warisan; 3. Kepailitan; dan 4. Hak-hak atas benda yang tidak bergerak.
135
Ibid, hal. 213. Ibid, hal. 233. 137 Ibid, hal. 234 136
Universitas Sumatera Utara
Pengadilan Arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara yang diajukan kepadanya, terlebih dahulu harus meneliti apakah ia berwenang mengadili perkara tersebut. Salah satu cara untuk menentukan berwenang atau tidaknya ia mengadili perkara yang bersangkutan adalah dengan meneliti klausul pilihan yurisdiksi yang terdapat di dalam kontrak yang bersangkutan. Hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung elemen asing menemui adanya pilihan forum yang menunjuk kepada badan peradilan lain atau menunjuk kepada badan arbitrase lain tetapi berlainan kompetensi relatifnya, maka Hakim yang bersangkutan harus menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Misalnya dalam sebuah kontrak ekspor-impor antara pengusaha Indonesia dengan pengusaha Amerika Serikat di Indonesia, para pihak memilih yurisdiksi District of Court di New York. Jika terjadi sengketa antara pihak-pihak, kemudian pengusaha Indonesia itu mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka seharusnya Hakim menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Para pihak di dalam substansi kontrak ternyata memilih forum arbitrase di luar negeri atau di Indonesia misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau Badan Arbitrase Syari’ah Nasional, maka perkaranya tidak dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. Hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan tersebut. Pilihan yurisdiksi arbitrase seperti ini telah diakui dan diatur dalam Konvensi New York tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri. Hasil konvensi tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 34 Tahun 1981.
Universitas Sumatera Utara
Badan-badan peradilan di Indonesia juga negara lainnya yang terikat pada konvensi tersebut harus pula menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili suatu sengketa dimana para pihak telah menentukan pilihan terhadap arbitrase sebagai pilihan yurisdiksi mereka. 138 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menentukan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang terkait di dalam perjanjian arbitrase. Pilihan yurisdiksi berperkara juga secara strategis harus diperhitungkan terhadap wilayah hukum dari mana proyek yang disepakati dalam kontrak tersebut dilaksanakan dan yang sangat penting dimana aset-aset mitra berkontrak tersebut berada. 139 Pelaksanaan putusan arbitrase asing diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung Indonesia Nomor 1 Tahun 1990 sebelum adanya Undang-Undang tentang arbitrase tahun 1999, bahwa yang menetapkan pelaksanaan putusan arbitrase asing hanya terbatas pada putusan yang tidak bertentang dengan kepentingan umum. Peraturan tersebut juga mengatakan bahwa kepentingan umum adalah sebuah norma yang jelas tidak bertentangan dengan seluruh prinsip sistem hukum dan masyarakat Indonesia.
138 139
Sudargo Gautama (V), Loc. cit, hal. 23. Jurnal Hukum Bisnis, Op. cit, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini disesuaikan dengan permasalahan yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Hukum yang mengatur mengenai kontrak dagang Internasional ini telah berpedoman kepada berbagai konvensi Internasional dimana mengandung elemen asing, hanya bersifat pedoman apabila ada pilihan hukum. Peraturan nasional seperti HIR, Rbg, KUH Perdata, KUHD, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Kepres Nomor 34 Tahun 1981 tentang pengakuan arbitrase asing, PERMA Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing, sampai kepada dibentuknya Badan Arbitrase Nasional Indonesia, semua peraturan yang disebutkan
tersebut
mengenai
substansinya
mengatur
kontrak
dagang
internasional dalam hal pilihan hukum, pilihan forum, yurisdiksi, dan penyelesaian sengketa kontrak yang pada intinya diberikan kebebasan masingmasing pihak untuk menentukan kehendaknya sesuai dengan asas kebebasan berkontrak. 2. Pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan atau arbitrase asing di Indoensia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya sekedar suatu fakta berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di Indonesia, dalam Pasal 436 Rv
Universitas Sumatera Utara
antara lain menyatakan bahwa, ”Keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia”. Sehubungan dengan itu, sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Pasal 3 PERMA Nomor 1 Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan pengadilan atau arbitrase asing hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Putusan itu dijatuhkan oleh badan arbitase atau arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pelaksanaanna didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas); b. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang; dan c. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 3. Penyelesaian sengketa kontrak dagang yang bersifat internasional, bagi negara Indonesia harus memperhatikan pilihan hukum dalam kontrak, pilihan yurisdiksi melalui pengadilan atau arbitrase, contrat sans loi diberlakukan apabila sepanjang tidak bertentangan dengan hukum domestik di Indonesia. Sehubungan dengan penyelesaian sengketa kontrak dagang bagi negara Indonesia, maka alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan
Universitas Sumatera Utara
merupakan pilihan yang diutamakan dan untuk saat ini, bagi warga negara Indonesia yang melakukan kontrak, pilihan terhadap arbitrase adalah yang paling populer dilakukan karena mengingat bahwa arbitrase bisa menghemat biaya, murah, dan cepat jika dibandingkan dengan pilihan berperkara melalui pengadilan pada suatu negara tertentu.
B. Saran Adapun yang menjadi saran dari peneliti bagi kemajuan dan perkembangan hukum kontrak dagang Internasional di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Diharapkan bagi pelaku bisnis warga negara Indonesia yang melakukan kontrak dagang Internasional agar memahami berbagai aturan hukum yang mengatur mengenai kontrak, jika tidak demikian, maka kemungkinan bagi pelaku bisnis dalam berkontrak akan mengalami berbagai kendala dikemudian hari misalnya penegasan di dalam kontrak mengenai pilihan hukum, pilihan pengadilan atau arbitrase dan lain-lain. 2. Diharapkan bagi hakim-hakim yang mengadili perkara dalam penyelesaian sengketa kontrak dagang yang bersifat Internasional tersebut, hendaknya lebih arif dan bijaksana memeriksa putusan pengadilan atau arbitrase asing di Indonesia, karena hal ini sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia bahwa putusan pengadilan atau arbitrase asing itu hanya sebatas diakui tetapi tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan, hal ini juga sangat sesuai dengan asas kedaulatan yang dijunjung tinggi di negara Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
3. Diharapkan bagi setiap pelaku bisnis dalam melakukan kontrak dagang Internasional agar dalam upaya penyelesaian sengketa kontrak, hendaknya memilih arbitrase sebagai pilihan yang tepat. Hal ini dilakukan karena lebih cepat, murah biayanya, dan tidak terlalu formal seperti prosedur dalam persidangan di pengadilan.
Universitas Sumatera Utara