SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
BAB III TEKANAN TERHADAP LINGKUNGAN Kondisi lingkungan sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Jumlah penduduk yang semakin tinggi memberikan tekanan yang cukup besar terhadap lingkungan. Begitu pula segala aktifitas yang dilakukan oleh manusia seperti di bidang pertanian, industri, pertambangan, energi, transportasi dan pariwisata dapat memberikan tekanan pada lingkungan. Sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca melalui sawahsawah yang tergenang, pemanfaatan pupuk urea serta praktek pertanian, pembakaran sisa-sisa tanaman dan pembusukan sisa-sisa pertanian serta pembusukan kotoran ternak. Dari sektor ini gas rumah kaca yang dihasilkan yaitu gas metana (CH4) dan gas dinitro oksida (N2O). Gas metan merupakan salah satu pemicu berlubangnya ozon yang berdampak terhadap pemanasan global (global warming) (Andhi Fish Jogja). Sementara itu kegiaan di sektor industri tak kalah memberikan tekanan besar terhadap lingkungan. Limbah-limbah industri yang tidak terkelola dengan baik dapat mencemarkan lingkungan sekitarnya, dan masih banyak lagi hal-hal yang memberikan tekanan pada lingkungan yang akan dijelaskan pada bab ini.
A.
Kependudukan
Salah satu hal yang perlu mendapat perhatian dalam program pembangunan adalah bidang kependudukan, karena penduduk merupakan obyek dan subyek dari pembangunan itu sendiri. Jumlah penduduk yang besar dan berkualitas dapat menjadi modal pembangunan (human capital), namun sebaliknya apabila penduduk berkualitas rendah maka besarnya penduduk dapat menjadi beban pembangunan. Secara umum, program kependudukan di DKI Jakarta bertujuan untuk mengendalikan kuantitas penduduk, meningkatkan kualitas penduduk dan kualitas keluarga serta mengarahkan persebaran penduduk dalam rangka mewujudkan tingkat kehidupan yang lebih baik. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan yaitu : a. Peningkatan dan monitoring mobilitas penduduk; b. Pendataan penduduk dan penyusunan peta demografi di DKI Jakarta; c.
Peningkatan kualitas administrasi kependudukan dan catatan sipil;
d. Pelaksanaan program ketenagakerjaan yang diarahkan pada perluasan kesempatan kerja di segala sektor.
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
3.1.
Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kab/Kota
Berdasarkan Proyeksi Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk DKI Jakarta pada Tahun 2014 sebanyak 10.177.924 jiwa, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada Tahun 2014 yang berjumlah 10.075.310 jiwa, telah terjadi peningkatan sebesar 102.614 jiwa atau naik sebesar 1,02 persen. Apabila dilihat dari perkembangan jumlah penduduk DKI Jakarta selama empat dasawarsa pada kurun waktu Tahun 1961-1990 jumlah penduduk tumbuh dengan pesat dari 2,9 juta jiwa pada Tahun 1961 menjadi 4,6 juta jiwa pada Tahun 1971, atau laju pertumbuhan penduduk per tahunnya sebesar 4,58 persen. Kemudian sepuluh tahun berikutnya, jumlah penduduk bertambah lagi menjadi 6,5 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan 4,02 persen per tahun. Tahun 1990, penduduk DKI Jakarta naik sekitar 1,7 juta jiwa, sehingga jumlah penduduk menjadi 8,3 juta jiwa. Selama periode 1980-1990 laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,41 persen per tahun. Laju pertumbuhan pada periode ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan periode sepuluh tahun sebelumnya. Pada kurun waktu 1990-2000, pertambahan penduduk DKI Jakarta dapat dikendalikan sehingga kenaikannya hanya sekitar 0,14 persen. Pada periode 2000-2010, laju pertumbuhan penduduk mengalami kenaikan menjadi 1,43 persen, kemudian selama periode 2010-2015 laju pertumbuhan penduduk menurun menjadi 0,02 persen, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Grafik dibawah : GRAFIK : II.133. JUMLAH DAN LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK DKI JAKARTA, 1961 – 2015 12,00
6,65
Jumlah Penduduk (juta) 9,61
10,00
Juta Jiwa
8,19
4,58
8,00
10,08
10,09
10,18
7,00 6,00
8,35
5,00
4,02
4,00 6,00 4,55 4,00
6,48
3,00
2,41
2,91
1,43
1,65 1,06
2,00
1,02
2,00 1,00
0,14 0,00
0,00 1961
Sumber Keterangan
%
1971
1980
1990
2000
2010
2013
2014
2015
: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 : SP1961-2010 dan Proyeksi 2015
Jika dilihat pertumbuhannya, laju pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta selama empat dekade terakhir terus mengecil. Laju pertumbuhan penduduk di Jakarta yang relatif kecil ini, terutama disebabkan karena semakin rendahnya tingkat kelahiran umum, dan meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan migrasi keluar wilayah DKI Jakarta. Dengan semakin mahalnya harga lahan/rumah tinggal di DKI
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
Jakarta serta semakin pesatnya pembangunan perumahan di sekitar Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (BODETABEK) menjadi salah satu faktor yang mendorong banyaknya penduduk DKI Jakarta yang bermigrasi keluar. Sebagai gambaran tentang pertambahan dan laju pertumbuhan penduduk di Provinsi DKI Jakarta dari Tahun 1961-2015 dapat dilihat pada Tabel dibawah : TABEL : III.67. JUMLAH DAN LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK DKI JAKARTA, 1961-2015
Sumber Keterangan
TAHUN
JUMLAH PENDUDUK (ribu jiwa)
LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK (persen)
1961
2.906,5
6,65
1971
4.546,5
4,58
1980
6.503,4
4,02
1990
8.259,3
2,41
2000
8.385,6
0,14
2010
9.607,8
1,43
2014
10.075,3
1,19
2015
10.177,9
1,02
: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 : SP1961-2010 dan Proyeksi 2015
Jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 10.177.924 jiwa pada Tahun 2015 tersebut merupakan jumlah penduduk “malam hari”. Keunikan jumlah penduduk DKI Jakarta adalah adanya perbedaan jumlah penduduk pada malam hari dibandingkan dengan siang hari. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya penglaju/komuter yang masuk ke DKI Jakarta. Berdasarkan konsep dan definisi yang digunakan pada Survei Komuter Jabodetabek Tahun 2014 yang dilakukan oleh BPS, komuter adalah penduduk yang melakukan suatu kegiatan seperti bekerja, bersekolah dan kursus di luar wilayah tempat tinggal dan secara rutin Pergi-Pulang (PP) ke tempat tinggalnya pada “hari yang sama”. Berdasarkan hasil survei tersebut, jumlah komuter Bodetabek yang masuk DKI Jakarta sekitar 1,38 juta jiwa, komuter DKI Jakarta yang keluar DKI Jakarta sekitar 256 ribu jiwa, sehingga perkiraan jumlah penduduk “siang hari” di DKI Jakarta mencapai 11,2 juta jiwa. Jumlah penduduk DKI Jakarta yang terus meningkat dengan luas wilayah yang tetap, menyebabkan kepadatan penduduk DKI Jakarta juga terus mengalami peningkatan. Kepadatan penduduk DKI Jakarta pada Tahun 2015 meningkat sebesar 0,15 ribu jiwa per km2 jika dibanding Tahun 2014. Jika dilihat menurut Kabupaten/Kota, wilayah yang paling padat penduduknya adalah Jakarta Barat, mencapai hampir 19 ribu jiwa per km2, diikuti Jakarta Pusat (18,99 ribu jiwa per km2), dan Jakarta Selatan (15,47 ribu jiwa per km2). Sementara yang paling rendah tingkat kepadatannya terdapat di wilayah Kepulauan Seribu yang hanya sebesar 2,68 ribu jiwa/km2 {lihat Tabel DE-1C(T) Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015}.
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
Kepadatan penduduk DKI Jakarta yang terus meningkat perlu dicermati karena dapat menimbulkan permasalahan di berbagai bidang. Masalah yang berkaitan erat dengan jumlah penduduk yang tinggi antara lain masalah permukiman, kesehatan, pendidikan, transportasi, ketenagakerjaan serta sanitasi lingkungan, dan salah satu masalah yang muncul dan perlu diwaspadai oleh Pemda DKI Jakarta adalah munculnya permukiman-permukiman kumuh (slum area) di beberapa wilayah DKI Jakarta. Untuk menekan kepadatan penduduk di Provinsi DKI Jakarta, langkah yang diambil diantaranya adalah: 1. Memindahkan Industri padat karya ke daerah lain, dan meningkatkan industri yang padat modal serta menjadikan Jakarta kota Jasa, hal ini dilakukan agar urbanisasi ke kota Jakarta bisa ditekan sebesar mungkin. 2. Melakukan pendataan bagi warga baru yang tidak mempunyai tempat tinggal, serta mengembalikan ke tempat asalnya. 3.2.
Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Menurut Kabupaten/Kota
Komposisi Penduduk DKI Jakarta menurut kelompok umur menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1990-2015, telah terjadi pergeseran struktur umur penduduk. Penduduk umur muda (young population), yaitu kelompok umur 0-14 tahun mengalami penurunan dari 31,9 persen menjadi 24,8 persen. Penduduk usia produktif (usia 15-64 tahun) meningkat dari 66,4 persen menjadi 71,51 persen. Begitu pula dengan penduduk lansia (65 tahun ke atas) naik dari 1,7 persen menjadi 3,69 persen. Konsekuensi logis dari meningkatnya proporsi penduduk usia produktif adalah menurunnya angka dependency ratio, yaitu angka ketergantungan penduduk usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun lebih) terhadap penduduk usia produktif (15-64 tahun). Secara total, terlihat bahwa dependency ratio penduduk DKI Jakarta mengalami penurunan dari 50,65 persen pada Tahun 1990 menjadi 35,14 persen pada Tahun 2000 dan naik lagi menjadi 39,84 pada Tahun 2015. Ini berarti, sekitar 50 penduduk usia tidak produktif pada Tahun 1990, sekitar 35 penduduk usia tidak produktif pada Tahun 2000, dan sekitar 40 penduduk usia tidak produktif pada Tahun 2015, ditanggung oleh 100 penduduk usia produktif. Hal ini menunjukkan bahwa selama periode 1990-2015, beban tanggungan penduduk usia produktif di DKI Jakarta cenderung mengalami penurunan, meskipun selama periode 2000-2015 ada sedikit peningkatan lihat Tabel dibawah ini :
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
TABEL : III.68. PERSENTASE PENDUDUK MENURUT KELOMPOK UMUR DAN ANGKA KETERGANTUNGAN PENDUDUK DKI JAKARTA, 1990, 2000 DAN 2015 KELOMPOK UMUR
1990 LAKILAKI
2000
PEREMPUAN
TOTAL
LAKILAKI
2015
PEREMPUAN
TOTAL
LAKILAKI
PEREMPUAN
TOTAL
0-14
32,4
31,3
31,9
24,0
23,7
23,8
25,25
24,09
24,80
15-64
65,9
66,8
66,4
74,0
74,0
74,0
71,28
71,00
71,51
65+
1,7
1,8
1,7
2,1
2,2
2,2
3,47
3,92
3,69
TOTAL
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
DR
51,69
49,60
50,65
35,20
35,08
35,14
40,29
39,45
39,84
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta Keterangan : - Sensus Penduduk 1990, 2000 dan Proyeksi Penduduk 2015 DR= Dependency Ratio (Angka Ketergantungan)
Sementara itu, ditinjau menurut jenis kelamin, struktur penduduk menurut kelompok usia produktif dan tidak produktif memiliki pola yang hampir sama. Pada Tahun 1990 proporsi penduduk usia produktif lakilaki hampir mencapai 66 persen, pada Tahun 2010 meningkat menjadi 74 persen, dan pada Tahun 2015 sedikit menurun menjadi sekitar 71,28 persen. Demikian pula pada penduduk usia produktif perempuan juga mengalami kenaikan dari hampir sekitar 67 persen pada Tahun 1990 menjadi 74 persen pada Tahun 2010, dan sedikit menurun pada Tahun 2015 yaitu 71,00 persen, lihat Tabel dibawah ini : TABEL : III.69. JUMLAH PENDUDUK DKI JAKARTA MENURUT JENIS KELAMIN DAN KABUPATEN/KOTA, 2014-2015 2014 KABUPATEN/KOTA
JENIS KELAMIN LAKI-LAKI
KEPULAUAN SERIBU
PEREMPUAN
2015 JUMLAH
SR
JENIS KELAMIN LAKI-LAKI
PEREMPUAN
JUMLAH
SR
11.629
11.382
23.011
102
11.720
11.620
23.340
101
JAKARTA SELATAN
1.086.989
1.077.081
2.164.070
101
1.096.469
1.089.242
2.185.711
101
JAKARTA TIMUR
1.424.565
1.393.429
2.817.994
102
1.436.128
1.407.688
2.843.816
102
JAKARTA PUSAT
455.668
454.713
910.381
100
457.025
457.157
914.182
100
JAKARTA BARAT
1.231.126
1.199.284
2.430.410
103
1.246.288
1.217.272
2.463.560
102
JAKARTA UTARA
859.948
869.496
1.729.444
99
867.727
879.588
1.747.315
99
5.069.925
5.005.385
10.075.310
101
5.115.357
5.062.567
10.177.924
101
DKI JAKARTA Sumber Keterangan
: BPS Provinsi DKI Jakarta : Proyeksi Penduduk 2014-2015
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk DKI Jakarta selama periode 2014-2015 tetap dengan pola proporsi yang relatif sama. Proporsi jumlah laki-laki lebih besar jika dibandingkan dengan perempuan. Jika dilihat menurut kabupaten/kota, seluruh kabupaten/kota mempunyai pola yang sama kecuali
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
Jakarta Utara, dimana proporsi penduduk laki-laki justru lebih sedikit dibanding perempuan selama periode tersebut. Rasio jenis kelamin (Sex Ratio/SR) DKI Jakarta pada Tahun 2014 menunjukkan angka 101. Ini berarti bahwa dari setiap 100 perempuan terdapat 101 laki-laki. Angka tersebut relative sama pada Tahun 2015 yakni, 101,04. Berdasarkan kabupaten/kota, rasio jenis kelamin pada seluruh kabupaten/kota kecuali Jakarta Utara, menunjukkan pola yang sama dengan DKI Jakarta, yaitu berada di angka 100 atau lebih, selama periode 2014-2015. Sedangkan rasio jenis kelamin Jakarta Utara selama periode tersebut menunjukkan angka yang relatif tetap yaitu 99 . Ini berarti bahwa dari setiap 100 perempuan terdapat 99 laki-laki. Dalam mengurangi kebutuhan akan tempat tinggal dan mengurangi dampak lingkungan yang mungkin bisa ditimbulkan dengan adanya kondisi tersebut, langkah yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta diantaranya adalah : 1. Pemerintah DKI Jakarta dalam meningkatkan kualitas kebutuhan dasar Masyarakat telah melakukan pembangunan dan pengembangan Rumah Susun dan melakukan peningkatan kualitas permukiman dan perbaikan kampung. Pembangunan Rumah Susun untuk wilayah Jakarta Timur diantaranya :
Pembangunan Rumah Susun Dinas Pemadam Kebakaran Boker Jakarta Timur 2 Blok.
Pembangunan Rumah Susun Pulo Gebang Dinas Blok 3 dan 4 Jakarta Timur.
Pembangunan Rumah Susun Cakung Barat 2 Blok Jakarta Timur.
Pembangunan Rumah Susun Jatinegara Kaum Blok 1 dan 2 Jakarta Timur
Pembangunan Rumah Susun jalan Raya Bekasi Km 2 Blok 1 dan 2 Jakarta Timur.
Pembangunan Rumah Susun Rawa Bebek Blok 1 dan 2 Jakarta Timur.
MHT Plus di Provinsi DKI Jakarta dan 5 wilayah kota dan 1 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
2. Penataan jumlah permukiman sehat (ditinjau aspek fisik, ekonomi dan sosial) dan MHT Plus pada 98 RW di wilayah DKI Jakarta diantaranya :
Wilayah Jakarta Selatan sebanyak 24 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Pusat sebanyak 20 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Timur sebanyak 13 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Barat sebanyak 14 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Utara sebanyak 18 Rukun Warga
Wilayah Kepulauan Seribu sebanyak 10 Rukun Warga
3. Penataan jumlah permukiman kumuh agar dapat terpenuhi sarana dan prasarana dasar pada 266 RW di wilayah DKI Jakarta diantaranya :
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
Wilayah Jakarta Selatan sebanyak 85 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Pusat sebanyak 35 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Timur sebanyak 149 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Barat sebanyak 198 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Utara sebanyak 65 Rukun Warga
Wilayah Kepulauan Seribu sebanyak 8 Rukun Warga
4. Membuat Kampung Deret bagi perumahan kumuh yang belum tertata sanitasinya di lima wilayah Kota dan Kabupaten. 3.3.
Penduduk di Wilayah Pesisir dan Laut
Salah satu dimensi permasalahan kependudukan yang ada di DKI Jakarta adalah tidak meratanya distribusi penduduk antar kabupaten/kota administrasi. Dengan kondisi ini, di satu pihak ada kabupaten/kota administrasi yang sangat padat penduduknya, sementara ada kabupaten/kota administrasi lain yang kepadatan penduduknya relatif rendah. Namun patut diingat bahwa kepadatan penduduk yang paling rendah sekalipun di kabupaten/kota administrasi yang ada di DKI Jakarta, masih merupakan yang tertinggi dibandingkan kepadatan penduduk di kota lain di Indonesia, {Tabel DE-1C (T) Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015}. Berdasarkan persebaran atau distribusi penduduk selama periode 2014-2015, wilayah yang paling banyak penduduknya di DKI Jakarta adalah Jakarta Timur dengan persentase distribusi penduduk hampir mencapai 27,94 persen, sementara Kepulauan Seribu hanya sekitar 0,23 persen dari total jumlah penduduk di DKI Jakarta. Sementara jika dilihat dari tingkat kepadatan penduduk, Jakarta Pusat menempati urutan pertama dengan kepadatan hampir mencapai 19 ribu jiwa/Km2 dan terakhir Kepulauan Seribu sekitar 2-3 ribu jiwa/Km2. Apabila dilihat persebaran penduduk antar kabupaten/kota di DKI Jakarta sepanjang Tahun 1980-2015, sebagian besar penduduk DKI Jakarta pada Tahun 1980 tinggal di Jakarta Selatan (24,38 persen) dan Jakarta Timur (22,48 persen), sementara tiga wilayah lainnya relatif seimbang, kecuali Kepulauan Seribu. Sepuluh tahun berikutnya yaitu pada Tahun 1990, persentase terbesar penduduk DKI Jakarta berada di Jakarta Timur, sementara Jakarta Selatan mulai menunjukkan penurunan, dan terjadi peningkatan persentase penduduk di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Hal ini bisa terjadi karena pada periode Tahun 1990 hingga sekarang ini, kebijakan pengembangan industrialisasi mulai diarahkan ke kawasan barat dan timur ibukota (pengembangan poros barat dan poros timur), sehingga persebaran penduduk secara bertahap mulai memadati kawasan tersebut. Akibatnya pada saat ini (Tahun 2015), sebagian besar penduduk Jakarta tercatat berdomisili di Jakarta Timur (27,94 persen) dan Jakarta Barat (24,20 persen), sebaliknya yang bertempat tinggal di Jakarta Pusat hanya mendapatkan proporsi 8,98 persen. Penurunan ini disebabkan karena sebagian lahan
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
permukiman di wilayah ini sudah beralih fungsi menjadi lahan perkantoran, pusat perdagangan dan fasilitas umum lainnya. Sementara, rendahnya penurunan proporsi penduduk di Jakarta Selatan tampaknya karena daerah ini memang dipersiapkan sebagai daerah resapan air untuk wilayah Jakarta, sehingga masih banyak lahan luas yang berfungsi sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah ini. Pembangunan permukiman dan pusat-pusat perdagangan yang sangat pesat di DKI Jakarta, berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan, karena dengan terbatasnya lahan, proporsi lahan yang dapat dijadikan RTH cenderung semakin berkurang dibandingkan kondisi sepuluh tahun yang lalu. Oleh karena itu, penghijauan swakarsa yang dilakukan oleh masyarakat secara mandiri perlu digiatkan. Hal ini secara tak langsung menciptakan paru-paru kota yang akan menyerap zat-zat yang ditimbulkan akibat pencemaran lingkungan. Pola persebaran penduduk pada Tahun 2015 relatif sama bila dibandingkan dengan keadaan pada Tahun 2000 dan Tahun 2011 dimana sebagian besar penduduk DKI Jakarta berdomisili di Jakarta Timur, yakni sebesar 27,94 persen. Sebagaimana diulaskan sebelumnya, urutan kedua adalah Jakarta Barat dengan persentase penduduk sebesar 24,20 persen. Penduduk Jakarta Selatan menempati urutan ketiga terbanyak dengan persentase sebesar 21,48 persen. Penduduk Jakarta Utara berada di urutan keempat yaitu 17,17 persen, dan penduduk Jakarta Pusat di urutan kelima dengan persentase sebesar 8,98 persen, dan Kepulauan Seribu memiliki jumlah penduduk terendah sebesar 0,23 persen dari jumlah penduduk yang ada di DKI Jakarta. Kondisi ini dapat dipahami, karena Kabupaten Kepulauan Seribu merupakan wilayah administrasi yang baru terbentuk, dan merupakan daerah kepulauan yang relatif sulit kondisi geografisnya. Wilayah DKI Jakarta hanya memiliki dua kabupaten/kota yang merupakan wilayah pesisir dan laut, yaitu Kepulauan Seribu dan Jakarta Utara. Wilayah pesisir dan laut di Kepulauan Seribu berada di enam kelurahan pada dua kecamatan, sementara Jakarta Utara berada di 10 kelurahan pada 4 kecamatan. Berikut ini merupakan gambaran jumlah penduduk yang berada pada wilayah tersebut selama periode 2014-2015, {Tabel DE-3A (T) data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015}. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) selama periode 2014-2015 pada wilayah pesisir dan laut di DKI Jakarta memiliki pola yang berbeda untuk masing-masing kelurahan. Berdasarkan data yang ada, laju pertumbuhan di kelurahan daerah pesisir pantai berkisar antara 0,0003 persen sampai dengan 0,105 persen. Artinya pertumbuhan penduduk di daerah pesisir relatif lambat dibandingkan pertumbuhan penduduk di wilayah daratan lainnya. Enam kelurahan yang termasuk daerah pesisir tersebut adalah kelurahan Penjaringan dan Pluit di Kecamatan Penjaringan, Kelurahan Tanjung Priok di Kecamatan Tanjung Priok, Kelurahan Koja di Kecamatan Koja, serta Kelurahan Cilincing dan Kalibaru di Kecamatan Cilincing. Sementara untuk jumlah rumah tangga yang mendiami wilayah tersebut, untuk Kepulauan Seribu mencapai lebih dari 5.393 rumah tangga, sementara di Jakarta Utara sekitar 136 ribu rumah tangga.
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
Wilayah Kepulauan Seribu sangat kaya akan potensi sumber daya pesisir, kelautan dan perikanan yang meliputi sumber daya hayati, non-hayati dan jasa lingkungan, juga sangat potensial sebagai wisata bahari. Selain itu, terdapat hutan mangrove yang merupakan tempat berbagai jenis biota laut hidup dan berkembang biak. Namun seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar serta adanya kebutuhan pembangunan wilayah, maka tekanan terhadap potensi sumber daya Kepulauan Seribu semakin meningkat, seperti pemburuan hewan-hewan yang dilindungi, pengambilan terumbu karang, dan sebagainya. Untuk itu perlu adanya strategi yang tepat dalam penanganan masalah pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan laut, terutama di Kepulauan Seribu, agar tekanan terhadap potensi sumber daya yang merupakan modal dasar pembangunan dapat teratasi. Selain itu, diperlukan adanya perencanaan pengelolaan yang terpadu berbagai pihak terkait dalam pemanfaatan sumber daya tersebut. 3.4.
Jumlah Penduduk Laki-Laki dan Perempuan Menurut Tingkat Pendidikan
Berdasarkan Susenas 2014 dengan alokator hasil proyeksi Tahun 2015 (Tabel DS-1B Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015), data jumlah penduduk antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pendidikan tinggi antara SD sampai SLTP jumlah perempuan lebih dominan, pada pendidikan jenjang SLA hingga strata 1 (S1) ke atas jumlah laki-laki lebih banyak daripada jumlah perempuan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi, seseorang akan dapat lebih mudah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan menyerap perkembangan teknologi. Sebagai sumber daya manusia yang berkualitas, penduduk tamatan pendidikan tinggi diharapkan mampu meningkatkan produktivitasnya sebagai tenaga kerja. Selanjutnya peningkatan produktivitas seseorang dalam kegiatan ekonomi diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kondisi ini akan berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat secara umum. Dalam kurun waktu Tahun 2014-2015, tingkat pendidikan penduduk DKI Jakarta secara umum terus meningkat. Ini ditandai dengan semakin rendahnya persentase penduduk yang berpendidikan rendah (SD ke bawah), dan semakin tinggi persentase penduduk yang berpendidikan tinggi (di atas SLTA). Secara umum, penduduk yang berpendidikan SLTA ke bawah, mengalami penurunan, sementara itu penduduk yang berpendidikan tinggi (Diploma I ke atas) mengalami peningkatan. Penduduk usia 5 tahun ke atas di DKI Jakarta pada Tahun 2015 mayoritas mampu menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat SLTA, lebih dari sepertiga penduduk DKI Jakarta usia 5 tahun ke atas berpendidikan tamat SLTA (36,26 persen). Angka ini lebih tinggi dibandingkan Tahun 2014 yang sebesar 34,90 persen. Sementara hal yang menggembirakan dapat dilihat dari penurunan persentase penduduk yang tidak sekolah dan tidak memiliki ijasah, dari 19,02 persen pada Tahun 2014 menjadi 15,87 persen. Sementara yang mampu menamatkan pendidikan hingga jenjang S1/D4 sederajat mengalami kenaikan dari 8,00 persen pada Tahun 2014 menjadi 9,75 pada Tahun 2015. Begitu pula
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
dengan penduduk yang menamatkan pendidikannya hingga S2/S3 mengalamikenaikan dari 0,90 persen pada Tahun 2014 menjadi 1,14 persen pada Tahun 2015. Gambaran selengkapnya mengenai pendidikan penduduk DKI Jakarta dapat dilihat pada Grafik : III.134. GRAFIK : III.134. PERSENTASE PENDUDUK USIA 5 TAHUN KEATAS MENURUT PENDIDIKAN TERTINGGI YANG DITAMATKAN DAN JENIS KELAMIN, DKI JAKARTA TAHUN 2014 - 2015 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 LAKI-LAKI
PEREMPUAN
TOTAL
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
2014
Tidak sekolah/tidak ada ijasah Sumber Keterangan
TOTAL
2015
SD
SLTP
SLTA
Diploma
S1/D4
S2-S3
: BPS Provinsi DKI Jakarta, 2015 : Susenas 2014-2015
Dari Grafik diatas, terlihat penduduk yang berhasil menyelesaikan (tamat) Perguruan Tinggi, baik pada laki-laki maupun perempuan mengalami kenaikan dari Tahun 2014. Jika pada penduduk laki-laki, persentasenya naik dari 1,11 persen menjadi 1,46 persen, sementara pada penduduk perempuan naik dari 0,64 persen menjadi 0,81 persen. Begitu pula dengan penduduk yang tamat pendidikan pada jenjang Diploma (D1 hingga D3), mengalami kenaikan dari 3,97 persen menjadi 4,32 persen. Hal yang menarik adalah penduduk yang tamat diploma, persentase perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan pesentase laki-laki. Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki minat yang lebih besar dibandingkan laki-laki pada pendidikan program diploma, Salah satu alasannya, adalah kemungkinan karena pada pendidikan jenjang diploma relatif lebihcepat waktu pendidikannya dan lebih bersifat aplikatif dalam dunia usaha, sama halnya dengan sekolah kejuruan pada jenjang pendidikan sekolah menengah. Sehingga mereka dapat lebih cepat memasuki pasar kerja setelah lulus pendidikan. Penurunan persentase penduduk yang tamat pendidikan rendah (SLTP ke bawah) memberikan indikasi yang baik, karena implikasinya semakin bertambah persentase penduduk yang berpendidikan relatif
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
tinggi (SLTA ke atas). Artinya pendidikan sebagai salah satu human capital di DKI Jakarta, mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia di ibukota ini. Pada gilirannya SDM yang baik akan memberikan kontribusi yang positif pada pembangunan bangsa. Gambaran mengenai profil pendidikan penduduk laki-laki dan perempuan di DKI Jakarta pada Tahun 2015, dapat dilihat pada Grafik III.135. GRAFIK : II.135. PERSENTASE PENDUDUK USIA 5 TAHUN KE ATAS MENURUT PENDIDIKAN TERTINGGI YANG DITAMATKAN DAN JENIS KELAMIN, DKI JAKARTA TAHUN 2015 45
40 35 30 25 20 15 10 5 0 Tidak punya ijasah
SD
SLTP Laki-laki
Sumber Keterangan
SLTA Perempuan
Diploma
S1
S2-S3
Total
: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 : Susenas 2015
Apabila diamati menurut jenis kelamin, terlihat tingkat pendidikan yang ditamatkan antara laki-laki dan perempuan memiliki pola yang sama, akan tetapi secara keseluruhan jenjang pendidikan yang berhasil ditamatkan perempuan cenderung lebih rendah dibandingkan pendidikan yang ditamatkan oleh penduduk laki-laki. Persentase penduduk laki-laki yang tidak sekolah dan tidak tamat SD pada Tahun 2015 sebesar 14,93 persen, sementara pada perempuan di kelompok yang sama mencapai 16,83 persen. Selanjutnya penduduk laki-laki yang tamat S1 ke atas sebesar 10,90 persen, sedangkan perempuan sebesar 8,58 persen. Fakta ini mengungkapkan bahwa perempuan yang berpendidikan rendah lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, sebaliknya perempuan yang berpendidikan tinggi relatif lebih rendah dibandingkan laki-laki.
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
Tampaknya masih ada preferensi gender pada bidang pendidikan ini, salah satu penyebabnya adalah laki-laki umumnya dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam rumah tangga, sehingga ia perlu dibekali pendidikan yang relatif tinggi, yang dengan bekal itu ia dapat berkompetisi dalam pasar kerja, sehingga berimplikasi pada tingkat pendapatannya kelak. Salah satu faktor penyebabnya adalah budaya masa lalu, dimana pendidikan anak laki-laki lebih diprioritaskan dibandingkan anak perempuan (budaya patriarkhi). Kondisi ini dapat berdampak pada rendahnya kualitas SDM perempuan secara keseluruhan. Untuk meningkatkan peranan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain dapat dicapai jika perempuan memiliki akses yang baik pada pendidikan dan sumber informasi lain. Melalui upaya peningkatan pendidikan, diharapkan perempuan dapat berpartisipasi secara aktif dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian penduduk perempuan akan memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan, dan bersinergi dengan penduduk laki-laki dalam meningkatkan kinerja pembangunan secara keseluruhan. Grafik berikut ini menyajikan jumlah penduduk usia 5 tahun ke atas menurut jenis kelamin dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan. GRAFIK : II.136. JUMLAH PENDUDUK USIA 5 TAHUN KE ATAS MENURUT PENDIDIKAN TERTINGGI YANG DITAMATKAN DAN JENIS KELAMIN, DKI JAKARTA TAHUN 2015
1800000,0 1600000,0 1400000,0
1200000,0 1000000,0 800000,0
Laki-laki
600000,0
Perempuan
400000,0 200000,0 Tidak punya ijasah Sumber Keterangan
SD
SLTP
SLTA
D1-D3
D4/S1
S2/S3
: BPS Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 : Susenas 2015
Dalam melihat hal tersebut diatas, keberhasilan tentang peningkatan jumlah penduduk di bidang pendidikan, yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diantaranya : 1. Dibidang pendidikan pemerintah provnsi DKI Jakarta selain membebaskan biaya sekolah sampai dengan SMA, juga menyiapkan Kartu Jakarta Pintar.
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
2. Untuk menambah penghasilan bagi warga kota, pemerintah DKI Jakarta telah memberikan kredit bergulir tanpa bunga, yang dapat digunakan untuk berusaha dengan dikoordinir oleh Kelurahan dan dilaksanakan oleh warga masyarakat,. dan menyiapkan keterampilan bagi masyarakat yang kurang mampu.