2.1 KEPENDUDUKAN 2.1.1 Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2008 sebesar 42.194.869 jiwa terdiri dari 21.262.743 Jiwa (50,39%) penduduk laki-laki dan 20.932.126 Jiwa (49,61%) penduduk perempuan, tersebar di 26 kabupaten/kota. Kabupaten yang mempunyai jumlah penduduk terbesar adalah Kabupaten Bogor dengan jumlah penduduk sebesar 4.402.026 jiwa atau sekitar 10,43% dari jumlah penduduk Jawa Barat dan Kabupaten Bandung dengan jumlah penduduk sebesar 3.116.056 jiwa (7,38%). Sementara kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit adalah Kota Cirebon dengan jumlah penduduk sebesar 298.995 jiwa (0,71%) dan Kota Banjar dengan jumlah penduduk hanya sebesar 184.577 jiwa (0,44%). Jika dilihat jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur diperoleh gambaran bahwa kelompok umur yang paling banyak di Jawa Barat adalah kelompok umur dengan interval umur 15-64 tahun atau kelompok umur produktif yaitu sebesar 27.365.737 jiwa (64,85%), Sementara untuk kelompok umur 0-14 tahun (anak-anak) sebesar 12.486.226 jiwa (29,59%) dan kelompok umur 65 tahun ke atas (manula) sebesar 2.342.906 jiwa (5,55%). Dependecy ratio penduduk Jawa Barat sebesar 0,54 yang berarti setiap 100 orang pada usia produktif menanggung 54 orang usia non-produktif (anak-anak dan manula). Di satu sisi banyaknya penduduk yang berada di kelompok umur produktif memberikan dampak positif bagi wilayah Jawa Barat karena banyaknya angkatan muda yang berpotensi untuk menyumbangkan ilmu dan tenaganya bagi pengembangan wilayah di Jawa Barat dan memberikan produktivitas yang lebih tinggi dalam kontribusinya terhadap perekonomian Jawa Barat, tapi di sisi lain Pemprov Jawa Barat juga harus berusaha untuk menciptakan dan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya agar angkatan kerja yang ada di Jawa Barat bisa bekerja sehingga mengurangi jumlah pengangguran yang ada saat ini.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 1
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Jawa Barat Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2008 No
Kabupaten / Kota
Jml Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Total Jumlah Penduduk
Kabupaten 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
2232370 1158964 1117285 1558023 1226670 914510 785557 583588 1093130 609031 564264 926264 732298 403990 1082419 1037065 787042
2169656 1118056 1052699 1558033 1254801 925172 820334 579571 1099362 601780 570024 885500 744120 405972 1030014 1039081 744030
4402026 2277020 2169984 3116056 2481471 1839682 1605891 1163159 2192492 1210811 1134288 1811764 1476418 809962 2112433 2076146 1531072
435916 156457 1218280 145545 1101814 723037 261712 315335 92177
440376 149343 1171840 153450 1026570 707792 270402 321748 92400
876292 305800 2390120 298995 2128384 1430829 532114 637083 184577
Jawa Barat 21.262.743 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2008
20.932.126
42.194.869
18 19 20 21 22 23 24 25 26
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Sukabumi Bandung Cirebon Bekasi Depok Cimahi Tasikmalaya Banjar
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 2
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2008
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2008
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 3
Gambar 2.3 Presentase Persebaran Penduduk di Jawa Barat Tahun 2008
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2008
2.1.2 Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Pertumbuhan penduduk Jawa Barat termasuk tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Dalam kurun waktu 5 tahun yaitu antara tahun 2003 sampai tahun 2008 pertumbuhan rata-rata penduduk di Jawa Barat sebesar 2,08%/tahun. Tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi terjadi di Kabupaten Cianjur dan Kota Bekasi. Walaupun termasuk tinggi, namun secara umum laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini setiap tahunnya cenderung mengalami penurunan.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 4
Gambar 2.4 Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 - 2008
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2008
Sementara jika ditinjau dari tingkat kepadatannya, kepadatan penduduk di Jawa Barat pada tahun 2008 mencapai 1.137 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kota Bandung, yaitu mencapai 13.861 jiwa/Km2 dan Kota Cimahi sebesar 11.970 jiwa/Km2. Sedangkan daerah dengan kepadatan penduduk tinggi terdapat di Kota Bekasi,
Cirebon,
Depok dan Kota Sukabumi, yaitu mencapai 6 sampai 9 ribu jiwa/Km2 dan untuk daerah dengan kepadatan penduduk relatif rendah terdapat di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Ciamis.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 5
Tabel 2.2 Luas Wilayah, Jumlah, Kepadatan, dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa Barat Tahun 2008 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kabupaten / Kota Kabupaten Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat Kota Bogor Sukabumi Bandung Cirebon Bekasi Depok Cimahi Tasikmalaya Banjar Jawa Barat
Kepadatan Penduduk 2 Jiwa / Km
Luas Wilayah 2 (Km )
Jumlah Penduduk (jiwa)
Pertumbuhan Penduduk
2976,47 4161,74 3614,36 1726,63 3110,08 2709,70 2732,51 1215,01 1071,96 1309,39 1563,44 2101,59 2174,39 994,00 1918,99 1264,71 1296,01
4402026 2277020 2169984 3116056 2481471 1839682 1605891 1163159 2192492 1210811 1134288 1811764 1476418 809962 2112433 2076146 1531072
1479 547 600 1805 798 679 588 957 2045 925 726 862 679 815 1101 1642 1181
1,99 0,83 0,97 2,57 2,15 2,66 1,25 1,96 1,38 0,53 1,97 0,91 1,19 1,46 1,88 2,17 2,53
117,71 48,84 172,44 38,99 215,65 202,77 44,45 184,98 133,83 37.100,61
876292 305800 2390120 298995 2128384 1430829 532114 637083 184577 42.194.869
7445 6261 13861 7668 9870 7056 11970 3444 1379 1.137
1,18 1,70 1,09 2,94 2,09 1,28 2,53 2,02 2,12 1,71
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2008
2.1.3
Pola Migrasi
Migrasi merupakan salah satu dari tiga faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk selain faktor lainnya yaitu kelahiran dan kematian. Peninjauan migrasi sangat penting untuk ditelaah karena adanya kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya faktorfaktor pendorong dan penarik bagi orang-orang untuk melakukan migrasi, adanya desentralisasi dalam pembangunan dan di lain pihak saat ini komunikasi dan transportasi yang semakin lancar memudahkan orang untuk berhubungan dan melakukan migrasi. Faktor-faktor yang menyebabkan orang melakukan migrasi, yaitu : 1.
Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 6
2.
Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan
3.
Rintangan-rintangan yang menghambat
4.
Faktor-faktor pribadi
Di Jawa barat sendiri kab/kota yang menjadi tujuan utama orang melakukan migrasi adalah Bandung, Cimahi, Bekasi, Purwakarta, Karawang dan Indramayu. Faktor
utama yang
mendorong orang untuk melakukan migrasi terutama ke wilayah Kabupaten Bandung, Cimahi, Bekasi, Purwakarta, Karawang dan Indramayu adalah karena di wilayah tersebut banyak berdiri lokasi-lokasi industri, sementara faktor utama yang mendorong orang melakukan migrasi ke Kota Bandung karena Kota Bandung merupakan pusat perekonomian, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya sehingga penduduk di luar daerah ini ingin menetap (tinggal) di wilayah tersebut.
2.2 PERMUKIMAN Lingkungan permukiman merupakan salah satu komponen pembentuk perkampungan/kota. Masalah lingkungan permukiman sudah lama menjadi persoalan bagi semua pemerintah kota dan terjadi di hampir semua daerah perkotaan di Jawa Barat. Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbanyak dan sekaligus mempunyai jumlah backlog/kekurangan rumah yang terbanyak di Indonesia yaitu hampir 980.000 unit. Oleh sebab itu Pemprov Jabar dan Menpera menyusun program bersama untuk pengembangan perumahan di Jawa Barat. Hal ini baru pertama kali dilakukan dan akan menjadi contoh bagi provinsi lain. Program tersebut antara lain program pembangunan rumah susun (rusun) baik rusunami (milik) maupun rusunawa (sewa) dan program perumahan swadaya dengan sasaran masyarakat golongan menengah ke bawah. 2.2.1
Kondisi Perumahan
Kondisi perumahan di Jawa Barat jika dilihat berdasarkan persentase akses terhadap air bersih sebagian besar (85,15%) dapat mengakses air bersih dan sebesar
14,85% tidak dapat
mengakses air bersih. Wilayah yang paling banyak bisa mengakses air bersih adalah Kota Bogor, Bandung, Cirebon, Cimahi, Bekasi, Subang sementara wilayah yang penduduknya paling sedikit bisa mengakses air bersih adalah Kab Purwakarta.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 7
Jika dilihat berdasarkan jenis lantai rumah, sebagian besar (92,53%) wilayah di Jawa Barat jenis lantai rumahnya bukan tanah dan sebesar 7,47% jenis lantai rumahnya masih tanah. Sementara jika dilihat berdasarkan fasilitas tempat BAB sebesar 85,34% sudah tersedia fasilitas BAB baik milik sendiri maupun secara bersama-sama/umum dan sebesar 14,66% tidak tersedia fasilitas BAB. Tabel 2.3 Persentase Kondisi Perumahan di Jawa Barat 2007 Kabupaten/Kota
Akses Thd Air Bersih Bersih Tdk Bersih
Jenis Lantai Rumah Bukan Tanah Tanah
Fasilitas Tempat BAB Ada Tidak Ada
Kabupaten Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bandung Barat
75,40 81,07 80,09 88,98 71,72 70,59 76,23 75,29 90,76 82,37 87,67 92,34 96,88 54,60 84,72 95,27 73,52
24,60 18,33 19,91 11,02 28,28 29,41 23,77 24,71 9,24 19,63 12,23 7,66 3,12 45,40 15,28 4,73 26.48
95,25 94,64 98,98 96,22 95,82 97,32 93,36 96,66 82,06 94,82 99,12 83,90 90,78 95,73 69,78 77,00 68.88
4,75 5,36 1,02 3,78 4,18 2,68 6,64 3,34 17,94 5,18 0,88 16,10 9,22 4,27 30,22 23,00 31.12
76,43 85,18 90,49 97,78 85,44 89,22 62,21 87,51 66,82 80,10 95,07 72,09 86,31 90,82 62,89 87,00 64.52
23,57 14,82 9,51 2,22 14,56 10,78 37,79 12,49 33,18 19,90 4,93 27,91 13,69 9,18 37,11 13,00 35.48
Kota Bogor Sukabumi Bandung Cirebon Bekasi Depok Cimahi Tasikmalaya Banjar Jawa Barat
99,08 96,76 99,55 98,80 99,20 89,16 93,41 83,87 82,68 85,15
0,92 3,24 0,45 1,20 0,80 10,84 6,59 16,13 17,32 14,85
97,98 99,07 98,77 91,83 96,14 98,69 96,28 92,13 93,12 92,53
2,02 0,93 1,23 8,17 3,86 1,31 3,72 7,87 6,88 7,47
93,38 99,54 100,00 98,80 100,00 99,01 99,32 92,17 82,19 85,34
6,62 0,42 0,00 1,20 0,00 0,99 0,69 7,83 17,81 14,66
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2007
2.2.2 Tingkat Kemiskinan Pada tahun 2008 jumlah penduduk Jawa Barat mencapai 42.194.869 jiwa. Jika ditinjau dari kemampuan setiap rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, pada tahun 2008 sebanyak 26,37% rumah tangga di Jawa Barat berada di bawah garis kemiskinan.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 8
Kemiskinan
inilah,
ditambah
dengan keterbatasan
kemampuan
pemerintah
untuk
menyediakan prasarana dasar lingkungan permukiman yang kemudian membentuk lingkungan permukiman yang kumuh terutama di daerah perkotaan. Selama kurun waktu 5 tahun persentase rumah tangga miskin di Jawa Barat setiap tahunnya cenderung mengalami kenaikan, namun untuk tahun 2008 jumlah rumah tangga miskin mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Penurunan jumlah rumah tangga miskin pada tahun 2008 ini memberikan motivasi yang lebih besar untuk mengurangi jumlah rumah tangga miskin di Jawa Barat sehingga diharapkan untuk ke depannya jumlah rumah tangga miskin di Jawa Barat akan semakin berkurang.
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat, 2008
2.2.3 Akses Mendapatkan Air Bersih Ditinjau dari sumber air bersih yang digunakan oleh penduduk di Jawa Barat pada tahun 2008, sebagian besar (76,97%) penduduk mendapatkan air dari sumur/pompa (gali atau bor). Sedangkan sebagian lainnya mendapatkan air dari ledeng (10,53%), air kemasan (11,34%) dan dari sumber lainnya (1,16%).
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 9
Tabel 2.4 Sumber Air Bersih Yang Digunakan oleh Penduduk Jawa Barat Tahun 2008 Sumber air bersih
Jumlah Rumah Tangga
Ledeng Air Kemasan Sumur/pompa Lainnya Total
1.178.523 1.270.044 8.618.208 129.593 11.196.368
% 10,53 11,34 76,97 1,16 100,00
Sumber : diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2008
2.2.4 Pembuangan Sampah Sampah merupakan salah satu limbah yang berasal dari kegiatan domestik dan dari kegiatan non domestik. Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif, karena sampah/limbah tersebut mengandung berbagai bahan pencemar dan berbagai macam kuman penyakit yang berpotensi menyebar ke lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga terjadi penurunan kualitas media penerima baik tanah, air tanah, udara maupun air permukaan. Pencemaran yang dihasilkan dari tempat pembuangan sampah salah satunya adalah pencemaran air lindi (leachate). Air lindi sampah yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-komponen hasil penguraian sampah mengalir menuju badan perairan yang dapat mencemarkan air sungai ataupun meresap ke dalam tanah, oleh karena itu pengelolaan tempat pembuangan sampah baik TPS maupun TPA perlu mendapat perhatian yang serius agar keberadaannya tidak mencemari wilayah sekitarnya. Berdasarkan data yang ada, sebagian besar (45,84%) masyarakat di Jawa Barat pengololaan pembuangan sampahnya adalah dengan cara dibakar. Sementara yang lainnya dengan cara membuang ke kebun (17,64%), ke sungai/selokan (6,21%) di timbun (3,43%), lainnya (3.71%) dan diangkut petugas (23,17). Untuk yang terakhir yaitu pembuangan sampah dengan cara diangkut oleh petugas saat ini di Jawa Barat baru melayani wilayah perkotaannya saja.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 10
Berdasarkan
data
dari
Distarkim Provinsi Jawa Barat, pada
tahun
2008
total
timbulan sampah di Jawa Barat sebesar 49.058,39 m3/hari atau m3/tahun.
17.906.313,03 Wilayah
yang
memiliki
timbulan
sampah
terbesar
adalah Kota Bekasi (9.737,14 m3/hari) dan Kota Bandung (7.500,00 m3/hari), sementara wilayah yang memiliki timbulan sampah paling sedikit adalah Kabupaten Kuningan (187,00 m3/hari) dan Kabupaten Sumedang (163,18 m3/hari). Karena keterbatasan armada, personil dan hal teknis lainnya, saat ini Dinas Kebersihan baru mampu mengangkut 55.36% sampah dari wilayah pelayanannya. Dengan demikian masih ada separuh lagi sampah yang tidak terangkut dan biasanya sampah-sampah ini dibuang ke sungai atau dibakar setempat (on site). Daerah yang tingkat pelayanan angkutan sampah ke TPAnya bagus (> 80%) adalah Subang, Purwakarta, Kota Sukabumi dan Kota Cirebon. Alat angkut yang digunakan untuk mengangkut sampah adalah gerobak sampah yang digunakan untuk mengangkut sampah dari rumah-rumah ke TPS, kemudian dilanjutkan dengan dump truck atau arm roll atau truk biasa untuk mengangkut sampah dari TPS ke TPA. Pada tahun 2005, jumlah TPA di Jawa Barat mencapai 52 buah, rata-rata masih menggunakan sistem open dumping. 2.2.5 Pembuangan Kotoran (Tinja) Sebagian besar WC penduduk Jawa Barat
(92%)
sudah
menggunakan
kloset, baik yang menggunakan leher angsa ataupun plengsengan. Akan tetapi
ditinjau
dari
pembuangan
akhir
dari
tersebut,
kondisinya
tempat kotoran masih
memperhatinkan karena masih ada
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 11
hampir separuh penduduk (48,80%) yang belum membuangnya ke tangki septic, melainkan dibuang langsung ke sungai, kolam, kebun, ataupun lubang. Kondisi seperti ini relative merata di semua daerah, tetapi yang agak menonjol adalah di daerah yang mempunyai budaya bertani kebun dan membudidayakan kolam ikan, yaitu di Bogor, Cianjur, Sukabumi dan Tasikmalaya. Untuk fasilitas tempat buang air besar, sebagian besar penduduk Jawa Barat (60,81%) telah memiliki fasilitas tempat buang air besar sendiri, sementara yang lainnya sebesar 14,30% menggunakan fasilitas buang air besar secara bersama, 7,20% menggunakan fasilitas air besar milik umum dan sebesar 17,69% di lingkungannya tidak ada fasilitas buang air besar baik yang dimiliki oleh sendiri/pribadi maupun milik umum.
2.3 KESEHATAN 2.3.1 Kelahiran Kelahiran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Selama kurun waktu tiga tahun jumlah kelahiran di Jawa Barat mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2003 jumlah kelahiran di Jawa Barat sebesar 598.684 jiwa sementara pada tahun 2006 sebesar 655.322 jiwa. Wilayah yang memiliki jumlah kelahiran tertinggi adalah Kabupaten Bandung, jumlah kelahiran di Kab. Bandung pada tahun 2006 sebesar 86.181 jiwa dan Kab. Sukabumi sebesar 48.245 jiwa. Sementara wilayah yang memiliki jumlah kelahiran terkecil adalah Kota Banjar (2.945 jiwa) dan Kota Cirebon (358 jiwa). 2.3.2 Kematian Kematian juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Untuk mengetahui jumlah kematian di Jawa Barat, saat ini tidak tersedia data jumlah kematian penduduk secara umum, namun sebagai gambaran dapat dilihat berdasarkan jumlah kematian ibu hamil dan jumlah kematian bayi yang berumur kurang dari 1 tahun. Kematian yang terjadi pada ibu hamil dan bayi yang berumur kurang dari satu tahun juga merupakan salah satu kematian tertinggi yang ada di Jawa Barat. Tingginya angka kematian ibu hamil dan bayi berumur kurang dari 1 tahun di Jawa Barat menuntut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat untuk bekerja keras menurunkan angka
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 12
kematian tersebut melalui penyuluhan-penyuluhan bagi ibu hamil untuk memeriksakan kandungannya ke puskesmas dan bidan desa serta memberdayakan posyandu sebagai pos pelayanan terpadu yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat serta memberikan pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi masyarakat yang tidak mampu. Hasilnya selama kurun waktu 4 (empat) tahun jumlah kematian ibu hamil dan bayi berumur kurang dari 1 tahun mengalami penurunan yang cukup berarti. Untuk ibu hamil pada tahun 2003 terjadi kematian sebesar 1.259 jiwa dan pada tahun 2007 turun menjadi 735 jiwa, sementara untuk bayi berumur kurang dari 1 tahun pada tahun 2003 terjadi kematian sebesar 6.826 jiwa dan pada tahun 2007 turun menjadi 3.380 jiwa. Gambar 2.9 Perkembangan Jumlah Kematian Ibu Hamil dan Bayi Berumur Kurang dari 1 Tahun Di Jawa Barat, Tahun 2003 - 2007
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2008
2.3.3 Tingkat Kesehatan Penduduk Tingkat kesehatan penduduk Jawa Barat terkait masalah lingkungan bisa ditinjau dari banyaknya penduduk yang mengalami sakit yang dirinci menurut jenis penyakitnya, khususnya penyakit yang diakibatkan oleh buruknya kualitas udara. Penyakit-penyakit tersebut antara lain adalah penyakit ISPA (seperti batuk, pilek, sesak nafas), penyakit kulit dan penyakit perut (sakit perut,diare). Berdasarkan data dari BPS Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2008 sebesar 47,44% masyarakat menderita penyakit ISPA (batuk, pilek, sesak nafas), 17,47% menderita penyakit panas, 8,67% menderita sakit kepala, 2,73% menderita sakit gigi, 2,55% menderita penyakit perut (diare/buang air) dan sebesar 21,14% menderita penyakit lainnya.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 13
Tabel 2.5 Jenis Penyakit yang Diderita oleh Penduduk Jawa Barat Tahun 2008 Jenis Penyakit Penyakit ISPA (batuk, pilek, sesak nafas) Penyakit perut (sakit perut, diare,buang air) Panas Sakit Kepala Sakit Gigi Lainnya Total
Jumlah Penderita
%
12.522.728 672.110 4.612.033 2.287.398 720.008 5.580.679 26.394.956
47,44 2,55 17,47 8,67 2,73 21,14 100,00
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2008
2.3.4 Kejadian Luar Biasa (KLB) Berkaitan dengan masalah kesehatan, pada Bulan Agustus 2009 Pemkot Bandung menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) untuk semua jenis flu (influenza). Hal ini disebabkan karena banyaknya masyarakat yang terserang flu. Sebagai contoh di SMPN 52 Punclut sebanyak 143 siswa tidak dapat masuk sekolah karena terserang flu secara massal dan bersamaan. Melalui Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Pemda Jawa Barat juga menghimbau kepada masyarakat Jawa Barat untuk berhati-hati dan bersiaga menghadapi kemungkinan masa puncak penyebaran virus flu H1N1 yang diperkirakan akan terjadi Oktober-November mendatang. Iklim yang memungkinkan terjadinya serangan flu belakangan ini menuntut kewaspadaan atas kemungkinan masa puncak pendemik tahap pertama virus H1N1 di Jawa Barat, karena sampai saat ini penularan H1N1 di Indonesia termasuk di Jawa Barat belum mencapai puncak karena musim kemarau diperhitungkan masih akan terjadi hingga bulan November - Desember sehingga resiko penularan dan wabah flu diperkirakan masih tetap tinggi.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 14
2.4 PERTANIAN 2.4.1 Luas Lahan Sawah, Tanaman Palawija dan Perkebunan a. Luas dan Produksi Lahan Sawah Jawa Barat merupakan salah satu lumbung padi bagi wilayah sekitarnya. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2007 total luas lahan sawah sebesar 1.843.209 Ha dengan
produksi
per
hektar
sebesar
9.563.223 ton atau 5,19 ton /Ha. Sedangkan pada tahun 2008 produksinya menjadi 9,814,350 ton dengan tingkat produksitivtas 5,77 ton/ha. Sawah-sawah di Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Karawang memiliki tingkat produksi yang tinggi, yaitu bisa mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun. Hal itu disebabkan karena luas area sawahnya cukup besar dan pada umumnya bisa ditanami 2 sampai 3 kali dalam setahun.
Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2008
b. Tanaman Palawija Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, tanaman palawija yang ditanam oleh sebagian besar petani di Jawa Barat antara lain adalah tanaman padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar dan kacang tanah.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 15
Tabel 2.6. Perkembangan Produksi Tanaman Palawija Menurut Jenis Tanaman, Tahun 2003-2008 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Produksi (Ton) Padi 8.426.610 9.299.506 9.480.493 9.103.490 9.562.990 9.814.350
Jagung 451.960 549.441 587.189 573.263 577.513 639.821
Ubi Kayu
Kedelai 19.893 29.090 23.712 24.494 17.438 32.921
1.661.558 2.074.023 5.054.747 2.044.674 1.921.016 2.034.854
Ubi Jalar 342.794 389.640 390.382 389.043 375.665 376.490
Kc. Tanah 91.867 97.723 100.984 91.817 91.439 78.512
Sumber: Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2008
Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, diolah dari BPS Provinsi Jawa Barat 2008
Dari data diatas terlihat, antara tahun 2003 sampai 2008 secara umum produksi tanaman palawija cenderung mengalami penurunan. Tanaman yang mengalami penurunan produksi hampir setiap tahunnya adalah kacang tanah. Untuk tanaman kedelai, ubi kayu dan ubi jalar produksinya cenderung berfluktuatif namun mengalami
penurunan
produksi
di tahun 2007 dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Sementara tanaman palawija yang mengalami peningkatan produksi setiap tahunnya hanyalah tanaman padi dan jagung.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 16
Penggunaan Pupuk untuk Tanaman Padi dan Palawija Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, pada tahun 2008 jenis pupuk yang digunakan untuk tanaman padi dan palawija adalah jenis urea, SO 36 dan NPK. Pemakaian pupuk terbanyak adalah untuk tanaman padi yaitu sebanyak 800 Kg dengan rincian pemakaian urea sebanyak 300 Kg, SP 36 sebanyak 100 Kg dan urea sebanyak 400 Kg. Tabel 2.7 Penggunaan Pupuk untuk Tanaman Padi dan Palawija di Jawa Barat 2008 Jenis Tanaman Padi Jagung Kedelai K. Tanah Ubi kayu Ubi Jalar Total :
Pemakaian Pupuk (Kg) Urea
SP. 36
ZA
NPK
Organik
300 200 75 75 650
100 100 100 300
-
400 250 650
-
Sumber : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2008
c. Perkebunan Perkebunan di Jawa Barat terdiri dari perkebunan besar dan perkebunan rakyat. Jenis tanaman yang ditanam di perkebunan besar antara lain karet, kelapa sawit, coklat, teh, tebu dan kina. Sementara jenis tanaman yang ditanam di perkebunan rakyat antara lain karet, kelapa, kopi, coklat, teh, cengkeh, tebu, tembakau, jarak, kapuk, kina, jambu mete, pala dan kayu manis. Di perkebunan besar luas lahan terbesar adalah untuk tanaman teh yaitu seluas 26.537 Ha dengan produksi sebesar 55.834 ton dan tanaman karet seluas 23.963 Ha dengan produksi sebesar 25.107 ton. Sementara luas lahan terkecil adalah untuk tanaman kina yaitu seluas 3.792 Ha dengan produksi sebesar 610 ton. Sama halnya dengan perkebunan besar, diperkebunan rakyat luas lahan terbesar adalah untuk tanaman teh yaitu seluas 53.077 Ha dengan produksi sebesar 30.717 ton dan tanaman cengkeh seluas 30.919 Ha dengan produksi sebesar 5.683 ton. Sementara luas lahan terkecil adalah untuk tanaman kayu manis yaitu seluas 147 Ha dengan produksi sebesar 47 ton.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 17
2.4.2 Limbah yang Dihasilkan dari Kegiatan Pertanian
Pestisida Limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian yang sangat berbahaya bagi kesehatan karena termasuk dalam kategori limbah B3 salah satunya adalah penggunaan pestisida di lahan pertanian. Banyaknya pestisida yang diproduksi adalah insektisida, fungisida dan herbisida. Saat ini penggunaan pestisida khususnya pada tanaman padi di Jawa Barat setiap tahunnya terus menurun. Keadaan
tersebut
pergeseran
pola
disebabkan pikir
para
karena petani,
terjadinya dari
yang
sebelumnya masih menganggap penggunaan pestisida merupakan upaya pengendalian hama secara terpadu, namun saat ini pengendaliaan secara terpadu lebih menitikberatkan kegiatan pengamatan di lapangan sebagai upaya pengendalian hama secara preventif, sedangkan penggunaan pestisida merupakan pilihan terakhir setelah upaya lainnya tidak berhasil dalam menekan perkembangan hama di lahan pertanian.
POPs (Ersistent Organic Pollutants) Bahan kimia yang digolongkan sebagai POPs adalah bahan yang mempunyai sifat racun, tahan terhadap perubahan, bioakumulasi dan dapat berpindah melalui udara, air dan spesies yang berada jauh dari sumbernya sehingga terakumulasi dalam lingkungan. Bahan kimia yang tergolong dalam POPs meliputi sembilan jenis pestisida organoklor, PCB, dan dua jenis bahan kimia yang terbentuk secara tidak sengaja, yaitu dioksin dan furan. DDT adalah pestisida organoklor yang tergolong ke dalam POPs yang digunakan untuk mengendalikan penyakit malaria semenjak tahun 1952. DDT tidak digunakan lagi sejak tahun 1984 dan pada tahun 1993 Departemen Pertanian melarang peredarannya. Permasalahan umum tentang senyawa POPs yang teridentifikasi antara lain adalah: 1. Pada umumnya masyarakat belum mengetahui resiko penggunaan senyawa POPs karena efeknya tidak langsung terlihat. 2. Baku mutu senyawa POPs dalam air, tanah/sediment, udara, serta bahan makanan/pakan berlemak sebagai dasar tindakan pengelolaan senyawa POPs belum ada. Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 18
3. Tingkat pendidikan dan sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah mendorong petani menggunakan pestisida POPs secara informal. 4. Laboratorium penguji dan SDM yang mampu menguji berbagai senyawa POPs masih langka. 5. Tingginya biaya untuk pemantauan residu POPs membuat pemantuan jarang dilakukan. 6. Penelitian tentang teknik dan bahan alternatif jarang dilakukan, kecuali untuk teknik pengendalian hama terpadu (PHT) Departemen Pertanian
telah melarang peredaran toksafen pada 1980, dieldrin dan
klordan pada tahun 1992, serta DDT pada tahun 1993. Penggunaan sembilan pestisida POPs telah dilarang melalui PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun serta baku mutu untuk pestisida POPs dalam air telah diatur dalam PP No. 82 Tahun 2001 untuk senyawa aldrin dan dieldrin, klordan, DDT, heptaklor dan hepox, endrin, serta toksfen. Selaku Negara yang telah menandatangi Konvensi Stockholm, Indonesia berkewajiban untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Nasional (National Impelementation Plan) untuk mengurangi dan menghilangkan secara bertahap pelepasan POPs dari produksi, penggunaan secara sengaja dan tidak sengaja, serta dari tempat penyimpanan limbah. Indonesia akan meratifikasi Konvensi Stockholm pada tahun 2005 dan naskah akademiknya telah disiapkan pada tahun 2004. Tabel 2.8 Jenis Pestisida dan Potensi Bahaya bagi Kesehatan Manusia
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 19
2.5 INDUSTRI Pada tahun 2008 jumlah industri di Jawa Barat mencapai 1700 jenis, dimana 31 diantaranya merupakan industri besar dan 1669 merupakan industri kecil menengah. Sebagian besar industri kecil menengah berada di daerah perkotaan dan sekitarnya seperti Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya. Sedangkan industri besar mengelompok di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Ditinjau dari tingkat penyerapan tenaga kerjanya, industri kecil bisa menyerap tenaga kerja menengah jauh lebih besar dibandingkan dengan industri besar. Namun demikian, ditinjau dari nilai produksinya, industri besar jauh lebuh tinggi dibandingkan dengan industri kecil menengah. Gambar 2.12 Perbandingan antara Industri Kecil Menengah dengan Industri Besar di Jawa Barat tahun 2008
Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, 2008
Tabel 2.9 Sebaran Unit Usaha; Tenaga Kerja dan Investasi Sektor Industri Di Jawa Barat Tahun 2008 No
Kabupaten/Kota
Unit Usaha (Unit) IKM
Tenaga Kerja (Orang)
Nilai Produksi (Juta Rp)
IB
Jumlah
IKM
IB
1
Kab. Bogor
189
11
200
16,640
4,410
Jumlah 21,050
384,663.51
IKM
301,247.57
IB
685,911.08
2
Kota Bogor
85
-
85
2,321
-
2,321
37,066.67
-
37,066.67
3
Kota Depok
41
-
41
958
-
958
26,606.05
-
26,606.05
4
Kab. Sukabumi
96
-
96
2,548
-
2,548
39,254.54
-
39,254.54
5
Kota Sukabumi
48
-
48
456
-
456
3,107.47
-
3,107.47
6
Kab. Cianjur
26
-
26
244
-
244
1,589.80
-
1,589.80
7
Kab. Bekasi
135
15
150
9,816
4,086
13,902
362,591.54
432,159.80
794,751.34
8
Kota Bekasi
130
-
130
5,347
1,161
6,508
73,447.68
405,420.00
478,867.68
9
Kab. Karawang
58
2
60
3,575
516
4,091
71,914.50
506,553.00
578,467.50
10
Kab. Purwakarta
69
-
69
10
-
10
3,302.10
-
3,302.10
11
Kab. Subang
9
-
9
30
-
30
1,140.00
-
1,140.00
12
Kab. Cirebon
55
-
55
2,629
-
2,629
27,566.00
-
27,566.00
Tekanan Terhadap Lingkungan
Jumlah
Hal - 20
No 13
Kabupaten/Kota
Unit Usaha (Unit) IKM
IB
Jumlah
Tenaga Kerja (Orang) IKM
IB
Nilai Produksi (Juta Rp)
Jumlah
IKM
IB
Jumlah
Kota Cirebon
18
-
18
70
-
70
1,239.50
-
1,239.50
14
Kab. Majalengka
13
-
13
377
-
377
5,283.41
-
5,283.41
15
Kab. Indramayu
29
-
29
295
-
295
5,414.00
-
5,414.00
16
Kab. Kuningan
99
-
99
115
-
115
12,731.40
-
12,731.40
17
Kab. Bandung
103
1
104
6,198
300
6,498
97,762.99
24,000.00
121,762.99
18
Kota Bandung
141
1
142
1,315
3
1,318
20,840.60
16,997.00
37,837.60
19
Kota Cimahi
14
1
15
1,144
2,391
3,535
12,937.30
297,448.00
310,385.30
20
Kab. Sumedang
42
-
42
193
-
193
3,685.00
-
3,685.00
21
Kab. Garut
36
-
36
569
-
569
1,668.01
-
1,668.01
22
Kab. Tasikmalaya
57
-
57
496
-
496
2,223.98
-
2,223.98
23
Kab. Ciamis
17
-
17
193
-
193
446.00
-
446.00
24
Kota Banjar
25
Kota Tasikmalaya Jumlah
26
-
26
19
-
19
2,296.00
-
2,296.00
133
-
133
2,290
-
2,290
27,079.90
-
27,079.90
1,669
31
1,700
57,848
12,867
70,715
1,225,857.95
1,983,825.37
3,209,683.32
Keterangan : IKM <= 10 M ; IB > 10 M Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, 2008
Kawasan Industri di Cikarang, Bekasi
2.5.1 Aktivitas Industri yang Berpotensi Mencemari Sumber Air Jenis, volume dan daya cemar limbah cair setiap industri berbeda-beda; tergantung pada jenisjenis dan banyaknya produk yang dihasilkan oleh industri tersebut dan jenis proses produksi yang digunakan. Jumlah limbah cair industri memang tidak sebesar limbah cair domestik dan kegiatan perkotaan, namun limbah dari kegiatan industri umumnya sangat pekat dan mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3). Untuk itu diperlukan pengolahan limbah industri dalam sebuah instalasi pengolahan limbah (IPAL) sebelum dibuang ke badan air. Tabel berikut memperlihatkan jenis limbah yang dihasilkan dari beraneka ragam jenis industri.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 21
Tabel 2.10 Kualitas Air di Effluen (outlet) Industri PARAMETER BOD INDUSTRI (BM 50 mg/L)
Kisaran (mg/L) Jumlah Lokasi Pengukuran
> BMA
Persentase
3.45 - 4811.04
33
15
45.5%
45
1
1
100.0%
9
1
11.1%
Migas (Outlet ke Laut)
Perdagangan (BM 50 mg/L) 4.47 - 52.78 Sumber : Laporan SLHD Jawa Barat, 2007
Tabel 2.11 Hasil Pemantauan Air Limbah pada Industri di Jawa Barat
PARAMETER COD Industri (BM 100 mg/L) Industri Migas (Outlet ke Laut) Industri Perdagangan(BM 100 mg/L)
Kisaran (mg/L) 3.4 - 13944 92.94 10.96 - 149.4
Jumlah Lokasi 33 1 9
> BMA 16 0 2
Persentase 48.50% 0.00% 22.20%
pH (6 - 9) Industri Industri Migas (Outlet ke Laut) Industri Perdagangan
Kisaran 2.6 - 11.7 7.09 6.5 - 7.6
Jumlah Lokasi 33 1 9
> BMA 5 0 0
Persentase 15.20% 0.00% 0.00%
Amonia Bebas (NH3-N) Industri (BM 1 mg/L) Industri Migas (Outlet ke Laut) Industri Perdagangan (BM 1 mg/L)
Kisaran (mg/L) 0.06 - 25.03 0.35 0.11 - 122.47
Jumlah Lokasi 33 1 9
> BMA 13 0 6
Persentase 39.40% 0.00% 66.70%
Kisaran (mg/L)
Jumlah Lokasi
> BMA
Persentase
33 1 9
8 1 4
Residu Tersuspensi Industri (BM 200 mg/L) Industri Migas (Outlet ke Laut) Industri Perdagangan (BM 200 mg/L) Sumber : Laporan SLHD Jawa Barat, 2007
8 - 624 244 8 - 11100
24.20% 100.00% 44.40%
Hasil dari pemantauan menunjukkan bahwa: Sebanyak 48 % industri yang dipantau, air limbahnya melebihi baku mutu dan konsentrasinya rata-rata 10 kali baku mutu. Dari 9 industri perdagangan yang diuji, 2 industri air limbahnya melebihi baku mutu. Berikut adalah uraian tentang jumlah dan jenis industri di setiap DAS di Jawa Barat yang diindikasi memberi kontribusi pada pencemaran air permukaan di Jawa Barat. Kegiatan Industri di DAS Citarum Dari 542 industri yang ada, jenis industri tekstil merupakan industri terbanyak, yaitu 396 industri (73%), selebihnya industri kimia 26 (4,9%), industri kertas 7 (1,3%), industri kulit 7 (1,3%), cat 6 (1,1%), logam/elektroplating 12 (2,3%), farmasi 13 (2,4%), makanan-minuman 21 (3,9%), pupuk/pestisida 1 (0,1%), deterjen 2 (0,3%), cold storage 7 (1,3%), percetakan uang 1 Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 22
(0,15 %), minyak goreng 1 (0,1%), karpet 3 (0,65 %), keramik 4 (0,7%), karet 2 (0,3%) dan kawasan industri 33 (6,2%). Meskipun jumlah buangan rumah tangga mencapai 60 % dari total limbah di sungai, kadar limbah bahan berbahaya dan berbahaya tertinggi masih berasal dari pabrik. Gambar 2.13 Trend Peningkatan Industri Besar di Jawa Barat Tahun 2004 - 2008
Sumber : Profil Daerah 2008, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2008
Kegiatan Industri di DAS Ciliwung Sumber pencemaran yang berasal dari penduduk (1.740.208 jiwa) dan industri merupakan kontribusi beban pencemaran yang paling besar pada S.Ciliwung dan anak-anak sungainya. Dari 101 industri yang ada, jenis industri tekstil merupakan industri terbanyak, yaitu 19 industri (26,11%), selebihnya industri kimia 17 (19,32%), industri kertas 1 (1,14%), industri kulit 1 (1,14%), cat 1 (1,14%), logam/elektroplating 11 (12,5%), farmasi 13 (14,77%), makananminuman 13 (14,77%), pestisida 1 (1,14%), kosmetik 2 (2,27%), accu/battery 4 (4,55%), karoseri 1 (1,14%), karet 2 (2,27%), keramik 1 (1,144 %), tapioka 1 (1,14%), dan satu kawasan industri. Kegiatan Industri di DAS Cileungsi-Kali Bekasi Dari 181 industri yang ada, jenis industri makanan-minuman merupakan industri terbanyak, yaitu 36 industri (19,86%), selebihnya industri tekstil 28 (15,47%), industri kertas 11 (6,08%), industri kulit 6 (3,31%), cat 7 (3,87%), logam/elektroplating 13 (7,18%), farmasi 8 (4,42%), kimia 28 (15,47%), pupuk/pestisida 2 (1,10%), deterjen 6 (3,31%), karpet 1 (0,55%), kosmetik 5 (3,31%), battery 3 (1,66%), karet 9 (4,79), keramik 9 (4,79%), sumpit 5 (2,98%), industri
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 23
karoseri 2 (1,10%), dan minyak goreng 1 (0,55%). Sumber pencemaran yang berasal dari penduduk dan industri merupakan kontribusi beban pencemaran yang paling besar pada Sungai Cileungsi dan anak-anak sungainya. Kegiatan Industri di DAS Cimanuk Dari 312 industri yang ada, jenis industri kulit merupakan industri terbanyak, yaitu 263 industri (84,29%), selebihnya industri makanan 38 (12,8%), industri tapioka 2 (0,64%), industri gula 3 (0,96%), keramik 1 (0,32%), garmen 2 (0,64%), batik/tekstil 1 (0,32%), kimia 1 (0,32%) dan cool storage 1 (0,32%).
Sumber : Profil Daerah 2008, Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat 2008
Dari gambar di atas terlihat bahwa di Jawa Barat, industri tekstil mendominasi jumlah industri terbesar yang membebani badan air sungai. Dari 7 das yang terpantau, memperlihatkan kondisi dengan jumlah aktivitas industri tekstil terbanyak, selain itu industri
yang turut
membebani adalah industri logam / elektropating, industri farmasi, industri kimia dan makanan.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 24
Gambar 2.15 Peta Sebaran kawasan Industri di Jawa Barat
Sumber : Pusat Lingkungan Geologi Provinsi Jawa Barat 2007
2.5.2 Aktivitas Industri yang Berpotensi Mencemari Udara Industri yang dominan berpotensi memberikan kontribusi terhadap pencemaran udara adalah industri yang melakukan proses pembakaran pada proses produksi atau aktivitas industrinya. Walaupun kontribusi gas buang dari cerobong asap industri hanya berkisar 10 -15% namun sumber pencemar dari industri dapat dengan mudah diamati karena posisinya tidak bergerak (point source of pollution). Bagian paling besar yang dibebaskan oleh industri adalah padatan renik atau debu. Debu ini memberikan dampak negatif yang nyata bagi lingkungan biotik dan fisik. Hal ini lebih menampilkan dampak negatif industri bagi masyarakat, sedangkan senyawasenyawa pencemar yang lain dalam fasa gas tidak akan tampak langsung, meskipun tingkat bahaya senyawa-senyawa ini tidak lebih rendah daripada tingkat bahaya yang diakibatkan oleh debu.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 25
Gambar 2.16 Histogram Jenis Senyawa Pencemar Yang Dibebaskan oleh Industri
Sumber : (Ross, 1972; Snell, 1981)
Gambar diatas menyatakan debu merupakan bagian yang paling besar dibebaskan ke lingkungan oleh industri dalam kaitan dengan pencemaran udara oleh industri. Pemantauan Emisi Industri Meningkatnya penggunaan energi batubara sebagai boiler dalam industri tekstil di Jawa Barat akhirnya memunculkan permasalahan baru yang berasal dari limbah hasil pembakaran yang berupa fly ash dan bottom ash. Dari 173 industri tekstil yang terdata dalam API maka sebanyak 73 industri telah menggunakan batu bara sebagai sumber energinya (data Desember 2005) yang berlokasi di Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat dan Kota Cimahi. Tabel 2.12 Kualitas emisi dan udara dari cerobong asap industri tahun 2005 (sebagai ilustrasi) Parameter SO2 NO2 Opasitas CO CO2 Efisiensi pembakaran Kapasitas boiler batu bara
Satuan 3 µg/nm 3 µg/nm 3 µg/nm % 3 µg/nm 3 µg/nm % ton/jam
Rentang nilai 8 – 2025 96 – 1477 90 – 393 10 – 20 23 – 1593 73.79 -153.88 98.22 -99.99 10 - 30
Rata-rata 310,9 601,5 202,9 12 407,3 130,41 99,63 15,56
Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi 2005
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 26
Industri Tekstil di Bandung Raya & Kebutuhan Energi Dari studi industri tekstil di Bandung Raya (GTZ –ProLH-Lab. B3 Dept.Teknik Lingkungan ITB) pada Desember 2005 terindikasi bahwa industri tekstil mendominasi jenis industri yang berada di Bandung Raya (63%) dengan sebaran :
84% industri berada di Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Kota Cimahi
13% berada di Kota Bandung
3% berada di Kabupaten Sumedang
Akibat kenaikan Tarif Dasar Listrik dan harga bahan minyak mengakibatkan banyak industri yang beralih menggunakan energi alternatif seperti batu bara sebagai salah satu pemecahan masalah. Penggunaan energi batu bara akan memunculkan limbah padat yang dihasilkan berupa fly-ash (FA) dan bottom-ash (BA). Limbah ini digolongkan ke dalam limbah B3 menurut PP18/99 jo PP85/99, yang terdapat dalam daftar lampiran 1 Tabel 2 dengan kode D-223 dan D230. Masuknya limbah dalam regulasi tersebut berarti segala aktivitas pengelolaannya termasuk upaya pemanfaatannya harus memiliki izin khusus dari Kementrian Lingkungan Hidup Pusat. Menurut informasi, di wilayah Bandung terdapat lebih dari 300 perusahaan tekstil yang tersebar di tiga wilayah yaitu Kabupaten Bandung (Kab. Bandung Barat masih bersatu), Kota Bandung dan Kota Cimahi. Namun dari jumlah tersebut hanya 173 buah perusahaan yang terdapat dalam daftar Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). 73 buah industri sampai Desember 2005 telah menggunakan batubara sebagai sumber energinya. 31,14% yang menggunakan batu bara tersebut dilakukan penjaringan data menggunakan kuesioner (22 buah). Dari hasil suatu penelitian diperoleh jawaban sebagai berikut :
Menjawab 57,14% 61,90%
Limbah Fly Ash Bottom Ash
Jumlah batu bara yang dihasilkan (ton/hari) 0,2-20 ton/hari 0,08 - 7 ton/hari
Sumber : Laporan academic considerations in FA & BA in Greater Bandung, 2005
Pencemaran udara akibat penggunaan batubara adalah yang paling sering dikeluhkan masyarakat sekitar. Sekitar 60% responden menjawab bahwa pengendalian partikulat khususnya dengan cyclone merupakan upaya yang digunakan untuk mengurangi pencemaran udara, data terlampir.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 27
Tabel 2.13 Pengendali Pencemaran Udara dari Boiler Batu Bara Menjawab (60%)
Pencemaran Udara dari Boiler Pengendalian partikulat Gravity settler Cyclone Bag house filter Electrostatic presipitator lainnya
(%) 88,24 86,67 13,33 6,67
Sumber : Laporan academic considerations in FA & BA in Greater Bandung, 2005
2.6 PERTAMBANGAN Jenis bahan galian yang ditambang di pertambangan rakyat di Jawa Barat sebagian besar adalah batu kapur dengan produksi sebesar 1.401.738 ton/tahun, sementara untuk jenis bahan galian lainnya antara lain andesit, bentonit, feldspar, marmer, pasir, sirtu, pasir kuasa, tanah liat, pasir/tanah urug, trass, zeolit dan emas. Sementara jenis bahan galian yang ditambang oleh perusahaan yang terdata di Dinas Pertambangan dan Energi Prov Jawa Barat yang meliputi Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi dan Kab. Bogor adalah pasir besi, galena, emas dmp, bijih besi, emas dan seng dmp dengan total luas areal 8.578.128 Ha. Tabel 2.14 Produksi Pertambangan Rakyat Menurut Jenis Tambang
Jenis Bahan Galian Andesit Batu Kapur Bentonit Feldspar Marmer Pasir Sirtu Pasir Kuarsa Tanah Liat Pasir/Tanah Urug Trass
Produksi (Ton/Tahun) 496.932 1.401.738 35.918 16.234 165 293.264 3.248 88.379 314.061 9.936 12.675
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 28
Jenis Bahan Galian
Produksi (Ton/Tahun)
Zeolit Emas Perak
7.138 2.324 2 2.682.014
Total : Sumber : Distamben Prov. Jawa Barat, 2008
Wilayah yang memiliki areal penambangan terbesar adalah Kab.Bogor yaitu seluas 8.491.399 Ha dan perusahaan terbesar yang memiliki areal penambangan adalah PT. Putra Samudra I, luas areal penambangannya sebesar 1.500.000 Ha dengan jenis bahan galian yang ditambang adalah galena dmp.
2.7 ENERGI Pembangunan energi dan sumber daya mineral di Jawa Barat memiliki peluang dan tantangan. Berdasarkan data, jumlah penduduk Jawa Barat pada tahun 2008 mencapai 42,19 juta jiwa dan pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 44,9 juta jiwa sehingga menyebabkan ruang semakin terbatas, pemanfaatan semakin kompleks sementara kebutuhan akan energi sumber daya mineral semakin meningkat. Begitu pula dengan meningkatnya kebutuhan energi dan sumber daya mineral sebagai bahan konstruksi maupun bahan baku industri. Saat ini pun terjadi kelangkaan ketersediaan energi di masyarakat, sementara sumber-sumber energi yang tersedia belum dimanfaatkan secara optimal. PLTG Muara Tawar Bekasi
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 29
2.7.1
Konsumsi Energi untuk Sektor Industri
Seperti yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya, akibat kenaikan Tarif Dasar Listrik dan harga bahan minyak mengakibatkan banyak industri yang beralih menggunakan energi alternatif seperti batu bara sebagai salah satu pemecahan masalah. Berdasarkan data dari BPLHD Provinsi Jawa Barat pada tahun 2009, konsumsi BBM di sektor industri untuk jenis bahan bakar LPG sebanyak 1.000 Kg, solar sebanyak 917.450 liter dan batubara sebanyak 18.044 ton. 2.7.2 Konsumsi Energi untuk Sektor Rumah Tangga Kenaikan harga minyak tidak saja dirasakan oleh kalangan industri tetapi juga dirasakan oleh kalangan rumah tangga terutama rumah tangga yang menggunakan minyak tanah, akibatnya pada tahun 2008 pemerintah memberikan sumbangan berupa kompor dan tabung gas kepada masyarakat terutama masyarakat golongan menengah ke bawah yang masih menggunakan kompor dengan bahan bakar minyak untuk beralih ke LPG. Sebagai gambaran, pada tahun 2007 dari 6.401.044 RT yang ada di Jawa Barat sebanyak 1.220.523 RT (19,06%) menggunakan LPG, 5.147.682 RT (80,42%) menggunakan minyak tanah dan sebesar 32.839 RT (0,51%) menggunakan briket. Dengan tingginya harga minyak tanah dan adanya kebijakan pemerintah di sektor rumah tangga untuk beralih ke LPG, maka pada tahun 2008 jumlah rumah tangga yang menggunakan LPG sebagai bahan bakar menjadi bertambah dan masyarakat yang menggunakan minyak tanah menjadi berkurang. 2.7.3 Konsumsi Energi untuk Kegiatan Transportasi Banyaknya jumlah kendaraan di Jawa Barat mengakibatkan konsumsi energi untuk kegiatan transportasi setiap tahunnya meningkat. Berdasarkan data dari PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran III Cabang Pemasaran Bandung, dari sebanyak 430 SPBU yang ada di Jawa Barat, rata-rata penjualan per bulan untuk jenis bahan bakar premium adalah sebanyak 119.387 KL dan untuk solar sebanyak 75.794 KL. Wilayah yang memiliki jumlah SPBU terbanyak adalah Kota Bandung (66 buah), Kab. Bandung (49 buah) dan Kab. Karawang (41 buah). Untuk wilayah yang mengkonsumsi bahan bakar jenis premium terbanyak adalah Kab. Bandung (16.104 KL), Kota Bandung (12.965 KL) dan Kab. Karawang (12.965 KL) dan wilayah yang mengkonsumsi bahan bakar jenis solar terbanyak Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 30
adalah Kab. Karawang (13.312 KL), Kab. Purwakarta (10.765 KL) dan Kab. Cirebon (6.330 KL). Sementara wilayah yang mengkonsumsi premium paling sedikit adalah Kab. Garut (1.461 KL) dan Kota Banjar (1.568 KL) dan wilayah yang mengkosumsi solar paling sedikit adalah Kota Sukabumi (565 KL) dan Kota Banjar (635 KL).
2.8 TRANSPORTASI Dari tahun ke tahun jumlah kendaraan bermotor di Jawa Barat terus meningkat. Banyaknya kendaraan bermotor baik roda empat maupun sepeda motor ikut memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pencemaran udara. Jika perlakuan terhadap kendaraan masih tetap seperti saat ini, hal ini tentu saja diikuti dengan meningkatnya volume gas buang yang berarti pencemaran udara semakin meningkat. 2.8.1 Panjang dan Kondisi Jalan Panjang jalan di Jawa Barat yang dibagi menurut kewenangannya terdiri dari jalan nasional sepanjang 1.140,69 km, jalan provinsi sepanjang 2.199,12 km, jalan kabupaten sepanjang 16.699,58 km dan jalan kota sepanjang 4.590,08 km. Saat ini kondisi jalan yang ada sebesar 34% dalam kondisi baik, 29% dalam kondisi sedang menjelang rusak, dan dalam kondisi rusak dan rusak berat sebesar 37%. Jalan-jalan yang rusak/rusak berat perlu segera diperbaiki karena kualitas jalan juga berpengaruh terhadap besaran volume gas buang kendaraan.
Sumber : diolah dari Jabar dalam angka 2008
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 31
2.8.2 Kepadatan Lalu Lintas Saat ini kepadatan lalu lintas terutama lalu lintas di kota-kota di Jawa Barat seperti Bandung, Bekasi, Bogor cukup tinggi. Kepadatan lalu lintas semakin meningkat karena dari tahun ke tahunnya jumlah kendaraan bermotor semakin bertambah. Berbagai penelitian menyatakan bahwa panjang jalan yang ada saat ini kurang sebanding dengan jumlah kendaraan yang ada sehingga mengakibatkan sering terjadi kemacetan yang tentunya akan diikuti dengan meningkatnya volume gas buang dari kendaraan yang mengalami peningkatan dibandingkan dengan keadaan normal/tidak macet. Pada tahun 2002 jumlah kendaraan bermotor di Jawa Barat sebanyak 1.860.386 unit, sementara pada tahun 2009 jumlah kendaraan bermotor meningkat sekitar 55% menjadi sebanyak 4.095.709 unit. Jenis kendaraan bermotor yang mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahunnya adalah sepeda motor. Pada tahun 2002 jumlah sepeda motor di Jawa Barat sebanyak 1.196.856 unit sementara pada tahun 2009 jumlah sepeda motor sebanyak 2.767.746 unit atau mengalami peningkatan sekitar 57%. Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan jumlah kendaraan bermotor terutama sepeda motor saat ini adalah mudahnya persyaratan dan ringannya uang muka dalam pengajuan kredit, sehingga saat ini (terutama di Bandung dan Bekasi) hampir setiap rumah memiliki sepeda motor bahkan dalam satu rumah banyak juga yang memiliki lebih dari satu sepeda motor. Gambar 2.17 Perkembangan Jumlah dan Jenis Kendaraan Bermotor di Jawa Barat, Tahun 2002-2009
Sumber : Direktorat Lalu Lintas Polda Jabar Tahun 2009
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 32
2.9 PARIWISATA Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keindahan alam yang sangat memukau. Potensi keindahan alam yang dimiliki ini mengakibatkan di Jawa Barat banyak terdapat objek-objek wisata. Banyaknya masyarakat/pengunjung (baik lokal maupun luar negeri) yang berkunjung ke objek wisata di Jawa Barat dikarenakan mereka sangat tertarik dengan keindahan alamnya sehingga (terutama pada masa liburan sekolah) Jawa Barat banyak dijadikan sebagai lokasi tujuan wisata. 2.9.1 Lokasi Wisata dan Jumlah Pengunjung Menurut data dari Dinas Kebudayaan dan Salah satu objek wisata di daerah Ujung Genteng, Sukabumi
Pariwisata Provinsi Jawa Barat, di Jawa Barat terdapat 20 objek wisata, walaupun sebenarnya Jawa Barat memiliki lebih dari 20 objek wisata, namun yang terdata di Dinas Pariwisata hanya ada 20 objek wisata saja. Sebagian besar atau sekitar 70% adalah jenis
objek wisata alam
(wisata agro, wisata bahari, wisata selam, dll), sekitar 10% jenis wisata budaya dan 20% jenis wisata minat khusus. Pada tahun 2007 jumlah pengunjung yang datang ke objek wisata di Jawa Barat sebanyak 10.648.302 orang. Sebagian besar atau sekitar 13,63% mengunjungi objek wisata Gn. Tangkuban Perahu, 11,96% mengunjungi Ciater, dan 10,34% mengunjungi Kebun Raya Bogor. Tabel 2.15 Lokasi Objek Wisata dan Jumlah Pengunjung No
Nama Objek Wisata
Jenis Objek Wisata
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Gn. Tangkuban Perahu Ciater Kebun Raya Bogor Makam Sunan Gn. Jati Desa Wisata Buni Hayu Taman Safari Indonesia Situ Patenggang Kebun Raya Cibodas Trusmi
Alam Alam Alam Budaya Minat Khusus Minat Khusus Alam Alam Minat Khusus
Jumlah Pengunjung (orang per tahun)
Persentase Jumlah Pengunjung
1.451.408 1.273.821 1.101.017 856.850 744.400 727.310 621.967 504.273 431.099
Tekanan Terhadap Lingkungan
13,63 11,96 10,34 8,05 6,99 6,83 5,84 4,73 4,05
Hal - 33
Jumlah Pengunjung (orang per tahun)
Persentase Jumlah Pengunjung
No
Nama Objek Wisata
Jenis Objek Wisata
10 11 12
Pamijahan Kawah Putih Wisata Agro Gunung Mas Cipanas Tarogong Air Panas Walini Pangandaran Air Panas Cimanggu Wana Wisata Gn. Puntang Air Panas Cibolang Kawah Kamojang Curug Cijalu
Budaya Alam Alam
408.163 335.114 318.448
3,83 3,15 2,99
Alam Alam Alam Alam Minat Khusus
315.303 258.155 249.940 240.528 223.641
2,96 2,42 2,35 2,26 2,10
202.510 202.510 181.845 10.648.302
1,90 1,90 1,71 100,00
13 14 15 16 17 18 19 20
Alam Alam Alam
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat, 2008
2.9.2 Jumlah Hotel dan Penginapan Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2007 jumlah hotel di Jawa Barat sebanyak 1.407 buah yang terdiri dari hotel berbintang sebanyak 155 buah dan hotel tidak berbintang sebanyak 1.252 buah. Wilayah yang memiliki jumlah hotel terbanyak adalah Kota Bandung dan Kota Bogor. Jika dilihat berdasarkan persentase tingkat huniannya selama kurun waktu 3 tahun terlihat jika tingkat hunian hotel berbintang setiap tahunnya mengalami peningkatan, namun untuk hotel non berbintang mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan jika perekonomian masyarakat selama kurun waktu 3 tahun semakin membaik yang salah satunya dicirikan dengan peningkatan tingkat hunian di hotel berbintang. Tabel 2.16 Persentase Tingkat Hunian Hotel di Jawa Barat Tingkat Hunian Hotel Berbintang Bintang 1 Bintang 2 Bintang 3 Bintang 4 Bintang 5 Hotel Non Berbintang Kelompok kamar < 10 Kelompok kamar 10 – 24 Kelompok kamar 25 – 40 Kelompok kamar 41 – 100 Kelompok kamar > 100
Tahun 2005
2006
37,00 23,76 30,41 37,41 43,09 53,76 32,18 41,09 32,61 19,14 45,37 13,64
35,37 24,65 27,43 32,30 38,36 54,11 27,22 18,35 30,25 29,37 27,37 19,32
2007 41,29 27,70 32,88 39,03 51,62 55,54 23,20 23,55 27,62 26,90 21,92 11,19
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 34
Tingkat Hunian Hotel berbintang + Non Berbintang
Tahun 2005
2006
33,49
31,30
2007 31,17
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat, 2008
2.10 LIMBAH B3 2.10.1 Permasalahan Limbah B3 Limbah B3 yaitu limbah bahan berbahaya dan yang mempunyai karakteristik sebagai berikut : -
mudah meledak
-
mudah terbakar
-
bersifat reaktif
-
beracun
-
menyebabkan infeksi
-
bersifat korosif
-
limbah lain yang jika diuji dengan metoda toksikologi termasuk limbah B3.
Selain limbah B3 dalam sektor industri, juga terdapat limbah B3 dalam rumah tangga yang berbahaya bagi kesehatan. Produk seperti insektisida, pembersih porselen, kaca, lantai dan anti sumbat adalah beberapa contoh dari produk rumah tangga yang mengandung B3. Produk yang mengandung B3 dan sering digunakan dalam rumah tangga lainnya adalah pengharum ruangan, baterei, cat rambut dan pemutih pakaian. Kecuali insektisida, pembersih saluran (anti sumbat/drain cleaner) dan pembersih porselen, kebanyakan produsen tidak mencantumkan bahan aktif yang digunakan dalam kemasannya. Berbagai hal yang menjadi permasalahan pengelolaan limbah B3 adalah sebagai berikut : ●
Pengetahuan masyarakat tentang bahaya limbah B3 masih rendah karena dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan tidak terlihat langsung melainkan berjangka panjang.
●
Fasilitas pengelolaan terpadu limbah B3 masih terbatas dan terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya Jawa Barat. Saat ini Indonesia baru memiliki dua fasilitas pengelolaan limbah B3 cair dan sebuah fasilitas pengelolaan terpadu limbah B3 dengan landfill kelas I.
●
Timbul sumber limbah B3 yang baru. Sebagai contoh adalah limbah B3 yang dihasilkan dari pembakaran batu bara berupa fly ash dan bottom ash. Kenaikan harga BBM menyebabkan
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 35
pengusaha beralih menggunakan batubara dan mengakibatkan peningkatan jumlah timbulan fly ash dan bottom ash. 2.10.2 Pengelolaan Limbah B3 Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan pengelolaan limbah B3 wajib memiliki izin/rekomendasi operasi dari kepala instansi yang bertanggungjawab, dalam hal ini Meneg LH. Ketentuan dan tata cara memperoleh izin/rekomendasi tersebut harus sesuai dengan Kep68/Bapedal/05/1994. Perizinan pengelolaan limbah B3 dimaksudkan untuk mengetahui jumlah/timbulan, jenis, karakteristik, dan peredaran B3 dan Limbah B3 di Indonesia sejak dihasilkan sampai dengan pengolahan akhir. Pengelolaan limbah B3 meliputi :
Penyimpanan Sementara Limbah B3
Pengangkutan Limbah B3
Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah B3
Pengolahan Limbah B3 dengan Insinerator
Pemanfaatan Limbah B3
Penimbunan Limbah B3
Di Jawa Barat ada beberapa perusahaan penghasil limbah B3 dengan jenis limbahnya antara lain berupa limbah cair, sludge oil, spent catalyst, oli bekas, fly ash, bottom ash ,dll dengan volume per tahun berkisar antara 5-500 ton. Dari beberapa perusahaan tersebut, ada yang sudah mendapatkan ijin untuk penyimpanan, pengumpulan, pengolahan, pemanfaatan dan pemusnahan limbah B3, sementara yang lainnya izinnya masih dalam proses.
Tekanan Terhadap Lingkungan
Hal - 36