BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KARTUN POLITIK KARYA PRAMONO R. PRAMOEDJO Pada bab ini akan diuraikan mengenai sosok Pramono R. Pramoedjo sebagai kreator, dan karya yang dihasilkan. Selain itu akan dibahas juga mengenai situasi politik masa Orde Baru sebagai masa pada saat karya-karya Pramono dihasilkan dan sekilas tentang HU Sinar Harapan. Situasi politik masa Orde Baru dan HU Sinar Harapan merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada karya Pramono. Dengan penjelasan pada bab ini diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai bagaimana pandangan hidup Pramono serta pandangannya mengenai kartun politik serta kaitannya dengan situasi politik dan kebijakan umum HU Sinar Harapan.
3.1 Profil Pramono R. Pramoedjo
Gbr. III.1 Pramono sedang membuka pameran karikatur di Yogyakarta, 2006
45
3.1.1 Latar Belakang Keluarga Pramono R Pramoedjo lahir di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 5 Desember 1942. Ayahnya R. Pramoedjo Hardjotaroeno, seorang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, Ilmu Pasti, Aljabar dan Menggambar di beberapa sekolah lanjutan di Magelang diantaranya SMA Pendowo dan SMA Negeri Boton. Ibunya, Rr. Soemilah juga seorang guru, tetapi setelah menikah ia tidak lagi mengajar. Pramono adalah anak ke tiga dari enam bersaudara. Kakak sulung Pramono bernama Siswanto berprofesi sebagai guru mata pelajaran gambar, bahasa dan matematika di sekolah BOPKRI dan SMP Negeri Yogyakarta. Kakak perempuan Pramono bernama Siswanti yang saat ini tinggal di Jakarta. Sementara adik-adik Pramono adalah Permadi yang berprofesi sebagai ilustrator di media massa cetak milik group Kompas, Jakarta, Harianto seorang pengusaha batik lukis di Yogyakarta dan pelukis dan Sri Nurini.
Masa kanak-kanak dan remaja Pramono dihabiskan di Magelang. Pada saat duduk di bangku sekolah lanjutan atas, Pramono mengenal Sri Rahayu yang kelak menjadi istrinya. Setelah sempat berpisah karena masing-masing harus melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, mereka bertemu kembali di kota Lawang Jawa Timur. Pada saat itu, Sri Rahayu telah mengajar di sebuah taman kanak-kanak. Sri Rahayu kemudian pindah ke Wonogiri dan menjabat sebagai kepala sekolah dasar dan taman kanak-kanak katolik. Pada 5 Desember 1967, Pramono dan Sri Rahayu melangsungkan pernikahan di Solo. Pramono dan Sri Rahayu dikarunia tiga putra yaitu Praba Hayutama Martaniadi, Rahzuardi Sabata Maya Dwianto dan Agus Triaswanto Prono Baskoro. Saat ini Pramono memiliki dua cucu, Azniyel dan Vanya.
Pramono dibesarkan di lingkungan yang taat beragama. Orang tua Pramono memberikan pendidikan
Ajaran Kristen dengan sungguh-sungguh kepada anak-
anaknya. Setiap hari Minggu, keluarga Pramono menghadiri ibadat di gereja yang terletak di Jl. Bayeman, tidak jauh dari Alun-Alun Kota Magelang. Orang tua
46
Pramono menyadari betul pentingnya nilai-nilai spiritual dalam kehidupan agar dapat mencapai keselarasan dan ketenangan hidup. Orang tua Pramono menanamkan falsafah bahwa takut kepada Tuhan adalah awal dari kebenaran. Prinsip hidup inilah yang terus dipertahankan dan kemudian dijadikan landasan dalam mendidik putraputranya. Berbeda dengan orang tua Pramono yang menerapkan disiplin yang keras kepada anak-anaknya, Pramono lebih mengembangkan suasana yang demokratis di keluarga. Anak-anak Pramono diberi kebebasan dalam mengemukakan pendapat dan menentukan pilihan.
3.1.2 Latar Belakang Pendidikan Pramono mulai mengikuti pendidikan formal di SD Kristen Kemirikerep yang dilanjutkan di SMP BOPKRI. Tetapi oleh ayahnya, Pramono kemudian dipindahkan ke SMP Negeri 2 Plengkung. Pramono meneruskan sekolahnya di SMAN Magelang yang diselesaikannya pada tahun 1961. Setamat SMA, Pramono melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) Jogyakarta. Pendidikan di UGM hanya berlangsung sampai semester ke II.
Situasi perekonomian pada saat itu sangat berat. Pemerintah Orde Lama gagal mengatasi krisis ekonomi sehingga kasus kelaparan mulai bermunculan. Sebagian masyarakat mulai mengkonsumsi talas, umbi gadung dan welur. Ampas ketela yang telah diambil sarinya pun dimakan. Mengkonsumsi nasi tiwul yang terbuat dari gaplek sudah menjadi pemandangan yang biasa. Bantuan dari luar negeri walaupun sebelumnya ditolak oleh Soekarno akhirnya berdatangan berupa bahan pangan yang disebut bulgur. Kondisi ini berimbas juga pada kehidupan Pramono. Untuk mensiasati kondisi yang sulit, Pramono membuat kartu-kartu ucapan yang ia gambari dan dititipkan di sebuah toko buku. Selain itu, kerap kali Pramono membuat ilustrasi untuk harian Kedaulatan Rakyat, majalah Mekar Sari dan Minggu Pagi Yogyakarta. Uang kuliah di Universitas Gajah Mada pun mulai terasa memberatkan, disamping adanya keharusan membeli diktat-diktat kuliah dari dosen.
47
Kondisi ini menggerakan hati R. Saptoto, kakak sepupunya yang pada saat itu telah menjadi dosen di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta untuk mengajak Pramono pindah kuliah ke ASRI. Selain untuk mengatasi kesulitan ekonomi, Saptoto juga melihat potensi yang dimiliki Pramono di bidang seni rupa. Ajakan ini dipenuhi oleh Pramono walau sebelumnya sempat ditolaknya. Tahun 1963, Pramono mendaftarkan diri di ASRI Jurusan IV (sekarang Jurusan Desain Grafis). Ditunjang dengan bakat, keterampilan dasar dan pengalaman praktik yang sudah dimiliki, Pramono tidak merasa kesulitan selama mengikuti perkuliahan di ASRI. Pada masa kuliah, Pramono terlibat dalam beberapa proyek yang berskala nasional.
3.1.3 Pandangan Hidup Disamping ajaran Kristen, nilai-nilai budaya Jawa pun mempengaruhi perilaku dan pemikiran. Pramono menyenangi seni wayang kulit dan wayang orang. Ia juga kerap kali mendengarkan musik tradisional Jawa, Klenengan. Kemampuan membaca dan menulis dengan huruf Jawa semakin membangun ikatan emosi yang kuat dengan budaya Jawa. Nilai-nilai budaya Jawa kemudian sangat berpengaruh pada perjalanannya sebagai seorang kartunis. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan peneliti dengan Pramono di Yogyakarta pada 20 April 2006, Pramono menjelaskan sikap hidupnya yang mempengaruhi proses berkarya. Ia mencontohkan beberapa peribahasa dalam bahasa Jawa yang mewakili sikap hidupnya, misalnya Ngono yo ngono ning ngojo ngono (begitu ya begitu tapi jangan begitu), peyek yo peyek ning ojo diremet-remet. Ngenyek yo ngenyek ning ojo banget-banget (jangan terlalu kebangetan), urip itu kepenak sing gawe ora kepenak iku uwonge (hidup itu enak yang bikin tidak enak itu orangnya). Pramono selalu berupaya bersikap hati-hati dan menghindari konflik. Prinsip tepo seliro diterapkan dalam berbagai aktivitas hidup termasuk ketika berkarya. Pramono mengatakan pada saat berkarya ia berusaha tetap berhati-hati.
Segala
sesuatu
harus
dipikirkan,
diterjemahkan dalam gambar.
48
diendapkan
dan
kemudian
Sikap rendah hati ditunjukkan oleh Pramono. Kecenderungan sikap hidup rendah hati ini diuraikan Niels Mulder dalam Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (1980: 72) bahwa dalam masyarakat Jawa, individu diharapkan tetap low profile, untuk tidak menonjol, untuk tidak saling berbagi, untuk patuh, tergantung dan kooperatif. Dalam kaitannya dengan profesinya sebagai kartunis, Pramono mengatakan seorang karikaturis terutama saya bukan selebritis, bukan orang terkenal yang harus terlihat fisiknya. Saya pekerja biasa. Kerja di koran yang kebetulan bidang saya adalah seni rupa. Bidang karikatur yaitu kritik dalam bentuk kartun, kartun opini. Yang harus muncul adalah karyanya, bukan orangnya.
3.1.4 Pengalaman Kerja dan Organisasi Ketika kuliah di UGM, Pramono mulai membuat ilustrasi untuk harian Kedaulatan Rakyat, majalah Mekarsari dan Minggu Pagi Yogyakarta. Dari aktivitas membuat ilustrasi ini, Pramono mengenal beberapa ilustrator antara lain Kentardjo yang bekerja di Kedaulatan Rakyat yang berkantor di Jl. Mangkubumi Yogyakarta. Dibawah bimbingan Kentardjo, Pramono mempelajari berbagai hal tentang ilustrasi. Ia mempelajari secara mendalam tentang gambar anatomi tubuh manusia dan berbagai benda. Melalui Kentardjo, Pramono mendapat pekerjaan membuat ilustrasi sampul buku. Setelah pindah ke ASRI, Pramono memperluas wawasannya dengan sering berkunjung untuk berdiskusi dengan pelukis Affandi atau Kartika Affandi.
Dengan kemampuannya yang menonjol, Pramono sering diajak oleh para dosennya untuk mengerjakan berbagai proyek. Salah satu diantaranya adalah pengerjaan poster berukuran besar untuk kegiatan Pekan Olahraga TNI AL (Porakta) di Bumi Morokrembangan, Surabaya. Proyek besar lainnya yang melibatkan Pramono adalah pengerjaan diorama Monumen Nasional. Diorama yang berjumlah sekitar dua puluh buah ini dikerjakan oleh kurang lebih lima puluh seniman dari ASRI Yogyakarta, diantaranya adalah Saptoto, GM Sudharta, Sri Hadhy, A. Matheus, Pranjoto Rahardjo, Soetardjo, dan lain-lain. Pramono sendiri merupakan bagian dari lima
49
belas orang yang tergabung dalam tim yang mengawali pengerjaan proyek yang prestisius ini. Satu pengalaman yang berkesan bagi Pramono adalah saat mengikuti presentasi rancangan diorama Monumen Nasional kepada Presiden Soekarno di Istana Merdeka. Selama mengerjakan diorama, Pramono menerima gaji dan berbagai fasilitas lainnya dari Pemerintah Indonesia. Kuliah yang telah mencapai tahun ketiga untuk sementara ditinggalkan dulu.
Pengerjaan proyek Monumen Nasional menghadapi kendala pada tahun 1965. Situasi politik yang berkembang pada saat itu memaksa pembangunan Monumen Nasional di hentikan karena terus menerus dijadikan sasaran kritik demonstransi. Kelompokkelompok yang berseberangan dengan Soekarno menganggap Monumen Nasional hanyalah proyek mercusuar Soekarno yang pendiriannya tidak sesuai dengan kondisi rakyat Indonesia yang tengah mengalami kesulitan ekonomi. Penghentian proyek tanpa kejelasan kapan dilanjutkannya menyebabkan tim dari ASRI kembali ke Yogyakarta. Pramono kemudian melanjutkan kuliah.
Tahun 1967, ASRI kembali mendapat tawaran dari pemerintah untuk terlibat dalam pengerjaan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya Jakarta Timur. Pemerintahan Soeharto melalui Badan Pembangunan Monumen Pahlawan Revolusi yang dibentuk oleh Pusat Sejarah ABRI memerintahkan pembuatan monumen yang ditujukan untuk mengenang jasa para pahlawan revolusi. Pada proyek ini, Pramono ditunjuk sebagai Kepala Bagian Desain Monumen membantu Saptoto yang menjabat sebagai pimpinan proyek. Mereka berkantor di Badan Sensor Film yang terletak di jalan Agus Salim, Jakarta Pusat. Dua tahun kemudian pekerjaan ini dapat dirampungkan.
Pada saat pembangunan monumen, kantor tempat Pramono sering dikunjungi oleh tamu dari berbagai instansi. Salah satu diantaranya adalah Subagyo Pr, pemimpin harian umum Sinar Harapan. Setiap kali bertemu, Soebagyo Pr selalu minta Pramono agar bersedia bekerja di Sinar Harapan sebagai ilustrator. Tawaran ini kemudian
50
diterima. Tahun 1967, Pramono resmi menjadi karyawan tetap HU Sinar Harapan. Pramono mulai mengerjakan ilustrasi-ilustrasi untuk artikel atau ceritera pendek. Disamping itu, dikerjakan pula pembuatan infografis untuk melengkapi sebuah berita, ikon-ikon dan tata letak (lay out) koran. Sering kali pula diminta membuat poster dan spanduk sebagai media promosi.
Perjalanan karir Pramono lainnya yang perlu diutarakan, selain menghasilkan karyakarya visual, Pramono juga kerap kali membuat tulisan atau artikel yang dimuat di HU Sinar Harapan. Tulisan-tulisan Pramono biasanya bertema tentang kepariwisataan atau seni budaya. Setiap ada agenda pameran di Taman Ismail Marzuki, ia coba tulis dalam bentuk kritik, resensi atau reportase. Kemampuan tulis menulis ini dipelajari dari redaktur dan wartawan senior, Setiadi Tryman dan Umar Nur Zain. Semangat belajar yang kuat, mendorong Pramono untuk mempelajari teknik-teknik fotografi, mulai dari bagaimana memotret yang benar sampai ke proses cetak film.
Ketertarikan terhadap kartun politik (karikatur) dimulai ketika Pramono melihat karya-karya karikatur yang dibuat oleh seniman-seniman Bandung yang dimuat di media cetak. Berbagai referensi tentang karikatur mulai dikumpulkan dan dipelajari. Kemudian Pramono mencoba membuat karikatur dan hasilnya kemudian ditunjukkan kepada Setiadi Tryman, redaktur cerpen yang sering berhubungan dengannya. Tanggal 18 September 1966, untuk pertama kalinya karikatur karya Pramono muncul di HU Sinar Harapan dengan tema tentang para pejabat Indonesia yang banyak mengadakan kredit barang mewah. Barang-barang mewah tersebut bukan untuk rakyat tetapi untuk segelintir pejabat. Dengan demikian produktivitas Pramono sebagai seorang kartunis (karikaturis) dimulai. Hampir setiap minggu karya-karya Pramono dimuat di HU Sinar Harapan.
Totalitas Pramono dalam dunia kartun tidak hanya berwujud dalam aktivitas berkarya. Keperdulian pada perkembangan kartun di Indonesia diwujudkannya
51
dengan keikutsertaan pada pendirian Persatuan Kartunis Indonesia (Pekerti) pada tahun 1989. Dalam organisasi ini, Pramono menjabat sebagai ketua dari tahun 1989 hingga 2004.
3.1.5 Pandangan tentang Kartun Politik Sebagai seorang kartunis yang sudah cukup lama berkarya, Pramono memiliki pandangan terhadap karya kartun politik. Bagi Pramono, kartun politik atau karikatur yang berhasil adalah yang mengkritik sekaligus memberi saran atau jalan keluarnya. Karikatur harus memberi kesempatan kepada pembaca untuk berpikir lalu mengambil kesimpulan. Peran karikatur menurut Pramono sangat penting karena karikatur merupakan editorial yang memberikan informasi kepada publik dalam bentuk yang berbeda karena ditampilkan secara visual. Ia percaya bahwa karikatur dapat dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat.
Pandangan hidupnya yang melihat keharmonisan sebagai tujuan utama serta menghindari konflik, nyata berpengaruh pada penyikapan terhadap proses berkarya. Pramono mengungkapkan untuk menyampaikan kritik melalui media tidak harus vulgar, tetapi dapat dilakukan dengan “jalan memutar”, tidak harus langsung. Dengan demikian subyek yang dikritik tidak merasa sakit hati. Pramono juga menempatkan karikatur merupakan media untuk mengajak orang lain berpikir. Tidak hanya untuk kelompok yang berpendidikan tinggi dan memiliki jabatan yang tinggi pula tetapi untuk masyarakat bawah juga.
3.1.6 Karya-karya Pramono Periode 1980-1986 3.1.6.1 Kategorisasi Karya Apabila memperhatikan karya-karya Pramono yang dimuat di HU Sinar Harapan maka dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Ilustrasi artikel. Ilustrasi yang ditujukan untuk mendukung dan memperjelas artikel. Kemunculan ilustrasi ini dimaksudkan juga agar tampilan tata letak surat
52
kabar menjadi lebih menarik dan terhindar dari kemonotonan. Untuk ilustrasi artikel ini Pramono tetap menampilkan gaya visual kartun dengan karakteristik visual yang tidak jauh berbeda dengan karakteristik visual yang muncul pada kartun politik. Apabila dicermati, kartun-kartun yang difungsikan sebagai ilustrasi artikel lebih mengarah pada jenis gag cartoon.
Gbr III. 2. Karya ilustrasi Pramono. Sumber: Sinar Harapan
b. Kartun politik. Perkembangan kartun politik karya Pramono yang dimuat di HU Sinar Harapan menunjukkan bahwa pada awalnya Pramono membuat kartun politik dengan format bingkai tunggal tanpa ada kemunculan tokoh kartun tertentu. Tetapi pada tahun 1969, Pramono meluncurkan kartun strip dengan tokoh yang bernama Keong. Menurut penuturannya, tokoh Keong merupakan lambang rakyat kecil yang bodoh, tetapi memiliki sikap yang sok tahu. Keong diberi peran yang beragam mulai dari rakyat jelata sampai pejabat tinggi tergantung pada tema yang diketengahkan. Ciri khas tampilan visual keong adalah sosok yang bulat, gemuk dengan pakaian berlengan pendek dan
53
mengenakan topi pet. Selain tokoh Keong sering pula dimunculkan tokoh seorang anak yang banyak bertanya. Kartun strip Keong ini lebih menonjolkan bahasa tubuh, gestur dan ekspresi tokoh Keong dengan banyak dukungan teks dalam bentuk dialog. Biasanya Keong disajikan dalam tiga frame urutan waktu. Tetapi kemudian juga muncul tampilan Keong dalam bingkai tunggal.
Gbr. III.3. Keong dalam format kartun strip
Gbr. III.4. Keong dalam format frame tunggal
Walaupun memunculkan tokoh Keong, Pramono tetap produktif menghasilkan karya kartun politik yang tidak bertajuk si Keong walaupun dalam jumlah yang
54
tidak terlalu banyak. Tema-tema yang diangkat berkisar tentang peristiwaperistiwa yang dianggap penting. Lingkup bidangnya pun tidak terbatas pada bidang politik saja. Kartun-kartun bertema olahraga, lingkungan hidup, perilaku masyarakat kerap kali diterbitkan.
Intensitas kemunculan kartun politik karya Pramono cukup padat. Hampir seminggu sekali karya Pramono muncul di HU Sinar Harapan. Berikut ini jumlah karya kartun yang dihasilkan oleh Pramono dalam kurun waktu 1980-1986, meliputi karya yang bertajuk si Keong dan non si Keong:
Tabel III.1 Jumlah Karya Pramono Periode 1980-1986
Tahun
Si Keong
Non Si Keong
1980
26
8
1981
31
6
1982
25
6
1983
36
20
1984
33
13
1985
25
22
1986
15
19
Total
191
94
3.1.6.2 Sekilas Kartun Politik Karya Pramono Dari hasil observasi lapangan yang dilakukan di Pusat Dokumentasi HU Suara Pembaruan dan Perpustakan Nasional terkumpul 65 karya kartun (selain si Keong) yang terdokumentasi secara visual. Selebihnya hanya dicatat saja. Karya-karya ini
55
hampir semuanya dibuat dengan format frame tunggal. Karya-karya Pramono biasanya ditempatkan di halaman satu (front cover) atau enam (rubrik opini).
Tema-tema yang muncul pada karya-karya Pramono cukup beragam. Pramono menunjukkan sikap yang fleksibel dengan mengikuti perkembangan peristiwa yang terjadi. Tema-tema karya Pramono dapat diklasifikasikan menjadi tema yang berbicara tentang Pemerintah Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), peristiwa luar negeri dan peristiwa sosial. Jumlah kartun bertema tentang Pemerintahan terbanyak (46 buah), diikuti oleh peristiwa sosial (11 buah), DPR (4 buah) dan peristiwa luar negeri (4 buah).
Mengingat penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna yang
muncul pada
kartun politik karya Pramono maka tema yang akan dibahas adalah tema Pemerintahan. Fakta lainnya juga menunjukkan bahwa Pramono lebih intensif mengangkat tema Pemerintahan. Yang dikategorikan sebagai tema Pemerintahan mulai dari kebijakan diberbagai bidang (ekonomi, politik, hukum, pendidikan), kegiatan-kegiatan Pemerintah dan figur dari pejabat Pemerintah.
Tema-tema
tentang
kebijakan
Pemerintah
pada
karya
kartun
Pramono
mengindikasikan adanya isu tentang keputusan atau aturan yang dibuat Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan (power). Kebijakan Pemerintah pada umumnya tidak tergambar langsung atau ditulis secara verbal pada karya-karya Pramono. Untuk mengetahui secara akurat tentang kebijakan maka pembaca harus menyimak pula pemberitaan di Sinar Harapan, karena kartun-kartun politik ini mengacu pada berita yang dimuat.
Menanggapi tentang kebijakan Pemerintah, Pramono menyajikan dengan cara yang berbeda-beda. Ada karya yang sifatnya deskriptif saja untuk menggambarkan sikap
56
yang ditunjukan Pemerintah. Tetapi ada karya yang menunjukkan suasana yang aksireaksi dan memperlihatkan situasi yang dialami masyarakat akibat kebijakan tersebut.
(a)
(b)
Gbr. III.5 Karya (a) mendeskripsikan kebijakan luar negeri Karya (b) menunjukan aksi reaksi dari kebijakan ekonomi.
Tema-tema kebijakan di bidang ekonomi lebih banyak diangkat (10 karya), diantaranya yang secara berulangkali muncul adalah tema tentang RAPBN yang didalamnya diantaranya berbicara tentang kebijakan kenaikan gaji, BBM, dsb. Pada tema ini Pramono lebih memilih untuk mengungkapkan situasi-situasi yang dialami oleh masyarakat dengan diberlakukannya kebijakan tersebut. Masyarakat pada karyakarya tersebut diperlihatkan sebagai korban.
Tema-tema lain adalah luar negeri (4 karya), penegakan hukum (7 karya), transportasi (2 karya), pendidikan (2 karya), lingkungan hidup (2 karya), perusahaan milik negara (2 karya) dan kependudukan (1). Yang cukup banyak adalah karyakarya yang bertema tentang perilaku-perilaku pejabat yang mencapai 16 karya. Pramono tampaknya cukup jeli melihat perilaku pejabat dalam hubungannya dengan pejabat lebih tinggi posisinya, dengan posisi yang menguntungkan, bagaimana pola ketika akan dipanggil oleh Presiden untuk menduduki jabatan tertentu dan keinginan untuk diistimewakan.
57
Gbr. III.6. Beberapa karya dengan tema yang berbeda-beda
3.2 Masa Pemerintahan Orde Baru di Indonesia 3.2.1 Kemunculan Orde Baru Indonesia sejak memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, sampai saat ini telah mengalami beberapa kali penggantian pemerintahan yang dikelompokkan pada tiga era yaitu era Orde Lama yang berkuasa sampai tahun 1966 dengan Soekarno sebagai presiden, Orde Baru yang berkuasa antara tahun 1966 sampai 1998 dengan Soeharto sebagai presiden serta Era Reformasi yang dimulai tahun 1998 sampai saat ini. Dalam kurun waktu delapan tahun Era Reformasi, Indonesia mengalami empat kali penggantian presiden yaitu Baharuddin Jusuf Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono.
58
Kemunculan Orde Baru pada tahun 1966 menggantikan periode Orde Lama tidak lepas dari peristiwa G30S/PKI. Peristiwa ini dimulai ketika Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup jatuh sakit. Kondisi Soekarno yang demikian memunculkan spekulasi tentang pengganti. Pada saat itu muncul dua nama yaitu Letjen A. Yani dan Jenderal AH Nasution yang kedua-duanya merupakan perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang sangat anti ideologi komunis. Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai salah satu partai terbesar di Indonesia dan memiliki pengaruh besar pada pemerintahan Soekarno merasa situasi yang tidak menguntungkan. Dengan sebelumnya melemparkan isu adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta, PKI kemudian melancarkan aksi pembunuhan terhadap perwira-perwira tinggi dan menengah Angkatan Darat yang kemudian dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September. Tujuh perwira terbunuh termasuk Letjen A. Yani, sementara Jenderal AH Nasution berhasil meloloskan diri. Dengan kondisi Soekarno yang sedang sakit dan situasi nasional yang tidak kondusif menyusul peristiwa pembunuhan perwiraperwira AD, Soeharto mulai menunjukkan perannya sebagai orang yang akan berperan penting dalam sejarah Indonesia. Dengan legitimasi dari Presiden Soekarno berupa Surat Perintah Sebelas Maret yang sampai saat ini masih kontroversial mengenai keberadaan maupun isinya, Soeharto mulai mengendalikan situasi.
Dukungan terhadap Soeharto datang juga dari kalangan mahasiswa yang anti komunis. Peran besar mahasiswa tergambar dalam catatan harian Soe Hok Gie, seorang aktivis, yang terangkum dalam buku Zaman Peralihan (1995:3)
Pada tanggal 1 Oktober di Jakarta terjadi kudeta dari PKI. Tetapi karena tindakan yang tegas dari Mayor Jenderal Soeharto, usaha kup ini dapat dihancurkan sama sekali. Sejalan dengan arus yang ada dalam masyarakat, di dunia universitas pun terjadi pergolakan-pergolakan. Diadakan tindakan-tindakan pengamanan terhadap unsur-unsur yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
59
PKI. Para mahasiswa juga ikut aktif dalam usaha-usaha membersihkan dunia perguruan tinggi dari unsur-unsur PKI.
Tindakan Soeharto dalam merambah ke parlemen. MPRS. Pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, MPRS menghasilkan beberapa keputusan penting. Setelah membersihkan anggota yang terlibat dalam G30S/PKI, MPRS melangsungkan tiga kali sidang (dua kali sidang umum dan satu kali sidang istimewa) dalam kurun waktu antara tahun 1966 s.d. 1968. Sidang-sidang
MPRS menghasilkan 36 ketetapan.
Diantaranya adalah tap No IX/MPRS/1966 tentang SP 11 Maret dijadikan Tap MPRS No XXXIII/ MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno. Ketetapan MPRS lainnya adalah Tap MPRS No X/MPRS/1966 yang mengembalikan posisi dan fungsi semua lembaga negara dikembalikan menurut posisi dan fungsi sebagaimana yang diatur oleh UUD 1945.
Terjadi perubahan struktur politik yang mendasar. Orde Baru bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, melakukan pembaharuan di bidang ekonomi, politik dan bidang-bidang lain. Ali Murtopo
mengemukakan
strategi politik Orde Baru kedalam empat tahap yaitu penghancuran PKI, konsolidasi dan pemurnian Pancasila dan UUD 1945, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional, mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan dengan REPELITA yang mulai berlaku April 1969 (Arifin Rahman, 2001: 236). Dibawah Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXXIV/MPRS/1968, Pemerintah Indonesia menyelenggarakan Pemilu tahun 1971 yang diikuti oleh sembilan partai politik dan Golongan Karya. Pada pemilu yang terselenggara pertama kali sejak tahun 1955 ini, Golongan Karya memperoleh suara terbanyak. Tahun 1973, MPR hasil pemilu 1971 memilih kembali Soeharto sebagai Presiden dan Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Wakil Presiden. (Miriam Budiardjo, 2000: 203). Dengan dukungan sistem partai politik dan parlemen yang menguntungkan Soeharto maka tidak sulit baginya untuk memperoleh
60
pengesahan sebagai Presiden RI, di lima periode berikutnya. Berikut ini ketetapanketetapan MPR mengenai pengangkatan Soeharto sebagai Presiden RI: Tap MPR No IX/MPR/1973 hasil Pemilu 1971 Tap MPR No X/MPR/1978 hasil Pemilu 1977 Tap MPR No VI/MPR/1983 hasil Pemilu 1982 Tap MPR No V/MPR/1988 hasil Pemilu 1987 Tap MPR No IV/MPR/1993 hasil Pemilu 1992
Pada masa Orde Baru muncul Golongan Karya sebagai kekuatan yang begitu dominan. Organisasi politik yang tidak mau disebut sebagai partai politik ini mampu mengendalikan kekuasaan selama hampir 32 tahun. Kehadiran Golongan Karya di masa Orde Baru dipandang sebagai realisasi dari keinginan elit politik yang dalam kurun waktu pertama dipegang oleh ABRI ditambah teknokrat. (Arifin Rahman, 2001:237). Keberadaan Golongan Karya merupakan perpanjangan tangan ABRI. Melalui jalur Golongan Karya, ABRI merealisasikan doktrin Dwifungsi (ABRI sebagai kekuatan hankam dan sosial politik). Doktrin ini muncul untuk menjaga keutuhan dan kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 yang beberapa kali mengalami upaya perubahan bahkan penggantian. Dengan bersandar pada fakta sejarah bahwa ABRI lah yang telah menyelamatkan Pancasila, maka ABRI seakanakan memiliki legitimasi untuk mengendalikan kekuasaan. Untuk menjalankan misi Dwifungsi, pemerintah Orde Baru menciptakan sistem parlemen yang membuat ABRI cukup dominan dari sisi jumlah. Selain melalui jalur Golongan Karya, ABRI masuk ke parlemen (MPR) melalui jalur Utusan Daerah dan Golongan yang menempatkan para Panglima Kodam, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang notabene dijabat oleh perwira-perwira non aktif ABRI serta Menteri Kabinet sebagai anggota MPR. Soeharto dan ABRI pada masa Orde Baru merupakan suatu
61
`kemanunggalan`. Selama ABRI memiliki kekuatan di parlemen, selama itulah Soeharto mampu mempertahankan kekuasaan.
Untuk melanggengkan kekuasaan secara konsisten Soeharto melancarkan berbagai propaganda untuk membangun citra positif. Nurudin dalam Komunikasi Propaganda (2001:57) setidaknya mengidentifikasi ada enam tema propaganda yaitu: 1.
Propaganda citra baik kepribadian pemimpin. Soeharto mendapat julukan Bapak Pembangunan. Ia ingin mencitrakan
bahwa dia adalah pelopor,
penggerak, penentu pembangunan. Propaganda ini benar-benaar ingin memunculkan persepsi bahwa hanya melalui kepemimpinan Soeharto maka cita-cita pembangunan dapat tercapai. 2.
Propaganda pembangunan ekonomi. Berbeda dengan Orde Lama yang menempatkan politik sebagai panglima, maka pada pemerintahan Orde Baru mengubah paradigma dengan menempatkan ekonomi sebagai panglima. Perubahan ini tercermin dari butir-butir Repelita I – IV yang mengisyaratkan adanya keberlanjutan program perekonomi dengan target akhir tercipta masyarakat industri yang kuat pada saat tinggal landas. Tujuan yang ingin dicapai oleh Orba adalah membangun suatu masyarakat baru yang merasa aman, menikmati arti penting ketertiban dan mengejar kemajuan dalam stabilitas. Orba menjalankan strategi: Strategi ekonomi yang mendorong pertumbuhan cepat dan yang bisa memobilisasi berbagai sumber daya ekonomi dari luar negeri yang sering disebut orientasi keluar. Strategi politik
mendorong penciptaan sistem ekonomi dan masyarakat
yang tertib dan terkendali. Tidak dapat disangkal, Orde Baru telah membawa perubahan yang cukup signifikan dalam bidang ekonomi dan sosial. Laju pertumbuhan ekonomi yang pernah mencapai tujuh persen, menempatkan Indonesia sebagai salah satu
62
negara yang paling cepat pertumbuhannya. Pembangunan infrastruktur jauh lebih berkembang dibanding masa Orde Lama. Indonesia pada masa Orde Baru sempat mencapai negara swasembada pangan. Keberhasilan-keberhasilan ini menjadi modal bagi Pemerintahan Soeharto untuk membangun kepercayaan dari masyarakat Indonesia maupun internasional. 3.
Propaganda dengan organisasi berbasis militer. Soeharto berkuasa penuh selama 32 tahun karena peran militer. Kekuasaan militer juga menopang Golkar sebagai organisasi massa yang beberapa periode dikuasai oleh militer. Seperti yang sudah dijelaskan, militer melalui institusi ABRI/TNI secara konsisten mengkampanyekan
pentingnya
Dwifungsi
untuk
melindungi
laju
pembangunan. 4.
Propaganda sakralisasi
Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru
bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Pada masa ini, UUD 1945 nyaris menjadi dokumen suci yang tidak boleh diubah. Apabila ada pihak-pihak yang berkeinginan mengubah maka dianggap sebagai pelaku pengkhianatan pada kemurnian Pancasila. 5.
Propaganda penertiban politik dan asas tunggal. Dimulai dari kebijakan Pemerintahan Orde Baru yang melakukan pengelompokkan partai politik pasca pemilu 1971 sehingga kemudian hanya muncul dua partai politik dan Golongan Karya. Partai-partai nasionalis dan Nasrani berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia, sementara partai-partai Islam berfusi menjadi
Partai Persatuan
Pembangunan. Golongan Karya dengan didukung oleh ABRI/ TNI dan aturan pemerintah tentang partai politik dan organisasi massa berhasil menjadi partai yang dominan. Salah satu ketentuan yang sangat menguntungkan Golongan Karya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak boleh beraktivitas di partai politik. Bagi PNS yang akan beraktivitas di partai lain harus memperoleh izin dari atasan. Ketentuan lainnya yang menguntungkan Golongan Karya adalah parpol tidak dibenarkan membangun organisasi di tingkat kecamatan dan kelurahan yang kemudian melahirkan massa mengambang (floating mass).
63
Berkaitan dengan asas tunggal, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan. UU No 3 tahun 1985 tentang partai politik dan UU no 8 tahun 1985 tentang organisasi massa yang harus menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal partai politik dan organisasi massa. 6.
Propaganda dengan politisasi agama. Pada masa Pemerintahan Orde Baru agama dipolitisasi sedemikian rupa sehingga muncul kesan bahwa Indonesia merupakan negara yang mampu menaungi keragaman agama dan memiliki toleransi yang tinggi. Walaupun demikian aktivitas keagamaan dibatasi agar tidak memunculkan pemikiran-pemikiran kritis yang menyikapi kebijakankebijakan pemerintah.
Propaganda-propaganda yang terus menerus melalui berbagai media massa, programprogram terencana seperti penataran dan kurikulum pendidikan telah mengokohkan Soeharto sebagai pimpinan tanpa cela selama lebih dari tigapuluh tahun. Pengukuhan kepemimpinan Soeharto bahkan disampaikan melalui ritual kebulatan tekad yang dilaksanakan oleh berbagai elemen masyarakat dan organisasi massa.
3.2.2 Masa Kejayaan Orde Baru Uraian sebelumnya menguraikan instrumen-instrumen yang menyebabkan Orde Baru mampu menjelma menjadi kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang kuat. Pada sub bab ini akan menjelaskan satu periode yang disebut-sebut sebagai periode kejayaan Orde Baru. David Bourchier (2006:129) mengatakan masa antara 1973-1988 merupakan hari-hari bahagia bagi Orde Baru dan para pendukungnya. Pada periode Pemerintah mendapat dukungan penuh secara finansial dan politik dari Barat yang menilai Indonesia mampu mengeliminir
kekuatan komunis. Pada masa ini pula
pemasukan dari sektor ekspor minyak dan gas mampu memperkuat devisa negara sehingga pembangunan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Tingkat pertumbuhan
64
ekonomi
yang
tinggi
mendapat
apresiasi
masyarakat
internasional
yang
memunculkan pandangan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi baru.
Sebagai tolok ukur kemajuan pembangunan yang dilaksanakan Orde Baru dapat dilihat dari tabel berikut yang memperbandingkan kondisi berbagai sektor antara masa akhir Orde Lama dengan awal tahun 1990. Tabel ini hanya menunjukan sebagian indikator kemajuan pembangunan. Dari tabel tersebut dapat dilihat laju pembangunan pada masa Orde Baru diberbagai sektor kehidupan masyarakat yang meningkat sangat pesat.
Tabel III.2 Indikator Pembangunan Ekonomi Masa Orde Baru Indikator Pertumbuhan GDP riil perkapita (%) Produksi beras (ton/ha) Produksi industri per kapita: Tekstil (meter) Listrik (kwh) Pupuk (kg) Pendidikan (%): Tidak bersekolah Berpendidikan tinggi Angka kemiskinan (%) di P. Jawa Yang sangat miskin Yang cukup
1960 an 0
Awal 1990 an +5
2,1
4,3
4,1 17,7 1,1
28,0 218 39,1
68,1 0,1
18,9 1,6
68,1 8
18,9 36
Dicuplik dari Tabel Indikator Pembangunan Ekonomi, Sumber: Ekonomi Indonesia (2001:6)
Tetapi pemerintahan Orde Baru pada masa itu memperlihatkan sikap represif terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai ancaman. Ketidakharmonisan dengan kelompok Islam menyebabkan timbulnya konfrontasi terbuka. Konfrontasi yang paling dramatis timbul pada September 1984, ketika pasukan dari Kodam Jaya menembaki para pekerja Muslim yang demonstrasi di dekat pelabuhan Tanjung
65
Priok, yang menewaskan dan melukai ratusan orang (Bourchier, 2006:130). Salah satu langkah politis yang diambil oleh Soeharto pada saat itu untuk mengamankan ideologi Pancasila adalah merealisasikan program P4 yang pada tahun 1980an sangat gencar dilakukan terhadap berbagai lapisan masyarakat.
3.2.3 Pers pada Masa Orde Baru Pada masa Orde Baru, kehidupan pers di Indonesia menunjukkan kedinamisan tetapi ditandai juga dengan situasi yang represif. Pergantian pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru berpengaruh terhadap perkembangan pers di Indonesia. Media massa yang sebelumnya harus berafiliasi dengan partai politik, sebagian kembali menyatakan diri sebagai media massa yang independen.
Untuk mengayomi industri pers, pada tahun 1967 Pemerintah Orde Baru mengeluarkan UU Pokok Pers No 11/66 jo UU No 3/1967. Walaupun pada undangundang tersebut dinyatakan tidak diperlukan lagi Surat Izin Terbit (SIT), tetapi pada prakteknya harus dimiliki oleh surat kabar, ditambah dengan Surat Izin Cetak (SIC). Dan pihak yang mengeluarkan bukan Departemen Penerangan tetapi Laksus Kopkamtib. Dengan demikian jelas terlihat, pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru adalah pendekatan kekuasaan. Setelah terus menuai protes, tahun 1977 aturan SIC kemudian dicabut dengan alasan stabilitas nasional telah mantap.
Walaupun dalam UU Pokok Pers (pasal 4) menyatakan tidak ada penyensoran dan pembreidelan, Pemerintahan Orde Baru malah berulangkali melakukan tindakan pelarangan terbit. Pembreidelan besar-besaran terjadi saat meletus Peristiwa Malari, pada tanggal 15 Agustus 1974. Tidak kurang tujuh surat kabar ibu kota di breidel antara lain Nusantara, Kami, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Wenang dan Pemuda Indonesia. Sementara di luar Jakarta, beberapa surat kabar tidak luput
66
dibreidel juga misalnya Suluh Berita - Surabaya, Indonesia Pos –Ujungpandang (Sejarah Pers di Indonesia, 2002:295)
Tahun 1998, UU Pokok Pers No 11/66 jo UU No 3/1967, direvisi menjadi UU Pokok Pers No 21/1982 yang mewajibkan setiap surat kabar memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Perubahan ini berdampak pada aspek ekonomi dan usaha pers Indonesia. Orientasi pers bergeser menjadi dari lembaga idealis menjadi lembaga bisnis. Dampak dari undang-undang ini munculnya konglomerasi perusahaan media massa. Perusahaan media massa diperboleh membeli dan mengakuisisi surat kabar lain. Era ini ditandai dengan lahirnya kelompok-kelompok usaha media massa diantaranya Gramedia-Kompas Group, Pos Kota Group, Grafiti/Jawa Pos Group. Walaupun demikian, Pemerintah masih memiliki kontrol yang kuat terhadap media massa melalui ancaman pencabutan SIUPP (pasal 33 Permenpen No. 01/Per/Menpen/ 84). Ibnu Hamad, dalam Konstruksi Realitas Politik Media Massa (2004:68) menguraikan situasi pers, pada masa Orde Baru sebagai berikut: a. Adanya jargon pers sebagai alat perjuangan nasional, alat pembangunan nasional. b. SIUPP dari pemerintah;kapitalisme pura-pura. c. Besarnya campur tangan penguasa.. d. Berorientasi stabilitas politik. e. Keseragaman politik. f. Menonjolkan kepentingan penguasa.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa Orde Baru, pers berada dalam situasi yang kurang bebas, walaupun ada komitmen dari Pemerintah bahwa pers Indonesia adalah pers yang bebas dan bertanggung jawab. Dengan alasan mengamankan hasil-hasil pembangunan dan mendukung proses pembangunan Pemerintah menciptakan regulasi-regulasi yang pada dasarnya menghambat kebebasan pers untuk menyampaikan fakta yang terjadi. Dengan demikian,
67
masyarakat pada akhirnya tidak memperoleh secara utuh hak untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya.
3.3 Sekilas Tentang Harian Umum Sinar Harapan Harian Umum Sinar Harapan merupakan salah satu harian yang cukup berpengaruh pada masa Orde Baru. Surat kabar yang berkedudukan di Jl Dewi Sartika 136-D, Cawang, Jakarta Timur, ini pernah mencapai tiras sebanyak 327.700 eksemplar pada tahun 1985. Berikut ini uraian mengenai sejarah singkat, peristiwa-peristiwa penting dan kebijakan redaksi Harian Umum Sinar Harapan.
3.3.1 Sejarah Berdiri Harian Umum Sinar Harapan Kemunculan HU Sinar Harapan tidak lepas dari sosok tokoh pers nasional, Hendrikus Gerardus (HG) Rorimpandey. Bersama-sama dengan JCT Simorangkir, Subagyo PR dan beberapa tokoh lainnya pada tanggal 6 Pebruari 1961 mengadakan pertemuan untuk merencanakan dan merumuskan pendirian HU Sinar Harapan. Setelah menghasilkan pemikiran yang matang, diajukan permohonan surat izin kepada Pemerintah. Pada 16 Maret 1961 Surat Izin Terbit HU Sinar Harapan di terbitkan oleh Departemen Penerangan RI dengan No. 067/1961. Setelah segala sesuatu yang terkait dengan perizinan diselesaikan, pada 27 April 1961, empat halaman edisi perdana diluncurkan dengan jumlah tiras sebanyak 7500 eksemplar. Dalam jangka waktu satu tahun, HU Sinar Harapan berhasil melipatgandakan jumlah tiras menjadi 25.000 eksemplar.
Ibnu Hamad (2004:128), menjelaskan kemunculan HU Sinar Harapan tidak lepas dari situasi politik yang berkembang pada saat itu. Pemerintahan Soekarno telah menutup beberapa surat kabar yang dicap sebagai surat kabar golongan kanan. Surat kabar golongan kiri praktis menguasai dunia pers di tanah air. Situasi mendorong beberapa pihak untuk menerbitkan surat kabar yang mampu mengimbangi surat kabar golongan kiri dan memperkuat barisan Pancasila. Diantaranya adalah mantan awak
68
harian Pos Indonesia yang telah diberangus ditambah tokoh-tokoh lain terutama dari kalangan Nasrani. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya HU Sinar Harapan.
Kondisi yang tidak kondusif, diperparah lagi ketika surat kabar diwajibkan berafiliasi pada
organisasi
politik
atau
organisasi
massa
dalam
rangka
mengontrol
perkembangan pers. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh sembilan partai politik dan organisasi massa. HU Sinar Harapan menyatakan diri sebagai surat kabar Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Pada 12 Agustus 1964, Sinar Harapan sempat mengalami peneguran oleh pemerintah. Tetapi setelah adanya kebijakan fusi partai pada masa Pemerintahan Orde Baru, pada tahun 1973 HU Sinar Harapan melepas keterikatan dengan Parkindo dan kembali menjadi surat kabar yang independen.
Pada masa itu, suhu politik di Indonesia mulai memanas. Posisi Partai Komunis Indonesia yang sedang menguat banyak melakukan manuver-manuver politik untuk mengagitasi lawan politik. Salah satunya dengan menggunakan kekuatan media massa melalui surat kabar Bintang Timur. Pada 12 Agustus 1964 untuk pertama kalinya Sinar Harapan di tegur oleh pemerintah.
Meletusnya Gerakan 30 September yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia berdampak buruk pada kehidupan pers pada saat itu. Dengan alasan pengendalian keamanan, seluruh surat kabar yang terbit di Jakarta dibekukan, kecuali dua surat kabar yang diterbitkan oleh ABRI yaitu Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Pada 6 Oktober 1965, media pers kembali diperbolehkan terbit dengan SK Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya dan sekitarnya. Dipenghujung tahun 1965 jumlah tiras HU Sinar Harapan sudah mencapai 50.000 eksemplar.
Karena kesulitan pengadaan kertas, HU Sinar Harapan pernah mengalami perubahan format ukuran, dari format broadsheet yang biasanya
69
terbagi menjadi sembilan
kolom menjadi ukuran yang lebih kecil untuk tujuh kolom. Perubahan ini terjadi dari tanggal 7 s.d 14 Agustus 1966. Pada tahun 1969, HU Sinar Harapan terbit dengan delapan halaman dan mulai tanggal 1 Januari 1970 terbit 12 halaman sehingga menjadi surat kabar pertama di Indonesia yang terbit dengan 12 halaman. Prestasi wartawan HU Sinar Harapan cukup menonjol dengan beberapa kali memperoleh penghargaan Adinegoro. Tahun 1975, Subekti memperoleh trofi Adinegoro untuk artikel berjudul “Menelusuri Kali Citarum”. Sementara pada tahun 1985, kartunis Pramono R. Pramoedjo dan Thomas Lionar memperoleh Trofi Adinegoro.
Setelah pernah mengalami pencabutan Surat Izin Cetak pada 2 s.d 11 Januari 1973, HU Sinar Harapan kembali mengalami pembreidelan pada 21 Januari 1978 bersama enam surat kabar yang lainnya. Dan baru kembali terbit pada 24 Desember 1978. Pada saat mencapai angka cetak tertinggi sebanyak 327.700 eksemplar, HU Sinar Harapan justru dibreidel oleh Pemerintahan Orde Baru akibat pemberitaan yang bersifat mendahului pengumuman pemerintah
mengenai deregulasi ekonomi
Indonesia. Mulai 9 Oktober 1986, HU Sinar Harapan tidak terbit. Baru empat bulan kemudian, tepatnya pada 4 Pebruari 1987 Departemen Penerangan memberikan kembali SIUPP dengan dua persyaratan yaitu pertama, nama surat kabar harus diganti dan kedua, perusahaan penerbit juga harus diganti. Akhirnya tercapai kesepakatan, nama “Sinar Harapan” berubah nama menjadi “Suara Pembaruan”, sementara PT Sinar Kasih sebagai penerbit berubah menjadi PT Media Interaksi Utama. Pergantian ini tidak mengubah frekuensi terbit dan jangkauan peredarannya saja struktur organisasi dan manajemennya mengalami perubahan. Albert Hasibuan yang merupakan pengurus Golongan Karya menempati posisi pemimpin umum dan pemimpin redaksi. Dengan masuknya Albert Hasibuan, maka Suara Pembaruan cenderung melunak dan mendukung kebijakan pemerintah.
Menurut Tokoh Indonesia.com, para pengelola Sinar Harapan tidak diperbolehkan terlibat langsung dalam pengelolaan berita di Suara Pembaruan. Larangan tidak
70
tertulis yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan, berlaku juga bagi H.G. Rorimpandey. Pendiri HU Sinar Harapan ini didudukan sebagai salah seorang Dewan Komisaris PT Media Interaksi Utama (MIU). Posisi ini dijabat dari tahun 1987-1998. Atas prakarsa H.G. Rorimpandey, HU Sinar Harapan kembali diterbitkan pada 2 Juli 2001.
3.3.2 Kebijakan Redaksi Harian Umum Sinar Harapan Setiap surat kabar dilandasi oleh visi, misi dan ideologi tertentu. Faktor-faktor ini yang akan menentukan arah pengelolaan dan sudut pandang pemberitaan. Visi Sinar Harapan tergambar dalam
motto “Memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan,
kebenaran dan perdamaian berdasarkan Kasih”. Sosok H.G. Rorimpandey sebagai figur sentral mengungkapkan semangat perjuangan kemerdekaan yang diembannya sejak masa muda mendorongnya untuk menerbitkan Sinar Harapan. Ibnu Hammad (2004:128), mengutip penjelasan dari Data dan Fakta 25 Tahun Sinar Harapan bahwa motto ini menjiwai kiprah Sinar Harapan dalam aktivitas liputannya seharihari. Walaupun demikian, prinsip kehati-hatian tetap menjadi perhatian utama.
Untuk pemuatan kartun politik pun, menurut Pramono, juga melalui pembicaraan yang cukup ketat. Istilah yang cukup populer dikalangan redaksi Sinar Harapan adalah setiap berita atau karikatur (kartun politik) yang akan dimuat ‘harus melalui tujuh pintu! yang artinya proses pemuatan berita atau karikatur dilakukan dengan sangat ketat. Hal ini untuk mencegah terjadi peristiwa yang dapat mengancam perusahaan yang menampung banyak tenaga kerja. Tetapi akhirnya, Sinar Harapan melakukan ‘kesalahan’juga dengan memuat terlebih dulu laporan keuangan Presiden Soeharto yang belum disampaikan secara resmi. Pemerintah Orde Baru akhirnya mencabut SIUP Sinar Harapan yang menyebabkan mulai tanggal 9 Oktober 1986 tidak dapat terbit.
71