BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KESETIAAN JEPANG, DEFINISI NOVEL DAN SETTING DALAM NOVEL “ACROSS THE NIGHTINGALE FLOOR”
2.1. Sejarah Samurai di Jepang 2.1.1 Sengoku Jidai Samurai (dikenal juga sebagai bushi) adalah golongan bangsawan militer Jepang, dan mereka mengalami masa kejayaan pada Zaman Pertempuran, atau Periode Perang Antarnegeri (dalam bahasa Jepang disebut Sengoku Jidai). Periode ini, yang sering dikatakan berlangsung pada kurun waktu 1550-1600, berkisar antara runtuhnya Keshogunan Ashikaga dan terbentuknya Keshogunan Tokugawa. Sampai paruh kedua Zaman Pertempuran, seseorang yang tak terlahir dalam golongan samurai masih berpeluang menjadi samurai. Itu dapat terjadi bila ia bergabung dalam bala tentara sebagai prajurit infanteri, lalu memperoleh perhatian kepala marga atau para pembantunya, sehingga diberi tugas tetap. Namun seperti kebanyakan orang, golongan samurai hanya dapat dimasuki melalui kelahiran atau pengangkatan sebagai anak berdasarkan hukum. Meskipun samurai berstatus sosial tinggi, secara internal golongan samurai terbagi lagi dalam berbagai jenjang. Jenjang teratas ditempati oleh para Daimyo beserta keluarga mereka, yang menikmati semua hak istimewa yang menyertai kedudukan itu. Pijakan yang paling bawah pada tangga yang panjang itu menjadi tempat orang-orang berhasrat menjadi samurai yaitu kaum ashigaru berikut keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Kaum ashigaru (secara harafiah berarti ‘ kaki ringan’) adalah para serdadu pejalan kaki, laskar garda depan, barisan orang-orang tanpa nama yang menjadi bagian terbesar suatu pasukan. Walaupun tidak terlahir sebagai samurai, mereka berkesempatan naik tingkat dan dianggap setara oleh orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya. Banyak jenderal dan tokoh tersohor lain pada Zaman Pertempuran berasal dari golongan ashigaru. Garis pembatasnya amat kabur sehingga para pakar masih mempertanyakan apakah golongan ashigaru dapat dianggap samurai. Ketika Shogun Ashikaga terakhir dipaksa mundur pada 1573, seluruh negeri sudah puluhan tahun dilanda pergolakan yang ditandai oleh ambruknya persekutuan lama, pertikaian dalam keluarga dan perebutan kekuasan antar anggota marga. Bagi beberapa marga yang kurang menonjol, seperti marga Oda dari Owari, perang yang berlangsung nyaris tanpa jeda membuka peluang mendapatkan tanah dan kekuasan. Bagi marga-marga yang lebih tua dan berdarah biru, seperti marga Takeda, perang merupakan peluang untuk memperluas pengaruh, dan juga menjadi kesempatan menyelesaikan pertikaian lama, suatu keadaan di mana mereka harus siap siaga terhadap keluarga-keluarga yang kuat dan sedang mengincar tanah subur yang secara turun-menurun dikuasai oleh marga lain. Dengan latar belakang pengkhianatan dan pembelotan (sesekali juga tindakan kesetiakawanan yang mencegangkan) seperti itulah pertempuran demi pertempuran berdarah berlangsung sepanjang Sengoku Jidai. Ada pertempuran yang menjadi masyhur lebih daripada sepatutnya (misalnya saja pertempuran Uesugi lawan Takeda di Kawanakajima yang hampir dapat disebut pertempuran tahunan), sementara
Universitas Sumatera Utara
pertempuran lain, yang berpengaruh besar terhadap sejarah Jepang (seperti Okehazana atau Mikataga Hara), nyaris tidak diketahui oleh dunia barat. Inilah masa jaya golongan samurai, sebab ketika peperangan
berakhir,
ibukota kekaisaran Kyoto hanya berperan sebagai boneka Shogun Tokugawa dan pemerintahan militernya yang bermarkas di Edo.
2.1.2 Jalan Samurai Status samurai lebih banyak ditentukan oleh kasta daripada oleh jenis pekerjaan. Semua bushi – baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya termasuk golongan militer, tanpa memandang apakah mereka pernah mengangkat pedang atau tidak. Namun peran samurai tidak terbatas pada bidang militer semata-mata. Beberapa samurai menjadi cendikiawan termasyur. Ada yang berkiprah sebagai administrator sipil dan militer, seniman dan pakar estetika. Ada pula yang hanya menjadi anggota keluarga. Namun semuanya dituntut akrab dengan peran mereka dalam keadaan perang. Kaum perempuan dilatih menggunakan belati kecil yang diselipkan pada kain ikat pinggang. Senjata yang biasa terbungkus sarung brokat ini menjadi suatu penanda posisi, sama halnya dengan pedang. Bagi kaum laki-laki. kaum perempuan kelas atas bahkan dilatih menggunakan senjata khas tertentu yaitu naginata (sejenis tombak) menjadi senjata perempuan, dan digunakan sebagai pertahanan terakhir. Para penguasa feodal punya pasukan perempuan bersenjatakan naginata yang berlalu lalang di pekarangan dalam benteng mereka pada malam hari.
Universitas Sumatera Utara
Banyak biksu Buddha – setidaknya mereka yang berkedudukan – terlahir sebagai samurai. Walupun biksu Buddha merupakan pekerjaan yang seharusnya tidak memandang kedudukan seseorang (bagaimanapun, segala aspek duniawi seharusnya ditanggalkan pada waktu seseorang menjadi biksu), dalam kenyataanya jarang demikian
yang terjadi. Beberapa pembesar yang kaya-raya dan berkuasa terus
memerintah wilayah kekuasaan mereka dan memimpin pasukan yang besar, meskipun telah mengucapkan ikrar sebagi biksu. Takeda Shingen (terlahir Harunobu) dan Uesugi Kenshin (terlahir Terutora) merupakan dua contoh terkenal. Bagi sebagian besar ashigaru, kenyataan hidup sebagi prajurit rendahan memastikan bahwa impian kejayaan tetap tinggal impian. Ironisnya, justru Toyotomi Hideyoshi – anak petani yang menanjak dari pembawa sandal sampai menjadi penguasa Jepang – yang membuat impian itu semakin sulit terwujudkan, yaitu ketika ia mengeluarkan titah yang membatasi status samurai kepada mereka yang telahir sebagai samurai. Ironi lain adalah bahwa pasukan yang terdiri dari atas anggota marga dan pengikut yang turun – temurun mengabdi pada junjungan mereka , semuanya, lebih menjunjung tinggi kesetiaan dibandingkan para pembesar itu sendiri. Mengkhianati calon sekutu dan daimyo adalah hal yang lumrah bagi seorang pembesar, dan itu membuktikan bahwa sementara kaum anak buah dituntut untuk setia, para komandan memberlakukan aturan yang berbeda untuk diri sendiri. Contoh klasik adalah Akechi Mitsuhide, seorang jendral dalam pasukan Oda Nobunaga, yang membunuh sang calon penakluk itu.
Universitas Sumatera Utara
Struktur sosial kaku sebagaimana diperkenalkan oleh ajaran Konghucu tidak memperoleh pengakuan resmi sampai pemerintahan Tokugawa, yang berkeinginan kuat mendapatkan kendali atas masyarakat, mendukungnya secara resmi. Meskipun demikian, terdapat arus bawah Konghucu yang kuat, suatu sikap hidup yang ditandai oleh kepasrahan kepada nasib. Kebetulan, sikap itu sejalan dengan cara pandang pasrah terhadap dunia yang diusung oleh umat Buddha. Orang-orang
sangat
takut
kehilangan
junjungan,
sementara struktur
masyarakat mendukung sifat saling tergantung antara hamba dan tuan. Ketika menjadi tak bertuan – menjadi ronin (secara harfiah ‘manusia ombak’ atau ‘manusia kelana’) seorang petarung kehilangan dukungan atau pelindung marga. Jika seorang pembesar meninggal tanpa ahli waris, semua pengikutnya menjadi ronin. Seorang pengikut juga dapat dibuang dari marganya karena melakukan kejahatan, misalnya berkelahi atau melanggar peraturan. Para ronin adalah jago pedang bayaran yang berkelana, dan seringkali berpaling kedunia hitam. Ada pula yang tetap menjunjung tinggi kehormatan dan tetap menjadi biksu, atau mendapatkan pekerjaan baru pada junjungan lain dan bersumpah setia kepada marga yang baru. Pada zaman pertempuran, para mantan samurai tak bertuan punya peluang meraih kembali kehormatan mereka. Semua samurai punya tugas dan menerima upah, dan dari pendapatan ini mereka harus membiayai rumah tangga (bagi yang memilikinya) dan membeli segala perlengkapan yang tidak disediakan. Dasar perekonomian adalah beras, dan ukuran kekayaan yang lazim adalah koku, yaitu satuan jumlah beras yang cukup bagi seseorang untuk makan selama satu tahun. Semua tanah kekuasaan dijabarkan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan berapa koku beras yang dapat dihasilkan. Satu koku antara 120 liter. Samurai paling rendah menerima sedikit kurang daripada satu koku (dengan asumsi jatah makannya ditanggung junjungannya). Pembesar menengah dan komandan benteng dapat menerima upah sebesar beberapa ratus koku, yang harus cukup untuk membayar semua samurai bawahannya, menyediakan perbekalan bagi garnisunnya, membeli pakan kuda, mengupah para pelayan, dsb. Demi kemudahan, pembayaran dilakukan dengan uang, tapi pada dasarnya perekonomian ketika itu berlandaskan beras. Bahkan, marga Takeda dari Kai, yang menguasai tambang emas paling berharga diseluruh negeri, tetap memerlukan beras untuk memberi makan tentara mereka. Beras demikian penting sehingga banyak petani tidak dapat menikmati hasil panen padi yang mereka tanam untuk para samurai. Mereka terpaksa beralih kebijibijian lain yang lebih murah, sementara padi dikirim ke benteng tuan mereka untuk dihitung, lalu disimpan atau dibagikan. Urusan keuangan diserahkan kepada kaum isteri karena dipandang rendah oleh para laki-laki samurai. Kaum laki-laki yang mengurus uang hanyalah mereka yang memang dituntut oleh tugas (pengawas dapur benteng, misalnya). Pada masa itu pun, cuma kertas nota saja yang berpindah tangan untuk dibayarkan kemudian. Berbagai tugas di dalam marga ditetapkan sebagai posisi resmi. Dalam beberapa hal, pengaturan itu menyerupai angkatan bersenjata modern; setiap orang adalah serdadu, tapi ada yang merangkap juru masak, juru tulis, pengurus angkutan, dan ada yang mengemban tanggung jawab lain, yang bersifat lebih khusus.
Universitas Sumatera Utara
Para samurai dalam satu garnisun akan berpindah-pindah dari satu posisi ke posisi lain jika pekerjaan mereka dinilai cukup baik. Promosi tidak selalu terjadi dalan satu bidang saja. Dengan cara ini, ketika seorang petarung mencapai pangkat yang cukup tinggi, ia pun cukup menguasai semua rincian yang diperlukan untuk menjalankan dan memelihara suatu pasukan, garnisun atau bahkan provinsi.
2.1.3 Kehidupan Sehari-hari Ada samurai yang tinggal di bangunan serupa barak, namun ada pula yang memiliki rumah sendiri. Penetapan tempat tinggal mereka di tentukan oleh beragam faktor, antar lain pangkat, tugas, dan status perkawinan. Sebagian besar samurai muda berpangkat rendah di suatu garnisun, misalnya, tinggal bersama di bangunan besar seperti barak di dalan pekarangan benteng. Para samurai yang sudah menikah mungkin memiliki rumah petak sendiri di kawasan khusus pasangan suami-isteri, sedangkan mereka yang lebih senior dapat menempati rumah yang berdiri sendiri. Ketika bersantai di rumah, seorang samurai mungkin duduk-duduk sambil menyalakan pipa tembakaunya. Tembakau dibawa Jepang oleh orang-orang Eropa dan hampir seketika menjadi popular dikalangan orang berpangkat, dan tidak lama kemudian juga sudah merambah ke barak-barak. Kiseru, pipa tembakau Jepang, hanya dapat menampung tembakau untuk beberapa isapan saja, namun tetap menjadi bentuk relaksasi yang popular. Sebagaimana umumnya kaum prajurit sepanjang sejarah, para samurai pun gemar bermain judi. Meskipun ditantang oleh para pemimpin marga, permainan keberuntungan dengan kartu maupun dadu dapat ditemukan dimana-mana. Baik demi
Universitas Sumatera Utara
uang maupun kesenangan, permaianan kartu, go, dan shogi merupakan pengisi waktu luang yang disukai. Bahkan ada prajurit yang membawa buah shogi ke medan perang, lalu menggambar papan di tanah waktu hendak bermain.
2.1.4 Ninja Kemunculan ninja pada tahun 522 berhubungan erat dengan masuknya seni nonuse ke Jepang. Seni nunose inilah yang membuka jalan lahirnya ninja. Seni nonuse atau yang biasa disebut seni bertindak diam-diam adalah suatu praktek keagamaan yang dilakukan oleh para pendeta yang pada saat itu bertugas memberikan info kepada orang-orang di pemerintahan. Sekitar tahun 645, pendetapendeta tersebut menyempurnakan kemampuan bela diri dan mulai, menggunakan pengetahuan mereka tentang nonuse untuk melindungi diri dari intimidasi pemerintah pusat. Pada tahun 794-1192, kehidupan masyarakat Jepang mulai berkembang dan melahirkan kelas-kelas baru berdasarkan kekayaan. Keluarga kelas ini saling bertarung satu sama lain dalam usahanya menggulingkan kekaisaran. Kebutuhan keluarga akan pembunuh dan mata-mata semakin meningkat untuk memperebutkan kekuasaan. Karena itu permintaan akan para praktisi nonuse semakin meningkat. Inilah awal kelahiran ninja. Pada abad ke-16 ninja sudah dikenal dan eksis sebagai suatu keluarga atau klan di kota Iga atau Koga. Ninja pada saat itu merupakan profesi yang berhubungan erat dengan intelijen tingkat tinggi dalam pemerintah feodal para raja di Jepang. Berdasarkan hal itu, masing-masing memiliki tradisi mengajarkan ilmu bela diri secara rahasia dalam keluarganya saja. Ilmu bela diri yang kemudian
Universitas Sumatera Utara
dikenal dengan nama ninjutsu. Dalam ilmu yang diwariskan dari leluhur mereka dan atas hasil penyempurnaan seni berperang selama lebih dari 4 abad. Ilmu itu meliputi falsafah bushido, spionase, taktik perang komando, tenaga dalam, tenaga supranatural, dan berbagai jenis bela diri lain yang tumbuh dan berkembang menurut jaman. Namun ada sebuah catatan sejarah yang mengatakan bahwa sekitar adab ke-9 terjadi eksodus dari cina ke jepang. Hal ini terjadi karena runtuhnya Dinasti Tang dan adanya pergolakan politik. Sehingga banyak pengungsi yang mencari perlindungan ke jepang. Sebagian dari mereka adalah jenderal besar, prajurit dan biksu. Mereka menetap di provinsi Iga, di tengah pulau honsu. Jendral tersebut antara lain Cho Gyokko, Ikai Cho Busho membawa pengetahuan mereka dan membaur dengan kebudayaan setempat. Strategi militer, filsafat kepercayaan, konsep kebudayaan , ilmu pengobatan tradisional, dan falsafah tradisional. Semuanya menyatu dengan kebiasaan setempat yang akhirnya membentuk ilmu yang bernama ninjutsu.
2.2 Tinjauan Umum Terhadap Kesetiaan di Jepang Perubahan zaman sangat berpengaruh pada berkembang atau tidak kebudayaan suatu daerah. Masyarakat yang menjalankan sebuah kebudayaan tentunya akan berusaha mempertahankan kebudayaan aslinya dari pengaruh luar yang mampu menghilangkan unsur-unsur di dalamnya. Namun tak luput pula, masyarakat akan berusaha mengembangkan kebudayaan dan tradisi yang ada dengan yang baru, sehingga muncul sebuah kebudayaan yang dapat diterima sesuai dengan zamannya tanpa meninggalkan unsur asli dari kebudayaan itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Seperti halnya di Indonesia, tradisi-tradisi pada suatu daerah akan terus dipertahankan oleh masyarakat setempat tetapi tidak menutup kemungkinan tradisi itu akan diintegrasi dengan budaya-budaya dari negara lain. Begitu juga pada bentuk kesetiaan pengabdian seorang samurai di Jepang. Perkembangan bentuk kesetiaan pengabdian diri seorang samurai mulai berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman di Jepang pada saat itu. Dengan berkembangnya zaman, muncul pemikiran-pemikiran baru tentang bentuk kesetiaan samurai pada tuannya. Ini nampak jelas pada munculnya bushido baru setelah sebelumnya bushido lama dianut oleh samurai pada zaman feodal. Sampai saat ini pun, bushido masih tetap ada dan dilaksanakan oleh masyarakat Jepang, namun tentunya tidak dilakukan seperti halnya seorang samurai pada zaman Heian dan Edo.
2.2.1 Kesetiaan Kesetiaan atau disebut juga dengan pengabdian diri dalam Situmorang (2000:1) adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan mengorbankan kepentingan sendiri. Dalam Situmorang (2000:1), kesetiaan secara umum dibagi menjadi tiga , unsur yaitu, setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa, setia karena ajaran (moral), dan karena untuk mendapat keuntungan (ekonomi). Setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa dapat dilihat pada sejarah peperangan diseluruh dunia. Penduduk setempat mau tidak mau akan berkembang menjadi tentara musuh untuk melindungi keluarganya. Demi mempertahankan kehidupannya, seorang petani rela
Universitas Sumatera Utara
menjadi tentara musuh untuk melindungi dan mengabdi kepada tuannya. Namun pada saat tertentu dia dapat menyerang dan menguasai tuannya. Kesetiaan seorang anak kepada orangtuanya yang selama ini membesarkan dan mengajarkan hal-hal yang baik demi kehidupannya, dapat dimasukkan kepada setia berdasarkan ajaran (moral). Sang anak akan merasa ada tanggung jawab baginya, untuk menjaga dan membalas budi kedua orangtuanya. Sama halnya seperti seorang samurai yang hidup di dalam ie kizoku nya, akan selalu menjaga dan mengabdi kepada tuannya yang telah mensejahterakan kehidupannya. Kesetiaan yang ketiga yaitu setia karena untuk mendapatkan keuntungan misalnya seorang gadis kecil yang selalu ikut dengan kakaknya, semata-mata mengharapkan jajanan dari kakaknya. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, dia akan pergi dari kakaknya dan pergi bermain dengan teman-teman yang sebaya dengannya. Rand (2003:75) mengatakan, kesetiaan lahir dari manusia yang memahami tujuan dari hakekat hidup. Kesetiaan dilakukan tidak hanya karena ada rasa percaya, tetap juga karena kebutuhan untuk kelangsungan hidup, juga karena terpaksa melakukannya. Dalam Loyalty of Life (www.loyaltylife.html), kesetiaan juga bergerak dari adanya rasa santun antara sesama, tetapi dapat juga terjadi akibat kebutuhan ekonomi dan politik seseorang.
2.2.2 Kesetiaan Jepang Kesetiaan adalah kehormatan tertinggi samurai. Kehormatan seorang samurai pertama kali diberikan kepada tuan tanah yang paling berkuasa, kemudian kepada
Universitas Sumatera Utara
kizoku- nya lalu kepada keluarganya. Seorang samurai wajib untuk mengabdi kepada tuannya, sekalipun tuannya adalah seorang jenderal militer, tuan tanah feodal, atau kepala keluarga. Perintah seorang atasan tidak boleh ditanyakan. Mereka harus mengikutinya dengan kemampuan terbaik seorang samurai sekalipun jika hal ini membuat ketidakbahagiaan atau menyebabkan kematian. Hidup seorang pelayan bergantung pada tuannya. Mereka harus mengorbankan apa pun yang diminta tuannya. Keadilan dalam diri seorang samurai tentunya juga dituntut dalam melaksanakan pengabdiannya kepada tuan. Ketidakadilan bisa menjadikan samurai rendah dan tidak
manusiawi. Samurai
menanamkan etika khusus dalam
kesehariannya menjakankan kesetiaan kepada tuan. Ketulusan dan kejujuran sama berharganya dengan nyawa mereka. “Bushi no Ichi-gon” atau “ janji samurai", melebihi janji akan harga diri. Samurai juga membutuhkan pengendalian diri dan kesabaran agar benar-benar dihormati. Samurai tidak menunjukkan tanda dari penderitaan dan kesenangan. Samurai memikul segalanya tanpa merintih, tanpa menangis. Samurai berpegang teguh pada ketenangan dalam bersikap dan juga pada ketenangan dalam berfikir yang bisa saja terpengaruh oleh segala bentuk keinginan. Sehingga dapat dikatakan bahwa samurai merupakan ksatria sejati. Dalam cerita Akouroshi dalam Situmorang (1996:3), dikatakan bahwa kesetiaan mengorbankan jiwa raga terhadap tuannya tentunya didasarkan pada citacita bushi tersebut. Watsuji dalam Situmorang (1996:3) mengatakan, bahwa cita-cita bushi pada masa feodal Jepang adalah menjadi abdi tuan selama tujuh kali dalam proses reinkarnasi dalam hidup dan mati sesuai dengan pandangan Buddha zen yang
Universitas Sumatera Utara
dianut para Bushi pada waktu itu. Karena itu dikatakan, bushi yang baik adalah bushi yang setiap saat siap melakukan adauchi (mewujudkan balas dendam tuan) dan melakukan junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan).
2.2.3 Samurai, Bushi dan Bushido Di Jepang kelas ksatria dikenal dengan Samurai. Samurai merupakan, kaum petarung yang mempunyai kemampuan dalam seni bela diri. Selain pedang, samurai juga memiliki banyak kemampuan dan keahlian dalam menggunakan busur dan panah. Mereka mampu menunggang kuda dengan handal dan membunuh lawan dengan tangan kosong. Nurhayati (1987:10) mengatakan, samurai adalah pasukan pengikut tuan tanah/penguasa setempat yang disebut dengan Daimyo. Sedangkan samurai dalam Benedict (1982:335) adalah prajurit yang berpedang dua. Seorang samurai diharapkan menjalani pelatihan spiritual guna menaklukkan orang lain. Kekuatan timbul dari kemenangan dalam disiplin diri. Justru kekuatan yang diperoleh dengan cara inilah yang dapat menaklukkan sekaligus mengundang rasa hormat pihak-pihak lain, sebagai kemantapan spiritual. Perilaku yang halus dianggap merupakan aspek penting dalam mengungkapkan kekuatan spiritual. Kumpulan samurai disebut juga dengan bushi. Situmorang (1995:11) menjelaskan bahwa pada awalnya bushi adalah kelompok bersenjata yang mengabdi pada tuannya kizoku, tetapi kemudian setelah mereka berhasil menjalankan perannya yang besar dalam menjaga eksistensi dozoku tersebut, lama kelamaan mereka tidak bergantung lagi pada kizoku. Malah sebaliknya, kizoku akhirnya bergantung pada
Universitas Sumatera Utara
bushi sehingga kelompok bushi tersebut menjadi kelompok yang disegani, sama dengan kizoku. Situmorang(1996: 7) juga mengatakan bahwa bushi lahir dari fungsinya sebagai pengawas daerah pertanian. Pada mulanya mereka adalah petani tetapi mereka dipersenjatai untuk menangkal kekuatan para perampok atau para penyerang dari wilayah lain. Tetapi pada awalnya, mereka belum dinamai sakimori kemudian Tsuwamono dan kemudian samurai. Pada zaman Edo (1600-1867) mereka dinamai bushi adalah dalam pengertian kelas masyarakat. Untuk membedakannya dari golongan petani dan golongan pedagang dan golongan tukang. Pengertian lain tentang bushi, dalam Nio Joe Lan (1961:52) mengatakan bahwa bushi adalah golongan orang peperangan yang sudah biasa dengan kesukarankesukaran kehidupan sehinga mereka setia kepada pemimpinya. Kelahiran bushi sangat berkaitan erat dengan lahirnya feodalisme di jepang. Hal ini dikarenakan, dengan lahirnya feodalisme tersebut, kekuatan kekuasaan bushi semakin meningkat. Sebelum zaman foedal, system pemerintahan dikenal dengan system ritsuryo yang berlangsung sampai zaman Heian (abad 7 sampai abad 12). Dalam system ritsuryo, Tenno (kaisar) adalah penguasa administrasi pemerintahan tertinggi, dan para kizoku (bangsawan), yang merupakan kerabat Tenno bertugas sebagi pelaksana administrasi pemerintahan di pusat dan dan daerah. Sistem pemilikan pada waktu itu dikenal dengan system kochi komin, yaitu pemilikan tanah bersifat umum yang keseluruhannya dikuasai oleh pemerintah pusat. Pada masa itu belum dikenal pemilikan tanah secara pribadi dan penguasaan atas orang secara pribadi, tetapi dalam perkembangannya, di daerah-daerah lahir Sonraku
Universitas Sumatera Utara
Kyodo Tai (kelompok kerja sama di daerah), yaitu kelompok-kelompok petani di bawah pimpinan kizoku (keluarga bangsawan) yang bertugas di daerah. Pada waktu itu kaum kizoku selain bertugas sebagai pekerja administrasi ritsuryo, juga ada yang bertugas sebagai pemimpin kuil. Administrasi kelompok sonraku kyodo tai tersebut terpisah dari pemerintahan ritsuryo. Para petani kemudian banyak yang meninggalkan kewajiban kochi komin dan masuk ke dalam kelompok pertanian kizoku karena di dalam pertanian kizoku mereka mendapat keamanan dan perlindungan kizoku. Selain itu mereka diberi kebebasan menguasai sendiri bagian lahan pertanian yang disebut dengan kubunden sei (system pembagian lahan pertanian). Dan yang paling menguntungkan lagi, para petani tersebut diakui sebagai anggota ie (keluarga) kizoku tersebut. Dalam hal ini ada juga petani yang melarikan diri dari system kochi komin dan petani tak bertuan yang dengan ronin. Petani tersebut menjadikan dirinya sebagai samurai tak bertuan yang mengembara ke seluruh Jepang tanpa tujuan. Seorang ronin dapat melakukan apapun yang diinginkannya tanpa ada batas. Namun, menjadi ronin tidaklah enak seperti apa yang dibayangkan. Ronin harus menemukan seorang tuan dan masuk ke dalam ie. Kemampuan berperang mereka membuat setiap orang berpikir dua kali untuk melawannya, terutama karena merekan tidak memiliki tuan. Tetapi bagaimanapun, mereka kemudian dikumpulkan juga oleh kizoku, yang tentunya dapat menambah kekuatan kizoku untuk memenuhi kebutuhan tenaga penggarap tanah pertanian.
Universitas Sumatera Utara
Keluarga kizoku tersebut muncul sebagai jaringan kebersamaan antara kewajiban dan materi. Setiap petani yang bergabung dalam suatu ie diharapkan dapat saling membantu satu sama lainnya. Pertunangan, pernikahan, adopsi, kepemilikan tanah, dan pertukaran anggota keluarga termuda untuk saling belajar, membuat ikatan keluarga bertambah erat. Hubungan ini diharapkan terus semakin kuat, agar setiap keluarga yang bergabung dalam kizoku memiliki kekuasaan yang semakin besar. Anggota ie dapat mempergunakan hubungan ini untuk keuntungan sendiri. Sekalipun demikian selalu ada timbal balik dari segala pelayanan dan kewajiban yang dilakukan. Keanggotaan ie bukan terbatas pada hubungan darah saja, tetapi mencakup kepada seluruh petani yang mau ikut bergabung dan mengabdi kepada kizoku. Mereka diberi hak yang sama, kewajiban dan tanggung jawab yang sama sesuai dengan urutan jenjang kedudukan antara tuan dengan pengikut. Nakamura dalam Situmorang (1995 : 11) mengatakan, kelompok ini diikat dengan pemujaan satu dewa yang sama, memakan makana yang sama, minum sake yang sama. Kelompok ini disebut dengan dozoku. Dalam mempertahankan shoen (wilayah pertanian kizoku), akhirnya muncul persaingan antara kelompok-kelompok dozoku yang mengakibatkan mereka saling perang. Untuk itulah mereka membentuk serdadu militer, dan disinilah kemudian bushi muncul. Bushi ditugaskan untuk menjaga eksistensi shoen tuannya dari kelompok dozoku lain. Maka terbentuklah dimana-mana system pertahanan dengan system bushi ini di seluruh negeri Jepang. Yang kemudian tumbuh pemerintahan atau
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan sendiri-sendiri yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan pusat. Satu kizoku ingin memperluas shoennya dengan cara merebut shoen kizoku lainnya. Begitulah sedikit seputar sejarah lahirnya bushi yang pada awalnya hanyalah seorang petani biasa, namun dengan mulai terbentuknya system feodal di Jepang, nama bushi mulai menjadi sorotan masyarakat banyak. Menjadi seorang samurai merupakan suatu kebanggaan yang tidak hanya dapat mengharumkan dirinya sendiri tetapi juga keluarga dan kerabatnya. Untuk seorang samurai, penghormatan adalah segalannya. Kehormatan yang terbesar adalah kemampuannya melakukan bushido, yang apabila dilihat dari kanji nya bermakna, “jalan hidup kesatria”. Ini merupakan kode etik dan jalan hidup bagi seorang samurai di Jepang, yang sama halnya dengan kesatria Eropa pada abad yang sarat dengan kode etik tersendiri dan penuh dengan kesopanan layaknya seorang bangsawan. Bushido lebih ditekankan pada pelayanan diri sendiri, keadilan, rasa malu, adab sopan santun, kemurnian, rendah hati, kesederhanaan, semangat bertarung, kehormatan, kasih sayang, dan yang paling penting kesetiaan. Benedict (1982 : 333) mengatakan bushido adalah tata cara samurai. Tata cara samurai merupakan sebuah istilah yang dimasyarakatkan selama abad feodalisme untuk menunjukkan prilaku tradisional Jepang yang ideal. Nitobe dalam Benedict (1982 : 333), memperinci bushido sebagai perpaduan antara konfusianisme dengan etika feodal Jepang, dan dapat diartikan pula sebagai perpaduan antara keadilan, keberanian, kebaikan hati, kesopanan, kesungguhan hati, kehormatan, kesetian, dan pengendalian diri.
Universitas Sumatera Utara
Kesetian yang mereka tunjukkan kepada kaisar, daimyo, atau tuannya, sangat luar biasa. Mereka orang yang dapat dipercaya dan jujur. Mereka hidup dalam kesederhanaan tanpa tertarik pada kekayaan dan benda-benda berharga. Mereka adalah orang-orang dengan keberanian sejati. Seorang samurai tidak mempunyai rasa takut terhadap kematian. Mereka akan turut serta dalam peperangan tanpa menghiraukan akibatnya. Bagi mereka, gugur dalam peperangan membawa kehormatan hanya terhadap keluarga dan tuannya. Hal ini juga diperjelas dalam Nie Joe Lan (1962 : 102 ), dalam bushido, sifat utama dari seorang samurai adalah kesetiaan. Seorang samurai harus mengorbankan jiwa, kebenaran dan juga keluarganya, apabila tuannya menginginkanya. Seorang samurai juga harus memiliki sifat hemat, sederhana dan tidak menghiraukan harta dunia. Seorang samurai harus dapat menahan rasa sakit tanpa merubah wajahnya. Bushido menurut Tsunetomo dalan Situmorang (1995 : 24-25) adalah janji untuk mengabdikan diri bagi tuannya. Menurutnya, para anak buah mempunyai satu tujuan hidup yaitu mengabdi kepada tuan. Hal ini mempunyai pengertian yaitu : 1.
Secara absolut mengutamakan tuan, yaitu kesetiaan mengabdi satu arah dengan mengabdikan jiwa raga terhadap tuan.
2.
Menjadi anak buah yang betul-betul dapat diandalkan, yaitu betulbetul melaksanakan sumpah setia kepada tuan.
Menurut Tsunetomo, selain janji dengan tuan, anak buah tidak memperdulikan apapun. Janji mengabdikan diri bagi tuan tidak ada duannya, tidak memperdulikan nasehat Saka, Koshi, dan Amaterasu Omikami. Walaupun akan jatuh ke neraka.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun dapat hukuman dari dewa, tidak ada pilihan lain kecuali mengabdikan diri pada tuan. Menurut Watsuji dalam Situmorang (1995 : 25), pikiran seperti ini tidak memperdulikan benar atau salah, untung atau rugi, rasional atau tidak rasional. Inilah inti dari pemikiran pengabdian diri dalam bushido. Sagara dalam Situmorang (1995: 27) mengatakan bahwa bushido merupakan jalan menuju kematian. Hal ini menandakan bahwa untuk mewujudkan bushido harus dibayar dengan pengorbanan diri baik dalan pertempuran atau pun dalam ritual-ritual khusus seperti seppuku. Prilaku seppuku yang dilakukan oleh bushi atau anak buah merupakan salah satu perwujudan karakter atau watak bushido yang bermakna sebagai penghormatan, tetapi dapat juga sebagai keharusan suatu hukuman (Seward,1995 : 1). Sayidiman (1982 : 49) juga mengatakan, dalam alam pikiran yang berhubungan dengan bushido bagi seorang samurai, hidup dan mati bukanlah dua keadaan yang berbeda secara fundamental. Hal ini diperkuat lagi oleh keharusankeharusan yang tercantum dalam bushido. Karena itu,kalau ia merasa tidak dapat mencapai tujuannya dalam keadaan hidup, maka lebih baik ia memilih keadaan mati. Apabila kehormatan seorang samurai merasa terpukul atau terganggu, ia tidak raguragu untuk bunuh diri atau melakukan seppuku. Bagi samurai. Seppuku bukanlah peristiwa bunuh diri yang kosong, tetapi merupakan satu kelembagaan yang legal dan seremonial. Seppuku atau pengeluaran perut, dilakukan seorang samurai dengan cara menusukkan pisau atau kodachi kedalam perutnya dan mengoyak ususnya setelah
Universitas Sumatera Utara
melakukan itu, samurai yang lain atau pun juga kerabatnya, akan memengal kepalanya. Seward (1995 : 5) mengatakan, seppuku merupakan kunci displin dalam kode kesatriaan bangsa Jepang (bushido). Seppuku dapat dianggap sebagai puncak dari perwujudan sikap bushido yang siap sedia untuk mati demi tuannya yang tubuh sejak masa masyarakat feodal. Dalam Seward (1995 : 59 ) dikatakan bahwa kaum militer atau bushi, kesetiaan tanpa kematian tidak ada artinya. Oleh karena itu didalamnya terdapat seni walaupun seni dalam bentuk kesetiaan. “mati demi keberadaan kuda sang tuan” adalah suatu kalimat yang paling dapat mengerakkan ambisi seorang samurai sampai pada keturunannya. yang terus dihargai oleh tuanya dan merupakan warisan dari tunannya, seandainya ia mati dalam peperangan. Seppuku dapat terjadi karena perintah tuanya atau dipilih oleh individu karena alasan tertentu. Samurai yang melakukan pelanggaran atau kriminalitas yang berat wajib melakukan seppuku, demi menjaga nama baik tuannya. Ini merupakan hak khusus tuannya untuk mengijinkan mereka melakukan seppuku daripada menghadapi keadaan yang memalukan. Seppuku merupakan jalan keluar yang tepat untuk semua masalah jika ada yang belum sempat dibalaskan dendamnya atau diberikan tugas yang tidak mengenakkan. Seppuku diterima sebagai solusi untuk masalah kehormatan, yaitu menghindari peneangkapan atau kematian yang memalukan ditangan musuh di medan perang dan juga sabagai penebus dosa dan kesalahanakesalahan. Seorang samurai akan lebih memilih untuk melakukan seppuku daripada membawa rasa malu dan mempermalukan nama keluarganya dan tuannya. Ini diyakini sebagai tindakan penghormatan sejati.
Universitas Sumatera Utara
Tsunetomo dalam Seward (1995:67) mengatakan, bahwa para anak buah harus dapat memusatkan diri serta bermeditasi ke arah kematian. Sikap bushido akan terpenuhi apabila seseorang telah berhasil membayangkan dirinya untuk mati, hal ini dapat dilakukan dalam setiap pagi dan setiap malam. Maka dari itu, jika saatnya tiba, ia akan mati dengan penuh kedamaian dan dapat melakukan pekerjaan tanpa kesalahan seumur hidup. Buku Hagakure dalam Bellah (11992:123) dijelaskan bahwa bushido berarti keinginan kuat untuk mati. Di sana dikatakan, ” Setiap pagi bulatkanlah pikiranmu tentang bagaimana cara kamu mati. Setiap sore segarkanlah pikiranmu mengenai kematian. Dan biarkan itu terjadi tanpa akhir. Dengan demikian pikiranmu akan siap. Jika pikiranmu selalu terpaku pada kematian, jalanmu sepanjang kehidupan akan selalu lurus dan bersahaja. Kamu akan melaksanakan kewajibanmu; dan perisaimu akan tidak berkarat. Jika kamu bias melihat jalanmu dengan lurus, dengan mata terbuka dan terbebas dari pikiran-pikira yang menganggu, tidak akan ada kemungkinan kamu terpeleset membuat kesalahan. Keberhasilanmu melaksanakan kewajiban akan tanpa cela dan namamu akan tanpa noda. Saya telah sepenuhnya mantap: bushido, jalan para prajurit, berarti kematian.” Berdasarkan pada konsep-konsep bushido tersebut maka Watsuji dalam Situmorang (1995:21) mengatakan bahwa ada perbedan etos pengabdian diri bushi sebelum zaman Edo adalah kesetiaan diri kepada tuan yang didasarkan pada ajaran Budha Zen. Sedangkan pemerintahan Tokugawa pada zaman Edo berusaha megubahnya dengan dasar tujuan Konfusinis. Sayidiman (1982:48) menyebutkan, bushido adalah suatu kode etik kaum samurai yang tumbuh sejak terbentuknya samurai. Sumbernya adalah pelajaran agama Budha, khususnya ajaran Zen dan Shinto, karena ajaran ini menimbulkan harmoni dengan apa yang dikatakan orang Jepang “ kekuasaan yang absolute”. Melalui meditasi kaum samurai berusaha mencapai tingkat berfikir yang lebih tinggi dari ucapan.
Universitas Sumatera Utara
Ajaran Buddha Zen pada dasarnya berasal dari cina. Ajaran tersebut dibawa oleh pendeta Esai ( 1141-1251) dan pendeta Dogen (1200-1253) pada abad ke 13. Dalam ajaran
tersebut ada 4 aliran yang sampai sekarang masih mempunyai
pendukung yang kuat, yaitu aliran Zen, Jodo, Shincu, dan Nichiren (Hokke). Dalam ajaran Buddha, bushido bisa dikatakan berkaitan erat dengan bahaya dan kematian. Namun para samurai tidak takut terhadap kematian karena mereka percaya dengan semua yang telah diajarkan oleh Buddha, yaitu apabila seseirang mati maka setelah kematiannya itu ia akan bereinkarnasi dan bisa hidup kembali di kehidupan yang lain. Para samurai akan menjadi ksatria semenjak ia menjadikan dirinya seorang samurai sampai ia mati. Mereka tidak mempunyai rasa takut terhadap bahaya. Cleary (1994 : 13 ) mengatakan pada dasarnya Zen mengajarkan untuk memperoleh keselamatan melalui meditasi dan penghayatan kekosongan. Dalam meditasinya, seorang samurai diharapkan berkonsentrasi dalam mengenali dirinya dan tidak membatasi diri sendiri. Meditasi ini sangat berguna untuk para samurai dalam mengendalikan rasa takut, rasa tidak tenang, dan kesalahan-kesalahan yang dapat mengakibatkan mereka terbunuh. Aliran ini memiliki banyak pengikut dan mendapat dukungan samurai dalam pemerintahan shogun di zaman kamakura, bahkan aliran ini disebut sebagai agama para samurai atau bushi. Menurut aliran ini setiap orang harus mempunyai disiplin pribadi yang tinggi, baik rohani maupun jasmani. Prinsip inilah yang kemudian yang berkembang dan bersatu dengan prinsip bushido. Dalam ajaran Shinto, bushido dibekali dengan ajaran kesetian dan patriotisme. Dalam sayidiman (1982 : 49) dikatakan, bahwa kepercayaan Shinto mengajarkan kesetiaan kepada yang berkuasa, sehingga menetralisasi kemungkinan sifat sombong
Universitas Sumatera Utara
seorang pejuang militer. Kepercayaan Shinto menekankan kesetiaan dan kecintaan kepada Negara dan Tenno (kaisar). Ajaran Shinto menghargai seorang kaisar sebagai orang yang mempunyai status agung yang setara dengan dewa. Sang kaisar diibaratkan dengan penjelmaan surga dunia. Para samurai mengabdikan dirinya pada Kaisar dan Daimyo (tuan tanah) sebagai samurai yang berkualitas. Ajaran shinto juga rasa patriotisme terhadap Negara mereka yaitu Jepang. Para samurai percaya bahwa Negara diciptakan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka saja, tapi merupakan kediaman suci milik para dewa, dan roh para nenek moyang. Negara merupakan sesuatu yang harus dijaga, dilindungi, dan dipelihara melalui rasa patriotisme yang luar bias, ( Inazo Nitobe, samurai ,www.mythus samurai.html.). Ciri khas pengabdian dalam bushido lama adalah pengabdian yang mutlak terhadap tuan,sehingga anak buah rela melakukan junshi ataupun adauchi. Berikut ini akan dijelaskan tentang junshi dan adauchi bagi tuan. a. Junshi (bunuh diri mengikuti kematian tuan) Penyebab yang mendorong seorang samurai
melakukan junshi adalah di
dalam ie telah terjalin hubungan yang sangat erat antara tuan dengan pengikut. Dilihat dari kepentingan ie, kebiasaaan junshi sering menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi generasi penerus yang akan menjadi ahli waris kekuasaan. Biasanya usaha untuk menghalang-halangi pengikut untuk melakukan junshi adalah suatu hal yang sia-sia, karena anak buah yang dekat dengan tuan apabila tidak melakukan junshi akan mendapat malu berupa ejekan dari masyarakat sekitar. Daripada menanggung malu, sebagai samurai atau bushi biasanya ia akan memilih untuk melakukan junshi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pemerintahan Tokugawa, apabila seorang samurai melakukan junshi akan mengakibatkan ie dihukum oleh bakufu. Maknanya bukan lagi sebagai pengabdian tetapi sebaliknya ie mendapat hukuman. Dan apabila untuk menemani tuan di dunia kematian, mungkin disana juga sudah banyak anak buah yang melakukan junshi semenjak adanya ie kedaimyoan tersebut (Situmorang, 1995 : 57).
b.
Adauchi (mewujudkan balas dendam tuan).
Dalam bushido lama, seorang samurai harus dapat segera melakukan balas dendam. Tanpa menunggu waktu, memikirkan benar atau salah, seorang samurai wajib membalaskan dendam tuan. Hal ini, selain untuk menjaga nama ie juga untuk menjaga harga diri samurai tersebut. Cara berfikir seperti ini menurut watsuji dalam Situmorang (1995 : 24) adalah suatu cara berfikir seperti ini samurai yang telah hidup di masyarakat semenjak zaman Kamakura. Kedua sikap inilah yang kemudian pada pemerintahan Tokugawa bakufu dilarang dilaksanakan degan alasan dapat membahayakan pemerintahan Tokugawa. Karena apabila samurai bersedia melakukan junshi atau adauchi demi tuanya dan tidak mempunyai kesetiaan terhadap keshogunan, maka dapat saja para bushi tersebut menyerang keshoguman. Sebagai pengganti dari prilaku junshi atau adauchi, pemerintahan bakufu Tokugawa memperbolehkan tindakan seppuku sebagai pengganti dari kedua prilaku tersebut. Untuk mengantipasi hal-hal yang tidak diinginkan oleh Tokugawa, dibutuhkan sebuah sarana integrasi atau sarana legalisasi kekuasaan tersebut, maka
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan Tokugawa mengadopsi pemikiran baru yang didasarkan pada ajaran Konfusianisme. Konfusianisme membekali bushido dengan rasa percaya pada menjalin hubungan orang lain, lingkungan, keluarganya. Konfusianisme menuru Beasly ( 2003 : 217-218) adalah sebuah filsafat yang lebih condong pada dunia fana dan juga berbicara tentang dimensi soal kehidupan manusia. Filsafat ini dikembangkan oleh seorang cendikiawan dibawah dinasti Sung, yang bernama chu shi (11300-1200). Chi Shi dalam Beasly (2003:218) mengatakan konfusianisme itu lebih menekankan pada peran mengatur negara, artinya menciptakan dan memelihara sebuah masyarakat yang tertib dalam sebuah struktur masyarakat. Karena ajaran ini bersasal dari Cina, maka dalam de Bary (1958 ; 333) dikatakan bahwa pemerintah Tokugawa menugaskan kangakusha ( para pemikir) di pemerintahan untuk merumuskan dan mengajarkannya dikalangan samurai atau bushi dan para daimyo. Pada tahun 1605 Tokugawa menunjuk Hayashi Razan sebagai seorang pemikir pemerintahan untuk mengajarkan konfusianisme pada kalangan samurai dan daimyo. Razan yang beraliran shushigaku yaitu aliran Konfusinisme yang diajarkan sushi pada zaman dinasti Sung di Cina. De Bary ( 1958 : 358-387) mengatakanpelajaran konfusianis pada zaman Edo berpusat pada pelajaran akan kesadaran perbedaan status tuan dengan pengikut, ayah dengan anak, suami dengan istri, dan hubungan atas bawah lainnya, sehingga tuan menjadi benar-benar tuan dan pengikut benar-benar menjadi pengikut yang baik. Watsuji dalam Situmorang (1995 : 45 ) mengatakan, pemikiran seperti di atas disebut dengan Gorin. Gorin artinya lima macam etika tentang kesadaran, yaitu
Universitas Sumatera Utara
pengabdian pengikut terhadap tuan,pengabdian anak terhadap ayah, pengabdian adik laki-laki terhadap kakak laki-laki, pengabdian istri terhadap suami, dan hubungan yang sederajat. Pada awalnya para, samurai tidak setuju dengan hal itu. Mereka menyakini bahwa seorang pria tidak akan menjadi samurai apabila duduk dan membaca buku seharian, atau menulis puisi. Tetapi sebaliknya, bushido menyakini bahwa manusia dan alam semesta diciptakan untuk saling mengisi, sama halnya dengan semangat dan etika. Untuk kepentingan penerapan pemikiran ini pula, maka agama kristen dilarang, karena agama tersebut mengajarkan kesamaan kedudukan manusia di hadapan Tuhan. Itu pulalah salah satu alasan diadakannya seklusi (penutupan negeri bagi dunia luar) pada zaman Edo di Jepang. Pemikiran kesadaran terhadap Gorin ini di rumuskan dalam shido (Situmorang, 1995 : 45). Shido menurut Situmorang (1995 : 45) adalah jalan hidup bushi dalan struktur masyarakat shi, ko, sho, yaitu, bushi ( militer), noumin ( petani), kou (shoukuin/tukang), dan shounin ( pedagang). Bushi (shi) adalah golongan tertinggi dalam masyarakat dan disebut juga sebagai guru masyarakat karena golongan ini adalah golongan yang mejadi teladan di masyarakat. Oleh karena itu, para kangakusha harus memikirkan mana shido ( jalan hidup bushi) yang cocok dengan system Edo. Untuk keperluan tercapainya keamanan pada pemerintahan Tokugawa. Karena prinsip gorin adalah ajaran konfusinis yang beraliran shushingku menunjukkan perbedaan status berbagai kedudukan masyarakat, sehingga cocok untuk memantapkan stratifikasi sosial shi, no, ko, sho. Maka menurut de Bary ( 1958 : 335) ajaran ini dianggap memantapkan akan kesadaran tentang bun (takdir) bagi
Universitas Sumatera Utara
masyarakat sehingga pada gilirannya memantapkan sistem penghambatan mobilitas golongan di dalam masyarakat, dan dirasa cocok sebagai landasan moral. Namun walupun demikian, para kangakusha tidak berhasil menyusun suatu konsep bushido baru (shido) yang didasarkan pada prinsip gorin tersebut. Karena itu diatas desakan kebutuhan tersebut tampil seorang pemikir yang berasal dari kalangan swasta yang bernama Yamaga Soko (Situmorang, 1995:45). Yamaga Soko mengatakan, ketidakberhasilan para kangakusha adalah karena mereka tidak memisahkan ajaran Buddha Zen dan konfusionisme, padahal kedua ajaran tersebut menurutnya sangat kontradiktif. Pada akhirnya Yamaga Soko berhasil menulis Shido (jalan hidup bushi) yang ditulis dalam sebagian bukunya yang berjudul “Yamaga Gorui”, sehingga bukunya ini dijadikan sebagai sebuah buku pelajaran bagi kaum bushi dan daimyo. Konsep shido yang ditulisnya sangat fungsional dalam system Edo, maka namanya terangkat sebagai pemikir shido pada zaman Edo. Di dalam konsep shido yang diajarkan leh Soko, titik beratnya adalah penjelasan akan gorin dengan perhatian utama adalah penjelasan jalan hidup tuan dan jalan hidup anak buah secara mendetail. Konsep-konsep yang dikemukakan Yamaga Soko ini merupakan usaha pemantapan feodalisme zaman Edo. Menurut Watsuji dalam Situmorang (1995:46) konsep Yamaga Soko sesuai dengan pemikiran yang berhubungan dengan pandangan negara dalam konsep Plato, rakyat akan hidup semangat di antara langit dan bumi apabila rakyat menghormati pemerintahnya. Hubungan pemerintah dengan rakyat adalah seperti hubungan jiwa dengan raga. Raga seperti kaki dan tangan disatukan oleh hati, dan hatilah yang membuat kaki dan tangan bekerja. Terpisahnya benda-
Universitas Sumatera Utara
benda ini adalah karena didasarkan pada fungsinya. Pemerintah menangung fungsi hati dan fungsi raga ditanggung oleh rakyat. Dalam pengoperasian sistem tersebut, untuk memenuhi pangan melahirkan kewajiban pertanian, dan untuk keperluan peralatan pertanian, pakaian, dan rumah melahirkan fungsi tukang, dan untuk melakukan pertukaran barang-barang khususnya dari tempat yang jauh melahirkan fungsi pedang. Menurut Yamaga Soko, inilah penyebab lainnya no, ko sho (ketiga golongan diluar bushi). Oleh karena itu supaya golongan ini bekerja dengan baik, maka inilah yang merupakan tugas pemerinah yang diemban oleh golongan bushi pada zaman Edo (Situmorang, 1995:46-47). Pembagian golongan no, ko, sho menurut Soko bukanlah ranking, tetapi hanya sebagai pembagian pekerjaan. Rakyat adalah sebagi dasar negara, oleh karena itu baik buruknya ketiga golongan ini harus menjadi perhatian utama pemerintah. Pekerjaan bushi menurut Soko, bukanlah pekerjaan mengolah, bukan bertukang, dan juga bukan untuk berdagang, oleh karena itu pekerjaan bushi dalam sistem Edo yang tidak ada lagi perang adalah sebagai “hati di dalam tubuh”. Menurut pemikiran ini, jikalau bushi bekerja seperti yang dicita-citakan tersebut, maka no, ko, sho akan mengerjakan pekerjaan masing-masing, dengan demikian negara akan aman. Inilah inti dari konsep shido pada zaman Edo. Watsuji dalam Situmorang (1995:57) mengatakan Soko juga mengajarkan, seorang anak buah harus melewatkan seumur hidup mengabdi di atas tatami, sebagai pengganti prilaku junshi. Maksudnya jika tuannya meninggalkan ie maka anak buah berkewajiban untuk meneruskan ie tuannya. Sifat tersebut menurut Soko, memenuhi
Universitas Sumatera Utara
unsur ideal bushi, yaitu adanya Chu (pengabdian kepada tuan), Gi (balas budi) dan Yu (kepahlawanan/heroik). Dalam ajaran shido yang diajarkan oleh Yamaga Soko, konsep giri yang berarti pegabdian tanpa memikirkan benar atau salah, untung atau rugi, raisional atau tdak rasional, yang tercakup dalam konsep bushido lama berubah menjadi giri, yang berarti pengabdian yang memikirkan untung atau rugi, dan juga memikirkan kerasionalan pengabdian diri anak buah dalam bertindak. Benedict (1982 : 70) mengatakan bahwa ikatan-ikatan hubungan tuan dengan pengikut
pada masa
Tokugawa menjadi bersifat ekonomis. Pengabdian seperti inilah yang cocok pada zaman Edo yang damai.
2.2.4 Kesetian Pengabdian Bushi Periode Awal Pada zaman Heian (793-1185) muncul kekuasaan yang disebut dengan Bushi. Pada awalnya mereka hidup di daerah pertanian kemudian berubah menjadi masyarakat kota. Berbeda dengan masyarakat Kizoku (bangsawan), pekerjaan seharihari bushi adalah di bidang seni. Bushi bekerja sebagai ahli perang, dan berstatus sebagai pengawas wilayah shoen kizoku (wilayah bangsawan). Dalam shoen, sering terjadi masalah batas wilayah antara satu kizoku dengan kizoku lainnya. Selain itu, juga sering terjadi perebutan air di daerah pertanian. Oleh karena itu, kizoku-kizoku tersebut harus membuat system pertahanan sendiri, dengan mempersenjatai sebagian petaninya yang disebut juga dengan bushi atau samurai.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi dalam perkembangan berikutnya, karena semakin dibutuhkan peranan samurai tersebut, maka para samurai menjadi semakin kuat. Pada taraf berikutnya para kizoku sendiri menjadi bergantung pada samurai. Ada dua hal yang mempengaruhi kesetian pengabdian bushi periode awal ini, yaitu : 1. Ikatan yang didasarkan pada perjanjian tuan dan pengikut Ikatan ini berisikan pertukaran antara onko (pemberian) dan hoko (pelayanan). Walaupun disebut pertukaran, derajat kedudukan antara tuan dan pengikut tetap tidak sama, namun dengan adanya pertukaran ini tercipta kekuatan dalam kelompok tersebut. Pemberi onko adalah tuan, dan pemberi hoko adalah pengikut. Onko bermakna berkah, dan hoko adalah pengabdianyang bersifat tidak abadi. Pada masa ini, di dalam
pengabdian bushi, pelayanan terhadap tuan ditunjukkan sebagai
hubungan antara onko dan hoko. a. Bentuk dan batas onko dan hoko Ienaga dalam situmorang (2000 : 4) mengatakan tidak ada batas untuk membalas onko. Untuk membalas onko harus mengorbankan diri melewati batas hidup dan mati. Pengabdian bushi dalam berjuang hidup atau mati tersebut, dilaksanakan dalam bentuk pengabdian kesatriaan, dan berusaha memberikan kemenangan di medan perang kepada tuannya. Ikatan antara tuan dan pengikut ini diawali dengan pemberian onko oleh tuan. Tuan dengan sengaja menyediakan hadiah kepada pengikutnya dengan syarat pengikut
dapat
memenangkan
perang
untuk
tuan.
Tuan
membuat
suatu
Universitas Sumatera Utara
pemberitahuan berupa iklan yang menjelaskan bahwa, pengikut yang mampu mempertahankan wilayah tuannya akan diberi hadiah. Dalam hal ini, seorang samurai membutuhkan saksi yang kelak dapat memberitahukan kepada tuan sebagai bukti akan keberhasilanya dalam medan perang. Karena apabila samurai pergi sendirian ke medan perang tanpa adanya saksi dan kemudian mati, maka hal ini disebut inujini atau mati sia-saia. Tetapi, apabila samurai mati dalam barisan bushi, maka namanya akan terkenal dan anak cucunya mendapat hadiah. Maka untuk melakukan pengabdaian kesatriaan yang paling dibutuhkan adalah tahu akan waktu tempat untuk mencari
kesempatan baik dan
bukti dalam melakukan pengabdiannya. Namun dalam pemikiran secara ekonomis, seorang tuan bisa saja tidak mampu memberikan hadiah yang banyak. Sehingga, kesetian bushi pun berkurang. Oleh karena itu, tuan perlu menanamkan hubungan yang khusus antara tuan dan bushi, yaitu rasa kasih sayang. Dengan adanya rasa kasih sayang, hubungan keduanya dapat lebih erat dengan perasaan senasib yang menciptakan pengabdian yang lebih besar daeri sekedar perhitungan ekonomis.
b. Pandangan nilai kehormatan bushi Pada dasarnya seorang samurai atau bushi mengutamakan kehormatan. Mereka rela kehilangan nyawa demi kehormatan. Kehormatan tersebut adalah demi rumah tangga yaitu untuk anak cucu. Onko yang di dapat dari perjuangannya di medan perang akan menaikkan kehormatan, sehingga dapat dikatakan antara onko dan meiyo (kehormatan) menjadi tidak terpisahkan. Menurut Rufubon Taiheki dalam
Universitas Sumatera Utara
Situmorang (2000 : 6) dikatakan, pengabdian kepada tuan adalah untuk nama, hal ini berarti juga pemikiran mengutamakan anak cucu, bukan hal yang muncul dari rasa kasih sayang dari tuan adalah pengabdian terhadap ie. Di dalan ie, terjadi jalinan hubungan yang sangat erat erat antara tuan dan bushi yang telah berlangsung dari generasi ke generasi antara tuan dan anak buah. Karena itu bushi berfikiran bahwa segala sesuatu yang diterimanya selama hidup merupakan on (budi) dari tuan, yang harus dibayar dengan penghormatan kepada tuan, yang diwujudkan dengan giri (balas budi). Hal ini diperkuat oleh pandangan ajaran Budha Zen, yang dianjut oleh para bushi, bahwa perjalanan di dunia kematian adalah gelap, oleh karena itu para bushi harus rela mati untuk menemani perjalanan kematian tuan menuju dunia setelah mati. Ini diperkuat lagi dengan adanya pandangan reinkarnasi yang diepercaya oleh bushi, sehingga timbullah cita-cita bushi untuk menjadi abdi tuan selama tujuh kali dalam siklus hidup dan mati dalam pandangan Budha. Hal ini kemudian mengakibatkan tumbuhnya sikap pengabdian bushi terhadap tuan yang melewati batas hidup dan mati. Pandangan
seperti
itulah
yang
kemudian
menghilangkan
kesadaran
berkelompok dalam masyarakat bushi. Karena masing-masing bushi secara pribadi mempunyai hubungan perjanjian dengan tuan, sehingga tidak ada ikatan ke samping antara sesama bushi. Dalam perang, masing-masing bushi akan mengutamakan keuntungan masing-masing , yaitu memenangkan peperangan dengan berhasilnya memperluas shoen tuanya. Dikalangan bushi sendiri bermunculan pemimpinpemimpin yang mempersatukan kekuatan-kekuatan bushi, sehingga menjadi kekuatan bushi yang besar yang disebut bushi no toryo atau punggung bushi atau penanggung
Universitas Sumatera Utara
jawab bushi yang dipimpin oelh bushi keturunan kizoku yang tinggal di daerah tersebut. Namun ada juga muncul gejala persaingan merebut onko dari tuan antara sesama bushi. Kadang-kadang sesama bushi dari satu tuan juga saling membunuh, dan hal ini tentu saja mengakibatkan kerugian besar bagi tuan karena sering dengan cara ini bushi yang tangguh mati. Tetapi karena sifat kelompok merupakan hal utama dalam peperangan, sifat egois harus dihilangkan. Pergi sendiri berperang keluar dari kelompok
menjadi
dianggap tidak benar. System kelompok ini menghilngkan pemikiran bahwa berperang hanya untuk mendapat hadiah. Moral kesetian terhadap tuan tidak ada hubungan dengan kesetian terhadap Negara. Karena kesetiaan terhadap Negara berarti pengabdian terhadap Tenno. Yang memiliki kesetiaan terhadap Tenno hanyalah kizoku golongan atas. Kesetiaan bushi tenno juga sama dengan kesetiaan bushi tuan. Bagi bushi kesadaran nilai yang tertinggi dan general adalah wilayah tuan, oleh karena itu hampir tidak ada kesetiaan yang bersifat kenegaraan.
2. Ikatan yang didasarkan pada hubungan darah atau keluarga. Dalam Situmorang (2000:8) dikatakan, ikatan kekeluargaan adalah ikatan ke samping dan bersifat kebersamaan. Kelompok keluarga ini merupakan kelompok kecil yang didasarkan pada perkawinan. Isi dari struktur kelompok ini adalah soryo (pemimpin), dan kakutoku zokunin (saudara-saudara sebagai pengikut). Masingmasing kedudukan ini mempunyai tangung jawab dan kewajiban yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Tangung jawab soryo adalah untuk memimpin keluarga, seperti dalam surat wasiat Matsuo Sokyu tahun 3 Katei yang berisi, “anak yang berkedudukan sebagai soryo berlaku sebagai orangtua, sebagai ahli waris, dan harus mengasihi kakutoku zokunin seperti anaknya sendiri.” Hubungan soryo dan kakutoku zokunin tidak sama dengan on pada hubungan tuan dan pengikut. Mereka saling tolong menolong di dalam ie seperti orangtua dan anak, seperti dalam keluarga. Soryo dianggap sebagai tuan di dalam ie. Namun berbeda dengan hubungan tuan dan pengikut, dalam keluarga tidak ada struktur hubungan tuan dan pengikut yang terpencar-pencar. Ada kaitan antara sesama anggota ie. Tetapi sehubungan dengan meluasnya keluarga karena perkawinan, maka ikatan vertikal dan horisontal menjadi diperlukan, atau memilih salah satunya. Biasanya dalam pemikiran bushi, ikatan yang bersifat keluarga lebih penting daripada hubungan tuan dan pengikut. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan tuan dan pengikut tidak melewati keakraban ikatan keluarga. Bushi tidak mengabdi semata kepada tuan, tujuan akhir bushi adalah untuk anak cucu sekaligus (Situmorang, 2000:9). Dalam memperebutkan soryo sering terjadi antara anak istri pertama dengan anak-anak gundik. Pewarisan soryo dilakukan dengan melihat siapa yang terbaik, tanpa peduli anak laki-laki atau perempuan. Begitu juga dengan pembagian harta warisan, bukan hanya dibagikan secara merata kepada anak laki-laki, terkadang juga pada anak perempuan, termasuk juga yoshi (anak adopsi). Kadang kala anak adopsi yang dianggap mampu untuk menjadi pemimpin dalam keluarga diangkat sebagai soryo. Beberapa anak yang diadopsi semuanya
Universitas Sumatera Utara
bukanlah anak kecil, tetapi merupakan orang dewasa yang tinggal di dalam ie seakanakan mereka adalah anak ie tersebut. Pengabdian istri terhadap suami dalam bushi juga perlu diperhatikan dalam ikatan ini. Situmorang (2000:10) mengatakan bahwa, pola perkawinan bushi berbeda dengan perkawinan kizoku pada zaman bushi periode awal. Para bushi sudah lama melakukan perkawinan yomeirikon (istri masuk ke keluarga suami). Ada hal baik dan buruk yang timbul pada perkawinan yomeirikon. Seorang istri akan menjadi pengelola rumah tangga, dan juga pandangan akan kesucian dan kesetiaan istri semakin kuat. Seperti cerita Abe yang dipaparkan dalam Situmorang (2000:10), seorang istri yang bernama Norito datang menghadap suaminya sambil menggendong anaknya yang berusia 3 tahun. Dia melakukan bunuh diri mengikuti suaminya yang mulai sekarat ini dikarenakan sang istri tidak ingin hidup sendiri ditinggal suaminya. Pada zaman ini banyak istri menggantikan jabatan suaminya setelah meninggal, sehingga banyak istri yang menjadi soryo, gokenin (penguasa pemerintahan di daerah), dan tidak sedikit wanita menjadi penguasa masyarakat. Keburukan dari perkawinan yomeirikon adalah, semenjak istri memasuki rumah suami, kemerdekaan istri menjadi hilang. Hak istri unuk menguasai hartanya sendiri juga hilang. Hal inilah yang menyebabkan mulai melemahnya kedudukan wanita.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Kesetiaan Pengabdian Bushi Periode Akhir a. Ajaran kesetiaan pengabdian diri dalam Hagakure Bushido, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya menurut Tsunetmo, adalah janji untuk untuk mengabdikan diri pada tuan secara mutlak, tanpa memikirkan benar atau salah, untung atau rugi, rasional atau tidak rasional. Pemikiran seperti inilah menurut Watsuji, yang dicita-citakan oleh Yamamoto Tsunetomo dalam Hagakure, (Situmorang 2000:12). Yamamoto Tsunetomo yang telah lama bercita-cita untuk mengabdikan dirinya kepada tuannya, ketika berusia 42 tahun, melihat tuannya yang bernama Mitsugihe meninggal dunia. Tsunetomo yang telah berjanji untuk setia pada tuannya, kemudian berfikir untuk melakukan junshi. Tetapi karena pada saat itu junshi sudah dilarang oleh pemerintah bakufu, maka Tsunetomo pun melakukan sukke. Sukke dalam situmorang (1995:25) adalah, hidup menjauhkan diri dari masyarakat sekitar kemudian pergi untuk menjadi pengikut ajaran Buddha. Tsunetomo menjadi pendeta Buddha Zen, yang tinggal di sebuah gubuk kecil dengan jarak 12 kilometer di sebelah barat Nabeshima di kaki gunung Kinryu. Disanalah Tsunetomo menulis konsep bushido yang kemudian menjadi pelajaran para samurai. Konsep kesetiaan pengabdian samurai menurut Tsunetomo tercantum pada berbagai pasal dari sebelas bab Hagakure. Hagakure terdiri dari 1343 pasal. Dalam buku ini ada beberapa pasal yang berisi tentang ajaran kesetiaan pengabdian diri terhadap tuan, yaitu pada bab I pasal 2 yang berbunyi: “Jalan hidup bushi adalah ditemukan dalam kematian. Pada waktu ada dua pilihan apakah memilih hidup atau mati, pertama-tama harus memilih mati. Lebih
Universitas Sumatera Utara
dari itu tidak ada. Teguhkan hati untuk menjalaninya. Walaupun para samurai kamigata (samurai Edo Bakufu) mengatakan bahwa mati sia-sia adalah mati anjing. Dalam hal memlilih satu diantara dua, kita sering tidak mengetahui apa yang sesuai dengan rencana atau tidak, siapapun manusia akan memilih hidup. Untuk hidup akan mencari alasan. Pada saat seperi ini, kalau memilih untuk hidup terus tetapi tujuan yang diinginkan tidak tercapai, maka akan menjadi bushi pengecut. Hal ini susah untuk menetapkannya. Jikalau memilih mati, tetapi ternyata tujuan tidak tercapai akan dikatakan mati sia-sia atau gila tetapi hal ini tidak membuat malu. Hal ini sangat penting bagi bushido karena setiap pagi dan sore selalu bertekad untuk mati, sehingga dengan menghayati kematian pada kehidupan sehari-hari, mengakibatkan bushido menyatu dengan dirinya, sehingga dapat melakukan pekerjaan tanpa kesalahan seumur hidup.” Selanjutnya tentang kesadaran kesetiaan pengabdian samurai terhadap tuannya ada ditulis dalam bab I pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut. “Sebagai pelayan harus hanya memikirkan kepentingan tuan. Dengan demikian akan menjadi anak buah yang hebat. Anak buah dari generasi ke generasi hidup karena kebaikan tuan, oleh karena itu harus membalas dengan keharusan mengabdikan diri bagi tuan sebagai on. Lebih-lebih lagi jikalau mempunyai keterampilan dengan pengetahuan untuk diabdikan kepada tuan. Tetapi walaupun tidak mempunyai ilmu dan keterampilan, jikalau mengabdi kepada tuan adalah lebih baik daripada mempunyai keterampilan tetapi tidak mengabdi. Bagi Tsunetomo, bushido adalah janji untuk mengabdikan jiwa raga bagi tuan. Seperti dalam bab I pasal 9, yang berbunyi:
Universitas Sumatera Utara
“ Menjadi abdi tuan, selain untuk mengabdikan diri, tidak memerlukan apaapa. Jikalau ada dua, tiga orang seperti ini, ie tuan akan bersemangat. Di dunia banyak orang yang mempunyai talenta, kecakapan. Tetapi pada waktu ditinggal mati oleh tuan, para generasi penerus banyak yang menjadi kotor untuk mewarisinya. Orang kuat, orang lemah, orang pintar, semua hidup sangat semangat, tetapi pada tahap mengorbankan diri pada tuan menjadi lemah. Sedikitpun tidak mempunyai kepahlawanan, menjadi orang yang tidak berguna. Pada waktu ada masalah sebaiknya menjadi orang yang rela mengorbankan jiwa, dengan alasan mempunyai perasaan yang sama dengan
tuan. Pada waktu seperi ini harus ada kesiapan untu mati.
Biasanya ada gejala masyarakat menjadi murung, generasi penerus tidak menghiraukan kematian. Walaupun dikatakan mengatakan janji “gi” terhadap tuan, akan menjauhkannya dan hal ini menyolok mata.” Selanjutnya Watsuji mengatakan, kedudukan ini menyetujui zettai teki dan hal ini dikatakan berarti menoleh kembali ke zaman Kamakura tentang penerapan jalan etika kemanusiaan, sebagai jalan yang harus ditempuh oleh samurai. Sifat isi pandangan yang mengutamakan tuan pada zaman Kamakura, dapat dikatakan tenggelam dalam persaan cinta yang tulus. Hal seperti ini ditulis dalam bab I pasal 196 yaitu: “Adalah sesuatu yang berakhir dengan pemikiran mengutamakan tuan yang tidak ada dua atau tiganya, menyenangi tugas tanpa alasan, tanpa rasa mengabdi, benar atau salah. Membenci alasan, menjauhkan semedi, serius mengabdi. Tidak menyukai alasan yang didasarkan pada “gi” atau “chu”.
Universitas Sumatera Utara
Watsuji dalam Situmorang (2000:19) mengabdikan, pemikiran seperti ini masih tersisa dengan kuat dan mengakar dalam pemikiran orang Jepang sampai sekarang.
b. Kesetiaan Pengabdian Diri Bushi yang Didasarkan pada Konfusianis Kesetiaan yang tercermin dalam Hagakure adalah bentuk kesetiaan yang berdasarkan ajaran Buddha Zen. Hal ini berbeda dengan kesetiaan yang didasarkan pada ajaran Konfusionis. Watsuji dalam Situmorang (2000:20) mengatakan, orang yang pertama kali memisahkan ajaran Buddha Zen dengan ajaran Konfusionisme adalah Yamaga Soko. Yamaga Soko bekerja sebagai guru para tuan tanah dan samurai. Dalam karyanya yang berjudul Yamaga Gorui, Soko menekankan pada pemikiran gorin yang menjelaskan tentang hubungan tuan dengan pengikut, hubungan anak dan ayah, hubungan suami istri, hubungan adik laki-laki dengan kakak laki-laki, dan hubungan orang sederajat. Semuanya menekankan tata karma siapa yang dihormati dan siapa yang menghormati. Menurut Soko, pekerjaan seorang samurai bukan pekerjaan mengolah, bertukang dan berdagang. Tetapi menurutnya dalam Zanshu 7 halaman 10-11 adalah: “Pekerjaan Shi sesuai dengan mibun (golongan)nya, yang utama adalah mengabdi kepada tuannya, dan sekaligus berusaha mempertebal kepercayaan kepada tuannya dan melakukan gi terhadap. Dan bushi harus selalu menyadari status fushi (ayah dan anak), kyodai (abang dan adik), fufu (suami istri), dan shi juga harus mengajarkan pemikiran ini pada ketiga golongan lain, yaitu no, ko, sho. Bushi bekerja untuk menerapkan moral ini ke seluruh negeri. Oleh karena ini, supaya bushi dapat
Universitas Sumatera Utara
melakukan pekerjaan tersebut, di samping keterampilan berperang mereka harus menguasai ilmu pengetahuan. Secara fisik, berlatih memegang pedang dan panah serta menunggang kuda, tetapi di dalam hati harus disadari mereka bekerja demi memantapkan kesadaran hubungan tuan dan pengikut, teman sejawat, ayah dan anak, abang dan adik, suami dan istri. Ilmu pengetahuan ada di dalam hati, dan keterampilan dalam berperang ada di luar, dan bagi ketiga golongan lain bushi adalah guru.” Watsuji dalam Situmorang (2000:23) mengatakan: “Keluar dari rumah mengabdi kepada tuan, membantu urusan politik, membantu penderitaan rakyat banyak, tidak boleh menjauhkan harapan dari pekerjaan tersebut, dan tidak boleh membuat malu tuan, adalah upaya melakukan “chu”. Kembali ke rumah bekerja pada ayah dan ibu untuk kedamaian rumah tangga, adalah melakukan “ko”. Keseluruhan sifat yang ditujukan kepada tuan dan orang tua seperti ini disebut “chuko. Ini adalah pekerjaan shi. Jalan bekerja kepada tuan dan orangtua seperti ini kalau diuraikan dengan jelas, adalah merupakan penerapan “gorin” (lima etika), yaitu kebersamaan dengan teman sejawat, ikatan abang adik, perbedaan suami istri, yang diatur secara ilmiah. Menurut pemikiran ini, apabila samurai dapat bekerja seperti yang dicitacitakan, maka no, ko, sho, akan mengerjakan pekerjaan masing-masing. Ajaran kesetiaan pengabdian diri seperi ini merupakan ajaran bushido dalam konsep nasional dengan tujuan supaya negara aman.
Universitas Sumatera Utara
Kesetiaan Berdasarkan Bushido yang Dikaitkan dengan Pengertian Kesetiaan Secara Umum a.
Kesetian karena Ekonomi
Kesetiaan adalah kehormatan tertinggi seorang samurai. Namun tak jarang pula seorang samurai tidak mengacuhkan atau melanggar perintah tuannya. Samurai tersebut merasa berat hati untuk melaksanakan tugasnya sebagai pelayan dan pelindung tuannya. Hidup untuk menjadi seorang ronin pun kadang terlintas dibenaknya. Tetapi seiring dengan semakin gencarnya peperangan dalam perebuatan shoen, status samurai pun makin dibutuhkan. Para kizoku pun akan berusaha mengumpulkan para samurai untuk membentuk suatu pertahanan yang kuat, sehingga hidupnya biasa lebih aman. Untuk itu, kizoku harus mampu menghidupi para samurainya supaya akan tertanam nantinya rasa kesetiaan kepada tuan. Kizoku pun tak akan segan-segan memberikan hadiah kepada samurai yang mampu melaksanakan perintahnya dengan baik dan berhasil memenangkan peperangan. Kadang-kadang pemberian hadiah ini diiklankan, seperti ketika Tokimune memerintahkan Otomo Yoriyashu untuk membuat pemberitahuan kepada para samurai yaitu, “kalau ada yang membantu akan diberi hadiah”. Begitu juga dengan Oda Nobunaga yang menyediakan 23 buah wilayah di Echizen bagi samurai yang membantu perang dan memenangkannya, (Situmorang, 2000:5). Kehidupan samurai pun dapat terjamin dengan hadiah-hadiah yang diberikan oleh kizoku. Secara tidak langsung mereka pun akan menanamkan rasa setia pada tuan. Niat yang dilaksanakannya yaitu sebagai pelayan yang selalu setia kepada tuan
Universitas Sumatera Utara
akan terus terlaksana, tentunya selama kehidupan ekonomi mereka tercukupi, kesetiaan samurai pun dapat berkurang. Bentuk kesetiaan seperti inilah yang dikatakan dengan kesetiaan pengabdian diri samurai berdasarkan ekonomi. Kesetiaan akan muncul apabila ada timbal balik di antaranya yaitu, tuan akan membiayai hidupnya, dan samurai mengabdi kepada tuannya. Apabila kesejahteran samurai tidak terjamin, maka tidak menutup kemungkinan samurai akan beralih menjadi musuh tuannya dan tidak mau melindungi dan mengabdi kesetiaan pada tuanya lagi.
b.
Kesetiaan berdasarkan ajaran moral
Ie yang lahir di dalam suatu kizoku tidak hanya berangotakan orang yang sedarah saja. Samurai yang mengabdi pada kizoku termasuk dalam anggota ie kizoku tersebut. Rasa kasih sayang yang tertanam dalam ie, menciptakan keharmonisan sesama anggota ie. Elemen ini muncul karena adanya hubungan tuan dan pengikut dari generasi ke generasi yang dimantapkan dengan hubungan perasaan senasib. Sehingga, rasa sayang ini mampu melahirkan kesetiaan yang melebihi kesetiaan pengabdian diri karena perhitungan ekonomis. Hubungan yang erat ini, akan menanamkan rasa kesetiaan yang semakin dalam diri samurai. Mereka akan selalu menjaga dan melindungi ie selama hidupnya. Bagi mereka suatu kewajiban untuk membalaskan chu (penghormatan) kepada tuan yang diwujudkan dengan giri. Berbeda dengan kesetiaan karena ekonomis, pengikut melaksanakan tugas bukan mengharapkan hadiah dari tuan. Seorang samurai yang melaksanakan perintah
Universitas Sumatera Utara
tuannya dengan tulus memberikan pengabdiannya hanya kepada tuan yang dipercayainya. Selain karena adanya rasa kasih sayang, samurai tersebut telah tumbuh menjadi seorang samurai yang berguna berkat tuannya. Dalam hidupnya, sang tuan tidak pernah menyia-nyiakan dan menelantarkan pengikutnya. Karena dalam ie tuan tersebut benar- benar menanamkan rasa kasih sayang dan percaya antara sesama anggota ie yang tidak hanya sebatas hubungan darah. Walaupun tetap ada garis batas antara tuan dan pengikut, namun derajat pengikut sangat dihormati oleh tuan dan para anggota ie lainnya. Hal ini disebabkan adanya kesatuan visi dan misi antara pengikut dan tuan. Keduanya bukan hanya dalam satu ie, tetapi juga satu dalam pikiran, ajaran, dan pandangan hidup. Kesamaan ini akan semakin mempererat hubungan keduanya, sehingga tidak mudah dilepaskan. Dipisahkan secara paksa, pengikut tidak akan merubah pandangan kesetiaannya. Dia akan tetap kukuh pada satu tuan, yaitu melindungi tuan dan ie tuannya. Seorang samurai pun, dalam pelaksanaan tugasnya, mampu mengorbankan dirinya demi keselamatan tuannya. Samurai dengan ikhlas mengorbankan apapun demi tuan, tanpa mengharapkan balas jasa. Karena baginya tuan adalah segalanya. Hal ini diakibatkan masih adanya pengaruh Buddha Zen. Namun walaupun zaman berganti, ajaran-ajaran lain mempengaruhi, sampai sekarang masih ada kesetiaan pengabdian diri yang benar-benar mutlak kepada tuan. Bentuk kesetian yang berdasarkan ajaran moral, tidak hanya ada karena hubungan atasan dan bawahan. Kesetiaan ini juga dapat diabadikan kepada teman dekat, kehidupan yang damai, dan janji. Seorang samurai dapat mengabdikan
Universitas Sumatera Utara
kesetiaannya kepada kedamaian dengan cara selalu berusaha melindungi dan menolong orang yang kesusahan. Maka pada intinya, kesetiaan berdasarkan ajaran moral ini, adalah kesetiaan yang datang dari hati nurani manusia itu sendiri. c.
Kesetiaan karena Terpaksa
Giri merujuk pada tugas dan tanggung jawab dari seorang samurai, tentang hal yang diharapkan untuk dilakukan oleh samurai. Kadang secara sederhana diartikan sebagai kewajiban. Giri menurut Benedict (1982:125) adalah utang-utang yang wajib dibayar dalam jumlah yang tepat sama dengan kebaikan yang diterima dan ada batas waktu pembayarannya. Sayidiman (1982:48) mengatakan, giri adalah kewajiban untuk membalas sikap atau kebaikan yang telah diterima dari orang lain dengan setimpal. Dalam Salecha (1981:125), giri diartikan sebagai sesuatu yang erat dengan hutang budi, yaitu tindakan seseorang yang dilakukan terhadap orang lain karena adanya hubungan yang telah terbentuk sebelumnya. Pengertian lain mengatakan dalam Van Horne (idealteaching.html) adalah sebuah konsep budaya inti yang berhubungan dengan kewajiban sosial individu atas tugas yang dilakukan dengan tepat ketika berhubungan dengan orang lain. Dengan kata lain menyesuaikan diri dengan peraturan kebudayaan yang tepat dari interaksi sosial. Giri meliputi adat yang harus dipatuhi oleh seorang samurai seperti dalam tugas militer, pernikahan dan pemberian hadiah dan semua tugas yang harus dilakukannya. Seorang samurai tidak akan dihormati jika gagal dalam melaksanakan giri. Seorang samurai diminta untuk terus melaksanakan giri sekaligus hal itu menimbulkan ketidakenakan pada dirinya atau seseorang yang dicintainya. Kadang
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan giri bisa menimbulkan konflik, baik itu hanya karena giri atau karena harapan dan perasaan hati si pelaksana. Konflik yang umum berkaitan dengan perasaan sebagai seorang manusia seperti belas kasih dan cinta. Ini membuat seorang samurai terkadang bertindak tanpa memikirkan perasaannya tapi melaksanakannya atas dasar kewajiban saja. Kondisi seperti inilah yang kemudian mulai mempengaruhi kesetiaan pengikut pada tuan. Perbedaan misi dan visi tidak mampu mempertahankan hubungan yang sudah ada. Sekalipun kehidupan samurai terjamin, tapi ada perbedaan dalam sudut pandang pemikiran, kesetiaan samurai pun akan berangsur-angsur memudar. Pengabdian yang pada awalnya tulus kepada tuan, kemudian berubah menjadi kesetiaan yang terpaksa. Demi kehidupannya samurai memaksa diri untuk bertahan. Sedikit berbeda dengan kesetiaan karena ekonomi, kesetiaan yang terpaksa ini, mempunyai tujuan khusus. Dalam diri samurai ada suatu target yang ingin dicapai, sehingga mau tak mau dia harus bertahan. Keluarnya ajaran baru yaitu bushido yang dipengaruhi oleh ajaran Konfusianis, sangat mempengaruhi pemikiran para samurai akan kesucian tuannya sebagai penguasa wilayah, sekaligus berupaya para samurai berfikiran lebih rasional dalam melakukan kesetiaan pengabdian dirinya. Ajaran ini juga memusatkan pada ajaran kesadaran perbedaan stastus yang disebut dengan gorin. Gorin sangat mendukung terbentuknya kelas-kelas di dalam masyarakat. Apabila masing-masing tingkat kelas dapat melaksanakan tugasnya, maka akan amanlah negara. Dengan ini, posisi samurai pun semakin naik, sehingga samurai tidak hanya sekedar menjadi seorang pelayan namun juga menjadi nadi bagi tuannya. Keadaan
Universitas Sumatera Utara
tuan yang bergantung pada samurai ini membuat posisi samurai menjadi sangat menguntungkan. Kesamaan visi dan misi juga dapat mengakibatkan muncul kesetiaan seperti ini. Karena kesamaan tersebut, tetapi dengan tuan yang tidak dia senangi, tidak menutup kemungkinan seorang samurai mau ntuk mengabdikan kesetiaan padanya. Demi untuk mewujudkan niatnya, mau tidak mau samurai tersebut harus mengabdi pada tuannya.
2.3. Defenisi Novel dan Setting 2.3.1. Definisi Novel Sebutan novel berasal dari bahasa Italia, yakni novela yang secara harafiah berarti “sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1995:9). Dalam bahasa Jerman novel disebut dengan novelle dan dalam bahasa Inggris disebut dengan novel, istilah inilah yang kemudian masuk ke dalam bahasa Indonesia. Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya sastra. Prosa dalam pengertian kesusasteraan juga disebut sebagai fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2). Tokoh peristiwa dan tempat yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat imajiner. Menurut Jacob Sumardjo (1999:11-12), novel adalah genre sastra yang berupa cerita, mudah dibaca dan dicernakan, juga kebanyakan mengandung unsur suspense
Universitas Sumatera Utara
dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya. Dan menurut Takeo dalam Pujiono (2002:3), novel merupakan sesuatu yang mengambarkan kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat meskipun kejadiannya tak nyata. Walau bersifat majiner namun ada juga karya fiksi atau novel yang berdasarkan diri pada fakta. Karya fiksi yang demikian oleh Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:4) digolongkan sebagai fiksi nonfiksi (nonfiction fiction), yang terbagi atas (1) fiksi historial (historical fiction) atau novel historis, jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah; (2) fiksi biografis (biographical fiction) atau novel biografis; jika yang menjadi dasar penulisan fakta biografis dan ; (3) fiksi sains (science fiction) atau novel sains,jika yang menjadi dasar penulisannya fakta ilmu pengetahuan. Dilihat dari penggolongannya, maka penulis memasukkan novel ”Across The Nightingale Floor”, yang merupakan objek penelitian ini, ke dalam novel historis karena terikat oleh fakta-fakta yang dikumpulkan melalui penelitian dari berbagai sumber.
2.3.2 Setting Dalam Novel “Across The Nightingale Floor” Setting dan latar yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosisal tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro,1995:216).
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur latar dapat dibedakan ke dalam unsur pokok yaitu: 1.
latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempattempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. 2.
Latar Waktu
Lartar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. 3.
Latar Sosial
Sama halnya juga dalam Novel “Across the Nightingale Floor” Terdapat ruang lingkup tempat dan waktu sebagai wahana para tokohnya mengalami berbagai pengalaman dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa yang di ceritakan dalam novel “Across the Nightingale Floor” ini seluruhnya terjadi di Jepang dan berlangsung pada awal abad 17 sampai akhir abad 18. Pada awal abad 17-18 akhir, di Jepang sedang terjadi perebutan kekuasaan antar klan atau kaum samurai. Klan terkuat akan berusaha menguasai klan yang lain. Sama halnya yang dilakukan oleh Iida Sadamu yang tega membantai kaum heiden ( kaum dimana Takeo tinggal sampai masa remajanya ). Novel ini secara keseluruhan mengambarkan perjalanan hidup seorang samurai bernama Takeo dari awal hidupnya terpisah dengan keluarganya, sampai kepada keputusannya meneruskan perjuangan
Universitas Sumatera Utara
Otori Shigeru dalam menguasai tiga wilayah besar di Jepang yang dikenal pada saat ini dengan sebutan wilayah Tiga Negara.
2.4. Biografi Pengarang Lian Hearn adalah seorang penulis yang lahir dan besar di Inggris. Namun semenjak tahun 1993, dia hijrah ke Australia dan menetap disana. Nama asli Lian Hearn adalah Gillian Rubenstein. Namun karena ingin membawa dirinya masuk ke dalam kehidupan jepang, maka ia mengganti namanya menjadi Lian Hearn. Jadi bisa dibilang bahwa Lian Hearn adalah nama samaran Gillian Rubenstein dalam karya sastra jepang. Nama Lian sendiri diambil dari namanya Gillian. Sedangkan nama Hearn diambil dari nama seorang penulis kenamaan jepang, sekaligus merupakan lambang dari Klan Otori (klan yang menjadi sentral penceritaan dalam karya novelnya), yang berarti bangau. Pada awalnya Lian Hearn adalah seorang penulis cerita anak-anak. Namun pada tahun 1999, dia mendapat beasiswa Asialink Foundation. Selama tiga bulan ia mendapat kesempatan untuk tinggal di Jepang. Selama di Jepang dia tinggal di Australia Council-Departemen Luar Negeri dan Perdagangan, Kedutaan Besar Australia di Tokyo dan ArtSa, The South Australian Government Arts Department. Saat di Jepang ia disponsori oleh Yamaguchi Prefecture’s Akiyoshi International Arts Village dengan para stafnya yang membantunya mempelajari alam dan sejarah Western Honshuu.
Universitas Sumatera Utara
Selama tiga bulan ia berada di jepang, ia menghabiskan waktu di Jepang dengan dua perusahaan theater yang telah memberinya kesempatan untuk melakukan riset penuh demi mengumpulkan data yang diperlukan untuk melengkapi data demi penulisan novel pertamanya. Karakter utama Takeo dan Kaede muncul ketika kunjungan pertama Lian Hearn di Jepang pada tahun1993. Novel ini diisi dengan konflik dan perebutan kekuasaan antar klan yang terjadi sekitar abad 17 awal sampai abad 18 akhir. Peran Takeo adalah sebagai tokoh sentral yang berupaya menyatukan Wilayah Tiga Negara di bawah kekuasaan Klan Otori. Wilayah Tiga Negara ini dikenal menjadi tiga pulau terbesar di Jepang saat ini.
Universitas Sumatera Utara