BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Penelitian yang Relevan Sebelumnya Analisis klasifikasi emosi tokoh dalam novel-novel yang lain mungkin
telah banyak diulas dalam bentuk penelitian, khususnya di Universitas Negeri Gorontalo. Akan tetapi, penelitian dengan objek kajian berupa analisis klasifikasi emosi tokoh dalam novel Bunga di Atas Bara karya Syahriar Tato belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang mempunyai kemiripan dengan kajian analisis psikologi tokoh dapat diuraikan sebagai berikut. (1) Psikologi Tokoh dalam Novel Putri Salju Karya Salman El-Bahry (2012) oleh Dian Rahmasari. Penelitian ini membahas tentang karakteristik tokoh dalam novel Putra Salju karya Salman El-Bahry. Penelitian ini dianalisis dengan teori sturktural dan menggunakan metode showing. Penelitian yang dilakukan oleh Dian Rahmasari memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu menitikberatkan pada psikologi tokoh, sedangkan perbedaan tersebut terdapat pada novel yang dikaji dan penggunaan teori yang digunakan untuk menganalisis. (2) Kepribadian Tokoh Utama pada Novel Pintu Terlarang Karya Sekar Ayu Asmara melalui Pendekatan Psikologi Kepribadian Sigmund Freud oleh Nafilia Rachmah (2011) yang membahas tentang kepribadian tokoh utama pada novel Pintu Terlarang karya Sekar Ayu Asmara. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Nafilia Rachmah tentang analisis kepribadian tokoh utama dalam novel Pintu Terlarang dengan teori psikologi
kepribadian Sigmund Freud. Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan teori Sigmund Freud, sedangkan perbedaan tersebut terdapat pada objek penelitian. 2.2
Landasan Teori Berdasarkan uraian masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, teori
yang relevan dengan penelitian ini adalah psikologi sastra. Teori ini digunakan untuk mengkaji klasifikasi emosi tokoh dalam novel Bunga di Atas Bara karya Syahriar Tato. Berikut ini akan dijelaskan teori psikologi sastra dan beberapa teori pendukung lainnya. 2.2.1 Pendekatan Psikologi Sastra Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2008: 96). Pengarang menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya,begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing tokoh. Pengarang mengungkap gejala jiwa kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiawaannya. Proyeksi pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang, akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra. Psikologi sastra juga merupakan telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan (Minderop, 2011: 54). Ketika menelaah suatu karya, hal terpenting yang perlu diketahui adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan masalah kejiwaan. Tujuan utama psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan tokoh yang terdapat pada suatu
karya dalam hal ini yakni, novel. Jadi, psikologi sastra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu kajian terhadap sebuah karya dengan melihat aspek kejiwaan di dalamnya. Kajian psikologi sastra sangat erat dengan kajian psikologi murni. Tetapi, harus dibedakan bahwa psikologi murni mengkaji gejala kejiwaan terhadap manusia, sedangkan psikologi sasta mengkaji gejala kejiwaan para tokoh yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Teori psikologi yang selalu dikaitkan dengan pengkajian psikologi sastra adalah teori psikologi Sigmund Freud. Sigmund Freud (dalam,Minderop, 2011: 39), mengkaji tiga konsep dasar psikoanalisis yang terdiri dari: (1) struktur kepribadian yang membahas tentang id, ego, dan superego, (2) dinamika kepribadian yang membahas tentang insting, kecemasan, phobia, mekanisme pertahanan ego dan emosi, (3) perkembangan kepribadian yang membahas tentang fase-fase atau tahap, perkembangan psikoseksual manusia. Pada konsep yang kedua inilah terdapat pembahasan tentang klasifikasi emosi. Klasifikasi emosi yang dimaksud adalah kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan yang dianggap sebagai emosi yang paling mendasar. 2.2.2 Hakikat Emosi Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (dalam Ahmadi, 2003 : 410) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada
dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara psikologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Emosi adalah semua jenis perasaan yang ada dalam diri seseorang. Emosi memiliki peran yang besar dalam dinamika jiwa dan mengendalikan tingkah laku seseorang. Contohnya: (1) Emosi dapat memperkuat semangat apabila seseorang merasa puas dan senang atas hasil yang dicapai. (2) Emosi dapat melemahkan semangat apabila timbul rasa kecewa atas kegagalan. (3) Emosi dapat mengganggu konsentrasi belajar, ketika ada kegagalan perasaan, misalnya: gugup, patah hati. (4) Emosi mengganggu penyesuaian sosial, misalnya; iri hati dan cemburu. Emosi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) Emosi sensori: emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh. Contoh: sakit, lelah, lapar, kenyang. (2) Emosi psikis: emosi yang disebabkan oleh alasan-alasan kejiwaan. Contoh: gembira, kagum, terpesona, simpati. Emosi akan merugikan apabila kita tidak dapat mengendalikan dan mengarahkannya. Sebagai contoh, memukul teman hanya karena masalah sepele. Akibatnya teman kita terluka dan kita mendapat hukuman dari bapak ibu guru dan orang tua di rumah. Selain itu, kita juga harus bertanggung jawab mengobati luka
teman kita. Sebaliknya, emosi akan menguntungkan dan bermanfaat bila kita dapat
mengendalikan
dan
mengarahkannya.
Orang-orang
yang
bisa
mengendalikan rasa marah, banyak disukai dan disegani oleh teman-temannya. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengendalikan emosi, yaitu: 1) Melakukan pemahaman diri tentang untung ruginya suatu emosi. 2) Melakukan perbaikan dalam hal cara berpikir. 3) Mengendalikan perasaan. 4) Mengendalikan cara berinteraksi dengan orang lain. 2.2.3 Jenis-jenis Emosi Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas: desire (hasrat), hate (benci), sorrow (sedih/duka), wonder (heran), love (cinta) dan joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson (dalam Sujatno, 1993: 200) mengemukakan tiga macam emosi, yaitu: fear (ketakutan), rage (kemarahan), love (cinta). Daniel Goleman (dalam Ahmadi, 2003: 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu: 1) Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati. 2) Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa. 3) Rasa
takut:
cemas,
gugup,
khawatir,
sekali,waspada, tidak tenang, ngeri.
was-was,
perasaan
takut
4) Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga. 5) Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, dan kemesraan. 6) Terkejut: terkesiap, terkejut. 7) Jengkel: hina, jijik, muak, mual, tidak suka. 8) Malu: malu hati, kesal. 2.2.4 Klasifikasi Emosi Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang membangkitkan perasaa-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan (Krech dalam Minderop, 2011: 40). Selain itu, kebencian atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu, dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci ialah timbulnya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/ enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya, perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas (Krech dalam Minderop, 2011: 40).
1) Rasa Bersalah Rasa bersalah bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan standar moral (implus expression versus moral standards). Semua kelompok masyarakat secara kultural memiliki peraturan untuk mengendalikan implus yang diawali dengan pendidikan semenjak masa kanak-kanak hingga dewasa, termaksud pengendalian nafsu seks. Seks dan agresi merupakan dua wilayah yang selalu menimbulkan konflik yang dihadapkan pada standar moral. Pelanggaran terhadap standar moral inilah yang menimbulkan rasa bersalah (Hilgard dalam Minderop, 2011: 40). 2) Rasa Bersalah yang Dipendam Dalam kasus rasa bersalah, seorang cenderung merasa bersalah dengan cara memendam dalam dirinya sendiri, memang ia biasanya bersikap baik, tetapi ia seorang yang buruk (dalam Minderop, 2011: 42). Rasa bersalah yang dipendam ini biasanya rasa bersalah yang sudah sangat mendalam dalam diri seseorang. Rasa bersalah yang dipendam ini juga sering membuat munculnya pemikiranpemikiran untuk berbuat sesuatu yang nekad dalam diri seseorang untuk menebus dan memperbaiki kesalahannya. 3) Menghukum Diri Sendiri Perasaan bersalah yang paling mengganggu adalah sebagaimana terdapat dalam sikap menghukum diri sendiri si individu terlihat sebagai sumber dari sikap bersalah. Rasa bersalah tipe ini memiliki implikasi terhadap berkembangnya gangguan-gangguan kepribadian yang terkait dengan kepribadian, penyakit mental dan psikoterapi (dalam Minderop, 2011: 42). Dari rasa bersalah yang
semakin dipendam tidak jarang juga menimbulkan sikap menghukum diri sendiri dalam diri seseorang. Biasanya seseorang tersebut menganggap dengan menghukum dirinya sendiri seperti menyalahkan dirinya atau terpuruk dalam kesalahannya membuat dia merasa lebih baik. 1) Rasa Malu Rasa malu berbeda dengan rasa bersalah. Timbulnya rasa malu tanpa terkait dengan rasa bersalah. Seseorang mungkin merasa malu ketika salah menggunakan garpu ketika hadir dalam pesta makan malam yang terhormat, tapi ia tidak merasa bersalah. Ia merasa malu karena merasa bodoh dan kurang bergengsi di hadapan orang lain. Orang itu tidak merasa bersalah karena ia tidak melanggar nilai-nilai moralitas. Perasaan ini tidak terdapat pada anak kecil (dalam Minderop, 2011: 43). 2) Kesedihan Kesedihan atau duka cita berhubungan dengan kehilangan sesuatu yang penting dan bernilai. Intensitas kesedihan tergantung pada nilai, biasanya kesedihan yang teramat sangat bila kehilangan orang yang dicintai. Kesedihan yang mendalam bisa juga karena kehilangan milik yang sangat berharga yang mengakibatkan kekecewaan atau penyesalan. Parkes (dalam Minderop, 2011: 44) menemukan bukti bahwa kesedihan yang berlarut-larut dapat mengakibatkan depresi dan putus asa yang menjurus pada kecemasan, akibatnya bisa menimbulkan insomnia, tidak memiliki nafsu makan, timbul perasaan jengkel, dan menjadi pemarah serta menarik diri dari pergaulan.
3) Kebencian Kebencian atau persaan benci berhubungan dengan perasaan marah, cemburu dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci adalah timbulnya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum meghancurkannya, bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas (Krech dalam Minderop, 2011: 44). 4) Cinta Psikolog merasa perlu mendefinisikan cinta dengan cara memahami mengapa timbul cinta dan apakah terdapat bentuk cinta yang berbeda. Gairah cinta dari cinta romantis tergantung pada si individu dan objek cinta adanya nafsu dan keinginan untuk bersama-sama. Gairah seksual yang kuat kerap tmbul dari perasaan cinta. Menurut kajian cinta romantis,c cinta dan suka pada dasarnya sama. Mengenai cinta seorang anak pada ibunya didasari kebutuhan perlindungan, demikian pula cinta ibu kepada anak adanya keinginan melindungi (Krech dalam Minderop, 2011: 45). 2.2.5 Hakikat Novel Novel adalah prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Istilah lain: roman (Sudjiman, 1990: 55). Novel juga merupakan cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Kramer (dalam Soedjarwo, 2004: 89), berpendapat novel atau
novela menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang luar biasa karena dari kejadian itu terlahir suatu konflik, suatu pertikaian yang mengubah jurusan mereka. Novel banyak menceritakan tentang keadaan sosial budaya sekelompok masyarakat dalam sebuah daerah ataupun sebuah Negara. Novel juga seiring menceritakan tentang keadaan hidup suatu kaum, perkembangan zaman, agama, dan pendidikan. Tak jarang juga novel banyak didasarkan pada kisah nyata seseorang yang dianggap pantas untuk dijadikan sebuah cerita. Novel Bunga di Atas Bara merupakan sebuah novel pembangun jiwa karya Syahriar Tato. Novel ini merupakan novel romantis sekaligus berbau kedaerahan. Disebutkan novel romantis dan kedaerahan karena novel ini mengankat tema percintaan yang dilihat dari gambaran tokoh-tokoh yang menjalankan jalannya cerita, jalannya cerita seputar percintaan dan cinta yang terlarang karena strata sosial dan adat istiadat yang terdapat pada suku Bugis 2.2.6 Hakikat Tokoh Sebuah karya sastra novel, tidak pernah terlepas dari peran serta tokoh dalam penceritaanya. Sebuah novel akan diminati pembaca karena peran tokoh dalam cerita yang dibuat oleh pengarang. Pada hakikatnya, tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Rahmanto dan Haryanto, 2001: 2,13).
2.2.7 Tokoh Tokoh atau biasa disebut “karakter” biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter merujuk pada berbagai percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut (Sayuti, 2000: 67) Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu “tokoh utama” yaitu tokoh yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Alasan seorang tokoh untuk bertindak sebagaimana yang dilakukan dinamakan “motivasi” (Stanton, 2007: 33). 2.2.8 Jenis Tokoh Berdasarkan pengertian tokoh di atas, dapat diuraikan kalsifikasi dan pelukisan watak tokoh di bawah ini. a.
Klasifikasi tokoh Tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra khususnya novel menurut
Waluyo,(2001:16) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Klasifikasi berdasarkan peran terhadap jalan cerita, terdapat tokoh-tokoh seperti di bawah ini. 1) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau figure tokoh protagonist utama, yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita.
2) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita, dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita. 3) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonist maupun tokoh antagonis. Klasifikasi berdasarkan peran dan fungsi tokoh dalam cerita, maka terdapat tokoh-tokoh sebagai berikut: 1) Tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak cerita. Mereka merupakan proses perputaran cerita. Tokoh sentral merupakan biang keladi pertikaian. Dalam hal ini tokoh sentral adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis. 2) Tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau tokoh penentang tokoh sentral. Tokoh utama dapat juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral. Dalam hal ini adalah tokoh tritagonis. 3) Tokoh pembatu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rangkai cerita. Kehadiran tokoh pembantu ini menurut kebutuhan cerita saja. Tidak semua cerita menampilkan kehadiran tokoh pembantu. b.
Watak tokoh Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, harus memiliki watak yang
konsisten dari awal hinnga akhir cerita. Pelukisan watak pemain/tokoh dapat langsung diketahui dari dialog dan perkembangan cerita yang dimainkan. Konsistensi watak dari awal hingga akhir harus dipegang terus. Jika seorang
memerankan tokoh gelisah jiwanya, maka dari awal hinnga akhir cerita ia harus menunjukan watak psikologi demikian. Pembinaan watak secara psikologis ini memerlukan watak yang cukup. Dalam karya sastra novel, cara pengarang melukiskan watak tokoh dapat diketahui dari tujuh cara di bawah ini (Waluyo, 2001: 19-20). 1) Phisical description; pengarang menggambarkan watak tokoh cerita melalui pemerian (deskripsi) bentuk lahir atau tempramen tokoh. 2) Portrayal of thought steam of conscious thought; pengarang melukiskan jalan pikiran tokoh atau apa yang terlintas pada jalan pikirannya. 3) Reaction of events; pengarang melukiskan bagaimana reaksi tokoh terhadap peristiwa tertentu. 4) Direct author analysis; pengarang secara langsung menganalisis atau melukiskan watak tokoh. 5) Discussion of environment; pengarang melukiskan kedaan sekitar pelaku, sehinnga pembaca dapat menyimpulkan watak tokoh tersebut. 6) Reaction of others of character; pengarang melukiskan pandanganpandangan tokoh lain (tokoh bawahan) dalam suatu cerita tentang tokoh utama. 7) Conversation of other character; pengarang melukiskan watak tokoh utama melalui perbincangan atau dialog para tokoh lain.