BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGIS SASTRA, DAN RIWAYAT HIDUP HARUKI MURAKAMI
2.1 Defenisi Novel Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:9), menyatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia yaitu Novella yang secara harfiah yang berarti sebuah barang baru yang kecil yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya satra. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disebut fiksi. Karya fiksi menyarankan pada suatu karya sastra yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannyapada dunia nyata (Nurgiyantoro, 1995:2). Dan menurut Takeo dalam Pujiono (2002:3), novel merupakan sesuatu yang menggambarkan kehidupan sehari-hari didalam masyarakat meskipun kejadiannya tidak nyata. Diantara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama, genre prosalah, khususnya novel yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat ditemukan diantaranya: 1.
Novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas.
2.
Bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Karya-karya modern klasik dalam kesusastraan, kebanyakan berisi karyakarya novel. Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling populer di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Banyak sastrawan yang memberikan batasan atau defenisi novel. Batasan atau defenisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda. Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan defenisi novel antara lain sebagai berikut: 1.
Fielding dalam Atmaja (1986:44) mengatakan bahwa novel merupakan modifikasi dunia modern paling logis, dan merupakan kelanjutan dari dunia epik. Pernyataan ini tidak saja terbukti kebenarannya namun relevan untuk situasi kini, suatu masa dimana novelis tidak lagi menampilkan segisegi sosial dan psikologis didalam permasalahan masyarakat biasa.
2.
Wellek dan Warren (1995:282) novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis yang bersifat realistis dan mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.
3.
Jacob Sumardjo (1999:11-12) novel adalah genre sastrayang berupa cerita, mudah dibaca dan dicernakan, juga kebanyakan mengandung unsur suspense dalam alur ceritanya yang mudah menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya. Namun ada juga yang berpendapat bahwa novel merupakan cermin
masyarakat. Pendapat ini ada benarnya namun adapula tidak benarnya. Yang
Universitas Sumatera Utara
membenarkan pendapat ini berasumsi bahwa novel atau cerita rekaan itu memberikan bayangan tentang apa yang terjadi dalam masyarakat pada suatu zaman walaupun tokoh-tokohnya bukan tokoh yang sesungguhnya. Misalnya Siti Nurbaya karya Mara Rusli. Dalam kenyataan peristiwa itu memang ada, tetapi peristiwa dalam cerita tidak sama persis dengan yang ada dalam kenyataan karena pengarang telah memperkaya cerita ini dengan imajinasinya. Jika sama benar yang diceritakan pengarang cerita dengan peristiwa yang disampaikannya, maka tulisan itu bukan cerita lagi melainkan laporan peristiwa. Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa novel atau cerita rekaan bukan cermin, masyarakat berasumsi bahwa cerita itu semata-mata berisi imajinasi pengarang. Jadi, apa yang diceritakan pengarang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia nyata (Rustapa, 1990:7). Novel dapat memberi dampak positif bagi pembacanya karena novel itu memberikan manfaat pendidikan atau hiburan. Akan tetapi, tidak sedikit novel yang memberikan dampak negatif, misalnya novel yang didalamnya terdapat adegan-adegan yang kasar atau adegan yang dapat menimbulkan dorongan seksual kepada pembaca. 2.1.1 Unsur Intrinsik Novel Dalam sebuah novel terkandung unsur-unsur struktur yang membentuk novel tersebut. Unsur-unsur struktur novel tersebut adalah tema, penokohan, alur, latar, gaya bahasa, dan sudut pandang.
Universitas Sumatera Utara
A. Tema Tema
adalah
ide,
gagasan,
pandangan
hidup
pengarang
yang
melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra sangat beragam. Tema bisa berupa persoalan, moral, etika, agama, sosial, budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa berupa
pandangan
pengarang,
ide,
atau
keinginan
pengarang
yang
mensiasatipersoalan yang muncul. Tema ibarat dasar pada sebuah bangunan. Tema merupaka dasar segala penggambaran tokoh, penyusunan alur, dan penentuan latar. Tema tidak dituliskan secara eksplisit. Kita dapat menentukan tema novel setelah kita membaca keseluruhan cerita. Jadi tema tidak dapat dilihat secara konkret, tetapi harus dipikirkan dan dirasakan, baru dapat disimpulkan (Rustapa, 1990:11). Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel. Aminuddin (2000: 92) menjelaskan bahwa ada langkah-langkah yang harus pembaca perhatikan untuk memahami tema dari sebuah karya fiksi, yakni : 1.
Memahami isi setting dalam prosa fiksi yang dibaca.
2.
Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.
3.
Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.
4.
Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
Universitas Sumatera Utara
5.
Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.
6.
Menentukan sikap penyair terhadap poko-pokok pikiran yang ditampilkan.
7.
Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan.
8.
Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya.
B. Penokohan Yang dimaksud penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana perilaku tokoh-tokoh tersebut. Ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian, sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh yang ditampilkan. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Penampilan dan penggambaran sang tokoh harus mendukung watak tokoh tersebut secara wajar. Apabila penggambaran tokoh kurang selaras dengan watak yang dimilikinya atau bahkan sama sekali tidak mendukung watak tokoh yang digambarkan, jelas akan mengurangi bobot ceritanya (Suroto, 1989:92-93). Peran setiap tokoh dalam sebuah cerita tidak sama. Setiap tokoh memiliki peranannya masing-masing. Tokoh yang memiliki peranan penting dalam sebuah cerita biasa disebut tokoh utama. Sedangkan tokoh yang peranannya tidak terlalu penting biasa disebut tokoh pembantu atau tokoh tambahan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya memahami watak pelaku, pembaca dapat menelusuri lewat (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana prilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu menceritakan dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain membicarakannya, (7) melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh lain bereaksi terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya (Aminuddin, 2000: 81). C. Alur/Plot Salah satu elemen terpenting dalam membentuk karya fiksi adalah plot. Dalam analisis cerita plot sering juga disebut dengan alur. Alur atau plot pada karya sastra pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapantahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam (Aminuddin, 2000:83). Secara tradisional plot cerita prosa disusun berdasarkan berdasarkan urutan sebagai berikut : 1.
Perkenalan
2.
Pertikaian
3.
Perumitan
4.
Klimaks
5.
Peleraian
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, alur dapat alur dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1. Alur maju Alur maju adalah alur yang peristiwanya disusun secara kronologis. Dimulai dari perkenalan, kemudian peristiwa itu bergerak, keadaan mulai memuncak, diikuti dengan klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian. 2. Alur mundur Alur mundur adalah alur yang urutan peristiwanya dimulai dari peristiwa terakhir kemudian kembali pada peristiwa pertama, peristiwa kedua, dan seterusnya sampai kembali lagi keperistiwa terakhir tadi. Dalam susunan alur yang demikian biasanya pengarang mulai dengan menampilkan peristiwa sekarang kemudian pengarang menceritakan masa lampau tokoh utama yang mengakibatkan sang tokoh terlibat dalam peristiwa sekarang terjadi. 3. Alur campuran Alur campuran adalah alur cerita yang memiliki campuran alur maju dan mundur. Biasanya cerita ini dimulai ditengah-tengah. Sementara cerita berkembang maju, beberapa kali ditampilkan beberapa potongan flashback yang menjelaskan latar belakang cerita. (http://informasi-doni-blogspot.com/2012/09/pengertian-alur-majumundurdan-campuran.html). Berdasarkan pengertian alur yang telah diuraiakan diatas, alur yang terdapat dalam novel “1Q84” adalah alur campuran. Hal ini tergambar jelas dari urutan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel terbut, yaitu dimulai dari awal kisah tokoh Aomame diceritakan saat usia dewasa ketika kerja di petihan bela diri
Universitas Sumatera Utara
kemudian kembali pada masa saat Aomame masih kecil dan berakhir saat Aomame menemukan Tengo lelaki yang dicintainya sejak kecil hingga dewasa. D. Latar Latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Sudah tentu latar yang dikemukakan, yang berhubungan dengan sang tokoh atau beberapa tokoh (Suroto, 1989:94). Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:216), mengungkapkan bahwa setting dan latar disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar berfungsi sebagai pendukung alur atau perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkannya. Hal itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung, buku, atau informasi dari orang lain. E. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah unsur lain yang terpenting dalam karya sastra. Di dalam sebuah cerita, seorang pengarang tentu berharap agar buah pikirannya dapat dipahami dan dinikmati pembacanya. Oleh karena itu, melalui imajinasinya pengarang berupaya memilih kata-kata yang ditata dalam rangkaian kalimat yang sederhana. Ia memadukan kata demi kata sehingga tercipta bahasa yang indah dan dapat menarik minat pembaca. Dengan kata lain, seorang pengarang
Universitas Sumatera Utara
menggunakan gaya bahasa tersendiri didalam menyusun karyanya (Ruspata, 1990:49). F. Sudut Pandang Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:248), sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang adalah tempat sastrawan membaca ceritanya. Dari sudut pandang itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri. Sudut pandang pada cara sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dalam ceritanya. 2.1.2 Unsur Ekstrinsik Novel Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar tubuh karya sastra itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur luar sastra yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur tersebut latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain (Suroto, 1989:138).
Universitas Sumatera Utara
Unsur ekstrinsik untuk tiap bentuk karya sastra sama. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita. Seorang pengarang yang baik akan selalu mempelajari segala macam persoalan hidup manusia. Hal ini berkaitan dengan misi seorang pengarang yang selalu berhubungan dengan manusia dengan selukbeluknya. Seorang pengarang yang kurang mengetahui dan kurang bisa menyelami kehidupan manusia dengan keunikan-keunikannya hanya akan menghasilkan sebuah karya yang hambar atau janggal. Pengetahuan yang tidak kalah penting bagi seorang pengarang adalah ilmu jiwa. Dengan ilmu jiwa yang cukup memadai maka ia akan mampu menampilkan perwatakan yang pas. Dengan pengetahuan ilmu jiwa, pengarang akan menggambarkan gerak dan tingkah laku yang cocok dengan jiwa dan batinnya. Tidak hanya itu saja yang perlu diketahui. Pengetahuan sosial budaya suatu masyarakat, seluk-beluk kehidupan masyarakat modernpun perlu dipelajari. Pokoknya semua aspek kehidupan manusia dimana saja dan kapan sajaperlu diketahui guna menunjang keberhasilan sebuah cerita. Selain unsur-unsur yang datangnya dari luar diri pengarang, hal-hal yang sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarangpun cukup besar pengaruhnya terhadap terciptanya suatu karya sastra (Suroto, 1989:139). 2.2 Defenisi Sosiologi Sastra Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti
Universitas Sumatera Utara
ilmu. Jadi, sosiologis berarti ilmu mengenai asal–usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi. Akhiran kata tra berarti alat, sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar , buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1-2). Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2008:77). Secara institusional obyek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan obyek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan mengasilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalaui analisis ilmiah dan obyektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subyektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, Damono (1978:6-8), apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat
Universitas Sumatera Utara
yang sama, maka hasil karyanya akan berbeda. Hakikat sosiologi adalah obyektivitas dan kreatifitas, sesuai dengan panjang masing-masing karangan. Karya sastra yang sama dianggap plagiat. Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan obyektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa sebab bahasa merupakan milik bersama, didalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subyektif, sebagai kenyataan yang diciptakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwi arah, yaitu antara kenyataan dengan rekaan (Teew, 1984:224-249). Sastra merupakan releksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialetik yang dikembangkan dalam karya satra. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasa lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra
Universitas Sumatera Utara
dilihat sebagai suatu pantulan zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulsi tetap ada dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul penuh kedalam karya sastra. Hal terpenting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis. Secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang: a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara obyektif. b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya. c. Studi proses sosial. Yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya. Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap struktur sosial. Aspe-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yakni: a. Konsep stabilitas sosial. b. Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda. c. Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya. d. Bagaimana proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat. e. Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke kapitalisme.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan yang amat populer dalam studi sosiologi sastra adalah pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadi cermin bagi
zamannya. Dalam
pandangan
Lowenthal
Swingewood, 1972:16-17) sastra sebagai cermin nilai dan
(Laurenson dan perasaan, akan
merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan kedaaan masyarakat lewat karyanya, tanpa terlalu banyak diimajinasikan. Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. 2.2.1 Masalah Sosial Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak inginkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Hal itu disebabkan karena gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau norma dan nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik fisik maupun non fisik (Soetomo, 1995:1). Parillo dalam Soetomo (1995:4) menyatakan bahwa untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu memahami 4 komponen yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1.
Masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu.
2.
Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik pada individu maupun masyarakat.
3.
Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari suatu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat.
4.
Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan. Sementara itu tidak semua masalah dalam kehidupan manusia merupakan
masalah sosial. Masalah sosial pada dasarnya adalah masalah yang terjadi dalam antar hubungan warga masyarakat. Dengan demikian menyangkut aturan dalam hubungan bersama baik formal maupun informal. Masalah sosial terjadi apabila: 1.
Banyak terjadi hubungan antar warga masyarakat yang menghambat pencapaian tujuan penting dari sebagian besar warga masyarakat.
2.
Organisasi sosial mengahadapi ancaman serius oleh ketidakmampuan mengatur hubungan antar warga.
2.2.2 Klasifikasi Masalah Sosial Masalah sosial yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah kondisi yang terjadi setelah berlangsungnya suatu aktifitas pembangunan masyarakat. Mengingat bahwa gejala sosial merupakan fenomena yang saling kait mengait, maka tidak mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan pada aspek yang lain. Terjadinya, dampak yang tidak dikehendaki
itulah yang kemudian dikategorikan kedalam masalah sosial
(Soetomo, 1995:165).
Universitas Sumatera Utara
Masalah sosial yang timbul itu bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Oleh sebab itulah maka lebih tepat disebut sebagai efek samping dari pembangunan masyarakat. Efek samping yang terjadi dapat bersumber dari dimensi sosial maupun fisik. Yang berasal dari dimensi sosial misalnya memudarnya nilai-nilai sosial masyarakat, merosotnya kekuatan berbagai pengikut
norma-norma
sosial
sehingga
menimbulkan
bentuk
perilaku
menyimpang serta ketergantungan masyarakat terhadap pihak lain sebagai akibat sistem intervensi pembangunan yang kurang proporsional. Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek samping dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, keberhasilan, dana terutama pada kesehatan masyarakat. Sedangkan dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses pembangunan itu sendiri. Perubahan yang terjadi melalui proses pembangunan seringkali merupakan perubahan yang dipercepat dalam rangka mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan segera mungkin. Dengan demikian, dapat dipahami apabila pembangunan juga akan menyebabkan perubahan lingkungan. 2.3 Kehidupan Keyakinan Minoritas di Dalam Masyarakat Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir dimana ada mayoritas, baik di bidang agama, ekonomi, moral, politik, dan sebagainya, yang minoritas lebih mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas. Hubungan antar kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
konflik social yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat (Schwingenschlögl, 2007). Dalam kajian sosiologis, kelompok keagamaan adalah buah dari gerakan sosial, sehingga perilaku yang timbul dari individu di dalamnya sarat dengan simbol-simbol agama. Fenoma konflik sosial dalam hal menganut keyakinan beragama mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Misalnya di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah yang beragama Islam sebagai kelompok mayoritas, sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai
kelompok
minoritas
sering
mengalami
kerugian
fisik,
seperti
pengerusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat. Seperti halnya dengan kisah Aomame. Aomame yang merupakan penganut agama Jemaat Saksi yang merupakan kelompok minoritas di lingkungannya, banyak mengalami perlakuan yang tidak baik dari lingkungan di sekitarnya. Baik itu di lingkungan dekat rumahnya maupun di lingkungan tempat Aomame bersekolah. Aomame sering mendapaat cemooh dari orang-orang maupun teman sekelasnya karena menganggap tingkah Aomame sangat aneh dan tidak wajar ketika sedang menjalankan perintah agamanya. Ketika Aomame dan ibunya berkeliling ke rumah-rumah penduduk untuk mengajak orang-orang agar mengikuti ajaran agama Jemaat saksi, Aomame dan ibunya malah dicaci maki dan
Universitas Sumatera Utara
di hina-hina oleh orang-orang tersebut. Walaupun kelompok Aomame yang minoris sering mendapatkan perlakuan kasar dari masyarakat di sekitar tempat tinggal Aomame dan bahkan dikucilkan, mereka tidak pernah menyerah untuk mengajak orang-orang agar mengikuti ajaran Jemaat saksi. 2.4 Latar/Setting Novel 1Q84 Latar atau setting adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat dan waktu (Pradopo dalam Sangidu, 2007:139). Latar dalam karya sastra tidak harus berbentuk realitas yang bersifat objektif, tetapi dapat juga berbentuk realitas yang bersifat imajinatif. Latar di dalam novel “1Q84” karya Haruki Murakami meliputi setting tempat dan setting waktu. Latar tempat yang dimaksud adalah Tokyo yang merupakan ibu kota Jepang, sedangkan latar waktunya adalah sekitar tahun 1984. Selain itu, terdapat latar tempat yang lainnya, yaitu sebuah SD XX Kotapraja, disanalah tokoh utama menimba ilmu, dan mendapatkan perlakuan yang berbeda sebagai penganut “jemaat saksi” yang menjadi awal timbulnya permasalahan. 2.5 Riwayat Hidup Haruki Murakami dan Karya-Karyanya A. Riwayat Hidup Haruki Murakami Haruki Murakami adalah salah satu penulis novel kontemporer Jepang yang menggabungkan nilai-nilai tradisi Jepang dengan pengaruh budaya Amerika dan Eropa dalam setiap karya-karyanya. Murakami lahir di Kyoto pada tanggal 12 Januari 1949, tetapi dibesarkan di Ashiya, Hyogo. Kedua orang tuanya mengajarkan kebudayaan Jepang. Namun, Murakami lebih tertarik pada cerita
Universitas Sumatera Utara
detektif Amerika dan cerita fiksi ilmiah. Murakami lebih lebih suka berada di kamar sambil mendengarkan musik jazz dan rock and roll Amerika, menonton acara televisi Amerika dan membaca novel Amerika. Pada tahun 1968 Murakami pindah ke Tokyo untuk melanjutkan studi Jurusan Drama Yunani di Universitas Waseda dan lulus tahun 1975. Tahun 1974 Murakami bersama istrinya Yoko Takahashi membuka club jazz bersama Kokubunji di Tokyo yang mereka kelola hingga tahun 1981. Antara tahun 1986 hingga tahun 1989 Murakami tinggal di Yunani. Penulis produktif ini sempat mengajar di Universitas Princeton dan Universitas William Howard Taft. Setelah menghabiskan waktu di luar negeri, Murakami kembali ke Jepang tahun 1995. Murakami mulai menulis pada tahun 1970-an. Novel pertamanya Kaze no Uta o Kike (Dengarlah Nyanyian Angin). Hingga ini ia telah banyak mendapat penghargaan, diantaranya fraz Kafka dan Kiriyama Prize. Haruki Murakami merupakan salah satu kandidat penerima nobel kesusasteraan 2008. Karyakaryanya telah diterjemahkan dalam 36 bahasa di dunia dan membuahkan berbagai penghargaan prestius. Kini penulis yang hobi berlari marathon ini tinggal di Tokyo. B. Karya-Karya Haruki Murakami Haruki Murakami telah banyak menghasilkan karya-karya terkenal baik di Jepang maupun di dunia internasional. Namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia kesusastraan dunia. Murakami mulai menulis novel pada tahun 1970. Berikut adalah karya-karya Haruki Murakami yaitu: 1. Kaze no Uta Kike – Hear the wind Sing (1979) 2. Sen Kyuhyaku Nanaju San Nen no Pinboru – Pinball (1980)
Universitas Sumatera Utara
3. Hitsuji o Meguru Boken – A Wild Sheep Chase (1982) 4. Zozo Kojo Ni Happiendo (1983) 5. Kangaru Biyori (1983) 6. Chugoku Iki no Surou Boto (1983) 7. Murakami Asahido (1984) 8. Nami no E, Nami no Hanashi (1984) 9. Hotaru Naya o Yaku Sonota no Tanpen (1984) 10. Kaiten Mokuba No Deddo Hito (1985) 11. Sekai no Owari to Hadoboirudo Wandarando (1985) 12. Hitsuji Otoko no Kurishimasu (1985) 13. Rangeruhansuto no Gogo (1986) 14. Panya Saishugeki (1986) 15. Murakami Asahido no Gyakushu (1986) 16. Noruwei no Mori (1987) 17. The Scrap Natsukashi no 1980 Nendai (1987) 18. Hi Izuru Kuni no Kojo (1987) 19. Za Sukotto Fitsugerarudo Bukku (1988) 20. Dansu, Dansu, Dansu (1988) 21. Murakami Asahido Haiho (1989) 22. Toi Taiko (1990) 23. Uten Enten (1990) 24. Murakami Haruki Zenshakuhin (1979-1989) 25. Kekyoh no Minami, Taiyo no Nishi (1992) 26. The Elephant Vanishes Stories (1993)
Universitas Sumatera Utara
27. Nejimaki-Dori Kuronikuru (1994-1995) 28. Andaguraundo/Yakusoku Sureta Basho De (1997-1998) 29. Sapuuto Niko no Koibito (1999) 30. Kami no Kodomotachi wa Nuba Idoru (2000) 31. Umibe no Kafuka (2002) 32. Afutadaku (2004) 33. Tokyo Kitanshu (2005) 34. Blind Willow, Sleeping Woman (2006) 35. What I Talk About When I Talk About Running (2008) 36. Murakami Diary (2009) 2.6 Sinopsis Cerita Novel 1Q84 “1Q84” adalah sebuah novel karangan Haruki Murakami yang menceritakan tentang kisah kehidupan seorang wanita muda bernama Aomame dimana Aomame Masami mulai melihat kejanggalan dunia di sekitarnya. Aomame sadar tengah memasuki dunia yang penuh teka-teki, yang disebutnya 1Q84-Q kependekan question mark (tanda tanya). Dunia yang mengandung penuh dengan tanda tanya. Aomame berasal dari keluarga yang menganut sekte keagamaan bernama “Jemaat Saksi“. Sekte agama kristen, mendukung eskatologi, melakukan kegiatan pengabaran Injil dengan giat, dan menganut apa yang tertulis di dalam Kitab Suci secara harfiah. Ayah Aomame, Aomame Takayuki (58 tahun), bekerja di perusahaan teknik, sedangkan ibu Aomame, Aomame Keiko (56 tahun), tidak bekerja. Kakak Aomame, Aomame Keiichi (34 tahun ), lulus SMA prefektur di
Universitas Sumatera Utara
Ichikawa, lalu bekerja di percetakan Tokyo, namun mengundurkan diri tiga tahun kemudian, lantas bekerja di kantor pusat Jemaat Saksi di Odawara. Dalam ajaran agamanya, karena dengan alasan “diharamkan“ Aomame tidak pernah menghadiri acara natal, tidak pernah ikut tamasya atau darmawisata sekolah yang bertujuan mengunjungi altar pemujaan Shinto atau kuil Buddha. Tidak pernah ikut pesta olah raga, tidak pernah menyanyikan lagu sekolah maupun lagu kebangsaan, dan tidak protes kalau disuruh memakai pakaian bekas. Mau tidak mau, Aomame harus menuruti itu semua karena orang tuanya. Dan tingkah laku yang dianggap ekstrim seperti itu membuat Aomame semakin terkucil dari teman–teman sekelasnya. Aomame sendiri memang bukan orang yang suka bergaul. Semasih duduk dibangku SD, Aomame hampir tidak pernah berbicara dengan teman sekelasnya. Lebih tepatnya, tak ada seorangpun yang mau berbicara dengan Aomame, kecuali ada urusan penting. Aomame diperlakukan seperti benda asing “kelihatan aneh sekali” dan seharusnya dibuang dan diabaikan. Aomame sendiri merasa perlakuan yang diterimya tidak adil. Hanya karena keadaan Aomame yang harus selalu mematuhi peraturan orang tuanya membuat Aomame benar-benar dikucilkan di sekolah. Teman-teman Aomame sebenarnya tidak mengetahui penyebab tingkah aneh Aomame, dan memang tidak ingin tahu dan memahami kondisi diri yang sedang dialami Aomame. Teman-teman sekelasnya jijik kepada Aomame, dan bahkan guru-gurunya jelas menganggap kehadiran Aomame merepotkan. Namun Aomame tidak pernah merasa menyerah dengan keadaannya. Walaupun Aomame dikucilkan oleh teman-temannya, Aomame tetap masuk sekolah setiap hari dan melakukan ritual-ritual yang diajarkan agamanya dengan penuh percaya diri yaitu
Universitas Sumatera Utara
melakukan ritual doa sebelum makan dengan suara yang lantang. Karena kalau Aomame tidak melakukan ritual yang diajarkan agamanya dan bolos masuk sekolah, Aomame justru akan merasa kalah dari teman-teman sekelas dan gurunya. Sebelum akhirnya Aomame memutuskan untuk pindah sekolah dan meninggalkan rumahnya, ada kejadian yang membuatnya lebih merasa nyaman berada di sekolah. Ketika sosok laki-laki teman sekelasnya yang bernama Tengo membantunya dari kejahatan yang dilakukan teman sekelasnya. Kejadian itu bermula ketika dalam pelajaran IPA, Aomame dibentak keras oleh teman sekelompoknya hanya karena Aomame membuat kesalahan dalam eksperimennya. Tengo yang melihat kejadian itu tanpa ragu-ragu dan secara spontan mengajak Aomame pindah ke kelompoknya tanpa mempedulikan reaksi teman sekelompok Aomame. Kemudian Tengo menjelaskan prosedur eksperimen secara seksama kepada Aomame, dan Aomame pun mendengarkan penjelasan Tengo dengan seksama sehingga Aomame tidak pernah membuat kesalahan sama lagi. Itulah pertama kalinya Aomame mendapat perlakuan baik dari teman sekelasnya. Pada sore yang cerah diawal Desember, Tengo dan Aomame sama-sama berada di dalam kelas. Tak ada orang lain. Pada saat itu, tanpa ada keraguan Aomame menyeberang ruang kelas dengan langkah cepat, menghampiri Tengo, lalu berdiri disampingnya. Kemudian Aomame menggenggam tangan Tengo, dan mendongak untuk menatap wajah Tengo, pandangan Tengo dan Aomame pun beradu. Genggaman tangan yang dilakukan Aomame terhadap Tengo berlangsung cukup lama namun tidak ada percakapan yang terjadi antara Aomame dan Tengo. Setelah itu Aomame melepaskan genggaman tangannya dan berlari kecil keluar
Universitas Sumatera Utara
dari ruangan kelas. Kejadian itu terus membekas dalam hati dan pikiran Aomame dan berlalu begitu saja. Ketika duduk di kelas 5 SD, Aomame memutuskan untuk memisahkan diri dari kedua orang tuanya dan ikut pamannya. Aomame merasa tidak sanggup mengikuti aturan-aturan yang diajarkan agamanya. Walau keluarga pamannya memahami keadaan Aomame, tetap saja Aomame merasa sebatangkara dan haus akan kasih sayang. Tanpa mengetahui kemana harus mencari tujuan dan makna hidup, Aomame melewati hari demi hari dengan hati yang hampa. Semasa SMP dan SMA, Aomame mengabdikan diri kepada olah raga sofbol dengan penuh semangat. Di SMP maupun SMA Aomame menjadi pemain inti di dalam timnya. Berkat kemampuannya yang bagus dalam bermain sofbol maupun kemampuannya yang lihai dalam mengatur strategi permainan, Aomame selalu dibanggakan dan dibutuhkan oleh timnya. Pada saat itulah Aomame merasa percaya diri dan bahagia karena kehadirannya dibutuhkan oleh orang lain. Berkat kemampuan Aomame, semakin hari timnya menjadi kuat dan berhasil memenangkan pertandingan tingkat ibu kota Tokyo dalam kejuaraan Nasional tingkat SMA. Ketika SMA, Aomame memiliki sahabat bernama Tamaki. Mereka sama-sama pemain inti dalam olah raga sofbol. Tamaki sendiri berasal dari keluarga yang kaya, namun kedua orang tua Tamaki memiliki hubungan yang kurang baik sehingga membuat Tamaki sering mencari kebahagiaan di luar rumah. Salah satunya ikut bergabung dalam tim sofbol. Aomame dan Tamaki menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat. Ketika memiliki waktu senggang, mereka berdua sering pergi bertamasya bersama. Setamat SMA, Aomame melanjutkan sekolah di Universitas Pendidikan Jasmani. Aomame mempelajari
Universitas Sumatera Utara
ilmu kesehatan olah raga dan juga tertarik untuk mempelajari seni bela diri. Waktu Aomame dihabiskan untuk belajar. Tak ada waktu untuk iseng-iseng. Tamaki sendiri masuk Fakultas Hukum di Universitas Swasta. Sepekan sekali Aomame dan Tamaki bertemu dan berbincang-bincang tentang banyak hal. Namun pada musim gugur Tamaki kehilangan keperawanannya lebih tepatnya diperkosa. Kejadian itu membuat Tamaki sangat terpukul. Mengetahui kejadian yang menimpa sahabatnya, Aomame pun berusaha menghibur Tamaki. Aomame mengusulkan kepada Tamakai agar menghukum lelaki itu, namun Tamaki tidak setuju. Dalam hal membina hubungan kekasih Tamaki selalu gagal hingga suatu ketika Tamaki pernah melakukan aborsi dua kali. Sedangkan Aomame tidak pernah berpikir untuk memiliki kekasih karna alasan sibuk dengan kegiatan sehari-hari. Setelah mengantongi ijazah S1, Tamaki melanjutkan masuk program pasca-sarjana dan Aomame mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang memproduksi minuman energi dan makanan kesehatan. Seperti saat kuliah, Aomame dan Tamaki makan bersama di akhir pekan. Ketika berusia 24 tahun, Tamaki menikah dengan laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya. Hidup Tamaki pun semakin berantakan setelah menikah. Tamaki semakin jarang bertemu dengan Aomame. Mereka lebih sering berkomunikasi lewat surat. Suatu ketika Aomame menerima kabar bahwa sahabat terbaiknya bunuh diri. Ternyata sebelum bunuh diri Tamaki sempat menulis surat untuk Aomame yang mengatakan bahwa sebenarnya kehidupan pernikahannya bagaikan hidup dalam neraka. Tamaki sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Aomame pun merasa sangat sedih mengetahui sahabat karibnya sudah meninggal karena bunuh diri. Aomame merasa menyesal karena tidak bisa
Universitas Sumatera Utara
melakukan apa-apa untuk menolong Tamaki. Saat itu Aomame tidak pernah menyukai lelaki manapun kecuali Tengo, lelaki yang digenggam tangannya oleh Aomame ketika berusia 10 tahun. Tidak berapa lama setelah kehilangan sahabatnya, Aomame berhenti bekerja dari perusahaan minuman energi. Kemudian Aomame kembali bekerja sebagai pelatih andal di pusat kebugaran kelas atas. Saat mengajarkan kelas seni bela diri, Aomame bertemu seorang wanita tua dari Puri Dedalu. Wanita tua itu ikut kelas seni bela diri yang diajarkan oleh Aomame. Keesokan harinya Aomame menerima amplop yang berisikan bahwa wanita tua itu ingin Aomame mengajarkan private di rumahnya dan Aomame pun menerimanya. Dan saat itulah Aomame mulai merasa menaglami perubahanperubahan yang aneh yang terjadi dalam hidupnya. Ternyata selain menjadi pelatih pribadi wanita tua itu, Aomame juga diminta menjadi pembunuh bayaran. Aomame diminta membunuh setiap lelaki yang memiliki catatan buruk yaitu suka menganiaya perempuan. Ketika Aomame sedang dalam perjalanan untuk melakukan tugasnya membunuh seorang laki-laki yang menganiaya isitrinya, Aomame banyak mengalami kejadian aneh di sekitarnya. Saat terjebak dalam kemacetan, di dalam taksi Aomame mendengarkan musik yang sebelumnya ia tidak pernah dengar namun tanpa sadar Aomame mengucapkan judul lagunya. Melihat Aomame yang sedang gelisah, sopir taksi menyarankan Aomame untuk menuruni tangga darurat yang berada di ujung jalan. Aomame pun menuruti saran sopir taksi. Aomame juga melihat polisi membawa revolver model lama. Aomame merasa sangat bingung dengan apa yang dialaminya. Keesokan harinya, Aomame mencermati makna dari lagu yang didengarnya dalam taksi, kemudian
Universitas Sumatera Utara
berusaha mencari petunjuk tentang hubungan macam apa yang terjalin antara Aomame dengan musik sinfonietta yang didengarnya dalam taksi. Aomame berusaha membuat hipotesis untuk meyakinkan dirinya dengan apa yang sudah dialaminya. Aomame merasa berada di dunia baru. Dunia yang diberi nama 1Q84. Q adalah singkatan dari “question mark” tanda tanya. Dunia yang penuh dengan tanda tanya. Aomame juga melihat ada dua bulan di langit. Aomame semakin banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya ketika wanita tua itu memberikan tugas yang sangat berat dan beresiko tinggi. Aomame diminta untuk membunuh laki-laki yang menjadi seorang pemimpin dalam sekte keagaman. Semua keamanan dan resiko yang akan dialami Aomame sudah diperhitungkan ketika ia akan membunuh lelaki yang menjadi pemimpin dalam sekte keagamaan tersebut. Ketika Aomame ingin membunuh sang pemimpin, ternyata niatnya diketahui sang pemimpin. Namun lelaki itu tidak menghalangi niat Aomame, bahkan lelaki itu menyuruhnya agar Aomame segera menghabisi nyawanya. Aomame pun melanjutkan rencananya. Setelah Aomame berhasil membunuh sang pemimpin, ia langsung bersembunyi di tempat apartemen yang sudah disiapkan oleh wanita tua itu. Hari demi hari dilalui Aomame dengan bersembunyi di apartemen. Beberapa minggu setelah kejadian ketika Aomame membunuh sang pemimpin, Ia merasa ada sesuatu yang aneh di dalam perutnya. Aomame merasakan ada makhluk yang bernafas dalam perutnya. Ternyata Aomame hamil. Dan entah kenapa, Aomame merasa bahwa kehamilannya ada hubungannya dengan Tengo. Yaitu lelaki yang digenngam tangannya saat berusia 10 tahun. Aomame melakukan aktivitas seperti biasa setiap harinya. Pada malam
Universitas Sumatera Utara
hari, Aomame memandang ke arah langit melihat dua bulan, dan tidak jauh dari apartemen Aomame ternyata Tengo juga sedang melihat ke arah langit. Di dunia 1Q84 Aomame merasa akan dipertemukan dengan Tengo. Saat Aomame memandang ke arah langit, tiba-tiba ia melihat sosok laki-laki berada di taman dekat apartemennya. Entah kenapa Aomame merasa yakin bahwa lelaki yang dilihatnya itu adalah sosok Tengo yang sangat dicintainya ketika masih SD, bahkan sampai sekarang. Tiba-tiba sosok yang dilihatnya menghilang begitu saja. Berharap akan melihat lelaki itu lagi, setiap malam Aomame memandang kearah taman. Namun sosok itu tidak muncul lagi. Karena penasaran, Aomame berusaha mencari laki-laki yang dilihatnya di sekitar apartemen Aomame. Dan ia menemukan sebuah apartemen kuno berlantai 2. Aomame berusaha masuk ke dalam apartemen dan menaiki lantai 2. Ketika itu Aomame sangat terkejut dengan apa yang ditemukannya, yaitu papan nama yang bertuliskan Kawana Tengo yang menggantung di pintu. Aomame mencoba memencet bel namun tidak ada yang membuka pintu, dan akhirnya Aomame memutuskan untuk kembali lagi ke apartemennya. Aomame meminta bantuan kepada wanita tua itu agar menyelidiki lelaki yang berada di apartemen kuno itu. Dan setelah melakukan penyelidikan ternyata Kawana Tengo yang ada di apartemen kuno adalah Tengo yang dimaksud oleh Aomame. Aomame pun merasa sangat bahagia mendengar hal itu, ia merasa kehadiran Tengo semakin dekat dengannya. Lelaki yang disuruh oleh wanita tua untuk menyelidiki Tengo bernama Tamaru. Tamaru akhirnya bertemu dengan Tengo, dan ia memberitahukan keberadaan Aomame dan apa yang sedang dialami Aomame sekarang. Mendengar hal itu dari Tamaru, Tengo merasa sangat senang karena bisa bertemu lagi dengan wanita yang sangat dicintainya. Sejak kejadian
Universitas Sumatera Utara
saat Aomame menggandeng tangan Tengo, ternyata mereka berdua saling jatuh cinta. Namun mereka harus terpisah selama 20 tahun dan dipertemukan kembali di tahun 1Q84. Tahun dimana banyak kejadian aneh yang susah untuk dipahami penyebabnya.
Tamaru pun memberitahukan kepada Tengo tempat dimana
Aomame ingin bertemu dengannya dan membawa barang yang diperlukan saja. Akhirnya tibalah saat yang ditunggu, Aomame pun bertemu dengan Tengo. Kemudian Aomame mengajak Tengo ke tempat dimana awal mula Aomame merasa mulai mengalami kejadian yang aneh setelah menuruni anak tangga saat terjebak dalam kemacetan. Aomame dan Tengo pun menuruni anak tangga dan menaiki anak tangga itu kembali. Aomame sangat yakin, dengan melakukan hal itu, mereka akan berada di dunia yang normal dunia 1984 bukan dunia 1Q84, dunia yang hanya ada satu bulan di langit bukan dunia yang ada dua bulan di langit. Dan saat Aomame dan Tengo berada di pinggir jalan, Aomame merasakan perubahan dengan tempat di sekitarnya. Aomame merasa sudah berada di dunia yang normal yaitu dunia yang hanya ada satu bulan. Kemudian Aomame dan Tengo menaiki taksi menuju ke tempat dimana orang lain tidak ada yang mengenalinya. Dan akhirnya Aomame dan Tengo hidup bersama dan bahagia selamanya.
Universitas Sumatera Utara