BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP SOSIOLOGIS SASTRA PADA NOVEL “LONCENG NAGASAKI” KARYA TAKASHI NAGAI
2.1. Pengertian Novel Dunia kesusasteraan mengenal beberapa gendre yaitu prosa, pusi, drama. Dapat terbagi lagi dalam beberapa ragam yaitu cerpen, novel, dan roman. Kesusasteraan dikenal bermacam-macam jenis sastra (gendre). Gedre sastra dari zaman ke zaman selalu mengalami perubahan, karena itu teori sastra selalu berusaha untuk mencari konvensi yang tepat sesuai perkembangan sastra. Gendre sastra ini terjadi karena adanya konvensi sastra yang berlaku pada sebuah karya sehingga membentuk ciri tertentu (Werren dan Wellek 1997 : 298). Bila dipandang dari segi perwujudannya, ada tiga kriteria dari gendre sastra tersebut. Pertama teks Epik: yaitu novel, roman dan cerpen. Kedua yang berpusat pada pencerita (lirik), yaitu syair dan puisi. Dan terakhir yang terpusat pada cerita tersebut. Menurut Nurgiantoro (1995 : 2) istilah fiksi dalam pengertiannya berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak mengarah pada kebenaran sejarah. Dengan demikian, karya fiksi merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan atau khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh tidak perlu dicari kebenaran pada dunia nyata.
Universitas Sumatera Utara
Fiksi
menceritakan
berbagai
masalah
kehidupan
manusia
dalam
interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Bentuk karya fiksi yang terkenal saat ini adalah novel. Novel adalah karya fiksi yang mengandung nila-nilai keindahan dan kehidupan. Nilai-nilai keindahan yang terdapat didalamnya memberikan kenikmatan bagi pembacanya dan nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya memberi manfaat bagi pembaca. Sesuai dengan pernyataan diatas, pengertian prosa fiksi menurut Aminuddin (2000 : 6) adalah: “Kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeran, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita “. Menurut pengertian di atas, kebenaran yang terdapat dalam sebuah karya sastra fiksi tidak harus sama dan tidak perlu disamakan dalam kebenaran yang berlaku didunia nyata. Baik itu para pelaku (pemerannya), tempat terjadinya dan rangkaian ceritanya, semuanya bersifat fiksi dan dunia nyata memiliki sistem atau aturan tersendiri. Pengertian prosa fiksi diatas juga berlaku untuk pengertian novel. Sesuai dengan pernyataan Abrams dalam Nurgiantoro (1995 : 4), yaitu dalam perkembangan karya fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Kata novel dalam bahasa Inggeris (juga dipakai dalam bahasa Indonesia) berasal dari bahasa Italia yaitu Novella (dalam bahasa Jerman Novelle). Secara harfiah Novella berarti “Sebuah barang baru yang kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams dalam Nurgiantoro 1995 : 9).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Jassin dalam Nurgiantoro (1995 : 16) “Novel, dipihak lain dibatasi dengan pengertian suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang ada disekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak menggambarkan kehidupan seseorang dan lebih mengenai suatu episode.”
Berdasarkan pengertian di atas, novel menceritakan suatu episode dalam kehidupan manusia dari dia lahir sampai meninggal. Berarti sebuah novel pada umumnya
memaparkan
tentang
kehidupan
manusia
dengan
segala
permasalahannya, lingkungan dan kondisi sosial yang terdapat di sekitar pengarang.
2.2. Setting Novel Lonceng Nagasaki Suatu karya sastra mempunya beberapa unusur. Diantaranya unsur Intrinsik dan Ekstrinsik. Salah satu unsur intrinsik dalam karya sastra ataupun dalam novel adalah setting atau biasa disebut dengan latar. Latar atau setting yang disebut juga landasan tumpu, yang merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 1995 : 216) Jacob Soemarjo (1979 : 10) mengatakan: “Setting disini bukan hanya terbatas pada pengertian geografis, tetapi juga antropologis. Dikalangan masyarakat mana, di zaman apa, di suasana apa cerita itu berlangsung adalah setting”. Menurut Panuti Sudjiman dalam Dick Hartono (1984 : 46) setting atau latar adalah segala keterangan mengenai ruang, waktu dan suasana terjadinya lakon dalam karya sastra tersebut. Misalnya dimana tempat berlangsungnya suatu peristiwa yang terdapat dalam novel atau disebut juga ruang, kapan peristiwa
Universitas Sumatera Utara
tersebut terjadi dan bagaimana situasi saat berlangsungnya peristiwa tesebut dalam suatu novel Latar haruslah memberikan landasan yang kongkrit dan jelas. Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi kesan pembaca. Dengan latar yang jelas, pembaca dapat lebih memahami tentang tempat peristiwa-peristiwa dalam novel berlangsung, bagaimana kondisi sosial pada waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam novel. Pembaca dapat dengan mudah mengembangkan daya imajinasinya bahkan dimungkinkan untuk berperan secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar dan penggambaran latar yang jelas dari sebuah novel. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut mempunyai pembahasan dan permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibahas secara terpisah. Tetapi pada kenhyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain (Nurgiantoro, 1995 : 227) Setting juga berhubungan erat dengan unsur-unsur lainnya seperti tokoh, alur tema, dan lain-lain. Mursal Esten dalam Dick Hartono (1984 : 88): “Latar sebagai salah satu unsur yang penting dari struktur novel yang memperlihatkan suatu hubungan yang kait berkait dengan unsur-unsur struktur lainny, tidak saja erat hubungannya dengan penokohan tetpai juga amat erat hubungannya dengan tema dan amanat yang diungkapkan sebuah novel.” Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan pada sebuah karya fiksi. Hal ini berhubungan dengan masalah waktu faktual. Novel “Lonceng Nagasaki” adalah novel yang ditulis pada tahun 1984 (zaman Shōwa). Novel ini mengisahkan tentang pemboman Nagasaki
Universitas Sumatera Utara
oleh Amerika dengan menggunakan Bom Atom. Penulis novel yang merupakan seorang profesor, ahli radiologi, dan fisika nuklir juga merupakan salah satu korban dari tragedi bom atom yang dijatuhkan di kota Nagasaki membuat novel ini menarik. Hal ini dikarenakan kisahan dari novel ini diceritakan langsung secara jelas oleh korban/orang yang mengalami langsung peristiwa pemboman Nagasaki. Meskipun novel ini ditulis dan rampung pada tahun 1984, namun peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel ini terjadi beberapa tahun sebelumnya. Yaitu pada tahun 1945, tepatnya dimulai pada hari Kamis tanggal 9 Agustus. Kejadian pemboman ini persis diatas distik Urakami yang bertempat di kota Nagasaki Jepang. Jadi setting tempat dalam novel Lonceng Nagasaki ini terdapat di beberapa tempat yang masih berada dalam kota Nagasaki dan daerahdaerah pedesaan disekitarnya. Tetapi tempat yang paling ditonjolkan dalam peristiwa ini adalah Distrik Urakami. Latar sosial merujuk kepada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi tersebut. Hal ini mencakup berbagai masalah kehidupan sosial yang sangat kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, cara bersikap dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa dalam novel ini terjadi pada zaman Shōwa. Sementara kondisi realita sosial pada waktu itu menggambarkan kehidupan masyarakat Nagasaki yang sudah lebih maju, ilmu pengetahuan sedang berkembang, tetapi masih dalam keadaan perang yaitu Perang Dunia Ke-II. Dalam novel ini tergambar kehidaupan masyarakat yang sedang berperang tetapi tetap dalam kondisi yang memungkinkan untuk
Universitas Sumatera Utara
beraktivitas. Kemudian kondisi ini berubah secara drastis setelah Kota Nagasaki dijatuhi oleh bom atom. Semuala kondisi kehidupan masyarakatnya masih bisa beraktivitas walaupun dalam keadaan perang berubah menjadi keadaan yang memilukan akibat kehancuran yang tidak dahsyat. Hampir semua yang terkena bom atom tidak bisa diselamatkan. Mereka yang selamat pun tidak luput dari penyakit akibat radiasi. Regu penyelamat pun dibentuk dari orang-orang yang sebenarnya adalah korban juga. Mereka terdiri dari Dosen, Perawat, Mahasiswa dan profesor. Regu penyelamat yang terdiri dari beberapa golongan sosial ini bersatu manjadi sebuah tim penyelamat. Tanpa menghiraukan posisinya mereka tatap bekerjasama bahu-membahu dalam menyelamatkan korban lainnya meskipun mereka sendiri juga menderita sakit akibat bom atom. Sementara tokoh Nagai sendiri adalah seorang Profesor, Dekan Fakultas Kedokteran, ahli Radiologi dan fisika nuklir, sekaligus korban dari bom atom itu sendiri. Dengan demikian novel ini lebih cenderung kepada penggambaran tragedi bom atom yang sangat nyata dan mendetail. Baik terhadap kehancuran fisik, akibat kehancuran fisik tersebut terhadap manusia dan juga segala akibat, tanda-tanda, gejala, fase-fase, dan keadaan yang dihadapi dan akan dihadapi oleh para korban bom atom.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Defenisi Sosiologi dan Semiotika Sastra Sosiologi sastra berasal dari dua kata, yaitu sosiologi dan sastra. Sosiologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat. Sedangakan sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar. Namun lebih spesifik lagi setelah sastra terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, yang artinya kumpulan hasil karya sastra yang baik (Ratna, 2003 : 1). Sejumlah defenisi tentang sosiologi sastra banyak dikemukakan oleh para ahli, salah satunya yaitu pemahaman terhadap totalitas karya sastra yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan tersebut, maka sosiologi sastra juga disebut dengan sosiokritik sastra. Tujuan sosiologi sastra yaitu meningkatkan pemahaman terhadap sastra dan kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan, mengingat banyaknya karya sastra yang disajikan imajinatif. Dengan menggabungkan dua disiplin yang berbeda, sosiologi dan sastra secara harfiah ditopang oleh dua teori yang berbeda, yaitu teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra. Teori-teori sosiologi yang dapat menopang analisis sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial. Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa fakta kultural dalam masyarakat lahir dan berkembang dalam kondisi tertentu. Melalui medium bahasa, sastra
secara
terus-menerus
menelusuri
proses
pemahaman
sehingga
menghasilkan fakta. Dalam analisis sosiologis diberikan perhatian yang besar
Universitas Sumatera Utara
terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu. Sebagai timbal balik, karya sastra juga mampu memberikan masukan dan manfaat terhadap struktur sosial yang menghasilkanya, dalam hal ini masyarakat yang menjadi pokok sosiologi sastra. Roucek Warren dalam Soekamto (2000:20) mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dan kelompokkelompok. Objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari hubungan antar manusia dan proses itu timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. Adapun wilayah sosiologi sastra cukup luas, Wellek dan Warren (dalam geocities, 1993 : 111) membagi tiga klasifikasi wilayah sosiologi menjadi tiga yaitu: 1. Sosiologi Pengarang yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, lain-lain yang menyangkut pengarang. 2. Sosiologi Karya Sastra yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan. 3. Sosiologi Sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Menurut Nyoman (2004 : 60) dasar filosofis pendekatan sosiologi sastra adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dan masyarakat. Hubunganhubungan itu disebabkan oleh; a. Karya sastra dihasilkan oleh pengarang,
Universitas Sumatera Utara
b. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c. Pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada di dalam masyarakat hasil karya itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Teori sosiologi sastra bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Telaah sastra berfokus pada segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam suatu karya sastra dan juga mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan peningkatan pengembangan dalam tata cara kehidupan. Menurut
pendekatan sosiologis sastra,
karya sastra dilihat
dari
hubungannya dengan kenyataan. Sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan, kenyataan disini mengandung arti yang cukup luas. yaitu segala sesuatu yang berada diluar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri yang sebahagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Semiotika adalah ilmu bahasa, ilmu tanda, istilah tersebut berasal dari kata yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotika secara istilah adalah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda, lambang-lambang, sistem lambang, dan proses perlambangan (Jaan Van Luxemburg 1986 : 44). Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Tanda terdapat dimana-mana misalnya kata adalah tanda, demikian juga gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan, atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Ahli tentang semiotika modern yang sangat terkenal yaitu Charles Sanders Pierce dan Ferdinand de Saussure.
Universitas Sumatera Utara
Sastra sebagai seni kreatif menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya maka sastra tidak saja merupakan suatu tanda media untuk menyampaikan ide, teori atau sistem berfikir manusia. Tetapi juga media untuk menampung ide, tori dan sistem berfikir manusia itu sendiri. Sastra juga merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Atar Semi 1993:8). Berbeda dengan seni lainnya seperti seni lukis yang mediumnya netral dan belum mempunyai arti, sedangkan sastra mediumnya bahasa, sudah mempunyai arti, mampunyai sistem dan mempunyai konvensi. Dalam sastra banyak bentuk-bentuk karya sastra misalnya prosa, puisi dan drama. Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensikonvensi sendiri, untuk itu dalam menganalisis karya sastra harus mempunyai arti bahasa dan sistim tanda. Pada dasarnya konvensi-konvensi yang berlaku dalam masyarakat pemakai bahasa merupakan prinsip penandaan. Pemahaman makna sebuah karya sastra dapat diinterpretasikan melalui tanda. Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa bahasa adalah sistem tanda atau sign. Olehkarena itu bahasa adalah sistim tanda untuk memahami konsep makna dalam karya sastra. Seorang penelaah atau pembaca harus menguasai tanda-tanda, lambang-lambang, sistem lambang dan proses perlambangan yang ada pada bahasa tersebut. Dalam hal ini bukan berarti bahasa saja yang dapat diartikan sebagai tanda. Melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini. Jadi tanda itu dapat
Universitas Sumatera Utara
diinterpretasikan dalam berbagai hal seperti pengalaman, pikiran, perasaan, maupun konsep-konsep khusus tentang budaya, seni dan sastra. Bahasa adalah tanda. Karena dalam bahasa terdapat kata, kalimat dan teks yang merupakan tanda-tanda bahasa. Oleh karena itu, sastra identik dengan teks. Teks sastra secara keseluruhan merupakan legisign (tanda atas dasar sebuah konvensi atau sebuah kode). Untuk memahami teks sebuah karya sastra diperlukan suatu telaah semiotika sebagai salah satu ilmu tentang tanda yang dapat dijadikan pendekatan dalam telaah sastra. Pendekatan semiotika dalam sastara dikenal dengan istilah semiotika satra. Semiotika sastra bukanlah suatu aliran dan bukanlah suatu ilmu yang hanya mempelajari bahasa alami yang dipakai dalam sastra, tetapi juga sistim-sistim tanda lainnya untuk menemukan kode-kode dalam teks sebuah karya sastra (Jaan Van Luxemburg 1986 : 44 - 45). Semiotika sastra lebih mengarah pada cara-cara untuk membedakan tandatanda sastra dengan tanda tipe-tipe wacana lain yang memandang kesusasteraan sebagai kegiatan yang mempersoalkan tipe-tipe yang lain. Hoed dalam Nurgiantoro (1995 : 40) berpendapat bahwa semiotika adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah suatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, fikiran, perasaan gagasan dan lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rumah, pakaian, karya seni, sastra lukis, patung, film, tari, musik dan lain-lain yang berada disekitar kehidupan kita. Menurut Eco dalam Faruq (1999:44) secara
Universitas Sumatera Utara
general semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang memepelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda. Teori Saussure dalam Nrgiantoro (1995 : 39) berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah sistim tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Dalam bahasa diinterpretasikan sebagai makna terdapat nilai sosiologis yang bertitik pangkal dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Dapat disimpulkan bahwa dalam menginterpretasikan sebuah karya sastra dapat dilakukan melalui tanda-tanda yang terdapat dalam teks sastra tersebut. Hal ini berarti, apabila ingin melihat budaya yang terdapat didalam sebuah teks karya sastra, dapat diinterpretasikan dengan cara memahami konsep dasar tentang budaya yang ingin diambil. Kemudian, menghubungkan konsep tersebut dengan bagian-bagian teks yang menjadi tanda yang memiliki sifat indeksikal. Jadi, unsur budaya yang terdapat dalam karya sastra dapat dijadikan sebagai tanda untuk diinterpretasikan dengan mengambil bagian-bagian teks dalam karya sastra tersebut.
2.4. Biografi Takshi Nagai Takashi Nagai berasal dari keluarga dokter. Ayahnya, Noboru Nagai, sudah terlatih dalam pengobatan Barat. Kakek dari pihak ayah, Fumitaka Nagai, adalah seorang praktisi jamu tradisional.
Nagai menjadi tertarik pada Kristen ketika di Universitas Kedokteran Nagasaki satu asrama dengan keluarga Moriyama, yang selama tujuh generasi
Universitas Sumatera Utara
yang menjadi pemimpin turun-temurun sekelompok Kakure Kirishitans di Urakami. Setelah lulus, Nagai telah dilantik menjadi pembantu militer untuk kampanye Manchukou, sementara itu putri Moriyama, Midori Moriyama, mengiriminya paket perawatan yang berisi Katolik Katekismus. Dia masuk Katolik dan menikah Midori pada tahun 1934.
Nagai telah mulai merintis bekerja pada bagian radiologi pada tahun 1932 dan tetap meneruskan itu setelah kembali ke Nagasaki. Pada waktu itu, standar keamanan yang kurang dipahami, menyebabkan tingkat korban yang tinggi dari paparan radiasi antara praktisi lapangan. Selama musim panas 1945, beberapa bulan sebelum pengeboman Nagasaki, Nagai diagnosis leukemia dengan harapan hidup dua hingga tiga tahun.
Pada saat bom atom pada 9 Agustus 1945, Dr Nagai sedang bekerja di departemen radiologi rumah sakit Universitas Nagasaki. Dia mengalami cedera serius yang memutuskan arteri temporal kanannya, tetapi dengan kepala diperban ia tetap bergabung dengan seluruh staf medis yang masih hidup dalam mendedikasikan diri untuk merawat para korban bom atom. Kemudian ia menulis 100 halaman laporan medis tentang pengamatannya.
Istrinya, Midori telah mengirimkan dua anak mereka untuk tinggal bersama neneknya di daerah pedesaan, sementara ia tetap di Nagasaki untuk mendukung pekerjaan suaminya. Tetapi kemudian istrinya menjadi korban bom atom dan ditemukan di tumpukan abu reruntuhan dapur rumah mereka dengan rosario di dekatnya.
Universitas Sumatera Utara
Nagai pingsan dari penyakit akibat radiasi pada 8 September 1945 dan koma selama satu bulan. Setelah itu, ia membangun sebuah gubuk kecil dari potonganpotongan rumah tuanya, dan terus tinggal di sana bersama kedua anaknya, ibu mertuanya, dan dua kerabat lainnya.
Beberapa tahun berikutnya, Nagai melanjutkan mengajar dan juga mulai menulis beberapa buku. Bukunya yang pertama, “Lonceng Nagasaki” diselesaikan pada ulang tahun pertama pengeboman. Meskipun pada awalnya ia gagal untuk menemukan penerbit, namun akhirnya buku itu menjadi Best Beller dan masuk Top Box-Office film di Jepang.
Pada tahun 1947 ia tinggal di sebah rumah yang sedikit lebih besar dari enam tatami yang dibangun untuknya oleh sebuah tukang kayu yang masih ada hubungan keluarga dengan Moriyama. Ketika kelompok sosial Saint Vincent de Paul menawarkannya untuk membangun rumah lain, ia meminta mereka untuk sedikit memperbesar gubuk yang ada untuk mengakomodasi saudaranya dan keluarga saudaranya, serta untuk membangun sebuah rumah teh sederhana dengan dua tatami seperti bentuk rumah sebelumnya. Dia pun menghabiskan hidupnya dalam doa di gubuk kecil yang bergaya seperti pertapaan yang dinamai Nyoko-dō.
Pada saat kematiannya pada tahun 1951, ia meninggalkan esai, memoar, gambar dan kaligrafi dengan berbagai tema termasuk Tuhan, perang, kematian, obat-obatan, dan ke-yatiman sebagai warisan.
Universitas Sumatera Utara
Luhurnya semangat dan perdamaian yang telah diajarkanya meninggalkan jejak positif pada banyak orang bahkan hingga sekarang sekarang.
3 Februari, 1908
: Lahir di Matsue City. Pindah dengan keluarganya ke Iishimura (sekarang Mitoya-cho).
Maret, 1932
: Lulus dari Sekolah Kedokteran Nagasaki.
Juni, 1932
: Ditunjuk untuk posisi asisten dengan spesialisasi dalam radiologi.
April, 1940
: Ditunjuk untuk posisi asisten profesor di Nagasaki Medical College dan Kepala Departemen Rehabilitasi Fisik.
Maret, 1944
: Menerima gelar Doktor bidang kedokteran.
5 Juni 1945
: Ditemukan menderita leukemia tetap hidup selama 3 tahun.
9 Agustus, 1945
: Terkena bom atom dengan arteri terpotong di sisi kanan kepalanya. Mengabdikan dirinya untuk membantu korban bom meskipun dirinya menderita penyakit serius.
Januari, 1946
: Ditunjuk menjadi profesor di Nagasaki Medical College.
November, 1946
: Memberikan kuliah dengan judul ''Atomic illness and Atomic Medicine" di Nagasaki Medical Association.
Maret, 1948
: Pindah rumah ke "Nyokodo".
Oktober, 1948
: Menerima kunjungan Helen Keller.
Mei 1949
: Menerima kunjungan Kaisar Showa dan utusan dari Paus.
6 Desember, 1949 : Menjadi orang pertama yang ditunjuk sebagai warga kehormatan Nagasaki.
Universitas Sumatera Utara
1 May,1951
: Masuk Rumah sakit universitas Nagasaki dan meninggal pada pukul 09 : 50 dalam usia 43 tahun.
14 May,1951
: Dimakamkan di Pemakaman Internasional Sakamoto.
2.5. Sinopsis Cerita Novel Lonceng Nagasaki karya Takashi Nagai Hari kamis tanggal 9 Agustus 1945, pukul sebelas lewat dua menit pagi, distrik Urakami disapu bersih oleh bom atom yg meledak pada ketinggian sekitar 500 meter diatas kota. Puluhan ribu orang meninggal seketika, puluhan ribu lainnya terluka parah. Lebih dari seratus ribu menderita berbagai penyakit akibat radiasi, dan ribuan rumah habis terbakar atau hancur diamuk angin ribut yang ditimbulkan oleh ledakan yang dahsyat. Diantara mereka yang selamat adalah Dr. Takashi Nagai, ahli radiologi, Fisika Nuklir, ketua Jurusan Radiologi dan Dekan fakultas Kedokteran Universitas Nagasaki, dan kepala Korps Kesehatan Kesebelas dalam kemiliteran Jepang saat itu. Jabatan itu dibebankan kepadanya semenjak perang pecah. Setelah terlempar ke udara disebabkan oleh ledakan bom itu (yang kemudian diceritakannya secara rinci) dan terkubur dibawah reruntuhan bangunan dan pecahan kaca. Dia berhasil keluar dan mengumpulkan sejumlah kecil Dokter, mahasiswa dan perawat. Lalu mereka secara bersama-sama tanpa kenal lelah menolong korban yang luka, sakit dan sekarat. Setelah tiga hari bersimbah keringat dan bekerja keras, Nagai yang juga luka-luka, berhasil mencapai rumahnya. Didapatinya rumahnya terbakar habis, tinggal puing dan isterinya Midori meninggal. Kemudian dia mengumpulkan tulang-tulang isterinya yang sudah jadi abu dan dibawa ke tempat pengungsian
Universitas Sumatera Utara
luar kota. Dan dari situ pulalah Nagai dan teman-temannya memutuskan untuk menolong korban dan tanpa menghiraukan keadaan sendiri. Disamping itu kelompok kecil ini juga menyadari bahwa selain korban, mereka juga ilmuwan. Mereka tahu mereka sedang menghadapi keadaan unik sepanjang sejarah kedokteran. Demi masa depan ilmu kedokteran itulah mereka mempelajari dengan tekun akibat dari bom atom terhadap diri mereka sendiri maupun orang yang mereka rawat. Tetapi kemudian mereka menyadari bahwa mereka sebenarnya sama sakitnya dengan orang yang mereka rawat. Satu persatu mereka terbaring lemah tak berdaya dan Nagai sendiri sakit parah. Sebelum bom dijatuhkan, Nagai telah menderita leukemia sebagai akibat sampingan dari risetnya yang berbahaya dibidang radiogi. Arteri batang lehernya yang sebelah kanan terpotong oleh pecahan kaca yang menghujaninya sewaktu bom jatuh. Kehilangan banyak darah, kurang
tidur,
kurang
makan
serta
terlalu
banyak
bekerja
akhirnya
mengalahkannya. Pada 26 september dia jatuh pingsan dan hampir saja meninggal. Bagaimana kemudian kesehatannya membaik, sampai saat ini masih misteri. Setelah menyerahkan laporan ilmiahnya ke universitasnya dan dia menulis buku “Lonceng Nagasaki”, buku ini selesai ditulisnya bulan agustus 1946, persis setahun sesudah bom atom dijatuhkan di Nagasaki. Tetapi beberapa teman Nagai tidak menyerah begitu saja terhadap larangan ini dan naik banding ke Washington. Akhirnya Departemen Pertahanan AS memberikan izin terbit, dengan catatan bahwa diakhir buku ditambahkan bagian
Universitas Sumatera Utara
yang menceritakan kekejaman Jepang di Filipina. Persetujuanpun dicaopai tetapi pelaksanaannya ternyata makan waktu dan baru di Januari 1949 Nagai meilihat bukunya dicetak. Setelah kependudukan amerika berakhir, bagian yang menceritakan kekejaman Jepang akhirnya dibuang. Takashi Nagai Takashi Nagai dilahirkan di Matsue di pantai laut Jepang pada tahun 1908. ayahnya seorang dokter dan diapun mengikuti jejak ayahnnya. Nagai-pun akhirnya
masuk
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Nagasaki.
Setelah
menyelesaikan studinya, dia tetap berada di universitas sebagai dosen, disamping terdaftar sebagai korps kesehatan militer. Tahun 1931, dia berada diantara tentara Jepang pada insiden Manchuria, dan kemudian pada tahun 1932 dalam insiden shanghai. Tahun 1940 dia menjadi asisten professor jurusan Radiologi dan waktu bom dijatuhkan 1945 dia sudah menjadi dekan. Karena kebanyakan pemuda saat itu berada di garis depan, tanggung jawab di jurusan hampir sepenuhnya berada di pundaknya. Sebagai pemeluk agama Katholik dia pernah menulis bahwa seperti halnya banyak intelektual Jepang yang dipengaruhi oleh Pascal yang juga banyak mempengaruhi kehidupan keagaamaannya adalah lonceng gereja yang berulangulang berbunyi memanggilnya. Lonceng ini tidak hancur oleh ledakan bom atom dan saat ini bisa dilihat di museum bom Atom di Nagasaki. Tetapi Pascal dan lonceng itu bukanlah satu-satunya yang paling berpengaruh dalam kehidupan keagamaannya. Pengaruh paling besar berasal dari wanita yang paling dicintainya, Midori Moriyama, seorang wanita asal Nagasaki
Universitas Sumatera Utara
yang membuat Nagai menjadi penganut Katholik itu. Mereka menikah pada tahun 1934, dan mempunyai dua anak, Makoto dan Kayano. Kedua anaknya itu juga mempengaruhi buku-buku yang ditulisnya sebagi anak zaman baru dan zaman bom atom. Disamping seorang pejuang Nagai juga seorang ilmuwan. Dia tahu apa yang terjadi di dunia politik maupun di dunia ilmu pengetahhuan. Diapun tahu bahwa Amerika sedang mempersiapkan bom atom. Dia juga tahu bahwa Tiga Besar; Harry S Truman, Joseph Stallin, dan Winston Churchill mengeluarkan pengumuman dari Postdam. Tahun 1945 Pada tanggal 15 Juli 1945, Tiga Besar; Harry S Truman, Joseph Stallin, dan Winston Churchill mengadakan pertemuan di Postdam dekat Berlin yang baru saja hancur luluh. Saat itu sudah cukup nyata bahwa Kemaharajaan Jepang sudah mendekati ambang kehancuran. Dan Perang Dunia II sudah hampir usai. Jerman sudah kalah dan Russia sedang bersiap-siap mengumumkan perang terhadap Jepang yang sudah terpencil dan tidak punya teman. Angkatan perang Amerika Serikat setelah menaklukkan pulau demi pulau, mendapat perlawanan hebat di Kepulauan Mariana, Iwo Jima, dan Okinawa. Setelah mencapai kemenangan beruntun, sekarang perhatian mereka terpusat kepada kepulauan Jepang sendiri. Angkatan Udara dan Laut Jepang sudah lumpuh.kota-kota Jepang telah dihujani beribu-ribu ton bom. Pemboman terhadap Tokyo tanggal 10 Maret membunuh 140 ribu penduduk, dan kemudian pada tanggal 26 Mei membawa korban hampir
Universitas Sumatera Utara
sama banyaknya. Di Jepang, makanan dan bahan baku jauh berkurang dan transportasi terputus. Cukup jelas bahwa kekalahan sudah diambang pintu. Pemerintah Jepang menyadari sepenuhnya bahaya besar di depan mata bangsa Jepang. Menteri luar negeri Togo mengirimkan pesan kepada Duta Besar Sato di Moskow menyuruhnya segera menemui Molotov, sebelum delegasi Rusia berangkat ke Postdam, dan menerangkan bahwa Kaisar Jepang sudi mengakhiri kegiatan perangnya. Pesan ini sempat jatuh ketangan intel Amerika dan Washington pun tahu persis apa yang terjadi. Lalu di Postdam, tanggal 16 Juli, Truman menerima berita penting yang sudah lama ditunggu-tungguny a; bom atom telah berhasil di uji coba di Alamogordo, New Mexico. Proyek manhattan yang menelan biaya milyaran dollar itu kini telah telah mencapai hasil yang diinginkan. Hasil usaha Robert Oppenheimer dan kawan-kawannya di Los Alamos kini telah membuahkan hasil. Belakangan Turman menulis tentang proyek ini sebagai kegiatan zaman perang yang paling rahasia dan paling berani. Truman dan Ciang Kai Sek mengeluarkan deklarasi Postdam yang terkenal itu yang menuntut supaya Jepang menyerah tanpa syarat. Alinea terakhir deklarasi itu berbunyi: “Kami menuntut pemerintah Jepang supaya sekarang juga mengumumkan kepada seluruh angkatan perang Jepang menyerah tanpa syarat dan memberikan jaminan yang memadai dan bisa diterima pengumuman itu dikekluarkan dengan jujur. Kalau tidak, Jepang akan mengalami kemusnahan dalam waktu dekat.”
Universitas Sumatera Utara
Deklarasi ini sama sekali tidak menyebut perkara bom atom. Babak merikutnya
dari
drama
tahun
1945
ini
dipenuhi
kebingungan
dan
kesalahpahaman. Di Jepang, Perdana Menteri Suzuki, setelah berunding dengan kabinetnya, mengatakan kepada pers bahwa dia sama sekali tidak bermaksud menolak tuntutan itu, tetapi dalam bahasa Inggris, reaksi Suzuki disimpulkan sebagai ”no Comment”. Dan di barat ungkapan itu diartikan sebagai penolakan. Dan penolakan terhadap Deklarasi Postdam ini konon menjadi alasan utama bom atom dijatuhkan di Jepang. Keputusan menjatuhkan bom atom itu, salah satu peristiwa terburuk dalam sejarah umat manusia, kemudian menjadi pokok perselisihan yang melibatkan beberapa tokoh penting dunia abad ke-20. keputusan akhir diambil oleh Harry Truman sendiri, yang memang tak pernah menyatakan penyesalannya. Dwight Eisenhower, yang juga berada di Postdam (sekalipun tidak hadir dalam rapat Tiga Besar), menentang dengan keras penggunaan bom itu dengan dalasan bahwa Jepang sebenarnya sudah kalah dan karenanya bom atom tidak diperlukan lagi, dan dia betul-betul keberatan kalau Amerika Serikat menjadi negara pertama yang menggunakan bom yang begitu mengerikan dan menghancurkan. Berrtrand Russell menyebut peristiwa bom atom hiroshima sebagai ”pembunuhan massal”. Gereja Katolik menyatakan bahwa ”kegiatan perang apa saja yang bertujuan menghancurkan kota dengan semua isinya tanpa pandang bulu adalah perbuatan kriminal terhadap Tuhan dan umat manusia. Yang tidak kalah menariknya adalah perdebatan dikalangan masyarakat ilmuwan sendiri. Hanya mereka yang tahu tentang bom ini (karena memang
Universitas Sumatera Utara
sangat dirahasiakan) dan waktu mereka menyaksikan kehebatannya, mereka pun tak lepas dari pertimbangan-pertimbangan etis maupun keagamaan. Drama bom atom sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1939. waktu itu Alber Einstein, didorong oleh ahli fisika terkenal Leo Szilard, menulis surat kepada Roosevelt, menggunakan tenaga atom untuk tujuan militer. Waktu itu terbetik berita bahwa Nazi Jerman sedang mencoba penggunaan tenga nuklir juga, dan tampaknya akan menang. Maka pada awal 1940-an diperkirakan bahwa ilmuwan Amerika Serikat dan Ilmuwann Jerman kira-kira seimbang dalam perlombaan ini. Setelah Jerman kalah, Einstein dan Szilard meragukan kebijaksanaan penggunaan bom atom terhadap Jepang. Dan surat kedua Einstein, kali ini meragukan penggunaan bom atom ditemukan belum dibukan dalam tumpukan surat surat yang diterima Roosevelt di Warm Springs, Georgia. Masyarakat ilmiah terpecah. Truman membentuk Badan Interim sendiri yang terdiri dari para ahli tenaga ahli dan diketuai oleh menteri perang Hendry Stimson dan dibantu oleh beberapa ilmuwan, termasuk Robert Openheimer, Arthur H. Compton, E.O. Lawrence dan Enrico Fermi.Tuman kemudian menulis bahwa anggota badan ini menyarankan supaya bom itu digunakan sesegera mungkin. ”Mereka juga menyarankan,” lanjut Truman, supaya bom itu dijatuhkan tanpa memberikan peringatan yang jelas sebelumnya dan diatas target yang memperlihatkan sejelas-jelasnya kehebatan bom ini. Tetapi ”Leo Szilard, dengan bantuan Einstein terus berkampanye menentang penggunaan bom itu dan merupakan salah seorang dari 63 ilmuwan yang mengirimkan petisi kepada
Universitas Sumatera Utara
Truman, yang menuntut supaya dia tidak akan menyetujui penjatuhan bom atom di atas kota-kota Jepang. Keberatan mereka tidak hanya berdasar kemanusiaan. Para ilmuwan ini tidak hanya keberatan akan kehancuran dan kematian mengenaskan akibat bom itu. Mereka menyadari umat manusia memasuki zaman baru. Sekali bom atom itu digunakan sampai dimana batasnya. Sekalipun Truman bertanggung jawab atas keputusan penjatuhan bom itu, bisa dikatakan bahwa hakikatnyua keputusan itu bukan dia yang mengambil. Dia dipaksa keadaan proyek bom atom itu telah memakan banyak biaya dan beberapa tahun riset. Orang-orang yang membuat bom itu berfikiran bahwa sebenarnya bom itu diabuat untuk digunakan. Truman dan para penasehatnya memilih empat kota sebagai korban: Hiroshima, Nagasaki, Kokura, dan Niigata. Beberapa hari setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima, sebuah pesawat B-29 lain dengan muatan bom atom kedua meninggalkan Pulau Tinian. Pesawat ini diberi nama Bock’s Car dengan pilot Mayor Charles Sweeney, yang ikut salah satu pesawat dalam misi ke Hiroshima. Dan pada tanggal 9 agustus pukul sebelas lewat dua menit, bom itu meledak pada ketinggian 500 meter diatas kota Nagasaki. Para korban yang masih hidup di Nagasaki mendengar pengumuman dari kaisar bahwa perang telah usai: ...”Musuh mulai menggunakan bom baru yang sangat keji dan punya tenaga hancur yang tak terhingga...Kalau kita meneruskan perang, akibatnya Jepang akan lumpuh dan hancur...” Dua bom atom lagi sudah
Universitas Sumatera Utara
siap di Tinian dan sudah direncanakan akan dijatuhkan tanggal 13 dan 16 Agustus dengan korban berikutnya Tokyo. Sementara itu Nagai dan para teman-temannya dengan penuh semangat merawat yang luka-luka di pusat pengungsian di gunung. Dan salah seorang anggotanya datang dari kota membawa berita yang mematahkan hati itu. Waktu mengisahkan bom atom, Nagai secara tak sadar menceritakan dirinya sendiri. Sebuah kisah perubahan dan peralihan yang terlahir dari penderitaan yang hebat. Dia telah kehilangan segalanya. Dia menyaksikan sendiri ribuan bangsanya dirobek-robek dan dibunuh bom atom. Dia melihat sendiri kota Jepang hancur, negerinya mendapat malu besar yang puncaknya terjadi diatas kapal Missouri ketika secara resmi Jepang menyerah dan selanjutnya berada dibawah pemerintah pendudukan Amerika Serikat. Melalui segala bentuk penderitaan ini, lahirlah Nagai baru. Sebelumnya di mengerahkan segalanya untuk merawat orang-orang yang sakit sebagai bagian dari perang yang dilancarkan Jepang, tapi semua itu kini dilakukannya demi kemanusiaan. Dia tetap mencintai negerinya namun usahanya sekarang ditujukan ke arah pembangunan spiritual bangsa Jepang yang akan bertanggung jawab atas perdamaian dunia. Hidupnya dilandaskan atas satu dorongan yaitu dorongan cinta. Dari pusat pengungsian di gunung dia kemudian berpindah ke sebuah pondok yang dibangun diatas puing reruntuhan rumahnya dulu. Pondok itu diberinya nama Nyokodo, yang berarti ”Cintailah tetanggamu seperti dirimu sendiri”.
Universitas Sumatera Utara
Dipondok itulah Nagai berdoa dan bermeditasi. Dan lewat penderitaan dan meditasi, akhirnya dia menemukan jawaban yang dicarinya. Pesannya sederhana: Cintailah tetanggamu seperti dirimu sendiri. Inilah jalan, satu-satunya jalan untuk mencapai perdamaian dunia. Nagai memang telah berubah. Sebelum tahun 1945 Nagai hanya menulis karya-karya ilmiah yang sarat angka-angka statistik. Tapi sekarang ia menjadi penulis, penyair, seniman dan humanis yang besar. Inti dari teologi Nagai secara mendalam mengupas nilai-nilai dan arti penderitaan. Bom atom telah menghancurkan beribu-ribu kehidupan manusia yang tak berdosa tetepi tetap tidak mampu menghancurkan semangat Nagai beserta teman-temannya. Bom atom itu justru telah menyadarkan mereka dan membuat mereka menjadi pahlawan-pahlawan kemanusiaan. Dalam keadaan luka parah, dan bisa dikatakan sekarat, mereka bekerja dengan ikhlas dan gembira. Kegembiraan berdasarkan cinta yang murni dan kasih sayang pada sesama yang terasa paradok. Diakhir bukunya Nagai berseru kepada seluruh penduduk bumi: ”Hai lelaki dan wanita diseluruh dunia, janganlah berperang lagi! Dengan bom atom seperti ini, perang berati bunuh diri bagi seluruh umat manusia. Dari padang pasir bom atom ini, Nagasaki menentang seluruh dunia: Hentikan perang! Marilah kita berbuat berdasarkan cinta, dan marilah bekerja sama. Penduduk Nagasaki berlutut dan berdoa dihadapan Tuhan dan berdoa: Biarlah Nagasaki menjadi korban bom atom yang terakhir dalam sejarah dunia ini.
Universitas Sumatera Utara