BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTUALISASI DIRI DAN NOVEL ”SKANDAL” KARYA SHUSAKU ENDO 2.1. Defenisi Aktualisasi Diri Menurut Goldstein dalam Suryabrata (2006:326). Aktualisasi diri adalah motif pokok yang mendorong tingkah laku individu(organisme). Adanya dorongandorongan yang berbeda misalkan dorongan untuk makan, seksual, ingin tahu, ingin memiliki, sebenarnya hanyalah manifestasi satu tujuan hidup pokok, yaitu aktualisasi diri. Apabila seseorang lapar, dia akan mengaktualisasikan dirinya dengan makan, apabila dia ingin pintar, dia mengaktualisasi dengan belajar, dan sebagainya. Pemuasan kebutuhan-kebutuhan khusus tertentu itu memang merupakan syarat bagi realisasi diri seluruh organisme. Jadi, aktualisasi diri adalah kecenderungan kreatif manusia. Menurut Maslow dalam Poduska (2002: 126-127), yaitu bahwa keinginan untuk mengaktualisasi diri ada pada diri kita masing-masing, bahwa motivasi atau dorongan terhadap aktualisasi diri itu adalah bawaan, bahwa setiap kita masingmasing mempunyai suatu keinginan yang inheren, yang kita bawa bersama lahir, yaitu berada demi keberadaan itu, berbuat demi perbuatan itu, merasa demi perasaan itu, yaitu aktualisasi diri. Dan pribadi yang beraktualisasi diri adalah pribadi yang sudah memenuhi tingkat-tingkat keinginan itu, bukan seorang manusia super. Menurut Maslow dalam Boeree (2006:284), tujuan mencapai aktualisasi diri itu bersifat alami, yang dibawa sejak lahir. Beliau juga berpendapat bahwa penolakan, frustasi dan penyimpangan dari perkembangan hakekat alami akan menimbulkan
psikopatologi. Dalam pandangan ini, apa yang baik adalah semua yang mendekat ke aktualisasi diri, dan yang buruk atau abnormal adalah segala hal yang menggagalkan atau menghambat atau menolak aktualisasi diri sebagai hakekat alami kemanusiaan, dan mempersoalkan pertumbuhan pribadi yang menekankan proses pertumbuhan dan perkembangan pribadi kepada tingkat yang sebaik mungkin. Jadi aktualisasi diri adalah suatu kebutuhan untuk mengungkapkan diri yaitu merupakan kebutuhan manusia yang paling tinggi dalam teori Maslow. Kebutuhan ini akan muncul apabila kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya telah terpuaskan dengan baik. Kebutuhan aktualisasi ditandai sebagai hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya, atau hasrat dari individu untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya. 2.2. Faktor Penghambat dalam Beraktualisasi Diri Maslow dalam Koeswara (1991:126), mengemukakan beberapa hambatanhambatan dalam mengaktualisasikan diri yaitu sebagai berikut: a. Berasal dari dalam Diri Individu Yaitu, berupa ketidaktahuan, keraguan, dan bahkan juga rasa takut dari individu untuk mengungkapkan potensi-potensi yang dimilikinya, sehingga potensi itu tetap laten. b. Berasal dari Luar atau Masyarakat Yaitu, berupa kecenderungan mendepersonalisasi individu, perpresian sifatsifat, bakat atau potensi-potensi.
Apabila suatu masyarakat sangat menjunjung kejantanan, maka oleh masyarakat tersebut sifat-sifat yang dianggap mencerminkan kejantanan, seperti sifat keras, kasar, dan berani akan lebih dihargai. Sebaliknya sifat-sifat yang tidak mencerminkan kejantanan atau lebih mencerminkan kewanitaan, seperti sifat menahan diri, kehalusan dan kelembutan, akan kurang dihargai. Akibatnya, di masyarakat tersebut yang akan muncul dominan adalah kekerasan, kekasaran, dan keberanian, sedangkan kesabaran, kehalusan, dan kelembutan akan menjadi lemah dan tak terungkapkan. Begitu pula aktualisasi diri, aktualisasi diri itu hanya mungkin terjadi apabila kondisi lingkungan menunjangnya. c. Berasal dari Pengaruh Negatif Hambatan ini berupa pengaruh negatif yang dihasilkan oleh kebutuhan yang kuat akan rasa aman. Oleh individu-individu yang kebutuhan akan rasa amannya terlalu kuat, pengambilan risiko, pembuatan kesalahan, dan pelepasan kebiasaankebiasaan lama yang tidak konstruktif itu justru akan merupakan hal-hal yang mengancam atau menakutkan, dan pada gilirannya ketakutan ini akan mendorong individu-individu tersebut untuk bergerak mundur menuju pemuasan kebutuhan akan rasa aman. Jadi pencapaian aktualisasi diri itu, disamping membutuhkan kondisi lingkungan yang menunjang, juga menuntut adanya kesediaan atau keterbukaan individu terhadap gagasan-gagasan dan pengalaman-pengalaman baru. Maslow dalam Koeswara (1991:127) mengatakan bahwa, apabila anak-anak diasuh dalm suasana aman, hangat, dan bersahabat, maka anak-anak itu akan mampu menjalani proses-proses perkembangannya dengan baik. Pendek kata, dibawah
kondisi yang sehat, perkembangan akan terangsang dan individu akan terdorong untuk menjadi yang terbaik sebisa-bisanya. Sebaliknya, apabila anak-anak itu berada di bawah kondisi yang buruk (mengalami hambatan dalam memuaskan kebutuhankebutuhan
dasarnya),
maka
mereka
akan
mengalami
kesulitan
dalam
mengembangkan potensi-potensinya. 2.3. Penanda Pengaktualisasi Diri Pencapaian aktualisasi diri merupakan penggambaran yang optimistis dari corak kehidupan yang ideal. Maslow dalam Koeswara (1991:138), mengatakan bahwa syarat yang paling pertama dan utama bagi pencapaian aktualisasi diri itu adalah terpuaskannya kebutuhan-kebutuhan dasar dengan baik. Maslow dalam Paulus (1997:168), menyebutkan penanda atau ciri seorang pengaktualisasi diri yaitu sebagai berikut: 1. Kemampuan melihat realitas secara lebih efisien. Aktualisasi diri (actualizer) dapat melihat dunia sekitar serta orang lain secara baik dan efisien. Mereka melihat realita sebagaimana adanya, bukan seperti apa yang mereka inginkan. Kemampuan untuk melihat secara lebih efisien ini meluas pada segi-segi kehidupan lain, seperti seni, musik, ilmu pengetahuan, politik dan filsafat. 2. Penerimaan diri sendiri, orang lain, dan sifat dasar Aktualisasi diri dapat menerima diri mereka sendiri sebagaimana adanya. Mereka tidak terlalu kritis akan keterbatasan-keterbatasan, kelemahan-kelemahan, dan
kebutuhan-kebutuhan dirinya. Mereka tidak dibebani rasa bersalah, rasa malu, dan kecemasan atau keadaan emosional yang sangat lazim dalam populasi umum. 3. Spontanitas, kesederhanaan, kewajaran. Aktualisasi diri berperilaku apa adanya, langsung, dan tanpa berpura-pura. Mereka tidak menyembunyikan emosi dna dapat mengekspresikan secara jujur. Akan tetapi, mereka bijaksana dan penuh perhatian pada orang lain, sehingga dalam situasi-situasi dimana ungkapan perasaan-perasaan yang wajar dan jujur dapat menyakitkan perasaan orang lain, mereka mengekang perasaan-perasaan itu. 4. Berfokus pada masalah. Aktualisasi diri melibatkan diri dalam tugas, kewajiban, atau pekerjaan yang mereka pandang sangat penting. Mereka tidak fokus pada diri sendiri, melainkan pada masalah-masalah yang melampaui kebutuhan-kebutuhan mereka yang didedikasikan sebgai suatu misi hidup. 5. Kebutuhan akan privasi dan independensi. Aktualisasi dir memiliki kebutuhan yang kuat akan privasi dan kesunyian. Karena mereka tidak memiliki hubungan yang melekat dengan orang lain, mereka dapat menikmati kekayaan dari persahabatan dengan orang lain. Mereka dapat hidup sendiri tanpa merasa kesepian. 6. Berfungsi secara otonom. Karena orang-orang yang aktualisasi diri tidak lagi didorong oleh motif-motif kekurangan, untuk pemuasannya mereka tidak tergantung pada dunia nyata.
Karena pemuasan motif-motif pertumbuhan datng dari dalam, perkembangan mereka tergantung pada potensi-potensi dan sumber-sumber dari dalam diri mereka sendiri. 7. Apresiasi yang senantiasa segar. Orang-orang yang melakukan aktualisasi diri selalu menghargai pengalamanpengalaman tertentu bagaimana pun seringnya pengalaman-pengalaman tersebut berulang dengan suatu perasaan terpesona, kagum atau kenikmatan yang segar. 8. Pengalaman-pengalaman mistik atau puncak. Ada waktu-waktu dimana orang yang aktualisasi diri mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang hebat dan meluap-luap sama seperti pengalaman-pengalaman keagamaan yang mendalam. 9. Perasaan empati dan afeksi yang kuat terhadap sesama manusia. Mereka juga memiliki keinginan untuk membantu tugas-tugas kemanusiaan, serta memiliki perasaan persaudaraan denga semua orang, seperti terhadap saudara kandung. 10. Hubungan antar pribadi. Orang-orang yang aktualisasi diri mampu mangadakan hubungan yang lebih kuat pada orang lain, meraka mampu memiliki cinta yang lebih besar dan persahabatan yang lebih dalam serta identifikasi yang lebih sempurna dengan individu-individu lain.
11. Struktur watak demokratis. Orang-orang aktualisasi diri menerima semua orang tanpa memperhatika kelas sosial, tingkat pendidikan, golongan politik atau agama, ras atau warna kulit. 12. Membedakan antara sarana dan tujuan, antara baik dan buruk. Bagi orang-orang yang aktualisasi diri, tujuan atau cita-cita lebih penting dari pada sarana yang digunakan untuk mencapainya. Orang-orang yang aktualisasi diri ini sepenuhnya senang melakukan atau menghasilkan yang lebih banyak daripada mendapatkannya, atau berarti mencapai tujuan. 13. Perasaan humor yang tidak menimbulkan rasa permusuhan. Humor orang-orang yang aktualisasi diri berbeda dengan humor orang yang tidak mengaktualisasi diri. Humor mereka umumnya bersifat filosofis, menertawakan manusia pada umumnya, bukan individu, serta bersifat instruktif, yang dipakai langsung pada persoalan yang dituju da menimbulkan tawa. Humor ini semacam humor bijaksana yang menimbulkan senyuman atau anggukan tanda mengerti daripada gelak tawa yang keras. 14. Kreativitas. Ini merupakan sifat umum dari orang-orang yang aktualisasi diri yang inivatif, asli, meskipun tidak selalu dalam pengertian menghasilkan karya seni. Kreativitas ini sama dengan daya cipta dan daya khayal naif yang dimiliki anak-anak, tidak berprasangka dan langsung melihat persoalan.
15. Resistensi terhadap inkulturasi. Orang-orang yang mengaktualisasi diri dapat berdiri sendiri yang otonom, mampu melawan dengan baik pengaruh-pengaruh sosialuntuk berpikir atau bertindak menurut cara-cara tertentu. Mereka mempertahankan otonomi batin dan tidak banyak terpengaruh oleh kebudayaan. Mereka dibimbing oleh diri mereka bukan oleh orang lain. Walaupun memiliki ciri-ciri tersebut diatas, bukan berarti orang-orang yang mengaktualisasi dirinya adalah orang yang sempurna. Bagaimanapun mereka adalah manusia. Mereka tidak sempurna, tetapi hanya lebih mendekati kesempurnaan dari pada kebanyakan orang lain yang tidak mengaktualisasikan dirinya. Maslow dalam Schultz (1991 : 111) berpendapat bahwa pengaktualisasi diri dapat kadang-kadang tolol, sembrono, kepala batu, menjengkelkan, sombong, kejam, dan emosional, sifat-sifat yang ada pada individu- individu yang tidak mengaktualisasikan dirinya. Juga, mereka tidak sama sekali luput dari kesalahan, kecemasan, malu, kekhawatiran atau konflik. 2.4. Kebutuhan akan Beraktualisasi Diri Aktualisasi diri tokoh utama dalam psikologi terlihat di bagian aktualisasi diri pada tingkat dalam hirarki Abraham Maslow (Poduska, 2008:177). Tingkat yang paling rendah adalah mengenai kebutuhan-kebutuhan jasmani; tingkat kedua, kebutuhan rasa aman; tingkat ketiga, kebutuhan cinta dan rasa memiliki; tingkat keempat, kebutuhan harga diri; tingkat relima dengan beraktualisasi diri.
a. Kebutuhan Jasmani atau Fisiologis Untuk mencapai tingkat kebutuhan jasmani secara memadai, tingkat-tingkat daerah biologis dan psikologis harus terpuaskan. Pemuasan segi-segi biologis dari tingkat ini saja tidaklah cukup. Beberapa daerah kebutuhan jasmani manusia adalah: lapar, haus, latihan atau gerak jasmani, seks, dan ransangan sensoris (Poduska, 2008:178). b. Kebutuhan Rasa Aman Hal objektif yang utama untuk pencukupan kebutuhan rasa aman adalah dengan mengetahui rasa takut. Apakah ketakutan itu berdasarkan realitas atau imajinasi saja (Poduska:2008:182). Kebutuhan keamanan sudah muncul sejak bayi, dalam bentuk menangis dan berteriak ketakutan karena perlakuan yang kasar atau karena perlakuan yang dirasa sebagai sumber bahaya. Manusia akan merasa lebih aman berada dalm suasana semacam itu mengurangi kemungkinan adanya perubahan, dadakan, kekacauan yang tiak terbayangkan sebelumnya (Alwisol, 2004:258). c. Kebutuhan Cinta dan Rasa Memiliki Ada dua jenis cinta (dewasa) yakni deficiency atau D–love; orang yang mencintai sesuatu yang tidak dimilikinya, seperti harga diri, seks, atau seseorang yang membuat dirinya menjadi tidak sendirian. Misalnya hubungan pacaran, hidup bersama atau perkawinan yang membuat seseorang terpuaskan kenyamanan dan keamanannya. D-love adalah cinta yang mementingkan diri sendiri, lebih memperoleh adari pada memberi. B-love didasarkan pada penilaian mengenai orang lain apa adanya, tanpa keinginan mengubah atau memanfaatkan orang itu. Cinta yang berniat memiliki, tidak mempengaruhi, dan tertuma bertujuan memberi orang lain
gambaran positif, penerimaan diri dan perasaan dicintai, yang membuka kesempatan orang itu untuk berkembang (Alwisol, 2004:259). d. Kebutuhan Harga Diri Menurut Poduska (2008: 201), ada dua jenis harga diri, yakni sebagai berikut. a) Menghargai diri sendiri (self respect): orang membutuhkan pengetahuan tentang dirinya sendiri, bahwa dirinya berharga, mampu menguasai tugas dan tantangan hidup. b) Mendapat penghargaan dari orang lain (respect from others): orang membutuhkan pengetahuan bahwa dirinya dikenal baik dan dinilai baik orang lain. Kepuasan kebutuhan harga diri menimbulkan perasaaan dan sikap percaya diri, diri berharga, diri mampu, dan perasaan berguna dan penting di lingkungan keberadaannya. Sebaliknya, frustasi karena kebutuhan harga diri tak terpuaskan akan menimbulkan perasaan dan sikap inferior, canggung, lemah, pasif, tergantung, penakut, tidak mampu mengatasi tuntutan hidup dan rendah iri dalam bergaul. e. Kebutuhan Beraktualisasi Diri Kebutuhan akan beraktualisasi diri adalah kebutuhan manusia yang paling tinggi. Kebutuhan ini akan muncul apabila kebutuhan-kebutuhan dibawahnya telah terpuaskan dengan baik. Maslow dalam Poduska (2002:125), menandai kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi-potensi yang dimilikinya, atau hasrat dari individu untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya.
Contoh dari aktualisasi diri ini adalah seseorang yang berbakat musik menciptakan komposisi musik, seseorang yang memiliki potensi intelektual menjadi ilmuwan, dan seterusnya. Aktualisasi diri juga tidak hanya berupa penciptaan kreasi atau karya-karya berdasarkan bakat-bakat atau kemampuan khusus, semua orang pun bisa mengaktualisasikan dirinya yakni dengan jalan membuat yang terbaik atau bekerja sebaik-baiknya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Setiap individu berbedabeda bentuk aktualisasi dirinya dikarenakan dari adanya perbedaan-perbedaan individual. Manusia yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang utuh, memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain bahkan tidak menyadari ada kebutuhan semacam itu. Mereka mengekspresikan kebutuhan dasar kemanusiaan secara alami (Alwisol, 2004:260). 2.5. Setting Dalam Novel Skandal Setting atau latar merupakan unsur dalam pembangun karya sastra yang menunjukkan kapan dan dimana peristiwa dalam cerita tersebut berlangsung. Latar sangat mempengaruhi pembentukan tingkah laku dan cara berpikir tokoh. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:227), mengatakan bahwa setting dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu masingmasing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
a. Setting Tempat Setting tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Dalam hal ini, lokasi tempat berlangsungnya cerita dalam novel “Skandal” adalah kota kawasan mesum di Shinjuku, Tokyo : Jepang tepatnya di Jalan Takeshita, Jalan Sakura, disebutkan dimana tokoh utama Suguro menemui orang yang membuat masalah dalam hidupnya yaitu Itoi Motoko dan Nyonya Naruse, serta Kobari. Di Nagasaki, Isahaya, Obama, Kuchinotsu, dan Kazusa, disebutkan di sanalah tokoh utama Suguro berwisata bersama Istrinya untuk menenangkan pikiran, dan melupakan sejenak masalah-masalah yang Suguro hadapi. b. Setting Waktu Setting waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Setting waktu mengacu pada saat terjadinya peristiwa, meliputi hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan zaman tertentu yang melatarbelakangi cerita tersebut. Dalam hal ini, Shusaku Endo sebagai pengarang novel “Skandal” menyebutkan secara spesifik nama hari, yaitu hari Jumat, Sabtu,Minggu, seperti yang tertulis dalam cuplikan berikut: Cuplikan halaman 103 [...Hari Sabtu petang istrinya datang untuk membersihkan kantor. ”Aku pergi berbelanja sebentar ke Omote sando” kata Suguro padanya....] Cuplikan halaman 104 [...”Aku tidak keberatan kau menginap di sini... Tetapi besok hari Minggu.”..]
Cuplikan hal 273 [...Jumat. Malam sebelumnya, dlam berita cuaca di televisi diprakirakan kemungkinan salju akan turun;...] Cuplikan hal 317 [...Hari Minggu. Karena hari minggu setelah paskah, gereja penuh dari biasanya...] Namun tanggal dan bulan tidak dijelaskan dalam novel ”Skandal” karya Shusaku Endo. Dalam novel Skandal, Shusaku Endo menggambarkan setting waktu dari cerita jika dilihat dari latar belakang pengarang, cerita Skandal menggambarkan waktu pada zaman Modern yaitu abad ke-19. c. Setting Sosial Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencangkup berbagai masalah dalam lingkup yang kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, dan lain-lain. Disamping itu, latar social juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan. Dalam novel ”Skandal” digambarkan kehidupan pengarang di jepang yang selalu dekat dengan Pers dan penggemarnya. Dan dalam novel ini digambarkan latar sosial, yaitu banyaknya perilaku-perilaku menyimpang dalam seks bagi masyarakat Jepang, yaitu adanya perilaku sadomasokhis dimana sepasang atau sesama jenis melakukan hubungan seks dengan melakukan kekerasan fisik, dan bagi yang melakukan hubungan seperti itu akan merasa puas atau bergairah hingga merasa ingin
mati. Latar sosial tokoh utama Suguro digambarkan Shusaku Endo dengan status sebagai Pengarang novel yang kawakan di Jepang. 2.7. Profil Shusaku Endo Shusaku Endo dilahirkan di Tokyo pada tahun 1923. Ketika berumur tiga tahun, keluarganya pindah ke Manchuria yang waktu itu diduduki Jepang. Orangtuanya kemudian bercerai, dan ia bersama ibunya kembali ke Jepang. Ibunya yang beragama Katolik membesarkan Endo dalam agama yang sama. Endo pun dibaptis menjadi Katolik ketika ia berusia 12 tahun. Setelah lulus dari fakultas sastra Prancis di Keio University, dia mendapat beasiswa dari pemerintah Prancis selama dua setengah tahun di Lyon. Pengalaman ini kelak dituangkan dalam beberapa novelnya. Salah satunya novel berjudul Shiroi Hito(The White Man), yang mendapat penghargaan bergengsi Akutagawa Prize, yang merupakan penghargaan pertama dari sekian banyak penghargaan yang kelak diperolehnya dalam dunia sastra. Ia juga diangkat menjadi anggota Nihon Geijutsuin, sebuah Akademi Seni Jepang yang sangat bergengsi. Walaupun Shusaku Endo sudah meninggal pada tahun 1996, sampai sekarang sejumlah bukunya masih diterjemahkan kedalam berbagai bahasa di dunia. Salah satu novelnya yang banyak dibicarakan adalah Silence(Hening), yang rencananyaakan diangkat kelayar lebar. Sebagai pengarang, Shusaku Endo adalah salah satu dari sedikit pengarang Jepang yang menulis dari persfektif yang unik sebagai seorang Jepang dan Katolik (pemeluk Kristen di Jepang kurang dari 1%). Buku-bukunya mencerminkan bayak pengalamannya dalam membahas jalinan moral kehidupan. Iman Katoliknya dapat
dilihat dalam kadar tertentu di setiap bukunya, yang sering kali merupakan ciri khas dari karya-karyanya. Kebanyakan tokoh novel Shusaku Endo bergumul dengan dilema moral yang rumit sebagai orang Katolik, dan pilihan-pilihan mereka sering kali membawa hasil yang bercampur tragedi.