BAB III SHUSAKU ENDO DAN KARYA-KARYANYA 3.1 Shusaku Endo dan Karya-Karyanya Shusaku Endo merupakan seorang sastrawan Jepang yang lahir 27 Maret 1923 di Sugamo, Tokyo. Ketika berumur tiga tahun, keluarganya pindah ke Manchuria yang waktu itu diduduki oleh Jepang. Shusaku Endo adalah anak kedua dari Tsunehisa Endo, seorang pegawai bank Yasuda, ibunya seorang pemain biola dan kakak laki-lakinya seorang siswa yang memiliki hasrat yang besar. Sejak usia dini, Shusaku Endo tinggal di kota Manchuria dengan percampuran kebiasaan hidup Jepang, Rusia, dan Cina. Endo merasakan dirinya tumbuh dalam budaya yang terbaur dan tak bisa diajadikan satu kesatuan. Endo tidak terlalu menyukai rutinitas di sekolah yang mengakibatkannya menjadi benci terhadap rumah. Pertengkaran antara ibu dan ayahnya kerap kali terjadi dan sering membicarakan masalah perceraian. Hampir setiap malam ia mendengar suara tangisan sang ibu dan petikan biola yang penuh dengan kemarahan sehingga jarijari ibunya terluka dan mengeluarkan darah serta sang ayah yang pulang kantor dengan keadaan mabuk dan berteriak sesukanya. Tahun 1933, orang tuanya bercerai ia pun kembali ke Jepang bersama sang ibu dan karena mendapat pengaruh dari bibinya yang memeluk agama Katolik, ibu Endo mulai menghadiri misa, Endo pun dibaptis di tahun 1935 pada usia 12 tahun dengan nama Katolik Paul. Ibunya pun membesarkan Endo dalam ajaran agama Katolik yang akhirnya mempengaruhi pembentukan jiwa keagamaan Endo.
16
17
Ia meninggalkan ayahnya di Manchuria tetapi seorang pendeta menampilkan sesosok ayah yang datang dari surga dalam kehidupan Endo, keterpaksaannya mengikuti kelas agama hanya demi permen yang diperolehnya setelah pelajaran agama usai, membuat dirinya berada dalam keterpaksaan, kebingungan, dan ketegangan. Endo dibebaskan dari tugas militer selama Perang Dunia II karena kesehatannya yang buruk. Ia belajar di Universitas Keio dan pada tahun 1949 Shusaku Endo memperoleh gelar B.A sebagai seorang lulusan sastra Prancis di Universitas Keio. Endo mendapat beasiswa dari pemerintah Prancis selama dua setengah tahun (1950-1953) di Lyon untuk mempelajari fiksi Prancis dan mulai menulis novel. Suatu pengalaman yang ia tuangkan dalam sebuah novel karyanya yang berjudul Shiroi no Hito (Manusia Putih) yang kemudian mendapatkan penghargaan bergengsi Akutagawa Prize. Pada tahun 1958, Endo menulis “Laut dan Racub”, yang memenangkan Hadiah Sastra Shinchosha dan Mainichi Shuppan Hadiah Sastra. Ini merupakan penghargaan-penghargaan dari sekian penghargaan yang kemudian ia peroleh untuk karya-karyanya dalam dunia sastra. Ia kemudian masuk dalam kelompok beraliran Dai San no Shinjin “Wajah Baru yang Ketiga” bersama Junnosuke Yoshiyuki, Shotaro Yasuoka, Junzo Shono, Hiroyuki Agawa, Ayako Sono, dan Shumon Miura yang memiliki ciri khas tersendiri. Umumnya pengarang yang tergolong pada aliran Dai San no Shijin mengarang dengan tema hal-hal biasa yang muncul dalam kehidupan sehari-hari setelah masyarakat Jepang stabil dari kehancuran Perang Dunia II.
18
Shusaku Endo merupakan salah satu pengarang yang paling popular dan diakui secara internasional. Endo menampilkan kekristenan dalam setiap karyanya. Di tahun 1955, Endo menikahi seorang wanita Jepang bernama Junko Okada dan memiliki seorang putra. Sebagai salah satu penulis fiksi kontemporer terkemuka di Jepang, Endo diangkat menjadi anggota Nihon Geijutsu yang merupakan sebuah Akademi Seni Jepang yang sangat bergengsi. Di tahun 1959 Endo terjangkit penyakit Tuberkulosis yang mengakibatkannya harus menjalanioperasi sebanyak tiga kali dalam dua setengah tahun. Operasi yang dilakukan ini mengakibatkan organ tubuhnya lemah dan mengakibatkan ia kehilangan salah satu paru-parunya. Hal ini mengakibatkan fisik Endo menjadi lemah dan dalam karyanya beliau lebih simpatik terhadap karakter menderita baik kelemahan spiritual dan fisik. Dalam karya-karyanya ia lebih menampilkan sosok penyayang dan penuh kasih kristus. Sebagai seorang pengarang Shusaku Endo adalah salah satu dari sedikit pengarang Jepang yang melukiskan perspektif unik sebagai seorang Jepang dan Katolik. Endo mencerminkan banyak pengalamannya terutama membahas jalinan moral kehidupan. Iman Katoliknya dapat dilihat dalam kadar tertentu di setiap karyannya yang sering kali merupakan ciri khas dari karya-karya gubahannya. Sejak tahun 1950, Endo menerbitkan 175 buku yaitu 75 novel dan 17 koleksi cerita pendek, serta beberapa cerita perjalanan, esai, kritik, drama, dan lainnya. Karya Endo telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Pada tahun 1963, Endo dan keluarganya pindah ke kota Machida, sekitar 30 kilometer barat daya dari pusat kota Tokyo. Pada tahun 1986, novel “Sukyandaru” (Skandal)
19
diterbitkan. Pada tahun 1967, ia melakukan perjalanan ke Lisbon, Paris, dan Roma atas undangan Duta Besar Portugal untuk Jepang. Pada tahun 1969 Endo mengunjungi Israel dan Amerika dan tahun 1971 memperoleh medali dari Vatikan. Pada tahun 1977, ia menjadi anggota komite seleksi untuk Akutagawa Prize (penghargaan sastra paling bergengsi di Jepang). Endo adalah presiden kesepuluh dari PEN Jepang (1985-1989), dan menerima gelar doktor kehormatan dari Santa Clara University. Di tahun 1991, ia menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Katolik Fu Jen di Taiwan. Beliau meninggal pada tanggal 29 September 1996 diusia 73 tahun karena pendarahan di otak, dan karya terakhirnya adalah Fukai Kawa (Sungai Dalam). Kritikus Inggris memuji cerpen Endo karena member penjelasan bagi mereka mengenai konflik budaya antara budaya timur dan budaya barat, merabaraba moral individu mengenai sifat kepercayaan dan identitas paradoksal orang Kristen Jepang. Endo telah menyatakan bahwa ia menggunakan cerita pendek sebagai ajang pengujian untuk ide-ide yang kemudian dapat diperluasnya dalam suatu novel gubahannya. Buku-bukunya mencerminkan banyak pengalaman masa kecilnya, termasuk stigma sebagai orang luar, pengalaman menjadi asing, kehidupan seorang pasien rumah sakit, dan perjuangannya melawan penyakit TBC yang dideritanya selama bertahun-tahun. Namun buku-bukunya lebih cenderung berhubungan dengan kain moral kehidupan. Sebagian besar dari perjuangan tokoh-tokohnya dengan dilema moral yang konpleks dan pilihan mereka sering menghasilkan hasil yang beragam atau tragis. Endo sering disebut sebagai Graham Greenenya Jepang. Shusaku Endo adalah penganut Katolik
20
pertama yang mengemukakan hal yang begitu dahsyat dan dengan menarik simpulan tegas, mengenai Kristianitas yang seharusnya beradaptasi secara radikal kalau ingin menumbuhkan akar di rawa-rawa Jepang. Beberapa karya-karya Shusaku Endo yang terkenal ialah : 1. Shiroi Hito (Orang Putih;1955) menceritakan seorang mahasiswa teologi yang menolong orang lain dengan cara berbuat dosa, yaitu jisatsu “bunuh diri”. 2. Kiroi Hito (Orang Kuning;1955) dikemukakan suatu paradok, yaitu tokohtokoh seperti pastor dan umat Katolik yang dicap sebagai orang yang runtuh moral memahami dan mendekati keberadaan Tuhan secara lebih mendalam daripada orang yang dianggap “benar” menurut pihak gereja. 3. Umi to Dokuyaku (Laut dan Racun;1958) mengambil tempat umumnya di rumah sakit Fukuoka, pada Perang Dunia II. Novel ini berkisah tentang pembedahan yang dilakukan terhadap penerbang-penerbang Amerika yang ditembak jatuh. Dikisahkan dari sudut pandang orang pertama dari salah satu dokter-dokternya dan perspektif orang ketiga dari koleganya yang membedah, bereksperimen, dan membunuh keenam penerbang ini. Kisah ini didasarkan pada kejadian sebenarnya. Novel ini difilmkan pada 1986 dengan judul yang sama dengan novelnya yaitu Umi no Dokuyaku, yang disutradarai oleh Kei Kumai dan dibintangi oleh Eiji Okuda dan Ken Watanabe. Karya ini menampilkan keyakinan bahwa akan terbuka jalan pertolongan walaupun manusia pernah berdosa jika ia tobat. 4. Watashi ga Suteta Onna (1963) sebuah karya sastra yang sempat difilmkan dan disutradarai oleh Kiriro Urayama, novel ini menceritakan seorang pria mapan
21
yang bernama Yoshioka akan menikahi seorang gadis dari keluarga kaya, Mariko. Sebelumnya Yoshioka pernah menjalin cintadengan Mitsu, gadis desa yang menurut temannya bukan seorang pasangan yang tepat bagi Yoshioka. Kemudian ada seorang yang kejam ingin merusak nama baik Mitsu dan menggunakan cara licik demi memeras Yoshioka. 5. Chinmoku (Silence;1966) merupakan karya Endo yang paling termasyur dan merupakan sebuah adikaryanya, novel ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung dalam Kompas. 6. Shikai no Hotori (Di Tepi Laut Mati;1973) dalam novel ini ditampilkan Tuhan Yesus sebagai pendamping dalam kehidupan manusia dan disamakan dengan figur pastor. Yesus digambarkan sebagai tokoh yang kurang kharismatik. 7. Iesu no Shogai (Hidup Yesus;1973) dalam novel Tuhan ditafsirkan dengan pandangan orang Jepang sebagai satu-satunya cara menyelesaikan kontradiksi tersebut yakni meyakini Tuhan yang datang dari barat. 8. Samurai (Ksatria;1980) ini merupakan novel sejarah yang mengisahkan misi diplomatik Hasekura Tsunenaga ke Meksiko dan Eropa pada abad ke-17. 9. Sukyandaru (Skandal;1986) novel ini mengambil tempat di Tokyo, mengisahkan tentang seorang novelis yang terperangkap dalam skandal yang ada dalam dirinya, dan selalu dibayang-bayangi oleh wartawan yang ingin mengungkap skandal tersebut. 10. Fukai Kawa (Sungai Dalam;1993) novel ini mengambil tempat di India mengisahkan perjalanan fisik dan rohani sekelompok turis Jepang yang mengalami berbagai dilema moral dan spiritual dalam hidup mereka masing-
22
masing, ini merupakan karya terakhir Endo sebelum meninggal pada tahun 1997.
3.2 Novel Sukyandaru Novel yang berjudul Sukyandaru karya Shusaku Endo ini menggambarkan tentang kehidupan seorang pengarang novel terkenal beserta skandal yang dilakukannya sebagai seorang pengarang. Tokoh-tokoh dalam novel ini yaitu Suguro, Kobari, Nyonya Naruse, Mitsu, Istri Suguro, Kurimoto, Motoko, Ishiguro Hina, Kano, dan Tono. Tokoh utama dalam novel ini adalah Suguro. Suguro merupakan pengarang novel terkenal yang kehidupannya penuh dengan skandal. Tokoh lain dalam novel ini yang merupakan tokoh antagonis yaitu Kobari yang merupakan seorang reporter sebuah majalah mingguan, yang berkeinginan untuk mengungkapkan skandal kehidupan Suguro karena ia membenci Suguro. Nyonya Naruse, Motoko, dan Ishiguro Hina merupakan tokoh wanita yang berkaitan dengan skandal Suguro. Nyonya Naruse bekerja sebagai tenaga sukarela di sebuah rumah sakit memiliki kepribadian yang sangat berbeda ketika menjadi tenaga sukarela serta pada kehidupan seksnya. Nyonya Naruse yang membantu Suguro menunjukkan skandal yang Suguro lakukan. Motoko dan Ishiguro Hina bekerja melukis sket wajah di daerah Jalan Sakura. Ishiguro Hina adalah wanita yang mempermalukan Suguro saat malam penganugrahan. Mitsu, Istri Suguro, Kurimoto, Kano, dan Tono merupakan tokoh protagonis dalam novel ini. Mitsu adalah seorang siswi sekolah menengah yang tanpa sengaja bertemu dan berkenalan dengan Suguro di sebuah taman. Mitsu
23
kemudian dipekerjakan oleh Suguro di kantornya untuk bersih-bersih karena Mitsu membutuhkan uang untuk uang jajan adik-adiknya. Istri Suguro adalah wanita yang sayang dan mengabdi kepada suami. Kurimoto adalah editor yang bekerjasama dengan Suguro dalam menerbitkan novel-novel karya Suguro. Kurimoto juga membantu Suguro dalam menyelidiki desas-desus yang beredar mengenai skandal Suguro. Kano merupakan teman Suguro sesama pengarang, ia selalu memperingatkan Suguro mengenai desas-desus yang beredar yang bisa merusak reputasi Suguro sebagai pengarang. Tono adalah psikolog yang membantu Suguro dalam memahami tentang kepribadian ganda. Cerita ini berawal ketika Suguro yang merupakan novelis terkenal dan sangat dihormati berusia enam puluh lima tahun berkeyakinan Katolik, sebuah novelnya yang sudah ditekuni selama tiga tahun menerima hadiah kesusastraan. Suguro adalah orang yang mengutamakan keharmonisan, selalu menjaga kehormatan rumah tangga sesuai dengan ajaran agama Kristen. Agama Kristen yang ia anut tersebut sangat mempengaruhi novel-novel yang ia buat. Upacara penganugrahan dimulai dengan kata sambutan kepala perusahaan penerbit disusul dengan pidato yang diucapkan oleh Kano, salah seorang anggota komite penganugrahan. Sudah lebih dari tiga puluh tahun Suguro berteman dengan Kano. Mereka memulai debut di bidang sastra hampir bersamaan, ketika masih muda mereka pernah mengidap penyakit TBC dan keduanya dioperasi untuk menyembuhkan penyakit tersebut. Pada saat resepsi malam penganugrahan hadiah sastra, Suguro dipermalukan oleh seorang wanita mabuk yang mengaku mengenalnya dan mengatakan Suguro sering berkunjung ke kawasan mesum di
24
Kabuki-cho daerah Shinjuku, Tokyo. Para tamu yang hadir pada acara resepsi melihat kejadian tersebut, termasuk Kobari yang datang tanpa diundang ke acara tersebut dengan maksud mencari berita. Kobari merupakan seorang reporter yang sangat membenci Suguro dan keyakinan yang dianut Suguro, yang mempengaruhi novel yang dihasilkannya. Kobari merasa tidak percaya dengan tulisan Suguro pada novel-novelnya yang penuh dengan unsur religi, namun pada kenyataannya kehidupan Suguro ini penuh dengan skandal. Suguro yang dihormati sebagai seorang pengarang yang berkeyakinan Katolik, ternyata dikenal oleh wanitawanita pramuria dari kawasan mesum di Kabuki-cho. Hal tersebut merupakan tanda bahwa Suguro pernah mengunjungi tempat mesum itu serta melakukan halhal nakal bersama dengan wanita-wanita pramuria disana. Kobari merasa wajib untuk membuktikan kebenaran skandal tersebut untuk dapat menjatuhkan reputasi Suguro serta memuaskan perasaan bencinya terhadap Suguro. Saat wanita yang mempermalukan Suguro itu dalam perjalanan pulang, Kobari mengikuti wanita tersebut dan menghadang di dekat jalan masuk ke stasiun kereta bawah tanah Tokyo. Kobari menanyakan perihal kebenaran tentang apa yang dikatakan wanita itu mengenai Suguro yang pernah ditemui melakukan hal-hal yang sangat nakal di Jalan Sakura. Dari wanita itu, Kobari mendapati nama toko tempat wanita itu bertemu dengan Suguro, serta mendapatkan alamat galeri tempat terdapatnya sket wajah Suguro. Sebagai mahasiswa, Kobari dulu diilhami materialisme dialektis, dan ia merasa canggung dengan orang-orang seperti Suguro yang mengecoh rakyat banyak melalui kepercayaan mereka pada racun pembius yang berwujud agama.
25
Beberapa hari kemudian Kobari mendatangi suatu kawasan dari Kabukicho di Shinjuku, mencari toko seperti yang dikatakan wanita mabuk yang mempermalukan Suguro, yakni tempat pertunjukan cabul dan tempat mandi uap berderet-deret. Ia menanyakan intensitas kedatangan Suguro kepada resepsionis, namun resepsionis itu tidak tahu karena orang yang datang kesana sangat banyak. Hal ini membuat Kobari mulai merasa putus asa. Tapi suatu kali ketika malam sudah sangat larut, sewaktu ia sedang membeli karcis di sebuah mesin otomatis di Stasiun Shinjuku, secara kebetulan ia melihat profil seorang pria yang mirip sekali dengan Suguro. Pria itu menuju pangkalan taksi, seiring dengan seorang wanita berkacamata. Kobari langsung mengejar pria tersebut, tapi pasangan itu sudah lebih dulu masuk ke dalam taksi. Kobari kemudian memanggil taksi yang berikutnya dan menyuruh pengemudi mengikuti taksi tadi. Taksi itu menyusuri Jalan Raya Koshu dan menuju ke arah Yoyogi. Sesampai di Yoyogi, taksi yang di depan berhenti di depan sebuah gedung besar dengan gerbang mentereng. Taksi yang ditumpangi Kobari berjalan terus dan baru berhenti delapan puluh meter lebih jauh. Sementara itu pria dan wanita tadi sudah tidak kelihatan lagi. Kobari pergi melihat gedung besar itu, pada sebuah plat nama tertulis Hotel Angsa Yoyogi. Sejak kejadian tersebut, Kobari mulai mengumpulkan bukti-bukti mengenai skandal yang dilakukan Suguro. Kobari selalu berkeliaran di daerah tersebut dengan keyakinan akan menemukan Suguro secara langsung sedang melakukan hal-hal nakal dengan wanita-wanita disana. Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju, dapat dilihat dari berkelanjutannya masalah yang dialami tokoh Suguro saat dipermalukan pada
26
malam penganugerahan sastra. Serta dapat dilihat dari usaha-usaha berkelanjutan tokoh Kobari untuk mengungkapkan dan membuktikan skandal kehidupan pribadi tokoh Suguro seperti yang dikatakan wanita yang mempermalukan tokoh Suguro saat malam penganugerahan. Tokoh Kobari sangat membenci tokoh Suguro dan berkeinginan besar untuk menjatuhkan reputasi tokoh Suguro sebagai pengarang. Suguro memiliki kantor yang disewanya didekat daerah Harajuku. Dua kali seminggu istri Suguro datang untuk membersihkan kantornya. Mereka kadang-kadang pergi makan-makan dan setelah itu berjalan-jalan. Mereka selalu mengambil jalan yang itu-itu saja, menuruni lereng di depan kantornya, melintasi Taman Yoyogi, lalu menyusur Omote Sando sebelum kembali ke kantor. Ketika sore pada suatu akhir pekan saat istrinya tidak bisa datang ke kantornya karena ada musibah yang menimpa salah seorang kerabatnya, Suguro meninggalkan kantornya untuk jalan-jalan seperti biasa yang ia lakukan bersama istrinya. Ia menuju ke Taman Yoyogi. Ketika sedang berjalan-jalan disana, Suguro secara tak sengaja berkenalan dengan gadis remaja bernama Mitsu. Suguro kemudian mepekerjakan Mitsu di kantornya untuk membantu istri Suguro membersihkan kantor Suguro, karena istri Suguro mengidap penyakit arthritis yaitu penyakit nyeri pada persendian yang timbul karena cuaca dingin. Apabila Mitsu sedang bekerja, Suguro selalu memperhatikannya sehingga tanpa disadari ia sampai bermimpi melihat Mitsu berdiri di depan cermin dengan tubuh hanya terbalut celana dalam kembang-kembang. Saat terbangun, Suguro merasa malu karena bermimpi tidak senonoh seperti itu. Tapi disadarinya bahwa mungkin ia akan
27
teringat lagi dengan mimpi itu setiap Mitsu datang untuk membersihkan kantornya. Kurimoto adalah seorang editor yang bekerja sama dengan Suguro untuk menerbitkan novel-novel Suguro. Ia selalu datang mengunjungi Suguro untuk berdiskusi tentang novel yang ditulis Suguro atau hanya sekedar untuk bercakapcakap dengan Suguro. Kurimoto tidak pernah menyentuh minuman keras atau merokok, pakaian yang dipakainya pun bergaya bankir dengan dasi yang apik. Suatu hari, Kurimoto mengunjungi Suguro untuk mendiskusikan tentang karya Suguro yang berikutnya, namun disela-sela diskusi, Kurimoto memberi tahu Suguro bahwa ia sempat mengunjungi tempat yang dikatakan wanita mabuk yang mempermalukan Suguro. Tempat wanita itu memamerkan sket wajah Suguro dan tempat yang dikatakannya sering dikunjungi Suguro. Kurimoto mendatangi tempat itu dengan niat melindungi nama baik pengarang yang ia ajak bekerja sama. Beberapa hari kemudian, Suguro mendatangi tempat dipamerkan sket wajahnya seperti petunjuk yang diberikan oleh Kurimoto. Suguro menyusuri sebuah jalan sempit bernama Lorong Brams, sampai ke sebuah papan nama dengan tulisan Galeri Seni Rupa Baru. Disana Suguro mencari sebuah lukisan potret yang oleh Kurimoto dikatakan berjudul Wajah Tuan S, dipajang dekat sudut. Kemudian Suguro menanyakan kepada wanita yang duduk di balik meja penerima
tamu,
tentang
keberadaan
Ishiguro
Hina,
wanita
yang
mempermalukannya pada saat malam penganugrahan, serta menanyakan orang yang melukis potret tersebut. Namun orang yang dicarinya tidak ada.
28
Ketika Suguro akan meninggalkan tempat tersebut, dilihatnya seorang wanita bersosok keibuan yang dipanggil Nyonya Naruse oleh wanita penerima tamu tadi memasuki galeri. Suguro menuju ke sebuah kedai kopi yang terletak di seberang galeri. Ia duduk dekat jendela, tetapi ia masih terbayang-bayang dengan potret itu. potret yang menampilkan wajah seorang pria yang kejelekannya tidak memancar ke luar dari parasnya, melainkan dari lubuk jiwanya. Suguro merasa bingung dan ketakutan, pikirannya menerawang. Tanpa disadarinya wanita yang tadi dilihatnya di galeri telah duduk di tempat duduk kosong bersebelahan dengan Suguro. Wanita itu menyapa Suguro terlebih dulu, lalu mereka bercakap-cakap mengenai
lukisan
potret
tersebut
sampai
mebicarakan
tentang
seks.
Perjumpaannya dengan Nyonya Naruse dirasakan luar biasa oleh Suguro. Ia tidak pernah membayangkan pembicaraan yang begitu terbuka dengan seorang wanita yang baru dikenalnya, bahkan percakapan seperti itu dengan istrinya sendiri pun tidak pernah dilakukannya. Kobari yang memiliki keinginan untuk membeberkan skandal dari Suguro, berusaha mengumpulkan bukti-bukti tentang skandal tersebut. Ia berkeliaran juga di kawasan itu seperti halnya Suguro. Ia mencari galeri tempat terdapatnya lukisan potret wajah Suguro. Namun belum sempat ia memasuki galeri, ia melihat Suguro memasuki kedai kopi di seberang jalan. Kobari mengawasi Suguro yang berada di dalam kedai kopi tersebut dari balik sebuah tiang kawat telegrap. Tidak lama kemudian, Kobari melihat seorang wanita keluar dari bangunan yang baru saja ditinggalkan oleh Suguro memasuki kedai kopi yang sama. Kobari melihat mereka seperti sudah saling mengenal karena mereka duduk bersebelahan dan
29
dengan segera sudah terlibat dalam percakapan yang serius. Kemudian Suguro dan wanita tersebut berdiri dan meninggalkan kedai tersebut. Kobari mengikuti mereka menyusur Jalan Takeshita, namun tiba-tiba mereka berpisah, Suguro menuju ke arah stasiun kereta api, sementara wanita itu menuju ke arah berlawanan. Kobari tidak lagi membuntuti lebih jauh, ia kemudian kembali ke galeri. Kano yang merupakan teman Suguro sesama pengarang, memperingatkan Suguro mengenai desas-desus aneh tentang dirinya. Desas-desus itu mengenai Suguro yang sering datang ke tempat-tempat pertunjukan cabul di sekitar Kabukicho. Malam kemarin dulu, Kano juga pernah melihat sekilas seperti Suguro duduk bersama wanita yang memakai kacamata di peron di Stasiun Shinjuku sekitar pukul setengah dua belas. Tetapi Suguro membantah semua itu karena ia merasa malam kemarin dulu ia berada di rumah sambil membaca cerita-cerita singkat. Namun Kano tidak langsung percaya dengan Suguro, karena Kano sempat ditelpon oleh Kobari sekitar dua minggu lalu menanyakan tentang Suguro. Kobari memberi tahu Kano bahwa ia berjumpa dengan seorang wanita seniman yang menceritakan tentang perbuatan-perbuatan nakal Suguro. Kobari yang selalu berusaha mencari petunjuk dan mengumpulkan buktibukti mengenai skandal Suguro, apabila kebetulan berada di dekat kawasan Shinjuku dalam rangka tugas, dalam perjalanan pulang ia selalu melewati Jalan Sakura, karena ia berkeyakinan akan menemukan Suguro disana sedang melakukan hal-hal nakal bersama wanita. Namun setelah sekian lama ia melakukan pencarian, ia tidak menemukan hasil. Ketika sudah merasa putus asa,
30
tanpa sengaja ia berpapasan dengan wanita yang pernah ia lihat menemui Nyonya Naruse. Kobari mencegat wanita tersebut untuk menanyakan kedekatan wanita tersebut dengan Suguro. Kemudian Kobari mengajak wanita itu minum-minum agar bisa mendapatkan lebih banyak lagi informasi mengenai skandal yang dilakukan oleh Suguro. Wanita itu bernama Itoi Motoko, bekerja di kawasan Jalan Sakura dengan cara membuat sket wajah. Itoi Motoko merupakan wanita yang membuat sket dari wajah Suguro. Ia menceritakan kepada Kobari bahwa saat membuat sket tersebut, ia juga bersama Ishiguro Hina melakukan hal-hal nakal bersama Suguro di sebuah hotel. Setelah mengetahui tentang Suguro dari Itoi Motoko, Kobari menelpon Suguro dan mengajaknya bertemu secara langsung untuk membicarakan mengenai desas-desus yang beredar mengenai Suguro. Suguro akhirnya menemui Kobari di sebuah snack-bar. Kobari menanyakan kepada Suguro mengenai perempuan yang ada di sebuah foto yang ia dapat dari temannya yang seorang fotografer. Foto itu merupakan foto sebuah pesta di hotel Chateau Rouche di Roppongi. Kobari kemudian mengatakan bahwa perempuan yang ada di foto tersebut mengenal Nyonya Naruse, dan perempuan itu juga merupakan teman dari wanita yang mempermalukan Suguro dengan menyebarkan desas-desus tidak enak tentang Suguro pada waktu resepsi malam penganugrahan. Tetapi Suguro tetap mengelak bahwa ia tidak mengenal dan tidak pernah bertemu dengan perempuan yang ada di foto tersebut. Kobari terus berusaha mengumpulkan buktibukti untuk dapat membeberkan skandal Suguro kepada penggemarnya.
31
Setelah pertemuannya dengan Kobari, pikiran Suguro mulai dilanda kecemasan. Suguro menanyakan kepada Profesor Tono yang merupakan seorang psikolog penganut aliran Freud, mengenai kelainan seks dan halusinasi. Suguro bertemu dengan Tono ketika menjadi narasumber dalam sebuah acara ceramah yang disponsori oleh badan penerbit tempat Kurimoto bekerja. Namun dari penjelasan Profesor Tono, Suguro tampak tidak puas, dan kecemasan masih membayang-bayangi pikirannya mengenai desas-desus yang beredar tersebut. Kobari yang masih belum mendapat cukup bukti untuk membuktikan desas-desus mengenai skandal Suguro kembali menemui Ishiguro Hina. Kobari menemui Hina untuk lebih memastikan kembali hubungan Motoko dengan Suguro dan hubungan Motoko dengan Nyonya Naruse. Ishiguro Hina tidak memberi kejelasan, tetapi menertawakan Kobari. Hina menanyakan kepada Kobari tentang sebab ia sangat membenci Suguro. Namun Kobari sendiri tidak tahu pasti alasan ia tidak suka kepada Suguro, ia hanya merasa bahwa orang seperti Suguro itu palsu, pernyataan-pernyataan yang diucapkan sangat berbeda dengan kenyataan. Selain itu, Kobari juga merasa iri dengan kehidupan tentram yang dijalani Suguro sebagai seorang pengarang dengan banyak penggemar yang sangat menyukai novel-novel yang dibuat Suguro yang sangat dipengaruhi oleh agamanya. Padahal kehidupan pribadi Suguro penuh dengan skandal, karena itu Kobari
yang merupakan seorang
reporter
merasa
berkewajiban untuk
membeberkan kenyataan itu. Kobari menemui Profesor Tono karena merasa kebingungan dengan pernyataan yang ia dapat dari wanita-wanita yang berhubungan dengan skandal
32
Suguro dan dari pernyataan Suguro setelah ia temui secara langsung. Wanitawanita itu menyatakan bahwa mereka memang pernah bertemu dengan Suguro dan melakukan hal-hal nakal bersama Suguro, sampai mereka membuat sket wajah dari Suguro. Namun Suguro tidak pernah ingat pernah bertemu wanitawanita itu, dan menyatakan kalau Suguro tidak mengenal mereka. Kobari menanyakan kepada Profesor Tono tentang Suguro serta kemungkinan Suguro memiliki kepribadian ganda. Profesor Tono menyatakan ia tidak tahu apa-apa tentang kemungkinan Suguro memiliki kepribadian ganda. Tetapi tentang kepribadian ganda secara umum, semua orang bisa memilikinya. Setiap orang bisa saja memiliki satu wajah yang dipakai dalam kehidupan bermasyarakat, lalu satu lagi yang disimpan untuk diri sendiri. Dari pernyataan Profesor Tono tersebut membuat Kobari semakin berusaha untuk bisa mengungkap skandal Suguro. Pengarang yang dibenci Kobari karena novel-novel yang ditulisnya sangat dipengaruhi oleh agama Katolik yang dianutnya, namun dengan tangan yang sama itu ia melakukan hal-hal nakal dengan wanita-wanita di tempat mesum. Selain itu, pekerjaan Kobari sebagai reporter membuat ia merasa wajib membeberkan kebenaran kehidupan pribadi Suguro yang berbeda dari yang ditulisnya di novel. Suguro dilanda kecemasan karena disadarinya kalau desas-desus aneh yang beredar tentang dirinya akan mempengaruhi reputasinya sebagai pengarang dan hal lebih buruk yang ia pikirkan, jika istrinya sampai tahu semua masalah tersebut
akan
mempengaruhi
keharmonisan
rumah
tangganya.
Suguro
menghubungi Nyonya Naruse untuk bertemu, dan tempat yang mereka sepakati untuk bertemu adalah restoran Shigeyoshi. Suguro menanyakan mengenai desas-
33
desus yang beredar tersebut, dan meminta bantuan Nyonya Naruse untuk mempertemukannya dengan orang yang diyakini Suguro mirip dirinya berkeliaran di kawasan Shinjuku sehingga timbul desas-desus aneh. Nyonya Naruse bersedia membantu Suguro, dan mengajak Suguro bertemu kembali pada hari Jumat yang akan datang di alamat yang ditulisnya di atas selembar alas gelas. Pada hari yang telah dijanjikan, Suguro menaiki taksi menuju alamat tempat ia akan bertemu dengan Nyonya Naruse untuk mengungkap desas-desus yang beredar tentang Suguro yang diyakini Suguro desas-desus tersebut dibuat oleh orang yang mirip dengannya. Sesampainya di depan hotel tempat Suguro akan bertemu dengan Nyonya Naruse, ia merasa sedikit aneh, karena merasa pernah melihat hotel tersebut, dan bahkan merasa pernah berada di dalamnya. Tapi Suguro tidak mengerti kenapa ada ingatan dalam dirinya terhadap hotel itu. Sewaktu sudah masuk, Suguro diberi tahu oleh seorang lelaki yang duduk di belakang meja penerima tamu kalau Suguro sudah ditunggu Nyonya Naruse di kamar suite 308. Saat itu Suguro melihat Nyonya Naruse yang benar-benar beda dan baru saat itu ia melihat Nyonya Naruse merokok. Disana Suguro diperlihatkan oleh Nyonya Naruse mengenai alam bawah sadar. Suguro disuruh oleh Nyonya Naruse mengintip dari sebuah lobang kecil di sebuah lemari. Ternyata lobang tersebut mengarah ke kamar tidur. Di tempat tidur kamar tersebut, Suguro melihat Mitsu sedang tertidur pulas tanpa mengenakan pakaian. Melihat semua itu, Suguro jadi terbayang kembali dengan mimpinya yang dulu tentang Mitsu, sambil ia terus mengintip dari lobang tersebut, ia melihat sosok seorang lelaki tua yang persis seperti dirinya memandangi tubuh Mitsu, kemudian mulai menggerayangi
34
tubuh gadis remaja tersebut. Lelaki itu mulai mengelus-elus payudara, kemudian mulai menjilat-jilat tubuh Mitsu, sampai akhirnya tiba-tiba mencengkeram kerongkongan Mitsu. Mitsu menggeliat-geliat, matanya mengernyitkan kesakitan. Suguro akhirnya tersadar kembali, seperti orang yang baru siuman dari pingsan. Tubuhnya dilanda kelelahan, dan ia menyandarkan kepalanya ke dinding, sedangkan Mitsu masih terkapar di atas tempat tidur. Suguro membuang mata saat sadar melihat semua itu, dan seperti penjahat yang hendak menutupi kejahatannya, ia menutupi tubuh Mitsu dengan selimut. Setelah Mitsu terbangun, Suguro segera menyuruh Mitsu berpakaian, kemudian mereka pulang. Dalam perjalanan keluar dari hotel, Mitsu mengatakan kalau merasakan mimpi seperti melihat wajah Suguro berulang-ulang kali, tapi Suguro tidak menanggapi yang dikatakan oleh Mitsu. Suguro merangkul Mitsu menuju jalan besar untuk mencari taksi. Ketika mereka keluar lewat gerbang, tibatiba ada cahaya terang memancar di depan wajah mereka. Itu adalah cahaya dari kamera foto yang dibawa Kobari. Akhirnya Kobari mendapatkan foto Suguro sedang merangkul Mitsu keluar dari hotel yang akan menjadi bukti skandal dari Suguro. Kobari menanyakan tentang gadis itu, namun Suguro tidak menjawab. Suguro memanggil taksi untuk mengantarkan Mitsu pulang, sedangkan Suguro berjalan ke arah Harajuku. Kobari mengancam Suguro, akan menuliskan tentang Suguro dan skandalnya dari bukti foto yang ia dapat secara langsung tersebut. Anehnya, ancaman tersebut sama sekali tidak membuat Suguro gelisah dan takut, karena Suguro mulai menyadari kalau semua yang terjadi di hotel tadi bukan ilusi,
35
bukan mimpi buruk, bukan juga dilakukan oleh orang lain yang mengaku dirinya. Orang itu adalah Suguro sendiri, satu sisi lain dari kepribadiannya. Dua minggu kemudian, Kurimoto menelpon Suguro, mengatakan bahwa pimpinan badan penerbit yang menerbitkan novel-novel Suguro ingin bertemu. Seperti sudah diperkirakan sebelumnya oleh Suguro, Kobari membawa foto skandal tersebut ke badan penerbit dan mengatakan hendak menulis artikel mengenai foto tersebut. Tetapi, badan penerbit tersebut sudah cukup lama bekerja sama dengan Suguro, menerbitkan novel-novel karya Suguro. Jika foto tersebut beredar luas, akan memberikan dampak negatif terhadap reputasi Suguro dan juga akan berpengaruh negatif ke badan penerbit tersebut, akhirnya foto tersebut beserta negatifnya dibeli oleh badan penerbit kemudian dibakar. Novel Sukyandaru ini sangat menarik untuk dibaca dan diteliti, karena novel ini menyajikan cerita mengenai kehidupan serta masalah-masalah kehidupan. Novel ini memberikan gambaran mengenai alam bawah sadar, rasa tidak percaya, iri, benci, sampai keinginan besar untuk menjatuhkan nama baik serta reputasi seseorang. Hal tersebut menarik untuk dapat diketahui penyebabnya, karena dalam kehidupan nyata masalah-masalah semacam itu sering terjadi. Deskripsi Shusaku Endo yang begitu rinci dan mendalam pada novel ini, dapat membawa pembaca larut dalam petualangan bersama tokoh-tokohnya. Masalahmasalah kehidupan yang disajikan dalam novel ini mampu membuat pembaca penasaran dan ingin tahu akan kelanjutan cerita. Masalah serta konflik yang kemudian dikuak perlahan-lahan oleh Endo dengan gaya penulisan yang halus dan ringan. Walaupun pada awal cerita sudah terdapat konflik dalam penokohan, alur,
36
dan bahkan jalan cerita, namun dalam pengembangan cerita Shusaku Endo mampu membuat semua rasa penasaran pembaca sedikit demi sedikit terjawab.