BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “THE DRAGON SCROLL” DAN KEHIDUPAN WANITA JEPANG ZAMAN HEIAN
2.1 Defenisi Novel Novel menurut Henry Guntur dalam Fikri (2010:3) adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan yang nyata dalam suatu alur atau keadaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel adalah karya prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya, dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Selain itu Nurgiyantoro (1995:9) menyatakan bahwa novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajkan dengan halus. Sebagai suatu karya fiksi, novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Bentuknya panjang, biasanya lebih dari 10.000 kata b. Sering menawarkan lebih dari satu tema. c. Jumlah tokoh lebih dari satu dengan karakter yang berbeda. d. Alur ceritanya kompleks.
12 Universitas Sumatera Utara
e. Ditulis dengan gaya narasi yang terkadang dicampur deskripsi untuk menggambarkan suasana. f. Lebih mencerminkan gambaran tokoh nyata yaitu tokoh yang berangkat dari realitas.
Selain itu, novel mampu menghadirkan perkembangan suatu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa rumit yang terjadi beberapa tahun silam dengan lebih menditail. Jadi novel merupakan suatu media untuk mengungkapkan sisi kehidupan secara nyata dalam bentuk yang lebih menarik. Novel dengan tokoh, alur, tema dan permasalahannya yang kompleks harus memiliki keutuhan dan kelengkapan agar novel tersebut menjadi karya sastra yang baik. Keutuhan dan kelengkapan sebuah novel dapat dilihat dari unsur-unsur yang membangunnya. Secara garis besar unsur-unsur pembangun novel ada dua yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. 1. Unsur intrinsik Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang berada dalam suatu karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang secara langsung turut membangun cerita. Nurgiyantoro (1995:23) berpendapat bahwa unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Dengan kata lain, keterpaduan antar unsur inilah yang membuat sebuah novel berwujud.
13 Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur tersebut adalah tokoh, alur, latar, judul, sudut pandang, gaya bahasa, tema, dan amanat (Wiyatmi, 2009:30). a. Tokoh Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam novel merupakan ciptaan pengarang meskipun dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang yang ada dikehidupan yang nyata. Tokoh terbagi 2 yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling banyak terlibat cerita dan paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. b. Alur Alur adalah
rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan
hubungan sebab-akibat. Alur sering berpusat pada konflik, namun konflik tidak bisa dipaparkan begitu saja. Biasanya, sebelum konflik urutan alur diawali dengan pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, kemudian pemecahan soal. Alur terbagi 2 yaitu alur maju (progresif) dan alur mundur atau flash back (regresif). c. Latar Latar atau setting terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Fungsi latar adalah memberi konteks cerita, yaitu sebuah cerita yang terjadi dan dialami oleh tokoh di suatu tempat tertentu, pada suatu masa dan lingkungan masyarakat tertentu. d. Judul Judul merupakan hal pertama yang paling mudah dikenal oleh pembaca. Judul sering mengacu pada tokoh, latar, tema, maupun
14 Universitas Sumatera Utara
kombinasi dari ketiganya. Judul harus mewakili keseluruhan isi cerita. Bentuknya singkat namun padat dan jelas. e. Sudut Pandang Sudut pandang atau point of view terbagi atas sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang pertama dibagi lagi menjadi sudut pandang akuan sertaan (first person central) yaitu cerita disampaikan oleh tokoh utama dengan memakai kata ganti “aku”, dan sudut pandang akuan taksertaan (first person peripheral) yaitu pencerita merupakan tokoh pembantu yang hanya muncul diawal cerita dan akhir cerita. Sedangkan sudut pandang orang ketiga dibagi lagi menjadi sudut pandang diaan maha tahu (third person omniscient) yaitu pencerita berada diluar cerita dan menjadi pengamat dan mengetahui banyak hal tentang tokoh-tokoh lain, dan sudut pandang diaan terbatas (third person limited) yaitu pencerita hanya tahu dan menceritakan tokoh yng menjadi tumpuan cerita saja. Sudut pandang ini jarang ditemui dengan detail tokoh yang terbatas, cerita menjadi tidak hidup. f. Gaya Gaya merupakan cara pengungkapan yang khas bagi seorang pengarang. Gaya tersebut meliputi penggunaan diksi (pilihan kata), imajeri (citraaan), dan sintaksis (pilihan pola kalimat). Gaya dalam karya sastra akan memperindah bahasa, sehingga membuat nilai lebih suatu karya sastra. g. Tema
15 Universitas Sumatera Utara
Tema merupakan makna cerita atau sikap pengarang terhadap subjek atau pokok cerita. Fungsi tema adalah menyatukan unsur-unsur lainnya. Dalam sebuah novel bisa mengemukakan lebih dari satu tema, karena bentuk novel yang cukup luas dan kompleks. h. Amanat Amanat adalah pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Amanat biasanya merupakan pandangan hidup pengarang tentang nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembaca. Menurut Kenny dalam Fikri (2010:19), amanat dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis kemudian dapat diambil melalui cerita oleh pembaca. 2. Unsur ekstrinsik Unsur ekstrinsik adalah unsur diluar karya sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi suatu karya sastra. Unsur ekstrinsik merupakan segala faktor
yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Unsur
ekstrinsik karya sastra cukup berpengaruh terhadap totalitas keterpaduan cerita yang dihasilkan. Pengkajian terhadap unsur ekstrinsik karya sastra mencakup empat hal, yaitu: mengkaji hubungan antara sastra denagn biografi atau psikologi pengaarang, mengkaji hubungan sastra dengan aspek-aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, da pendidikan, mengkaji hubungan antara sastra denagn hasil-hasil pemikirn manusia seperti ideologi, filsafat, pengetahuan, dan
16 Universitas Sumatera Utara
teologi, serta mengkaji hubungan antara sastra dengan semangat zaman, atmosfir atau ilkim intelektual tertentu. Unsur ekstrinsik meliputi tradisi dan nilai-nilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama, dan sebagainya. 2.2 Setting Novel The Dragon Scroll Sebagai salah satu bagian dari unsur pembangun karya fiksi, setting selalu memiliki hubungan dengan unsur-unsur signifikan lain dalam rangka membangun totalitas makna serta adanya kesatuan dari keseluruhan isi yang dipaparkan pengarang. Setting selalu memiliki hubungan dengan penokohan, perwatakan, suasana cerita, alur atau plot maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita (Aminuddin, 2000:69). Staton dalam Fikri dalam Arum (2012:23) menyebutkan bahwa setting merupakan lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta
yang
berinteraksi
dengan
peristiwa-peristiwa
yang
sedang
berlangsung. Sedangkan Abrams dalam Fananie (2000:61) menyebutkan bahwa setting merupakan tempat terjadinya suatu peristiwa secara umum, waktu berlangsungnya suatu tindakan. Novel “The Dragon Scroll” adalah novel yang menceritakan sebuah peristiwa penyidikan di Jepang pada abad kesebelas yang menyajikan sebuah sisi kehidupan masyarakat Jepang pada saat itu. Jepang pada abad kesebelas
17 Universitas Sumatera Utara
terdapat pada zaman Heian (794-1192) yang ditandai dengan dipindahknnya ibukota dari Nara ke Kyoto (HeianKyo) oleh kaisar Kanmu. Jepang pada masa itu didominasi oleh bangsawan dengan kekuasaan politik Istana Kekaisaran berada di tangan keluarga bangsawan. Pada saat itu, keluarga Fujiwara adalah bangsawan yang paling berkuasa. Tidak hanya dalam pemerintahan, peran perempuan dimasyarakat Jepang pada masa itu sangat terbatas. Golongan perempuan kelas atas menghabiskan sebagian hidup mereka di dalam rumah orang tua atau suami mereka, sedangkan perempuan menengah dan miskin bekerja bahu-membahu dengan kaum laki-laki. Perempuan kelas atas di abad sebelas bisa memiliki harta benda, tetapi mereka berada di bawah kendali laki-laki. Perempuan kelas bawah lebih memiliki kebebasan tapi sedikit bisa menikmati waktu santai. Lokasi dan tempat terjadinya cerita novel “The Dragon Scroll” adalah di Jepang khususnya di Provinsi Kazusa. Nama tempat-tempat yang ada pada masa itu dalam novel tersebut adalah kediaman gubernur, tempat tinggal tamu, pasar, toko sake, rumah Tachibana, rumah Ayako, Rumah petak Jasmin, sekolah sumo, penjara, dan beberapa tempat lainnya. 2.3 Kehidupan Wanita Zaman Heian Kaum perempuan adalah mitra kaum pria yang diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kaum pria, dalam detil yang sekecil-kecilnya. Hal tersebut merupakan hal yang secara fitrah dimilliki oleh kaum wanita secara alamiah (Gandhi, 2002:5).Tetapi tidak berlaku bagi wanita 18 Universitas Sumatera Utara
jepang di zaman Heian. Wanita-wanita di zaman Heian memiliki keterbatasan dalam menentukan kehidupannya sendiri. Hal ini terdapat dalam novel The Dragon Scroll karya Inggrid J Parker. Inggrid mengungkapkan wanita pada zaman Heian secara jelas bagi wanita golongan atas dan golongan bawah. Dan penulis akan menganalisis kehidupan wanita-wanita tersebut dengan melihat dari aspek keluarga dan sosial masyarakat. Citra wanita dalam aspek sosial disederhanakan ke dalam dua peran, yaitu peran wanita dalam keluarga dan peran wanita dalam masyarakat. Peran ialah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan (Wolfman dalam Sugihastuti 2000: 121). Peran dapat berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Peranan wanita artinya bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan wanita. Ada berbagai peran wanita yang dimilikinya sejak lahir sampai pada usia-usia selanjutnya. Peran-peran itu merupakan bagian dari hidupnya. Peran-peran tersebut menyangkut peran wanita sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Pemisahan secara tegas setiap peran tidak memungkinkan peran-peran itu saling berkaitan. Keterlibatan kehidupan wanita dalam banyak peran serba memungkinkan, namun dari berbagai peran tersebut penulis menyederhanakan pembahasan peran yang bersangkutan dengan cerita dalam novel The Dragon Scroll, yaitu kehidupan wanita Heian dalam keluarga dan lingkungan sosial masyarakat.
19 Universitas Sumatera Utara
Kehidupan wanita disetiap negara pastilah memiliki perbedaan. Masingmasing negara memiliki cirikhas tersendiri. Perbedaan disetiap negara itu bisa berupa kehidupan sosial, karir, dan sebagainya. Perbedaan itu sendiri sewaktuwaktu juga bisa berubah maupun berkembang disetiap negara. Hal ini juga tidak terlepas dari faktor-faktor budaya dan kehidupan masyarakat yang ada pada saat itu.Begitu juga halnya dengan Jepang. Jepang juga memiliki cirikhas tersendiri terhadap kehidupan sosial wanitanya. Kehidupan sosial ini terus berkembang dan mengalami perubahan dari zaman ke zaman. 2.3.1
Kehidupan Wanita Jepang Zaman Heian Dalam Lingkungan Keluarga
Peran perempuan dalam keluarga golongan kelas atas menghabiskan sebagian besar hidup mereka didalam rumah orangtua atau suami mereka, sedangkan perempuan menengah dan miskin bekerja bahu-membahu dengan kaum lelaki. Perempuan kelas bawah di abad sebelas bisa memiliki kebebasan tapi sedikit bisa menikmati waktu santai.Ayako, sudah tentu, bukanlah tipe perempuan sejamannya, walaupun hubungan seks secara bebas dipertukarkan di semua golongan, dan lakilaki ningrat bukan hanya praktik poligami tapi juga memiliki hubungan gelap sebagai sampingan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan di Jepang pada masa ini mengejutkan barat karena bersifat liberal sampai pada titik yang bisa dianggap tidak bermoral.Kunjungan sembunyi-sembunyi seorang pemuda ke kamar seorang gadis yang satu kelas dengannya dianggap biasa antara dua kekasih.Mereka saling bertukar syair keesokan harinya, tetapi hubungan tersebut tidak mesti berlanjut.Apabila mereka melanjutkan sampai tiga malam berturut-turut, berarti
20 Universitas Sumatera Utara
sudah terjadi pernikahan dan pengantin pria diterima oleh keluarga pengantin wanita dengan menyuguhi kue beras khusus.Dia biasanya menetap di rumah istrinya.Status istri bergantung pada status suami, perilakunya, atau kedudukan orangtua si istri, karena si pria bisa saja memiliki beberapa istri.Selain itu tak jarang pula terjadi si suami mempunyai sejumlah gundik.Si pria juga dapat menceraikan istrinya cukup hanya dengan memberitahukan keputusannya itu.Akan tetapi, seorang gadis biasanya dijaga dengan baik oleh keluarganya.
2.3.2
Kehidupan
Wanita
Jepang
Zaman
Heian
Dalam
LingkunganSosial Pada zaman Heian, kehidupan dalam istana kerajaan Jepang saat itu sungguh tak menguntungkan bagi kaum wanita. Seperti di banyak kerajaan lainnya, para wanita keluarga raja sangat dijaga. Hidup para wanita penuh aturan dan batasan. Dunia di luar istana nyaris tak mereka kenali. Para wanita hanya boleh keluar ketika ada acara pesta rakyat. Pendidikan yang mereka ketahui pun terbatas. Hanya sedikit di antara mereka yang bisa membaca dan menulis. Dalam suasana seperti inilah lahir novelis wanita pertama dunia, Shikibu Murasaki. Dialah penulis Genji Monogatari (Kisah Genji), karya novel pertama dalam sejarah. Pada zaman ini, perempuan kerajaan menggunakan pakaian formal yang disebut Jyunihitoe (kimono berlapis 12). Kostum dipilih berdasarkan jabatan dan musim. Kimono perempuan menggunakan sistem kombinasi warna yang melambangkan bunga dan tanaman yang spesifik yang ada di suatu musim atau bulan, contohnya irome dan kasane no irome. Pada umumnya, perempuan yang
21 Universitas Sumatera Utara
belum menikah mengenakan hakama warna gelap. Sementara, perempuan yang sudah menikah mengenakan hakama dengan warna-warna cerah, umumnya merah. Penghuni istana amat memiliki cita rasa seni yang tinggi. Pakaian pun dibuat indah dengan aturan warna untuk masing-masing level di istana bahkan warna yang berbeda untuk setiap musim. Kaum wanitanya pun berbusana Kimono yang sudah menggunakan teknik pencelupan warna dan sulaman yang indah. Anggota aristokrasi berperilaku sesuai dengan aturan dan estetika. Untuk memiliki reputasi yang baik bagi bangsawan merupakan tantangan yang utama. Kecantikan merupakan hal yang baik, tetapi apa yang dianggap indah bagi seorang bangsawan Heian mungkin dianggap jelek oleh anggota dari budaya lain. Gigi putihdianggap jelek pada masa itu dan menghitamkannya dengan pewarna. Ketika seorang wanita tersenyum, mungkin tampak seperti oval gelap. Kebiasaan menghitamkan gigi dikenal sebagai o-haguro dan berlangsung hingga akhir abad 19. Para wanita bangsawan juga mencabut alis mereka dan mewarnainya tepat diatas 2-3cm dari alis asli mereka. Begitu juga halnya dengan para pria bangsawan, mereka melakukan hal yang sama. Tidak hanya bagian alis, bagi seorang wanita yang memiliki rambut yang sangat panjang, bahkan lebih panjang dari tubuhnya merupakan hal yang cantik. Dan bagi laki-laki terlalu banyak rambut dibagian wajah tidak dapat diterima, hanya kumis tipis dan rambut janggut tipis di bawah dagu yang dianggap menarik. Aturan lain keindahan zaman Heian diterapkan sama untuk kedua jenis kelamin. Fitur yang dianggap menarik bagi pria dan wanita adalah mata kecil, wajah bulat dan bengkak, agak gemuk, dan kulit putih. kulit gelap dikaitkan dengan petani dan buruh. Aristokrat menganggap tubuh telanjang merupakan hal jelek. Orang-orang kaya memakai
22 Universitas Sumatera Utara
beberapa lapisan pakaian. Wanita memakai sampai enam lapisan baju dengan lengan yang panjang dengan warna yang berbeda-beda. Jika salah satu dari warnawarna ini terlalu pucat atau terlalu terang, maka itu akan menjadi banyak kritikan. Bangsawan zaman Heian dapat memiliki reputasi yang tidak baik hanya karena pakaian yang tidak tepat. Karena zaman itu posisi wanita dianggap cukup penting, seorang wanita yang memiliki kemampuan dalam menulis puisi, cerita, atau bermain musik, maka wanita tersebut bisa masuk ke kalangan atas dan menjadi selir atau istri. Kaum bangsawan pria sering meminta selirnya untuk menciptakan puisi secara mendadak, jadi apabila sang wanita bisa memenuhi permintaannya tersebut maka wanita itu akan dihormati. Dengan pengaruh ini, nuansa kebudayaan Jepang penuh dengan gairah kebudayaan. Transportasi saat itu tidak praktis dan lamban. Di kota, untuk berpergian dari satu tempat ke tempat lain umumnya orang berjalan kaki, kecuali kalau kedudukannya memungkinkan dia mendapat kereta yang ditarik lembu. Selain itu, pria maupun wanita lazim menunggang kuda atau diusung dengan tandu. Kebiasaan makan dan minum pada abad kesebelas agak berbeda dengan kebiasaan di masa belakangan. Minum teh belum lazim dilakukan. Umumnya orang meminum sake beras. Daging, dengan pengecualian unggas liar, jarang dikonsumsi. Makanan rakyat jelata terdiri atas sayur, kacang buncis, dan millet. Mereka yang cukup berada menambahkan nasi, ikan, dan buah-buahan. 2.4 Kajian Sosiologis Sastra
23 Universitas Sumatera Utara
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. sosiologi berasal dari kata akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1-2). Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas sosial manusia. Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Dengan demikian, antara karya sastra dengan sosiologi sebenarnya merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Sosiologi tidak hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial budayanya, tetapi juga dengan alam (Fananie, 2000:132). Dengan demikian sosiologi sastra merupakan penelitian terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan keterlibatan struktur sosialnya. Dimana penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan, memahami, dan menjelaskan unsur-
24 Universitas Sumatera Utara
unsur karya sastra dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956: 84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut: 1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek danWarren,1990:112). 2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban. 25 Universitas Sumatera Utara
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya. Sebagai
sebuah
dunia
miniatur,
karya
satra
berfungsi
untuk
menginvestarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian, yaitu kejadian-kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Pada dasarnya, seluruh kejadian dalam karya, bahkan juga karya-karya yang termasuk ke dalam genre yang paling absurd pun merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan ciri kreativitas dan imajinasinya, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan keragaman kejadian alam semesta ke dalam totalitas neratif semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari kedalam kualitas dunia fiksional (Ratna, 2003:35). Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai
mikrokosmos
sosial.
Seperti
lingkungan
bangsawan,
penguasa,
gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Beberapa alasan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat. Nyoman dalam Parinduri (2008:12), mengemukakan sebagai berikut.
26 Universitas Sumatera Utara
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. 3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan. 4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. 5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya. Pengarang,
melalui
kemampuan
intersubjektivitasnya
yang
menggali
kekayaan masyarakat, menuangkannya ke dalam karya sastra, yang kemudian dinikmati oleh pembaca. Kekayaan suatu karya sastra berbeda-beda, pertama, tergantung dari kemampuan pengarang dalam melukiskan hasil pengalamannya. Kedua, adalah kemampuan pembaca dalam memahami suatu karya sastra. Pada umumnya para pengarang yang berhasil adalah para pengamat sosial sebab merekalah yang mampu untuk mengkombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Dengan kata lain, pengarang merupakan indikator penting dalam menyebarluaskan keberagaman unsur-unsur kebudayaan, sekaligus perkembangan tradisi sastra (Parinduri, 2008:12-13).
27 Universitas Sumatera Utara
Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, diantaranya adalah novel menampilkan unsurunsur cerita paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, bahasa novel juga cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre paling sosiologis dan responsif. Oleh karena itu pulalah, menurut Hauser dalam Ratna (2003:336) karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-zamannya. Seperti dalam novel The Dragon Scroll yang menunjukkan kehidupan wanita dalam zaman feodal keshogunan. Cara-cara penyajian yang berbeda dibandingkan dengan ilmu sosial dan humaniora jelas membawa ciri-ciri tersendiri terhadap sastra. penyajian secara tak langsung, dengan menggunakan bahasa metaforis konotatif, memungkinkan untuk menanamkan secara lebih intern masalah-masalah kehidupan terhadap pembaca, artinya ada kesejajaran antara ciri-ciri karya sastra dengan hakikat kemanusiaan. Dimana fungsi karya sastra yang penting yang sesuai dengan hakikatnya yaitu imajinasi dan kreativitas adalah kemampuannya dalam menampilkan dunia kehidupan yang lain yang berbeda dengan dunia kehidupan sehari-hari. Inilah aspek-aspek sosial karya sastra, di mana karya sastra diberikan kemungkinan yang sangat luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan sehari-hari. Selama membaca karya sastra pembaca secara bebas menjadi raja, dewa, perampok, dan berbagai sublimasi lain.
28 Universitas Sumatera Utara
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan menurut Nyoman dalam Parinduri (2008:14-15) meliputi tiga macam, yaitu: 1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya disebut sebagai aspek intrinsik, model hubungan yang terjadi disebut refleksi. 2. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika. 3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan karya sastra sebagai gejala kedua. Di dalam menganalisis dengan menggunakan sosiologi sastra, masyarakatlah yang harus lebih berperan. Masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra, bukan sebaliknya. 2.5 Biografi Inggrid.J. Parker Inggrid. J. Parker lahir di Munich, jerman pada tanggal 21 Maret 1962. Ia lahir dan besar disana. Ia adalah seorang penulis novel detektif atau misteri dan kisahnya yang paling terkenal adalah seri petualangan Akitada Sugawara, seorang detektif Jepang DI zaman Heian. Inggrid. J. Parker adalah pemenang penghargaan “Private Eye Writers” dari America Shamus Award untuk Best P. I. Short Story pada tahun 2000 untuk 29 Universitas Sumatera Utara
bukunya “Akitada’s First Case”, yang diterbitkan pada tahun 1999. Sampai saat ini, Inggrid. J. Parker tinggal di Virginia sebagai Professor Bahasa Inggris dan Asing di Norflok State University. Inggrid. J. Parker memulai risetnya tentang Jepang di abad kesebelas dikarenakan ketertarikan profesionalnya pada literatur budaya Jepang pada masa tersebut. Hal ini yang membawanya untuk menulis cerita pertamanya tentang Akitada, “Instrument Of Murder”, yang diterbitkan di Majalah Alfred Hitchcock’s Mystery pada Oktober 1997. Inggrid adalah seseorang yang multi-lingual, ketertarikannya terhadap Jepang terus dipelajari dan dijadikan sebagai riset untuk terus dikaryakan. Hingga saat ini dia masih menulis untuk Alfred Hitchcock’s Mystery Magazine.Dalam menyelesaikan bagian-bagian yang bersangkutan dengan tradisi Jepang, selain pengetahuannya sendiri, ia juga dibantu oleh Yumiko Enyo, seorang Profesor lulusan Hawaii of University, Manoa yang merupakan temannya.
30 Universitas Sumatera Utara