BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DARAH WANITA
A. Darah yang Keluar dari Rahim Wanita Berbicara masalah darah, maka ada tiga macam darah yang keluar dari rahim wanita, yaitu: 1. Haid Dalam ensiklopedi hukum Islam dirumuskan, haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita sehat dalam beberapa waktu tertentu, bukan karena melahirkan dan bukan pula karena ada penyakit dalam rahim.1 Arti haid menurut bahasa adalah mengalir. Dikatakan: Artinya “lembah itu mengalir”. Apabila air mengalir padanya, dan artinya “pohon itu mengalir”, apabila getah pohon yang berwarna merah itu mengalir.
Artinya: Wanita itu haid apabila darah haid wanita itu mengalir.2 Menurut mazhab Syafi’i haid adalah darah yang keluar dari alat kelamin perempuan yang sehat (tidak terserang penyakit) yang menyebabkan keluarnya darah, usianya telah mencapai sembilan tahun atau lebih dan tidak karena melahirkan. Ungkapan darah yang dimaksud adalah darah yang mempunyai warna. Dalam hal ini warna darah itu ada lima macam, yaitu: 1
Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 453. 2 Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 1, Maktabah al Tijariyah, al-Qubra, tt, hlm. 123-124.
16
17 a. Hitam. Inilah yang paling kuat menurut mereka. b. Merah. Yaitu warna darah yang kekuatannya di bawah darah yang berwarna hitam. c. Merah kekuning-kuningan. Darah ini kekuatannya di bawah darah merah. d. Keruh. Yakni darah yang kekuatannya di bawah darah Merah kekuningkuningan. e. Kuning. Yakni darah di bawah keruh. Ada yang berpendapat bahwa darah kuning ini lebih kuat daripada yang keruh. Pada pokoknya, masalahnya tidak terlalu sulit, karena semua darah itu termasuk darah haid. Ungkapan “yang keluar dari alat kelamin perempuan” pengertiannya adalah pangkal rahim. Menurut mereka (Madzhab Syafi’i), darah haid itu keluar dari otot yang berada di pangkal rahim baik perempuan itu sedang hamil atau tidak.3 Karena menurut madzhab Syafi’i, perempuan yang hamil itu mungkin mengeluarkan darah haid sebagaimana pendapat madzhab Maliki, berbeda dengan madzhab Hanafi dan Hambali. Masa menstruasi bagi perempuan yang hamil dihitung seperti kebiasaannya ketika ia tidak dalam keadaan hamil. Maka darah yang keluar selain dari rahim dapat dipastikan tidak disebut darah haid, baik darah itu keluar dari alat kelamin sebagaimana yang keluar lantaran sobeknya selaput darah, keluar dari dubur atau dari bagian badan yang lain. Ungkapan “dalam keadaan sehat, tidak sakit yang
3
Ibid, halm. 219
18 mengakibatkan keluarnya darah” mengecualikan darah yang keluar dari rahim lantaran sakit. Darah ini disebut darah istihadah.4 Ungkapan
“jika
usianya
telah
mencapai
sembilan
tahun”
mengecualikan darah yang keluar dari anak perempuan yang masih kecil yakni usianya kurang dari sembilan tahun. Darah ini tidak disebut haid tapi disebut darah istihadah. Sebagaimana
penyebutan yang dilakukan oleh
madzhab Hanafi berbeda dengan Madzhab Maliki yang mengatakan bahwa darah tersebut (darah yang keluar dari kelamin perempuan yang masih kecil) tidak disebut istihadah tapi disebut darah penyakit. Menurut madzhab Syafi’i, tidak ada batas akhir bagi perempuan mengeluarkan haid, karena mereka
berpendapat
bahwa
perempuan
itu
selama
masih
hidup
kemungkinan mengeluarkan darah haid tetap ada. Hanya saja menurut adat kebiasaan, haid itu berhenti setelah perempuan berusia lebih dari 62 tahun. Jika seorang perempuan setelah usia ini mengeluarkan darah, maka tetap disebut seorang yang menstruas. Dalam hal ini, madzhab Syafi’i berbeda pendapat dengan ketiga madzhab yang lain. 5 Dalam kaitanya dengan keterangan di atas, berkata Syaikh Abu Syujak sebagaimana dikutif Al-Imam Taqi al-Din Abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, bahwa paling sedikit masa keluarnya darah haid ialah sehari semalam, dan yang ghalib (biasa) yaitu enam atau tujuh hari; sedang paling lama yaitu lima belas hari.6 Sementara penelitian yang
4
Ibid, hlm. 124-125. Ibid. 6 Al-Imam Taqi al-Din abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Ahyar Fii hali Ghayat al-Ikhtisar, Semaranag: Maktabah Alawiyah, , tth, hlm. 162. 5
19 dilakukan oleh Imam Syafi;i, bahwa paling sedikit masa keluar darah haid ialah sehari semalam. Batasan waktu tersebut telah diriwayatkan dari Ali Bin Abu Talib RA dan telah dinash oleh Imam Syafi’i di dalam sebagian banyak kitab karangannya. Di dalam kitab yang lain, Imam Syafi’i juga menash bahwa masa keluarnya darah haid paling sedikit ialah sehari. Yang dimaksudkan ialah sehari semalam. Adapun masa ghalibnya, darah haid itu keluar selama enam atau tujuh hari. Masa keluarnya darah haid paling lama ialah lima belas hari beserta malamnya, menurut penelitian Imam Syafi’i. demikian juga menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ali Bin Abu Thalib. Imam Syafi’i berkata: saya telah menjumpai beberapa wanita yang lebih dapat dipercaya beritanya bagi saya, bahwa mereka tidak hentihentinya keluar darah haid selama lima belas hari lima belas malam. 7 Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, darah haid biasanya berwarna hitam atau merah kental (tua) dan panas. Ia mempunyai daya dorong, tetapi kadang-kadang ia keluar tidak seperti yang digambarkan di atas, karena sifat-sifat darah haid sesuai dengan makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.8 2. Nifas Menurut Taqi al-Din Abu Bakr Muhammad al-Husaini dalam kitabnya:9
7
Ibid , tth, hlm. 163.. Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Khamsah, terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, Fiqih Lima Madzhab, Cet. 7, Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 34. 9 Al-Imam Taqi al-Din abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, op. cit, hlm. 74. 8
20
Artinya:
Dari kemaluan wanita, keluar tiga macam darah yaitu darah haid, darah nifas dan darah istihadah. Haid ialah darah yang keluar dari kemaluan wanita dalam keadan sehat tanpa sebab melahirkan anak. Adapun nifas ialah darah yang keluar setelah melahirkan anak. Sedangkan istihadah ialah darah yang keluar pada hari-hari selain haid dan nifas.
Sedangkan Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary mengatakan, nifas ialah kumpulan darah haid yang keluar setelah sempurna melahirkan. Pendarahan minimalnya satu tetes, biasanya empat puluh hari, maksimal enam puluh hari.10 Sejalan dengan itu Syaikh Muhammad Ibn Qasim alGhazzy merumuskan darah.nifas ialah darah yang keluar mengiringi keluarnya anak. Oleh karenanya darah itu keluar berbarengan dengan keluarnya anak atau sebelumnya.11 3.
Istihadah Menurut Ibnu Rusyd, darah istihadah ialah darah yang keluar dari
rahim wanita secara tidak alami dan tidak normal, mungkin karena penyakit. Darah tersebut bukan darah haid.12 Sementara Sayyid Sabiq dalam kitabnya merumuskan: darah iatihadhah ialah keluarnya darah terus menerus dan 10
Syaikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al‘Uyun, Semarang: Maktabah wa Matbaah, karya Toha Putera , tt, hlm. 14. 11 Syehk Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab, al-Arabiah, tt, hlm. 10-11. 12 Al-Faqih abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa nihayat al-Muqtasid, Beirut: Dar al- Jiil, 1409 H/1989 M, hlm. 40-41.
21 mengalirnya bukan pada waktunya. Selanjutnya Sayyid Sabiq menguraikan perempuan yang istihadah itu mengalami salah satu di antara tiga hal: a. Jangka waktu haid telah dikenal olehnya, sebelum istihadah b. Darahnya mengalir berkepanjangan dan tidak mempunyai hari-hari yang telah dikenal, adakalanya karena telah tak ingat lagi akan kebiasaannya, atau ia mencapai baligh dalam
keadaan istihadah
hingga tak dapat membedakan darah haid. c. Jika ia tidak mempunyai kebiasaan, tapi dapat membeda-bedakan darah haid dari lainnya.13 Musthafa Diibul Bigha menegaskan, istihadlah adalah darah yang keluar pada selain hari-hari haid dan nifas.14 Sementara al-ustaz H. Idris Ahmad mengungkapkan darah yang keluar lebih dari ukuran darah haid, maka darah itu dinamakan darah istihadlah. Yaitu semacam darah penyakit yang datang kepada perempuan. Darah yang semacam itu ada kalanya datang sebelum datang masa haid yang sebenarnya, dan ada kalanya sesudah selesai masa haid yang sebenarnya.15 Sedangkan Ibrahim Muhammad al-Jamal memaparkan: istihadlah ialah darah yang keluar dari bagian bawah rahim pada selain waktu haid dan nifas. Jadi darah yang keluar melebihi masa haid atau nifas terpanjang, atau kurang dari masa haid atau nifas terpendek, itulah darah istihadlah. Dan juga darah yang keluar dari perempuan sebelum
13
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1 , Kairo, Maktabah Dar al-Turas, tt, 87-88. Mustafa Diibul Bigha, at-Tadzhib Fii Adillati Matnil Ghayah Wat Taqrib, Terj. Uthman Mahrus, Zainus Salihin, Ihtisar Hukum-Hukum Islam, Praktis, Semarang: CV. Asy Syifa’ 1994, hlm. 69 15 Idris Ahmad, Fiqh Menurut Madzhab Syafi’i, Jakarta: Wijaya, 1969, hlm. 45. 14
22 mencapai umur dewasa (9 tahun). Penderita istihadlah (mustahadlah) adalah termasuk mereka yang kena uzhur, seperti penderita mimisan, beser dan lainlain. 16 Wanita yang mengalami masa istihadah harus berwudlu setiap kali akan mengerjakan shalat. Kemudian memakai cawat (celana dalam atau pembalut wanita) dan selanjutnya boleh mengerjakan shalat, meskipun darah masih tetap mengalir.17 Istihadah adalah peristiwa yang tidak menentu kesudahannya. Oleh karena itu bukan merupakan penghalang (mani’) bagi shalat, puasa dan ibadat-ibadat lain yang tidak boleh dilaksanakan ketika haid dan nifas, dalilnya ialah hadits berikut: Sabda Rasulullah SAW:18
Artinnya; dari ‘adi bin Tsabit, dari ayahnya, dari datuknya, dari Nabi SAW, ia menerangkan tentang perempuan yang istihadah yaitu: hendaklah ia tinggalkan sembahyang pada hari-hari haid, kemudian ia mandi dan berwudlu pada setiap shalat, dan berpuasa dan bersembahyang. (HR. Abu Daud, Ibnu 16
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, terj. Anshari Umar Sitanggal, Fiqih Wanita, Semarang: CV. Asy Sifa’, tt, hlm. 69. 17 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, al- jami’ Fi fiqhi An-Nisa’, Terj, M. Abdul Ghoffar, Fiqih Wanita (Edisi Lengkap), Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998 hlm. 73. 18 Ibn Ali Ibn Muhammad Asy Syaukani, Nail al –Autar Min Asyrari Muntaqa alAkhbar Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, tt, hlm. 402. lihat juga Al-Imam Abu Daud Sulaiman Ibn asy al-azdi as-Sijustani, Sunan Abu Daud, Kairo: Tijarriyah Kubra, 1354 H/1935 M, hlm. 92. Al-Imam Abu Isa Muhammad Ibn ‘Isa Ibn Saurah Ibn Musa Ibn adDahak as-Salami at-Turmudzi, al-Jami’u al-Mukhtasar Min al-Sunani ‘An Rasulullahi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, Kairo: Masriyah, 1931, hlm. 99.
23 Majjah, dan Timidzi. Dan tirmidzi berkata: hadits ini Hasan) Sabda Rasulullah SAW19:
Artinya:
Dan dari Aisyah, ia berkata: Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Nabi SAW, lalu ia bertanya: sesungguhnya saya seorang wanita yang beristihadah, karena itu saya tidak suci, bolehkah saya meninggalkan shalat? Kemudian Nabi SAW menjawab kepadanya: “jauhilah shalat pada hari-hari haidmu, kemudian mandilah, dan berwudlulah untuk setiap shalat, kemudian sembahyanglah, walaupun darah itu menetes di atas tikar”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majjah)
Ibn Ali Ibn Muhammad Asy Syaukani mengatakan: hadits itu menunjukkan wajibnya wudlu untuk setiap shalat; dan menunjukkan pula bahwa mandi tidak wajib kecuali sekali saja. Yaitu, ketika berhentinya haid.20 Darah istihadah ada 6 macam: 1. Darah yang keluar kurang dari ukuran masa haid yang terpendek. 2. yang keluar melebihi ukuran masa haid terpanjang. 3. yang kurang dari ukuran masa nifas terpendek. 19
Ibid, hlm. 403. lihat juga Al-Imam Abu Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal Asy-Syaibani al-Marwazi, Musnad Ahmad, Kairo: Tijariyah Kubra, tt, hlm. 72. alImam Abu Abdillah Muhammad Bin Yazid Ibni Majjah al-Qazwini, Sunan Ibnui Majah, Kairo: Tijariyah Kubra, tt, hlm. 78. 20 Ibid, hlm. 404.
24 4. yang melebihi ukuran masa nifas terpanjang. 5. yang melebihi kebiasaan haid dan nifas yang sudah-sudah, yakni melebihi kebiasaan keduanya yang terpanjang; yang kalau tidak terjadi demikian maka disebut haid atau nifas. 6. Menurut Ahmad dan para ulama Hanafi, termasuk juga darah yang keluar dari wanita hamil karena tersumbatnya mulut rahim.21 B. Perbuatan yang Dilarang Karena Haid dan Nifas Wanita yang sedang haid atau nifas diharamkan melakukan amalanamalan keagamaan yang diharamkan atas orang yang sedang junub, seperti shalat, menyentuh mushaf dan membaca al-Qur’an. Ada beberapa tambahan larangan atas wanita yang sedang haid dan nifas di antaranya puasa. Keduanya diharamkan niat melakukan puasa baik fardlu atau sunnat dan seandainya ia berpuasa, puasanya tidak jadi. Barang siapa di antara mereka melakukan yang demikian itu dalam bulan ramadlan maka ia menyiksa dirinya, berdosa. Dan itu adalah kebodohan yang tercela. Wanita yang haid atau nifas wajib mengqadha puasa ramadlan yang ditinggalkan pada saat haid atau nifas itu. Adapun shalat yang ditinggalkannya tidak wajib diqadha. Hal itu disebabkan berulangkalinya shalat setiap hari sehingga menjadi masayaqot mengqadhanya, sedang Allah telah menghilangkan masyaqot dan kesuitan itu dari manusia22 sebagaimana FirmanNya:
21 22
Ibrahim Muhammad al-Jamal Op. Cit, hlm. 69. Abd al-Rahman al-Jaziry, Op.Cit, hlm. 133.
25
Artinya: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (Q.S: al-Haj: 78)23 Di antara tambahan larangan bagi wanita haid dan nifas adalah “i’tikaf”. Ia tidak sah bagi keduanya. Hukum ini tidak berlaku bagi orang lakilaki. Di antara tambahan larangan adalah “mencerainya”; mencerai wanita yang sedang iddah aqro’ atau (suci-haid) haram hukumnya. Bersamaan dengan haramnya, perceraian tersebut tetap jadi dan suami bersangkutan diperintah merujuknya jika masih mempunyai hak rujuk. Di antara larangan lagi adalah “menggaulinya”. Maka bagi wanita yang sedang haid diharamkan mempersilakan suaminya menggaulinya sebagaimana bagi suami haram menggaulinya sebelum darah haidnya berhenti dan mandi. Dan jika ia berhalangan mandi, sebelum bergaul (dengan suami) wajib bertayamum. 24 Sejalan dengan keterangan di atas, pendapat yang sama dikemukakan pula oleh al-Ustadh H Idris Ahmad bahwa menurutnya beberapa perbuatan yang diharamkan ketika perempuan berdarah haid dan nifas sebagai berikut: 1. Shalat Wanita yang sedang menjalani masa haid dilarang untuk mengerjakan shalat. Hal ini didasarkan pada hadits dari Rasulullah SAW:25
23
DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993,
hlm. 523.
24
Abd al-Rahman al-Jaziry, Op.Cit, hlm. 133. al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn Mughirah Barzibah Al-Bukhary al-Ja’fi, Sahih al-Bukhary, Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 106 . Cf. Al-Imam al-Alamah Ibn Ali Ibn Muhammad Asy Syaukani, Nail al –Autar Min Asyrari Muntaqa alAkhbar Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, tt, hlm. 395. 25
26
Artinya: Dari ‘Aisah, ia berkata; Fatimah binti Abu Hubaisy memberi tahu kepada Rasulullah SAW: sesungguhnya aku seorang peremuan yang beristihadah, karena itu aku tidak pernah suci, bolehkah aku meninggalkan sembahyang? Kemudian Rasulullah SAW. Menjawab: sesungguhnya yang demikian itu hanya sekedar basah-basah bukan haid, oleh karena itu saat haidl itu datang maka tinggalkanlah sembahyang, lalu apabila waktu haid sudah habis, maka mandilah karena haidl itu, dan sembahyanglah. (H.R Bukhary dan Ahmad) Sabda Rasulullah SAW: 26
26
Al-Imam Abu Daud Sulaiman Ibn asy al-azdi as-Sijustani, Sunan Abu Daud, Kairo: Tijarriyah Kubra, 1354 H/1935 M, hlm. 120. Cf. Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram Fi Adillati al-Ahkam, Bairut Libanon: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah, tt, hlm. 28.
27 Artinya: Dari ‘Aisyah, bahwasannya Fathimah Binti Abi Hubaisy biasa istihadalah, maka Rasulullah SAW. Bersabda kepadanya: sesunggunya darah haidl itu darah hitam yang terkenal. Maka apabila ada begitu, berhentilah dari sembahyang; tetapi jika ada yang lain, berwudlulah dan sembahyanglah. (diriwayatkandia oleh Abu Dawud dan Nasa-i dan disahlkan dia oleh ibnu Hibban dan Hakim, tetapi dianggapnya munkar oleh Abu Hatim.) 2. Puasa Sabda Rasulullah SAW:27
Artinnya: Dari Abu Sa’id al-Khudriy, mengatakan: Rasulullah SAW. Pernah bersabda: bukankah wanita itu bila dia haid tidak boleh shalat dan tidak boleh berpuasa? (Muttafaq Alaih) 3. Membaca
al-Qur’an,
menyentuh
dan
membawanya
sebagaimana
keterangan yang telah dinyatakan dalam perkara yang diharamkan selagi junub. Menurut Syekh Kamil Muhamad Uwaidah, bagi wanita yang menjalani masa haidh diperbolehkan membaca Al-Qur’an, akan tetapi tidak boleh menyentuh mushafnya.28 Namun dilain pihak Syekh Kamil Muhammad Uwaidah mengakui ada hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Ibnu Umar, yang berstatus sebagai hadits marfu:
27
Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani Al-San’ani, Subul al-Salam Sarh Bulugh al-Maram Min Jami Adillati al-Ahkam , Juz 1, Kairo: Dar Ikhya’ al-Turas alIslami, 1960, hlm. 105. 28 Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, Al-Jami Fii Fiqhi An-Nisa, Beirut Libanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1417 H/1996 M, hlm. 32
28
29
Artinya: Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda: janganlah orang yang junub dan orang haid membaca al-Qur’an sedikitpun. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi dan ibnu Majah) Menurut
Muhammad as-Syaukani hadits di atas menunjukkan
haramnya membaca al-Qur’an bagi orang junub, dan telah mengenalnya bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, dan pembicaraan tentang masalah itu telah berlalu pada hadits sebelumnya. Juga hadits tersebut di atas menunjukkan haramnya membaca al-Qur’an bagi orang haid, sebagaimana menurut segolongan ulama. Hadits ini dan hadits sesudahnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah haramnya membaca alqur’an bagi orang junub dan haid, maka membaca al-Qur’an itu tidak haram kecuali dengan adanya dalil lain.30 Sabda Rasulullah:
31
29
Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abi Daud, Kairo: Tijarriyah Kubra, 1354 H/1935 M, hal. 32. Al-Alamah Ibn Ali Ibn Muhammad Asy Syaukani, Nail al–Autar Min Asyrari Muntaqa al-Akhbar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, 1973, hlm. 511. 30
Ibid. Al- Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad -Dahak asSalmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, hlm.22. Muhammad as Syaukani, Op. Cit, hlm. 512. 31
29 Artinya: dari Jabir, dari Nabi SAW ia bersabda; janganlah orang haidh dan orang nifas membaca al-Qur’an sedikit pun. (HR.AtTurmudzi) 4. Berlalu di dalam masjid, jika dikhawatirkan akan jatuh darahnya di lantai masjid itu. Kalau tidak dikhawatirkan, maka tidaklah haram hukumnya sebab masjid itu gunanya untuk melakukan sembahyang dan beri’tikaf. Oleh sebab itulah masjid itu harus dijaga supaya selalu suci. 5. Thawaf di Ka’bah. Sebagai dasarnya terdapat dalam hadits Muttafaqun alaih:
32
Artinya; kerjakanlah sebagaimana orang yang menjalankan ibadah haji, kecuali kamu tidak boleh melakukan thawaf di Ka’bah, sehingga kamu benar-benar dalam keadaan suci. 6. Bersetubuh (jima’) Firman Allah SWT:
Artinya:
32
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid. katakanlah, “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid; dan janganlah kamu mendekati
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Tijariah Kubra, Mesir, tth, hlm. 35.
30 mereka, sebelum mereka suci”. (Q.S: Al-Baqarah : 222)33 7. Thalak (dijatuhi thalak)
34
Artinya; beliau berkata kepada Umar, suruhlah anakmu itu supaya ruzu kepada istrinya, kemudian hendaklah ia tahan dahulu sampai perempuan itu suci, kemudian ia haidh lagi, kemudian ia suci lagi, sesudash itu kalau ia (Ibnu Umar) menghendaki, teruskan perkawinan itu, dan itulah yang baik dan jika ia menghendaki, boleh ditalaknya sebelum dicampurinya. Demikianlah iddah yang diperintahkan Allah SWT yang boleh padanya perempuan ditalak (HR.Bukhari dan Muslim)
C. Pendapat Para Ulama tentang Wajib Berwudhunya Mustahadhah Untuk Tiap Shalat Fardhu Aisyah Ummul Mukminin ra. berkata:
33
DEPAG RI, Op.Cit, hlm. 54. Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah alBukhari, Sahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, 21. 34
31
35
Artinya: "Aisyah RA berkata: Fatimah binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi saw. lalu berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya adalah seorang perempuan yang beristihadhah (yang terus-menerus mengeluarkan darah sesudah hari-hari haid), dan saya tidak pernah suci, apakah saya meninggalkan shalat? Maka Rasulullah saw. menjawab: Engkau tidak boleh meninggalkan shalat, yang demikian itu adalah darah peluh (darah yang keluar dari urat yang dinamakan 'adzil), bukan darah haid. Karenanya apabila telah datang haidmu, tinggalkanlah shalat. Dan apabila telah berhenti darah haid, maka basuhlah dari dirimu. Kemudian shalatlah. Kemudian berwudhulah untuk tiap-tiap shalat hingga datang lagi waktu haid."(HR.Bukhari dan Muslim). Aisyah Umul Mukminin ra. menerangkan:
Artinya: "Bahwasanya Ummu Habibah beristihadhah selama tujuh tahun. Karenanya bertanya kepada Rasulullah saw. tentang hal itu. Maka Rasulullah saw. menyuruh supaya mandi, lulu Rasulullah mengatakan: Ini adalah darah yang keluar dari permukaan rahim. Maka adalah Ummu Habibah mandi
35
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah alBukhari, Sahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, juz 4, hlm. 63. Dapat dilihat pula Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, Tijariah Kubra, Mesir, tth, juz 3, hlm. 12. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-lu’lu wal Marjan fi Ma I’tifaq Syaihon, Beirut libanon: Dar al-fikr, tth, juz 1, hlm. 77.
32 untuk setiap shalat" (Al Bukhary 6:36; Muslim 3:14; Al Lu'lu-u wal Marjan 1:78). 36 Fatimah binti Abi Hubaisy (Qaisy) Ibnu Muthalib, seorang perempuan Quraisy dan golongan Asad datang kepada Nabi untuk menanyakan keadaannya yang terus-menerus mengeluarkan darah bukan masa berhaid. Karenanya dia tidak pernah berada dalam keadaan suci. Apakah dia harus meninggalkan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh perempuan yang sedang berhaid.37 Nabi
menerangkan,
bahwasanya
dia
(Fatimah)
tidak
boleh
meninggalkan shalat karena darah yang keluar itu bukan darah yang keluar dari perut rahim. Apabila telah datang masa haid, hendaklah dia meninggalkan shalat dan apabila haid berhenti, basuhlah darah yang ada pada tubuh dan shalatlah. Tetapi harus berwudhu untuk tiap-tiap shalat. Demikianlah yang dilakukan tiap hari hingga datang waktu haid berikutnya. Dengan ketetapan Nabi tersebut, maka Ummu Habibah terlebih dahulu mandi di tiap-tiap akan shalat. Hadits pertama menyatakan, bahwa apabila seseorang perempuan dapat membedakan darah haid dari darah istihadhah, hendaklah dia memandang darahnya sebagai darah haid selama darah itu merupakan darah
haid. Apabila darah haid telah berakhir, hendaklah dia
mandi. Sesudah itu, darahnya itu bukan darah haid, tetapi darah istihadhah.
36
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah alBukhari, juz 6, Op. Cit, hlm. 36 Dapat pula dilihat Al-Imam Abul Husain Muslim ibn alHajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, juz 3, Op. Cit, hlm. 14. Muhammad Fuad Abdul Baqi, juz 1, Op. Cit, hlm. 78. 37
T.M. Hasbi ash-Shiddiqi, Mutiara Hadits II (Thaharah dan Shalat), (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), hlm. 148
33 Karenanya, hendaklah dia berwudhu untuk tiap-tiap shalat dan satu wudhunya hanya dapat
dipergunakan untuk satu shalat saja. Demikianlah pendapat
jumhur ulama. Menurut pendapat ulama Hanafiyah bahwasanya wudhu itu untuk satu waktu shalat. Maka bolehlah dia bershalat dengan satu wudhu shalat fardhu dari waktu yang sedang dihadapi, dan shalat yang telah luput (ketinggalan) selama belum keluar waktu yang sedang dihadapi itu. Pengertian: "dan berwudhulah engkau untuk tiap-tiap shalat," ialah berwudhulah engkau untuk tiap-tiap satu waktu shalat. Menurut pendapat ulama-ulama Malikiyah, disukai bagi perempuan yang seperti itu berwudhu untuk tiap-tiap shalat, tetapi dia tidak wajib berwudhu untuk tiap-tiap shalat itu, terkecuali ada hadas yang lain.38 Ahmad dan Ishak berkata: "Lebih utama dia mandi untuk tiap-tiap shalat fardhu." Hadits ini menyatakan pula, bahwa bershalat di dalam masa berhaid haram. Shalat yang dikerjakan dalam masa berhaid, dipandang tidak sah. Hukum ini diijma'i oleh seluruh ulama. Juga hadits ini memberikan pengertian, bahwa kaum perempuan sendiri boleh bertanya tentang hukumhukum yang berpautan dengan diri mereka kepada orang laki-laki sebagaimana memberi pengertian, bahwa orang laki-laki boleh mendengar suara perempuan.
38
Muhammad Amin al-Ma’ruf ibn Abidin, Hasyiyah Rod Al-Muhtar fi Fiqh Mazhab Abu Hanifah an- Nu’man, Beirut Libanon: Daar al-Fikr, tth, 32.
34 Hadits kedua, menyatakan bahwasanya perempuan mustahadhah tidak harus mandi untuk tiap-tiap shalat. Ketetapan ini kita pahamkan dari perkataan Nabi: "Ini darah yang keluar dari permukaan rahim." Darah yang keluar dari permukaan rahim itu tidak mewajibkan mandi. Ummu Habibah mandi untuk tiap-tiap shalat, berdasar kepada ijtihadnya sendiri sebagai ihtiyath, bukan karena perintah Nabi saw. Ath Thahawy berkata: "Sebagian ulama berpendapat, bahwa hadits
Ummu
Habibah ini telah dimansukhkan oleh hadits Fatimah." Dapat dipahami lagi perkataan: "Bahwasanya Ummu Habibah beristihadhah selama 7 tahun." Bahwa shalat yang ditinggalkan oleh perempuan mustahadhah lantaran dia menyangka, bahwa darahnya yang terus-menerus keluar itu, darah haid, tidak periu diqadha, karena Nabi saw. tidak menyuruh Ummu Habibah mengerjakan shalat yang ditinggalkannya selama itu. Demikianlah pendapat Ibnul Qasim.39 Perintah Nabi supaya Ummu Habibah mandi, adalah perintah yang mutlak. Karenanya tidak menunjukkan kepada keharusan mandi itu harus diulang-ulang. Habibah
Asy Syafi'y berkata: "Nabi saw. hanya menyuruh Ummu
mandi dan shalat. Ummu Habibah mandi untuk tiap-tiap shalat
adalah atas dasar sunnat." Jika kedua hadits ini dikumpulkan, dapatlah ditegaskan bahwa mandi untuk tiap-tiap shalat adalah atas dasar sunnat. An Nawawy dalam Syarah Shahih Muslim berkata: "Perempuan mustahadhah dalam kebanyakan hukum, 39
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, terj. Anshari Umar Sitanggal, Fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy Sifa’), tt, hlm. 69
35 disamakan dengan perempuan yang
suci. Suami boleh menyetubuhinya,
walaupun darah sedang mengalir." Demikianlah menurut pendapat ulama Syafi'iyah dan jumhur ulama.
Dihikayatkan yang demikian oleh Ibnu
Mundzir dalam kitab al-isyraf dari Ibnu Abbas, Ibnu Musayyab, Al Hasanul Bishry, Atha', Said ibn Jubair, Qatadah, Hammad, Ibnu Abi Sulaiman, Bakar ibn Abdullah, Al Muzany, Al' uza-y, Ats Tsaury, Malik, Ishak dan Abu Tsaur.40 Ibnu Mundzir berkata: "Demikianlah pula pendapatku dan aku meriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya beliau tidak membenarkan si suami mendatangi isterinya yang sedang beristihadhah." Pendapat mi dipegang oleh An Nakha-y dan Al Hakam. Ibnu Sirrin memakruhkannya. Ahmad berkata: "Janganlah si suami mendatangi isterinya yang sedang dalam istihadhah, terkecuali kalau masa istihadhah itu berkepanjangaa" Dalam suatu riwayat, Ahmad berkata, "Perempuan mustahadhah tidak boleh disetubuhi oleh suaminya, terkecuali kalau suaminya itu takut akan terseret ke dalam perzinaan."41 An Nawawy berkata,pula: "Pendapat yang terpilih dalam masalah ini, adalah pendapat jumhur, mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Ikrimah dari Hamnah binti Jahasy yang menerangkan, bahwasanya Hamnah adalah
40
T.M. Hasbi ash-Shiddiqi, Mutiara Hadits II (Thaharah dan Shalat), (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2003), hlm. 148 41 Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, Al-Jami Fii Fiqhi An-Nisa, Beirut Libanon: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1417 H/1996 M, hlm. 32
36 seorang perempuan mustahadhah, sedang suaminya menyetubuhinya. Hal ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Al Baihaqy dengan sanad yang hasan.42 Al Bukhary dalam shahihnya berkata: "Berkatalah Ibnu Abbas ra.:
Artinya: "Perempuan mustahadhah boleh didatangi oleh suaminya apabila si mustahadhah itu telah bershalat, sedang shalat itu adalah suatu pekerjaan yang lebih besar." Dan karena si mustahadhah dihukum sama dengan orang yang suci dalam hal shalat, puasa dan lain-lain, maka sedemikian pula dalam urusan jima'. Lagi pula mengharamkan sesuatu, haruslah dengan ada nash dari syara'. Syara' tidak mengharamkan si suami mendatangi isterinya yang
sedang
beristihadhah. 43 Mengenai shalat, puasa, iktikaf, membaca Al Qur-an menyentuh mushaf, membawanya, bersujud tilawah, bersujud syukur dan mengerjakan ibadah yang lain, sama keadaannya dengan perempuan suci. Hukum ini telah diijma'i (disepakati). Apabila perempuan mustahadhah hendak bershalat, maka hendaklah dia berhati-hati benar dalam menyucikan farajnya. Karena itu, hendaklah dia membasuh farajnya sebelum dia berwudhu dan sebelum dia bertayammum kalau dia bertayammum, dan hendaklah menyumbat farajnya dengan sepotong kapas atau sepotong kain untuk 42
T.M. Hasbi ash-Shiddiqi, Op. Cit, hlm, 149 Abdurrahman Muhammad ‘Abdullah ar-Rifa’i, Tuntunan Haidh, Nifas & Darah Penyakit Tinjauan Fiqih dan Medis, terj. Mahfud Hidayat Lukman dan Ahmad Muzayyin Safwan, (jakarta: Penerbit Mustaqiim), 2003, hlm.325. 43
37 menghindarkan darah keluar atau menyedikitkan keluamya. Demikianlah dia berbuat kalau darahnya sedikit, dapat tertahan dengan sumbatan. Kalau tidak dapat tertahan dengan
sumbatan, selain menyumbatnya, hendaklah dia
bercelana pula. Dia wajib
bercelana, terkecuali kalau menyakitinya atau
menyebabkan badannya panas, lantaran darah berkumpul dalam farajnya. Dan terkecuali kalau dia sedang berpuasa. Jika dia sedang berpuasa, janganlah dia menyumbat ke dalam, cukuplah dia mengikat celana saja pada siang hari. Menurut pendapat ulama-ulama Syafi'iyah hendaklah bercelana itu didahulukan dari berwudhu. Sesudah bercelana, hendaklah langsung berwudhu tanpa menangguh-nangguhkan. Kalau sesudah lama bercelana, dia baru berwudhu, maka
menurut pendapat yang lebih shahih, tidak sah
wudhunya. Apabila dia telah bercelana, keluar darah dan menembus celana, dan hal itu bukan karena
kurang hati-hati dalam memakai celana, maka
tidaklah batal thaharahnya dan shalataya. Dan dia boleh bershalat sesudah shalat fardhu, beberapa shalat sunnat. Kalau darahnya tembus keluar, atau meleleh keluar karena kurang hati-hati dalam memakai celana atau celana telah tergeser dari
tempatnya, lalu banyak darah keluar, maka batallah
wudhunya. Jika yang
demikian itu tejadi saat bershalat, maka shalataya
batal.44 Menurut mazhab Syafi'iyah, perempuan mustahadhah hanya boleh bershalat dengan satu wudhu satu shalat fardhu, baik shalat tunai, maupun shalat qadha. Dan dia boleh mengerjakan dengan satu wudhu beberapa shalat 44
Muhammad Jawad Mughniyyah, Al-Fiqh Ala-al-Madzahib al-Khamsah, Beirut: Dar al-Jawad, tth, hlm. 17.
38 sunnat, baik sebelum fardhu maupun sesudahnya. Mazhab ulama Syafi'iyah ini dinukilkan juga dari Urwah ibn Zubair, Sufyan Ats Tsaury, Ahmad dan Abu Tsaur. Abu Hanifah berkata: "Thaharah perempuan mustahadhah diukur dengan waktu. Maka dia boleh bershalat dalam satu waktu, dengan satu thaharah, fardhu waktu dan fardhu-fardhu yang ketinggalan." Rabi'ah, Malik dan Daud berkata: "Darah istihadhah, tidak membatalkan apabila dia telah berthaharah, dia boleh bershalat dengan
wudhu." Maka thaharahnya
beberapa fardhu, sehingga dia berhadas dengan sesuatu hadas yang lain, selain istihadhah. Ulama-ulama Syafi'iyah berkata: "Perempuan mustahadhah tidak boleh berwudhu sebelum masuk waktu shalat." Abu Hanifah berkata: "Boleh." Ulama-ulama Syafi'iyah berkata pula: "Apabila perempuan mustahadhah telah berwudhu, hendaklah segera mengerjakan shalat sesudah berthaharah. Jika dia ta'khirkan lantaran salah satu sebab dari shalat sendiri, seperti menutupi aurat, membacakan azan, membacakan iqamah, pergi ke masjid besar, menanti jamaah dan Jum'ah dan yang serupa itu/maka penta'khiran itu dibolehkan, menurut mazhab yang shahih lagi masyhur. Jika dia ta'khirkan bukan karena sesuatu sebab yang telah disebutkan, maka ulama-ulama Syafi'iyah mempunyai tiga pendapat: 45 Pertama, tidak boleh dan batal thaharahnya.
45
Al-Jaziry, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh ‘ala-Madzahib al-Arba’ah, Juz 2, Maktabah al-Tijariyah, al-Qubra, tth, 45. bandingkan Syekh Mahmud Syaltut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung: CV.ustaka Setia, 2000, hlm.
39 Kedua, boleh, tidak batal thaharahnya, dan dia boleh bershalat dengan thaharah itu walaupun sudah keluar waktu. Ketiga, si mustahadhah boleh menta'khirkan shalat selama belum kelua waktu fardhu yang hendak dikerjakan. Jika sudah keluar waktu, dia tidal boleh lagi bershalat dengan thaharah itu. Ulama-ulama Syafi'iyah berkata: "Kaifiat niat wudhu perempuan mustahadhah ialah meniatkan boleh shalat, jangan dia mencukupi dengan niat menghilangkan hadas saja. Dalam pada itu, ada di antara ulama Syafi'iyah yang membolehkan niat menghilangkan hadas saja."
Tidaklah diwajibkan atas mustahadhah mandi untuk bershalat dai
tidaklah pula diwajibkan atas mustahadhah mandi pada setiap waktu shalat kecuali sekali saja pada waktu darah haidnya berhenti. Demikianlah pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Pendapat ini, diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan Aisyah. Demikianlah fatwa Urwah ibn Zubair,
Abu Salamah ibn Abdur
Rahman, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan Atha' ibn Abi Rabah, bahwa mereka mewajibkan mandi atas mustahadhah untuk setiap shalat. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ahmad dan Ibnu Abbas. Diriwayatkan dari Aisyah pula, bahwa mustahadhah mandi pada setiap hari, sekali. Diriwayatkan dari Ibnu
Musayyab dan Al Hasan bahwa,
hendaklah mustahadhah mandi dari shalat Zhuhur ke shalat Zhuhur esoknya. Dalil yang dipegangi ulama, ialah asal sesuatu hukum tidak wajib. Karena itu, tidaklah wajib sesuatu, melainkanjika diwajibkan oleh syara'. Dalil yang
40 shahih diterima dari Nabi, ialah, Nabi hanya menyuruh mustahadhah mandi sekali saja di waktu darah haid berhenti. Nabi saw. bersabda: 9
Artinya: "Apabila darah haid telah datang, maka tinggalkanlah shalat dan apabila darah haiil telah pergi (berhenti) maka mandilah." Tidaklah diperoleh pengertian dari sabda ini, bahwa mandi itu diulangulangi. Hadits yang terdapat dalam Sunan Abu Daud, al-Baihaqy, dan lain-lain yang mengatakan, bahwa Nabi menyuruh mustahadhah (Ummu Habibah) mandi untuk tiap-tiap shalat dhaif. Al Baihaqy sendiri mendhaifkannya. An Nawawy telah menguraikan masalah ini dengan panjang lebar dalam Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab. Perlu diketahui, mengingat hadits Nabi saw.:
Artinya:"Maka apabila haid telah pergi (berakhir) basuhlah darah darimu dan shalatlah." Bahwa yang dimaksud dengan darah haid telah pergi, ialah "telah berhenti." Maka yang perlu diperhatikan, ialah tanda haid berhenti. Tanda berhenti haid dan datangnya suci, ialah berhenti keluar darah haid dan keluar darah yang berwama kuning dan darah yang keruh, baik yang keluar beserta cairan yang berwama putih, ataupun tidak keluar apa-apa.
41 Al Baihaqy dan Ibnu Sabbagh berkata: "Tanda telah berhenti haid, ialah keluar cairan yang ringan, tidak berwarna kuning, namun berwama keruh. Apabila disapu dengan kapas maka dia hanya berupa cairan saja, tidak memberikan warna. Aisyah sendiri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Bukhary, berfatwa:
Artinya: "Janganlah engkau bergegas-gegas mandi hingga engkau melihat cairan putih bersih." Ulama-ulama Syafi'iyah berkata lagi: "Apabila telah berlalu masa haid, wajiblah terus mandi untuk menunaikan shalat yang dihadapi sesudah darah itu berhenti. Dia tidak boleh lagi meninggalkan sesuatu shalat dan puasa, serta tidak boleh lagi menghindari sesuatu yang dikerjakan oleh orang yang suci (tidak berhaid). Dia tidak diharuskan memastikan bahwa haidnya telah berhenti. Menurut pendapat Malik, hendaklah dia menahan diri dulu tiga hari, sesudah berlalu hari-hari masa dia berhaid." Dengan jelas hadits ini memerintahkan kita menghilangkan najasah, sebagaimana menyatakan, bahwa darah haid, najis dan bahwa shalat kembah wajib dengan berhentinya haid. Shalat yang tidak boleh dikerjakan oleh orang yang sedang berhaid,
meliputi shalat fardhu dan sunnat. Jumhur ulama
sepakat menetapkan, bahwa orang yang sedang berhaid, tidak diperintahkan bershalat dan tidak diwajibkan qadha.
42 Pengarang
Kitab
Bidayat
al-mujtahid
yaitu
Ibnu
Rusyd
mengungkapkan tentang perbedaan ulama terhadap wajib dan tidaknya berwudhu bagi mustahadah. Ia mengatakan:
46
Artinya: Ulama berbeda pendapat tentang mandi bagi wanita yang menderita istihadhah. Sebagian dari mereka ada yang mewajibkan satu kali mandi ini dilakukan ketika ia berkeyakinan bahwa darah haidnya telah putus. Itu diketahui setelah ia melihat salah satu tanda sesuai dengan asumsi mereka dalam memaparkan tanda-tanda terputusnya darah haid. Ulama-ulama yang mewajibkan satu kali mandi ini terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mewajibkan wudu tiap akan melakukan salat. Sedangkan sebagian yang lain hanya menganggap sunat berwudu setiap akan salat. Ulama yang mewajibkan satu kali mandi adalah Malik, Syafi'i, Abu Hanifah, dan para pengikut mereka, serta mayoritas ulama Amshar. Sebagian besar dari yang terakhir 46
Al-Faqih Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid Wa nihayat al-Muqtasid, (Beirut: Dar al- Jiil, 1409 H/1989 M), juz 1, hlm. 43
43 ini mewajibkan wudu bagi wanita istihadhah setiap akan salat. Sedangkan sebagian yang lain hanya menganggap sunat berwudu setiap akan salat. Yang terakhir ini adalah pendirian Mazhab Maliki.
44
45