BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP CERPEN, SOSIOLOGI SASTRA, DAN DASAR-DASAR ETIKA DI JEPANG
2.1. Definisi Cerpen Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerpen adalah kisahan pendek yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi. Ajip Rosidi dalam Zen (2006:2) mengatakan bahwa cerita pendek merupakan cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide berdasarkan pendapat tersebut dikatakan bahwa di dalam sebuah cerita pendek terdapat suatu kesatuan yang utuh yang mampu menampilkan cerita yang baik dan menarik dengan isi cerita pendek. Setiap karya sastra fiksi mempunyai unsur-unsur yang mendukung karya sastra fiksi tersebut, baik unsur dari dalam sastra itu sendiri (unsur intrinsik) ataupun unsur dari luar (unsur ekstrinsik) karya sastra itu yang secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra. Akutagawa Ryunosuke merupakan salah satu sastrawan yang sangat terkenal yang telah banyak memberikan sumbangan dalam dunia sastra berupa karya sastra fiksi. Salah satu dari hasil karya Ryunosuke adalah cerpen yang berjudul Imogayu. Cerpen Imogayu dipublikasikan pada tahun 1916 dalam sebuah majalah di Jepang. Cerpen Imogayu mengandung unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang turut membangun cerpen Imogayu. Beberapa unsur intrinsik yang akan
Universitas Sumatera Utara
dbicarakan adalah tema, plot/ alur cerita, tokoh, dan setting. Sedangkan unsur ekstrinsiknya adalah biografi pengarang.
2.1.1. Unsur Intrinsik a. Tema Setiap karya fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Penulis melukiskan watak tokoh dalam karyanya dengan latar tersebut. Dengan demikian tidaklah berlebihan kalau dikatakan tema itu merupakan hal penting dalam seluruh cerita (Tarigan, 1986:125). Menurut Scharbach dalam Aminuddin (2000:91) istilah tema berasal dari bahasa Latin yang berarti ’tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sebab itulah penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan pembaca umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut. Lebih lanjut Brooks dalam Aminuddin (2000:92) mengungkapkan bahwa dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal. Tema dalam hal ini tidaklah berada di luar cerita, tetapi inklusif
Universitas Sumatera Utara
di dalamnya. Akan tetapi, keberadaan tema meskipun inklusif di dalam cerita tidaklah terumus dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi tersebar di balik keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemapar prosa fiksi. Dalam upaya pemahaman tema, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut secara cermat. 1)
Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca.
2)
Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.
3)
Memahami suatu peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.
4)
Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
5)
Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.
6)
Menentukan sikap penyair terhadap poko-pokok pikiran yang ditampilkannya.
7)
Mengidentifikasi tujuan pengarang dalam memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran yang ditampilkannya.
8)
Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya. Sesuai dengan judul “Imogayu” yang dalam bahasa Indonesia mempunyai
arti Bubur Ubi, maka tema dari cerpen ini menceritakan tentang bubur ubi. Dimana tokoh Goi, seorang samurai yang menduduki kelas terendah, mempunyai
Universitas Sumatera Utara
keinginan yang sangat besar untuk makan bubur ubi. Kondisi fisik tokoh Goi membuatnya susah berhubungan dengan orang lain karena ia tidak sama dengan manusia normal lainnya. Kondisi sosial tentang hubungan manusia inilah yang menjadi fokus utama cerita dalam cerpen “Imogayu” karya Akutagawa Ryunosuke ini.
b. Plot/ Alur Cerita Pengertian alur dalam cerpen atau pada karya sastra pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa berbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam (Aminuddin, 2000:83). Dalam cerita fiksi atau cerpen urutan peristiwa dapat beraneka ragam. Montage dan Henshaw dalam Aminuddin (2000:84) menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan-tahapan sebagai berikut: -
Exposition : Yakni tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita.
-
Inciting Force : Yakni tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku.
-
Rising Action : Yakni situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonflik.
Universitas Sumatera Utara
-
Crisis : Yaitu situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh para pengarangnya.
-
Climax : Yakni situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri.
-
Falling Action : Yakni kadar konflik sudah menurun sehingga ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusion atau penyelesaian cerita. Dalam cerpen “Imogayu” tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita juga
tersususun dalam tahapan yang dinyatakan oleh Montage dan Henshaw, yaitu dalam tahapan : -
Exposition : Di dalam cerpen Imogayu, pada awal cerita dijelaskan bahwa cerita ini berlangsung di Jalan Shujaku, Kyoto dan Echizen di Tsuruga. Dilanjutkan dengan penjelasan tentang seorang samurai kelas rendahan, seorang goi yang tidak diketahui namanya yang bekerja pada Fujiwara Mototsune. Kemudian menjelaskan pelaku lain yang mendukung cerita seperti Fujiwara Toshihito, putra
Tokinaga
(Menteri
Keuangan
dalam
pemerintahan
Mototsune), ayah mertua Toshihito yang bernama Arihito, dan rubah dari Sakamoto yang mewujudkan keinginan tokoh Goi untuk makan bubur ubi. Terdapat juga para samurai mulai dari kelas atas sampai rendahan, para pembantu yang masuk dalam kelas maupun yang tidak sama sekali yang bekerja pada keluarga Mototsune,
Universitas Sumatera Utara
orang biasa serta anak-anak yang selalu mengejek tokoh Goi tanpa disebutkan namanya satu per satu. -
Inciting Force : Dalam tahapan ini di dalam cerpen Imogayu digambarkan keadaan/ kondisi dimana tokoh Goi selalu mendapat olok-olok. Tetapi setiap kali diolok-olok, ia seperti tidak merasa apa-apa, ia benar-benar buta perasaan. Sampai pada suatu hari seorang rekannya bertindak kelewatan, ia yang buta perasaan pun tiba-tiba berkata, “Jangan begitu dong, … kalian.”
-
Rising Action : Dalam tahapan ini di dalam cerpen Imogayu digambarkan bahwa tokoh-tokoh pendukung cerita dalam hal ini para samurai serta para tamu yang diundang dalam jamuan besar yang diselenggarakan di kediaman Fujiwara Mototsune mengolokolok tokoh Goi yang belum puas makan bubur ubi.
-
Crisis : Dalam tahapan ini di dalam cerpen Imogayu digambarkan dimana tokoh Goi selalu menjadi bahan ejekan. Ia harus menerima olok-olok. Bahkan ketika Toshihito menawarkan bubur ubi lagi, ia menjadi
bimbang
untuk
menjawab
apa.
Karena
apapun
jawabannya, ia akan selalu menjadi bahan ejekan orang-orang. -
Climax : Dalam tahapan ini di dalam cerpen Imogayu digambarkan dimana seseorang mengolok-olok tokoh Goi dalam jamuan tersebut tetapi semua tamu tertawa terbahak-bahak bahkan bermacam-macam topi para tamu terayun-ayun seperti ombak sehingga wajahnya memerah.
Universitas Sumatera Utara
-
Falling Action : Dalam tahapan ini di dalam cerpen Imogayu digambarkan dimana tokoh Goi merasa bahagia karena dapat mewujudkan keinginannya untuk makan bubur ubi sepuasnya. Ia juga tidak mendapat olok-olok lagi dari para samurai bahkan caci maki oleh anak-anak Kyoto.
c. Tokoh Boulton dalam Aminuddin (2000:79) mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokoh sebagai peleku yang hidup di
alam
mimpi,
pelaku
yang
memiliki
semangat
perjuangan
dalam
mempertahankan hidupnya. Pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya maupun pelaku egois, kacau, dan mementingkan diri sendiri. Dalam cerita fiksi pelaku itu dapat berupa manusia atau tokoh makhluk lain yang diberi sifat seperti manusia. Dalam menentukan siapa tokoh utama dan tokoh pembantu dalam suatu cerpen, pembaca dapat menentukannya dengan jalan melihat keseringan pemunculannya, dalam menentukan tokoh dalam suatu cerita. Selain lewat memahami dari peranan dan keseringan pemunculannya, dalam menentukan tokoh utama serta tokoh tambahan dapat juga ditentukan lewat petunjuk yang diberikan oleh pengarangnya, sedang tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya (Aminuddin, 2000:80). Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen Imogayu terbagi dalam tokoh utama dan tokoh tambahan/ tokoh pembantu. Akutagawa menggambarkan tokoh utama sebagai seorang manusia yang berprofesi sebagai seorang samurai kelas
Universitas Sumatera Utara
rendahan yang kondisi fisik tubuhnya tidak seperti manusia normal lainnya. Sedangkan tokoh-tokoh tambahan digambarkan sebagai samurai, pembantu, dan anak-anak yang tidak diberi identitas berupa nama yang selalu mengolok-oloknya. Hanya Fujiwara Toshito, putra Tokinaga (Menteri Keuangan dalam pemerintahan Mototsune), ayah mertua Toshihito yang bernama Arihito, dan rubah dari Sakamoto yang diberi nama yang membantu mewujudkan impiannya.
d. Setting Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:216) mengatakan bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan. Latar memberi pijakan secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa dipermudah untuk menggunakan daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Nurgiyantoro (1995:227) mengungkapkan bahwa unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
a. Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis ini penting untuk mengesani pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh-sungguh ada dan terjadi yaitu di tempat dan waktu seperti yang diceritakan itu. b. Latar Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual. Latar waktu juga harus dikaitkan dengan latar tempat dan latar sosial sebab pada kenyataannya memang saling berkaitan. c. Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial jjuga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau atas.
Universitas Sumatera Utara
Dalam cerpen Imogayu, Akutagawa menggambarkan latar tempat dari cerita di Jalan Shujaku Kyoto dan Echizen di Tsuruga. Latar waktu dari cerita digambarkan pada sekitar akhir tahun Genkei atau awal tahun Ninna dan terjadi pada zaman heian yang sudah berselang cukup lama. Dan jika dilihat dari latar sosialnya, cerpen Imogayu menggambarkan kehidupan masyarakat yang menganggap rendah seseorang yang dianggap tidak normal sehingga pantas untuk diolok-olok.
2.1.2. Unsur Ekstrinsik Unsur ekstrinsik yang akan dilihat dari cerpen Imogayu ini adalah biografi dari pengarangnya yaitu Akutagawa Ryunosuke. Pengarang merupakan unsure ekstrinsik yang paling berpengaruh akan bangun cerita dari sebuah karya fiksi. Walaupn unsur ekstrinsik bukan merupakan unsur yang membangun cerita dari dalam karya sastra itu sendiri tetapi keberadaan unsur ekstrinsik dalam hal ini pengarang secara tidak langsung sangat mempengaruhi hasil dari karya sastra fiksi tersebut. Akutagawa Ryunosuke adalah seorang penulis Jepang era Taisho (19121926) yang sangat banyak meraih pembaca di luar Jepang. Karya-karyanya sebagaimana karya Natsume Soseki dan Mori Ogai banyak mengilhami para sastrawan jepang modern. Hingga akhir hayatnya ia menulis lebih dari seratus cerita pendek. Akutagawa lahir dengan nama Ryunosuke di Irifunecho, Tokyo pada 1 Maret 1892 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara. Irifunecho merupakan daerah tempat tinggal orang asing, ketika itu hanya ada tiga rumah orang Jepang,
Universitas Sumatera Utara
di sana termasuk keluarga Ryunosuke. Kakak perempuan sulungnya, Hatsuko meninggal setahun sebelum Ryunosuke lahir pada usia tujuh tahun karena radang selaput otak, karena itu ketika Ryunosuke lahir ia hanya memiliki satu saudara perempuan, Hisako. Karena lahir pada tahun Naga, ia diberi nama Ryunosuke. Ryu dalam bahasa Jepang berarti Naga. Ibunya bernama Fuku dan ayahnya bernama Niihara Toshizo yang bekerja sebagai pengusaha peternakan sapi perah di Irifunecho dan daerah Shinjuku. Sekitar sembilan bulan setelah Akutagawa lahir ibunya menjadi gila hingga kematiannya pada tahun 1902. ketika Ryunosuke lahir ayahnya berusia 42 tahun dan ibunya 33 tahun, usia-usia sial menurut kepercayaan Jepang. Untuk menghindari kemalangan yang akan menimpa, seharusnya Ryunosuke dibuang. Karena itulah kemudian diputuskan Ryunosuke seolah-olah dibuang dengan dipelihara oleh teman lama ayahnya, Matsumura Senjiro. Ibunya yang menjadi sakit jiwa juga dianggap sebagai bagian dari kesialan tersebut. Ryunosuke kemudian diadopsi oleh kakak ibunya, Akutagawa Michiaki. Bibinya ini merawatnya dengan penuh kasih sayang dan menganggapnya seperti anak sendiri. Kakak perempuan ibunya yang tidak menikah, Fuki, yang tinggal bersama mereka juga sangat menyayanginya. Secara resmi Ryunosuke menggunakan nama Akutagawa dua tahun setelah ibunya meninggal, yakni ketika berusia dua belas tahun. Sejak kecil Akutagawa Ryunosuke banyak membaca karya-karya klasik Jepang dan Cina. Minatnya terhadap kesusasteraan memang sudah tampak sejak ia duduk di sekolah dasar. Ia juga menyukai para penulis pertengahan zaman Meiji, seperti Ozaki Koyo dan koda Rohan, dan akrab dengan karya-karya para
Universitas Sumatera Utara
sastrawan besar seperti Natsume Soseki dan Mori Ogai. Ia mengenal pula karyakarya para penulis Eropa seperti Maupassant, Balzac, Tolstoy, Anatole France dan Dostoyevski sejak duduk di bangku sekolah menengah umum. Di bangku sekolah menengah umum ini pula ia sudah membaca buku-buku Euken dan Spinoza. Kebiasaannya yang lain adalah melihat pameran dan menghadiri diskusi sastra serta membaca buku di perpustakaan umum atau perpustakaan keliling. Pada tahun 1913 ia masuk Jurusan Sastra Inggris Universitas Tokyo. Bersama Kume Masao dan Kikuchi Kan ia menghidupkan kembali majalah sastra Universitas Shinsicho (aliran Pemikiran Baru), yang sudah mati dan mulai menerbitkan karyanya di majalah tersebut. Ia memulai debutnya dengan menerjemahkan karya France, “Balthasar”. Karya aslinya yang pertama yang muncul di Shinshicho berjudul “Ronen” (1914). Setahun kemudian, 1915, ia meluncurkan “Rashomon”, salah satu cerpennya yang terbaik dan menjadi judul kumpulan cerpennya yang pertama. Tahun 1916 tercatat sebagai tahun kesuksesannya yakni ketika cerpennya yang berjudul “Hana” (Hidung) dipuji oleh Natsume Soseki, empu sastra waktu itu dan majalah sastra mulai melirik penulis muda ini. Lulus dari universitas pada tahun 1916 Akutagawa kemudian mengajar bahasa Inggris pada sekolah teknik kelautan di Yokosuka. Tahun 1919 ia berhenti sebagai pengajar karena ingin mencurahkan perhatian sepenuhnya pada dunia tulis-menulis. Setelah berhenti mengajar ia mengantongi kontrak yang aman untuk menulis fiksi di surat kabar Osaka Mainichi. Pada Maret 1921 Akutagawa dikirim ke China selama empat bulan oleh Osaka Mainichi, dan kesehatannya mulai
Universitas Sumatera Utara
memburuk sewaktu berada di Shanghai. Pada masa inilah ia menulis karya-karya seperti “Jigokuhen” (Lukisan Neraka) dan “Hokyonin no Shi” (Martir). Sejak pulang dari China kesehatannya terus merosot. Dalam surat yang ditulis kepada salah seorang temannya pada akhir tahun 1922, ia mengeluh bahwa dirinya sedang menderita kelelahan saraf, kejang-kejang perut, sakit kantung kemih, dan punya masalah jantung. Surat ini juga mendaftar berbagai penyakit ringan yang diderita oleh istrinya, kedua anaknya, dan orang tua asuhnya. Karyakarya yang ditulis pada masa ini sangat berbeda dengan karya-karya awalnya. “Torokko” misalnya, lebih merupakan cerita anak-anak. Banyak yang mengatakan bahwa karya ini mirip dengan “Manazuru” (1920) karya Shigo Naoya. Akutagawa memang mengetahui bahwa ia mengagumi sastrawan tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam “Bungeiteki Na” (1927). Dalam tulisan ini ia menyatakan sangat mengagumi sentuhan realisme Shiga yang begitu indah yang begitu indah. Bagi Akutagawa, Shiga bahkan lebih unggul dibandingkan Tolstoy karena ia memakai realisme dengan semangat puitis yang diambil dari tradisi ketimuran. Selanjutnya, ketika Akutagawa mencari gaya pengungkapan baru di luar cerpen seiring kesehatan fisik dan mentalnya yang semakin memburuk, popularitasnya menurun. Dalam masa ini ia menulis novel-novel yang didasarkan pada pengalaman pribadinya, atau bukan berasal dari cerita klasik yang sudah ada, seperti “Kappa” (1927), “Seiho no Hito” (Pria dari Barat, 1927),
dan esai
“Bungekiteki na, amari ni Bungekiteki na” (Secara Sastra, Terlalu Sastra, 1927). Pada Juli 1927, di usia 35 tahun, Akutagawa agaknya benar-benar sudah tidak kuat lagi menanggung kelelahan mental dan fisik yang dipikulnya sehingga nekat bunuh diri dengan menelan obat tidur secara overdosis.
Universitas Sumatera Utara
Hidup Akutagawa memang pendek, tapi karya-karyanya dinilai sangat luar biasa sehingga ia dinobatkan sebagai “raja” cerpen dalam lesusastraan Jepang Modern. Teman lama Akutagawa, Kikuchi Kan, mendirikan Penghargaan Akutagawa (Akutagawasho) pada tahun 1935 untuk mengenang Akutagawa. Sampai sekarang Akutagawasho menjadi penghargaan kesusastraan paling bergengsi bagi para penulis baru. Karya-karya Akutagawa dapat digolongkan dalam beberapa kategori, yakni Edo-mono (cerita-cerita berlatar belakang masa Edo), Ocho-mono (ceritacerita yang berkaitan dengan Kristen di Jepang era pramodern, yang semuanya berjumlah sekitar lima belas), dan Kaiko-mono (cerita-cerita awal periode Meiji). Karya-karya terbaik dalam kelompok Edo-mono adalah Gesaku Zammai (1917) dan Karena-sho (1918), Ocho-mon diwakili oleh Jigokuhen, Kirishitan-mono diwakili oleh Hokonin no Shi (1918) dan Kaika-mono diwakili oleh Butokai (1919). Periode setelah Akutagawa meninggalkan kedudukannya sebagai guru bahasa Inggris pada akademi kelautan di Yokosuka dan menjadi pegawai Koran Osaka Mainichi dan setahun sebelumnya (1918) menikahi Tsukamoto Fumiko merupakan periode produktifnya.
Karya-karya yang
turut
mendongkrak
popularitasnya, seperti Mikan (Jeruk, 1919) dan Aki (Musim gugur, 1920), mendorong ia untuk mengalihkan perhatiannya kepada bahan-bahan modern. Karya awal Akutagawa berupa sejumlah terjemahan France dan Yeats. Karya seperti “The Old Man” (1914) dan “Youths and Death” (1914) muncul dalam edisi ketiga majalah Shinshicho. Ketika ia mempublikasikan “Hana”, namanya langsung melejit karena mendapat pujian dari Natsume Soseki. Soseki
Universitas Sumatera Utara
menulis surat ucapan selamat kepada penulis muda ini, “Saya akui karya Anda sangat menarik. Sederhana dan serius tanpa mencoba untuk melucu”. Soseki juga menambahkan bahwa karya tersebut mengandung citra rasa humor yang luar biasa. Bahasanya segar dan menarik dan gaya penulisannya anggun. Soseki juga menambahkan pesan, “Lanjutkan dan hasilkan dua puluh atau tiga puluh cerita seperti ini. Tidak lama lagi Anda menjadi tidak tertandingi dalam dunia kesusastraan.” Pada masa ini Akutagawa menulis novel-novelnya berdasarkan pada pengalaman pribadinya atau bukan berasal dari cerita klasik yang sudah ada, seperti “Kappa” dan “Seiho no Hito” (Pria dari Barat) dan esai Bungeikiteki na, amari ni Bungeiteki na (Secara Sastra, Terlalu Sastra). Pada tahun itu juga, pada musim semi tahun 1927, Akutagawa juga meninggalkan sebuah catatan untuk temannya, pelukis Oana Ryuichi, tentang kesedihannya karena berselingkuh dengan seorang wanita menikah ketika Akutagawa berusia 29 tahun. Surat tersebut ditutup dengan kalimat, “Tetapi saya melihat bahwa saya pada dasarnya adalah anak orang gila, sekarang saya merasa muak terhadap dunia terutama terhadap diri sendiri”. Setelah Akutagawa meninggal, terbit beberapa karyanya, seperti Aru Aho no Issho (Kehidupan Si Tolol) dan Harugama, yang dianggap sebagai karya agungnya yang terakhir. Dalam Harugama, dia menggambarkan dirinya dengan suasana ketegangan mental yang akut.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Defenisi Sosiologi Sastra Sosiologi adalah ilmiah yang objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai
lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Lewat penelitian yang ketat melalui lembagalembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama apa yang disebut sosiologi, dikatakan memperoleh gambaran cara manusia menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial itu (Swingewood dalam Faruk, 1994:1). Sorokin
dalam Suekanto (1990:20) mendefinisikan bahwa sosiologi
adalah suatu ilmu yang mempelajari: 1. Hubungan dengan timbal balik antara gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; masyarakat dengan politik dan sebagainya). 2. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejalagejala non-sosial (misalnya gejala geografis biologis). Roucek dalam Suekanto (1990:20) mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompokkelompok. Selo Sumardjan dalam Suekanto (1990:21) mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk
Universitas Sumatera Utara
perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yaitu kaedah sosial (norma-norma sosial) lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial. Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehiduppan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya (Endraswara, 2008:77). Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa sebab bahasa merupakan milik bersama, di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subyektif, sebagai kenyataan yang diciptakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh-tokoh dalam cerpen misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannnya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh cerpen, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dengan rekaan (Teeuw dalam Tarihoran, 2009:23).
Universitas Sumatera Utara
Secara esensial, sosiologi adalah penelitian tentang: a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif. b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya. c. Studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya. Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap struktur sosial. Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yaknii: a. Konsep stabilitas sosial. b. Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda. c. Bagaimana
seorang
individu
menerima
individu
lain
dalam
kolektifnnya. d. Bagaimana proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat. e. Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke kapitalisme. Dalam cerpen Imogayu karya Ryunosuke Akutagawa ini terdapat tokoh utama, seorang goi, dan beberapa tokoh pendukung cerpen seperti Fujiwara Toshihito, ayah mertua Toshihito (Arihito), para samurai, pembantu, dan masyarakat. Setiap tokoh memiliki peranan masing-masing, berinteraksi satu dengan yang lain dalam kondisi sosial pada zaman itu. Beberapa tokoh tidak menerima kondisi tokoh Goi karena kondisi fisiknya yang aneh. Karena kondisi fisik tokoh Goi itulah mereka sering mengolok-olok tokoh Goi.
Universitas Sumatera Utara
Dasar-Dasar Etika di Jepang Ruth
Benedict
dalam Situmorang
(1995:64)
mengatakan
bahwa
masyarakat Jepang adalah masyarakat yang berkebudayaan rasa malu. Ruth Benedict membedakan dengan masyarakat Amerika yang menurutnya adalah berkebudayaan rasa takut. Dalam kebudayaan rasa takut, nilai yang paling tinggi adalah rasa takut kepada Tuhan. Berbeda dengan masyarakat Jepang yang memiliki kebudayaan rasa malu (haji). Kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa malu ini mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah laku yang baik dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar berdasarkan rasa bersalah yang mengandalkan rasa bersalah yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dilancarkan orang lain. Orang dibuat malu kalau secara terbuka diperolokkan dan ditolak, atau kalau ia membayangkan dirinya seakan diperolokkan. Dalam kedua hal itu rasa malu merupakan sanksi yang kuat. Tetapi hal itu memerlukan suatu hadirin, atau setidaknya hadirin dalam khayalan orang. Rasa bersalah tidak memerlukan hal tersebut (Benedict, 1982 : 233). Jika seseorang mendapat kritik dari orang lain maka akan timbul reaksi malu dari dalam dirinya. Reaksi ini bukan merupakan reaksi fisik tapi lebih kepada reaksi psikologi seseorang yang mendapat kritik tersebut. Oleh karena itu nilai yang paling tinggi adalah bukan rasa takut kepada dewa atau Tuhan, tetapi rasa malu akan penilaian masyarakat luas pada umumnya. Dalam kehidupan masyarakat Jepang rasa malu yang paling tinggi adalah ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain atau prinsip keterutangan
Universitas Sumatera Utara
terutama pada utang budi. Oleh karena itu seluruh aktifitas mereka difokuskan pada penghindaran rasa malu (Situmorang, 2008 : 8). Dalam berinteraksi dengan orang lain, seseorang akan menerima dan memberi budi baik. Bagi orang Jepang yang dibesarkan dengan ajaran-ajaran moral seperti tahu malu dan menghargai diri sendiri akan merasakan bahwa budi baik yang mereka terima dari orang lain merupakan beban terberat dalam hidupnya. Oleh karena itu, masyarakat menuntut kepada setiap orang warganya untuk membalas kembali segala kebaikan yang diterimanya. Dalam Situmorang (1995:66) dikatakan karena adanya hutang budi maka orang Jepang merasa berkewajiban untuk membalas budi baik dari orang tua, para penguasa, masyarakat, dan negara. Rasa kebajikan itu disebut gimu. Gimu adalah konsep pembalasan kebaikan setulus hati, yaitu bahwa kebaikan yang telah diterima tersebut harus dibalas tanpa memikirkan untung rugi. Berdasarkan hal tersebut, Watsuji dalam Situmorang (1995:44-45) terdapat lima macam pemikiran mengenai etika kesadaran (Gorin) yang meliputi pengabdian seseorang, yaitu: 1. Pengabdian pengikut terhadap tuannya 2. Pengabdian anak terhadap ayah 3. Pengabdian adik laki-laki terhadap kakak laki-laki 4. Pengabdian istri terhadap suami 5. Hubungan antar orang yang sederajat
Menurut Konghucu, alam semesta berjalan atas peraturan tertentu. Agar kehidupan manusia selaras dengan alam semesta, maka memerlukan tata tertib. Tata tertib itu berdasar pada "pembenaran nama." Segala sesuatu di dunia ini
Universitas Sumatera Utara
punya nama. Di dalam nama terkandung fungsinya. Begitu pula di dalam masyarakat, setiap orang punya nama. Di dalamnya terkandung tanggung jawab dan kewajiban masing-masing. Jika setiap orang membenarkan dan tidak memalsukan namanya, pergaulan sosial akan berjalan baik.
Berhubungan dengan hal tersebut, setiap pihak berkelakuan sesuai dengan kedudukannya. Ayah mencintai anak, anak menghormati. Kakak berbaik hati, adik menjunjung. Suami tulus, istri patuh. Sahabat lebih tua peka, sahabat muda hormat. Yang berkuasa murah hati, yang dikuasai setia. Tiga dari lima pertalian itu merupakan hubungan keluarga, memang keluarga dapat dianggap sebagai dasar masyarakat. Dalam lembaga sosial inilah, manusia dididik, diajar kebajikan, dan dibentuk tabiatnya. Kalau manusia dibesarkan secara tepat maka dunia akan damai. Konghucu berkata, "Jika ada kebenaran di hati, ada keindahan di watak. Jika ada keindahan di watak, ada harmoni di rumah. Jika ada harmoni di rumah, ada tata tertib di negara. Jika ada tata tertib di negara, ada damai di dunia." Perlu ditambahkan bahwa dalam keluarga kewajiban anak terhadap orang tua sangat dititikberatkan. Anak harus taat atau berbakti kepada orang tua.
Terjalinlah Lima Hubungan Sosial yang disebut dengan Wu Lun, yaitu: 1. Hubungan antara pimpinan dan bawahan 2. Hubungan antara suami dan istri 3. Hubungan antara orang tua dan anak 4. Hubungan antara kakak dan adik 5. Hubungan antara kawan dan sahabat
Universitas Sumatera Utara
(http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedi a.org/wiki/Confucianism) Dalam ajaran agama Budha, hal yang paling diutamakan adalah cinta kasih terhadap manusia. Menjunjung tinggi sosok atau wajah alami manusia merupakan representasi dari pengamatan cinta kasih (aijo). Sesuatu yang merupakan kemurnian cinta kasih terhadap orang lain yang disebut jihi sangat diutamakan dan karenanya ditekankan untuk dipahami secara mendalam oleh para penganut agama Budha Jepang (Anwar, 2004:123). Sehingga setiap manusia harus saling menghormati satu sama lain. Hubungan-hubungan sosial ini terdapat dalam cerpen Imogayu. Berbagai jenis hubungan terdapat dalam cerpen ini, ada yang baik dan ada pula sebaliknya. Hubungan-hubungan ini dapat dilihat dalam pembahasan bab selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara