BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP CERPEN “IZU NO ODORIKO”, SEJARAH PENARI KELILING DAN SETTING CERITA
2.1. Sejarah Penari Keliling Penari keliling mulai ada semenjak zaman Edo dan terus berkembang hingga zaman Meiji dan masih tetap bertahan pada zaman Taisho. Zaman Edo (1600-1868) merupakan zaman ketika keluarga Tokugawa berkuasa. Sebelum Tokugawa, shogun yang memerintah adalah Toyomi Hideyoshi. Pada masa pemerintahannya, ia bisa menguasai dan menyatukan Jepang. Kemudian Shogun Hideyoshi menunjuk lima orang tairo atau menteri utama untuk memimpin seluruh negeri. Salah satu dari kelima tairo yang ditunjuk yaitu Tokugawa Ieyasu. Tokugawa Ieyasu memanfaatkan kepercayaan
Hideyoshi
dengan
memupuskan
harapan
tersebut
dan
melakukan
pemberontakan untuk perebutan kekuasaan. Tokugawa Ieyasu kemudian berhasil berkuasa secara turun temurun selama kurang lebih 250 tahun dan untuk memperkuat daerah kekuasaan, Tokugawa Ieyasu mengeluarkan kebijakan – kebijakan, salah satunya adalah pembentukan stratifikasi sosial masyarakat. Stratifikasi sosial pada zaman Edo dikelompokkan sesuai dengan status sosial masyarakat masing-masing yang disebut dengan shi-noo-koo-shoo (1) Shi : Bushi–samurai, (2) Noo : Noumin-petani, (3) Koo : Kousakunin–pengrajin, (4) Shoo : Shounin–pedagang.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan dari stratifikasi sosial ini yaitu untuk memperkokoh kekuasaan Tokugawa di kalangan rakyat biasa, sampai terjadinya modernisasi pada zaman Meiji. Pada masa Edo, saat kondisi politik relatif stabil, perdagangan Jepang menjadi sangat maju. Pedagang yang tinggal di perkotaan hidup di sekitar benteng Daimyo, masing-masing memiliki batasan wilayah. Pada saat itu banyak para pedagang yang diangkat menjadi samurai karena adopsi atau pernikahan antar kelas pedagang dan samurai. Pernikahan seperti ini sebagian besar dilatarbelakangi oleh permasalahan hutang. Hutang para samurai kepada para pedagang yang dibayar dengan pernikahan dan pengangkatan kelas bagi pedagang menjadi kelas samurai. Pedagang yang kaya berpergian selalu menggunakan kago (sejenis kereta berbentuk segi empat yang ditarik oleh manusia), sedangkan pedagang miskin hanya berjalan kaki. Setiap pedagang yang mau masuk ke Edo harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan Edo merupakan ibukota Jepang dan hanya orang-orang yang memiliki kelas tertentu yang bisa masuk dan tinggal di ibukota seperti shogun dan samurai. Akan tetapi, pedagang kaya selalu menjanjikan banyak imbalan untuk mendapatkan kenyamanan di mana pun mereka berada. Pedagang kaya dapat masuk ke ibukota untuk menjual dagangannya. Umumnya pedagang kaya mempunyai dana untuk menonton
pertunjukan seperti
kabuki. Sedangkan pedagang miskin yang tidak memiliki dana untuk menonton pertunjukan kabuki, hanya menikmati hiburan yang dimainkan oleh pedagang yang lainnya. Pedagang yang melakukan pertunjukan hiburan tersebut adalah pedagang yang kehabisan dana untuk berdagang keliling. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan penghasilan kembali, mereka melakukan pertunjukan keliling seperti memainkan alat musik, menampilkan tarian. Sebagian besar seni, sastra, musik dan drama dari periode Edo dihubungkan dengan pedagang. Pelaku seni ini hampir semua berasal dari pedagang, tetapi para penikmat pertunjukan mereka tidak dibatasi pada kelas mereka sendiri, tetapi juga kelas shogun,
Universitas Sumatera Utara
samurai dan petani. Kehidupan pedagang yang seperti itu disebut Tabigeinin atau seniman keliling, Kondansha (1983:300-304) . Zaman Meiji atau periode Meiji, berlangsung selama 45 tahun Kaisar Meiji sebagai kaisarnya. Menurut kalender Gregorian, dari 23 Oktober 1868 hingga 30 Juli 1912, sesudah zaman
Keio
(Keiou
jidai)
dan
sebelum
zaman
Taisho
(http://id.wikipedia.org/wiki/Zaman_Meiji) Selama masa ini, Jepang memulai modernisasi secara besar-besaran dan menunjukkan kekuatannya pada dunia. Nama zaman ini berarti ‘aturan pencerahan’. Pemerintah menyatakan shiminbyodo (persamaan empat strata sosial), yaitu: bangsawan feodal menjadi kazokui, kaum samurai menjadi shizoku, petani, tukang, dan pedagang menjadi heinin. Berdasarkan hal tersebut, masyarakat biasa pun berhak memiliki nama keluarga, pekerjaan, ataupun tempat tinggal dengan bebas. Zaman Meiji disebut juga zaman
Jepang Modern (1862- 1912). Pada zaman ini
dimulainya pekembangan dari berbagai segi dan bidang seperti bidang budaya, pemikiran, politik, ekonomi, masyarakat, seni, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah memusatkan perkembangan pada bidang tekhnologi, sedangkan penari keliling tidak terlalu diperhatikan. Pada tahun 1872 (Meiji 5), pemerintah menetapkan sistem pendidikan sehingga masyarakat yang memiliki pekerjaan dan status macam apapun dapat mengikuti pendidikan. Selain itu, pemerintah Meiji pun mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya ke negara-negara Eropa dan Amerika dan mengundang ahli-ahli teknik dari negara-negara Barat. Kebudayan Barat yang maupun diadopsi oleh pemerintah. Di bidang kehidupan sehari-hari, diberlakukan kalender solar Gregorian. Kebudayaan di kota-kota besar yang merupakan salah satu kebudayaan yang paling inovatif di dunia, menghasilkan kombinasi seni cetak balok kayu, teater Kabuki, novel, puisi Haiku, mode pakaian, dan kebanyakan terikat dengan geisha atau perempuan yang hadir di setiap kota tempat hiburan.
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan dari penari keliling pada zaman Meiji masih tetap statusnya di tengah masyarakat. Meskipun muncul kebudayaan baru, penari keliling masih bertahan dengan keberadaannya. Dalam pertunjukannya, penari keliing masih tetap mengenakan pakaian tradisional Jepang dengan dandanan wajah dan rambut shimada. keanggotaan penari keliling tidak terbatas kepada golongan shounin saja tapi kepada seluruh masyarakat yang memiliki jiwa seni dapat menjadi penari keliling (http:www.studyjepang.worldpress.com). Zaman Taisho atau Era Taisho, dimulai sejak 30 Juli 1912 hingga 25 Desember 1926, bertepatan dengan mulai berkuasanya Kaisar Taisho. Kesehatan kaisar baru ini sangatlah lemah, sehingga mendorong pergeseran kekuatan politik dari kelompok negarawan tua (atau genrou) partai-partai demokratis. Zaman ini dianggap sebagai awal berdirinya gerakan liberal bernama Demokrasi Taisho. Pengaruh kebudayaan asing yang dirasakan pada zaman Meiji berlanjut. Kobayashi Kiyochika yang mengadopsi gaya melukis Barat di samping melukis ukiyo-e. Okakura Kakuzo memiliki minat terhadap lukisan tradisional Jepang. Mori Ogai dan Natsume Soseki melanjutkan sekolah di Barat dan memperkenalkan lebih banyak pandangan modren mengenai kemanusiaan (http://www.mochihotoru.co.cc/2011/11/zaman-taisho.html). Pada zaman Taisho bagi masyarakat modernitas menjadi pujaan. Modernitas yang dimaksud adalah perilaku dan ide yang dikaitkan dengan Barat. Berbeda dengan kota kecil terutama di pedalaman kehidupan berjalan seperti masa lalu tidak ada pembaharuan begitu juga dengan pandangan masyarakat terhadap penari keliling meskipun stratifikasi sudah dihapuskan. Kegiatan terpusat di Tokyo dan kota besar lainnya terlihat dari bentuk bangunan dan desain pakaian yang mengarah ke Barat (http://www.mochihotoru.co.cc/2011/11/zamantaisho.html). Sebagian besar perkembangan dalam kesusastraan dan seni dapat dikatakan spontan yang merupakan respons orang pada perubahan keadaan. Daya tarik kesusastraan dan seni meningkat seiring dengan banyaknya media-media baru yang ditemukan seperti majalah
Universitas Sumatera Utara
bergambar, radio, televisi akibatnya budaya berubah menjadi gaya Barat. Penari keliling termasuk kesenian asli Jepang yang masih bertahan hingga zaman Taisho yang masih memegang kebudayaan Jepang.
Pakaian penari keliling masih menggunakan kimono
tradisional dan dalam penampilannya mereka menggunakan alat musik taiko dan shamisen.
2.2 Eksistensi Penari Keliling Pada Zaman Taisho Berdasarkan kemunculannya pada zaman Edo, penari keliling yang berasal dari kelas pedagang, melakukan perjalanannya sambil melakukan hiburan karena kehabisan dana. Hal tersebut dilakukan oleh penari keliling sampai zaman Meiji dan zaman Taisho. Penari keliling hidupnya berkeliling dari satu kota ke kota lainnya untuk mencari nafkah sama halnya dengan pemain sandiwara kabuki yang mengadakan pertunjukan keliling, tetapi pertunjukan kabuki dilakukan secara profesional, teratur dan tertata rapi dalam setiap penampilan. Keberadaan penari keliling yang berkeliling ke daerah-daerah menyebabkan dalam kehidupan mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan yang akrab. Kehadiran penari keliling tidak diharapkan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat yang menetap tidak mengakui keberadaan penari keliling yang bekerja secara nomaden. Kelompok penari tidak tinggal menetap di suatu tempat selama mengadakan pertunjukan. Para penari keliling tetap melakukan pertunjukan di setiap kampung yang mereka datangi dengan tujuan mencari nafkah untuk mempertahankan kehidupan mereka (http://studijepang.blogspot.com). Kelompok penari keliling biasanya merupakan satu keluarga pedagang yang tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan keluarga. Keanggota dari kelompok penari keliling terdiri dari 4 sampai 5 orang. Dari anggota kelompok penari keliling ada yang memiliki hubungan keluarga yang berasal dari keluarga pedagang yang miskin. Banyak juga di dalam satu kelompok penari keliling yang bukan dari satu keluarga. Keanggotaan penari yang bukan dari
Universitas Sumatera Utara
satu keluarga dikarenakan dalam keluarga mereka tidak mempunyai anggota yang pintar dan menarik untuk melakukan pertunjukan. Kelompok penari menyewa seseorang yang menarik untuk bersama dengan mereka melakukan pertunjukan keliling. Dalam keanggotaan penari keliling terdapat juga anggota yang bukan dari keturunan pedagang. Masyarakat yang memiliki
darah
seni
yang
berminat
bergabung
untuk
mengadakan
pertunjukan
(http://studijepang.blogspot.com). Pertunjukan yang mereka lakukan adalah berupa tarian dan memainkan alat musik seperti taiko dan shamisen. Tarian dimainkan oleh penari-penari perempuan yang masih muda. Pertunjukan dilakukan di rumah-rumah teh atau ryoriya. Di setiap kampung yang mereka lewati kelompok penari tersebut selalu melakukan pertunjukan. Para penari dalam kelompok seniman keliling masih muda dan didandani semenarik dan secantik mungkin untuk menarik perhatian para pelanggan. Model rambut yang dipakai pada masa itu adalah shimadamage yang terkenal pada abad 17. Kepandaian penari dalam melakukan tarian dan alat musik dipelajari dari penari yang lebih senior dalam suatu kelompok kesenian. Dari cara berpakaian, dalam melakukan pertunjukan penari menggunakan pakaian tradisional Jepang yang dikenal dengan yukata dengan riasan rambut, Kondansha (1983:83)
2.3 Status Penari Keliling Pada Zaman Taisho Penari keliling muncul pada zaman Edo karena adanya stratifikasi sosial yang dikenal dengan shinokosho yang dibentuk pada pemerintahan Tokugawa. Penari keliling termasuk ke dalam golongan Shounin. Penari keliling masih tetap ada sampai
zaman berikutnya,
meskipun pada zaman Meiji pembagian kelas sudah ditiadakan tapi tingkatan sosial penari keliling masih dianggap rendah. Begitu juga pada zaman Taisho.
Universitas Sumatera Utara
Telah disinggung sebelumnya bahwa penari keliling merupakan sejenis profesi pelipur lara yang berjalan keluar masuk kampung sambil menghibur penduduk, berikut ada beberapa pengertian dari geinin (orang seni) /tabigeinin yaitu: 1.Geinin adalah orang yang pandai atau ulung dalam melakukan
pertunjukan dan
menghibur. Kondansha (1983:655). 2. Penghibur yang berkerja mencari nafkah dengan berjalan keliling daerah. Kokugojiten (1976:628) 3. Tabigenin juga berarti penari keliling dengan kerahmatan budha dimulai dari perjalanan para pemain sandiwara kabuki yang mencari nafkah mengelilingi tanah air Jepang. Daijiten (1970:1338). Jadi penari keliling adalah sekelompok masyarakat yang mata pencahariannya menghibur masyarakat dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kampung ke kampung lain. Penari keliling berawal dari golongan pedagang miskin yang beralih profesi menjadi pelaku kesenian, karena hidup sebagai pedagang miskin tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Kondansha (1983:300-304) Tabigeinin atau penari keliling
adalah seniman yang bekerja dengan menunjukan
keahliannya dalam kesenian. Mereka berasal dari satu kampung dan hidup secara berpindahpindah dikarenakan pekerjaan penari yang berkeliling untuk mempertunjukan keahlian mereka untuk mendapatkan uang. Kesenian yang mereka dapatkan didapat secara belajar baik ke sesama anggota penari atau kepada sesama kelompok penari. Dalam setiap perpindahan dari kampung ke kampung perjalanan penari tidak mulus karena tidak semua kampung yang dapat menerima keberadaan penari keliling. Hubungan kelompok penari keliling tidak ada perbedaan karena berasal dari kelas atau golongan yang sama pada zaman Edo. Kelompok penari keliling pada awalnya berasal dari
Universitas Sumatera Utara
kelas pedagang yang beralih profesi menjadi penari keliling karena tidak memiliki modal lagi untuk melanjutkan usaha. Hubungan penari keliling dengan keluarganya menunjukan adanya kasih sayang dan kerjasama yang baik, dalam setiap melakukan pertunjukan. Meskipun penampilan mereka tidak begitu diminati oleh masyarakat tapi mereka selalu berusaha untuk menapilkan pertunjukan yang baik kepada masyarakat. Dengan cara menandani penari keliling agar wajahnya terlihat anggun. Mereka berusaha memberikan
tampilan yang indah untuk
menunjang penampilan mereka yang sederhana.
2.4 Setting Cerpen Izu No Odoriko Tiap karya sastra fiksi mempunyai unsur-unsur yang mendukung karya fiksi tersebut, baik unsur dari dalam sastra itu sendiri (unsur intrinsik) ataupun unsur dari luar (unsur ekstrinsik) karya sastra itu yang secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra. Cerpen Izu No Odoriko sebagai karya sastra fiksi juga memiliki unsur-unsur tersebut. Untuk melihat unsur-unsur yang turut serta yang membangun cerpen Izu No Odoriko akan dibicarakan beberapa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang terdapat didalam cerpen Izu No Odoriko. Beberapa unsur intrinsik yang akan di bicarakan adalah : tema, plot/alur cerita, tokoh dan setting. Sedangkan unsur ekstrinsiknya adalah biografi pengarang.
a. Tema Setiap cerita mempunyai dasar. Penulis melukiskan tokoh dengan dasar atau tema yang telah ditentukan, mengingat kenyatan tersebut maka tema menduduki tempat utama dalam cerita M.S. Hutagalung dalam Badrun (1995:85)
Universitas Sumatera Utara
Istilah tema menurut Scharbach dalam Aminuddin (2000:91) berasal dari bahasa latin yang berarti tempat untuk meletakan suatu perangkat, disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakanya. Sebab itulah penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan membaca umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum dilaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut. Lebih lanjut Brooks dalam Aminuddin (2000:92) mengungkapkan bahwa dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pegarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal. Tema dalam hal ini tidaklah berada diluar cerita, tetapi inklusif didalamnya, akan tetapi, keberadaan tema meskipun inklusif didalam cerita tidaklah terumus dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi tersebar dibalik keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemapar prosa fiksi. Dalam upaya pemahaman tema, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut secara cermat. 1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca. 2) Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca. 3) Memahami suatu peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca. 4) Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca. 5) Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita. 6) Menentukan sikap pengarang terhadap pokok-pokok pikiran yang ditampilkannya.
Universitas Sumatera Utara
7) Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran yang ditampilkanya. 8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkanya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya. Sesuai dengan judul ”Izu No Odoriko” yang menceritakan tentang kehidupan sosial penari keliling dalam masyarakat Jepang, disetiap perjalananya tidak selalu mulus karena tidak mendapat kepercayaan dari warga yang tinggal menetap. Kondisi kehidupan sosial penari keliling inilah yang menjadi fokus utama cerita dalam cerpen ”Izu No Odoriko” karya Kawabata Yasunari.
b. Alur (plot) Alur atau plot ialah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir Aminuddin (2000:89). Alur atau plot merupakan suatu rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun yang menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Menurut Aminuddin (2000:90) pada umumnya alur pada cerita prosa fiksi disusun berdasarkan urutan sebagai berikut: 1.
Perkenalan,
pada
bagian
ini
pengarang
menggambarkan
situasi
dan
memperkenalkan tokoh-tokohnya. 2. Pertikaian, pada bagian ini pengarang mulai menampilkan pertikaian yang dialami sang tokoh. 3. Perumitan, pada bagian ini pertikaian makin menghebat 4. Klimaks, pada bagian ini puncak perumitan mulai muncul 5. Peleraian, di sini persoalan demi persoalan mulai terpecahkan.
Universitas Sumatera Utara
Menurut susunannya atau urutanya, alur terbagi dalam dua jenis, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju adalah alur yang susunannya mulai dari peristiwa pertama, peristiwa kedua, ketiga, keempat dan seterusnya sampai cerita itu berakhir. Sedangkan alur mundur adalah alur yang susunannya dimulai dari peristiwa terakhir kemudian kembali ke peristiwa pertama. Berdasarkan uraian tersebut cerpen “Izu No Odoriko” adalah cerpen yang mempunyai alur maju. Karena peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerpen tersebut dimulai pada saat tokoh utama “aku” seorang murid Sekolah Menengah melakukan perjalanan didaerah Izu dengan maksud berjumpa dengan penari keliling dan berakhir pada saat “aku” harus kembali ke pulau Oshima untuk bersekolah. c. Latar (Setting) Yang dimaksud dengan latar atau setting adalah penggambaran situasi, tempat, dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa Aminuddin (2000:94). Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Latar tempat menjelaskan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Dan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Dalam cerpen Izu No Odoriko rangkaian peristiwa yang terjadi di sekitar daerah Izu, peristiwa tersebut terjadi pada musim gugur. Cerita Izu No Odoriko mengambarkan kehidupan penari keliling pada Zaman Taisho. d. Penokohan
Universitas Sumatera Utara
Yang dimaksud dengan penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokohtokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut Aminuddin (2000:92). Tokoh dalam karya fiksi tidak hanya berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema, dan tokoh juga menempati posisi strategis sebagai pembawa dan menyampaikan pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca Keberhasilan pengarang menyajikan cerita rekaan atau fiksinya tercermin melalui pengungkapan setiap unsur cerita itu. Salah satu diantaranya adalah ketepatan pelukisan tokoh cerita. Rupa, pribadi, dan watak sang tokoh harus tergambar sedemikian rupa sehingga berterima oleh khalayak ramai. Pengarang melukiskan tokoh melalui imajinasi atau fantasinya dengan cara berikut ini. 1. Pengarang melukiskan secara langsung bentuk lahir tokoh, misalnya raut muka, kepala, rambut, dan ukuran tubuh. 2. Pengarang melukiskan jalan pikiran tokoh atau apa yang terlintas dalam pikirannya. 3. Pengarang melukiskan reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, misalnya, memenuhi rasa ingin tahu yang besar si tokoh. 4. Pengarang melukiskan keadaan sekitar tokoh, misalnya keadaan kamar dan pekarangan rumah tokoh. 5. Pengarang melukiskan pandangan seorang tokoh terhadap tokoh lain, misalnya tokoh yang dilukiskannya berwatak keras, sabar, atau suka menolong orang yang ditimpa kesusahan. 6. Pengarang melukiskan atau menciptakan percakapan (dialog) antar tokoh (bawahan) tentang keadaan, watak, atau pribadi tokoh lain, misalnya tokoh utama. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen Izu No Odoriko terbagi dalam tokoh utama dan tokoh pembatu/tokoh tambahan. Kawabata Yasunari
mengambarkan tokoh utama
Universitas Sumatera Utara
sebagai seorang manusia yang berprofesi sebagai seorang murid Sekolah Menengah yang melakukan perjalanan kedaerah Izu dengan tujuan bertemu dengan rombongan penari keliling. Sedangkan tokoh tambahan digambarkan sebagai penari keliling yang diberi nama Eikichi, Chiyoko, Kouru, Yuriko dan orang-orang yang berada di sekitar daerah Izu.
2.5. Biografi Pengarang Biografi yaitu uraian tentang kehidupan seseorang, baik orang itu masih hidup atau sudah meninggal. Biografi berisi tentang perjalanan hidup, deskripsi kegiatan dan prestasi, ekspresi, serta pandangan seorang tokoh. Biografi dalam bahasa Indonesia berarti riwayat hidup seseorang. Dalam biografi seorang tokoh biasanya banyak ditemukan suatu pelajaran yang dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari awal hidup sampai menjelang ajal banyak yang dapat ditarik hikmahnya. Tujuan dari penulisan biografi ini adalah agar pembaca dan penulis dapat menghetahui perjalanan hidup seorang tokoh yang ia baca, dapat meneladani dan mengambil pelajaran dari seorang tokoh yang ia baca untuk dipakai dalam kehidupan sehari-harinya, dapat memberikan sesuatu yang berharga pada diri penulis dan pembaca setelah membacanya, serta penulis dan pembaca dapat meniru cara bagaimana tokoh tersebut sukses. Kawabata Yasunari dilahirkan di Tenmakohona, Osaka pada tanggal 14 juni 1899 (3Meiji) dari pasangan Kawabata Eikichi dan Gen. Ayah Kawabata Yasunari adalah seorang dokter yang menjadi wakil kepala sekolah sebuah rumah sakit di Osaka. Dia mempunyai kegemaran
menggambarkan sastrawan-sastrawan China
yang sering menulis puisi.
Sedangkan ibunya berasal dari keluarga Kuroda yang mepunyai hubungan dekat dengan keluarga Kawabata Yasunari. Kawabata Yasunari mempunyai satu orang kakak perempuan bernama Yoshiko.
Universitas Sumatera Utara
Ketika Kawabata Yasunari berumur dua tahun ayahnya meninggal dunia karena penyakit TBC, setahun kemudian ibunya juga meninggal dunia dengan sakit yang sama, akhirnya Kawabata Yasunari dibawa kakeknya ke tanah asal mereka yang terletak di desa Toyokawa daerah Misihima Osaka. Sedangkan kakaknya dititipkan pada bibinya di kota Osaka, namun berapa tahun kemudian kakaknya pun meninggal dunia karena penyakit yang sama dengan orang tuanya. Kematian keluarga yang berturut-turut menimpa Kawabata Yasunari yang sangat membekas di hatinya. Dalam satu karyanya yang berjudul Fuboe No Tagami, ia menggungkapkan bahwa hal yang paling membekas disanubari kanak-kanaknya adalah rasa takut terhadap penyakit dan kematian yang sangat cepat. Kawabata Yasunari akhirnya dibesarkan oleh kakeknya. Nenek Kawabata Yasunari sangat memanjakannya. Neneknyalah yang mengajarkanya Iroha dan abjad bahasa Jepang ketika ia belum masuk sekolah, namun pada saat berusia 7 tahun, yaitu pada saat ia masuk SD neneknya meninggal dunia. Sehingga Kawabata Yasunari hanya hidup bersama dengan kakeknya yang buta. Mereka hidup dari hasil peninggal orang tua Kawabata Yasunari. Mereka berdua juga sering mendapat bantuan dari tetangga disekitar rumahnya. Kawabata Yasunari pada saat duduk di kelas lima dasar sangat gemar membaca buku. Seluruh buku yang ada di perpustakaan ia baca. Pada masa Heian meskipun belum paham artinya ia mulai membaca karya sastra Jepang yaitu Genki Monogatari dan Makura No Shoshi. Lulus SD, Kawabata Yasunari melanjutkan sekolah Ibaraki di Osaka. Pada pelajaran ia unggul pada mata pelajaran Kanbun. Minatnya pada dunia baca sangat kuat. Ia memfokuskan bacaan pada buku-buku sastra. Ia rajin membaca majalah Shincho, Shinshosetsu, Bungakuhai, Chuokoron. Pada tahun 3 Taisho, menjelang kelas 3 SMP, kakek Kawabata Yasunari meninggal dunia. Dan ia menjadi sebatang kara. Kematian kakeknya menjadi dasar penulisan Jurokusai
Universitas Sumatera Utara
No Nikki (catatan harian usia 16 tahun) yang diterbitkan 1925. Kawabata Yasunari banyak membaca karya-karya asing, ia banyak membaca buku kesustraan rusia. Perasaan sebatang kara yang dirasakan Kawabata Yasunari sejak ia kecil adalah satu hal yang penting yang tidak dapat diabaikan jika hendak meneliti karya-karya Kawabata Yasunari. Dalam karyanya pun Kawabata Yasunari mengungkapkan bahwa ia sering merasakan gelisah karena ia sebatang kara, tidak dapat membayangkan wajah orang tuanya. Ia sangat merindukan kasih sayang orang tuanya sehinggga ia sedih dan merasa kosong. Ia tumbuh menjadi anak yang kerap bertanya-tanya tentang dirinya sendiri. Adakalanya ia berhasil menganggap bahwa apa yang terjadi pada dirinya hanyalah semacam kegalauan dari sebuah cerita. Namun pada saat lain kegelisahannya muncul kembali. Walaupun ia berusaha melupakan kesedihannya dengan menghilangkan potret-potret ayahnya. Dalam kumpulan Kawabata Yasunari yang diterbitkan oleh Shinchohahan Kawabata Yasunari yang mengungkapkan hal berikut ”Saya pikir ini hanya merupakan perasaan saya sendiri, disaat berumur 24-25 tahun. Perasaan ini sukar diungkapkan dengan kata-kata. Kadang-kadang saat saya ingin menulis sesuatu, ternyata setelah saya coba tulis maksudnya tidak terpengaruh oleh perasaan “sebatang kara” saya. Namun dengan seiring bertambahnya usia, saya bisa sedikit… mungkin perasaan “sebatang kara” ini akan mempengaruhi karyakarya saya, dan sepanjang hidup akan terus mengalir. Tapi tentu saja tidak bisa memastikannya. Namun dengan begitu adanya, saya tidak akan memusingkannya lagi”. Seperti itulah yang membuat Kawabata Yasunari berusaha untuk membunuh perasaan sedihnya sebagai yatim piatu, yang dianggap sebagai sesuatu yang sentimentil. Setelah tamat SMP pada bulan Maret 1917 (6 Taisho) KawabataYasunari tinggal di rumah bibinya di Akasuka Kuramae untuk sementara waktu selama ia mengikuti bimbingan tes. Bulan September ia diterima di salah satu SMA terbaik jurusan sastra Inggris. Pada saat itu sistem pendidikan Jepang 6 tahun SD, 5 tahun SMP, 3 tahun SMA, Kawabata Yasunari
Universitas Sumatera Utara
menamatkan SMA tahun 1920 (9 Taisho) dan diterima di Universitas Tokyo, juga jurusan sastra Inggris. Tahun berikutnya pindah ke jurusan sastra Jepang, karena sastra Inggris memperhitungkan kehadiran di kelas, sementara sastra Jepang tidak begitu. Melalui Kikuchikan, Kawabata Yasunari berkenalan dengan Yokumitsu Riichi salah seorang pengarang seangkatannya. Bersamaan dengan Toka Tappei, mereka menerbitkan majalah Bungei Jadai tahun1924 yang menjadi wadah kelompok pengarang muda yang menyebut dirinya Sinkanhakuha (aliran persepsionis baru). Keharuman nama Kawabata Yasunari sebagai pengarang muda kian semerbak ketika tahun 1926 mengumumkan Izu No Odoriko (Penari Izu), sebuah cerita cemerlang yang merupakan salah satu karya Kawabata Yasunari yang paling populer dan digemari di Jepang. Sampai sekarangpun pelajar maupun pembaca umumnya masih tetap membacanya. Selain menulis novel, mengkritik dan menterjemahkn karya asing, Kawabata Yasunari juga banyak menulis cerita pendek. Diataranya adalah Kanjo No Shosetsu, Te no Hira no shosetsu, Aisuru Hitotachi, dan Kogen. Banyak kritikus yang memberikan penafsiran yang berbeda terhadap karya Kawabata Yasunari. Ada kritikus yang menyatakan bahwa karya Kawabata Yasunari bertalian dengan maut. Diataranya adalah Gwenn Boardman Pettersen, ada juga kritikus yang mencari sumbersumber karya Kawabata Yasunari pada riwayat hidupnya setelah yatim piatu sejak masih kecil. Mishima Yukio dalam salah satu ulasannya tentang Kawabata Yasunari yang berjudul Eien No Tabibito (33 Showa) menyatakan bahwa Kawabata Yasunari adalah seorang pemuja keperawanan dan pengambaran gadis yang disukainya, itu terbatas karena ia tidak pernah akrab dengan gadis. Pada tahun 1921 (10 Taisho) ketika berumur 22 tahun, ia melangsungkan pertunangan dengan seorang gadis dari daerah Gifu bernama Ito Hatsuyo, yang baru berusia 15 tahun, tapi akhirnya dibatalkan. Kawabata Yasunaripun merasa terpukul dengan peristiwa itu.
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya ia banyak menulis cerita pendek yang menceritakan tunangannya itu, diantaranya Ashita No Yokushoku, Aoi Umi Kuroi Umi, Izu No Kaeri, Fuboe No Tegami, dan lain-lain. Selama karirnya ia banyak mendapat penghargaan. Tahun 1944 ia mendapatkan hadiah Kikuchi untuk karyanya Yuuhi, tahun 1954 memperoleh sastra Noma untuk karyanya Yama No Oto, tahun 1961 ia dianugrahi mendali kebudayaan oleh pemerintah Jepang, kemudian terpilih menjadi ketua pen Club Jepang pada tahun 1948, ketika kongres Pen Club Internasional di Tokyo pada tahun 1957, ia terpilih menjadi wakil ketua Pen Club Internasional. Kawabata Yasunari dalam pidatonya pada acara penerimaan hadiah nobel, dengan jelas ia mengatakan ketidak setujuannya terhadap tindakan bunuh diri. Tetapi ia sendiri melakukan tindakan bunuh diri sehingga banyak orang terkejut. Ia bunuh diri dengan menggunakan gas pada tanggal 16 April 1972, kurang lebih 4 tahun setelah ia menerima nobel. Banyak anggapan yang muncul tentang sebab-sebab ia bunuh diri. Salah satu artikel yang termuat dalam koran Asashi Shinbun terbitan 18 April 1972 menyatakan bahwa alasan Kawabata Yasunari melakukan tindakan bunuh diri adalah pertama karena kematian Mishiyama Yukio, juniornya yang bunuh diri dua tahun sebelumnya. Hubungan mereka sangat akrab, dan Kawabata Yasunari sangat kagum dengan karya Yukio, sampai-sampai ia merasa bahwa Yukiolah yang pantas menerima hadiah nobel. Hal itu yang membebani pikirannya. Alasan lainya adalah karena ia merasa sudah tidak berguna diusianya yang sudah 72 tahun itu. Beberapa orang beranggapan bahwa hadiah nobel itulah penyebab ia bunuh diri, hadiah itu ia terima justru pada saat ia sudah lama tidak menghasilkan karya kreatif lagi. Karya terakhirnya sebelum ia menerima hadiah novel adalah Kata Ude yang ditulis pada tahun1963. Kegersangan penciptaannya membuat ia merasa malu mendapat hadiah tertinggi sastra, sementara ia sudah tidak mampu lagi berkarya.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Sosiologi Sastra Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sosio (Yunani), (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman), dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logo/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifat umum, rasional dan empiris. Dalam bahasa sansekerta sastra berasal dari akar kata sas berarti mengarahkan, mengajar, memberikan petunjuk dan instruksi. Akhiran kata tra berarti alat, untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran yang baik. Maka kata sastra lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian yaitu kesusastraan, yang artinya kumpulan hasil karya yang baik, Ratna (2003:1-2). Sosiologi sastra adalah penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau yang sukses yaitu yang mampu merefleksi zaman Endraswara (2008:77). Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam. Masyarakat adalah orangorang yang hidup bersama dan mengahsilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiologi melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkanya melalui emosi, secara subjektif
dan evaluatif. Sastra juga
memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosional. Karena itu, menurut Damono (1978:6-8), apabila ada dua sosiolog yang melakukan penelitian terhadap suatu masalah masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya itu cenderung sama.
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat yang sama, maka hasil karya pasti berbeda. Hakikat sosiologi adalah objektifitas dan kreatifitas, sesuai dengan panjang masing-masing pengara. Karya sastra yang sama dianggap plagiat. Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kenyataaan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai kontruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik bersama, didalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretative subjektif,
sebagai
pernyataan yang dicipatakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaiknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsiran bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dengan rekaan, Teeuw (1984:224-249). Sastra merupakan refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini teks sastra dilihat sebagai suatu pantulan zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulsi tetap ada dalam sastra, aspek sosial juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul penuh kedalam karya sastra.
Universitas Sumatera Utara
Hal terpenting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (miror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap mimesis (tiruan) masyarakatat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai suatu ilusi atau khayalan dari kenyatan. Dari sini, tentu sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara
mentah. Sastra buka sekedar copy kenyataan, melainkan
kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan ciplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi yang halus dan estetis. Secara ensesial sosiologi sastra adalah penelitian tentang : a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif. b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya. c. Studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya. Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap stuktur sosial. Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra tersebut selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yaitu : a. Konsep stabilitas sosial. b. Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda. c. Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya. d. Bagaiman proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat. e. Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke kapitalisme. Padangan yang amat popular dalam sosiologi sastra adalah pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadi cermin bagi zamannya. Dalam pandangan sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi pada masyarakat yang berbeda dan juga cara individu mensosialisasikan diri melalui stuktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks, cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan
Universitas Sumatera Utara
langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaan lewat karyanya, tampa terlalu banyak diimajinasikan. Karena sastra yang cendrung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau menjadi saksi zaman. Dalam kaitannya ini, sebenarnya pengarang ingin mendokumentasikan zaman sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.
BAB III ANALISIS SOSIOLOGI KEHIDUPAN SOSIAL PENARI KELILING DALAM CERPEN “IZU NO ODORIKO” KARYA KAWABATA YASUNARI
3.1. Sinopsis Cerita “Aku” adalah salah seorang tokoh yang terdapat dalam novel Izu No Odoriko. Namanya tidak disebutkan mungkin, “Aku” dalam hal ini adalah pengarang sendiri. “Aku” pada saat melakukan perjalanan berusia 20 tahun.dan murid SMA. Itu terlihat dari topi, dan hakama di bawah kimono berwarna biru tua dengan corak putih yang dipakai. Sambil menyandang tas sekolah pada bahu. Pada saat melakukan perjalanan bagi “aku” adalah hari
Universitas Sumatera Utara