TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA TERHADAP TOKOH GAMBIR DALAM NOVEL PINTU TERLARANG Nuriyah Amalia, Maria Josephine K. Mantik 1. Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia 2. Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Jurnal ini membahas dinamika perilaku tokoh Gambir dalam novel Pintu Terlarang. Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan dan menganalisis dinamika perilaku yang terjadi pada tokoh Gambir sejak ia kecil hingga ia menderita skizofrenia dari sudut pandang psikoanalisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku Gambir bergerak ke arah abnormal karena sistem kepribadiannya yang tidak bekerja dengan seimbang. Kata kunci: Gambir, psikoanalisis, skizofrenia, Pintu Terlarang.
PSYCHOLOGICAL LITERATURE OBSERVATION TOWARD GAMBIR CHARACTER IN PINTU TERLARANG ABSTRACT This journal investigates Gambir's behavior in Pintu Terlarang story. The purposes are to describe and analyze dynamics of Gambir's behavior since he was a kid until he suffers schizophrenia from point of view of psychoanalytic. This research used descriptive-analytic method. The result shows that dynamics of Gambir’s behavior caused by inconsistency of his personality system. Keywords: Gambir, psychoanalytic, schizophrenia, Pintu Terlarang.
PENDAHULUAN Pintu Terlarang adalah novel karya Sekar Ayu Asmara. Tokoh utama dalam novel ini bernama Gambir. Berdasarkan cara menampilkan tokoh, tokoh Gambir adalah tokoh bulat. Tokoh bulat berarti tokoh yang kompleks. Forster dalam Panuti Sudjiman (1988: 21) mengatakan bahwa tokoh bulat adalah tokoh yang terlihat berbagai sisinya. Panuti Sudjiman (1988: 21) menambahkan bahwa tokoh bulat menampilkan keseluruhan wataknya secara berangsur-angsur. Karena berangsur-angsur itulah, tokoh bulat seringkali memberikan kejutan dalam perwatakannya. Tokoh bulat mungkin saja menampilkan kejutan dan kompleksitas dalam perkembangan wataknya. Meski begitu, kejutan dan kompleksitas yang muncul haruslah berkaitan.
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
Seperti teori tokoh bulat yang disebutkan oleh Panuti Sudjiman, tokoh Gambir dalam Pintu Terlarang pun memiliki kompleksitas perwatakan. Kompleksitas tersebut terungkap berangsur-angsur dan membentuk sebuah dinamika. Dinamika perwatakan tokoh Gambir akan dianalisis dari sudut pandang ilmu psikologi. Sudut pandang ilmu psikologi dipilih karena tokoh Gambir memiliki penyakit psikologis atau kejiwaan. Hal-hal yang membuat Gambir menderita penyakit jiwa pun berhubungan dengan pengalaman psikologis. Dua hal itulah yang membuat sudut pandang ilmu psikologi dirasa tepat untuk menganalisis dinamika tokoh. Sebelum melakukan analisis psikologi terhadap dinamika perilaku tokoh Gambir, penulis terlebih dahulu melakukan analisis struktural terhadap unsur tokoh dan alur. Analisis struktural ini bertujuan untuk mengungkap informasi dasar tentang tokoh Gambir. Informasi dasar ini berkairan dengan tokoh-tokoh yang memiliki keterkaitan dengan perubahan perilaku Gambir serta jalan hidup tokoh Gambir.
TINJAUAN TEORETIS Hubungan psikologi dengan ranah sastra mencakup tiga hal, yakni psikologi dengan pengarang, psikologi dengan pembaca, dan psikologi dengan karya sastra. Dalam analisis ini, hubungan yang dipakai adalah psikologi dengan karya sastra. Psikologi karya sastra mengkaji tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra (Wiyatmi, 2011:39). Dalam analisis psikologi karya sastra terdapat dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah mengetahui lebih dulu teori-teori psikologi, kemudian mencari karya sastra yang mengandung fenomena psikologi. Pendekatan kedua adalah menentukan terlebih dahulu karya sastra, kemudian menentukan teori psikologi yang akan dipakai. Untuk analisis penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan pertama. Penulis telah terlebih dahulu mengetahui teori psikologi, kemudian mencari karya sastra yang mengandung fenomena psikologi. Teori psikologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori psikoanalisis. Teori ini dicetuskan oleh Sigmund Freud. Freud menyebutkan bahwa dalam kepribadian seseorang terdapat tiga subsistem, yakni id, ego, dan superego. Id berada di alam bawah sadar. Subsistem ini bekerja atas prinsip kesenangan. Ego berada di alam bawah sadar, prasadar, dan sadar. Ego bekerja atas prinsip realitas. Sama dengan ego, superego berada di ketiga wilayah kesadaran. Subsistem ini bekerja atas prinsip moralitas.
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
Ketiga subsistem yang dikatakan oleh Freud bekerja bersama dalam diri individu untuk memutuskan sebuah tindakan. Namun, ada kalanya, keinginan ketiga subsistem ini tidak bertemu. Pada saat itu timbullah kecemasan dalam diri individu dan untuk mengurangi rasa cemas itu, subsistem ego membentuk mekanisme pertahanan (Minderop, 2010: 29). Mekanisme pertahanan mencakup beberapa jenis, di antaranya represi, agresi, displacement, dan fantasi. Represi adalah mekanisme pertahanan yang berfungsi untuk mendorong impuls-impuls yang tidak diinginkan ke alam bawah sadar (Minderop, 2010: 32). Agresi adalah pelampiasan dalam bentuk kekerasan, baik ke sumber frustrasi ataupun objek pengganti. Displacement adalah pengalihan perasaan tidak senang dari satu objek ke objek lain yang lebih memungkinkan (Minderop, 2010: 34). Fantasi adalah menyelesaikan sebuah masalah dengan masuk ke dunia khayal. Teori psikoanalisis di atas akan digunakan untuk menganalisis dinamika perilaku Gambir. Jadi, penulis akan menganalisis peristiwa psikologis yang terjadi dalam diri tokoh Gambir setiap kali tokoh ini mengambil sebuah tindakan atau putusan. Selain teori psikoanalisis, teori psikologi lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah psikologi abnormal. Teori ini berfungsi untuk mengidentifikasi kelainan perilaku yang ada pada Gambir. Teori psikologi abnormal yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah skizofrenia—keadaan
terpecahnya
kepribadian—karena
Gambir
diduga
menderita
skuzofrenia. Untuk teori sastra, penelitian ini menggunakan teori struktural. Secara definitif, strukturalisme berarti paham mengenai keterkaitan antarunsur dalam karya sastra (Ratna, 2013: 91). Unsur-unsur yang akan dibahas adalah tokoh dan alur. Tokoh adalah individu rekaan dalam cerita. Tokoh dapat dibagi menjadi tokoh bawahan dan tokoh sentral— mencakup protagonis dan antagonis (Sudjiman, 1988: 17). Alur adalah rangka cerita yang membuat cerita dapat berdiri.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik. “Metode deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis,” (Ratna, 2013: 53). I Nyoman Kutha Ratna (2013: 53) menambahkan bahwa, secara bahasa, analitik berarti menguraikan. Namun, analitik telah mengalami pertambahan makna sehingga tidak lagi sebatas menguraikan, tetapi juga memberikan pemahaman.
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
Metode deskriptif analitik digunakan untuk menjawab semua pokok permasalahan dalam penelitian ini. Pertama-tama, setiap permasalahan, seperti unsur alur dan tokoh dideskripsikan keadaannya. Pendeksripsian unsur tokoh dan alur membantu penulis memahami lingkungan dan jalan hidup tokoh Gambir. Setelah mengetahui hal itu, penulis akan dapat menganalisis dinamika perilaku tokoh Gambir. Dinamika perilaku ini juga dikaitkan dengan tokoh-tokoh di sekitarnya dan perjalanan hidupnya. Gambar 1 Bagan Ilustrasi Analisis
Id, ego, superego berjalan baik/tidak
Masa Kecil Gambir
Id, ego, superego berjalan baik/tidak
Id, ego, superego berjalan baik/tidak
Peristiwa
Peristiwa
A
B
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2 Skema Dinamika Perilaku Tokoh Gambir
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
Gambir menderita skizofrenia
Skema di atas memperlihatkan perjalanan hidup tokoh Gambir. Kotak-kotak yang berukuran lebih kecil menandakan peristiwa psikologis yang terjadi pada tokoh Gambir. Peristiwa psikologis pertama yang dialami oleh Gambir adalah halusinasi. Tanpa adanya stimulus eksternal, Gambir mendengar benda-benda mati berbicara padanya. Keadaan ini adalah salah satu simptom skizofrenia. Sesungguhnya, hal yang dikatakan oleh benda-benda mati itu adalah keinginan Gambir. Namun, ada rasa bersalah dalam diri Gambir karena memiliki keinginan itu—membunuh kedua orangtuanya—sehingga ia merefleksikan keinginan itu pada benda-benda di sekitarnya. Saat berhalusinasi, Gambir menuruti perintah benda-benda mati untuk membunuh kedua orangtuanya. Tindakan pembunuhan itu adalah salah satu bentuk agresi. Gambir melakukan agresi untuk melenyapkan sumber frustrasinya, yakni kedua orangtuanya. Setelah melakukan tindakan pembunuhan, Gambir dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa Gambir sangat tenang. Ia hidup layaknya orang normal. Namun, suatu hari Gambir bertemu dengan kecoak. Kemunculan kecoak ini menjadi stimulus yang memunculkan trauma Gambir. Gambir pun mengamuk. Ia terkenang pada masa ia mengalami kekerasan dari kedua orangtuanya. Kenangan buruk terhadap masa lalunya dapat muncul kembali karena kenangan itu hanya sebatas direpresi. Artinya, kenangan itu hanya terdorong ke alam bawah sadar sehingga kemungkinan besar dapat muncul kembali apabila diberi stimulus. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Sumadi Suryabrata (1998: 145). Ia mengatakan bahwa hal yang direpresi harus dihilangkan. Jika tidak, individu akan terus dihinggapi oleh ketakutan masa kanak-kanaknya. Ketika trauma Gambir muncul kembali, Gambir juga mengalami delusi. Delusi adalah pemahaman keliru terhadap sesuatu. Gambir keliru mengira suster-suster di rumah sakit jiwa sebagai Tentara Setan Neraka yang dikirim oleh kedua orangtuanya dari neraka untuk menyakitinya. Padahal, suster-suster itu hanya ingin menenangkan Gambir. Pemahaman yang salah ini dapat terjadi karena Gambir melihat adanya kemiripan perilaku antara para suster dan kedua orangtuanya, yakni bertindak keras. Perilaku Gambir yang mencoba menyakiti para suster, membuatnya dikurung di sel isolasi. Ia pun dikenakan baju kurung. Dalam baju kurungnya, Gambir tidak bisa berbuat apaapa. Pelarian Gambir hanya satu, yakni berkhayal. Pada tahap ini Gambir melakukan sesuatu yang disebut fantasi. Fantasi adalah solusi bagi Gambir untuk mencapai kehidupan ideal. Ketika Gambir tidak dapat membedakan fantasi dengan realitas, saat itulah Gambir dikatakan menderita skizofrenia.
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dinamika perilaku Gambir berkembang ke arah abnormal. Hal ini disebabkan oleh pertentangan yang terjadi antara subsistemnya sehingga ego berkali-kali membentuk mekanisme pertahanan yang membuat mentalnya tidak sehat. Pertentangan antarsubsistem itu memiliki keterkaitan erat dengan penyiksaan yang dilakukan oleh kedua orangtua Gambir.
PEMBAHASAN Analisis struktural adalah analisis yang dilakukan sebelum melakukan analisis psikologi. Analisis ini berguna untuk memperoleh informasi dasar tentang tokoh Gambir. Informasi dasar itu berkaitan dengan tokoh-tokoh yang ada di sekitar tokoh Gambir serta jalan hidup tokoh ini. Melalui analisis struktural, penulis memperoleh skema hubungan antara tokoh Gambir dan tokoh-tokoh lain dalam novel. Skema itu disajikan di bawah ini. Gambar 3 Skema Hubungan Antartokoh
Ket:
Kehidupan nyata Gambir Hubungan satu arah
Kehidupan khayalan Gambir Hubungan dua arah
Tokoh yang memiliki keterkaitan erat dengan tokoh Gambir adalah tokoh Bapak dan Ibu. Keduanya bertanggung jawab atas pembentukan sikap Gambir. Sementara itu, hubungan Gambir dengan tokoh Pusparanti dan Prof. Roekmantoro adalah hubungan satu arah. Dalam
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
artian, kedua tokoh itu berusaha melakukan kontak dengan Gambir, sedangkan Gambir tidak melakukan kontak dengan mereka. Fungsi kedua tokoh itu dalam cerita adalah memberikan informasi tentang tokoh Gambir melalui dialog-dialog yang mereka lakukan. Misalnya, “Batinnya selalu menyesali nasibnya yang menjadi istri simpanan. Bukan menjadi istri yang resmi. Pelampiasan terhadap ketidakpuasan ini sering ia limpahkan kepada ‘dia’,” (hlm. 214), dialog tersebut adalah hal yang dikisah oleh Prof. Roekmantoro kepada Pusparanti tentang Ibu Gambir. Tokoh-tokoh yang berada di kehidupan khayalan Gambir pada umumnya memiliki hubungan yang buruk dengan Gambir. Hampir semua dari mereka melakukan pengkhianatan terhadap Gambir. Hal ini berdampak buruk pada Gambir karena membuat Gambir semakin skeptis terhadap kehidupan. Alur dalam novel PT dapat dikatakan cukup rumit. Hal ini karena alur dalam novel PT terbagi tiga. Alur pertama adalah alur tokoh Aku (selanjutnya disebut alur A). Alur kedua adalah alur tokoh Gambir (selanjutnya disebut alur B). Alur ketiga adalah alur tokoh Pusparanti (selajutnya disebut alur C). Ketiga alur ini tidak disusun berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa. Ada kejadian yang memiliki urutan waktu lebih jauh, tetapi ditampilkan lebih dulu oleh pencerita. Alur utama dalam novel ini adalah alur tokoh Aku (alur A). Alur A kemudian melahirkan alur B, sedangkan alur C adalah alur bawahan dari alur A. Alur C ini ada untuk melengkapi alur A dari sudut pandang tokoh yang lain. Alur A dikatakan sebagai alur utama karena alur inilah yang menyebabkan kemunculan alur B dan alur C. Selain itu, alur A berkaitan erat dengan inti novel PT. Inti novel PT adalah kisah seseorang bernama Gambir yang mengalami kekerasan rumah tangga pada masa kecilnya sehingga ia mengalami kelainan jiwa. Di alur A-lah seluruh kisah ini dipaparkan. Alur B hanyalah bagian dari alur A yang berisi khayalan Gambir yang membentuk alur tersendiri, sedangkan alur C adalah alur yang mengisahkan kehidupan Pusparanti namun banyak disisipi informasi tentang tokoh Gambir. Pengaluran utama dalam novel ini adalah pengaluran alur A. Komposisi pengaluran itu dapat dilihat di bawah ini.
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
Gambar 4 Pengaluran Alur Utama Novel Pintu Terlarang
Paparan dalam alur ini terjadi ketika tokoh Gambir memperkenalkan dirinya dan kedua orangtuanya. Sesaat setelah paparan, terjadi konflik antara tokoh Gambir dan kedua orangtuanya. Konflik yang terjadi adalah konflik fisik. Konflik ini terjadi berulang-ulang. Setelah konflik, alur beranjak menuju rumitan. Rumitan terjadi saat tokoh Gambir merasa tidak tahan dengan penyiksaan dari kedua orangtuanya. Ia mendengar benda-benda mati berbicara padanya untuk membunuh kedua orangtuanya. Klimaks pun terjadi. Tokoh Gambir membunuh kedua orangtuanya yang sedang tidur dengan pisau yang ia curi. Setelah membunuh kedua orangtuanya, tokoh Gambir memotong tangannya sendiri. Setelah kejadian ini, tensi cerita menurun dan memasuki tahap leraian. Tokoh Gambir dimasukkan ke rumah sakit jiwa dan ia tinggal dengan tenang di sana. Namun, cerita belum selesai di tahap ini. Rangsangan muncul kembali setelah leraian. Kemunculan rangsangan ditandai dengan kemunculan kecoak. Kemunculan kecoak di hadapan tokoh Gambir membangkitkan trauma tokoh Gambir terhadap penyiksaan yang ia terima. Tokoh Gambir pun mengamuk. Selanjutnya, konflik terjadi antara tokoh Gambir dan para suster. Para suster yang berusaha menenangkan tokoh Gambir justru ia anggap sebagai musuh. Konflik fisik terjadi di bagian ini. Tokoh Gambir melawan tindakan para suster. Tokoh Gambir akhirnya dimasukkan ke sel isolasi. Rumitan terjadi saat tokoh Gambir menyerang siapapun yang mendekatinya. Sikap ini memicu terjadinya klimaks. Klimaks terjadi saat tokoh Gambir dipakaikan baju kurung oleh para suster agar ia tidak menyerang siapapun. Setelah memakai baju kurung, tokoh Gambir tidak bisa bergerak sama sekali. Ia tidak bisa melakukan apa pun yang menghibur dirinya. Tokoh Gambir pun menghibur dirinya dengan berkhayal. Salah satu khayalannya adalah menjadi pematung dengan kehidupan yang
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
sempurna. Khayalan ini diwujudkan oleh pencerita ke dalam alur B. Peristiwa khayalan ini penulis sebut sebagai tahap leraian karena tensi cerita sudah menurun, tetapi belum sampai pada selesaian. Selesaian atau penutup pada alur ini adalah saat tokoh Gambir tersadar dari khayalannya sebagai pematung dan mendapat dirinya masih berada di dalam sel isolasi RSJ Bunga Bangsa. Setelah melakukan analisis struktural, penulis melakukan analisis psikologi terhadap dinamika perilaku tokoh Gambir. Analisis ini dimulai sejak tokoh Gambir masih berusia sembilan tahun dan ia menjadi objek kekerasan kedua orangtuanya. Hidupnya sebagai seorang anak tidak pernah mendapatkan kebahagiaan karena terus-menerus disiksa. Kekerasan rumah tangga yang terjadi dalam keluarga Gambir adalah kekerasan pada anak. Gambir adalah satu-satunya objek kekerasan dalam keluarganya. Pelakunya adalah kedua orangtuanya. “Geram, Ibu mengambil serbet-makan. Ibu mendekatiku yang masih menunggu panas pipi mereda. Semilir melati menyapa hidungku. Ibu menyambit kepalaku berkali-kali dengan kain serbet. Refleks, aku membela diri. Tanganku menghalau serangan Ibu. Tanpa bermaksud, tanganku mengena dagu Ibu. Semakin geram, Ibu memelintir kedua lenganku. Ia mendesis gemas. Ia memaksa tanganku ke belakang sandaran kursi. Dan mengikat kedua tanganku dengan kain serbet,” (hlm. 9), “Bapak menjambak rambutku. Ubun-ubunku serasa terkelupas dari kepala. Beling menyayat pipiku. Darah hangat mengalir...,” (hlm. 80). Dari dua kutipan itu dapat dilihat bahwa Gambir menerima kekerasan dari kedua orangtuanya. Penyiksaan yang didapatnya pun tidak mainmain. Kekerasan yang dilakukan oleh kedua orangtua Gambir adalah bentuk agresi yang dialihkan. Agresi yang dialihkan adalah bila seseorang mengalami frustrasi namun tidak dapat mengungkapkan secara puas kepada sumber frustrasi (Albertine Minderop, 2010: 38). Jadi, kedua orangtua Gambir sama-sama tidak puas dengan kehidupan mereka. Akan tetapi, mereka tidak mampu menyalurkan rasa tidak puas tersebut sehingga memilih objek terlemah sebagai pelampiasan. “Pelampiasan terhadap ketidakpuasan ini sering ia limpahkan kepada “dia”. Dalam bentuk penyiksaan, ia melihat anak sebagai extension suaminya. Ia terjebak dalam ekses love-hate relationship yang berdampak negatif pada kejiwaannya. Ia mencintai suaminya, tapi ia membenci suaminya karena tidak bisa memberinya kedudukan terhormat sebagai istri pertama. Dan anaknya adalah perwujudan suaminya yang bisa ia limpahi dengan semua kekesalannya,” (hlm. 213),
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
“Ketika Melati kemudian melahirkan ‘dia’, Dr. Koentoro tidak pernah meyakini bahwa anak itu anaknya. Ia membenci anak itu,” (hlm. 214). Dua kutipan itu adalah bukti bahwa kedua orangtua Gambir tidak merasa puas dengan kehidupannya. Kedua orangtuanya saling membenci, tetapi tidak dapat menyalurkan kebencian itu kepada pasangannya. Akibatnya, mereka memilih objek terlemah yang dapat dijadikan pelampiasan ketidakpuasan mereka. Sosok anak adalah sosok terlemah dalam keluarga. Maka dari itu, mereka memilih Gambir. Kekerasan dalam rumah tangga bersifat diturunkan. Orang yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga adalah produk kekerasan pula. Hal inilah yang terjadi pada Melati, Ibu Gambir. Saat kecil, Melati adalah korban kekerasan Bapaknya, “...Bapak tirinya kerap memukul Melati hanya karena dipicu masalah-masalah sepele. Puncak penyiksaan terhadap Melati terjadi ketika Bapak tirinya memerkosanya,” (hlm. 212). Kekerasan yang dialami oleh Gambir memicu kecemasan dalam dirinya. Seperti yang dikatakan oleh Minderop (2010: 27) bahwa situasi apa pun yang mengancam kenyamanan suatu organisme diasumsikan melahirkan suatu kondisi yang disebut kecemasan. Situasi yang dimaksud bisa berupa situasi apapun selama itu membuat individu merasa tidak nyaman maka situasi itu akan memicu kecemasan.Kecemasan yang terjadi pada Gambir terjadi karena adanya pertentangan id dan superego. Id Gambir menuntutnya untuk lepas dari kedua orangtuanya, sementara superego mencegahnya melakukan hal-hal buruk. Gambir pun mulai berhalusinasi sebagai jalan untuk merefleksikan perasaannya. Kecemasan yang ada pada diri Gambir tidak dapat hilang hanya dengan berhalusinasi, muncullah
mekanisme
pertahanan
sebagai
pereda
kecemasan.
Gambir
berusaha
menyingkirkan sumber kecemasannya dengan beragresi. Ia membunuh kedua orangtuanya agar dapat merasakan ketentraman dan kenyamanan, “Ibu terjaga mendengar dengkur Bapak. Lakukanlah sekarang, lakukanlah sekarang, lakukanlah sekarang!!! Ibu menjerit melihatku. Ia menjerit melihat Bapak terkulai. Ibu menjerit melihat genangan darah yang meluas. Lakukanlah sekarang, lakukanlah sekarang, lakukanlah sekarang!!! Ibu berusaha menutupi ketelanjangannya dengan seprai. Aku meloncat. Aku duduk, menindih Ibu. Lakukanlah sekarang, lakukanlah sekarang, lakukanlah sekarang!!! Aku menancapkan belati ke dada Ibu,” (hlm. 242). Agresi
yang
dilakukan
oleh
Gambir
kepada
kedua
orangtuanya
memang
memberikannya kenyamanan. Ia terbebas dari kedua orangtuanya yang kejam. Akan tetapi, di sisi lain, agresi ini mengusik nuraninya. Ia merasa bersalah telah membunuh kedua orangtuanya.
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
Rasa bersalah terjadi pada seseorang ketika mengalami konflik dalam dirinya. Konflik terjadi ketika individu merasa tindakannya tidak sesuai dengan standar moral yang berlaku. Individu merasa telah melakukan hal yang salah, tetapi tidak tahu bagaimana cara menebus kesalahannya. Maka dari itu, individu merasa bersalah. Tokoh Gambir merasa bahwa perbuatannya membunuh kedua orangtuanya adalah hal yang salah. Ia pun menghukum dirinya dengan memotong tangannya, “Tiba-tiba pisau berbicara. Tangan berlumur darah. Potong tanganmu. Potong sekarang. Pisau menyuruhku. Potong sekarang! Bantal menyuruhku. Potong sekarang. Guling menyuruhku. Potong sekarang!” (hlm. 243). Perilaku yang terjadi pada Gambir ini disebut conscientia, perasaan bersalah yang dimunculkan oleh superego ketika seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai moral. Setelah membunuh kedua orangtuanya, Gambir dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa, Gambir berperilaku tenang dan normal. Ini karena ia telah berhasil menyingkirkan sumber frustrasinya, yakni kedua orangtuanya. Namun, perilaku Gambir berubah ketika ia bertemu dengan kecoak. "Aku takut pada segala jenis serangga. Apalagi kecoak. Aku teringat ketika ayah dan ibuku memaksaku makan kecoak," (hlm. 260). Dari peristiwa ini, penulis menyimpulkan bahwa frustrasi Gambir tidak benar-benar hilang. Frustrasinya ia pendam ke dalam wilayah ketidaksadaran karena hal ini merupakan trauma baginya. Seperti yang dikatakan Freud, wilayah ketidaksadaran adalah tempat untuk menyimpan trauma. Trauma yang dialami Gambir dapat muncul di wilayah kesadaran ketika ada pemicu, salah satunya adalah kecoak yang mengingatkannya pada masa lalunya. Ketika traumanya muncul, Gambir juga mengalami delusi. Delusi adalah keyakinan yang keliru yang tetap dipertahankan sekalipun dihadapkan dengan cukup bukti tentang kekeliruannya (Fausiah & Widury, 2007: 124). Delusi juga biasa disebut dengan waham. Delusi yang terjadi pada Gambir adalah ia mengira semua orang yang mendekatinya adalah tentara dari neraka yang diutus oleh kedua orangtuanya. Hal ini disebut delusi karena apa yang dipikirkan Gambir adalah keliru. Orang-orang yang mendekatinya adalah dokter, perawat, dan wartawan, tapi dia menganggapnya sebagai tentara dari neraka. Berikut kutipannya, “Di rumah sakit ini banyak pasukan Tentara Setan Neraka. Mereka memakai seragam perang yang serbaputih. Awas! Mereka di sini sering menyebut diri mereka sendiri sebagai petugas kesehatan. Waspadalah! Karena sebenarnya mereka adalah Tentara Setan Neraka yang dikirim oleh orangtuaku dari neraka untuk terus menyiksaku. Ya, orangtuaku kini menghuni neraka bersama orangorang jahat sedunia,” (hlm. 261).
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
Agresi yang dilakukan oleh Gambir pada setiap orang yang berusaha mendekatinya membuatnya dikurung di sel isolasi. Ia pun dikenakan baju kurung. Satu-satunya yang dapat ia lakukan adalah berfantasi. Ia berfantasi sebagai wujud ketidakpuasannya pada hidup. Ia membayangkan menjadi orang yang sukses, bahagia, dan mendapat perhatian. Fantasi ini adalah bentuk pelarian diri Gambir dari permasalahan hidup. Ia tinggal dalam fantasinya. Ia bahkan hampir tidak dapat membedakan kehidupannya yang asli dengan kehidupan fantasi, “...Percayalah, khayalanku semakin ampuh. Karena kadang, aku sendiri sukar membedakan. Mana duniaku, mana realita,” (hlm. 262). Fantasi-fantasi Gambir antara lain menjadi seorang dai, presiden, uskup, penyanyi, pembalap, dan pematung. “Khayalanku tak mengenal batas. Pernah kukhayalkan Gambir menjalani kehidupan sebagai dai yang memimpin semiliar umat. Allahu Akbar! Lain waktu, Gambir adalah calon presiden yang diunggulkan dan didukung oleh semua partai. Merdeka!!! Pernah juga Gambir adalah uskup agung yang ditunjuk langsung oleh Paus di Vatikan. Haleluya! Pernah lagi Gambir adalah vokalis kelompok musik yang manggung dari konser ke konser. Yeahhh! Gambir juga menjadi pembalapIndonesia pertama yang memenangi kejuaraan balap formula dunia,” (Asmara, 2012: 262—263), “Seperti dunia Gambir yang sedari tadi aku ceritakan. Gambir yang pematung. Gambir yang memiliki kehidupan yang sempurna. Gambir yang beristrikan perempuan sempurna bernama Talyda. Gambir yang beribukan Menik Sasongko yang cantik dan lembut. Gambir yang beradik Damar dan Menur yang disayangi,” (Asmara, 2012: 262). Dalam fantasinya, Gambir selalu menjadi pusat perhatian. Gambir selalu mendapat kesenangan. Kehidupan Gambir dalam fantasinya sangat berbeda dengan kehidupan Gambir yang sebenarnya, meski pada akhirnya Gambir tidak dapat mengendalikan fantasinya dan kenangan masa lalunya mengontaminasi fantasinya. Namun, paling tidak, Gambir merasa bahagia sesaat dalam fantasinya. Fantasi adalah bentuk solusi yang salah dari depresi. Memilih fantasi sebagai solusi tidak membuat masalah selesai. Individu justru terjebak dalam fantasinya dan bisa jadi menginginkan fantasi sebagai kehidupannya. Hal inilah yang terjadi pada Gambir. Dari peristiwa-peristiwa di atas, penulis menyimpulkan bahwa sejak usia 9 tahun Gambir telah menunjukkan tanda-tanda skizofrenia karena ia mengalami halusinasi dan delusi. Gejala skizofrenia yang lebih nyata ditunjukkan oleh Gambir ketika ia mulai mengkhayalkan kehidupan lain di luar kehidupannya. Berdasarkan informasi dari novel,
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
khayalan ini dimulai sejak Gambir terkurung di ruang sel isolasi dan masih berlanjut hingga ia berusia 27 tahun. Hal ini berdasarkan informasi yang tertuang di bab 38. Di awal bab, Gambir mengisahkan, "Namaku Gambir. Aku dulu bocah kecil yang nakal. Orangtuaku menganggapku anak pembawa sial. Usiaku bukan lagi sembilan tahun. Tapi sudah 27 tahun," (hlm. 259). Selanjutnya, Gambir mengatakan, "Berkhayal senjata rahasiaku. Dari kecil aku sudah memiliki senjata rahasia ini. Selama terkungkung di dalam sel isolasi ini, khayalanku semakin ampuh. Aku bisa menciptakan kehidupan lain. Aku bisa menciptakan dunia lain," (hlm. 262). Dari kutipan itu, penulis menyimpulkan bahwa Gambir mulai berkhayal sejak ia kecil. Kehidupan dan dunia lain yang diciptakan oleh Gambir dalam khayalannya adalah salah satu bentuk mekanisme pertahanan ego, yakni fantasi. Fantasi adalah solusi untuk menyelesaikan masalah yang bertumpuk dengan masuk ke dunia khayal (Minderop, 2010: 38). Dalam hal ini, masalah yang dihadapi oleh Gambir adalah ketidakpuasan pada hidupnya. Seperti yang telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya, masa kecil Gambir dipenuhi oleh penderitaan. Setelah dewasa pun, ia dikungkung oleh sel isolasi rumah sakit jiwa. Ia tidak memiliki kebebasan. Gambir tidak memiliki solusi nyata untuk permasalahannya itu. Ia tidak dapat mewujudkan kehidupan idealnya sehingga ia menyelesaikannya dengan berkhayal. Dalam khayalannya, ia membangun kehidupan yang ia inginkan. Fantasi adalah jalan singkat baginya untuk menyelesaikan masalahnya. Fantasi yang dialami Gambir juga lahir dari tidak terpenuhinya hasrat id. Id atau kesenangan Gambir adalah cita-citanya untuk mendapat kehidupan yang bebas, tenang, dan damai. "Setiap ada yang masuk pasti akan kuserang. Aku sudah tidak mau ada yang mendekatiku. Aku tidak mau disakiti lagi," (hlm. 261). Namun, hal ini tidak dapat terpenuhi karena Gambir dinilai sebagai orang yang sakit jiwanya oleh masyarakat dan secara normatif, ia harus tinggal di rumah sakit jiwa, bahkan dikurung di sel isolasi. Hasrat id yang tidak terpenuhi menimbulkan kecemasan dan untuk mengurangi kecemasan itu ia harus membentuk mekanisme pertahanan. Fantasilah bentuk mekanisme pertahanan yang kemudian diaktifkan oleh Gambir. Dengan berfantasi, Gambir mendapatkan kehidupan idealnya dan di saat yang sama tetap berada di sel isolasi.
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
KESIMPULAN Tokoh-tokoh dalam novel Pintu Terlarang yang memiliki keterkaitan dengan dinamika perilaku Gambir adalah tokoh Bapak dan Ibu. Sebagai orangtua, dua tokoh ini menjadi peletak dasar sikap Gambir. Sementara itu, tokoh-tokoh dalam khayalan Gambir merupakan pengalihan bentuk dari wujud kekejaman kedua orangtuanya. Penyimpulan ini didasarkan pada kemiripan perilaku antara tokoh-tokoh dalam khayalan Gambir dan kedua orangtua Gambir, yakni mereka berlaku kejam dan khianat. Alur dalam novel Pintu Terlarang ada tiga. Namun, alur utama ada pada alur A. Dalam alur A dipaparkan seluruh inti cerita novel ini. Alur A melahirkan alur B yang merupakan salah satu bagian dari alur A, yakni khayalan Gambir, yang membentuk alur tersendiri. Lalu ada alur C yang merupakan alur bawahan dari alur A karena fungsinya untuk melengkapi informasi tentang tokoh-tokoh dalam alur A. Analisis struktural di atas memberi informasi dasar tentang tokoh Gambir dan informasi dasar ini digunakan sebagai bahan untuk melakukan analisis psikologi. Analisis psikologi dimulai dari masa kecil Gambir ketika ia mendapat kekerasan dari kedua orangtuanya hingga ia menderita skizofrenia. Analisis psikologi menunjukkan bahwa dinamika perilaku yang terjadi pada Gambir disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem kepribadian. Subsistem id dan superego seringkali berbenturan sehingga ego membentuk mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan ini berdampak buruk pada kesehatan mental Gambir karena ia menyelesaikan masalah dengan cara yang salah. Namun, akar dari keabnormalitasan Gambir bukanlah ketidakseimbangan sistem kepribadian, melainkan pengasuhan yang salah dari kedua orangtuanya. SARAN Novel ini mengingatkan pembacanya pada betapa seramnya dampak yang ditimbulkan dari kekerasan rumah tangga. Maka dari itu, novel ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian untuk melakukan kampanye anti kekerasan pada anak. Karya sastra adalah representasi dari realitas. Maka, bukan tidak mungkin ada anak-anak seperti tokoh Gambir di dunia nyata. Sebelum terlambat lebih jauh, ada baiknya kekerasan terhadap anak mulai menjadi perhatian serius bagi masyarakat. Selain untuk masyarakat, penulis juga memiliki saran untuk pengarang. Jika memang pengarang bermaksud menonjolkan aspek psikologis pada karyanya, ada baiknya pengarang memberikan informasi yang lebih detail tentang perkembangan tokoh dari usia 0—7 tahun.
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014
Karena menurut Freud, pada usia itulah tahap perkembangan terpenting bagi seorang anak. Ini tidak hanya akan memudahkan pembaca dalam mencerna tokoh, tetapi juga akan memudahkan peneliti dalam meneliti karya ini.
DAFTAR PUSTAKA Asmara, Sekar Ayu. 2012. Pintu Terlarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fausiah, Fitri dan Julianty Widury. 2007. Psikologi Abnormal: Klinis Dewasa. Jakarta: UIPress. Kartono, Kartini. 1981. Psikhologi Abnormal. Bandung: Penerbit Alumni. Minderop, Albertine. 20120. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Cet. Ke-12). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Suryabrata, Sumadi. 1998. Psikologi Kepribadian (Ed. Ke-8). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
Analisis tokoh…, Nuriyah Amalia, FIB UI, 2014