BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGADAAN TANAH, SISA BIDANG TANAH DAN PENDAFTARAN TANAH
2.1 Tinjauan Umum Mengenai Pengadaan Tanah Tanah adalah sumber daya alam yang terbatas, memiliki nilai yang tinggi dan merupakan fondasi sebuah pembangunan. Tanah menurut world university encyclopedia adalah “Land, in law, any soil, ground, or earth whatsoever, regarded as being subject to ownership and including everything annexed or appertaining to it.”1 (Tanah, dalam hukum, adalah setiap tanah, permukaan tanah, atau di bagian bumi apapun, dianggap sebagai subjek untuk kepemilikan dan termasuk segala sesuatu yang dapat dilampirkan atau yang mendekati itu.) Selanjutnya Joseph R. Nolan dan M.J Connolyy mendefinisikan tanah (land) sebagai berikut: …. the material of the earth, whatever may be the ingredients of which it is composed, whether soil, rock, or other substance, and includes free or occupied space for an indefinite distance upwards as well as downwards, subject to limitations upon the use of airspace imposed, and rights in the use of airspace granted, by law.2 (bahan material dari bumi, apa pun mungkin bahan dari yang terdiri, apakah tanah, batuan, atau zat lainnya, dan termasuk 1
Houma-Lidice, The World University Encyclopedia, Volume 6, Publisher Company, Washington DC, page 213. 2 Joseph R. Nolan dan M.J Connolly, Black’s Law Dictionary. Fifth Edition, St. Paul Mminn: West Publishing Co. 1979, page 789.
ruang bebas atau ditempati untuk jarak terbatas ke atas serta ke bawah, tunduk pada keterbatasan pada penggunaan wilayah udara, dan hak-hak dalam penggunaan wilayah udara yang diberikan oleh hukum.) Definisi tanah (land) ditulis oleh Judith Bray dalam bukunya unlocking land law adalah sebagai berikut: Land includes land of any tenure, and mines and minerals, whether or not held apart from the surface, buildings, or parts of buildings (whether the division is horizontal, vertical or made in any other way) and other corporeal hereditaments.3 (Tanah termasuk tanah kepemilikan apapun, dan tambang dan mineral, apakah termasuk atau tidak diadakan terpisah dari permukaan, bangunan, atau bagian dari bangunan (apakah pembagian horizontal, vertikal atau dibuat dengan cara lain) dan pewarisan.) Dalam hukum tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat 1 UUPA).4 Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah yang telah diamanatkan dalam Pasal 6 UUPA. Berdasarkan filosofi fungsi sosial hak atas tanah tersebut, ditetapkan dasar pembentukan UU Pengadaan Tanah, yakni menjamin
tersedianya
tanah
untuk
penyelenggaraan
pembangunan
dengan
mendasarkan pada penghormatan hak rakyat atas tanah.5
3 Judith Bray, 2004, Unlocking Land Law, first edition, hodder education, Milton Park, Abingdon, page 23 4 Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia: sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, isi dan pelaksanaannya, cet. 12, Djambatan, Jakarta, hal. 18 5 Erman Rajaguguk, 2012, Serba-Serbi Hukum Agraria: Tanah Untuk Kepentingan Umum, Larangan Alih Fungsi Tanah Pertanian, Landreform Tanah Perkarangan, Cet. 1, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 34
Dalam usaha untuk mendapatkan tanah dalam rangka penyelenggaraan atau keperluan pembangunan, harus dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara yang bijaksana. Pengadaan tanah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan bilamana pemerintah memerlukan sebidang tanah untuk kepentingan umum.6 Penggunaan
tanah
untuk
kepentingan
pembangunan
hendaknya
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan perorangan, masyarakat, dan Negara. Kepentingan perorangan dapat diambil untuk kepentingan umum, jika kepada pemegang haknya diberikan ganti kerugian yang layak, karena tanah harus dipergunakan sesuai fungsi dan peruntukannya sehingga bermanfaat, baik bagi kesejahteraan yang memilikinya maupun bagi masyarakat luas dan negara. 7 Dalam Pasal 36 UU Pengadaan Tanah telah ditentukan dengan cukup baik tentang bentuk ganti kerugian, yaitu uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham dan bentuk lain yang disepakati kedua belah pihak. Kelima bentuk ganti kerugian tersebut sejatinya cukup ideal apabila pemerintah melaksanakannya dengan sungguhsungguh sehingga tetap menyejahterakan masyarakat.8 Pembangunan infrastruktur selama lebih dari 69 tahun Indonesia merdeka, pelaksanaannya selalu berbenturan dengan masalah klasik dan rumit, yakni
6
Adrian Sutedi, 2008, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakata, (selanjutnya disingkat Adrian I), hal. 49 7 H. Muchsin dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, jakarta, hal. 28 8 Bernhard Limbong, 2014, Opini Kebijakan Agraria, PT. Dharma Karsa Utama, Jakarta, (selanjutnya disingkat Bernhard III), hal. 219
pengadaan tanah.9 Pemerintah sebagai penyelenggara kegiatan pengadaan tanah juga harus melaksanakan amanat undang-undang yang mengutamakan kepentingan rakyat, sehingga akhirnya tidak terkikis dengan kepentingan-kepentingan investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya menjadi terabaikan.10
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan suatu pendekatan yang bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi hukum), prosperty approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach (pendekatan dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari segi kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan untuk memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan tetap terpelihara.11
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Pengadaan Tanah Pengertian pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2 UU Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak 9
Sudjarwo Marsoem, Wahyono Adi dan Pieter G. Manoppo, 2015, Panduan Lengkap Ganti Untung Pengadaan Tanah, ReneBook, Jakarta, hal. 39 10 Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2009, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 3 11 Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, hal. 51
dan adil kepada pihak yang berhak. Pengertian tersebut senada dengan yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 156), selanjutnya disingkat Perpres Pengadaan Tanah. Pengadaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum menurut Pasal 1 angka 9 UU Pengadaan Tanah dilaksanakan dengan cara pelepasan hak atas tanah masyarakat menjadi tanah Negara melalui lembaga pertanahan yang wajib dikuti dengan ganti rugi yang layak dan telah disepakati oleh para pihak. Pengadaan tanah secara umum telah diatur dalam UU Pengadaan Tanah, dan sebagai peraturan pelaksana dari UU Pengadaan Tanah yang mengatur teknis pembebasan lahan, maka pada tanggal 7 Agustus 2012 yang lalu, Presiden telah menerbitkan Perpres Pengadaan Tanah. Perpres ini mengatur tentang tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil. Belakangan, pemerintah dan lembaga legislatif menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 94), selanjutnya disingkat Perpres Nomor 40 Tahun 2014 dan Perpres Nomor 99 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 223) untuk menyempurnakan beberapa pasal dalam Perpres Pengadaan Tanah.
Dalam Pasal 111 ayat (2) Perpres Pengadaan Tanah ditentukan perlunya penetapan mengenai petunjuk teknis tahapan pelaksanaan pengadaan tanah yang diatur oleh Kepala BPN, maka pada tanggal 30 Oktober 2012, kepala BPN telah menerbitkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah Tanah, selanjutnya disingkat Perkaban 5 Tahun 2012. Peraturan ini mengatur tentang petunjuk teknis pengadaan tanah yang dilakukan di lembaga pertanahan dari tahapan penyiapan pelaksanaan, inventaris, pemantauan, pelaksanaan ganti rugi, musyawarah, evaluasi, koordinasi sampai dengan penyerahan hasil. Beberapa ketentuan hukum lainnya yang mendasari proses dan pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria a. Pasal 14 ayat (1) dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (1) dan (2), Pemerintah membuat rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:
1. Untuk keperluan negara; 2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; 3. Untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; 4. Untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; 5. Untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. b. Pasal 18 menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari seluruh rakyat, Hak-Hak Atas Tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Jika keadaan mengharuskan dilakukannya pencabutan Hak Atas Tanah maka Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Jo Nomor 65 Tahun 2006 tidak lagi dapat diterapkan dan langkah berikutnya adalah dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 dan peraturan pelaksanaannya. 3. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. 4. Beberapa Peraturan Menteri Dalam Negeri, antara lain: a. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang KetentuanKetentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta. c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Di Wilayah Kecamatan.
Ketiga Peraturan Menteri Dalam Negeri di atas dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya: 5. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya: 6. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang telah disempurnakan oleh: 7. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun
2005 Jo Nomor 65 Tahun 2006 hanya mengatur mekanisme pengadaan tanah dan tidak digunakan untuk melakukan pencabutan Hak Atas Tanah. Secara yuridis, pengambilan tanah rakyat untuk keperluan pembangunan bisa dilakukan melaui tiga mekanisme, yakni pencabutan hak, pelepasan hak dan melalui tukar-menukar dan/atau jual beli.12 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang Ada Di Atasnya (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 288; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324), selanjutnya disingkat UU Pencabutan Hak Tanah, menentukan bahwa untuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat dan kepentingan pembangunan, Presiden dalam keadaan memaksa, setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hakhak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Dalam ketentuan Pasal 18 UUPA hanya menentukan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti rugi yang layak. Hal ini dapat dilihat dengan diterbitkannya UU Pencabutan Hak Tanah. Ketentuan yang menyatakan bahwa hak atas tanah masyarakat yang dicabut haknya itu tidak dapat menyatakan tidak bersedia haknya dicabut, dan kalau diberikan hak untuk banding maka bandingnya ke Pengadilan Tinggi, hanya mengenai jumlah ganti rugi yang 12
Bernhard Limbong, 2011, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan:Regulasi, Kompensasi Penegakan Hukum, Pustaka Margareta, Jakarta, (Selanjutnya disingkat Bernhard Limbong IV), hal. 338
ditawarkan pemerintah. Hakim Pengadilan Tinggi akan menetapkan apakah tetap pada jumlah yang ditawarkan pemerintah ataupun menaikkan jumlah uang ganti rugi tersebut. Prosedurnya seperti tersebut dalam Pasal 2 dan 3 UU Pencabutan Hak Tanah, yaitu melalui Kepala Inspeksi Agraria dengan mengajukan antara lain rencana permohonan dan alasan-alasan pencabutan hak atas tanah, keterangan nama yang berhak beserta luas dan jenis hak atas tanah disertai rencana penampungan masyarakat yang ada di atasnya. Selain itu, Kepala Kantor Wilayah BPN akan meminta pertimbangan dari Kepala Daerah yang bersangkutan tentang permohonan tersebut dan penampungan masyarakat, kemudian agar tim penaksir bersidang menetapkan ganti rugi. Menurut Pasal 6 UU Pencabutan Hak Tanah maka Kepala Kantor Wilayah BPN dapat saja langsung mengajukan permohonan tersebut kepada Kepala BPN tanpa rekomendasi dari Kepala Daerah dan tim penaksir. Kepala BPN akan menetapkan suatu keputusan mendahului keputusan Presiden tersebut. Keputusan tentang pencabutan hak atas tanah harus dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dan isinya juga dimuat dalam surat kabar. Pasal 8 UU Pencabutan Hak Tanah menyatakan bahwa yang bersangkutan jika tidak dapat menerima jumlah uang ganti rugi yang ditetapkan tim penaksir maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan banding pada Pengadilan Tiggi dengan membayar biaya perkara, yang juga sebagai Pengadilan Pertama dan terakhir selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sejak tanggal keputusan Presiden yang menyatakan hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya dinyatakan dicabut.
Undang-undang tidak dapat menjelaskan suatu kondisi tertentu, beberapa penyelenggara pemerintahan sering mengambil keuntungan dari istilah kepentingan umum untuk mengambil tanah milik pribadi yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi dan kepastian hukum. Kepentingan umum diberikan suatu pembatasan hak pribadi. Untuk menggambarkan kepentingan umum dengan tepat, pembuat undangundang harus mengemukakan beberapa hal dasar. Pertama, perwujudan kepentingan umum sebagian besar merupakan sistem publik sebagai government centered dibandingkan dengan suatu sistem pribadi market led. Kedua, definisi kepentingan publik harus layak atau mempunyai alasan. Ketika kepuasan kepentingan umum sering dimasukkan ke dalam beberapa hal kepentingan pribadi, pembuat undangundang perlu membatasi kepentingan publik kepada suatu lingkup yang layak di dalam hak pribadi atas tanah yang dimilikinya.13
13
Putu Mia Rahmawati, 2013, Pengaturan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum oleh Badan Usaha Swasta, tesis Program Studi Magister (S2) Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 70
2.1.2 Pengadaan Tanah Sebelum dan Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada era pemerintahan orde baru terdapat tiga masalah pokok dalam rangka pelaksanaan UUPA. Tiga pokok permasalahan tersebut adalah pembuatan peraturan pelaksanaan, penyesuaian kembali beberapa materi peraturan perundang-undangan tertentu di bidang agraria dan pelaksanaan proses pembebasan tanah. Pada masa orde baru tuntutan pembangunan nasional semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas tanah dan volume pengambilan tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena kriteria kepentingan umum sebagai alasan pencabutan hak belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang proporsional. Pada tahun 1973 Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, yang berisi pedoman jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum. Secara material Inpres tersebut dapat dipakai tetapi secara formal, seharusnya materi yang begitu penting tidak hanya diatur dalam sebuah Inpres yang biasanya bersifat teknis. Materi Inpres itu seharusnya diatur dengan undang-undang karena menyangkut hak rakyat banyak.
Pemberian bentuk Inpres atas kriteria kepentingan umum lebih merupakan tindakan pragmatis pemerintah dalam melancarkan program-programnya. 14 Sebelum diberlakukannya UU Pengadaan Tanah, pengaturan tentang pengadaan tanah didasarkan pada Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, selanjutnya disingkat Perpres 65 Tahun 2006. Sesuai Perpres tersebut, pengadaan tanah dilakukan oleh tim pelaksana pengadaan tanah, yang dalam prosesnya pelaksanaannya sering terhambat oleh diskontinuitas anggaran. Selain itu, masalah lain yang sering muncul adalah definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang masih banyak diperdebatkan. Penyelenggaraan pengadaan tanah juga sering bersinggungan dengan isu hukum mendasar seperti hak asasi manusia, prinsip keadilan, prinsip keseimbangan antara kepentingan Negara dengan kepentingan masyarakat baik secara individu maupun kelompok.15 Jika ditelaah secara seksama, pada bagian konsiderans UU Pengadaan Tanah, termaktub politik perundang-undangan (legal politics) sebagai berikut: a. Bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu melaksanakan pembangunan;
14
Adrian Sutedi I, op. cit., hal. 89 Adi Suara, 2013, Tinjauan Atas Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. http://bpk.go.id, diakses pada 4 Juni 2015. 15
b. Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil; c. Bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan; d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perbaikan yang signifikan dari UU Pengadaan Tanah maupun Perpres Pengadaan Tanah sebagai peraturan pelaksananya dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yaitu Perpres 65 Tahun 2006 tidak dapat dipungkiri. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 35 UU Pengadaan Tanah yang menyatakan apabila dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. Ketentuan pasal ini belum pernah muncul di peraturan peraturan sebelumnya, dan tujuan pasal ini muncul adalah dalam rangka mewujudkan pengadaan tanah yang adil. Selain itu, dalam UU Pengadaan Tanah maupun Perpres Pengadaan Tanah telah diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah yang jelas dari mulai tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil, termasuk di dalamnya pihak-pihak yang berperan dalam masingmasing tahapan. Peraturan ini juga mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Batasan waktu sebenarnya juga telah diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, namun dalam UU
Pengadaan Tanah maupun Perpres Pengadaan Tanah sudah secara tegas mengatur durasi waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan umum paling lama (maksimal) 583 hari. Berdasarkan UU Pengadaan Tanah maupun Perpres Pengadaan Tanah juga diatur keharusan instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum agar menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah. Isi dari dokumen tersebut di antaranya adalah tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW), letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, dan perkiraan nilai tanah. Dokumen perencanaan pengadaan tanah tersebut selanjutnya diserahkan kepada Gubernur yang melingkupi wilayah di mana letak tanah berada. Lebih lanjut, peraturan ini juga menyinggung soal pengaturan ganti kerugian, pengalihan hak tanah, dan lainnya. Selain itu, terdapat pengaturan soal penolakan dari pihak yang berhak untuk penggantian rugi atas lahan tersebut dan sengketa lahan di pengadilan. Terkait pengaturan sumber dana pengadaan tanah, termasuk pengadaan tanah berskala kecil maupun pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi juga tidak luput diatur di dalamnya. UU Pengadaan Tanah ini telah mendefinisikan sendiri dan menentukan jenisjenis pembangunan yang dikategorikan untuk kepentingan umum. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU Pengadaan Tanah dicontohkan bahwa pembangunan jalan tol
dan semua jenis proyek pelabuhan tidak tepat jika dikategorikan sebagai kepentingan umum karena dikelola secara bisnis dan melayani kalangan tertentu saja. Selain itu, dalam UU Pengadaan Tanah ini tidak ditemukan mengenai definisi kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat yang menjadi syarat penyelenggaraan kepentingan umum sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Pengadaan Tanah. Hal ini menunjukkan masih terdapatnya kekaburan definisi pembangunan untuk kepentingan umum dalam UU Pengadaan Tanah seperti halnya peraturan-peraturan sebelumnya.16 Selain itu, ketentuan dalam Pasal 39, Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 UU Pengadaan Tanah diatur bahwa dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian, karena hukum pihak yang berhak (masyarakat) dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian. Ganti kerugian tersebut kemudian dititipkan di pengadilan negeri setempat, dan pada saat pelaksanaan pelepasan hak, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Hapusnya hak atas tanah dari pihak yang berhak adalah hak atas tanah tersebut berakhir tanpa kerja sama ataupun persetujuan
16
Ibid.
seperti dalam sahnya suatu persetujuan, dan pihak yang berhak dalam hal ini kehilangan sama sekali haknya secara paksa.17 Hapusnya kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak yang menolak hasil musyawarah tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39, 42 ayat (1) dan 43 UU Pengadaan Tanah di atas, menunjukkan represifnya undang-undang ini yang sengaja dibenturkan dengan UU Pencabutan Hak Tanah. Ketentuan Pasal 43 UU Pengadaan Tanah ini jelas tidak sesuai dengan apa yang telah diuraikan dalam diktum Menimbang, Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 dan angka 10 serta Pasal 2 UU Pengadaan Tanah yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan asas kemanusiaan, keadilan, kesepakatan, dan asas-asas lain.18 Berdasarkan kelebihan dan kekurangan di atas, UU Pengadaan Tanah merupakan sebuah langkah perbaikan dibandingkan dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, karena peraturan perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Diterbitkannya undang-undang tersebut memberi harapan permasalahan-permasalahan dalam pengadaan tanah dapat diatasi ke depannya. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah dan menjadi penghambat untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan umum selama ini antara lain: 17
A.P. Parlindungan, 1990, Berakhirnya Hak-Hak Atas Tanah Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya di singkat Parlindungan II), hal. 1 18 Adi Suara, loc. it.
1. Belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan mekanisme pengadaan tanah; 2. Belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan tanah; 3. Tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan 4. Belum jelasnya kriteria kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum.19 Menurut M. Yamin Lubis dalam bukunya Pencabutan hak, pembebasan dan pengadaan tanah, beberapa prinsip pengadaan tanah dapat dimasukkan dalam materi undang-undang yang akan datang, antara lain dengan mempertimbangkan beberapa prinsip yaitu: a. Prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang dimiliki rakyat yang merupakan bagian dari hak asasi warga negara, sehingga tidak dengan sedemikian rupa dapat dengan mudah diambil untuk kepentingan-kepentingan tertentu termasuk untuk kepentingan umum, tanpa mengindahkan aturan hukum yang ada. b. Prinsip kepastian hukum baik dalam pengaturannya (ketentuan materiil) dan proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum (ketentuan formil/hukum acaranya) maupun dalam proses pemberian hak atas tanah kepada instansi yang membutuhkan sebagai pemangku dari kepentingan umum. c. Prinsip kepastian atas kepentingan umum, menyangkut pengertian, penetapan bidang kegiatan yang masuk dalam kategori kepentingan umum, dengan penegasan adanya kepentingan seluruh lapisan masyarakat, kegiatan benar-benar dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah, nyata-nyata tidak digunakan untuk
19
Ibid.
mencari keuntungan (tidak ada unsur komersil/bisnis), perencanaan dan pelaksanaannya sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah. d. Prinsip pelaksanaannya dengan cara tepat dan transparan, dengan pembentukan tim pelaksana yang kompeten baik untuk tim pengadaan tanah maupun tim penaksir harga tanah, lengkap dengan susunan dan uraian tugasnya secara limitatif. e. Prinsip musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah, terutama emngenai hal yang berkaitan dengan kegiatan dan tujuan dari pengadaan tanah tersebut dan juga mengenai penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian. f. Prinsip pemberian ganti kerugian yang layak dan adil atas setiap pengambilan hak atas tanah rakyat, sebab hak atas tanah tersebut sebagai bagian dari aset seseorang yang diperoleh dengan pengorbanan tertentu dan pabila sudah terdaftar telah ada legalitas aset yang diberikan oleh Negara dan kepada penerima haknya biasanya membayar kompensasi kepada Negara baik dalam bentuk kewajiban uang pemasukan ke kas Negara maupun kewajiban perpajakan. Selain itu, harus ditegaskan pengertian “ganti rugi yang layak dan adil”, sehingga diperoleh tolak ukur yang dapat dipedomani dalam pemberian ganti kerugian yang mana telah diatur dalam UU Pengadaan Tanah. g. Prinsip pembedaan ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umm sesuai dengan kriteria yang ditentukan secara limitatif dengan pengadaan tanah bukan untuk kepentingan umum (kepentingan pemerintah dengan unsur bisnis), serta penetapan kriteria luasan tanah skala kecil dengan prosedur pengadaan tanahnya,
termasuk dalam hal penggunaan standar dan normanya seperti kemungkinan penggunaan bantuan tim pengadaan tanah.20 Berikut adalah perbedaan singkat mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadaan tanah, dimulai dari Keppres No. 55 Tahun 1993, Perpres No. 36 Tahun 2005, Perpres No. 65 Tahun 2006 dan UU Pengadaan Tanah, dengan
demikian
dapat
diketahui
perubahan-perubahan
dalam
pengaturan
pelaksanaan pengadaan tanah di Indonesia. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Perbandingan Regulasi Pengadaan Tanah Pokok Perbanding an
20
Keppres No. 55 Tahun 1993
Perpres No. 36 Tahun 2005
Perpres No. 65 Tahun 2006
UU No 2 Tahun 2012
M. Yamin Lubis dan A. Rahim Lubis, 2011, Pencabutan Hak, Pembebasan dan Pengadaan Tanah, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat M. Yamin Lubis I), hal. 100-101
Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau pencabutan hak atas tanah
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak
Mekanisme Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara :
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembanguna n untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau
a.Pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah, atau
atas tanah
penyerahan hak atas tanah
b. pencabutan hak atas tanah Kepentingan umum
Kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat.
Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat.
Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat.
Cakupan kepentingan umum
a. jalan umum, saluran pembuangan air;
a. jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi.
a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi.
a. pertahanan dan keamanan nasional
b. waduk,
b. waduk,
b. waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi. c. rumah sakit umum dan
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi
pusat-pusat kesehatan masyarakat d. pelabuhan atau bandar udara atau terminal. e. peribadatan.
bendungan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya. c. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat.
bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal.
f. pendidikan d. pelabuhan, atau sekolahan. bandar udara, d. fasilitas g. pasar umum stasiun kereta api dan terminal. keselamatan atau pasar umum, seperti INPRES e. peribadatan. tanggul h. fasilitas penanggulangan f. pendidikan pemakaman bahaya banjir, atau sekolah umum lahar, dan laing. pasar umum lain i. fasilitas keselamatan h. fasilitas e. tempat umum seperti pemakaman pembuangan tanggul umum sampah penanggulanga i. fasilitas f. cagar alam n bahaya keselamatan dan cagar banjir, lahar umum budaya dan lain-lain j. pos dan j. pos dan telekomunikasi telekomunikasi k. sarana olah raga
k. sarana olah raga
l. stasiun penyiaran radio, televisi
l.stasiun penyiaran radio dan televisi dan sarana
g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
kereta api c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi dan bangunan pengairan lainnya d. pelabuhan, bandar udara dan terminal e. infrastuktur, minyak gas dan panas bumi f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik g. jaringan telekomunik asi dan informatika
beserta pendukungnta. m. kantor Pemerintah n. fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
pendukungnya.
Pemerintah
m. kantor Pemerintah, pemerintah daerah, mperwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan atau lembagalembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah
n.fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. o. lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan p. rumah susun sederhana q. tempat
i. rumah sakit Pemerintah/ Pemerintah Daerah j. fasilitas keselamatan umum k. tempat pemakaman umum Pemerintah/ Pemerintah Daerah l. fasilitas sosial, fasilitas umum dan ruang terbuka hijau publik m. cagar alam dan cagar budaya n. kantor Pemerintah/
pembuangan sampah
Pemerintah Daerah/desa
r. cagar alam dan cagar budaya.
o. Penataan pemukiman kumuhperkot aan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasil an rendah dengan status sewa
s. pertamanan t. panti sosial u. pembangkit, tansmisi, distribusi tenaga listrik
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/ Pemerintah Daerah q. Prasarana olahraga Pemerintah/ Pemerintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
2.1.3 Cara dan Proses Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Tata cara atau prosedur pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah diatur secara jelas dalam UU Pengadaan Tanah dan peraturan pelaksananya, mulai dari tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan yang dijabarkan sebagai berikut: a. Tahap Perencanaan Setiap instansi yang memerlukan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU Pengadaan Tanah agar menyusun dokumen perencanaan pengadaan tanah, yang sedikitnya memuat: 1. Maksud dan tujuan rencana pembangunan, 2. Kesesuaian dengan rancangan tata ruang wilayah (rtrw) dan prioritas pembangunan, 3. Letak tanah, 4. Luas tanah yang dibutuhkan, 5. Gambaran umum status tanah, 6. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah dan pelaksanaan pembangunan, 7. Perkiraan nilai tanah, dan 8. Rencana penganggaran. Dokumen perencanaan pengadaan tanah tersebut sesuai ketentuan Penjelasan Atas Pasal 15 ayat (2) UU Pengadaan Tanah disusun berdasarkan studi kelayakan yang mencakup: 1. 2. 3. 4.
Survei sosial ekonomi, Kelayakan lokasi, Analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat, Perkiraan harga tanah,
5. Dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul akibat pengadaan tanah dan bangunan, serta 6. Studi lain yang diperlukan. Dokumen Perencanaan tersebut selanjutnya diserahkan oleh instansi yang memerlukan tanah kepada Gubernur yang melingkupi wilayah di mana letak tanah berada. b. Tahap Persiapan Dalam tahapan persiapan, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (1) Perpres Pengadaan Tanah, Gubernur membentuk tim persiapan dalam waktu paling lama 10 hari kerja, yang beranggotakan: 1. Bupati/Walikota, 2. SKPD Provinsi terkait, 3. instansi yang memerlukan tanah, dan 4. instansi terkait lainnya. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas tim persiapan, Gubernur membentuk sekretariat persiapan pengadaan tanah yang berkedudukan di sekretariat daerah provinsi. Adapun tugas tim persiapan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Perpres Pengadaan Tanah adalah sebagai berikut: 1. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan Sesuai ketentuan Pasal 11 Perpres Pengadaan Tanah, pemberitahuan rencana pembangunan ditandatangani ketua tim persiapan dan diberitahukan kepada
masyarakat pada lokasi rencana pembangunan, paling lama 20 hari kerja setelah dokumen perencanaan pengadaan tanah diterima resmi oleh Gubernur. Sesuai ketentuan Pasal 12 ayat (2) dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, pemberitahuan dapat dilakukan secara langsung baik melalui sosialisasi, tatap muka, dan/atau surat pemberitahuan, atau melalui pemberitahuan secara tidak langsung melalui media cetak maupun media elektronik.
2. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pengadaan Pendataan awal lokasi rencana pengadaan meliputi kegiatan pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah bersama aparat kelurahan/desa sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU Pengadaan Tanah, paling lama adalah 30 hari kerja sejak pemberitahuan rencana pembangunan. Sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) Perpres Pengadaan Tanah, hasil pendataan
dituangkan
dalam
bentuk
daftar
sementara
lokasi
rencana
pembangunan yang ditandatangani ketua tim persiapan sebagai bahan untuk pelaksanaan konsultasi publik rencana pembangunan. 3. Melaksanakan konsultasi publik rencana pembangunan Konsultasi publik rencana pembangunan dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak pengadaan tanah, sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (4) Perpres
Pengadaan Tanah dilaksanakan paling lama 60 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya daftar sementara lokasi rencana pembangunan. Hasil kesepakatan atas lokasi rencana pembangunan dituangkan dalam berita acara kesepakatan. Sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (1), (2), (3) dan (4) Perpres Pengadaan Tanah, apabila dalam konsultasi publik, pihak yang berhak dan masyarakat yang terkena dampak atau kuasanya tidak sepakat atau keberatan, maka dilaksanakan konsultasi publik ulang paling lama 30 hari kerja sejak tanggal berita acara kesepakatan. Sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (1), (2) dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, jika dalam konsultasi publik ulang masih terdapat pihak yang keberatan atas rencana lokasi pembangunan, instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan kepada Gubernur melalui tim persiapan. Selanjutnya, Gubernur membentuk tim kajian keberatan yang terdiri atas: a. Sekretaris Daerah Provinsi atau pejabat yang ditunjuk sebagai ketua merangkap anggota; b. Kepala Kantor Wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap anggota; c. Instansi yang menangani urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan daerah sebagai anggota; d. Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM sebagai anggota; e. Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; f. Akademisi sebagai anggota. Tugas tim kajian keberatan meliputi: a. Menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan; b. Melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang keberatan;
c. Membuat
rekomendasi
diterima
atau
ditolaknya
keberatan
yang
ditandatangani Ketua Tim Kajian Keberatan kepada Gubernur. Berdasarkan rekomendasi dari tim kajian, sesuai ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40 Perpres Pengadaan Tanah, Gubernur mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas lokasi rencana pembangunan. Penanganan keberatan oleh Gubernur dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya keberatan. Dalam hal Gubernur memutuskan dalam suratnya menerima keberatan, instansi yang memerlukan tanah membatalkan rencana pembangunan atau memindahkan lokasi rencana pembangunan ke tempat lain.
4. Menyiapkan penetapan lokasi pembangunan Penetapan lokasi pembangunan dibuat berdasarkan kesepakatan yang telah dilakukan tim persiapan dengan pihak yang berhak atau berdasarkan karena ditolaknya keberatan dari pihak yang keberatan. Penetapan lokasi pembangunan dilampiri peta lokasi pembangunan yang disiapkan oleh instansi yang memerlukan tanah. Penetapan lokasi pembangunan berlaku untuk jangka waktu 2 tahun dan dapat dilakukan permohonan perpanjangan waktu 1 kali untuk waktu paling lama 1 tahun kepada Gubernur yang diajukan paling lambat 2 bulan sebelum berakhirnya jangka waktu penetapan lokasi pembangunan.
5. Mengumumkan penetapan lokasi pembangunan Pengumuman atas penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum sesuai ketentuan Pasal 46 ayat (1), (2), dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, paling lambat adalah 3 hari sejak dikeluarkan penetapan lokasi pembangunan yang dilaksanakan dengan cara: a. Ditempelkan di kantor Kelurahan/Desa, dan/atau kantor Kabupaten/Kota dan di lokasi pembangunan; b. Diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik. Pengumuman penetapan lokasi pembangunan dilaksanakan selama paling kurang 14 hari kerja.
6. Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan oleh Gubernur. Sesuai ketentuan Pasal 47 ayat (1) Perpres Pengadaan Tanah, Gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pelaksanaan tahapan persiapan pengadaan tanah bagi
pembangunan
untuk
kepentingan
umum
kepada
Bupati/Walikota
berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektivitas, kondisi geografis, sumber daya manusia dan pertimbangan lain. c. Tahap Pelaksanaan
Berdasarkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, sesuai ketentuan Pasal 52 Perpres Pengadaan Tanah, instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan pengadaan tanah kepada ketua pelaksana pengadaan tanah dengan dilengkapi/dilampiri dokumen perencanaan pengadaan tanah dan penetapan lokasi pembangunan. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah diserahkan kepada Kepala BPN, yang pelaksanaannya sesuai ketentuan Pasal 50 Perpres Pengadaan Tanah, dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN selaku ketua pelaksana pengadaan tanah (dengan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis dan sumber daya manusia, dapat didelegasikan kepada Kepala Kantor Pertanahan). Susunan keanggotaan pelaksana pengadaan tanah sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (2) Perpres Pengadaan Tanah, berunsurkan paling kurang:
1. Pejabat yang membidangi urusan pengadaan tanah di lingkungan kantor wilayah BPN; 2. Kepala Kantor Pertanahan setempat di lokasi pengadaan tanah; 3. Pejabat SKPD Provinsi yang membidangi urusan pertanahan; 4. Camat setempat pada lokasi pengadaan tanah; 5. Lurah/Kepala Desa atau nama lain pada lokasi pengadaan tanah. Pelaksana pengadaan tanah kemudian melakukan penyiapan pelaksanaan pengadaan tanah yang dituangkan dalam rencana kerja, sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2) Perpres Pengadaan Tanah, memuat paling kurang: 1. 2. 3. 4.
Rencana pendanaan pelaksanaan; Rencana waktu dan penjadwalan pelaksanaan; Rencana kebutuhan pelaksana pengadaan; Rencana kebutuhan bahan dan peralatan pelaksanaan;
5. Inventarisasi dan alternatif solusi faktor-faktor penghambat dalam pelaksanaan; 6. Sistem monitoring pelaksanaan. Pelaksanaan pengadaan tanah secara garis besar meliputi: 1. Inventarisasi
dan
identifikasi
penguasaan,
pemilikan,
penggunaan,
dan
pemanfaatan tanah. Sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Pengadaan Tanah, dilakukan dengan jangka waktu paling lama 30 hari. Adapun kegiatannya meliputi: a. Pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan b. Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah tersebut wajib diumumkan di kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan dan tempat Pengadaan Tanah, sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan (4) UU Pengadaan Tanah, dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja. Dalam hal tidak menerima hasil inventarisasi, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diumumkan hasil inventarisasi, untuk kemudian dilakukan verifikasi dan perbaikan dalam waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan keberatan atas hasil inventarisasi. 2. Penilaian Ganti Kerugian Hasil pengumuman dan/atau verifikasi serta perbaikan atas hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah
ditetapkan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah dan sesuai ketentuan Pasal 62 Perpres Pengadaan Tanah, selanjutnya menjadi dasar penentuan pihak yang berhak dalam pemberian ganti kerugian. sesuai ketentuan Pasal 63 Perpres Pengadaan Tanah, penetapan besarnya nilai ganti kerugian oleh ketua pelaksana pengadaan tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik yang ditunjuk dan ditetapkan oleh ketua pelaksana pengadaan tanah yang penilaiannya dilaksanakan paling lama 30 hari kerja. Penilai bertugas melakukan penilaian besarnya ganti kerugian bidang per bidang tanah sesuai ketentuan Pasal 65 ayat (1) Perpres Pengadaan Tanah, meliputi tanah, ruang atas dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai. Sesuai ketentuan Pasal 67 ayat (1) Perpres Pengadaan Tanah, dalam hal terdapat sisa dari bidang tanah tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya. 3. Musyawarah penetapan Ganti Kerugian Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak sesuai ketentuan Pasal 68 ayat (1) dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari penilai disampaikan kepada ketua pelaksana pengadaan tanah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian. Hasil
kesepakatan dalam musyawarah tersebut sesuai ketentuan Pasal 72 Perpres Pengadaan Tanah, menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak/kuasanya yang dimuat dalam berita acara kesepakatan. Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, sesuai ketentuan Pasal 73 ayat (1) dan (2) Perpres Pengadaan Tanah, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian. Pengadilan Negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan. Sesuai ketentuan Pasal 73 ayat (3) dan (4) Perpres Pengadaan Tanah, pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri, dalam waktu paling lama 14 hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak permohonan kasasi diterima. Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran Ganti Kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan. 4. Pemberian Ganti Kerugian Pemberian ganti kerugian dapat dilakukan sesuai ketentuan Pasal 74 Perpres Pengadaan Tanah, dalam bentuk:
a. b. c. d. e.
Uang Tanah Pengganti Pemukiman kembali Kepemilikan saham Bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak
Pelaksana pengadaan tanah membuat penetapan mengenai bentuk ganti kerugian berdasarkan
berita
acara
kesepakatan
dan/atau
putusan
Pengadilan
Negeri/Mahkamah Agung. Sesuai ketentuan Pasal 83 ayat (1) dan (2) Perpres Pengadaan Tanah, pemberian ganti kerugian dibuat dalam berita acara pemberian ganti kerugian yang dilampiri dengan: a. b. c. d.
Daftar pihak yang berhak penerima ganti kerugian Bentuk dan besarnya ganti kerugian yang telah diberikan Daftar dan bukti pembayaran/kwitansi Berita acara pelepasan hak atas tanah dan penyerahan bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui pelaksana pengadaan tanah.
Dalam hal pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil musyawarah atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung, Sesuai ketentuan Pasal 86 ayat (1), (2) dan (3) Perpres Pengadaan Tanah, ganti kerugian dititipkan di Pengadilan Negeri setempat. Penitipan ganti kerugian juga dilakukan terhadap:
a. Pihak yang berhak menerima Ganti Kerugian tidak keberadaannya; b. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan ganti kerugian: 1. Sedang menjadi objek perkara di pengadilan; 2. Masih dipersengketakan kepemilikannya; 3. Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
diketahui
4. Menjadi jaminan di bank. Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak telah dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di Pengadilan Negeri, sesuai ketentuan Pasal 43 UU Pengadaan Tanah, kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. d. Tahap Penyerahan Sesuai ketentuan Pasal 112 ayat (1) dan (4) Perpres Pengadaan Tanah, ketua pelaksana pengadaan tanah menyerahkan hasil pengadaan tanah kepada instansi yang memerlukan tanah disertai data pengadaan tanah paling lama 7 hari kerja sejak pelepasan hak objek pengadaan tanah dengan berita acara. Setelah proses penyerahan, paling lama 30 hari kerja instansi yang memerlukan tanah wajib melakukan pendaftaran/pensertifikatan untuk dapat dimulai proses pembangunan. Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, sesuai ketentuan Pasal 121 Perpres Pengadaan Tanah sebagaimana telah diubah dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2014, pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat dilakukan secara langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
2.1.4 Hak, Kewajiban, dan Peran Serta Masyarakat dalam Pengadaan Tanah Pengadaan tanah untuk kepentingan umum tentunya melibatkan masyarakat yang tanahnya dibebaskan untuk pembangunan. Dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, sesuai dengan ketentuan UU Pengadaan Tanah, masyarakat mempunyai hak yaitu: 1. Mengetahui rencana penyelenggaraan pengadaan tanah; 2. Memperoleh informasi yang lengkap mengenai pengadaan tanah; 3. Menerima ganti rugi dalam bentuk apapun sesuai dengan kesepakatan. Selain menerima hak di atas, sesuai ketentuan Pasal 56 UU Pengadaan Tanah, masyarakat diwajibkan untuk mematuhi semua ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Selain hak dan kewajiban di atas, Pasal 57 UU Pengadaan Tanah menentukan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengadaan tanah, yaitu di antara lainnya: 1. Memberikan masukan secara lisan atau tertulis mengenai pengadaan tanah; dan; 2. Memberikan dukungan dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah. 2.2 Sisa Bidang Tanah 2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Sisa Bidang Tanah Sisa bidang tanah adalah sisa dari bidang tanah yang terkena proyek pengadaan tanah baik yang masih bisa maupun tidak bisa difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya. Contohnya adalah terdapat bidang tanah dengan luas 100m2, kemudian bidang tanah tersebut digunakan untuk proyek pengadaan tanah
pembuatan jalan umum seluas 20m2. Bidang tanah setelah dikurangi untuk pengadaan tanah dengan luas 80m2 adalah sisa bidang tanah yang dimaksud. Sisa bidang tanah terdiri dari sisa bidang tanah yang masih bisa dan tidak bisa difungsikan lagi sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya. Pasal 11 Perkaban 5 Tahun 2012, menentukan bahwa, dalam hal terdapat sisa dari bidang tanah tertentu sudah terdaftar yang terkena pengadaan tanah dan tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, bidang tanah tersebut diukur dan dipetakan secara utuh dan diberikan ganti kerugian atas dasar permintaan pihak yang berhak. Sedangkan apabila terdapat sisa dari bidang tanah tertentu belum terdaftar yang terkena pengadaan tanah dan tidak lagi dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pasal 13 ayat (1) dan (3) menentukan bahwa, bidang tanah tersebut diukur dan dipetakan secara utuh dan diberikan ganti kerugian atas dasar permintaan pihak yang berhak atau masyarakat pemilik bidang tanah yang terkena pengadaan tanah. Ganti kerugian wajib diberikan oleh instansi yang memerlukan tanah kepada pihak yang berhak setelah dilakukan verifikasi oleh pelaksana pengadaan tanah. Pasal 12 Perkaban 5 Tahun 2012 juga mengatur dalam hal terdapat sisa dari bidang tanah tertentu sudah terdaftar yang terkena pengadaan tanah dan masih dapat difungsikan sesuai peruntukan dan penggunaannya, pemisahan haknya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan atas biaya instansi yang memerlukan tanah. Sedangkan
apabila terdapat sisa dari bidang tanah tertentu belum terdaftar yang terkena pengadaan tanah dan masih dapat difungsikan sesuai peruntukan dan penggunaannya sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) Perkaban 5 Tahun 2012, dicatat dalam buku desa/kelurahan atau nama lain serta surat tanda alas hak tanahnya. Pihak yang berhak meminta untuk dilakukan pengukuran dan/atau permohonan hak dan pendaftaran hak, biaya dibebankan kepada pihak yang berhak. 2.2.2 Hak dan Kewajiban Pemilik Sisa Bidang Tanah Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan umum hanya menggunakan sebagian tanah pihak yang berhak atau masyarakat, sehingga terdapat sisa bidang tanah, baik yang masih bisa digunakan maupun tidak oleh masyarakat. Hak dan kewajiban masyarakat sebagai pemilik sisa bidang tanah berdasarkan Perkaban 5 Tahun 2012 dapat disimpulkan sebagai berikut: Hak masyarakat pemilik sisa bidang tanah: 1. Menerima ganti kerugian yang layak dan telah disepakati apabila sisa bidang tanah
sudah
tidak
dapat
difungsikan
sesuai
dengan
peruntukan
dan
penggunaannya, baik sisa bidang tanah tersebut sudah terdaftar maupun belum terdaftar di BPN. 2. Pemisahan hak dibiayai oleh instansi yang memerlukan tanah, apabila sisa bidang tanah milik masyarakat masih bisa difungsikan dan sudah terdaftar di BPN.
Sedangkan kewajiban masyarakat pemilik sisa bidang tanah yaitu melakukan pengukuran dan/atau permohonan hak dan pendaftaran hak apabila sisa bidang tanah masih bisa difungsikan dan belum terdaftar di BPN. Biaya mengenai proses pendaftaran hak dibebankan kepada pihak yang berhak.
2.3 Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah merupakan persoalan sangat penting yang diatur dalam UUPA, karena pendaftaran tanah merupakan awal dari proses lahirnya sebuah bukti kepemilikan hak atas tanah. Begitu pentingnya pendaftaran tanah tersebut sehingga UUPA memerintahkan kepada pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 19 UUPA yang dinyatakan sebagai berikut: 1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat,
keperluan
lalu-lintas
sosial
ekonomi
serta
kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. 4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.21 Pendaftaran tanah dapat memberi jaminan kepastian hukum atas bidang tanah apabila dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sebagai bagian dari proses pendaftaran tanah, diterbitkannya sertifikat adalah sebagai alat pembuktian hak atas tanah paling kuat. Dokumen-dokumen pertanahan sebagai hasil proses pendaftaran tanah adalah dokumen tertulis yang memuat data fisik dan data yuridis tanah bersangkutan.22 Dalam rangka untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang dimaksud dalam UUPA, pada tanggal 23 Maret 1961 oleh Presiden diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah pertama kali dikeluarkan di Indonesia. Dalam pelaksanaannya kemudian disempurnakan dengan PP 24 Tahun 1997 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun 1997 yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
21
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 152 Sangsun, Florianus SP., 2008, Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah, Transmedia Pustaka, Jakarta, hal. 1-2 22
2.3.1 Pengertian dan Dasar Hukum Pendaftaran Tanah Di dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Sebutan pendaftaran tanah atau land registration menimbulkan kesan bahwa seakan-akan obyek utama pendaftaran atau satu-satunya obyek pendaftaran adalah tanah. Memang mengenai pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanah yang merupakan obyek pendaftaran yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya, luasnya dalam peta pendaftaran dan disajikan juga dalam “daftar tanah”. Kata “kadaster” yang menunjukkan pada kegiatan fisik tersebut berasal dari istilah latin “Capistratum” yang merupakan daftar yang berisikan data mengenai tanah.23 Rudolf Hemanes, seorang mantan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan Menteri Agraria, telah mencoba merumuskan mengenai apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah (cadaster). Menurut beliau yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah “pendaftaran atau pembukuan bidang-bidang tanah dalam daftar-daftar, berdasarkan pengukuran dan pemetaan, yang seksama dari bidang-bidang itu.”24 Dari segi istilah, ditemukan istilah pendaftaran tanah dalam bahasa Latin disebut “Capitastrum”, di Jerman dan Italia dsebut “Catastro”, di Belanda dan 23
Boedi Harsono, op.cit., hal. 74 Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 2, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 1 24
Indonesia dikenal dengan istilah “Kadastrale”. Menurut Parlindungan, pendaftaran tanah berasal dari kata cadastre suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini menurut bahasa Latin berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti yang tegas, Cadastre adalah record pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dan juga sebagai continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak atas tanah.25 Menurut Douglass J. Willem, pendaftaran tanah adalah pekerjaan yang continue (berkelanjutan) dan consistence (konsisten) atas hak seseorang sehingga memberikan informasi dan data administrasi atas bagian-bagian tanah yang didaftarkan, sebagaimana disebutkan sebagai berikut: The register consists of the individual grant, certificates of folios contained whitin it at anygiven time added to these are documents that may be deemed to be embodied in the register upon registration. There are also ancillary register which assist in the orderly administration of the system such as a parcel index, a nominal index losting. Together these indicated in the parcel of land in a particular title, the person entitle to interest there in.26(Pendaftaran terdiri dari hibah individu, lembar sertifikat pada waktu diberikan dan ditambahkannya ke dokumen ini yang terdaftar pada saat pendaftaran. Ada juga daftar tambahan yang membantu dalam tertib sistem administrasi seperti indeks bidang, indeks nominal losting. Bersama ini
25
Parlindungan I, op. cit., hal 18-19. M. Yamin Lubis dan A. Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat M. Yamin Lubis II), hal. 103, dikutip dari Douglas J. Whillam, 1992, The Torren System In Australia, Sydney Melbourne Brisbone Perth, hal. 18 26
ditunjukkan dalam sebidang tanah dalam keterangan hak tertentu, orang tersebut berhak untuk kepentingan yang ada di dalamnya.)
Pengertian pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 1 angka 1 PP 24 Tahun 1997, yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Definisi pendaftaran tanah dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) PP Nomor 10 Tahun 1961 yang hanya meliputi pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.27 2.3.2 Tujuan Diselenggarakannya Pendaftaran Tanah Tujuan pendaftaran tanah berdasarkan UUPA adalah untuk mendapatkan kepastian hukum bagi semua orang dan kepastian hak kepada setiap pemegang hak 27
Ibid., hal. 138
atas tanah. Adanya hukum tertulis maka pihak-pihak yang bersangkutan jika memerlukannya akan mudah mengetahui kaidah-kaidah hukumnya dan juga akan dengan
mudah
mengetahui
wewenang-wewenang
dan
kewajiban-kewajiban
berkenaan dengan tanah dan sumber-sumber alam lainnya. Judit Bray menambahkan tujuan dari pendaftaran tanah adalah untuk membuat sistem yang akan mengungkapkan semua rincian yang relevan tentang siapa yang memiliki setiap bagian dari tanah dan semua hak dan kepentingan yang mengikat tanah.28 Tujuan pendaftaran tanah adalah adanya kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Dengan kepastian hak setidak-tidaknya akan dicegah sengketa tanah.29 Pendaftaran tanah dilakukan bagi kepentingan pemegang hak atas tanah, agar dengan mudah dapat membuktikan bahwa dialah yang berhak atas suatu bidang tanah tertentu.30 Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah yang dikenal juga dengan sebutan Rechts Cadaster atau Legal Cadaster ini, meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak dan kepastian obyek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. 31 Kebalikan dari pendaftaran tanah yang Rechts Cadaster, adalah Fiscal Cadaster, yaitu pendaftaran tanah yang bertujuan untuk menetapkan siapa yang wajib membayar pajak atas tanah. Pendaftaran tanah ini menghasilkan surat tanda bukti 28
Judit Bray, op. cit., hal. 51 Adrian Sutedi, 2009, Tinjauan Hukum Pertanahan, Pradnya Paramita, (selanjutnya disingkat Adrian II), Jakarta, hal 1. 30 Aartje Tehupeiory, op. cit., hal. 9 31 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, cet. 2, Kencana, Jakarta, hal. 2 29
pembayaran pajak atas tanah, yang sekarang dikenal dengan sebutan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB).32 Pendaftaran tanah menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun pemegang hak atas tanah. Tujuan pendaftaran tanah dimuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 PP 24 Tahun 1997 yaitu: 1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA. Maka memperoleh sertifikat, bukan sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh undang-undang.33 Jaminan kepastian hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah meliputi: a. Kepastian status hak yang didaftar, yang artinya pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti status hak yang didaftar, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan, atau Tanah Wakaf.
32 33
Ibid. Boedi Harsono, op. cit., hal. 473
b. Kepastian subjek hak, yang artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti pemegang haknya, apakah perseorangan (warga negara Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia), sekelompok orang secara bersama-sama, atau badan hukum, (badan hukum privat atau badan hukum publik). c. Kepastian obyek hak, yang artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti letak tanah, batas-batas tanah dan ukuran (luas) tanah. Letak tanah berada di mana, batas-batas tanah yang meliputi sebelah utara, selatan, timur dan barat berbatasan dengan siapa atau tanah apa. 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang susah didaftar. Untuk melaksanakan fungsi informasi, data fisik dan data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum, sehingga baik Pemerintah maupun masyarakat dapat dengan mudah memperoleh informasi tentang data di lembaga pertanahan dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota apabila ingin mengadakan suatu perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar, misalnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum, lelang atau pembebanan Hak Tanggungan.
3. Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan dengan menjalankan Program Pemerintah di bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Pertanahan, yaitu: a. Tertib Hukum Pertanahan; b. Tertib Administrasi Pertanahan; c. Tertib Penggunaan Tanah; dan d. Tertib Pemeliharaan Tanah dan Kelestarian Lingkungan Hidup. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Usaha untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan tersebut adalah dengan wajib mendaftarkan setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun.34 2.3.3 Obyek Pendaftaran Tanah Dalam UUPA ditentukan bahwa obyek hak atas tanah yang didaftarkan adalah Hak Milik yang mana diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, selanjutnya disingkat UU 40 tahun 1996, Hak Guna Usaha (HGU) yang diatur dalam Pasal 32 UU 40 tahun 1996, Hak Guna Bangunan (HGB) yang diatur dalam Pasal 38 UU 40 tahun 1996, dan Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 UU 40 tahun 1996, sedangkan Hak Sewa untuk
34
Urip Santoso, op. cit., hal 18-21
bangunan tidak wajib didaftar. Menurut Pasal 9 PP 24 Tahun 1997, obyek pendaftaran tanah adalah sebagai berikut: 1. Hak Milik Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA, pengertian mengenai hak milik yaitu “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA.” Hak Milik hanya dapat dipunyai oleh:
a. Hanya Warga Negara Indonesia b. Bank Pemerintah atau badan keagamaan dan badan sosial (Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan) 2. Hak Guna Usaha Pasal 28 ayat (1) UUPA menentukan bahwa “Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.” Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3643), selanjutnya disingkat PP Nomor 40 Tahun 1996, jangka waktu Hak Guna Usaha adalah untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun, dapat
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 35 tahun. Hak Guna Usaha hanya dapat dipunyai oleh: a. Warga Negara Indonesia b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
3. Hak Guna Bangunan Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UUPA menentukan bahwa “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.” Hak Guna Bangunan dapat terjadi pada tanah negara, tanah Hak Pengelolaan dan tanah Hak Milik. Jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik menurut Pasal 29 PP Nomor 40 Tahun 1996 adalah paling lama 30 tahun, tidak dapat diperpanjang, tetapi dapat diperbarui haknya atas kesepakatan pihak pemilik tanah dan pemegang Hak Guna Bangunan. Hak Milik hanya dapat dipunyai oleh:
a. Warga Negara Indonesia b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 4. Hak Pakai Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa: Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak Pakai ada yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan dan ada yang diberikan untuk jangka waktu yang ditentukan. Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu diberikan kepada Departemen, Lembaga Pemerintah, NonDepartement, Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perwakilan Badan Internasional, Badan Keagamaan dan Badan Sosial. Jangka waktu Hak Pakai atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan adalah untuk pertama kalinya paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Jangka waktu Hak Pakai atas tanah Hak Milik adalah paling lama 25
tahun, tidak dapat diperpanjang, tetapi dapat diperbarui haknya atas kesepakatan pihak pemilik tanah dan pemegang Hak Pakai. Hak Pakai hanya dapat dipunyai oleh: a. Warga Negara Indonesia b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. c. Departemen, Lembaga Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Non-Departemen. d. Badan keagamaan dan sosial. e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.
5. Tanah Hak Pengelolaan Hak Pengelolaan menurut Pasal 1 angka 2 PP Nomor 40 Tahun 1996 jo. Pasal 1 angka 4 PP 24 Tahun 1997 jo. Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 jo. Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Hak Pengelolaan hanya dapat dipunyai oleh: a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah. b. Badan Usaha Milik Negara.
c. Badan Usaha Milik Daerah. d. PT e. Badan Otorita. f. Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah. 6. Tanah Wakaf Wakaf tanah Hak Milik diatur dalam Pasal 49 ayat (3) UUPA, yaitu perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3107), yang dimaksud dengan wakaf adalah “Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagain dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.” Hak atas tanah yang dapat diwakafkan untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan lainnya menurut ajaran Agama Islam hanyalah Hak Milik. 7. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Menurut Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318), yang dimaksud Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun adalah, “Hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah, meliputi juga hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.” 8. Hak Tanggungan Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632), menyatakan bahwa : Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
9. Tanah Negara Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 PP 24 Tahun 1997, yang dimaksud dengan tanah negara adalah, “Tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.” Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang
memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran. Tanah negara tidak disediakan buku tanah dan oleh karenanya di atas tanah negara tidak diterbitkan sertifikat.35 2.3.4 Sistem Pendaftaran Tanah Sistem pendaftaran tanah yang diterapkan di suatu negara didasarkan pada asas hukum yang dianut oleh negara tersebut dalam mengalihkan hak atas tanah. Asas hukum yang dianut ada dua, yaitu asas itikad baik dan asas nemo plus yuris. Asas itikad baik berarti orang yang memperoleh suatu hak dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum,36 sedangkan asas nemo plus yuris yang berarti orang tidak dapat mengalihkan hak melebihi hak yang ada padanya, berdasarkan asas ini maka pengalihan hak oleh orang yang tidak berhak adalah tidak diperbolehkan dan batal demi hukum dengan tujuan melindungi pemegang hak yang sebenarnya.37 Sistem publikasi yang digunakan untuk asas itikad baik adalah sistem publikasi positif, sedangkan sistem asas nemo plus yuris menggunakan sistem publikasi negatif. Di dunia ini tidak ada satu negara yang menganut salah satu asas tersebut secara murni, karena masing-masing asas ini memiliki kelebihan dan kekurangan.38 2.3.4.1 Sistem Publikasi Positif 35
Ibid., hal. 25-30 Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, cet. 4, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya di singkat Adrian III), hal. 116 37 Andy Hartanto, 2014, Hukum Pertanahan: Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya, cet. 2, LaksBang, Surabaya, hal. 48 38 Adrian III, op. cit., hal. 117-118 36
Sistem publikasi positif digunakan untuk melindungi orang yang memperoleh suatu hak dengan itikad baik. Sistem publikasi positif mengandung pengertian apa yang terkandung dalam buku tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak, sehingga pihak ketiga yang bertindak atas bukti-bukti tersebut mendapatkan perlindungan yang mutlak, meskipun di kemudian hari terbukti bahwa keterangan yang terdapat di dalamnya tidak benar. Mereka yang dirugikan akan mendapat kompensasi dalam bentuk lain. Menurut Arie S. Hutagalung sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso, orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya dan negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang dilakukan adalah benar.39 Ciri-ciri Pendaftaran tanah yang menggunakan sistem publikasi positif adalah: 1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak (registration of titles). 2. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat mutlak, yaitu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat tidak dapat diganggu gugat dan memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah. 3. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendaftaran tanah adalah benar. 4. Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik mendapatkan perlindungan hukum yang mutlak. 5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat tanah mendapatkan kompensasi dalam bentuk yang lain. 6. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah membutuhkan waktu yang lama, petugas pendaftaran tanah melaksanakan tugasnya dengan sangat teliti, dan biaya yang relatif tinggi.
39
Urip Santoso, op. cit., hal. 263-264
Sistem publikasi positif memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, kelebihan dari sistem publikasi positif adalah: 1. Adanya kepastian dari buku tanah yang bersifat mutlak. 2. Pelaksana pendaftaran tanah bersifat aktif dan teliti. 3. Mekanisme kerja dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah mudah dimengerti orang lain. Menurut Arie S. Hutagalung, kelebihan dari sistem publikasi positif adalah: 1. Adanya kepastian hukum bagi pemegang sertifikat. 2. Adanya peranan aktif pejabat kadaster. 3. Mekanisme penerbitan sertifikat dapat dengan mudah diketahui publik. Sedangkan kekurangan dari sistem publikasi positif menurut Sudikno Mertokusumo adalah: 1. Akibat dari pelaksanaan pendaftaran tanah bersifat aktif, waktu yang digunakan sangat lama. 2. Pemilik hak atas tanah yang sebenarnya berhak akan kehilangan haknya. 3. Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang administrasi, yaitu dengan diterbitkannya sertifikat tidak dapat diganggu gugat.
Hal yang senada dikemukakan oleh Arie S. Hutagalung yang mengemukakan beberapa kekurangan sistem pendaftaran positif: 1. Pemilik tanah yang sesungguhnya akan kehilangan haknya karena tanah tersebut telah ada sertifikat atas nama pihak lain yang tidak dapat diubah lagi. 2. Peranan aktif pejabat kadaster memerlukan waktu dan prasarana yang mahal.
3. Wewenang pengadilan administrasi.40
diletakkan
dalam
wewenang
pengadilan
2.3.4.2 Sistem Publikasi Negatif Sistem publikasi negatif digunakan untuk melindungi pemegang hak yang sebenarnya, sehingga pemegang hak yang sebenarnya akan selalu dapat menuntut kembali haknya yang terdaftar atas nama siapa pun.41 Pada sistem publikasi negatif sertifikat yang dikeluarkan merupakan tanda bukti hak atas tanah yang kuat. Ini berarti semua keterangan yang terdapat di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar oleh hakim, selama tidak dibuktikan sebaliknya dengan menggunakan alat pembuktian yang lain.42 Dalam sistem publikasi negatif negara hanya secara pasif menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran, sehingga setiap saat dapat digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah tersebut.43 Sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deed). 2. Sertifikat yang diterbitkan sebagai tanda bukti hak bersifat kuat, yaitu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat dianggap benar sepanjang tidak 40
Ibid., hal. 264-265. Adrian III, op. cit., hal. 118. 42 Urip Santoso, loc.cit. 43 Ibid., hal. 266 41
dibuktikan sebaliknya oleh alat bukti yang lain. Sertifikat bukan satu-satunya tanda bukti hak. 3. Negara sebagai pendaftar tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam pendaftaran tanah adalah benar. 4. Dalam sistem publikasi ini menggunakan lembaga kedaluwarsa (aqquisitive verjaring atau adverse possessive). 5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat ataupun gugatan ke pengadilan untuk meminta agar sertifikat dinyatakan tidak sah. 6. Petugas pendaftaran tanah bersifat pasif, yaitu hanya menerima apa yang dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran tanah. Kelebihan dari sistem publikasi negatif menurut Arie S. Hutagalung adalah: 1. Pemegang hak yang sesungguhnya terlindungi dari pihak lain yang tidak berhak atas tanahnya. 2. Adanya penyelidikan riwayat tanah sebelum penerbitan sertifikat. 3. Tidak adanya batas waktu bagi pemilik tanah yang sesungguhnya untuk menuntut haknya yang telah disertifikatkan oleh pihak lain.
Sedangkan kekurangan dari sistem publikasi negatif menurut Arie S. Hutagalung adalah: 1. Tidak ada kepastian atas keabsahan sertifikat karena setiap saat dapat atau mungkin saja digugat dan dibatalkan jika terbukti tidak sah penerbitannya.
2. Peranan pejabat pendaftaran tanah/adaster yang pasif tidak mendukung ke arah akurasi dan kebenaran data yang tercantum dalam sertifikat. 3. Mekanisme kerja pejabat kadaster yang kurang transparan kurang dapat dipahami masyarakat awam.44 2.3.4.3 Sistem Publikasi di Indonesia Mengacu kepada Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP 24 Tahun 1997, sistem publikasi yang digunakan di Indonesia adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif.45 Hal ini dapat ditunjukkan dari hal-hal berikut: 1. Pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak (sistem publikasi negatif). 2. Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat (sistem publikasi negatif). 3. Petugas pendaftaran tanah bersifat aktif meneliti kebenaran data fisik dan yuridis (sistem publikasi positif). 4. Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum (sistem publikasi positif). 5. Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertifikat dapat mengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat
44 45
Ibid., hal. 267-268. Boedi Harsono, op. cit., hal. 477.
atau mengajukan gugatan ke pengadilan agar sertifikat dinyatakan tidak sah (sistem publikasi negatif).46 Surat tanda bukti hak yang hanya memiliki kekuatan pembuktian yang kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang mutlak juga menciptakan ketidakpercayaan masyarakat dalam mengurus haknya, karena masyarakat menganggap dengan mempertahankan bukti hak yang lama sudah meyakinkan pemiliknya terhindar dari malapetaka gugatan dari pihak ketiga, sehingga masyarakat enggan mengurus hak atas tanahnya (melakukan pendaftaran). Masyarakat juga enggan dengan mendaftarkan tanahnya karena mahalnya biaya pengurusan dan jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, sering yang mendaftarkan tanah itu hanyalah orang yang bermaksud untuk menggunakan bukti hak atas tanah itu sebagai jaminan hutang.47 Persoalan mendasar sebagai bentuk publikasi dengan karakter negatif (berunsur positif) adalah tidak adanya kompensasi yang diberikan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan dalam rangka penerbitan sertifikat hak atas tanahnya. Artinya bahwa sistem publikasi ini tidak didapati adanya pertanggungjawaban atas produk sertifikat yang diterbitkan.48
46
Urip Santoso, op.cit., hlm. 271-272 Adrian Sutedi, 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya di singkat adrian IV), hal. 211-212 48 Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan, Thafa Media, Yogyakarta, hal. 247 47
2.3.5 Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Penyelenggaraan pendaftaran tanah dilakukan oleh pemerintah dan bukan oleh swasta. Dalam hal ini, secara operasional instansi penyelenggaranya adalah Kantor Pertanahan Seksi Pendaftaran Tanah, yang terdapat pada setiap Daerah Tingkat II Kabupaten atau Kotamadya. Dalam rangka menyelenggarakan pendaftaran tanah penting sekali untuk diketahui di mana lokasi (kelurahan atau desa) tanah itu berada.49 Sebenarnya pada masa lalu di beberapa daerah pernah diselenggarakan pendaftaran tanah untuk tujuan fiskal, tetapi oleh masyarakatnya diberi arti juga sebagai bersifata yuridis. Pendaftaran tanah ini ada yang didasarkan pada hukum adat setempat, ada yang didasarkan pada peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat, ada pula yang didasarkan pada peraturan yang bersifat nasional misalnya saja: 1. Pendaftaran yang diselenggarakan oleh Kantor Pajak Hasil Bumi (Land rente), sekalipun pendaftaran tanah yang dilakukannya bersifat administratif sesuai dengan peraturan yang bersangkutan, tetapi di balik itu masyarakat menganggap surat pajak tersebut seakan-akan sebagai bukti hak atas tanahnya yang terkena pajak tersebut. Mereka belum merasa aman sebelum surat pajaknya ada di tangannya. Oleh karena itu, surat pajak ini bila memenuhi beberapa ketentuan dalam peraturan konversi dapat dijadikan alas hak untuk pengkonversiannya.
49
Aartje Tehupeiory, op. cit., hal. 14
2. Pendaftaran tanah Subak yang diselenggarakan oleh pengurus Subak di Bali berdasarkan hukum adat setempat. 3. Pendaftaran tanah hak Grant di Medan yang diselenggarakan berdasarkan peraturan Gemeente Medan. 4. Pendaftaran tanah yang diselenggarakan di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Kesultanan Yogyakarta.50 Pasal 11 PP 24 Tahun 1997 telah menentukan bahwa, penyelenggaraan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum terdaftar. Sedang pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek pendaftaran tanah yang didaftar.51 Aspek hukum yang terkandung dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali berdasarkan pada PP 24 Tahun 1997 meliputi: 1. Pengumpulan dan pengolahan data fisik, terdiri dari kegiatan pengukuran dan pemetaan, yang meliputi pekerjaan: a. Pembuatan peta dasar pendaftaran; b. Penetapan batas bidang-bidang tanah;
50 51
Adrian III, op. cit., hal. 116 M. Yamin Lubis II, op. cit., hal. 139
c. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran; d. Pembuatan daftar tanah; e. Pembuatan surat ukur; 2. Pembuktian hal dan pembukuannya, terdiri dari kegiatan pembuktian hak baru, pembuktian hak lama dan pembukuan hak a. Pembuktian hak baru, yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan dengan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku. b. Pembuktian hak lama, yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama, dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut, berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar haknya. c. Pembukuan hak, yakni kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan dengan mencatat atau mendaftarkan hak atas tanah dalam suatu buku tanah yang memuat data fisik dan data yuridis bidang tanah yang bersangkutan. 3. Penerbitan sertifikat, dilakukan oleh Kepala kantor Pertanahan untuk kepentingan atau diserahkan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, berfungsi sebagai surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
4. Penyajian data fisik dan data yuridis, dikaitkan dengan tujuan pendaftaran tanah dalam hal penyajian informasi yang berhak diketahui oleh kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan terbuka bagi instansi pemerintah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, disajikan dalam bentuk daftar umum yang terdiri dari peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah, dan daftar nama. 5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen, yakni kegiatan menyimpan data pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan menyangkut dokumen yang merupakan alat pembuktian yang digunakan sebagai dasar pendaftaran, antara lain berupa peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah, daftar nama, dapat disimpan dan disajikan dengan alat elektronik dan mikrofilm serta hanya dapat diberikan petikan, salinan dan rekaman dokumennya dengan izin tertulis dari pejabat yang berwenang, atau hanya dapat ditunjukkan atau diperlihatkan pada sidang pengadilan atas perintah pengadilan.52 Sedang pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisk dan data yuridis obyek pendaftaran tanah yang terdaftar. Perubahan-perubahan yang ada wajib didaftarkan oleh pemegang hak yang bersangkutan dan terhadap perubahan tersebut dilakukan penyesuaian dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikatnya.
52
Ibid., hal, 139-141
Aspek hukum pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau maintenance) berdasarkan pada PP 24 Tahun 1997 meliputi:
1. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, dalam hal ini peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan (dengan Akta PPAT), peralihan hak karena lelang (dengan risalah lelang), pemindahan hak karena pewarisan (dengan surat kematian dan surat tanda bukti sebagai ahli waris), peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi (dengan pengesahan oleh pejabat yang berwenang dan khusus dalam rangka likuidasi dengan akta Notaris atau PPAT), sedang pembebanan hak yakni pendaftaran pemberian hak tanggungan (dengan akta PPAT). 2. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya, yaitu kegiatan yang dilakukan antara lain: a. Karena perpanjangan jangka waktu hak atas tanah; b. Pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah; c. Pembagian hak bersama; d. Hapusnya hak atas tanah; e. Peralihan dan hapusnya hak tanggungan;
f. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.53 2.3.6 Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan karena adanya perubahan data baik itu perubahan data fisik maupun data yuridis. Perubahan data tersebut harus selalu didaftarkan di lembaga pertanahan (BPN), sehingga data yang tercantum di buku tanah dan sertifikat tanah selalu update dengan keadaan yang sebenarnya. Pemeliharaan data pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 1 angka 12 PP 24 Tahun 1997 adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Pemegang hak diwajibkan untuk mendaftarkan perubahan data fisik atau data yuridis kepada BPN. Perubahan data fisik yang dimaksud adalah apabila diadakan pemisahan, pemecahan atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah didaftar, sedangkan perubahan data yuridis sesuai dengan ketentuan Pasal 36 PP 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa pendaftaran tanah karena perubahan data yuridis terjadi apabila diadakan pembebanan atau pemindahan hak atas bidang tanah yang sudah terdaftar.
53
M. Yamin Lubis II, op. cit., hal, 141-142
Kegiatan pemeliharaan data yuridis dalam pendaftaran tanah sesuai dengan ketentuan PP 24 Tahun 1997 dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
2.
Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, terdiri dari: a.
Pemindahan hak;
b.
Pemindahan hak dengan lelang;
c.
Peralihan hak karena pewarisan;
d.
Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi;
e.
Pembebanan hak;
f.
Penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;
g.
Lain-lain.
Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, terdiri dari: a. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah; b. Pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah; c. Pembagian hak bersama; d. Hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun; e. Peralihan dan hapusnya hak tanggungan; f. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan; g. Perubahan nama.
Menurut Urip Santoso, perubahan data yuridis dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu:
1. Peralihan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya; 2. Peralihan hak karena pewarisan; 3. Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi; 4. Pembebanan hak tanggungan; 5. Peralihan hak tanggungan; 6. Hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan; 7. Pembagian hak bersama; 8. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan pengadilan atau penetapan ketua pengadilan; 9. Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama; 10. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah.54 Lebih lanjut menurut Urip Santoso perubahan data fisik dapat terjadi karena: 1. Pemecahan bidang tanah; 2. Pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang tanah; 3. Penggabungan dua atau lebih bidang tanah.55 PP 24 Tahun 1997 hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum, sedangkan ketentuan-ketentuan yang lebih rinci diatur dalam peraturan pelaksana tersendiri, sehingga aturan-aturan mengenai pendaftaran tanah dapat lebih mudah untuk mengikuti perkembangan teknologi. Saat ini peraturan pelaksana dari PP 24 Tahun 1997 yang berlaku adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
54 55
Urip Santoso, op. cit., hlm. 36 Ibid.
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat Perkaban 3/1997).56
56
Wibowo turnady, 2013, http://www.jurnalhukum.com/pelaksanaan-pendaftaran-tanah, diakses pada 22 April 2015.