BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEDIASI SEBAGAI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA 2.1
Tinjauan Umum Mengenai Pengertian Dan Model-Model Mediasi
2.1.1 Pengertian Mediasi Mediasi merupakan istilah yang berasal dari bahasa Inggris, yaitu Mediation. Mediasi berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa atau bernuansa sosial dan legal. Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan. Namun, istilah mediasi tidak mudah untuk didefinisikan secara lengkap dan menyeluruh, karena cakupannya cukup luas. Mediasi tidak memberikan suatu model yang dapat diuraikan secara terperinci dan dibedakan dari proses pengambilan keputusan lainnya.1 Dalam mediasi, penyelesaian sengketa lebih banyak muncul dari keinginan dan inisiatif para pihak, sehingga mediator berperan membantu mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan. Istilah mediasi cukup gencar dipopulerkan oleh para ilmuan yang berusaha mengungkap secara jelas berbagai pengertian mediasi, yaitu : a. Gary Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan
1
Gatot Sumartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 119.
pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.2 b. Laurence Bolle menyatakan “mediation is a decision making process in which the parties are assisted by a mediator; the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties the reach an outcome to which of them can assent.”3 c. Pengertian mediasi yang agak luas diberikan oleh The National Alternative Dispute Resolution Advisory Council. Menurut David Spencer dan Michael Brogan dalam bukunya Mediation Law and Practice yaitu Mediation is a process in wich the parties to a dispute, with the assistance of a dispute resolution practitioner (a mediator), identify the dispute issues, develop options, consider alternatives and endevour to reach an agreement.4 d. Christopher W. Moore menegaskan bahwa mediasi adalah intervensi terhadap negosiasi. Ia menyebutkan “The intervention in a negotiation or conflict of an acceptable third party who has limited or no authoritative decision making power, but assist the involved paties in voluntarily reaching a mutually acceptable sattlement of issues in dispute.”5
2
Gary Goopaster, 1999, Panduan Negosiasi dan Mediasi, diterjemahkan oleh Nogar Simanjuntak, ELIPS Project, Jakarta, hal. 201. 3
Laurence Bolle, 1996, Mediation: Principles, Process, and Practice, New York,
hal. 1. 4
David Spencer dan Michael Brogan, 2006, Mediation Law and Practice, Cambridge: Cambrigde University Press, hal. 9. 5
Christopher W. Moore, 1996, The Mediation Process: Practical Strategies For Resolving Conflict, Jossey-Bass Publisher, San Francisco, hal. 15.
Dengan demikian ada 4 hal yang mendasar dari pengertian mediasi tersebut, yaitu : a.Adanya sengketa yang harus diselesaikan, b. Penyelesaian melalui perundingan, c. Tujuan perundingan untuk memperoleh kesepakatan, dan d.Peranan Mediator dalam membantu penyelesaian. 2.1.2 Model-Model Mediasi Menurut Lawrence Boulle terdapat empat model mediasi yang diklarifikasikan untuk menemukan peran mediator dan para pihak serta posisi sengketa tersebut.6 Adapun keempat model mediasi tersebut antara lain : 1. Settlement Mediation Settlement Mediation atau mediasi kompromi merupakan mediasi yang bertujuan untuk menghasilkan kompromi dari tuntutan para pihak yang sedang bertikai.Dalam model mediasi ini mediator berperan untuk menentukan “bottom list” dan menjadi pihak yang secara persuasif mendorong para pihak untuk mencapai titik kompromi. Biasanya mediator dalam mediasi model ini adalah mediator yang berstatus tinggi dan tidak menekankan kepada keahlian dalam proses atau teknik mediasi. 2. Facilitative Mediation Facilitative mediation disebut juga mediasi yang berbasis kepentingan.Menurut Allan J. Stitt bertujuan untuk menghindari para pihak yang bersengketa dari posisi mereka dan menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan para pihak dan
6
Syahrizal Abbas, op.cit, hal. 31.
hak-hak legal mereka secara kaku.7 Dimana dalam Facilitative mediation ini memiliki beberapa prinsip antara lain : a. Prosesnya terstruktur, b. Lebih menekankan kepada kebutuhan dan kepentingan para pihak, c. Mediator mengarahkan negosiasi para pihak menjadi interest based negotiation dengan tujuan penyelesaian yang saling menguntungkan, d. Mediator penting untuk memahami proses dan teknik mediasi agar mampu mengarahkan para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian. 3. Transformative Mediation Transformative mediation atau theurapic model atau rekonsiliasi adala suatu model mediasi yang menekankan kepada pencarian akar atau penyebab masalah yang mendasari munculnya sengketa guna meningkatkan hubungan para pihak melalui pengakuan dan pemberdayaan para pihak.8 Berdasarkan pemaparan tersebut maka dari mediasi model ini didapat beberapa prinsip yang mendasari proses pelaksanaan mediasi, yaitu : a. Mediator bertugas untuk mencari sebab sengketa tersebut terjadi sehingga mediator yang berperan harus memiliki kemampuan yang baik dalam counseling, b. Dalam pelaksanaan mediasi tuntut adanya pengakuan dari para pihak sehingga dapat diambil penyelesaian masalah yang sifatnya mampu memperbaiki hubungan antara para pihak,
7
Syahrizal Abbas, op.cit, hal. 32.
8
Syahrizal Abbas, op.cit, hal. 33.
c. Para pihak yang bersengketa wajib menghilangkan hubungan emosional dan berterus-terang untuk dicarikan solusi agar mediator dapat memperbaiki hubungan dari para pihak. 4. Evaluative Mediation Evaluative mediation atau mediasi normatif merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan hak legal dari para pihak dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan.Peran mediator dalam mediasi ini adalah memberikan saran dan prediksi tentang hasil yang didapat. Beberapa prinsip dari model mediasi ini antara lain : a. Para pihak berharap mediator akan menggunakan keahliannya dalam mengarahkan penyelesaian sengketa yang telah diperkirakan terhadap masalah tersebut, b. Fokus mediasi tertuju pada hak melalui standar penyelesaian atas kasus yang serupa, c. Mediator adalah orang yang ahli dan terkualifikasi secara legal.
2.2
Prinsip-Prinsip Mediasi Prinsip atau filosofi ini merupakan kerangka kerja yang harus diketahui oleh
mediator, sehingga dalam menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi lahirnya institusi mediasi.9 Menurut David Spencer dan Michael Brogan dengan merujuk pada pandangan Ruth Carlton yang menyatakan bahwa terdapat
9
John Michael Hoynes, Cretchen L. Haynes, dan Larry Sun Fang, 2004, Mediation: Positive Conflict Management, SUNY Press, New York, hal. 16.
5 (lima) prinsip yang mendasari mediasi dan dikenal dengan nama lima dasar filsafat mediasi.10 Kelima prinsip itu sendiri terdiri dari : prinsip kerahasiaan; prinsip sukarela; prinsip pemberdayaan; prinsip netralitas; dan prinsip solusi yang unik. Penjelasan dari masing-masing prinsip tersebut oleh Syahrizal Abbas dalam bukunya dijabarkan sebagai berikut :11 1. Prinsip Kerahasiaan Prinsip kerahasiaan atau confidentiality dalam mediasi berarti segala sesuatu yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan mediator dan para pihak yang bersengketa bersifat rahasia dan tidak boleh diberitahukan kepada publik oleh mereka yang terlibat didalam pertemuan tersebut (baik para pihak maupun mediator).Dalam pertemuan tersebut masing-masing pihak menjamin kerahasiaan sehingga para pihak dapat mengungkapkan permasalahan secara terbuka. Urgensi prinsip ini adalah untuk memberikan ruang bagi para pihak agar dalam membicarakan masalahnya dalam proses mediasi dapat berlangsung secara kondusif dan terbuka untuk menemukan solusi yang tepat untuk sengketa yang dihadapi guna mampu menemukan kebutuhan dan kepentingan masing-masing pihak. 2. Prinsip Sukarela Prinsip sukarela atau volunteer bermakna para pihak yang sedang bersengketa datang atau memilih prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi atas keinginan dan kemauan sendiri secara sukarela tanpa tekanan dan paksaan orang
10
Syahrizal Abbas, op.cit., hal. 28.
11
Syahrizal Abbas, op.cit., hal. 29-30.
lain. Prinsip ini dibangun atas dasar para pihak yang bersengketa akan mau bekerjasama untuk mau menemukan jalan keluar apabila mereka secara sadar datang ke tempat perundingan atas pilihan mereka sendiri. Serupa dengan penjelasan diatas, menurut Kathy Domenici dan Stephen Littlejohn disebutkan bahwa, “most mediation programs are voluntary and parties choose to come to the mediation table; each parties has the power to bring about the resolution”.12 3. Prinsip Pemberdayaan Prinsip pemberdayaan atau empowermentdidasarkan kepada asumsi bahwa para pihak yang akan melakukan mediasi pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga dalam mediasi yang diberdayakan dalam proses penyelesaian sengketa adalah para pihak. Para pihaklah yang berdiskusi dengan difasilitasi oleh mediator dalam hal menemukan solusi atas permasalahan atau sengketanya.Sehingga dalam perundingan keberadaan para pihak oleh satu dengan lainnya harus dihargai.Oleh karena itu solusi sebaiknya datang langsung dari para pihak yang berunding bukan dari luar sehingga lebih mudah diterima. 4. Prinsip Netralitas Prinsip netralitas atau neutrality bermakna mediator hanya berperan untuk memfasilitasi prose mediasi saja dan bersifat netral dan tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa. Dalam proses mediasi, mediator hanya berwenang untuk mengontrol proses mediasi untuk berjalan sesuai dengan prosedurnya dan tidak bertindak sebagai hakim atau juri yang berwenang untuk memutuskan satau atau
12
Kathy Domenici dan Stephen W. Littlejohn, 2001, Mediation, Empowerment in Conflict Management, Waveland Press, United State of America, hal. 31.
benarnya para pihak serta tidak berhak untuk memaksakan pendapat atau penyelesaian bagi para pihak. 5. Prinsip Solusi yang Unik Prinsip solusi yang unik bermakna solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses yang kreatif. Sehingga hasil mediasi mengacu atau sesuai dengan keinginan para pihak karena erat kaitannya dengan prinsip pemberdayaan.
2.3
Sejarah dan Dasar Hukum Mediasi Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai telah dipraktikan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan (komunalitas) dalam masyarakat. Penyelesaian konflik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebebasan” yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa yang dapat memuaskan para pihak dapat ditempuh melalui mekanisme musyawarah dan mufakat. Penerapan prinsip musyawarah ini umumnya dilakukan di luar pengadilan. Mediasi adalah satu diantara sekian banyak Alternatif Penyelesaian Sengketa atau biasa dikenal dengan istilah ”Alternative Dispute Resolution” yang tumbuh pertama kali di Amerika Serikat. Mediasi dapat dilihat sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) yang merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternatif Dispute Resolution
( ADR ) akan tetapi dapat juga berwujud mediasi peradilan (Court Mediation). Mediasi ini lahir dilatarbelakangi oleh lambannya proses penyelesaian sengketa
di
pengadilan, oleh karena itu mediasi ini muncul sebagai jawaban atas ketidakpuasan yang berkembang pada sistem peradilan yang bermuara pada persoalan waktu, biaya dan kemampuannya dalam menangani kasus yang kompleks. Pada hal di nusantara
telah
lama
dipratekkan
tentang
penyelesaian sengketa
melalui
musyawarah. Istilah khusus dalam pengadilan disebut dengan mediasi. Mediasi sangat sulit diberi pengertian. Pada awalnya, mediasi sebenarnya merupakan lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat di luar lembaga pengadilan.13Dimensinya sangat jamak dan tak terbatas. Sehingga banyak orang yang menyebutkan mediasi tidak mudah diberi definisi. ”Mediationis not easy to definite”.14 Mediasi sebagai institusi penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh hakim (aparatur negara) di pengadilan atau para pihak lain di luar pengadilan, sehingga keberadaannya memerlukan aturan hukum. 2.3.1 Masa Kolonial Belanda Pada masa Kolonial Belanda pengaturan penyelesaian sengketa melalui upaya damai lebih banyak ditujukan pada proses damai di lingkungan peradilan, sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Kolonial Belanda cenderung memberikan kesempatan pada hukum adat. Belanda meyakini hukum adat mampu menyelesaikan
13
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2014, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal. 14. 14 Laurence Bolle, op.cit, hal. 3.
sengketa kaum pribumi secara damai, tanpa memerlukan intervensi pihak penguasa Kolonial Belanda.15 Pada masa Kolonial Belanda lembaga pengadilan diberikan kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Hakim diharapkan mengambil peran maksimal dalam proses mendamaikan para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 130 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941: 44), atau Pasal 154 R.Bg (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad, 1927: 227)atau Pasal 31 Rv (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad, 1874: 52), disebutkan bahwa hakim atau majelis hakim akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara mereka diputuskan. Peraturan perundang-undangan pada masa Belanda juga mengatur penyelesaian sengketa melalui upaya damai di luar pengadilan. Upaya tersebut dikenal dengan arbitrase. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 615-651 Rv (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad, 1874: 52), atau Pasal 377 HIR (Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941: 44), atau Pasal 154 R.Bg (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad, 1927: 227), atau Pasal 31 Rv (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad, 1874: 52). Ketentuan dari pasal-pasal ini antara lain berbunyi: jika orang bangsa bumiputra dan orang Timur Asing hendak menyuruh memutuskan perselisihannya oleh juru pemisah, maka dalm hal ini mereka wajib menurut peraturan mengadili perkara bagi bangsa Eropa.16
15
Syahrizal Abbas, op.cit., hal. 286.
16
R.Tresna, 1979, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 298.
2.3.2 Masa Kemerdekaan Sampai Sekarang Dalam Pasal 24 UUD 1945 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam peradilan di Indonesia, proses penyelesaian perkara/sengketa menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Asas ini berlaku pada lembaga pemegang kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan badanbadan peradilan di bawahnya. Penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan mengalami kendala dalam praktik peradilan, karena banyaknya perkara masuk, terbatasnya tenaga Hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan terutama peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota. Hal ini disebabkan sistem hukum Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dimintakan upaya hukumnya, baik upaya banding, kasasi dan bahkan peninjauan kembali. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini telah mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan (acces to justice) guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan, karena berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia. Ketentuan mengenai mediasi baru ditemukan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Pemerintah (PP) No.
54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. UU No. 30 Tahun 1999 membawa perubahan penting bagi pola penyelesaian sengketa dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat cenderung berpikir bahwa ketika terjadi konflik atau sengketa, maka yang terbayang adalah pengadilan. Namun, ketika berhadapan dengan pengadilan, para pihak yang bersengketa menghadapi persoalan antara lain waktu, biaya dan mungkin persoalan mereka diketahui oleh publik. UU No. 30 Tahun 1999 membawa angin baru bagi para pihak yang ingin menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan menganut prinsip sama-sama menguntungkan (win-win solution), dan berbeda dengan penyelesaian sengketa di pengadilan dimana prinsip yang dianut adalah menang-kalah. Undang-undang ini memberikan dorongan kepada para pihak bersengketa agar menunjukan itikad baik, karena tanpa itikad baik apa pun yang diputuskan di luar pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan. Prinsip win-win solution dan penyelesaian sengketa secara cepat telah menjadi pilihan masyarakat akhir-akhir ini, shingga keberadaan UU No. 30 Tahun 1999 benar-benar memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang semakin berkembang. Kedua peraturan perundang-undangan diatas, yaitu UU No. 30 Tahun 1999 dan PP No. 54 Tahun 2000 mengatur sejumlah ketentuan menyangkut mediasi di luar pengadilan. Ketentuan mengenai mediasi di pengadilan diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perma ini menempatkan mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara yang diajukan para pihak ke pengadilan.
Mediasi menjadi suatu kewajiban yang harus ditempuh hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan.
2.4
Perbandingan Mediasi di Luar Pengadilan Dengan Mediasi di Pengadilan
2.4.1 Mediasi Di Luar Pengadilan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 merupakan landasan yuridis bagi penyelenggaraan mediasi di luar pengadilan. UU No. 30 Tahun 1999 menekankan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menempuh cara arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa yang di dalamnya meliputi konsultasi, negosiasi, fasilitasi, mediasi atau penilaian ahli. Penyelesaian sengketa melalui mediasi di luar pengadilan bukan berarti mediasi tidak ada kaitan sama sekali dengan pengadilan. Mediasi tetap memiliki keterkaitan dengan pengadilan terutama menyangkut hasil kesepakatan para pihak dalam mediasi. Proses pelaksanaan mediasi di luar pengadilan dalam UU No. 30 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 6 yang berbunyi: 1. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatifpenyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkanpenyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri. 2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketasebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihakdalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatukesepakatan tertulis.
3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapatdiselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapatdiselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorangmediator. 4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuanseorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapaikata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihakdapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketauntuk menunjuk seorang mediator. 5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaiansengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai. 6. Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksuddalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh )hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihakyang terkait. 7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final danmengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di PengadilanNegeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. 8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat(7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6)tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukanusaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc. Bila kesepakatan telah dicapai melalui proses mediasi, maka kesepakatan tersebut wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai, yang ditandatangai oleh para pihak dan mediator. Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kesepakatan tersebut, maka lembaga asli atau salinan autentik kesepakatan diserahkan dan didaftarkan pada panitera pengadilan negeri. Penyerahan dan pendaftaran salinan autentik kesepakatan dilakukan oleh mediator atau salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa.
2.4.2 Mediasi Di Pengadilan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses beracara pada pengadilan. Mediasi menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi pada pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam hukum acara Pasal 130 HIR atau Pasal 154 R.Bg. Mediasi mendapatkan kedudukan penting dalam Perma Mediasi karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan. Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan
bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. Dalam mediasi di pengadilan para pihak diberikan kebebasan menentukan mediator mana yang akan dipilih, dan dalam waktu satu hari ia harus memberikan keputusan. Karena bila dalam satu hari kerja para pihak tidak memperoleh kesepakatan untuk memilih mediator di dalam atau di luar pengadilan, maka para pihak wajib memilij mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Penerapan asas cepat dalam penentuan mediator juga terlihat dari kewenangan majelis hakim untuk menunjuk mediator dengan penetapan, bila para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Pemilihan mediasi sebagai jalur penyelesaian sengketa akan mempermudah dan mempercepat penyelesaian perkara di pengadilan. Dengan demikian, penerapan mediasi dalam pengadilan merupakan bagian integral dari sejumlah rentetan proses hukum acara, karena mediasi ditawarkan kepada para pihak pada sidang pertama di pengadilan.