BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEDIASI MENURUT PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 A. Sejarah dan Sumber Hukum Mediasi Mediasi merupakan metode penyelesaian sengketa yang berkembang pesat di berbagai belahan dunia sejak tiga dasawarsa terakhir. Penggunaan mediasi tidak hanya dilakukan di luar pengadilan oleh lembaga swasta dan swadaya masyarakat, tetapi juga terintegrasi dalam sistem peradilan. Perkembangan mediasi merupakan hal yang menggembirakan di tengah mandeknya mekanisme peradilan di dunia.19 Mediasi di luar pengadilan merupakan proses penyelesaian sengketa secara damai yang biasa digunakan oleh masyarakat sehari-hari ditengahi oleh pihak ketiga yaitu tetua adat, pemimpin agama, atau tokoh masyarakat lainnya. Mediasi bentuk ini disebut dengan mediasi komunitas atau community mediation. Mediasi komunitas tidak hanya memediasi perkara perdata tetapi dapat pula mendamaikan perkara pidana, tetapi dapat pula mendamaikan perkara pidana. Perkara pidana tersebut mencakup tindak pidana ringan (seperti penipuan atau pencurian) maupun berat (seperti pembunuhan) sesuai dengan adat istiadat di daerah masing-masing. Selain jenis mediasi komunitas, berkembang pula lembaga mediasi swasta yang dikelola oleh kalangan profesional yang mayoritas fokus pada penyelesaian sengketa bisnis secara damai. Sesuai dengan karakteristik bisnis, para pengusaha berupaya mencari mekanisme penyelesaian sengketa yang 19
Fatahillah A. Syukur, Mediasi Yudisial Di Indonesia, Bandung, Penerbit Mandar Maju,2012, hal. 1
29 Universitas Sumatera Utara
cepat, murah dan sederhana dan menjadikan pengadilan sebagai langkah terakhir bila tidak ada lagi pilihan lain (ultimatum remedium)20 Diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai pengganti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan diadili oleh hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan. Penginstitusionalisasi mediasi dalam proses berperkara di pengadilan tersebut dimaksudkan dapat menjadi salah satu instrumen efektif dalam mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan dan sekaligus memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Selain itu, pengaturan institusionalisasi mediasi ke dalam proses berperkara di pengadilan sebagai upaya pelembagaan dan pendayagunaan mediasi dalam sistem peradilan, sehingga dapat mendorong para pihak menempuh proses perdamaian dalam proses penyelesaian sengketanya. Hal ini sejalan dengan prinsip penyelesaian sengketa yang cepat dan murah, yang pada akhirnya dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian sengketanya secara memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.21 Sebenarnya lembaga mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi, di mana pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan. Namun sekarang ini lembaga mediasi sudah menyeberang memasuki wilayah 20 21
Ibid. Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. vii
30 Universitas Sumatera Utara
pengadilan. Negara-negara maju pada umumnya antara lain Amerika, Jepang, Australia, Singapura mempunyai lembaga mediasi, baik yang berada di luar maupun di dalam pengadilan, dengan berbagai istilah antara lain Court Integrated Mediation, Court Annexed Mediation, Court Dispute Resolution, Court Connected ADR, Court Based ADR dan lain-lain.22 Sebagai metode penyelesaian sengketa secara damai, mediasi mempunyai peluang yang besar untuk berkembang di Indonesia. Dengan adat ketimuran yang masih mengakar, masyarakat lebih mengutamakan tetap terjalinnya hubungan silaturahmi antar keluarga atau hubungan dengan rekan bisnis daripada keuntungan sesaat apabila timbul sengketa. Menyelesaikan sengketa di pengadilan mungkin menghasilkan keuntungan besar apabila menang, namun hubungan juga menjadi rusak. Masyarakat Indonesia juga lebih mengutamakan harmoni komunal di atas kepentingan individual. Walaupun satu pihak merasa dirinya lebih benar, namun demi menjaga keselerasan dan hubungan antar masyarakat, pihak tersebut dapat diminta untuk mengalah. Untuk itu pihak ketiga sehagai penengah sengketa haruslah orang yang dihormati karena reputasi dan integritas di tengah masyarakat untuk menjaga norma dan etika yang berlaku. Hal ini berbeda dengan konsep penyelesaian sengketa Barat yang lebih mengutamakan proses dan hasil daripada norma dan keadilan.23 Mediasi sebenarnya bukanlah metode penyelesaian sengketa yang baru dikenal di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya mediasi mempunyai banyak unsur yang sama dengan mekanisme musyawarah mufakat 22 23
Ibid., hal. viii Fatahillah A. Syukur, Op.Cit., hal. 4
31 Universitas Sumatera Utara
yang merupakan ruh penyelesaian sengketa masyarakat Indonesia. Musyawarah ini sama dengan esensi mediasi cara/budaya timur dimana para pihak berkompromi
dan
saling
mengalah
untuk
mencapai
titik
temu
yang
menguntungkan semua pihak hingga tercapai kesepakatan. Walaupun demikian mediasi cara barat cenderung untuk mencari solusi baru tanpa perlu berkompromi yang bisa merugikan salah satu pihak. Namun penggunaan istilah mediasi memang belum lama dipakai kalangan profisional hukum dan belum banyak dikenal masyarakat luas. Istilah mediasi mulai dipakai sejak metode ini diajarkan di lingkungan akademik, terutama di fakultas hukum sekitar tahun 1990-an. Istilah ini mulai disebarkan media massa sejak PerMA Mediasi diberlakukan tahun 2003. 24
Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum tidak membuat masyarakat menjadi kacau karena masih dapat dan memang terbiasa mengatur diri sendiri, termmasuk menyelesaikan sengketa. Walaupun ada beberapa tindakan “main hakim” sendiri, namun lebih banyak lagi yang dapat diselesaikan oleh masyarakat, terutama dalam kasus privat. Hal ini membuktikan bahwa budaya musyawarah masih dianut oleh masyarakat, selain karena sensitivitass sengketa yang tabu untuk diselesaikan orang luar dan sifat apatis yang timbul terhadap aparat hukum. Mantan Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, mendukung penuh upaya untuk kembali pada kebudayaan asli Indonesia dalam menyelesaikan sengketa melalui musyawarah-tanpa perlu ke pengadilan. Beliau berpendapat bahwa yang perlu dilakukan saat ini adalah merevitalisasi 24
Ibid., hal. 5
32 Universitas Sumatera Utara
mekanisme musyawarah dan memberikan kepercayaan pada masyarakat untuk menyelesaikan sengketanya sendiri. Penulis berpendapat mediasi sangat cocok diterapkan sesuai dengan kebudayaan Indonesia, terutama untuk menyelesaikan sengketa keluarga yang masih mempertahankan harmoni dan menjaga privasi. Dengan banyak kelebihan yang ditawarkan, mediasi diharapkan dapat memberikan alterenatif yang efektif untuk menyelesaikan sengketa di Indonesia.25 Penggunaan metode perdamaian secara yuridis formal di Indonesia dimulai dalam UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dengan memakai terminologi perantaraan. Setelah itu mediasi marak digunakan untuk menyelesaikan sengketa di akhir tahun 1990-an. UndangUndang Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997 memberikan pilihan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan. Mediasi sebenarnya juga sudah diatur dalam Undang-Undang yaitu UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun hanyas atu pasal saja dalam UU tersebut yang mengatur mediasi sehingga tidak memadai untuk menyelesaikansengketa. Setelah itu barulah banyak bermunculan bidang yang memakai mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa, sepertu perburuhan, sumber daya air, hak atas kekayaan intelektual (merk, paten, desain industri, dan rahasia dagang), jasa konstruksi, perlindungan HAM, perbankan dan asuransi. Semua produk hukum tersebut memakai istilah yang berbeda-beda, yaitu perantaraan, pilihan penyelesaian sengketa, kesepakatan atau mediasi. 26
25
Ibid., hal. 5-6
26
Ibid., hal. 6
33 Universitas Sumatera Utara
Sesungguhnya bagi bangsa Indonesia sudah sejak lama menjalankan polapola penyelesaian sengketa secara tradisional, yang dilakukan melalui peradilan adat maupun peradilan desa (dorpsjustitie). Pada waktu itu oleh Pemerintah Hindia Belanda juga diadakan institusi lain di luar pengadilan, yang juga mempunyai tugas menyelesaikan perkara dagang, yakni arbitrase/perwasitan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglement op de Bugerlijke Rechtsvordering (RV) Staatsblad 1847 Nomor 52 dan Pasal 377 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Staatsblad 1941 Nomor 44/Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG) Staatsblad 1927 Nomor 227.27 Ketentuan RV yang berasal dari abad ke-19 selama berlakunya tanpa mengalami perubahan, sehingga tidak dapat mengikuti perkembangan yang terus terjadi. Salah satu kekurangannya tidak diaturnya aspek-aspek internasional dari arbitrase, padahal hubungan-hubungan perdagangan internasional semakin berkembang dengan berbagai klausula arbitrasenya yang telah menjadi peristiwa sehari-hari. Untuk menjembatani kekurangan dari RV tersebut, Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional yang berkaitan dengan arbitrase internasional, seperti Konvensi Washington dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968, Konvensi New York diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981.28 Di samping itu, HIR/RBg mengatur pula lembaga perdamaian (dading). Ketentuan dalam Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg, dan pasal-pasal lainnya dalam 27 28
Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 3-4 Ibid., hal. 4
34 Universitas Sumatera Utara
hukum acara perdata yang berlaku d Indonesia khususnya ketentuan dalam Pasal 132 HIR/Pasal 156 RBg mewajibkan hakim terlabih dahulu mengusahakan perdamaian di antara para pihak sebelum pemeriksaan perkara dilakukan oleh hakim. Sejalan itu, kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Ex Pasal 130 HIR/154 Rbg). Dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 ini, diketahui bahwa agar semua hakim (majelis) yang menyidangkan perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan dalam Pasal 130 HIR/154 RBg, tidak hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian kepada para pihak yang sengketa. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian tersebut, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator/mediator.29 B. Pengertian Mediasi Perkara yang menumpuk di pengadilan semakin hari semakin banyak. Akibatnya, sering kali para pihak yang mengajukan sengketa di pengadilan harus menunggu dalam jangka waktu yang lama untuk mendapatkan putusan. Sebagaimana diketahui prosedur beracara di pengadilan tidak menentukan jangka waktu untuk dapat menyelesaikan suatu perkara, mengakibatkan proses pemeriksaan suatu perkkara, dan pendaftaran, pemeriksaan, hingga putusan memakan waktu yang sangat lama. Untuk mengurangi banyaknya perkara yang
29
Ibid., hal. 4-5MMM
35 Universitas Sumatera Utara
ditangani oleh pengadilan, pada saat ini dibuat suatu proses, yakni proses mediasi.30 Di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 pada bagian menimbang tertulis “Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.” Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang dikuasakan kepadanya.31 Hampir sama dengan pengertian tersebut, menurut Gary Goodpaster, mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk
membantu
mereka
memperoleh
kesepakatan
perjanjian
dengan
memuaskan.32 Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak namun dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Asumsinya adalah pihak ketiga akan 30
Jimmy Joses Sembiring, Op. Cit., hal. 32
31
Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2010, hal.10 32 Ibid., hal. 11
36 Universitas Sumatera Utara
mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi/individual para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.33 Dengan demikian, dalam sengketa yang salah satu pihaknya lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting untuk menyetarakannya. Kesepakatan yang dicapai melalui mediasi karena para pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian. Mereka bersamasama merumuskan penyelesaian sengketa tanpa arahan konkret dari pihak ketiga (mediator). Kekuatan mengikat dari hasil mediasi sama dengan sebuah perjanjian karena dibuat berdasarkan kesepakatan bebas para pihak. Untuk itu, wajib dilaksanakan dengan penuh itikad baik. 34 Pada mediasi, keinginan dari masing-masing pihak untuk menyelesaikan sengketa merupakan faktor penentu proses mediasi dapat berjalan atau tidak. Karakter utama dari penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah mediator yang berfungsi sebagai penengah hanya dapat memberikan saran atau pemecahan masalah yang sedang terjadi sehingga tidak dapat memaksa para pihak yang sedang bersengketa untuk menaati dan mengikuti apa yang disarankan oleh madiator.35
33
Ibid.
34
Ibid. Jimmy Joses Sembiring, Op.Cit., hal. 28-29
35
37 Universitas Sumatera Utara
Hal ini tentunya berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan maupun
arbitrase.
Penyelesaian
sengketa
ditempuh
melalui
pengadilan
mengharuskan para pihak untuk menaati apa yang diputuskan oleh majelis hakim. Pihak yang tidak menyetujui putusan tersebut dapat menempuh upaya hukum, yakni banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Demikian juga halnya dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Pada penyelesaian sengketa melalui arbitrase, para pihak harus menaati apa yang diputuskan oleh majelis arbitrase.36 Saat ini, pada bidang tertentu, mediasi sudah mulai diterapkan untuk menyelesaikan suatu sengketa sebagai berikut.37 1. Mediasi di Pengadilan Mediasi di pengadilan sudah sejak lama dikenal. Para pihak yang mengajukan perkaranya di pengadilan, diwajibkan untuk menempuh prosedur mediasi terlebih dahulu sebelum dilaksanakan pemeriksaan pokok perkara.
2. Mediasi di Luar Pengadilan a. Mediasi Perbankan Dunia perbankan memiliki peranan yang penting bagi masyarakat. Peranan tersebut adalah sebagai penyimpan dan penyalur dana bagi masyarakat. Suatu bank tentunya memiliki sistem yang sudah standar terhadap pelayanan yang dilakukan terhadap nasabahnya. 36 37
Ibid., hal. 29 Ibid., hal. 29-31
38 Universitas Sumatera Utara
Namun, bank kepada nasabahnya tidak memberikan hasil yang memuaskan bagi nasabahnya sehingga sering kali nasabah merasa dirugikan. Nasabah sering kali menjadi tidak berdaya pada saat harus berhadapan dengan bank di pengadilan dan hanya bisa pasrah apabila bersengketa dengan bank. Agar nasabah dapat terlindungi hak-haknya, dibentuklah mediasi perbankan yang berfungsi sebagai lembaga penyelesaian sengketa. Pada penyelesaian sengketa tersebut, para pihak yakni bank dan nasabah ditengahi oleh pihak yang netral, yakni Bank Indonesia. Hal ini bertujuan agar nasabah dapat terlindungi hak-haknya sebagai nasabah. b. Mediasi Hubungan Industrial Hubungan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja adalah hubungan yang bersifat labil. Dalam arti, sangat mudah terjadi pertentangan antara pengusaha dan pekerja yang disebabkan oleh berbagai macam hal yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Sering kali pihak pekerja ketika berhadapan dengan pengusaha berada dalam posisi yang lemah yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Oleh karena itu, diperlukan suatu cara yang dapat mengakomodasi kepentingan para pihak, dengan harapan dapat diambil suatu keputusan yang dapat diterima oleh masing-masing pihak sehingga dibentuklah mediasi untuk perselisihan hubungan industrial.
39 Universitas Sumatera Utara
3. Mediasi Asuransi Saat ini, masyarakat sudah semakin paham manfaat dari asuransi, sehingga secara tidak langsung ikut menjadi peserta pada program yang diselenggarakan oleh asuransi, baik asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kebakaran, maupun jenis-jenis asuransi lainnya. Asuransi berperan untuk mengalihkan resiko yang seharusnya ditanggung oleh nasabah asuransi. Sering terjadi peristiwa yang mewajibkan asuransi untuk membayar klaim, tetapi perusahaan asuransi menolak untuk membayar klaim tersebut dengan berbagai macam alasan. Akabatnya, menimbulkan sengketa antara perusahaan asuransi dan nasabahnya. Masyarakat seringnya mengetahui asuransi hanya dari sisi manfaatnya, tetapi tidak mengetahui secara detail akan asuransi itu sendiri dan sering kali mengakibatkan
terjadinya
sengketa
yang
berbelit-belit
antara
perusahaan asuransi dan nasabahnya. Agar sengketa dalam bidang asuransi dapat diselesaikan dengan baik dan dapat mengakomodasi kepentingan dari masing-masing pihak, dibentuklah lembaga mediasi asuransi dengan harapan masing-masing pihak dapat menerima keputusan yang dianggap adil. Proses mediasi tentu saja harus melewati tahapan-tahapan yang harus diikuti oleh para pihak baik itu tahap pra mediasi di pengadilan maupun tahap proses mediasi di pengadilan. C. Proses Mediasi dan Penunjukan Mediator
40 Universitas Sumatera Utara
Proses mengandung pengertian tahapan-tahapan atau langkah-langkah dari awal hingga akhir. Oleh sebab itu, proses mediasi merujuk pada tahapan-tahapan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Jika dibandingkan antara proses mediasi di satu pihak dengan proses litigasi dan proses arbitrase di pihak lain, maka dapat dikatakan bahwa proses mediasi tidak diatur dalam peraturan perundangundangan, sedangkan proses litigasi dan proses arbitrase diatur dalam undangundang. Tahapan-tahapan penyelesaian sengketa di pengadilan telah diatur secara rinci di dalam undang-undang, yaitu dalam HIR dan Rbg mulai dari penyusunan surat gugatan, pemeriksaan alat-alat bukti hingga putusan. Demikian pula, tahapan-tahapan penyelesaian sengketa melalui arbitrase telah diatur agak rinci dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.38 Proses mediasi dapat dibedakan antara proses mediasi di luar pengadilan dan proses mediasi yang terintegrasi dengan proses berperkara di pengadilan (Court Connected Mediation atau Court-Annexed Mediation). Bagaimana penyelenggaraan proses mediasi di luar pengadilan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan hanya terbata pada penggunaan mediasi, tetapi tidak tentang acara atau proses penyelenggaraan mediasi. Oleh sebab itu, proses mediasi di luar pengadilan umumnya didasarkan pada hasil pengalaman praktisi mediasi dan penelitian para ahli. Proses mediasi yang terintegrasi dengan proses berperkara di pengadilan dapat ditemukan pengaturannya, tetapi pengaturan itu hanya bersifat umum dan tidak cukup rinci jika dibandingkan pengaturan proses litigasi dalam HIR dan Rbg. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa proses 38
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hal. 99
41 Universitas Sumatera Utara
mediasi sangat bervariasi tegantung pada konteks penggunaannya, yaitu antara mediasi di luar pengadilan dan mediasi terintegrasi dengan proses pengadilan serta juga tergantung pada masalah sengketanya para pihak, dan pengalaman mediator. Meskipun terdapat keberagaman dapat ditemukan juga kesamaankesamaan proses mediasi dalam berbagai konteks.39 Proses mediasi di pengadilan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008), merupakan proses yang wajib dijalankan oleh para pihak yang berperkara. Pasal ini menentukan bahwa “Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.”40 Pada Pasal 130 ayat (1) HIR menentukan bahwa “Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.” Hal mengenai mediasi sebelumnya telah diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapan Lembaga Damai. Pada surat Edaran tersebut, hakim tidak diberikan kewenangan yang bersifat memaksa kepada para pihak untuk melakukan penyelesaian melalui
39
Leonard L. Riskin, James E. Westbrook, Disputr Resolution and Lawyers abridged edition, Minnesota, West Publishing St Paull, 1987, hal. 91 40 Jimmy Joses Sembiring, Op.Cit., hal. 32
42 Universitas Sumatera Utara
perdamaian, sehingga Surat Edaran ini dianggap hampir sama dengan Pasal 130 HIR, yang hanya menyarankan para pihak untuk dapat berdamai.41 Berdasarkan hal di atas, Surat Edaran tersebut kemudian diganti oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003). Berlakunya peraturan tersebut membuat upaya perdamaian di pengadilan, sehingga tidak lagi hanya bertumpu pada pasal 130 HIR. Peraturan tersebut mengalami perubahan dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.42 Pada hari sidang yang telah ditentukan dan para pihak yang hadir di persidangan , terlebih dahulu hakim akan menanyakan persoalan yang terjadi dan menyarankan para pihak untuk menempuh upaya damai. Hakim kemudian menyarankan para pihak untuk menempuh upaya mediasi terlebih dahulu.43 Sebelum mediasi dilaksanakan, para pihak terlebih dahulu harus memilih mediator yang akan menangani perkara tersebut. Memilih mediator merupakan hak para pihak. Selain berhak memilih mediator, para pihak juga dapat menentukan menggunakan hanya satu mediator atau lebih dari satu mediator. Hal ini ditentukan pada Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 sebagai berikut:44 1. Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut: a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; 41
Ibid., hal. 32 Ibid., hal. 32-33 43 Ibid., hal. 33 44 Ibid., hal. 33-34 42
43 Universitas Sumatera Utara
b. Advokat atau akademisi hukum; c. Provesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; d. Hakim majelis pemeriksa perkara; e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, ata gabungan butir c dan d; 2. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri Tidak setiap orang dapat menjadi mediator di pengadilan. persyaratan yang harus dipenuhi agar seseorang dapat bertindak sebagai mediator diatur pada Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 sebagai berikut:45 1. Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (6), setiap orang yang menjalankan fungsi mediator, pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2. Jika dalam wilayah sebuah pengadilan tidak ada hakum, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim
di
lingkungan
Pengadilan
yang
bersangkutan
berwenang
menjalankan fungsi mediator. 45
Ibid., hal. 34
44 Universitas Sumatera Utara
Adapun selaku mediator, dibutuhkan beberapa keterampilan sehingga sang mediator dapat memimpin jalannya mediasi dengan baik dan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya jalan damai. Yang dimaksudkan dengan keterampilan adalah padanan kata skill dalam Bahasa Inggris. Seseorang yang bernama Boulle mengklasifikasikan keterampilan mediator ke dalam empat jenis, yaitu:46 1. Keterampilan Mengorganisasikan Mediasi Seorang mediator harus memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan proses mediasi sehingga proses mediasi dapat berjalan dengan baik. Keterampilan mengorganisasikan mediasi mencakup kemampuan untuk membantu para pihak menentukan siapa juru runding para pihak, terutama untuk sengketa-sengketa yang melibatkan orang banyak, kemampuan merencanakan dan menyusun jadwal pertemuan, menata ruang pertemuan dan tempat duduk para pihak, menggunakan alat-alat bantu tulis seperti penggunaan OHP, whiteboard, laptop, dsb. Penentuan atau pemilihan juru runding dilakukan sebelum proses mediasi berlangsung. Jika mediator dilakukan oleh dua orang atau lebih, para mediator harus mampu mempersiapkan rencana pembagian tugas di antara mereka. Misalnya pada saat satu orang mediator bertugas memimpin jalannya mediasi, maka mediator lainnya dapat melakukan tugas-tugas lain, yaitu meringkas dan menuliskan pandangan dan titik temu perbedaan pandangan para pihak di atas whiteboard. 2. Keterampilan Berunding 46
Takdir Rahmadi, Op. Cit., hal. 123-133
45 Universitas Sumatera Utara
Karena pada dasarnya mediasi adalah perundingan, maka seorang mediator yang baik harus memiliki keterampilan untuk berunding atau bernegosiasi. Keterampilan berunding mediator mencakup kemampuankemampuan untuk memimpin dan mengarahkan pertemuan-pertemuan mediasi sesuai agenda dan jadwal. Kemampuan memimpin pertemuan mencakup menentukan dan mengatur lalu lintas pembicaraan dan kapan mengadakan kaukus dengan salah satu pihak. Selanjutnya, keterampilan yang lebih penting lagi adalah bahwa mediator harus mampu memahami dan menerapkan teknik-teknik perundingan bertumpu pada keentingan (interest-based negotiation) dan menghindari penggunaan teknik perundingan posisional (positional-based negotiation). Dengan pengetahuan ini, seorang mediator berupaya menggiring para pihak untuk berunding yang dapat memeuhi kepentingan para pihak. Tentang bagaimana melaksanakan perundingan berbasiskan kepentingan dapat dipedomani dan dipahami kiat-kiat yang dikembangkan oleh Fisher dan Urry yang terkenal dengan konsep PIOC yang merupakan singkatan dari People (orang), Interests (kepentingan), Options (pilihan-pilihan), dan Criteria (kriteria, patokan).47 Selanjutnya, konsep PIOC menurut Urry dan Fisher perlu diuraikan pada bagian ini untuk memahami konsep perundingan berdasarkan kepentingan. People mengandung arti bahwa para pihak dalam bermediasi tidak boleh memfokuskan pada orang, tetapi memfokuskan pada masalah sengketa 47
Roger Fisher dan John Urry, Getting to Yes, Harvard University Press, halaman 23
46 Universitas Sumatera Utara
yang harus dipecahkan atau diselesaikan. Konsep orang bisa bersifat individual atau kelompok atau bangsa. Betapa bencinya perasaan satu pihak kepada pihak lainnya, perasaan itu harus dikontrol atau ditekan kalau tidak mungkin sama sekali dihilangkan karena perundingan yang memfokuskan pada diri orang cenderung menimbulkan emosional yang tinggi sehingga merusak suasana mediasi dan pada akhirnya dapat menyebabkan kegagalan mediasi sebelum para pihak membahas pokok persoalan. Para pihak harus menyadari bahwa kehadiran mereka dalam proses mediasi adalah untuk memecahkan persoalan ukan untuk menyerang diri seseorang atau lawannya. Sebaliknya, betapa terpukau satu pihak dengan pihak lawan, kekagumannya tidak boleh membutakan mata hati,
bahwa
kehadiran
dirinya
dalam
mediasi
adalah
untuk
memperjuangkan kepentingan dirinya atau orang-orang yang diwakilinya dalam proses mediasi. Jika seorang juru runding sampai terpukau pada diri lawan tunding karena berbaga isebab (misalnya karena kecantikan, ketampanan, tutur kata manis, dulu pernah kenal, perlakuan yang baik di luar sesi perundingan), maka dia dapat dimanipulasi oleh lawannya sehingga kalau pun dicapai sebuah kesepakatan damai, mungkin kesepakatan itu tidak optimal mencerminkan kepentingan piahk yang diwakilinya. Kesepakatan itu mungkin tidak optimal mencerminkan kepentingan dirinya atau orang-orang yang diwakilinya. Kesepakatan itu mungkin tidak optimal mencerminkan kepentingan dirinya atau orangorang yang diwakili oleh juru runding.
47 Universitas Sumatera Utara
Konsep Interests (kepentingan) mengandung perngertian bahwa juru runding dalam perundingan harus memfokuskan bagaimana meraih atau mewujudkan kepentingannya dengan juga memenuhi kepentingan pihak lawan. Para pihak harus bersama-sama memikirkan dan mencari penyelesaian yang dapat memenuhi kepentingan bersama. Kesulitan satu pihak
menerima
usulan
karena
usulan
itu
belum
memenuhi
kepentingannya harus juga dipikirkan dan dibahas bersama oleh pihak lainnya. Dalam perundingan yang berbasiskan kepentingan berlaku ungkapan masalah anda adalah juga masalah saya, dan bukan sebaliknya,” masalahmu adalah bukan masalah saya”. Konsep Options (opsi atau piihan) mengandung pengertian bahwa para pihak jangan hanya memfokuskan pada satu opsi penyelesaian untuk sebuah masalah. Jadi dalam perundingan berbasis kepentingan, tidak berlaku ungkapan satu opsi penyelesaian untuk satu masalah, tetapi justru sebaliknya, beberapa opsi untuk satu masalah. Oleh karena itu, seorang mediator harus mampu mendorong para pihak untuk dapat menemukan dan membahas sekurang-kurangnya dua atau lebih opsi-opsi penyelesaian atas satu masalah. Jika satu masalah hanya diatasi dengan satu opsi penyelesaian,
maka
para
pihak
cenderung
terperangkap
dalam
perundingan tawar-menawar yang posisional dan menggiring mereka ke jalan buntu. Adalah tugas mediator untuk mendorong para pihak memikirkan dan mencari beberapa opsi untuk sebuah masalah.
48 Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, tiap opsi dibahas untuk menentukan opsi mana yang secara maksimal dapat memenuhi kebutuhan para pihak secara optimal. Konsep Criteria (kriteria,patokan,ukuran) mengandung pengertian bahwa para pihak dalam meminta atau mengusulkan sesuatu harus didasarkan pada kriteria atau ukuran berdasar kriteria. Kriteria objektif antara lain, dapat bersuber dari ilmu pengetahuan, harga pasar, hukum. 3. Keterampilan Memfasilitasi Perundingan Keterampilan memfasilitasi perundingan mencakup beberapa kemampuan, yaitu (1) kemampuan mengubah posisi para pihak menjadi permasalahan yang harus dibahas, (2) kemampuan mengatasi emosi para pihak, dan (3) kemampuan mengatasi jalan buntu. Kemampuan mengubah posisi para pihak menjadi masalah-masalah yang harus dibahas bersama. Misalnya, mantan sepasang suami istri yang memperebutkan hak perwalian anak. Masing-masing merasa paling berhak atas perwalian anak. Jika hak yang dikedepankan, aka cenderung menggiring mantan suami atau istri samasama mengklaim sebagai pihak yang paling berhak atas perwalian anak. Jika menghadapi masalah seperti ini, mediator tidak boleh dipengaruhi oleh para pihak untuk membahas masalah hak karena masalah penentuan hak tidak dapat diselesaikan melalui mediasi, tetapi melalui pengadilan. mediator harus mendorong dan membujuk para pihak agar bersedia membahas
kemungkinan-kemungkinan
bagaimana
kebutuhan
atau
kepentingan suami atau istri sama-sama dapat dipenuhi. Jika mediator mampu mendorong suami atau istri untuk menyadari dan memahami
49 Universitas Sumatera Utara
bahwa kepentingan utama mereka adalah sama-sama ingin melihat kebahagiaan anak mereka, maka di situ ada peluang untuk membahas berbagai kemungkinan pengaturan hubungan keduanya terhadap anak mereka setelah perceraian tanpa harus terjebak membahas siapa yang paling berhak. 4. Keterampilan Berkomunikasi Menurut
Boulle
keterampilan
berkomunikasi
mencakup
beberapa
keterampilan, yaitu keterampilan komunikasi verbal, mendengar secara efektif, membingkai ulang, komunikasi nonverbal, kemampuan bertanya, mengulang pernyataan, melakukan parafrase, menyimpulkan, membuat catatan, memberikan empati, dan tidak ketinggalan membuat rasa humor. Dari ketentuan pasal ini, dapat diketahui bahwa mediator terdiri atas mediator hakim dan nonhakim. Mediator nonhakim terlebih dahulu harus mengikuti pelatihan untuk mendapatkan sertifikasi sebagai mediator dari lembaga yang sudah terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu lembaga dapat memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung sebagai berikut:48 a. Mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia b. Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi. 48
Jimmy Joses Sembiring, Op.Cit., hal. 34
50 Universitas Sumatera Utara
c. Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan. Para pihak yang bersengketa di pengadilan dan sengketa tersebut dalam proses mediasi, memiliki tenggat waktu dalam memilih dan menentukan mediator. Para pihak dalam hangka waktu dua hari berunding untuk menentukan mediator yang akan menengahi perkara yang sedang terjadi. Apabila dalam jangka waktu tersebut para pihak telah menentukan mediator, para pihak menyampaikan hal tersebut kepada majelis hakim. Atas pilihan mediator tersebut, ketua majelis hakim memberitahukan kepada mediator yang terpilih untuk segera melaksanakan tugasnya pada perkara yang sedang diperiksa.49 Sebaliknya apabila para pihak tidak dapat menentukan hakim mediator yang akan menangani perkara tersebut, mereka wajib menyampaikan hal tersebut kepada ketua majelis hakim. Dengan adanya kegagalan dalam memilih mediator, ketua majelis hakim akan segera menunjuk hakim yang bukan menangani perkara dan hakim tersebut telah memiliki sertifikat sebagai mediator untuk menjadi mediator.50 Apabila dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang tidak memiliki sertifikat sebagai mediator, ketua majelis hakim akan memilih hakim pemeriksa perkara untuk menjalankan fungsi sebagai mediator.51 Setelah mediator yang akan menangani perkara telah dipilih, para pihak yang bersengketa akan menempuh proses mediasi. Tahap-tahap dari proses 49
Ibid., hal. 34-35 Ibid., hal. 35 51 Ibid., hal. 35 50
51 Universitas Sumatera Utara
mediasi yang akan dijalankan oleh para pihak adalah sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 13 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008.52 1. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. 2. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. 3. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dan (6). 4. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3. 5. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara. 6. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. Berbeda dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003 terdapat dua versi mengenai jangka waktu proses mediasi, yang masing-masing diatur dalam pasal yang berbeda.53 52
Ibid., hal. 35-36 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta, CV Sinar Grafika, 2008, hal. 251 53
52 Universitas Sumatera Utara
Pertama, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) PERMA Nomor 2 Tahun 2003, yaitu: paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja, dalam hal proses mediasinya menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan sejak tanggal hari pemilihan mediator. Kedua, diatur dalam Pasal 9 ayat (5) PERMA Nomor 2 Tahun 2003, yaitu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja, dalam hal proses mediasinya menggunakan mediator yang namanya telah tertera dalam daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan, yang dihitung sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator oleh Ketua Majelis.54 Terkait dengan batas waktu atau lama waktu proses mediasi di pengadilan telah diatur dalam Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4) PERMA Nomor 1 Tahun 2008, yang memungkinkan terjadinya perpanjangan. Dalam ketentuan Pasal 13 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dinyatakan, bahwa:55 “Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6)” Jadi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008, pada dasarnya tenggang waktu proses mediasi di pengadilan dibatasi, yaitu berlangsung paling lama selama 40 (empat puluh) hari kerja (bukan dihitung berdasarkan hari kalender) terhitung sejak pemilihan mediator atau sejak penunjukan mediator oleh Ketua Majelis Hakim Pemeriksa perkaranya. Adapun jangka waktu tersebut baik proses mediasi ini berakhir dengan tercapainya suatu kesepakatan maupun dalam hal tidak tercapainya kesepakatan. 54 55
Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 161 Ibid., hal. 162
53 Universitas Sumatera Utara
Jangka waktu yang ditetapkan tersebut sudah terhitung sejak terpilihnya mediator oleh Ketua Majelis Hakim sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat (5) PERMA Nomor 1 Tahun 2008. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 13 ayat (e) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 ini, Ketua Majelis Hakim tidak perlu menentukan hari sidang berikutnya setelah lewat 40 (empat puluh) hari kerja, tetapi cukup menyatakan pada hari sidang yang akan ditentukan kemudian. Dengan demikian, sidang berikutnya ini dapat dilaksanakan sebelum 40 (empat puluh) hari kerja itu berakhir jika ternyata mediasi gagal.56 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 memberikan kemungkinan perpanjangan tenggang waktu proses mediasi tersebut. Hal ini dinyatakan dalam ketentuan Pasal 13 ayat (4) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang menyatakan sebagai berikut:57 “Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (4) PERMA Nomor 1 Tahun 2009, dalam hal tertentu memberikan kemungkinan kesempatan memperpanjang batas waktu proses mediasi di pengadilan, yaitu: selama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh) hari. Perpanjangan jangka waktu proses mediasi tersebut berdasarkan kesepakatan para pihak. Dengan demikian tenggang waktu proses mediasi di pengadilan, termasuk dengan 56
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Japan International Cooperation Agency dan Indonesia Institute for Conflict Transformation, Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, Jakarta, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Japan International Cooperation Agency dan Indonesia Institute for Conflict Transformation, halaman 36 57 Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 163
54 Universitas Sumatera Utara
perpanjangannya
menjadi
pemilihan/penunjukan
salam
mediator.
54
(lima
Perpanjangan
puluh waktu
empat)
hari
mediasi
sejak tersebut
dimaksudkan unntuk memperkecil jumlah kegagalan proses mediasi. Adapun dalam proses mediasi ini ada beberapa tahapan atau langkahlangkah yang harus diikuti. Pertama, para pihak menyerahkan resume perkara satu sama lainnya dan kepada mediator. Persiapan resume perkara oleh para pihak secara timbal balik dan kepada mediator memang tidak bersifat wajib, tetapi bersifat anjuran atau pilihan sesuai rumusan ketentuan Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: “... masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.” Kata “dapat” dalam Pasal 13 ayat (1) mengandung arti anjuran atau pilihan para pihak. Tujuan penyiapan dan penyerahan resume adalah untuk mempermudah dan membantu para pihak dan mediator dalam memahami posisi dan kepentingan para pihak, serta pokok masalah sengketa atau perkara, sehingga para pihak dan mediator dapat hemat waktu dalam mencari berbagai kemungkinan pemecahan masalah.58 Kedua, mediator menyelenggarakan sesi-sesi atau pertemuan-pertemuan mediasi. Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, proses mediasi berlangsung paling lama dalam waktu empat puluh hari kerja sejak mediator dipilih atau ditunjuk dan atas dasar kesepakatan para pihak dapat diperpanjang paling lama empat belas hari kerja sejak berakhirnya waktu empat puluh hari. Namun, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tidak mengatur secara rinci bagaimana mediator menyelenggarakan sesi-sesi mediasi selama proses pengadilan. PERMA antara 58
Takdir Rahmadi, Op. Cit., hal. 184
55 Universitas Sumatera Utara
lain menyebutkan bahwa bilamana perlu mediator mengadakan kaukus dengan salah satu pihak. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak saja. Kaukus merupakan salah satu ciri penting proses mediasi yang membedakan mediasi dari litigasi. Dalam litigasi, hakim tidak boleh menyelenggarakan sidang-sidang dengan salah satu pihak saja. Persidangan dalam litigasi harus dihadiri oleh para pihak. Hakim tidak diperbolehkan dengan sengaja merencanakan persidangan hanya dengan salah satu pihak saja. Sebaliknya dalam mediasi, mediator dapat mengadakan pertemuan terpisah dengan salah satu pihak saja. Dalam teori mediasi ada beberapa alasan yang dapat digunakan oleh mediator untuk mengadakan pertemuan terpisah dengan salah satu pihak, antara lain untuk menemukan kepentingan tersembunyi salah satu atau para pihak.59 Peraturan Mahkamah Agung ini hanya menyebutkan tugas-tugas mediator, yaitu:60 a. Mempersiapkan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak; b. Mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi; c. Mendorong para pihak atau prinsipal untuk berperan serta dalam proses mediasi; d. Melakukan kaukus bilamana perlu; e. Mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka; dan 59
Laurence Boulle, The Mediation Process, Practical Strategies for Resolving Conflict, the 3rd edition, Australia, LexisNexis Butterworths, 2005, hal. 258 60 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, Pasal 15.
56 Universitas Sumatera Utara
f. Mencari berbagai pilihan atau opsi-opsi penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Akhir dari proses mediasi menghasilkan dua kemungkinan, yaitu para pihak mencapai kesepakatan perdamaian atau gagal mencapai kesepakatan perdamaian. Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan perdamaian, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mewajibkan para pihak untuk: 61 a. Merumuskan
kesepakatan
perdamaian
seacara
tertulis
dan
menandatanganinya; b. Menyatakan persetujuan secara tertulis atas kesepakatan perdamaian jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum; c. Menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. Selain memuat ketentuan yang bersifat mewajibkan tersebut, Pasal 17 ayat (5) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 juga memuat ketentuan pilihan kepada para pihak untuk mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim agar dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Jadi, penguatan kesepakatan perdamaian dengan akta perdamaian tidak bersifat wajib, tetapi bersifat pilihan para pihak. Selanjutnya, Pasal 17 ayat (6) menegaskan bahwa jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dengan akta perdamaian, kesepakatan ini harus memuat klausula pencabutan gugatan atau klausula perkara telah selesai. Klausula ini penting bagi administrasi pengadilan untuk memberikan
61
Ibid., Pasal 17 ayat (1), (2), (4).
57 Universitas Sumatera Utara
kepastian tentang status perkaram bahwa perkara telah selesai tanpa melalui putusan pengadilan.62 Dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, selain para pihak, mediator juga wajib meandatangani dokumen kesepakatan perdamaian. Namun, perlu dipahami bahwa keikutsertaan mediator menandatangani dokumen kesepakatan tidak dapat diartikan bahhwa mediator secara hukum bertanggung jawab atas isi kesepakatan. Kesepakatan perdamaian merupakan perwujudan dari kehendak dan kepentingan para pihak dan bukan kehendak dan kepentingan mediator karena fungsi mediator hanya bersifat membantu atau fasilitatif terhadap para pihak bukan pemutus. Oleh sebab itu, PERMA memuat ketentuan Pasal 19 ayat (4) secara tegas menyatakan bahwa medaitor tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana dan perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.63 Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan/atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.64 Setelah
surat
kesepakatan
perdamaian
tersebut
disetujui
dan
ditandatangani oleh para pihak yang berperkara dan mediator, para pihak yang berperkara atau mediator wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.65 Dalam hal para pihak tidak mencapai kesepakatan, di dalam konteks PERMA Nomor 1 Tahun 2008, kegagalan mediasi dapat terjadi karena dua 62
Takdir Rahmadi, Op. Cit., hal. 187 Ibid., hal. 188 64 Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 242 65 Ibid., hal. 242 63
58 Universitas Sumatera Utara
kemungkinan atau kondisi. Pertama, mediasi dianggap gagal jika setelah batas waktu maksimal yang ditentukan, yaitu empat puluh hari atau waktu perpanjangan empat belas hari telah dipenuhi, namun para pihak belum juga menghasilkan kesepakatan. Jika kondisi ini terjadi, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan itu kepada hakim pemeriksa. Selanjutnya, hakim memeriksa perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.66 Kedua, mediator juga memiliki kewenangan untuk menyatakan mediasi telah gagal meskipun batas waktu maksimal belum terlampaui jika mediator menghadapi situasi, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2008, yaitu:67 a. Jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut; b. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak itu tidak menjadi pihak dalam proses mediasi yang berjalan.
66 67
Takdir Rahmadi, Op. Cit., hal. 188 Ibid., hal. 189
59 Universitas Sumatera Utara
Alasan dalam butir a sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14 ayat (1) merupakan ketentuan yang mencerminkan prinsip efisiensi waktu. Mediator tidak perlu menunggu untuk menghabiskan batas waktu maksimal, empat puluh hari untuk menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu atau para pihak tidak menghadiri sesi mediasi dua kali berturut-turut setelah dipanggil secara patut. Alasan dalam butir b merupakan ketentuan yang berfungsi pencegahan kemungkinan mediasi digunakan oleh para pihak yang tidak beritikad baik dengan menimbulkan kerugian pada pihak yang tidak menjadi peserta dalam proses mediasi. Mediator tidak boleh mengundang
pihak lain sebagai pihak dalam
proses mediasi jika pihak itu tidak tercantum dalam surat gugatan sebagai penggugat atau tergugat karena mediasi berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 berawal dari sebuah gugatan. Para pihak yang beritikad tidak baik dapat saja secara diam0diam bersepakar bertindak sebagai penggugat dan tergugat dengan maksud ingin menguasai atau membagi aset pihak lain dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Oleh sebab itu, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 juga dirancang untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan semacam ini dalam praktik hukum.68 Mediasi juga dapat dikatakan gagal jika para pihak yang berperkara tidak mampu menghasilkan kesepakatan atas materi yang disengketakan. Juga bisa jadi karena para pihak yang berperkara tidak sepakat untuk mengakhiri sengketa
68
Ibid., hal. 189-190
60 Universitas Sumatera Utara
dengan perdamaian atau apabila para pihak yang berperkara tidak menyampaikan pendapat akhirnya meskipun pernah hadir dalam sidang mediasi.69 Setelah diputuskan pembatalan mediasi, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan mediasi tersebut kepada hakim/majelis hakim pada hari sidang yang telah ditentukan, selanjutnya hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Surat pernyataan mediasi gagal tersebut wajib dibuat oleh mediator.70
D. Prinsip –Prinsip dan Tantangan-Tantangan Dalam Menjalankan Mediasi Yudisial Dalam perkembangannya sejak didirikan tahun 2003, pelaksanaan mediasi di pengadilan masih belum menggembirakan. Banyak kendala yang menghambat pelaksanaan mediasi di pengadilan, secara internal ataupun eksternal pengadilan. Dalam bab ini, akan dijelaskan tentang beberapa tantangan yang dihadapi oleh pelaksanaan mediasi yudisial di Indonesia, diantaranya: 1. kurangnya dukungan dari Mahkamah Agung RI sebagai pembuat kebijakan dalam sistem peradilan; 2. minimnya motivasi hakim untuk melaksanakan dan menyukseskan mediasi; 3. masalah kualitas para mediator yudisial yang kurang mendapat pelatihan mediasi;
69 70
Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 241 Ibid., hal. 241
61 Universitas Sumatera Utara
4. isu netralitas ketika hakim pemeriksa perkara juga berperan sebagai mediator dalam kasus yang sama; 5. rendahnya dukungan dari pihak eksternal sebagai pihak eksternal seperti advokat, tokoh adat/agama, dan masyarakat luas.
1. Kurangnya Dukungan Mahkamah Agung RI Pelaksanaan mediasi di pengadilan pada awalnya bertujuan mengatasi masalah penumpukan perkara (case backlog) di Mahkamah Agung RI. Pada awal pendirian mediasi di pengadilan tahun 2003, kebijakan ini dilakukan dengan menyelesaikan sengketa secara damai di pengadilan tingkat pertama, yaitu pengadilan negeri dan pengadilan agama. Karena kesepakatan mediasi bersifat final dan mengikat (binding) dan Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) atau in kracht maka kesepakatan tersebut tidak bisa dilakukan upaya banding atau kasasi. Dengan demikian kasus perdata bisa diselesaikan di tingkat pertama tanpa perlu banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung. Untuk memperbesar peluang mengurangi tumpukan perkara, Mahkamah Agung RI merevisi PERMA Mediasi pada tahun 2008 (yang mengadopsi sistem mediasi Negara Jepang) dengan melaksanakan mediasi tidak hanya di pengadilan tingkat pertama tetapi juga di tingkat banding dan kasasi. Sayangnya pengembangan kebajikan pendirian mediasi di pengadilan oleh Mahkamah Agung RI kurang melibatkan para hakim yang berada di barisan terdepan yaitu pengadilan tingkat pertama. Kebijakan ini merupakan top-down policy yang kurang memperhatikan kepentingan dan aspirasi para hakim di bawah
62 Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Agung RI. Setelah lembaga ini berjalan ternyata Mahkamah Agung RI juga kurang memberikan dukungan yang nyata terhadap pelaksanaannya. Tidaklah aneh kalau kemudian hakim memiliki motivasi yang rendah dalam menjalankan fungsi sebagai mediator. Padahal dukungan maksimal dari Mahkamah Agung sebagai pimpinan dan pembuat kebijakan sistem peradilan merupakan syarat utama untuk mendorong hakim, untuk mau menyukseskan mediasi.
63 Universitas Sumatera Utara