8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Mengenai Pemilih 1. Definisi Pemilih Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilih diartikan sebagai Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Kemudian, menurut Firmanzah (2007:102) pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang bersangkutan. Pemilih dalam hal ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya. Konstituen adalah kelompok masyarakat yang merasa diwakili oleh suatu ideologi yang dimanifestasikan dalam institusi politik seperti partai politik. Namun, menurut Joko J. Prihatmoko (2005: 46).pemilih yang merupakan bagian dari masyarakat luas bisa saja tidak menjadi konstituen partai politik tertentu. Masyarakat terdiri dari beragam kelompok. Terdapat kelompok masyarakat yang memang non-partisan, di mana ideologi dan tujuan politik mereka tidak dikatakan kepada suatu partai politik tertentu. Mereka menunggu
9
sampai ada suatu partai politik yang bisa menawarkan program politik yang bisa menawarkan program kerja yang terbaik menurut mereka, sehingga partai tersebutlah yang akan mereka pilih. 2. Syarat-syarat Pemilih Pemilih dalam setiap pemilihan umum didaftarkan melalui pendataan yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara pemilihan umum. Pada setiap pemilihan baik itu pemilihan umum presiden, legislatif, kepala daerah ataupun kepala desa setiap warga negara harus memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dapat menggunakan hak pilihnya. Adapun syaratsyarat yang harus dipenuhi tersebut yaitu sebagai berikut: a. WNI yang berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. b. Tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya c. Terdaftar sebagai pemilih. d. Bukan anggota TNI/Polri aktif e. Tidak sedang dicabut hak pilihnya f. Terdaftar di DPT. g. Khusus untuk Pemilukada calon pemilih harus berdomisili sekurangkurangnya 6 (enam) bulan didaerah yang bersangkutan.
Hak setiap warga negara dalam menggunakan hak pilihnya jangan sampai tidak berarti sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan yang tidak diharapkan, misalnya seorang warga negara tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar atau juga masih banyak kesalahan yang lain.
10
B. Tinjauan Mengenai Pemilih Pemula Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2008 dalam Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemilih pemula adalah warga Indonesia yang pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yang mempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena ketentuan Undang-Undang Pemilu. M. Rusli Karim (1991:32) mengemukakan bahwa kaum muda adalah kaum yang sulit didikte, bahkan ada dugaan generasi muda merupakan salah satu kelompok yang sulit didekati partai politik ataupun kontestan Pemilu. Pada umumnya pemilih pemula belum memiliki literasi politik yang memadai. Pemilih pemula cenderung mengikuti tren di lingkungan tempat tinggalnya. Menurut Suhartono (2009:6), pemilih pemula khususnya remaja mempunyai nilai kebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada hal-hal yang informal dan mencari kesenangan, oleh karena itu semua hal yang kurang menyenangkan akan dihindari. Disamping mencari kesenangan, kelompok sebaya adalah sesuatu paling penting dalam kehidupan seorang remaja, sehingga bagi seorang remaja perlu mempunyai kelompok teman sendiri dalam pergaulan. Pemilih pemula memiliki antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat, sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai swing voters yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik
11
lokal. Seringkali apa yang mereka pilih tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ketidaktahuan dalam soal politik praktis, terlebih dengan pilihan-pilihan dalam pemilu atau pilkada, membuat pemilih pemula sering tidak berpikir rasional dan lebih memikirkan kepentingan jangka pendek. Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya. Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis dan akan berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Namun terlepas dari semua itu, keberadaan pemilih pemula tentu menjanjikan dalam setiap ajang pemilihan umum, sebagai jalan untuk mengamankan posisi strategis yang ingin dicapai oleh setiap kandidat yang maju dalam pemilihan. Siapapun itu yang bisa merebut perhatian kalangan ini akan dapat merasakan keuntungannya, sebaliknya ketiadaan dukungan dari kalangan ini akan terasa cukup merugikan bagi target-target suara pemilihan yang ingin dicapai. C. Tinjauan Mengenai Perilaku Pemilih 1. Definisi Perilaku Politik Menurut Soedjatmoko (1995:57), perilaku politik dinyatakan sebagai suatu tindakan manusia dalam menghadapi situasi politik tertentu. Interaksi antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga-lembaga dan antar kelompok serta individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Ramlan Surbakti (2010:167) mengemukakan, bahwa perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan
12
pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi dua yaitu fungsi- fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi-fungsi politik yangdipegang oleh masyarakat. Sementara Sudijono Sastroatmojo (1995:3) menyatakan bahwa perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Sejalan dengan pengertian politik, perilaku politik berkenaan dengan tujuan suatu masyarakat, kebijakan untuk mencapai suatu tujuan, serta sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur kehidupan masyarakat kearah pencapaian tujuan tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku politik merupakan kegiatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan memberikan pengaruh terhadap pengambilan suatu kebijakan untuk tujuan tertentu. 2. Definisi Perilaku Pemilih Perilaku pemilih dalam pemilu merupakan salah satu bentuk perilaku politik. Samuel P. Hutington (1990:16) berpendapat
bahwa perilaku pemilih dan
partisipasi politik merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan. Partisipasi politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Salah satu wujud dari partisipasi politik ialah kegiatan pemilihan yang mencakup “suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil proses pemilihan.
13
Menurut Mahendra (2005:75), perilaku pemilih adalah tindakan seseorang ikut serta dalam memilih orang, partai politik ataupun isu publik tertentu. Kemudian, Kristiadi (1996:76) mendefinisikan perilaku pemilih sebagai keterikatan seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan faktor psikologis, faktor sosiologis dan faktor rasional pemilih atau disebut teori voting behavioral. Lebih lanjut, Jack C. Plano (1985:280) mendefinisikan perilaku pemilih sebagai suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu. Sementara perilaku pemilih menurut Ramlan Surbakti dalam Efriza (2012:480) adalah : “Aktivitas pemberian suara oleh individu yang berkaitan erat dengan kegiatan pengambilan keputusan untuk memilih dan tidak memilih (to vote or not to vote) di dalam suatu pemilu maka voters akan memilih atau mendukung kandidat tertentu.” Pemberian suara (voting) secara umum dapat diartikan sebagai sebuah proses dimana seorang anggota dalam suatu kelompok menentukan pendapatnya dan ikut dalam menentukan konsensus diantara anggota kelompok terhadap keputusan atau kebijakan yang akan diambil. Berdasarkan pendapat yang diuraikan di atas, maka perilaku pemilih dapat diartikan sebagai sebuah tindakan seseorang maupun sekelompok orang (masyarakat) yang berkaitan dengan kepentingan atau tujuan dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.
14
3. Jenis-jenis Perilaku Pemilih Menurut Firmanzah (2007:134),
perilaku pemilih diklasifikasikan dalam
empat jenis. Adapun empat jenis perilaku pemilih tersebut adalah sebagai berikut: a. Pemilih Rasional Dalam konfigurasi pertama terdapat pemilih rasional (rational voter), dimana pemilih memiliki orientasi tinggi pada policy-problemsolving dan berorientasi rendah untuk faktor ideologi. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Ciri khas pemilih jenis ini adalah tidak begitu mementingkan ikatan ideologi kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. Faktor seperti faham, asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan juga, tetapi bukan hal yang signifikan. Hal yang terpenting bagi jenis pemilih adalah apa yang bisa dan yang telah dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan dibandingkan faham dan nilai partai dan kontestan. Oleh karena itu, ketika sebuah partai politik atau calon kontestan ingin menarik perhatian pemilih dalam matriks ini, mereka harus mengedepankan solusi logis akan permasalahan ekonomi, pendidikan, kesejahteraan, sosial-budaya, hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, disintegrasi nasional, dan lain-lain. Pemilih tipe ini tidak akan segan-segan beralih dari sebuah partai atau seorang kontestan ke partai
15
politik atau kontestan lain ketika mereka dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan. b. Pemilih Kritis Pemilih jenis ini merupakan perpaduan antara tingginya orientasi pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa maupun tingginya orientasi mereka akan hal-hal yang bersifat ideologis. Pentingnya ikatan ideologis membuat loyalitas pemilih terhadap sebuah partai atau seorang kontestan cukup tinggi dan tidak semudah rational voter untuk berpaling ke partai lain. Proses untuk menjadi pemilih jenis ini bisa terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, jenis pemilih ini menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai politik dan kandidat mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau yang telah dilakukan. Kedua, bisa juga terjadi sebaliknya, pemilih tertarik dulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai atau kontestan baru kemudian mencoba memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilih jenis ini akan selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat. Tiga kemungkinan akan muncul ketika terdapat perbedaan antara nilai ideologi dengan platform partai yaitu memberikan kritik internal, frustasi, dan membuat partai baru yang memiliki kemiripan karakteristik ideologi dengan partai lama. Kritik internal merupakan manifestasi ketidaksetujuan akan sebuah kebijakan partai politik
16
atau seorang kontestan. Ketika pemilih merasa kritikannya tidak difasilitasi oleh mekanisme internal partai politik, mereka cenderung menyuarakannya melalui mekanisme eksternal partai, umpamanya melalui media massa seperti televisi, radio, dan sebagainya. Frustasi merupakan posisi yang sulit bagi pemilih jenis ini. Di satu sisi, mereka merasa bahwa ideologi suatu partai atau seorang kontestan adalah yang paling sesuai dengan karakter mereka, tapi di sisi lain mereka merasakan adanya ketidaksesuaian dengan kebijakan yang akan dilakukan partai atau kandidat tersebut. Biasanya pemilih ini akan melihat-lihat dahulu (wait and see) sebelum munculnya ide kemungkinan yang ketiga, yaitu membentuk partai baru. Pembuatan partai biasanya harus dipelopori oleh tokoh-tokoh yang tidak puas atas kebijakan suatu partai. Mereka memiliki kemampuan untuk menggalang massa, ide, konsep, dan reputasi untuk membuat partai tandingan dengan nilai ideologi yang biasanya tidak berbeda jauh dengan partai sebelumnya.
c. Pemilih Tradisional Pemilih dalam jenis ini memiliki orientasi yang sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambulan keputusan. Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budayanya, nilai, asal-usul, faham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih suatu partai politik. Kebijakan semisal ekonomi, kesejahteraan, pemerataan pendapatan dan pendidikan, serta pembangunan dianggap sebagai parameter kedua. Biasanya pemilih
17
jenis ini lebih mengutamakan figur dan kepribadian pemimpin, mitos dan nilai historis sebuah partai politik atau seorang kontestan. Salah satu karakteristik mendasar jenis pemilih ini adalah tingkat pendidikan yang rendah dan sangat konservatif dalam memegang nilai serta faham yang dianut. d. Pemilih Skeptis Pemilih jenis ini tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Keinginan untuk terlibat dalam sebuah partai politik pada pemilih jenis ini sangat kurang, karena ikatan ideologis mereka memang rendah sekali. Kalaupun berpartisipasi dalam pemungutan suara, biasanya mereka melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun dan partai apapun yang memenangkan pemilu tidak akan bisa membawa bangsa ke arah perbaikan yang mereka harapkan. Selain itu, mereka tidak memiliki ikatan emosional dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan.
D. Pendekatan Perilaku Pemilih Perilaku pemilih dapat ditinjau dalam berbagai pendekatan, Dieter Roth yang dikutip dalam Efriza (2012:482) menyebutkan bahwa : “Apabila kita membicarakan teori perilaku pemilih, maka tidak ada satu teori yang benar, karena juga tidak hanya ada satu teori mengenai perilaku manusia pada umumnya.” Dalam menganalisis perilaku pemilih dan untuk menjelaskan pertimbanganpertimbangan yang digunakan sebagai alasan oleh para pemilih dalam
18
menjatuhkan pilihannya, dikenal dua macam pendekatan yaitu Mahzab Columbia yang menggunakan pendekatan sosiologis dan Mahzab Michigan yang dikenal dengan pendekatan Psikologis. Selain itu terdapat juga pendekatan pilihan rasional yang melihat perilaku seseorang melalui kalkulasi untung rugi yang didapat oleh individu tersebut. Selain itu, ilmuwan Dennis Kavanagh yang dikutip dalam Efriza (2012:482) mengungkapkan bahwa ada lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis perilaku pemilih dalam suatu Pemilu. kelima pendekatan itu meliputi: (1) pendekatan struktural, (2) pendekatan sosiologis, (3) pendekatan ekologis, (4) pendekatan psikologis sosial, dan (5) pendekatan rasional. Namun dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan salah satu pendekatan perilaku pemilih yaitu pendekatan sosiologis. Penggunaan pendekatan sosiologis ini didasarkan atas penelitian yang memfokuskan pada bagaimana karakteristik sosial dan pengelompokkan sosial memberikan pengaruh dan literasi politik terhadap pemilih pemula dalam menentukan pilihannya. E. Pendekatan Sosiologis Perilaku Pemilih Pendekatan sosiologis merupakan pendekatan perilaku memilih yang berasal dari Eropa, kemudian dikembangkan oleh ilmuwan sosial yang berlatar belakang pendidikan Eropa. Oleh karena itu kemudian Scott C. Flanagan yang dikutip dalam Muhammad Asfar (2006:137) menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa. Pendekatan ini disebut juga dengan Mahzab Columbia. Pendekatan sosiologis melihat perilaku pemilih dipengaruhi oleh segala kegiatan yang berkonteks sosial.
19
Pendekatan ini lebih menekankan kepada faktor-faktor sosiologis yang kemudian membentuk perilaku memilih seseorang. Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokkan-pengelompokkan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Perilaku pemilih tentu dapat dijelaskan akibat pengaruh identifikasi seseorang terhadap suatu kelompok sosial dan norma-norma yang dianut oleh kelompok atau organisasinya.
Pada dasarnya semua kelompok masyarakat mempunyai kepentingan, manajemen, aktivitas rutin dan komunikasi internalnya masing-masing. Sejalan dengan pendapat di atas, Muhammad asfar yang dikutip dalam Adman Nursal (2004: 55) mengungkapkan bahwa : “Pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokkan sosial seperti usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan kelompok formal maupun informal dan lainnya mempunyai pengaruh yang signifikan dalam pembentukan perilaku pemilih.” Kemudian, menurut Khoirudin (2004:96) pendekatan sosiologis melihat masyarakat sebagai suatu kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat terbawah hingga teratas dimana menurut paham ini tingkatan-tingkatan atau kelompok yang berbeda inilah yang membentuk persepsi, sikap, keyakinan dan sikap politik dari masing-masing individu. Hal ini mengindikasikan bahwa subkultur dalam masyarakat memiliki kognisi sosial tertentu yang akhirnya bermuara pada perilaku tertentu.
20
Menurut Paul F. Lazarsfeld dalam Efriza (2012:493) pemberian suara dalam pemilu pada dasarnya adalah suatu pengalaman kelompok. Perubahan perilaku memilih seseorang cenderung mengikuti arah predisposisi politis lingkungan sosial individu tersebut. Pengaruh terbesar berasal dari keluarga dan lingkungan rekan atau sahabat erat individu terkait. Pendapat ini kemudian didukung oleh Dieter Roth dalam Efriza (2012:493) yang berpendapat bahwa perilaku memilih seseorang dalam pemilu cenderung mengikuti arah predisposisi politik lingkungan sosial dimana ia berada. Kemudian Gerald Pomper dalam Efriza (2012:494) berpendapat bahwa predisposisi sosial-ekonomi pemilih dan keluarga pemilih mempunyai pengaruh yang signifikan dengan perilaku memilih seseorang. Preferensipreferensi politik keluarga baik itu preferensi politik ayah ataupun preferensi politik ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak. Selain itu, David Apter dalam Efriza (2012:495) menguraikan tentang pengaruh dari keluarga terhadap anak dalam memilih yaitu adanya kesamaan pilihan seorang anak dengan pilihan orang tuanya. Kesamaan pilihan seorang anak dengan orang tuanya merupakan suatu hal yang wajar karena pada lembaga
keluarga
itulah
seseorang
pertama
kali
mempunyai
akses
pembentukan identitas diri, mempelajari nilai-nilai lingkungan dan sosialnya termasuk peran politiknya. Pada proses paling dini, pembentukan sikap termasuk sikap politik seseorang dilakukan dalam lingkungan keluarga.
21
Pengelompokan sosial baik secara formal seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, maupun kelompok-kelompok okupasi serta pengelompokkan secara informal seperti keluarga, pertemanan ataupun kelompok-kelompok kecil lainnya merupakan sesuatu yang penting dalam memahami perilaku memilih seseorang. Mengenai pengkategorian karakteristik sosial dan pengelompokkan sosial, Bone dan ranney dalam Adman Nursal (2004:56) membagi menjadi tiga tipe yakni kelompok kategorial yang terdiri atas orang-orang yang memiliki karakteristik politik yang berbeda-beda dan tidak menyadari tujuan dari kelompoknya. Perbedaan ini terjadi karena masing-masing anggota kelompok memberi reaksi yang berbeda-beda terhadap suatu peristiwa politik, pengalaman politik yang dimiliki serta peran peran sosial yang diemban. Pengelompokkan sosial terbentuk atas dasar faktor-faktor berikut : a. Perbedaan jenis kelamin. b. Perbedaan usia. c. Perbedaan pendidikan.
Kategori kedua adalah kelompok sekunder yakni kelompok yang menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya dan terdapat ikatan psikologis anggota terhadap kelompoknya. Kelompok ini diklasifikasikan sebagai berikut : a. Pekerjaan. b. Kelas sosial dan status sosial ekonomi. c. Kelompok-kelompok etnis seperti ras, agama, dan daerah asal. Tipe kelompok yang terakhir adalah kelompok primer yang terdiri atas orangorang yang melakukan kontak dan interaksi langsung secara teratus dan sering.
22
Kelompok ini memiliki pengaruh yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini yaitu : a. Orang tua. b. Teman sepermainan (peergroup). Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa model pendekatan sosiologis mengasumsikan perilaku pemilih ditentukan oleh karakteristik sosial, pengelompokkan sosial pemilih, dan karakteristik sosial tokoh atau partai yang dipilih. Pemilih memiliki orientasi tertentu terkait karakteristik dan pengelompokkan sosialnya dengan pilihan atas partai atau calon tertentu. Berdasarkan uraian beberapa pendapat ahli sebelumnya maka kajian dalam penelitian ini akan difokuskan pada pendekatan sosiologis melalui analisis bagaimana kelompok-kelompok yang terbentuk karena adanya pengkategorian karakteristik sosial dan pengelompokkan sosial baik yang bersifat formal dan informal dapat memberikan preferensi politik dan membentuk perilaku pemilih pemula dalam menentukan pilihannya pada pemilihan kepala Pekon Banyu Urip tahun 2013. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Muhammad Arsal dalam Adman Nursal (2004: 55), bahwa karakteristik sosial dan pengelompokkan-pengelompokkan
sosial
mempunyai
pengaruh
yang
signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Pengelompokkan sosial tersebut tersebut terdiri dari etnisitas, maupun agama. Pengelompokkan sosial tersebut dapat bersifat formal seperti organisasi dan perkumpulan ataupun bersifat informal seperti keluarga, pertemanan, dan kelompokkelompok kecil lainnya.
23
F. Tinjauan Mengenai Desa Menurut Widjaja (2012:4), secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi,
adat
istiadat
dan
hukumnya
sendiri
serta
relatif
mandiri.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak diberlakukannya otonomi daerah istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah nagari, di Aceh dengan istilah gampong, di beberapa kabupaten di Lampung disebut dengan Pekon. Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat. Berdasarkan beberapa pendapat mengenai desa yang telah disampaikan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya desa diartikan sebagai kesatuan masyarakat yang menempati suatu wilayah dengan kewenangankewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Pada kesempatan ini, penulis melakukan penelitian di Pekon (desa) Banyu Urip
24
Kecamatan Wonosobo Kabupaten Tanggamus yang telah melaksanakan pemilihan kepala pekon pada bulan maret 2013. G. Kerangka Pikir Desa dengan sistem pemilihan kepala desanya merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam proses demokratisasi di tingkat masyarakat lokal. Pemilihan Kepala Desa merupakan salah satu bentuk dari pembangunan demokrasi politik Bangsa Indonesia yang dimulai di tingkat bawah. Dalam sistem pemerintahan Desa telah dikenal sistem pemilihan langsung yang ada sebelum bangsa indonesia melakukan pemilihan umum secara langsung pada proses pemilihan umum yang rutin digelar seperti sekarang ini. Dalam setiap pemilihan umum baik itu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan Kepala Daerah ataupun pemilihan Kepala Desa, keberadaan pemilih pemula selalu menjadi daya tarik tersendiri. Pemilih pemula dapat dikategorikan sebagai pemuda/pemudi dalam usia yang masih remaja dan sarat dengan idealisme, mereka dianggap belum terkontaminasi dengan kepentingankepentingan birokrasi dan kekuasaan. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong oleh konteks dinamika lingkungan politik lokal. Seringkali apa yang mereka pilih tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ketidaktahuan dalam soal politik praktis, terlebih dengan pilihan-pilihan dalam pemilu atau pilkada, membuat pemilih pemula sering tidak berpikir rasional dan lebih memikirkan kepentingan jangka pendek. Namun, terlepas dari itu keberadaan pemilih pemula dalam setiap pemilihan umum selalu menjanjikan dari segi kuantitas. Pihak manapun baik
25
partai ataupun kandidat yang dapat menarik simpati dari kalangan ini tentu dapat menarik keuntungan guna mengamankan posisinya dalam momen pemilihan umum yang diikuti. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis perilaku pemilih pemula dalam penelitian ini yaitu pendekatan sosiologis. Alasan penulis menggunakan pendekatan tersebut karena dianggap relevan atau sesuai dengan konteks perilaku pemilih pemula. Bahwa kelompok-kelompok yang terbentuk karena adanya pengkategorian karakteristik sosial dan pengelompokkan sosial baik yang bersifat formal dan informal dapat memberikan preferensi politik dan membentuk perilaku pemilih pemula dalam menentukan pilihannya.. Pengelompokkan sosial tersebut terdiri dari etnisitas, agama, organisasi masyarakat, keluarga dan pertemanan. Untuk mempermudah penulis dalam mengetahui dan memahami perilaku memilih pemilih pemula berdasarkan pendekatan sosiologis pada pemilihan kepala Pekon Banyu Urip Kecamatan Wonosobo Kabupaten Tanggamus Tahun 2013,
26
Berikut adalah bagan kerangka pikir dari penelitian ini :
Pendekatan Sosiologis
Etnisitas Agama Organisasi kemasyarakatan Keluarga Teman sepermainan (peergroup)
Perilaku Memilih Pemilih Pemula Pada Pemilihan Kepala Pekon Banyu Urip Kecamatan Wonosobo Kabupaten Tanggamus Tahun 2013 Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir