BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEJANJIAN CELAH TIMOR DAN PENYELESAIAN SENGKETA 2.1 Pengertian Asas Rebus Sic Stantibus Berakhirnya pengikatan diri pada suatu perjanjian internasional pada dasarnya harus disepakati oleh para pihak yang terikat dalam perjanjian dimana hal tersebut 1
diatur dalam ketentuan perjanjian itu sendiri. Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional membedakan pengakhiran perjanjian yang didasarkan pada kesepakatan para pihak dengan pengakhiran yang dilakukan secara sepihak seperti pembatalan dan penghentian sementara.
2
Asas rebus sic stantibus merupakan dasar untuk mengajukan pengakhiran atau pengunduran diri atau penangguhan. Didalam asas ini suatu perjanjian menentukan perbuatan selanjutnya yang harus dilaksanakan pada masa yang akan datang. Perjanjian internasional berlaku secara efektif hanya selama keadaan yang menjadi dasar dibuatnya perjanjian tersebut tidak berubah atau didalam perjanjian tersebut hanya mengikat selama keadaan tidak berubah. 3 Selanjutnya ditegaskan pula asas rebus sic stantibus tidak dapat diterapkan dalam perjanjian-perjanjian berikut:
4
1
Damos Dumoli Agusman, 2014, “Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia”, Cet 2, PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 64. 2
Ibid.
3
Sefriani, 2010, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 299.
4
Ibid
1. Traktat-traktat yang secara langsung berkenaan dengan wilayah yang telah berganti pemilik seperti, traktat-traktat yang menetapkan rezim perbatasan, servitude, atau quasi servitude, misalnya hak melintas, atau traktat-traktat netralisasi atau demiliterisasi wilayah terkait. 2. Konvensi-konvensi multilateral yang berkaitan dengan kesehatan, narkotika, hak-hak manusia dan hal-hal serupa, yang dimaksudkan untuk berlaku, meskipun ada perubahan-perubahan wilayah. 2.2 Pengertian Asas Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt. Fakta yang sangat penting menyangkut pembuatan aturan-aturan hukum yang mengikat bagi masyarakat internasional berpusat kepada pengaturan dan akibat perjanjian terhadap negara-negara pihak ketiga, yaitu negara yang bukan anggota perjanjian yang bersangkutan. Aturan umumnya ialah kesepakatan internasional hanya mengikat bagi para anggotanya. Alasan-alasan untuk aturan tersebut dapat dijumpai pada asas-asas dasar kedaulatan dan kemerdekaan negara-negara yang tegas menyatakan bahwa negara harus menyetujui aturan tersebut. Pengaturan terhadap negara ketiga dalam Konvensi Wina 1969 diatur secara khusus dalam Bab III, Bagian Keempat, Pasal 34-38. Pasal 34 dengan tegas menganut asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak 5
dapat memberikan hak dan kewajiban-kewajiban pada pihak ketiga. Kewajiban pihak ketiga harus bertindak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian, dan ia akan tetap terikat pada perjanjian tersebut selama ia tidak menyatakan 5
Aryuni Yuliantiningsih, Pengaturan Asas Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt Berkaitan Dengan Status Hukum Daerah Dasar Laut Samudra Dalam (Sea Bed), Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No. 1 Januari 2010, hlm. 30.
kehendaknya yang berlainan. Bagi pihak ketiga mengenai perjanjian yang telah dibuat oleh pihak lain, baik negara maupun organisasi internasional, baginya hanya merupakan kepentingan pihak lain atau res inter allios act. Teori lain mengatakan bahwa mengenai keterikatan negara pengganti pada perjanjian internasional yang dibuat oleh negara pendahulu, tidak ada aturan yang berlaku umum. Terhadap pihak ketiga pergantian negara tidak mempunyai pengaruh, tetapi persoalan biasanya diselesaikan dengan perjanjian bilateral antara pihak yang terkait.6 2.3 Perjanjian Celah Timor 2.3.1 Sejarah Perjanjian Celah Timor Istilah Celah Timor diciptakan pada tahun 1972 sebagai hasil dari adanya dua peristiwa. Pertama, antara Australia dan Indonesia menetapkan sebuah perjanjian yang melibatkan keduanya untuk menetapkan batas dasar laut di daerah timur Papua Nugini dan selatan Timor Barat. Celah Timor, secara geografis berada di laut antara IndonesiaTimor Leste-Australia. Percobaan Eksplorasi minyak dan gas di celah tersebut sebenarnya sudah dimulai pada tahun sekitar tahun 1970an, tepatnya tahun 1974 dimana Portugal memberikan konsesi ladang minyak kepada Adobe Gas and Oceanic Company of Denver yang merupakan perusahaan dari Amerika7. Celah Timor merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, hal ini ditunjukan oleh banyaknya cadangan minyak dan gas yang terkandung di dalamnya. Menurut CIA World Factbook, Timor Leste menunjukan cadangan minyak terbukti
6
Ibid. http://www.seasite.niu.edu/easttimor/oil.htm diakses pada tanggal 1 Juni 2015
7
sebanyak 553.800.000 barrel8, hal ini belum termasuk ladang ladang yang belum diketahui secara pasti jumlah cadangannya, hal ini dikarenakan belum seluruh Celah Timor diteliti jumlah pasti dari cadangannya, hal ini juga berlaku pada cadangan Gas Timor Leste yang mencapai 200.000.000.000 meter kubik yang belum termasuk ladang ladang gas yang belum tereksplorasi. Hal ini mengungkapkan bahwa ekonomi negara baru termuda di Asia tenggara ini memiliki harapan dalam membangun negaranya melalui sumber daya alam minyak dan gas.9 Pada tahun 1974 ada laporan penemuan minyak di struktur Kelp dalam wilayah Celah Timor yang mengungkapkan adanya minyak yang signifikan dan juga potensi produksi gas. Hal ini potensial untuk menimbulkan permasalahan baru ketika penemuan minyak dapat membuat masalah Celah Timor yang sangat vital bagi Australia dan Indonesia.10 Minyak bagi Australia, dapat menjadi suksesi untuk bisa menjamin kemandirian energi Australia dalam abad ke-21, sebagai cadangan mereka di daerah lain yang semakin lama semakin berkurang. Penemuan cadangan baru juga sangat penting bagi Indonesia. Maka dengan demikian, Australia dan Indonesia memulai negosiasi untuk membentuk suatu batas yang bisa diterapkan. Kemudian Australia dan Indonesia melakukan kesepakatan pada prinsipnya untuk melaksanakan zona pengembangan bersama pada bulan Oktober 1985. Pada tanggal 11 Desember 1989, Menteri Luar Negeri Australia dan Indonesia akhirnya menandatangani Perjanjian Celah Timor saat
8
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/rankorder/2 178 rank. Html ?country Name=Timor-Leste&countryCod e=tt®ionCode=eas&rank=46 diakses pada 1 Juni 2015 9
Ibid
10
Ibid.
berada diatas Laut Timor.11 2.3.2 Perjanjian Zona Kerjasama di Celah Timor Perjanjian Timor Gap Treaty 1989 merupakan perjanjian yang bersifat teknis yang mengatur mengenai zona pengembangan bersama (join development zone) di daerah tumpang tindih klaim antara Indonesia dan Australia yaitu celah Timor. Perjanjian tersebut dibuat oleh kedua belah pihak tidak lain adalah agar tidak menggangu hubungan bilateral yang baik antara kedua belah pihak dan agar tidak tertundanya pemanfaatan potensi minyak bumi dan gas alam yang terdapat di Celah Timor.12 Secara yuridis, perjanjian mengenai zona pengembangan bersama antara Indonesia dan Australia ini dilegitimasi oleh Konvensi Hukum Laut 1982, sebagaimana yang terkandung di dalam Pasal 83: "Sementara persetujuan penetapan batas landas kontinen belum tercapai, negara-negara yang bersangkutan dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya berupaya untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama berlangsungnya masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya untuk mencapai persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan penetapan garis batas landas kontinen yang final". Perjanjian Timor Gap Treaty tersebut pada prinsipnya mengatur masalah pembagian keuntungan yang diperoleh dari hasil pemanfaatan minyak bumi dan gas 11
BT, Strategi Diplomasi Australia Terhadap Timor Leste: Kasus Celah Timor, Tesis UMY, hlm. 4. URL : http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t15325.pdf., diakses pada tanggal 26 Februari 2015. 12
Rephoyt, Timor Gap Treaty 1989 dan Implikasinya, URL : http://rephoyt.blogspot.com/2011/09/timor-gap-treaty-1989-dan-implikasinya.html, diakses pada tanggal 25 Februari 2015.
alam yang terdapat di celah Timor, dengan ketentuan 50 : 50. Atau dengan kata lain, keuntungan yang diperoleh dari hasil pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di celah Timor akan menjadi hak Indonesia sebesar 50% dan jumlah yang sama pula untuk Australia. Di samping mengatur masalah pembagian keuntungan, Timor Gap Treaty 1989 juga membagi daerah celah Timor menjadi tiga bagian, yaitu ;13 1. Daerah A; Daerah A merupakan sebagian dari daerah tumpang tindih klaim (daerah tumpang tindih klaim yang sebenarnya adalah daerah yang dalam Perjanjian ini disebut Daerah A dan Daerah C). Daerah A akan dimanfaatkan bersama oleh kedua pihak dengan pembagian hasil masing-masing 50%. Untuk mengelola Daerah A akan dibentuk Dewan Menteri dan Otoritas Bersama, dan diberlakukan Kontrak Bagi Hasil. 2. Daerah B; Daerah B merupakan daerah di sebelah Selatan garis tengah yang terletak di luar daerah-daerah tumpang tindih klaim, dan di Selatan dibatasi oleh batas 200 mil laut dari garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia. Daerah B ini akan dikelola oleh Australia seperti yang berlaku selama ini, tetapi Australia akan memberikan kepada Indonesia 16% dari penghasilan pajak bersih atau "Net Resource Rent Tax" (Net RRT) atau 10% dari penghasilan pajak kotor (Groos RRT). Selain itu Australia akan memberikan informasi kepada Indonesia tentang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Daerah B sebelum kegiatan tersebut dimulai; 3. Daerah C; Daerah ini sebenarnya merupakan bagian dari daerah tumpang tindih tuntutan yurisdiksi masing-masing pihak. Daerah C tersebut akan
13
Hamada Hanung, Timor Gap Treaty dan Implikasinya, URL: http://hanunghisbullahhamda.blogspot.com/2011/04/timor-gap-treaty-1989-dan-implikasinya.html, diakses pada tanggal 25 Februari 2015
dikelola oleh Indonesia, dengan ketentuan bahwa Indonesia akan memberikan 10% dari Pajak Pendapatan Kontraktor. Selain itu Indonesia juga akan memberitahukan Australia tentang kegiatan tersebut.14
2.4 Pengertian Sengketa Internasional Dalam dunia internasional, menjalin hubungan internasional adalah suatu hal mutlak yang tidak bisa dihindari oleh setiap negara, hal ini sudah tertuang di dalam Konvensi Montevideo 1933 yang menyatakan syarat dari terbentuknya negara salah satu poin yang paling penting adalah mampu menjalin hubungan internasional dengan negara lain, tujuannya adalah adanya saling membutuhkan satu negara dengan negara lainnya, karena tidak ada satu negara yang dapat memenuhi kebutuhan negaranya 15
sendiri tanpa bantuan dari negara lain. Dengan seringnya negara menjalin hubungan internasional dengan negara lain banyak dampak positif yang dihasilkan dan tidak dipungkiri lagi selain dampak positif yang didapatkan sisi negatifnya pun ada, misalkan suatu negara terlibat suatu pertikaian atau sengketa internasional di antara kedua negara, banyak kasus yang sering menyebabkan ketegangan di antara negara yang bertikai dan banyak kasus yang terjadi yang menyebabkan masalah di atas.
16
Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antarnegara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya berjalan dengan baik. Seringkali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antarnegara 14
Ibid Dewa Gede Sudika Mangku, 2012, Suatu Kajian Umum Tentang Penyelesaian Sengketa Internasional Termasuk Di Dalam Tubuh ASEAN, Perspektif Volume XVII No. 3 September 2012, hlm, 150. 15
16
Ibid.
dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain-lain.
17
Kata dispute mengandung pengertian pertikaian atau sengketa dimana keduanya dipergunakan secara bergantian.
18
John G. Merrills memahami suatu persengketaan
sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak lainnya. Karena itu, sengketa internasional adalah perselisihan, yang tidak secara eksklusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional.
19
Persoalan yang timbul adalah apa
yang bisa dijadikan sebagai subjek persengketaan. Menurut John G. Merrills subyek dari persengketaan dapat bermacam-macam, mulai dari sengketa mengenai kebijakan suatu negara sampai persoalan perbatasan.
20
Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Sengketa internasional dapat merupakan sengketa yang tidak mempengaruhi kehidupan internasional dan dapat juga merupakan sengketa yang mengancam perdamaian dan ketertiban internasional.
17
21
Huala Adolf, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.
18
John G Merrills, 1991, International Dispute Settlement, Cetakan 1, Cambridge University Press, Cambridge. Penterjemah Achmad Fausan, Penyelesaian Sengketa Internasional, Tarsito, Bandung, (selanjutnya disebut John G Merrils I), hlm. 1. 19
Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 224. 20
John G. Merrills, 2003, The Means of Dispute Settlement, Oxford University Press, New York, (selanjutnya disebut John G Merrils II), hlm. 529. 21
Huala Adolf, op.cit, hlm. 2.
Selain itu, Boulding merumuskan sengketa sebagai suatu situasi dari persaingan dimana para pihak menyadari adanya ketidakcocokan potensial dari posisi-posisi yang akan datang dan dimana setiap pihak mengingankan untuk menempati suatu posisi yang tidak sesuai dengan keinginan-keinginan dari pihak lain.
22
2.5 Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa Pada umumnya metode-metode penyelesaian sengketa digolongkan ke dalam dua kategori yaitu cara-cara penyelesaian secara damai dan cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan.
23
Cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan apabila para pihak telah menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. J.G. Starke mengklasifikasikan suatu metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai atau bersahabat yaitu arbitrase, penyelesaian yudisial, negosiasi, jasa-jasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi, penyelidikan, dan penyelesaian di bawah naungan 24
organisasi PBB. Sementara itu, F. Sugeng Istanto menyatakan bahwa penyelesaian secara damai dapat dilakukan melalui beberapa cara yakni rujuk, penyelesaian sengketa di bawah perlindungan PBB, arbitrase dan peradilan.
25
22
I Made Widnyana, 2014, Alternatif Penyelesaian Sengketa & Arbitrase, PT. Fikahati Aneksa, Badan Arbitrane Nasional Indonesia, hlm. 27. 23
A.A.S.P. Dian Saraswati, 2007, Simplikasi Pengaruh Pelaksanaan Putusan Mahkamah Internasional dalam Memperluas Wilayah Laut Suatu Negara (Studi Kasus Sengketa Wilayah Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia), Tesis Program Studi Ilmu Hukum Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, hlm. 19. 24
J.G. Starke, 2007, Pengantar Hukum Internasional (edisi kesepuluh, Buku 2), Cetakan 1, Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 646. 25
F. Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 88.
Melihat pandangan kedua ahli hukum di atas maka dapat terlihat bahwa penyelesaian sengketa secara damai pada dasarnya dapat dilakukan berdasarkan: 1. Arbitrase Arbitrase adalah sebuah salah satu cara alternatif penyelesaian sengketa yang telah dikenal lama dalam hukum internasional. Dalam penyelesaian suatu kasus sengketa internasional, sengketa diajukan kepada para arbitrator yang dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang bersengketa. Menurut F. Sugeng Istanto, arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa dengan mengajukan sengketa kepada orang-orang tertentu, yang dipilih secara bebas oleh pihakpihak yang bersengketa untuk memutuskan sengketa itu tanpa harus memperhatikan ketentuan hukum secara ketat.
26
Sementara itu, Moh.Burhan Tsani menyatakan arbitrase adalah suatu cara pengaturan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak-pihak yang bersengketa. Sementara itu, Konvensi Den Haag Pasal 37 Tahun 1907 memberikan definisi arbitrase internasional bertujuan untuk menyelesai sengketa-sengketa internasional oleh hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan hukum internasional. Dengan penyelesaian melalui jalur arbitrase ini negara-negara harus melaksanakan keputusan dengan itikad baik.
27
Hakikatnya arbitrase ialah prosedur penyelesaian sengketa konsensual dalam arti bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilakukan dengan persetujuan negara-negara bersengketa yang bersangkutan. Penyerahan 26
Ibid.
27
Moh. Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, hlm. 109.
suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan perbuatan suatu compromise, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketa lahir (clause compromissoire). Penyerahan sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan menempatkannya di dalam perjanjian internasional antara negara-negara yang bersangkutan.28 Perjanjian internasional itu mengatur pokok sengketa yang dimintakan arbitrase, penunjukkan tribunal arbitrase, batas wewenang arbitrase, prosedur arbitrase, dan ketentuan yang dijadikan dasar pembuatan keputusan arbitrase. Susunan tribunal arbitrase sangat beranekaragam tergantung pada suatu perjanjian internasional yang mengatur arbitrase itu. Tribunal arbitrase dapat terdiri dari seorang arbitrator atau beberapa orang arbitrator, beberapa arbitrator ini dapat merupakan gabungan arbitrator yang telah ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa atau gabungan arbitrator yang ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa ditambah arbitrator yang dipilih menurut cara-cara tertentu. Wewenang tribunal arbitrase tergantung pada suatu kesepakatan negara-negara yang bersengketa dalam perjanjian internasional tentang arbitrase yang bersangkutan.
29
2. Penyelesaian Yudisial (Judicial Settlement) Penyelesaian yudisial berarti suatu penyelesaian yang dihasilkan melalui suatu pengadilan yudisial internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya
28
Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 32. 29 Huala Adolf, op.cit, hlm. 38.
dengan memperlakukan dari suatu kaidah-kaidah hukum. Peradilan yudisial ini menurut F. Sugeng Istanto juga dapat disamakan dengan suatu peradilan internasional. Peradilan Internasional penyelesaian masalah dengan menerapkan ketentuan hukum yang dibentuk secara teratur. Pengadilan dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus. Pengadilan internasional permanen contohnya adalah Mahkamah Internasional (ICJ).
30
Peradilan internasional berbeda dengan arbitrase internasional dalam beberapa hal, yaitu sebagai berikut:31 1) Mahkamah secara permanen merupakan sebuah pengadilan, yang diatur dengan statuta dan serangkaian ketentuan prosedurnya yang mengikat terhadap semua pihak yang berhubungan dengan Mahkamah; 2) Mahkamah memiliki panitera atau register tetap, yang telah menjalankan semua fungsi yang diperlukan dalam menerima dokumen-dokumen untuk arsip, dilakukan suatu pencatatan dan pengesahan, pelayanan umum Mahkamah, dan bertindak sebagai saluran komunikasi tetap dengan pemerintah dan badan-badan lain; 3) Proses peradilan dilakukan secara terbuka, sementara pembelaanpembelaan dan catatan-catatan dengan pendapat serta keputusankeputusannya dipublikasikan; 30
Ibid
31
Dewa Gede Sudika Mangku, op.cit, hlm. 152.
4) Pada prinsipnya Mahkamah dapat dimasuki oleh semua negara untuk proses penyelesaian yudisial segala kasus yang dapat diserahkan oleh negara-negara itu kepadanya dan semua masalah khususnya yang diatur dalam traktat dan konvensi yang berlaku; 5) Pasal 38 Statuta Mahkamah secara khusus menetapkan bentuk hukum yang berbeda-beda yang harus diberlakukan Mahkamah di dalam perkara-perkara dan masalah-masalah yang telah diajukan kehadapannya, tanpa menyampingkan Mahkamah untuk dapat memutuskan suatu perkara ex aequo et bono apabila para pihak setuju terhadap cara tersebut (meskipun bukan ex aequo et bono dalam pengertian yang kaku, prinsip-prinsip kepantasan yang diterapkan oleh Mahkamah dalam sejumlah besar perkara beberapa waktu ini yang diajukan kepadanya yang berkenaan dengan suatu penetapan batas-batas maritim dan teritorial; 6) Keanggotaan Mahkamah adalah wakil-wakil dari bagian terbesar suatu masyarakat internasional dan mewakili sistem hukum utama, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan pengadilan lain; 7) Dimungkinkan bagi Mahkamah untuk mengembangkan suatu praktek yang konsisten dalam proses-proses peradilannya dan memelihara kesinambungan wawasan terhadap suatu hal yang tidak sesuai jika dilakukan pengadilan-pengadilan ad hoc. 3. Negosiasi
Negosiasi atau perundingan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk dapat mempelajari dan merujuk mengenai sikap yang dipersengketakan agar dapat mencapai suatu hasil yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Apapun bentuk hasil yang dicapai, walaupun sebenarnya lebih banyak diterima oleh satu pihak dibandingkan dengan pihak yang lainnya. Negosiasi merupakan suatu teknik penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan paling sederhana. Dalam teknik penyelesaian sengketa tidak melibatkan pihak ketiga. Pada dasarnya negosiasi hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang telah dimiliki oleh keduabelah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Bilamana jalan keluar ditemukan oleh pihak-pihak, maka akan berlanjut pada pemberian konsesi dari tiap pihak kepada pihak lawan.
32
Karena itu, dalam hal salah satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salah satu cara penyelesaian ini akan mengalami jalan buntu. Di dalam melakukan negosiasi para pihak harus bisa bersifat universal, harus memenuhi aturan-aturan tentang niat baik, dan tidak sekedar dilaksanakan secara formalitas. Negosiasi atau perundingan merupakan suatu pertukaran-pertukaran pendapat atau usul-usul antar pihak yang bersengketa untuk mencari kemungkinan tercapainya penyelesaian sengketa secara damai, sedangkan pokok perundingan biasanya merupakan apa yang menjadi pokok dari sengketa internasional yang telah melibatkan pihak-pihak perundingan. Negosiasi
32
Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, op.cit,hlm. 226.
merupakan suatu proses yang di dalamnya secara eksplisit diajukan usul secara nyata untuk tercapainya suatu persetujuan.
33
Negosiasi juga melibatkan diskusi langsung antar pihak-pihak dalam sengketa, tidak ada pihak luar atau ketiga yang terlibat dalam proses negosiasi. Segi positif dari suatu negosiasi ini adalah sebagai berikut: 34 1. Para pihak sendiri yang melakukan negosiasi (perundingan) secara langsung dengan pihak lainnya; 2. Para
pihak
memiliki
kebebasan
penyelesaian
sengketa
secara
untuk
negosiasi
menentukan ini
dilakukan
bagaimana menurut
kesepakatan bersama; 3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya; 4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik di dalam negeri; 5. Dalam negosiasi, para pihak dapat berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang dan yang kalah, tetapi diupayakan kedua belah pihak menang; 6. Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk setiap penyelesaian sengketa dalam setiap bentuknya, apakah negosiasi secara tertulis, lisan, bilateral, multilateral, dan lain-lain.
33
Mirza Satria Buana, 2007, Hukum Internasional Teori dan Praktek, FH Unlam Press, Kalimantan Selatan, hlm. 88. 34
Huala Adolf, op.cit,hlm. 41.
Sedangkan, kelemahan utama penggunaan cara negosiasi di dalam penyelesaian sengketa adalah:
35
1) Manakala kedudukan dari para pihak tidak seimbang, salah satu pihak kuat sedang pihak yang lain lemah. Dalam keadaan ini, pihak yang kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. 2) Bahwa proses berlangsungnya suatu negosiasi acapkali lambat dan memakan waktu lama. Hal ini terutama dikarenakan suatu permasalahan antarnegara yang timbul. Selain itu juga, jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui negosiasi. 3) Manakala salah satu pihak terlalu keras dengan pendiriannya, keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi menjadi tidak produktif. Sementara itu juga, menurut F. Sugeng Istanto, negosiasi adalah penyelesaian sengketa melalui usaha-usaha penyesuaian pendapat antara pihakpihak yang bersengketa secara bersahabat. Negosiasi ini merupakan sarana untuk menetapkan penyesuaian kebijakan atau sikap tentang masalah yang disengketakan.
36
John G. Merrills menggambarkan peranan penting lembaga
negosiasi ini dengan kalimat sebagai berikut: dalam praktiknya, negosiasi
35
Ibid.
36
F. Sugeng Istanto, op.cit,hlm. 89.
acapkali dimanfaatkan dari pada cara-cara lain, seringkali pula negosiasi hanya satu-satunya cara yang dipakai, bukan karena cara ini yang pertama ditempuh, tetapi karena seringkali negara-negara merasakan keuntungannya meskipun sengketanya sudah begitu rumit dan sulit didamaikan. Negosiasi merupakan sebuah metode penting dan pada umunya merupakan persoalan-persoalan yang serius yang dalam praktek harus didahulukan oleh pertukaran diplomatik dan/atau diplomatic exchanges terlebih dahulu.
37
4. Mediasi Mediasi sebenarnya merupakan bentuk lain dari negosiasi sedangkan yang membedakannya adalah terdapat keterlibatan pihak ketiga. Dalam hal pihak ketiga yang hanya bertindak sebagai pelaku mediasi atau mediator komunikasi bagi pihak ketiga untuk mencarikan negosiasi-negosiasi, maka peran dari pihak ketiga disebut sebagai good office. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran yang aktif untuk mencari solusi yang tepat untuk melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai dan untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di antara para pihak. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara, individu, dan organisasi internasional.
38
Di dalam melakukan negosiasi atau perundingan, mediator dapat mengajukan beberapa opsi atau penawaran mengenai penyelesaian masalah sengketa. Adakalanya penawaran mediasi ditolak dan adakalanya juga dapat 37 38
John G. Merrills I, Penterjemah Achmad Fausan,hlm. 27. Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, op.cit,hlm. 227.
diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Keberhasilan proses mediasi tergantung pada kemauan para pihak atau parties willingness to solved issues dan penerimaan serta pengaturan penyelesaian yang disarankan atau approval and implement dispute settlement. Proses mediasi bisa dikatakan berhasil apabila usulan, penawaran atau peranan mediator dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Bahkan mediator dapat pula berupaya mendamaikan para pihak yang bersengketa. Tetapi saran-saran atau pun usulan-usulan mediator tidak mempunyai daya mengikat dan/atau binding power. Jadi, mediator hanya berperan untuk mendamaikan tuntutan kepentingan yang saling berlawanan serta meredam rasa dendam yang mungkin timbul antara pihak-pihak yang bersengketa.
39
Proses penyelesaian sengketa melalui mediasi ini hampir mirip dengan konsilisasi. Perbedaannya, pada mediasi umumnya mediator memberikan usulan penyelesaian secara informal dan usulan tersebut didasarkan pada laporan yang diberikan oleh para pihak, tidak dari hasil penyelidikan sendiri. Perlu ditekankan disini, bahwa saran atau usulan penyelesaian yang diberikan tidaklah mengikat sifatnya, dimana sifatnya hanya berupa rekomendatif atau usulan saja.
40
5. Konsiliasi Menurut J. G. Starke, istilah konsiliasi mempunyai suatu arti yang luas dan sempit. Dalam pengertian luas, konsiliasi mencakup berbagai ragam metode dimana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara 39
Ibid
40
Ibid.
lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasihat yang tidak berpihak. Dalam pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komisi atau komite untuk membuat laporan beserta usulan-usulan kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut, usulan itu tidak memiliki sifat mengikat.
41
Konsiliasi menurut the Institute of International Law melalui the Regulations on the Procedure of International Conciliation yang telah diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 dinyatakan, sebagai suatu metode dari penyelesaian sengketa bersifat internasional di dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau ad hoc (sementara) berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa. Proses seperti ini berupaya mendamaikan pandangan-pandangan para pihak yang bersengketa meskipun usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya tidak mempunyai kekuatan hukum.
42
6. Jasa-jasa Baik (Good Offices) Jasa-jasa baik diartikan sebagai suatu tindakan pihak ketiga yang akan mencoba membawa ke arah terselenggaranya suatu perundingan atau memberikan fasilitas ke arah terselenggaranya perundingan dengan tanpa berperan serta dalam diskusi mengenai substansi atau pokok sengketa yang bersangkutan. Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga hanyalah sebagai fasilitator
41
J.G. Starke, Op.cit, hlm. 673.
42
Ibid
dan menawarkan saluran komunikasi supaya dapat dimanfaatkan oleh para pihak yang bersengketa demi terlaksananya proses perundingan.
43
Keikutsertaan pihak ketiga memberikan jasa-jasa baik memudahkan pihak yang bersengketa untuk bersama-sama mempercepat perundingan di antara mereka. Setiap pihak yang bersengketa dapat meminta kehadiran jasa-jasa baik. Namun, pihak lainnya tidak berkewajiban untuk menerima permintaan tersebut. Dengan kata lain, permintaan tersebut sifatnya tidak mengikat dan tidak 44
boleh dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat atau unfriendly act.
Dalam jasa-jasa baik, seorang pihak ketiga hanya memberikan jasajasanya untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan menyarankan penyelesaiannya (secara umum), dan tanpa secara nyata ikut serta dalam perundingan atau melakukan penyelidikan yang sangat mendalam mengenai aspek-aspek sengketa tersebut itu. Negara atau organisasi internasional yang bertindak untuk memberikan jasa-jasa baik berarti telah menunjukkan keinginannya yang bersahabat untuk meningkatkan penyelesaian sengketa. Apabila pihak ketiga telah mempertemukan pihak-pihak yang telah bersengketa untuk mencari penyelesaian suatu sengketa, maka selesailah sudah tugas pihak ketiga tersebut.
45
7. Pencarian Fakta (Inquiry)
43
Ibid
44
Wener Levy, 1991, Contemporary International Law: A ConciseIntroduction, Westview Press, hlm.
280. 45
Ibid.
Ketika terjadi pertikaian mengenai fakta dari suatu persoalan, metode inquiry dapat dipandang paling tepat. Sebab metode ini digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan yang bersifat internasional untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang relevan dengan permasalahan kemudian.
46
Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya. Tujuan dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya adalah membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di antara dua negara, yaitu mengawasi pelaksanaan dari suatu perjanjian internasional, memberikan informasi guna membuat putusan di tingkat internasional. Pencarian fakta oleh J. G. Starke, disarankan dengan istilah penyelidikan, tujuan dari penyelidikan tanpa membuat rekomendasi-rekomendasi yang spesifik adalah untuk menetapkan fakta yang mungkin diselesaikan dan dengan cara demikian memperlancar suatu penyelesaian sengketa yang dirundingkan.
47
Penyelesaian Sengketa Secara Paksa atau Dengan Kekerasan Apabila negara-negara tidak dapat mencapai suatu kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka secara damai maka cara pemecahan yang mungkin adalah dengan melalui cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip cara penyelesaian melalui kekerasan adalah sebagai berikut: 1. Perang dan Tindakan Bersenjata Non Perang 46
Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, op.cit,hlm. 228.
47
J.G. Starke, opt.cit.,hlm. 674.
Menurut F. Sugeng Istanto, pertikaian bersenjata atau perang adalah suatu pertentangan yang disertai penggunaan kekerasan angkatan bersenjata masing-masing pihak dengan tujuan menundukkan lawan dan menetapkan persyaratan perdamaian secara sepihak. Sementara itu, menurut J. G. Starke, keseluruhan tujuan dari perang adalah untuk dapat menaklukkan negara lawan dan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian dimana negara yang ditaklukkan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya.
48
2. Retorsi Menurut J.G. Starke, retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain, balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakantindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya telah dihina, misalnya merenggangnya hubungan-hubungan diplomatik, pencabutan keistimewaan diplomatik, atau penarikan diri dari konsensi-konsensi fiskal dan bea.
49
Sementara itu, menurut F. Sugeng Istanto, keadaan yang membenarkan penggunaan retorsi sampai saat kini belum dapat secara pasti ditentukan karena 50
pelaksanaan retorsi sangat beranekaragam. Penggunaan retorsi secara sah oleh negara anggota PBB nampak terikat dengan ketentuan Piagamnya. Anggota PBB harus menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi dengan cara damai
48
Ibid
49
Ibid.
50
F. Sugeng Istanto, op.cit,hlm. 150.
sehingga tidak mengganggu perdamaian dan keamanan internasional dan keadilan.
51
3. Tindakan-Tindakan Pembalasan (Reprisal) Reprisal adalah metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan.
52
Reprisal berbeda
dengan retorsi karena perbuatan retorsi hakikatnya merupakan perbuatan yang tidak melanggar hukum sedangkan perbuatan reprisal pada hakikatnya merupakan perbuatan yang melanggar hukum.Reprisal di suatu masa perang adalah perbuatan pembalasan antara pihak yang berperang dengan tujuan untuk memaksa pihak lawan menghentikan perbuatannya yang telah melanggar hukum perang. Misalnya, pada tahun 1939 sampai 1940 Inggris menahan barang-barang eksport Jerman yang dimuat kapal netral sebagai pembalasan atas perbuatan tidak sah yang penenggelaman kapal dagang oleh ranjau yang dipasang angkutan laut Jerman.
53
4. Blokade Secara Damai (Pacific Blockade) Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang telah terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut.Namun, blokade
51
Lihat Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
52
J.G. Starke, opt.cit.,hlm. 680.
53
Ibid
secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Sementara itu menurut pendapat dari F. Sugeng Istanto, blokade adalah suatu pengepungan wilayah, digolongkan sebagai suatu pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade. Blokade yang secara damai untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 1872, karena pada tahun itu telah dilakukan sekitar 20 tindakan demikian.
54
Blokade secara damai pada umumnya dapat digunakan oleh negaranegara yang lemah, meskipun karena itu besar kemungkinan terjadi penyalahgunaan dalam sebagaian besar kasus blokade secara damai dapat dipakai oleh negara-negara besar yang bertindak secara bersama-sama untuk tujuan kepentingan dari negara-negara yang bersangkutan, misalnya untuk mengakhir kerusuhan atau untuk mencegah terjadinya perang.
55
5. Intervensi Perkataan intervensi seringkali dipakai secara umum untuk menunjukkan hampir semua tindakan campurtangan oleh suatu negara dalam urusan negara lain. Menurut suatu pengertian yang lebih khusus intervensi itu terbatas pada tindakan mencampuri urusan dalam negeri atau luar negeri dari negara lain yang melanggar kemerdekaan negara itu, bukanlah satu intervensi suatu pemberian nasehat oleh suatu negara pada suatu negara lain mengenai beberapa hal yang 54
Thomas, Walter R, 1980, Pacific Blokade, A Lost Opportunity of the 1930’s, dalam US Naval War College International Law Studies, hlm. 198. Dalam J.G. Starke, Ibid, hlm. 683. 55
Ibid.
terletak di dalam kompetensi dari negara yang disebut kemudian untuk mengambil keputusan untuk dirinya, walaupun pada umumnya orang mengangap itu sebagai suatu intervensi. Campurtangan harus berbentuk suatu perintah, yaitu bersifat memaksakan atau ancaman kekerasan berdiri dibelakangnya, campurtangan tersebut hampir selalu disertai dengan suatu bentuk atau implikasi tindakan untuk mengganggu kemerdekaan politik negara bersangkutan.
56
2.6 Perjanjian Internasional Dalam masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara.Melalui perjanjian internasional tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri.57 Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada
satu
negara
yang
tidak
diatur
oleh
perjanjian
dalam
kehidupan
internasionalnya.58Semakin besarnya dan semakin meningkatnya esalingtergantungan antara umat manusia di dunia ini mendorong diadakannya kerjasama internasional yang dalam banyak hal dirumuskan dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional.59
56
J.L. Brierly, 1996, Hukum Bangsa-Bangsa Suatu Pengantar Hukum Internasional, Bharatara, Jakarta, hlm. 256.
2.
57
Boer Mauna, op.cit, hlm. 82.
58
Ibid.
59
I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Mandar Maju, Bandung, hlm.
Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama dari negara-negara berdaulat untuk mengikatkan diri pada kaidah-kaidah hukum internasional yang disebut dengan commont consent merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan-kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia.60 Dasar mengikatnya hukum internasional juga terletak pada asas Pacta Sun Servada yaitu setiap perjanjian harus dipatuhi oleh pembuatnya. Pada awalnya pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan internasional. Prakteknya, hukum kebiasaan internasional mempunyai beberapa kelemahan, antara lain adalah substansinya yang kurang jelas atau samar-samar sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum. Berdasar pada hal tersebut, kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional dalam bentuk tertulis harus segera diwujudkan. Pertengahan
tahun
1960-an, Komisi Hukum
Internasional (komisi yang dibentuk melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 174/II tentang pembentukan Komisi Hukum Internasional) menaruh perhatian terhadap permasalahan pengkodifikasian Hukum Perjanjian Internasional.61 Komisi Hukum Internasional menyiapkan Rancangan Naskah Konvensi tentang Hukum Perjanjian yang khusus mengatur masalah perjanjian antar negara dan negara. Rancangan tersebut diajukan kepada Majelis Umum PBB. Setelah Majelis Umum PBB mengeluarkan 2 kali resolusi (Resolusi Nomor 2166 (XXI) dan Nomor 2287 (XXII)), yang pada intinya menyerukan kepada anggotanya untuk segera mengadakan konferensi 60
Boer Mauna, Op.cit, hlm.83
61
I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 6.
internasional dalam bidang hukum perjanjian, maka diselenggarakanlah konferensi internasional di Wina, Austria, dari tanggal 26 Maret sampai 24 Mei 1968 dan dilanjutkan pada tanggal 9 April-22 Mei 1969. Hasil dari konferensi tersebut adalah disepakatinya naskah konvensi dan tanggal 23 Mei 1969 dilakukan penandatanganan oleh para wakil-wakil negara yang mengadakan perundingan. Konvensi ini kemudian dikenal sebagai the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties (Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional). Konvensi ini mulai berlaku (enter into force) pada tanggal 27 Januari 1980.62 Dalam perkembangannya, Komisi Hukum Internasional menyiapkan kembali rancangan pasal-pasal untuk perjanjian internasional antara negara dengan organisasi internasional dan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional. Dengan mekanisme yang hampir sama dengan prosedur pembuatan konvensi Wina 1969, pada tanggal 18 Februari-21 Maret 1986 diadakankonferensi di Wina, Austria, untuk membahas rancangan dari Komisi Hukum Internasional tersebut. 20 Maret 1986, para delegasi peserta konferensi menyepakati naskah konvensi dan 21 Maret 1986 naskah Konvensi dinyatakan terbuka untuk ditandatangani oleh semua negara peserta. Konvensi ini dikenal dengan nama the 1986 Vienna Convention on The Law of Treaties between State and International Organization and between International Organization and International Organization (Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian antara negara dan Organisasi Internasional dan antara Organisasi Internasional dan Organisasi Internasional).63
62
I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 7.
63
I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 9.
Dengan adanya 2 konvensi tentang Hukum Perjanjian Internasional tidaklah berarti bahwa kaidah-kaidah hukum perjanjian itu semuanya tercakup dalam kedua konvensi ini. Di luar dari kedua konvensi masih terdapat kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang berbentuk hukum kebiasaan internasional, sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang terdapat dalam kedua konvensi; kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang berbentuk yurisprudensi; kaidah-kaidah Hukum Perjanjian Internasional yang berbentuk doktrin atau pendapat sarjana; ataupun yang berupa prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa beradab, maupun yang berbentuk keputusan atau resolusi organisasi-organisasi internasional. Dengan perkataan lain, semua yang dikemukakan di atas itu merupakan sumber hukum dalam arti formal dari Hukum Perjanjian Internasional.64 2.6.1 Pengertian Perjanjian Internasional Perjanjian internasional merupakan suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrument yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.65Selain itu, perjanjian internasional juga didefinisikan sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa
dan
bertujuan
untuk
mengakibatkan
akibat
hukum
tertentu.66Perjanjian Internasional menurut Michael Virally adalah A treaty is
64
I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 10-11.
65
D. J. Harris, 2004, Cases & Materials On International Law, Sixth Edition, Sweet and Maxwell Limited, London, hlm. 788-789. 66
Syahmin A.K., 1985, Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969), Amico, Bandung, (selanjutnya disebut Syahmin AK. I), hlm. 9.
internationalagreement which is entered into by two or more states orother international persons and is governed by international law.67 Pembentukan perjanjian mensyaratkan para pihak harus negara dan berbentuk tertulis. Konvensi Wina 1969 hanya dapat digunakan terhadap sengketa mengenai perjanjian yang dibentuk negara dengan negara dan bentuknya harus tertulis. Untuk sengketa yang pihaknya bukan negara misalnya organisasi internasional pengaturannya ditemukan dalam Konvensi Wina 1986 tentang perjanjian internasional untuk sesama organisasi internasional atau organisasi dengan negara.68 Syarat penting untuk dikatakan sebagai perjanjian internasional adalah bahwa perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional. Meskipun para pihaknya adalah negara, namun bilamana ada klausul bahwa para pihak tunduk pada hukum nasional salah satu peserta maka perjanjian tersebut tidaklah dapat digolongkan sebagai perjanjian internasional melainkan kontrak. 69 Definisi perjanjian internasional yang terdapat pada Konvensi Wina dikembangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang menyatakan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah 67
F.A.WhisnuSituni, 1989, Identifikasi dan Reformasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, hlm.31. 68
Lihat Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1986 menyatakan bahwa perjanjian berarti suatu persetujuan internasional yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis: (i) antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau (ii) sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrumen atau lebih dari satu instrumen yang saling berkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya. 69
Sefriani, Op.cit, hlm. 29.
Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hfukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.70 Definisi perjanjian internasional diadopsi juga oleh Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan
bahwa setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain.71 Dari pengertian-pengertian tersebut, maka terdapat beberapa kriteria dasar atau parameter yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yaitu:72 1. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional, sehingga tidak mencakup perjanjian-perjanjian yang berskala nasional seperti perjanjian antarnegara bagian atau antara Pemerintah Daerah dari suatu negara nasional; 2. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional, sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional, seperti perjanjian antara negara dengan perusahaan multinasional; 70
Boer Mauna, op.cit, hlm. 84-85.
71
Damos Dumoli Agusman, Op.cit, hlm. 20.
72
Ibid.
3. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional yang oleh Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional disebut dengan “diatur dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”. Perjanjian-perjanjian yang tunduk pada hukum perdata nasional tidak cukup dalam kriteria ini. 2.6.2 Unsur-Unsur Perjanjian Internasional Berdasarkan pengertian mengenai perjanjian internasional sebagaimana dalam pembahasan 2.1.1, maka dapat dijabarkan beberapa unsur atau kualifikasi yang harus terpenuhi dalam suatu perjanjian, untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional, yaitu: 1. Kata Sepakat Kata sepakat merupakan unsur yang sangat esensial dari duatu perjanjian, termasuk perjanjian internasional.Kata sepakat adalah inti dari perjanjian.Tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak aka nada perjanjian.Kata sepakat inilah yang dirumuskan atau dituangkan di dalam naskah pasal-pasal perjanjian.Pasal-pasal naskah perjanjian itulah mencerminkan kata sepakat dari para pihak.73
2. Subyek-subyek hukum
73
Syahmin AK., 2006, Hukum Kontrak Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Syahmin AK. II), hlm. 14.
Subyek-subyek hukum dalam hal ini adalah subyek-subyek hukum internasional yang terikat pada perjanjian.Dalam perjanjianperjanjian internasional yang tertutup dan substansinya lebih bersifat teknis, misalnya dalam perjanjian bilateral atau multilateral terbatas, pihak-pihak yang melakukan perundingan adalah juga pihak-pihak yang terikat pada perjanjian. Sedangkan pada perjanjian internasional yang terbuka dan isinya mengenai masalah yang bersifat umum, antara pihak-pihak yang melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terikat pada perjanjian internasional tersebut belum tentu sama. Subyek-subyek hukum internasional yang dapat membuat atau terikat sebagai pihak pada suatu perjanjian internasional adalah negara (termasuk negara bagian, sepanjang konstitusi negara federal yang bersangkutan memungkinkannya), tahta suci, organisasi internasional, kaum belligerensi, dan bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.74 3. Berbentuk tertulis Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Biasanya bahasa yang umum dipergunakan adalah bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional. Ada pula perjanjian-perjanjian 74
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2010, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni, Bandung, hlm. 117-118.
internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih. Sedangkan tulisan atau huruf yang dipergunakan adalah huruf latin, meskipun tidak dilarang menggunakan huruf lain. Dengan bentuknya yang tertulis, maka terjamin adanya ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak maupun juga bagi pihak ketiga yang mungkin pada suatu waktu tersangkut pada perjanjian itu.75 4. Obyek tertentu Obyek dari perjanjian internasional itu adalah boyek atau hal yang diatur di dalamnya. Setiap perjanjian pasti mengandung obyek tertentu. Tidak ada perjanjia yang tanpa obyek yang pasti. Obyek itu sendiri secara langsung menjadi nama dari perjanjian tersebut. Misalnya konvensi tentang hukum laut yang berarti obyek dari perjanjian atau konvensi tersebut adalah tentang laut.76 5. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional Hukum internasional yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah, baik hukum internasional pada umumnya, maupun Hukum Perjanjian Internasional pada khususnya. Sebagaimana secara umum sudah dipahami, bahwa setiap perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian itu.77
75
I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 17.
76
Ibid.
77
Ibid.
2.6.3 Akibat-Akibat Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional mengikat para pihak (prinsip pacta sunt servanda). Selanjutnya negara-negara pihak pada perjanjian harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangan nasional. Sehubungan dengan itu, mengenai akibatakibat perjanjian ini akan dibagi dalam 3 Sub-bagian yaitu; 78 a. Akibat Perjanjian Terhadap Negara-Negara Pihak Sebagai sumber utama hukum internasional, perjanjian mengikat negara pihak.Sifat mengikat ini berarti negara pihak suatu perjanjian harus mentaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut. Daya ikat perjanjian adalah didasarkan atas prinsip pacta sunt servanda. Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian dalam hal ini menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negaranegara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Prinsip ini merupakan dasar pokok hukum perjanjian dan telah diakui secara universal dan yang merupakan bagian dari prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law. Peradilan-peradilan dan arbitrase internasional dalam keputusan-keputusannya selalu menyebut prinsip itikad baik tersebut. Pasal 2 Piagam PBB pun menyatakan dalam
78
Boer Mauna, Op.cit, hlm.135.
ayat 2 nya antara lain “Semua negara harus melaksanakan dengan itikad baik semua kewajiban-kewajiban sesuai dengan Piagam”.79 b. Akibat Perjanjian Terhadap Negara Lain Disini berlaku prinsip terkenal apa yang dinamakan pacta tertiis nec nocent nec prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban dan memberikan hak-hak pada negara ketiga.80 Namun ternyata, ada beberapa pengecualian terhadap prinsipprinsip yang disebut di atas yaitu : -
Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas persetujuan merek Ini adalah mengenai perjanjian-perjanjian yang dapat memberikan hak dan kewajiban kepada negara ketiga atas persetujuan negara-negara tersebut. Contoh mengenai hal ini sangat jarang dan Pasal 35 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian hanya menyatakan : Suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang berasal dari ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja oleh negara-negara pihak dan negara ketiga tadi menerima kewajiban tersebut dalam bentuk tertulis.
-
Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga. Klausula Most-Favoured Nation adalah suatu mekanisme yang sering dipakai dalam hubungan ekonomi internasional. Klausula ini berarti bahwa setiap keuntungan yang diperoleh suatu negara dalam kaitannya dengan
79 80
Ibid, hlm. 135. Ibid, hlm. 143.
suatu perjanjian di bidang tertentu dengan negara lain, akandinikmati pula oleh negara ketiga. Jadi setiap perlakuan khusus yang diberikan pada suatu negara harus pula diberikan kepada negara ketiga. Pengecualian klausula ini dimungkinkan bagi negara-negara yang akan membuat persetujuan perdagangan bagi terciptanya kawasan perdagangan bebas. -
Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan mereka. Pengecualian mengenai hal ini kita jumpai dalam Pasal 2 (6) Piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa Organisasi ini harus memastikan bahwa negara-negara bukan anggota PBB bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin apabila dianggap
perlu untuk pedamaian dan keamanan
internasioanal. Jadi, negara bukan anggota PBB sepanjang mengenai perdamaian dan keamanan internasional harus bertindak sesuai dentgan asas dari Piagam. c. Pengaturan Perjanjian pada Peraturan Perundang-Undangan Nasional. Yang dimaksud dengan pengaturan perjanjian pada perundang-undangan nasional adalah membuat ketentuan-ketentuan untuk menampung apa yang diatur di dalam perjanjian yang telah diterima. Selanjutnya, untuk setiap perjanjian yang bersifat bilateral harus ada undang-undang nasional sebagai dasar dari setiap perjanjian yang dibuat antar negara. Andaikata undang-undang nasionalnya tidak ada, akan sulit pelaksanaannya di dalam negeri. 81
81
Ibid.
2.6.4 Batal dan Berakhirnya Suatu Perjanjian Internasional Dalam praktek suatu perjanjian internasional yang telah berlaku dapat ditinjau ulang keabsahannya atau batal dan berakhir jika ditemukan hal-hal sebagai berikut:82 a) Bertentangan dengan ketentuan dalam hukum nasional yang penting dan mendasar. Biasanya, hal ini terkait dengan prosedur pembuatannya, misalnya dalam hal penandatanganan atau ratifikasi tidak dilakukan oleh organ yang berwenang. b) Adanya kesalahan (error) atas fakta atau situasinya Kesalahan atau kekeliruan tersebut berkenaan dengan suatu situasi atau fakta dimana fakta atau situasi tersebut dianggap oleh negara yang bersangkutan ada pada saat perumusan ketentuan naskah perjanjian itu dan fakta atau situasi tersebut merupakan dasar yang essensial bagi negara yang bersangkutan dalam menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian tersebut. c) Adanya penipuan (fraud) dari negara mitra berundingnya Perjanjian Munich 29-30 September 1938 dibuat atas dasar penipuan Hitler sendiri. Ini dibuktikan dari dokumen-dokumen yang ditemukan dimana Hitler tidak ada maksud sama sekali untuk melaksanakannya. d) Adanya kecurangan (corruption) dari wakil suatu negara Pengaturan tentang masalah ini dalam Pasal 50 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “suatu perundingan yang dihasilkan dengan jalan korupsi dari
82
Staff Pengajar Fakultas Hukum UGM , 2010, Pengantar Hukum Internasional, Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.85
wakil delegasi suatu negara, dapat dijadikan sebagai alasan oleh negara lain untuk membatalkan persetujuan tersebut”. e) Adanya paksaan yang dilakukan oleh wakil suatu negara Misalnya dalam pembuatan Perjanjian Munich 29-30 September 1939 tentang pendirian Protektorat Jerman di Propinsi Bohemia dan Moravia di Cekoslavia. Dimana saat proses perundingan terjadi kekerasan yang dilakukan Hitler terhadap Presiden Hacha dan Menteri Luar Negeri Chvaslkovsky Berlin dan akhirnya perjanjian tersebut dibatalkan oleh Tribunal Militer Nuremberg tanggal 1 Oktober 1946 f) Adanya ancaman atau penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh suatu negara yang melanggar prinsip-prinsip umum hukum intenasional yang tertuang dalam Piagam PBB sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 (4) Piagam PBB. g) Bertentangan dengan Ius Cogens Ius Cogens adalah norma dasar dalam hukum internasional umum yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasioanal negara-negara secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tidak dapat lagi diganggu kecuali dengan norma lain yang mempunyai sifat yang sama.83 Sedangkan, berdasarkan ketentuan Pasal 59-64 Konvensi Wina 1969 beberapa alasan yang menyebabkan berakhirnya suatu perjanjian internasional antara lain:84 1.
83
Jika terjadi abrogasi perjanjian
Staff Pengajar Fakultas Hukum, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.91 84
Ibid
Yakni suatu kondisi dimana semua pihak dalam perjanjian menutup perjanjian lain dengan pokok materi yang sama dengan perjanjian sebelumnya, namun pengaturannya berbeda. Proses abrogasi ini dapat dilakukan secara terang-terangan ataupun diam-diam. (Pasal 59 Konvensi Wina 1969). 2.
Jika terjadi pelanggaran material perjanjian oleh para pihak Pelanggaran material yang dimaksud disini adalah pelanggaran yang sifatnya substansial, yang berakibat pada terhalangnya pencapaian tujuan dalam perjanjian. Pelanggaran ini harus ditegaskan dan dibuktikan sebagai antisipasi jika ada negara pihak yang dengan sengaja mengangkat pelanggaran kecil sebagai alasan membatalkan perjanjian (Pasal 60 Konvensi Wina 1969).
3. Perjanjian tidak mungkin untuk dilaksanakan Tidak mungkinnya suatu perjanjian dilaksanakan dapat terjadi karena musnahnya secara permanen atau hancurnya suatu objek yang sangat diperlukan bagi pelaksanaan perjanjian tersebut. (Pasal 61 Konvensi Wina 1969) 4. Asas Rebus Sic Stantibus Yakni suatu kondisi terjadi perubahan-perubahan yang mendasar yang tidak dapat diprediksi oleh negara perunding, namun keberadaan perubahan tersebut sangat berpengaruh dalam mengubah secara radikal luasan kewajiban-kewajiban yang masih harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dalam perjanjian tersebut. (Pasal 62 Konvensi Wina 1969).
5.
Jika terjadi pemutusan hubungan diplomatic dan konsuler, dimana hubungan diplomatic dan konsuler tersebut sangat perlu untuk pelaksanaan suatu perjanjian (Pasal 62 Konvensi Wina 1969).
85
6.
Jika lahir Ius Cogens
7.
Jika terjadi perang85
Ibid.