BAB II TINJAUAN UMUM MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA
A. Pengertian Mediasi Mediasi merupakan adopsi dari bahasa latin mediare yang berarti berada di tengah.1 Pengertian ini lebih mengarah kepada fungsi dan peranan mediator yakni sebagai penengah antara dua orang atau lebih yang saling bersengketa, oleh sebab itu, mediator harus mampu menjaga independensi serta menjaga keberpihakan kepada salah satu pihak agar menumbuhkan kepercayaan antara para pihak yang bersengketa. Dalam pengertian lain, mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui cara perundingan/musyawarah mufakat para pihak dengan bantuan pihak netral (mediator) yang tidak memiliki kewenangan memutus dengan tujuan menghasilkan kesepakatan damai untuk mengakhiri sengketa.2 Ramadi Usman mendefinisikan kata mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, sedangkan orang yang menengahi disebut mediator atau orang yang menjadi penengah.3
1
Syahrizal Abbas, Mediasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 1-2 Takdir Rahmadi, (Hakim Agung/Ketua Pokja Mediasi), Makalah: Mediasi, disampaikan pada pendidikan dan pelatihan sertifikasi mediator, Bogor: 11 Juli 2013. 3 Rahmadi Usman, pilihan penyelesaian Sengketa di Luar pengadilan, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003), 79. 2
20
21
Soesilo Prajogo dalam Kamus Hukum Internasional dan Indonesia menjelaskan bahwa mediasi adalah proses penyelesaian sengketa secara damai yang melibatkan bantuan pihak ketiga untuk memberikan solusi yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. Keberhasilan proses mediasi biasanya lebih banyak ditentukan oleh kemampuan berdiplomasi, kecakapan dalam memberikan usulan-usulan yang bersifat tidak memihak, kualitas serta netralitas pihak yang diminta untuk menjadi penengah.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mediasi diartikan sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.5 Pengertian ini, menurut Syahrizal Abbas mengandung tiga unsur. Pertama, mediasi merupakan suatu proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam penyelesaiaan sengketa tersebut bertindak sebagai penasehat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.6 Pengertian mediasi juga dapat dijumpai dalam pasal 1 butir 6 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa mediasi
4
Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional dan Indonesia, (Jakarta: Wacana Intelektual, 2007), 294. 5 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), 569. 6 Syahrizal Abbas, Mediasi, 3.
22
adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.7 Sedangkan dalam aturan perundang-undangan yang baru yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yakni Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, pada pasal 1 butir 7 disebutkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.8 Gary Goodpaster dalam bukunya menyatakan bahwa mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak/impartial dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan (perdamaian).9 B. Dasar Hukum Berlakunya Mediasi di Pengadilan Pasal 24 Undang-undang Dasar Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tatausaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan
7
Peraturan Mahkamah Agung RI No.2 Tahun 2003 pasal 1 butir 6. Peraturan Mahkamah Agung RI No.1 Tahun 2008 pasal 1 butir 7. 9 Gary Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, (Jakarta: ELIPS Project, 1993), 201. 8
23
peradilan adalah pemegang kekuasaan kehakiman yang mewujudkan hukum dan keadilan.10 Dalam sistem peradilan di Indonesia, proses penyelesaian sengketa menganut asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman jo. Pasal 57 Ayat 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berbunyi: “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.11 Maksud dari kata ‘sederhana’ adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Maksud dengan ‘biaya ringan’ adalah biaya perkara yang dapat dipikul oleh rakyat. Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan ketelitian.12 Dalam rangka mencapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman memberi kesempatan pada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur damai. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 10 (2) yang berbunyi: “Ketentuan sebagaimana 10
Syahrizal Abbas, Mediasi, 291. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 12 Achmad Fauzan, Himpunan Undang-Undang Lengkap Tentang Badan Peradilan, 24. 11
24
dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.”13 Dalam kaitan menyelesaikan sengketa secara damai di lingkungan Peradilan Agama, Pasal 56 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Ayat (1) menyebutkan: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.” Manakala ayat (2) menyebutkan: “Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.”14 Dalam sengketa keluarga misalnya, khusus terkait perkara perceraian, upaya perdamaian diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 82 ayat (1) Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Pasal 65 menyebutkan: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”15
13
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. 15 Ibid. 14
25
Manakala Pasal 82 ayat (1) menyebutkan: “Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak”.16 Upaya perdamaian tidak hanya diusahakan hakim pada saat permulaan sidang, tetapi juga pada setiap proses pemeriksaan perkara. Ketentuan mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 56, 65, 73, 82 ayat (2) dan 83 Undang-undang
Nomor
7
Tahun
1989
Tentang
Peradilan
Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang nomor 50 Tahun 2009 “Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap pemeriksaan”.17 Pasal 143 ayat (2) KHI juga mengetengahkan tentang adanya perdamaian: “Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.”18 Dari berbagai ketentuan perundang-undangan tersebut ternyata sesuai dengan asas yang dianut oleh Pengadilan Agama di Indonesia yaitu ‘asas wajib mendamaikan’ yang harus dipedomani oleh para hakim yang menangani perkara. Dengan demikian, Asas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihakpihak yang berperkara, telah sesuai dengan ketentuan ajaran moral Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan is}lah. Oleh sebab itu, para hakim Peradilan Agama 16 17
Ibid.
H.A. Mukti Arto (Wakil Ketua PTA Ambon), Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 30. 18 Arkola, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dilengkapi Kompilasi Hukum Islam, 216.
26
menyadari dan mengemban fungsi mendamaikan. Sebab bagaimanapun adilnya putusan, namun akan lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian.19 Ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan penyelesaian sengketa melalui upaya perdamaian tidak menyebut secara spesifik tentang mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di pengadilan, khususnya Pengadilan Agama. Ketentuan mengenai mediasi baru ditemukan dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa20, Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) RI Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menetapkan Lembaga Damai21 dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.22 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengatur dua hal utama, yaitu arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Dalam Pasal 1 disebutkan: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa….Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.23 Ketentuan Pasal 1 di atas menegaskan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa 19
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, 65. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 21 Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) RI Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menetapkan Lembaga Damai. 22 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 23 Suyud Margono, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2009), 79. 20
27
adalah sengketa perdata, bukan sengketa yang termasuk dalam ruang lingkup hukum publik. Kedudukan mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini berada di bawah payung alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan berupa konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Pengaturan mengenai alternatif penyelesaian sengketa cukup terbatas diatur dalam Undang-Undang ini, yaitu hanya satu pasal, yaitu pasal 6 dengan 9 ayat. Dalam Pasal tersebut tidak ditemukan persyaratan mediator, pengangkatan mediator, kewenangan dan tugas mediator, keterlibatan pihak ketiga, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses mediasi. Oleh karena itu, sangat tepat bila Undang-Undang ini disebut sebagai Undang-Undang arbitrase dan bukan Undang-Undang mediasi.24 Hal lain tentang ketentuan mengenai konsep mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa juga termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) RI No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menetapkan Lembaga Damai. Namun, kedua peraturan perundangundangan di atas, yaitu UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) RI No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat
24
Syahrizal Abbas, Mediasi, 297.
28
Pertama Menetapkan Lembaga Damai tidak mengatur secara khusus menyangkut proses mediasi di pengadilan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memberikan petunjuk secara rinci tentang apa yang harus dilaksanakan oleh mediator dalam menyelesaikan sengketa yang diberikan kepadanya. Demikian juga dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menetapkan Lembaga Damai tidak dijelaskan tentang praktik mediasi harus dijalankan. Dalam surat Edaran ini hanya ditekankan bahwa semua hakim yang menyidangkan perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan Pasal 130 HIR/154 R.BG, tidak hanya sekadar formalitas menganjurkan perdamaian.25 Untuk pertama kalinya, ketentuan perundang-undangan berkaitan mediasi di pengadilan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Ketentuan yang terkandung dalam Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memposisikan mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian perkara di pengadilan atau lazimnya disebut dengan hukum acara. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses 25
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2001) 177.
29
beracara pada pengadilan. Ia menjadi bagian intergral dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi pada pengadilan memperkuat upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam hukum acara Pasal 130 HIR atau Pasal 154 R.Bg. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yaitu semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. 26 Evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan dilakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, ternyata ditemukan permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan terbit setelah dilakukan kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung. Salah satu lembaga yang intens mengikuti kajian mediasi ini adalah Indonesian Institute for Coflict Transformation (IICT). Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan terdiri dari VIII Bab dan 27 pasal yang telah ditetapkan oleh Ketua Makamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008. Peraturan 26
Syahrizal Abbas, Mediasi, 306.
30
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan membawa beberapa perubahan penting, bahkan menimbulkan implikasi hukum jika tidak dijalani. Hal ini seperti dalam Pasal 2 ayat (3): “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.27 Jika dibandingkan dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008, maka Perma Tahun 2003 tidak memberikan sanksi. Mengenai jenis perkara yang dimediasi mencakupi semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama, kecuali perkara yang secara jelas dikecualikan. Perkara-perkara yang dikecualikan disebutkan dalam Pasal 4 Perma Nomor 1 Tahun 2008: Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.28 Berbeda dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyebutkan secara rinci syarat-syarat untuk memperoleh akreditasi sebagai mediator dalam Pasal 5 ayat (3) yaitu: Mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah 27 28
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Ibid.
31
Agung Republik Indonesia; Memiliki Instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi; sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan; memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang disahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.29 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memberikan peluang perdamaian bagi para pihak bukan hanya untuk tingkat pertama, tetapi juga untuk tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. Pasal 21 menyebutkan Para pihak atas dasar kesepakatan mereka dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang diproses banding, kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali selama perkara itu belum diputus.30 Setelah diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku seperti disebut dalam Pasal 26 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan: “Dengan berlakunya peraturan ini, peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
29 30
Ibid. Ibid.
32
Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku.”31 C. Manfaat Menempuh Upaya Mediasi Manfaat dan keuntungan menempuh upaya mediasi lebih besar apabila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi yang cenderung berbelit-belit dan rumit, sehingga mediasi mampu memberikan alternatif pilihan penyelesaian sengketa dengan proses yang cepat, sederhana dan biaya ringan, penyeleseian bersifat informal, yang menyeleseikan sengketa adalah pihak sendiri, tidak perlu aturan pembuktian, proses penyeleseian bersifat konfidensial, hubungan para pihak bersifat kooperatif, hasil yang dituju adalah sama-sama menang (win-win solution).32 Christopher W. Moore menyebutkan beberapa keuntungan yang dapat didapatkan dari hasil mediasi, antara lain33: 1. Keputusan yang hemat, hal ini disebabkan karena mediasi membutuhkan biaya yang relative lebih ringan dan lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan litigasi yang berlarutlarut. 2. Penyelesaian secara cepat, pada saat perkara dimungkinkan akan selesai dalam kurun waktu selama 1 tahun untuk disidangkan di pengadilan dan akan memakan waktu bertahun-tahun lamanya apabila perkara tersebut naik banding, maka pilihan untuk melakukan mediasi dapat menjadi 31 32 33
Ibid.
M. Yahya Harap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 236-238. Rahmadi usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) 83-85.
33
pilihan utama dalam penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak atau lebih karena mediasi menjadi salah satu cara sigkat dan tepat dalam menyelesaikan sengketa. 3. Hasil yang memuaskan bagi semua pihak, para pihak yang bersengketa pada biasanya akan jauh lebih puas dengan jalan keluar penyelesaian sengketa kedua belah pihak atau lebih dengan hasil kesepakatan dan persetujuan bersama daripada harus menyetujui jalan keluar yang sudah diputuskan oleh hakim. 4. Kesepakatan-kesepakatan Komprehensif dan customized, penyelesaian– penyelesaian sengketa melalui cara mediasi bisa menyelesaikan masalah hukum maupun di luar hukum, kesepakatan melaui mediasi sering kali mampu mencakup masalah-masalah prosedural dan psikologis yang tidak mungkin dapat diselesaikan melalui jalur hukum. 5. Praktek dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif. Kompenen pendidikan yang terkandung dalam proses mediasi sangat berbeda dengan prosedur-prosedur penyelesaian sengketa yang secara eksklusif berorientasi pada hasil keputusan, sehingga mediasi mampu mengajarkan orang mengenai teknik-teknik penyelesaian masalah secara praktis yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa pada masa akan datang. 6. Tingkat pengendalian yang lebih besar dan hasil yang bisa diduga. Pihakpihak yang menegosiasikan sendiri pilihan penyelesaian sengketa mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap hasil-hasil sengketa,
34
keuntungan dan kerugian akan mudah diperkirakan dalam suatu proses penyelesaian masalah melalui mediasi daripada melaui proses pengadilan. 7. Pemberdayaan individu. Negosiasi-negosiasi melalui mediasi bisa merupakan sebuah forum untuk mempelajari dan mempergunakan kekuatan atau pengaruh pribadi. 8. Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah. Banyak sengketa terjadi dalam hubungan yang akan berkelanjutan pada masa yang akan datang, sehingga penyelesaian sengketa melalui mediasi diharapkan dapat mempertahankan sebuah hubungan baik, yang mempunyai arti bahwa penyelesaian sengketa tidak harus dilakukan dengan prosedur menang-kalah, namun mediasi mampu menyelesaikan sengketa dengan cara yang lebih halus. 9. Keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu. Penyelesaian sengketa melalui mediasi cenderung akan bertahan sepanjang zaman, apabila akibat-akibat sengketa muncul kemudian, maka para pihak akan menyelesaikan dengan sebuah forum kerjasama guna mencari jalan tengah. 10. Kesepakatan yang lebih baik daripada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang-kalah. Hasil yang dihasilkan dari proses mediasi mampu memberikan kepuasan kepada para pihak yang bersengketa. Selain yang disebutkan di atas, keuntungan menggunakan mediasi lainnya adalah proses cepat acaranya cepat, kerahasian terjamin, biaya yang
35
ditimbulkan tidak mahal, lebih memberikan rasa keadilan bagi para pihak dan berhasil baik dalam penyelesaian masalah tanpa masalah.34 Jika semua elemen masyarakat sadar akan kebutuhan kedamaian dan keamanan, serta berusaha mengadakan usaha berdamai (mediasi) antara orang-orang yang berperkara tidak akan ada bentrokan dan konflik antara orang-orang, yang mana akan menghasilkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam masyarakat.35 D. Mediasi Menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan bentuk reaksioner dari Mahkamah Agung RI sebagai langkah penyempurnaan dari Peraturan Mahkamah Agung sebelumnya, yakni Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama. Penyempurnaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung setelah dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama tersebut ditemukan beberapa masalah, sehingga perlu dikeluarkan perma baru dalam rangka mempercepat, mempermurah dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih luas kepada pencari keadilan. Mediasi merupakan salah satu instrument yang efektif untuk mengatasi penumpukan kasus di pengadilan serta memaksimalkan fungsi lembaga
34
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Kencana, 2012), 27. 35 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam PenyelenggaraanPeradilan, (Jakarta: Kencana, 2007), 101.
36
pengadilan dalam menyelesaikan perkara.36 Akhirnya, praktek memberi kesempatan untuk berdamai bukan sekedar memenuhi formalistik beracara belaka, namun hakim harus berperan aktif mengupayakan perdamaian.37 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini memiliki tempat istimewa karena proses mediasi menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dari proses berperkara di pengadilan, sehingga hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi, apabila hakim melanggar atau tidak melakukan mediasi terlebih dahulu, maka putusan yang dihasilkan batal demi hukum, hal ini disebutkan dalam pasal 2 ayat 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam pasal 4 disebutkan pula bahwasanya semua sengketa yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan badan penyelesaian sengketa konsumen, dan keberatan atas putusan komisi pengawas persaingan usaha. Pelaksanaan mediasi di pengadilan tingkat pertama, pada prinsipnya harus dilakukan oleh mediator yang berasal dari luar pengadilan, namun mengingat tidak semua pengadilan tingkat pertama memiliki mediator, maka dalam pasal 5 ayat 1 perma ini memperbolehkan hakim menjadi mediator,
36
Syahrizal Abbas, Mediasi, 310-311. Bagir Manan, Peradilan Agama Dalam Perspektif Ketua Mahkamah Agung, (Jakarta, Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2007), 135. 37
37
sepanjang hakim yang menjadi mediator bukanlah hakim yang sedang menangani perkara yang akan dimediasikan, namun hakim lain di pengadilan tersebut. Hakim ataupun kuasa hukum dari pihak-pihak yang berperkara dituntut untuk aktif wajib mendorong para pihak untuk berperan aktif dalam proses mediasi, adanya kewajiban menjalankan mediasi, maka hakim dapat menunda persidangan perkara agar dapat terjalin komunikasi antara para pihak yang berperkara. Dalam proses mediasi, para pihak diberikan kebebasan uttuk memilih mediator baik dari pengadilan maupun dari luar pengadilan, untuk memudahkan para pihak memilih hakim mediator yang telah disediakan oleh pengadilan, maka ketua pengadilan menyadiakan daftar nama mediator yang didalamnya memuat minimal 5 nama hakim mediator disertai latar belakang pendidikan dan pengalamannya. Hal ini diperkuat dalam pasal 9 ayat 7 peraturan ini. Biaya yang dikeluarkan dan menjadi tanggungan para pihak sesuai dengan kesepakatan apabila menggunakan mediator dari luar pengadilan, namun apabila menggunakan hakim mediator dari pengadilan, maka tidak dipungut biaya / gratis. Para pihak memiliki hak mutlak untuk memilih mediator yang akan menjembatani sengketa mereka, apakah menginginkan mediator berasal dari pengadilan ataupun berasal dari luar pengadilan, hal ini seirama dengan pasal 8 perma ini yang memberikan pilihan mediator sebagai berikut:
38
1. Hakim bukan pemerikasa perkara pada pengadilan yang bersangkutan, 2. Advokat atau akademisi hukum, 3. Profesi bukan hukum yang dianggap oleh para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa, 4. Majlis hakim pemerikasa perkara, 5. Gabungan antara mediator yang disebutkan diatas pada poin a dan d atau gabungan b dan d atau gabungan c dan d. Adapun perdamaian di tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali, pada pasal 21 dinyatakan bahwa: (1) Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. (2) Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan tingkat pertama yang mengadili. (3) Ketua pengadilan tingkat pertama yang mengadili segera memberitahukan kepada ketua pengadilan tingkat banding yang berwenang atau ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian. (4) jika perkara yang bersangkutan sedang diperikasa di tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali, maka majlis hakim pemerikasa di tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian. (5) jika berkas atau memori banding, kasasi
39
dan peninjauan kembali belum dikirimkan, ketua pengadilan tingkat pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas atau memori banding, kasasi dan peninjauan kembali untuk memberikan kesempatan para pihak mengupayakan perdamaian.38 E. Macam-Macam Mediator Mediator merupakan bagian yang sangat penting dalam mediasi, mediator berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dengan segala daya dan upaya yang dimiliki, sehingga hal itu menimbulkan karakteristik dari tiap-tiap mediator sebagai refleksi daya dan upaya yang dia miliki. Profesionalisme hakim mediator menjadi indikator penting terhadap keberhasilan proses mediasi, meskipun berkedudukan sebagai mediator, hakim yang ditetapkan sebagai hakim mediator tetap berpedoman pada prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE-PPH), khususnya pada butir 10 angka 4 (KE-PPH), yaitu professional. Professional dalam konteks ini dimaknai sebagai suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan sebagai mediator dengan kesungguhan, yang didukung dengan keahlian atas dasar pengetahuan, ketrampilan dan wawasan luas.39 Secara umum, karakter mediator dapat dibagi sebagai berikut:
38
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Komisi Yudisial RI: Penerapan dan Penemuan Hukum dalam Putusan Hakim, (Jakarta: Sekjen Komisi Yudisial RI, 2011), 92. 39
40
1. Mediator Otoritatif Mediator yang memiliki tipe seperti ini memiliki kewenangan yang sangat besar dalam mengontrol dan memimpin antar pihak, pertemuan antarpihak yang bersengketa sangat bergantung kepada mediator, dia juga dapat menghentikan pertemuan antarpihak apabila dirasa bahwa pertemuan itu dirasa sudah tidak efektif tanpa meminta pertimbangan para pihak, sehingga para pihak sangat terbatas dalam mencari solusi dan merumuskan penyelesaian yang sedang mereka hadapi. Mediator tipe ini lebih banyak mengajukan pertanyaan kepada para pihak seputar akar permasalahan yang sedang dihadapi, namun tidak banyak mendengarkan cerita dari para pihak, melainkan lebih aktif menggali informasi, sehingga dapat mempercepat penyelesaian sengketa dan tidak berlarut-larut karena cukup aktif dalam menggali informasi. Mediator jenis ini aktif menawarkan solusi, namun tindakan ini berpeluang untuk gagalnya penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi karena para pihak terkesan tidak bebas dalam merumuskan opsi bagi penyelesaian sengketa mereka. 40 2. Mediator Sosial Network Adalah tipe mediator dimana dia memiliki social network yang luas untuk mendukung dalam penyelesaian sengketa, mediator ini memiliki hubungan dengan sejumlah kelompok sosial di masyarakat yang bertugas membantu menyelesaikan sengketa. Dalam menjalankan tugas mediasi, 40
Syahrizal Abbas, Mediasi, 74-75.
41
mediator dengan tipe seperti ini lebih menekankan bagaimana para pihak menyelesaiakan sengketa dengan jaringan sosial yang ada. Dia mengarahkan sengketa yang dia tangani kepada pola-pola penyelesaian sengketa yang ia peroleh ketika bergabung dalam kelompok sosial, model mediator seperti ini mempunyai peranan penting terutama ketika mediasi menemuai jalan buntu, jaringan sosial yang ia miliki mampu memudahkan dalam proses mediasi yang sedang berlangsung. 41 3. Mediator Independen Mediator jenis ini tidak memiliki ikatan dengan lembaga social dan institusi apapun dlam menyelesaikan sengketa, mediator ini berasal dari masyarakat yang memiliki kapasitas dan skil dalam meyelesaiakna sengketa yang ditunjuk oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi, dia sangat bebas dari pengaruh manapun, sehingga dia bebas dan leluasa dalam menjalankan proses mediasi. 42 Independensi yang dimiliki oleh mediator tidak hanya terbatas dari sisi lembaga dan kebaradaanya dalam masyarakat, namun juga dalam menjembatani, menegosiasi dan menjari solusi bagi penyelesaian sengketa, maka dia harus mampu menjaga imparsialitas dan netralitas dari pengaruh manapun termasuk dari para pihak.
41 42
Ibid, 76. Ibid, 77.
42
F. Peran Mediator Peran mediator dalam proses mediasi adalah sebagai penengah yang menengahi suatu sengketa yang dihadapi oleh para pihak serta membantu para pihak untuk menyelesaikannya. Seorang mediator juga diharapkan dapat merumuskan berbagai pilihan penyelesaian sengketa yang dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak, setidaknya pera utama seorang mediator adalah mempertemukan kepentingan yang saling berbeda antara para pihak agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai titik temu penyelesaian maslah yang sedang dihadapi.43 Oleh sebab itu, mediator tidak hanya bertindak sebagai penengah dalam penyelenggaraan dan memimpin diskusi saja, melainkan harus membantu para pihak untuk mendesain penyelesaian sengketanya. Dalam berbagai peran yang dimiliki mediator, dia diharapkan mampu melaksanakan perannya untuk menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa yang ada. kemudian mendesain serta mengendalikan proses mediasi untuk menentukan para pihak guna mencapai kesepakatan yang sehat. Mediator menjadi katalisator untuk mendorong timbulnya suasana yang konstruktif dalam diskusi, maka dalam hal ini mediator berperan membantu pihak-pihak dalam pertukaran informasi dan proses tawar-menawar. Dalam praktek ini, ada beberapa peranan peran penting yang harus dilakukan oleh mediator. Antara lain sebagai berikut: 1. Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diri antara para pihak. 43
Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, 86.
43
2. Menerangkan proses dan mendidik para pihak dalam hal komunikasi dan menguatkan suasana yang baik. 3. Membantu para pihak untuk menghadapi situasi atau kenyataan. 4. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar-menawar. 5. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem. Mediator juga dapat menjalankan perannya mulai dari peran terlemah sampai peran terkuat yang mana peran-peran ini menunjukkan tingkat tinggi atau rendahnya kapasitas dan keahlian ( skill ) yang dimiliki oleh seorang mediator. Mediator menampilkan peran yang lemah, bila dalam proses mediasi ia hanya melakukan hal-hal sebagai berikut: 44 1. Menyelenggarakan pertemuan 2. Memimpin diskusi rapat 3. Memelihara atau menjaga aturan agar proses perundingan berlangsung secara baik 4. Mengendalikan emosi para pihak 5. Mendorong pihak dalam perundingan yang kurang mampu atau segan mengemukakan padangannya. Sedangkan mediator menampilkan peran kuat adalah sebagai berikut: 1. Mempersiapkan dan membuat notulensi pertemuan 2. Merumuskan titik temu atau kesepakatan dari para pihak
44
Syahrizal Abbas, Mediasi, 79-80.
44
3. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukanlah sebuah pertarungan atau dimenangkan, tetapi sengketa tersebut harus diselesaikan 4. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah 5. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah 6. Membujuk para pihakuntuk menerima usulan tertentu dalam rangka penyelesaian sengketa.45 Sebagai pihak yang netral yang melayani kedua belah pihak, mediator juga harus mampu melakukan interaksi dengan para pihak, baik secara bersama atau individu, dan membawa mereka pada tiga tahap sebagai berikut: 1. Memfokuskan pada upaya membuka komunikasi diantara para pihak 2. Memanfaatkan
komunikasi
tersebut
untuk
menjembatani
atau
menciptakan saling pengertian diantara para pihak (berdasarkan persepsi mereka atas perselisihan tersebut dan kekuatan serta kelemahan masingmasing). 3. Memfokuskan pada munculnya penyelesaian sengketa.46 Jadi, mediator diharapkan mampu bersikap netral, membina hubungan baik dengan kedua belah pihak yang bersengketa, berbicara dengan bahsa yang mudah dipahami oleh para pihak, mendengarkan secara aktif, menekankan pada keuntungan potensial, meminimalisir perbedaan dan
45 46
Ibid, 81.
Gatot Soemarno, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), 136-137.
45
menitik beratkan pada persamaan, yang semuanya bertujuan untuk membantu para pihak bernegosiasi secara lebih baik atas suatu penyelesaian.47 G. Kewenangan dan Tugas Mediator Mediator memiliki sejumlah kewenangan dan tugas dalam menjalankan proses mediasi. Kewenangan dan tugas mediator terfokus dalam upaya menjaga dan mempertahankan proses mediasi. Mediator diberi kewenangan oleh para pihak untuk melakukan tindakan dalam rangka memastikan bahwa mediasi sedah berjalan sebagaimana mestinya. Ia juga dibekali dengan sejumlah tugas yang harus dilaksanakan mulai dari awal sampai akhir proses mediasi. Adapun kewenangan mediator adalah sebagai berikut: 1. Mengontrol proses dan aturan dasar Mediator berwenang mengontrol proses mediasi sejak awal hingga akhir. Mediator memfasilitasi pertemuan para pihak, membantu pihak melakukan negosiasi, membantu membicarakan sejumlah kemungkinan untuk mewujudkan kesepakatan dan membantu menawarkan sejumlah solusi dan penyelesaian sengketa.48 Dalam hal ini mediator harus cermat mengawasi langkah kegiatan para pihak, dan berusaha maksimal menegakkan aturan mediasi yang telah disepakati bersama. 2. Mempertahankan struktur dan momentum dalam negosiasi
47 48
Ibid., 121.
Syahrizal Abbas, Mediasi, 82-83.
46
Mediator berwenang menjaga dan mempertahankan struktur dan momentum dalam negosiasi. Karena pada dasarnya, berhasil atau tidaknya suatu sengketa yang diselesaikan melalui negosiasi sangat dipengaruhi oleh ketepatan memilih teknik negosiasi dan pemahaman terhadap prinsipprinsip umum negosiasi, serta langkah-langkah yang harus dilakukan untuk setiap tahap negosiasi.
49
Dalam hal ini mediator harus mampu
menjaga dan mempertahankan struktur negosiasi tersebut. Mediator selalu mendampingi para pihak, agar dalam pembicaraan dan negosiasi mereka tidak keluar dari struktur yang telah dibangun bersama.50 3. Mengakhiri proses bila mana mediasi tidak produktif lagi Mediator dapat menghentikan proses mediasi untuk sementara waktu atau penghentian selamanya (mediasi gagal). Ada dua pertimbangan penghentian mediasi yang dilakukan oleh mediator. Pertama, ia menghentikan proses mediasi sementara waktu, guna memberikan kesempatan kepada para pihak memikirkan kembali tawar-menawar kepentingan dalam penyelesaian sengketa. Kedua, mediator menghentikan proses mediasi dengan pertimbangan hampir dapat dipastikan tidak ada cela yang mungkin dimasuki utuk diajak negosiasi dari kedua belah pihak.51 Disamping itu, mediator juga memiliki tugas-tugas sebagaimana yang tertuang dalam pasal 15 Perma No. 1 tahun 2008 yakni:
49
Gatot Soemarno, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, 123. Syahrizal Abbas, Mediasi, 84. 51 Ibid, 85. 50
47
1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwa pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. 2. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi. 3. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus (pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya).52 4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentigan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.53 H. Tujuan Hukum Tujuan hukum merupakan muara akhir terhadap proses penyelesaian sengketa54, diantara teori tujuan hukum yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah keadilan (gerachtgkeit), kemanfaatan (zwegkmassigkeit), dan kepastian hukum (rechtsicherheit).55 Ketiga hal tersebut, idealnya harus diperhatikan
secara
berimbang
dan
professional,
meskipun
dalam
pelaksanaannya sulit untuk diwujudkan. Tugas pokok hakim menegakkan hukum dan keadilan, sehingga dalam setiap putusan yang akan dijatuhkan
52
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), 120. 53 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 Tentang Mediasi di Pengadilan. 54 Komisi Yudisial RI, Penerapan dan Penemuan Hukum dalam Putusan Hakim, (Jakarta: Sekjen Komisi Yudisial RI, 2011), 88. 55 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta: Kencana, 2012), 59.
48
untuk mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu memperhatikan tiga hal yang esensial yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.56 Mediasi merupakan bagian dari sistem hukum yang berlaku dilingkungan peradilan, adanya mediasi yang dilakukan untuk menyeleseikan sengketa secara win-win solution, adalah bentuk dari tujuan hukum itu diciptakan. I. Mediasi Menurut Hukum Islam Islam adalah agama yang mengajarkan teologi anti-kekerasan dan menyerukan kedamaian, yakni rahmatan li al-'a>lami>n, atau kasih sayang bagi semesta alam. Malah di dalam Al-Qur'an dijelaskan panduan praktis untuk mengelola perdamaian. Pertama, kita diperintahkan untuk saling menjaga dan mempererat tali persaudaraan sebagaimana dalam al-Qur’a>n Surah al-H{ujura>t ayat 10;
َﲔ أَ َﺧ َﻮﻳْ ُﻜ ْﻢ وَاﺗـﱠ ُﻘﻮا اﻟﻠﱠﻪَ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗـُﺮْﲪَُﻮ َن َ ْ ﺻﻠِ ُﺤﻮا ﺑـ ْ َإِﳕﱠَﺎ اﻟْﻤ ُْﺆِﻣﻨُﻮ َن إِ ْﺧ َﻮةٌ ﻓَﺄ “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”.57 Benang merah yang bisa kita tarik dari perintah ini adalah untuk mewujudkan perdamaian, semua orang harus merasa bersaudara. Jika kita sudah merasa bersaudara, baik persaudaraan seagama, sebangsa, senegara, dan persaudaraan sesama manusia, maka tatanan hidup damai pasti akan terwujud.
56
Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012), 291. 57 Depag RI, Al-Qur’a@n dan Terjemahnya, 123.
49
Kedua, kita dilarang untuk mencela, mengolok-olok dan merendahkan orang lain, sebagaimana dalam al-Qur’a>n S{urah al-H{ujura>t ayat 11;
ﻳَﺎ أَﻳـﱡﻬَﺎ اﻟﱠﺬِﻳ َﻦ آ َﻣﻨُﻮا ﻻ ﻳَ ْﺴﺨ َْﺮ ﻗَﻮمٌ ِﻣ ْﻦ ﻗـَﻮٍْم َﻋﺴَﻰ أَ ْن ﻳَﻜُﻮﻧُﻮا َﺧْﻴـﺮًا ِﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ وَﻻ ﻧِﺴَﺎءٌ ِﻣ ْﻦ ﻧِﺴَﺎ ٍء ُﻮق ﺑـَ ْﻌ َﺪ ُ ْﺲ اﻻ ْﺳ ُﻢ اﻟْ ُﻔﺴ َ َﺎب ﺑِﺌ ِ َﻋﺴَﻰ أَ ْن ﻳَ ُﻜ ﱠﻦ َﺧْﻴـﺮًا ِﻣْﻨـ ُﻬ ﱠﻦ وَﻻ ﺗَـ ْﻠ ِﻤ ُﺰوا أَﻧْـ ُﻔ َﺴ ُﻜ ْﻢ وَﻻ ﺗَـﻨَﺎﺑـَ ُﺰوا ﺑِﺎﻷﻟْﻘ ِﻚ ُﻫ ُﻢ اﻟﻈﱠﺎﻟِﻤُﻮ َن َ ُﺐ ﻓَﺄُوﻟَﺌ ْ اﻹﳝَﺎ ِن َوَﻣ ْﻦ َﱂْ ﻳـَﺘ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.58 Perbuatan mencela, mengolok-olok dan merendahkan orang lain bisa menimbulkan konflik di antara masyarakat. Tampak jelas dari kandungan ayat-ayat Al-Qur'an itu bahwa kita hendaknya tidak merendahkan sesama manusia. Karena setiap manusia di bumi ini memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda. Perbedaan itu seharusnya disadari agar tidak menimbulkan kekerasan, konflik, permusuhan, dan sebagainya, yang dapat merusak kedamaian dan perdamaian. Ketiga, semua orang diperintahkan untuk menjauhi dan tidak menebar prasangka, mencari-cari kesalahan, dan mengunjing orang lain dalam masyarakat. Perbuatan ini dilarang oleh Islam, karena bisa menyebabkan kecemburuan dan ketidakpuasan di antara masyarakat. Jika demikian, maka kedamaian dan perdamaian mustahil akan tewujud. 58
Ibid, 124.
50
Masih banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang menyerukan perdamaian. Bahkan hampir semua ayat Al-Qur'an senada dengan prinsi-prinsip di atas. Ada pesan tersendiri dari aksentuasi Al-Qur'an terhadap teologi antikekerasan itu, yaitu sebuah cita-cita luhur dan mulia untuk menciptakan tatanan masyarakat yang damai, adil, dan harmonis.59 Istilah mediasi dalam Islam disebut dengan S}ulh}u, yang berasal dari bahasa Arab yaitu al-s}ulh}u yang berarti memutus perselisihan.60 Menurut Sayyid Sabiq, s}ulh}u adalah suatu bentuk akad untuk nengakhiri perselisihan antara dua orang yang berlawanan. Masing-masing pihak pelaku akad dinamakan mus{alih, persoalan perselisihan dinamakan mus}alah 'anhu, dan hal yang diberlakukan dalam solusi perselisihan itu dinamakan mus}alah 'alaihi.61 Tentang dasar hukum s}ulh}u ini terdapat dapat dipahami di dalam alQur'an, yaitu Surat al-H}ujura>t ayat 9, juga hadis| Nabi yang diriwayatkan oleh Abu> Da>wud yang berbunyi:
رواﻩ اﺑﻮ داود."َﻼل ا َْو اَ َﺣ ﱠﻞ َﺣَﺮاﻣًﺎ ً ﺻ ْﻠﺤًﺎ َﺣﱠﺮَم ﺣ ُ ِﲔ اِﻻ َ ْ َﲔ اﻟْ ُﻤ ْﺴﻠِﻤ َ ْ ﺼ ْﻠ ُﺢ ﺟَﺎ ﺋٌِﺰ ﺑـ "اَﻟ ﱡ Perjanjian damai antara orang-orang muslim itu diperbolehkan, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (HR Abu> Dawu>d).62 Tentang anjuran perdamaian ini juga pernah disampaikan oleh khalifah Umar r.a. yang menyuruh untuk menolak permusuhan dengan
59
Ahmad Kamil (Wakil Ketua MARI Bidang Non Yudisial), Makalah: Islam dan Perdamaian, disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Mediator, Bogor: 2010. 60 Sayyid Sabiq, Al-Fiqh As-Sunah, Jilid II, (Kairo, Dar al-Fath, 1990), 327. 61 Ibid., 327. 62 Abu> Da>wud, Sunan Abu> Da>wud, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub, 1996), 224.
51
perdamaian dikarenakan pemutusan perkara melalui pengadilan hanya akan menimbulkan kedengkian.63 Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa s}ulh}u merupakan suatu bentuk upaya damai yang dilakukan oleh orang-orang yang bersengketa yang dilakukan di luar pengadilan dengan persyaratan adanya orang yang bersengketa dan sesuatu yang disengketakan. Macam-macam s}ulh}u, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sayyid Sabiq yang membaginya dalam 3 macam, yaitu: 1. S}ulh}u ikra>r, yaitu seseorang mendakwa pihak lain atas adanya utang atau barang atau manfaat. 2. S}ulh}u inka>r, yaitu seseorang menggugat orang lain tentang suatu barang atau utang atau manfaat kemudian tergugat mengingkari apa yang digugatkan padanya, lalu mereka bers}ulh}u. 3. S}ulh}u suku>t, yaitu seseorang menggugat orang orang lain tentang sesuatu lalu orang yang digugat berdiam diri yang berarti ia tidak mengakui dan tidak mengingkari.64
63
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, Terj. Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 327. 64 Ibid., 331-332.