11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BERACARA DI PENGADILAN AGAMA
A. Gugatan dan Permohonan Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan perkara perdata yang terjadi di antara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa, harus mengajukan permintaan pemeriksaan persengketaan kepada Pengadilan. Apabila salah satu pihak sudah mengajukan permintaan pemeriksaan, persengketaan menjelma menjadi “perkara”. Di sidang Pengadilan selama sengketa tidak diminta campur tangan Pengadilan untuk mengadili, Pengadilan tidak bisa berbuat apa-apa. Pengadilan dilarang mencampuri sengketa yang tidak diajukan kepadanya. Pengadilan tidak boleh mencari perkara untuk diadili. Hal ini ditegaskan dalam pasal 55 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Menurut pasal tersebut, tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah diajukan suatu “permohonan” atau “gugatan”. Kemudian berdasarkan permohonan atau gugatan pihak-pihak yang berperkara dipanggil untuk menghadiri pemeriksaan di sidang Pengadilan. Bertitik tolak dari pasal 55 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut, dihubungkan dengan penjelasan pasal 60 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, di lingkungan Peradilan Agama dikenal dua sifat atau corak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada
12
Pengadilan. Yang pertama disebut permohonan dan yang kedua disebut gugatan. Hal itu yang akan dibicarakan pada bagian ini, karena berbicara mengenai masalah permohonan atau gugatan tidak sesederhana yang dibicarakan orang awam. Perbedaan antara gugatan dan permohonan adalah, bahwa dalam perkara gugatan atau perkara kontensius ada suatu sengketa, suatu konflik yang harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan. Dalam suatu gugatan ada seorang atau lebih yang “merasa” bahwa haknya atau hak mereka telah dilanggar, akan tetapi orang yang “dirasa” melanggar haknya atau hak mereka itu tidak mau secara suka rela melakukan sesuatu yang diminta itu, untuk menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim. Di sini hakim benar-benar berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa di antara pihak-pihak itu yang benar dan siapa yang tidak benar.1 Perkara gugatan atau perkara kontensius mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Gugatan bersifat partai Dalam gugat / kontensius pihak penggugat menarik orang lain yang disebut pihak kedua yang menjadi pihak tergugat. Pihak kedua yang ditarik penggugat sebagai pihak tergugat harus orang yang benar-benar mempunyai hubungan hukum dengan permasalahan yang disengketakan 1
Ny. Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung; Mandar Maju, 1989, hlm. 7
13
dalam gugatan. Tidak boleh sembarangan orang ditempatkan dalam posisi tergugat. Jika pihak kedua yang dijadikan pihak tergugat, tidak ada sangkut paut dengan apa yang disengketakan, gugatan dianggap tidak memenuhi syarat formil. Gugatan yang demikian mengandung cacat “error in persona”, orang yang digugat keliru atau “diskualifikasi in person” atau disebut juga “gemis aanhoedanigheid”. 2. Petitum dan putusan bersifat “condemnatoir” Ciri yang kedua dalam gugatan / kontensius biasa diminta putusan yang bersifat “condemnatoir”. Memang sifat yang condemnatoir itulah tujuan utama gugatan / kontensius. Yakni permintaan dalam petitum gugat agar tergugat dihukum : (1) menyerahkan sesuatu (2) meninggalkan sesuatu (3) membongkar sesuatu (4) mengosongkan sesuatu (5) melakukan / tidak melakukan sesuatu (6) membayar sejumlah uang tertentu.2 Dalam perkara yang disebut permohonan atau perkara voluntair tidak ada sengketa, misalnya apabila segenap ahli waris almarhum secara bersamasama menghadap ke Pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum berdasarkan pasal 260 a H.I.R. 2
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta; Pustaka Kartini, 1990, hlm. 201
14
di sini hakim hanya sekedar memberi jasa-jasanya sebagai seorang tenaga tata usaha negara. Hakim tersebut mengeluarkan suatu penetapan atau lazim disebut putusan declaratoir, suatu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja. Dalam hal ini hakim tidak memutuskan suatu konflik seperti halnya dalam suatu gugatan.3 Perkara permohonan atau perkara voluntair mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Gugatan bersifat sepihak Pihak yang terlihat hanya satu yakni pihak pemohon sendiri. Tidak ada orang lain yang ditarik sebagai pihak Tergugat. Itu sebabnya perkara voluntair disebut juga permohonan sepihak atau permohonan yang tidak bersifat partai. Boleh juga pemohon memasukkan orang lain dalam permohonan. Tapi kedudukan orang tersebut bukan subjek yang bersdiri sebagai pihak tergugat. Mereka berada dalam gugatan tak ubahnya sebagai objek yang “pasif”. Seperti dalam permohonan penetapan ahli waris. 2. Permintaan dan putusan bersifat “Declaratoir” Permintaan atau katakanlah petitumnya bersifat declaratoir, hanya meminta suatu deklarasi tentang suatu keadaan atau kedudukan. Seperti dalam contoh permohonan penetapan ahli waris. Dalam putusan biasanya berbunyi “menyatakan”.4
3 4
Ny. Retnowulan Sutantio, Op. cit., hlm. 7 M. Yahya Harahap, Op. cit., hlm. 198
15
Di Pengadilan agama ada permohonan yang perkaranya mengandung sengketa, sehingga didalamnya ada dua pihak yang disebut Pemohon dan Termohon, yaitu dalam perkara permohonan ijin ikrar talak dan permohonan ijin poligami. Pada prinsipnya setiap gugatan / permohonan harus dibuat secara tertulis, bagi penggugat / pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan / permohonan diajukan secara lisan kepada Pengadilan Agama di tempat kediaman isteri (pasal 66 ayat (1), (2) jo. pasal 73 ayat (1) UU. No.7 Tahun 1989). Tentang bentuk gugatan seperti tersebut di atas dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 118 ayat (1) H.I.R. atau pasal 142 ayat (1) R.Bg. dan pasal 120 H.I.R. atau pasal 144 ayat (1) R.Bg. Dari ketentuan pasal-pasal dimaksud, gugatan dapat :5 1. Bentuk tertulis Jika gugatan / permohonan berbentuk tertulis, harus memenuhi syarat formil berupa tanda tangan dan bermaterai cukup sesuai dengan ketentuan peraturan materai yang berlaku. Gugatan / permohonan yang berbentuk tertulis inilah yang disebut “surat gugatan / permohonan”. Mengenai penandatanganan surat gugatan / permohonan dapat dilakukan penggugat / pemohon “in person”, tetapi boleh juga ditandatangani oleh seorang atau beberapa kuasa, asal si kuasa sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan / permohonan telah lebih dulu
5
Ibid., hlm. 194-196
16
mendapat “surat kuasa khusus”, jika surat kuasa yang dimiliki hanya bersifat kuasa umum, kuasa tidak sah menandatangani surat gugatan / permohonan. Misalnya dapat dilihat salah satu putusan MA. Tanggal 27-71974 No. 351 K / Sip / 1973. dalam putusan ini ditegaskan “surat kuasa untuk menjaga, mengurus harta benda yang bergerak dan tidak bergerak, tanah, rumah, hutang dan semua kepentingan seseorang adalah surat kuasa umum yang bagaimanapun tidak dapat dianggap sebagai surat kuasa khusus untuk keperluan berperkara di depan Pengadilan”. Mengenai permasalahan surat gugatan / permohonan bermaterai cukup, memang benar ketentuan formil, tapi sekaligus bersifat administratif. Maksudnya sekiranya pada saat dimasukkan serat gugatan / permohonan ternyata belum bermaterai cukup, panitera yang menerimanya bisa menyuruh dipenuhi kepada penggugat / pemohon. 2. Bentuk lisan Bentuk gugat yang kedua berbentuk “lisan”, hal ini diatur dalam pasal 120 H.I.R. atau pasal 144 ayat (1) R.Bg. Di situ ditegaskan, bilamana penggugat buta huruf, gugatan dapat diajukan dengan lisan kepada ketua Pengadilan. Terhadap gugat lisan tersebut Ketua Pengadilan “mencatat” atau “menyuruh catat” kepada salah seorang pejabat Pengadilan, kemudian dari catatan itu Ketua Pengadilan menformulasikannya berupa surat gugatan. Tujuan memberi kelonggaran mengajukan gugatan secara lisan, untuk membuka kesempatan kepada rakyat pencari keadilan yang buta
17
aksara membela dan mempertahankan haknya. Menghadapi kasus yang seperti ini benar-benar berjumpa fungsi Pengadilan untuk memberi bantuan sebagaimana yang digariskan dalam pasal 119 H.I.R. atau pasal 143 ayat (1) R.Bg. jo. Pasal 58 ayat (2) UU. No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam memberi bantuan memformulasi gugatan lisan yang disampaikan, ketua Pengadilan tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan yang dikehendaki, pasti akan merugikan pihak Penggugat. Oleh karena itu, kebodohan Penggugat, jangan semakin dibodoh-bodohi. Hal seperti itu dapat dilihat dari putusan MA. Tanggal 28-11-1956 No.195 K / Sip /1955 yang dapat disadur antara lain : dalam membuat gugat lisan dihubungkan dengan ketentuan pasal 119 H.I.R., Ketua Pengadilan harus membuat gugatan dengan riil sebagaimana yang dikehendaki penggugat sehingga benar-benar sengketa dapat diselesaikan. Setelah mengetahui berbagai macam pra syarat dalam pembuatan surat gugatan / permohonan, berikut akan coba diuraikan pokok-pokok formulasi dan sistematika gugatan / permohonan, sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam formulasi dan sistematika surat gugatan atau permohonan itu tidak terdapat ketentuan yang jelas dalam H.I.R., tetapi dalam praktek isi gugatan / permohonan itu harus memuat hal-hal sebagai berikut : 1. Identitas para pihak (penggugat / pemohon dan tergugat / termohon) yang meliputi : a. nama (beserta bin atau binti dan aliasnya jika ada)
18
b. umur c. agama d. pendidikan e. pekerjaan f. tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “Dahulu bertempat di…… tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia”. 2. Posita, yaitu dalil-dalil (penjelasan-penjelasan) keadaan yang konkrit (nyata) mengenai adanya hubungan hukum sebagai dasar dari permohonan / tuntutan / alasan-alasan yang mendukung tuntutan / permohonan itu (fundamentum petendi). Posita itu memuat : a. Dalil / alasan-alasan yang bersifat kenyataan (feitelijke gronden) artinya alasan-alasan yang berdasarkan kenyataan-kenyataan / fakta / peristiwa. Syarat inilah yang harus dipenuhi oleh penggugat / pemohon dan merupakan hal yang wajib untuk mudah diketahui duduk perkaranya. b. Dalil yang bersifat juridich (alasan yang berdasarkan hukum) (Rechtelijke gronden). Tetapi hal ini bukan merupakan keharusan, hakimlah yang harus melengkapinya nanti dalam keputusan.
19
3. Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh penggugat / pemohon agar dikabulkan oleh hakim, biasanya dibagi dalam dua tuntutan, yaitu primair dan subsidair.6
B. Prosedur Beracara atau Proses Pemeriksaan di Pengadilan Agama Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam Hukum Acara Perdata. Setelah hakim terlebih dahulu berusaha melakukan perdamaian yang dalam perkara perdata pada umumnya diatur dalam pasal 130 H.I.R./ pasal 154 R.Bg. dan pasal 14 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan dalam perkara perceraian pada khususnya di atur dalam pasal 56 ayat (2), 65, 82, 83 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan pasal 31, 32 PP No. 9 Tahun 1975.7 Jika usaha perdamaian berhasil maka dibuatlah akta perdamaian (acta van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka. Akta perdam,aian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim dan dapat dieksekusikan. Apabila ada pihak yang tidak mau mentaati isi perdamaian maka pihak yang dirugikan dapat memohon eksekusi kepada Pengadilan Agama. Akta perdamaian hanya bisa dibuat dalam sengketa mengenai kebendaan saja yang memungkinkan untuk dieksekusi. Akta perdamaian tidak dapat dimintakan
6
Umar Mansyur Syah, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Menurut Teori dan Praktek, Bandung; Sumber Bahagia, 1991, hlm. 60-62 7 Mukti Arto., Op. cit., hlm. 92-93
20
banding, kasasi ataupun peninjauan kembali. Demikian pula terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan gugatan baru lagi. Dalam sengketa yang berkaitan dengan status seseorang (perceraian) maka tindakan hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketaannya ialah mengupayakan tidak terjadinya perceraian. Hal ini dilakukan pada sidang pertama, dimana kedua belah pihak harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat tinggal di luar negeri dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi, dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila kedua belah pihak bertempat tinggal di luar negeri, maka penggugat dalam sidang perdamaian itu harus menghadap secara pribadi. Usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat Peradilan, yaitu tingkat pertama, tingkat banding, maupun kasasi selama perkara belum diputus pada tingkat tersebut. Apabila dalam usaha perdamaian hakim tidak berhasil, maka pemeriksaan dilanjutkan sesuai dengan prosedur beracara di Pengadilan Agama. Tahap-tahap pemeriksaan tersebut antara lain : 1. Pembacaan Gugatan Surat gugatan bukanlah merupakan alat bukti, tetapi merupakan dalil gugatan yang harus dibuktikan di dalam persidangan Majelis Hakim. Oleh karena itu surat gugatan haruslah dibuat dengan baik dan benar, harus lengkap para pihak-pihak yang berperkara, harus memenuhi syaratsyarat dan unsur sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
21
Pada tahap pembacaan gugatan ini terdapat beberapa kemungkinan dari penggugat / pemohon, yaitu : a. Penggabungan gugatan Penggabungan gugatan terhadap beberapa masalah hukum dalam satu surat gugatan tidak dilarang oleh Hukum Acara Perdata. Boleh saja digabungkan dalam satu gugatan asalkan ada hubungan erat atau koneksitas satu sama lain. Untuk mengetahui adanya koneksitas dalam persoalan yang akan digugat itu perlu dilihat dari sudut kenyataan peristiwa yang terjadi dan fakta-fakta hukum yang menjadi dasar tuntutan. Tujuan penggabungan gugatan itu tidak lain agar perkara itu dapat diperiksa oleh hakim yang sama guna menghindarkan kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan. Apabila terjadi
penggabungan
gugatan
akan
mempermudah
jalannya
pemeriksaan, akan menghemat biaya, tenaga dan waktu. Asas cepat, sederhana dan biaya ringan dapat dilaksanakan dalam penyelesaian suatu perkara. Tidak jarang terjadi bahwa penggugat yang terdiri lebih dari seorang melawan tergugat yang hanya seorang saja atau seorang penggugat melawan tergugat yang lebih dari seorang atau kedua pihak masing-masing terdiri lebih dari seorang. Hal ini disebut “kumulasi subyektif”: penggabungan dari pada subyek. Undang-undang ini tidak melarang penggugat mengajukan gugatan terhadap beberapa orang tergugat (pasal 127 H.I.R./ 151 R.Bg.). Terhadap kumulasi subyektif
22
ini tergugat dapat mengajukan keberatannya: tidak menghendaki kumulasi subyektif, tidak menghendaki dirinya digabungkan dengan tergugat lainnya. Sebaliknya dapat terjadi bahwa tergugat justru menghendaki kumulasi subyektif: menghendaki diikutsertakannya tergugat-tergugat lainnya dalam gugatan. Tangkisan tergugat ini, yaitu bahwa masih ada orang lain yang diikutsertakan dalam sengketa sebagai pihak yang berkepentingan, disebut exceptio plurium litis consortium. Sekalipun tidak ada ketentuannya, tetapi pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa antara tuntutan-tuntutan yang diajukan terhadap pelbagai tergugat haruslah ada hubungannya yang erat, serta harus ada koneksitas. Tidak jarang terjadi bahwa penggugat mengajukan lebih dari satu
tuntutan
dalam
satu
perkara
sekaligus.
Ini
merupakan
penggabungan dari pada tuntutan yang disebut “komulasi obyektif”. b. Perubahan gugatan Perubahan dan/atau penambahan gugatan di perkenankan, asal diajukan pada hari sidang pertama di mana para pihak hadir, tetapi hal tersebut harus ditanyakan pada pihak lawan guna pembelaan kepentingannya.
Perubahan
yang
bersifat
menyempurnakan,
menegaskan atau menjelaskan surat gugatan / permohonan dapat diijinkan, demikian pula dalam mengurangi tuntutan. Perubahan dan/atau penambahan surat gugatan tidak boleh sedemikian rupa, sehingga dasar pokok gugatan menjadi lain dari
23
materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak tersebut. Dalam hal yang demikian ini, maka surat gugatan harus dicabut kecuali jika diijinkan oleh tergugat. Apabila terjadi perubahan para pihak dan perubahan petitum, harus dicatat dalam Berita Acara Persidangan dan dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan. c. Pencabutan gugatan Gugatan dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa. Tetapi jika perkara telah di periksa dan tergugat telah memberi jawabannya, maka pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari tergugat. Apabila perkara belum ditetapkan hari sidangnya maka gugatan dapat dicabut dengan surat. Pencabutan dapat pula dilakukan dengan lisan di muka sidang yang dicatat dalam berita acara persidangan. Apabila perkara dicabut maka hakim membuat “penetapan” bahwa perkara telah dicabut. Pencabutan tersebut dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan pada kolom keterangan, yaitu bahwa perkara dicabut pada tanggal berapa. d. Mempertahankan gugatan Jika penggugat tetap mempertahankan gugatannya, maka sidang dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu jawaban tergugat.
24
2. Jawaban Tergugat Setelah gugatan dibacakan dan isinya tetap dipertahankan oleh penggugat kemudian tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya, baik dalam sidang itu juga atau dalam sidang berikutnya. Menurut pasal 121 ayat (2) H.I.R./ pasal 145 (2) R.Bg. jo. Pasal 132 ayat (1) H.I.R./ pasal 158 ayat (1) R.Bg., tergugat dapat mengajukan jawaban secara tertulis atau lisan. Di dalam mengajukan jawaban tersebut tergugat harus hadir secara pribadi dalam sidang atau diwakilkan oleh kuasa hukumnya, apabila tergugat atau kuasa hukumnya tidak hadir dalam sidang meskipun mengirimkan surat jawabannya, tetap dinilai tidak hadir dan jawabannya itu tidak perlu diperhatikan, kecuali dalam hal jawaban yang berupa eksepsi atau tangkisan bahwa Pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkaranya itu.8 Pada tahap ini ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh Tergugat, yaitu : a. Eksepsi (tangkisan) Yaitu berupa sanggahan terhadap suatu gugatan atau perlawanan yang tidak mengenai pokok perkara atau pokok perlawanan, yang bertujuan untuk menggagalkan gugatan atau perlawanan dari segi hukum formil. Tergugat yang mengajukan eksepsi disebut excipient. Dasar hukum eksepsi yaitu pasal 136 H.I.R./
8
Mahkamah Agung R.I., Op. cit., hlm. 160 dan 164
25
pasal 162 R.Bg., pasal 125 ayat (2), pasal 133 – 136 H.I.R./ pasal 149 ayat (2), dan pasal 160 – 162 R.Bg. Eksepsi dibagi menjadi dua macam, yaitu : (1) Eksepsi yang berdasarkan pada hukum materiil : (a) Dilatoire Exceptie, suatu eksepsi yang menyatakan bahwa tuntutan tergugat belum dapat dikabulkan, dikarenakan belum memenuhi syarat menurut hukum. (b) Premtoire Exceptie, suatu eksepsi yang tetap menghalangi dikabulkannya tuntutan penggugat, misalnya gugataan telah lampau waktu (verjaad), kemudian hutang telah dihapuskan (kweijtschelding). (2) Eksepsi yang berdasarkan pada hukum formil : (a) Exceptie van gewijsdezaak, eksepsi yang mengatakan bahwa perkara yang diajukan telah diputus oleh hakim sebelumnya (nebis in idem). (b) Disqualificatoire Exceptie, eksepsi yang mengatakan bahwa penggugat tidak mempunyai kedudukan untuk mengajukan gugatan. (c) Eksepsi terhadap gugatan yang kabur (abscuur libel), eksepsi yang bertujuan agar hakim memutus bahwa gugatan penggugat tidak jelas / kabur, sehingga dinyatakan tidak dapat diterima. (d) Eksepsi
tidak
berwenang
secara
absolut
yaitu
bahwa
Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili
26
perkara yang diajukan oleh penggugat, melainkan menjadi wewenang Pengadilan lain. (e) Eksepsi tidak berwenang secara relatif, yaitu bahwa Pengadialn Agama yang di tuju tidak berwenang mengadili gugatan penggugat tetapi menjadi wewenang Pengadilan Agama yang lain.9 b. Mengaku bulat-bulat Apabila tergugat dalam jawabannya itu mengakui seluruh dalil-dalil gugatan secara bulat, maka perkara dianggap telah terbukti dan gugatan dapat dikabulkan seluruhnya, kecuali dalam hal gugatan cerai. Dalam perkara perceraian, meskipun mungkin tergugat telah mengakui alasan-alasan cerai yang dikemukakan oleh tergugat, hakim harus berusaha menemukan kebenaran materiil alasan cerai tersebut dengan alat bukti yang cukup. c. Mungkir mutlak Apabila tergugat dalam jawabannya memungkiri secara mutlak maka pemeriksaan dilanjutkan pada tahap berikutnya sampai dapat dibuktikan atau tidaknya dalil-dalil gugat.
9
Hansyah Syahlani, (Mahkamah Agung R.I.), Penemuan dan Pemecahan Masalah Hukum dalam Peradilan Agama, Jakarta, 1994, hlm. 38-42
27
d. Mengaku dengan klausula (syarat) Apabila tergugat mengaku dengan klausula (syarat), maka pengakuan itu harus diterima seutuhnya dan tidak boleh di pisahpisahkan. Pemeriksaan dilanjutkan seperti tahap-tahap biasanya. e. Referte (berbelit-belit) Apabila
tergugat
menyerahkan
segalanya
kepada
kebijaksanaan hakim dengan tidak membantah dan tidak pula membenarkan gugatan, dalam hal ini tergugat hanya bersifat menunggu putusan.10 f. Rekonvensi Dalam tahap ini, tergugat di samping mengajukan jawaban atas dalil-dalil gugatan penggugat, ia juga mengajukan gugat balik (rekonvensi) terhadap penggugat. Dalam hal demikian maka kedudukan tergugat dalam konvensi berubah menjadi penggugat dalam rekonvensi, dan sebaliknya penggugat dalam konversi berubah menjadi tergugat dalam rekonvensi. Dasar hukum rekonvensi adalah pasal 132 a – 132 b H.I.R./ pasal 157 – 158 R.Bg. Pengaturan gugat rekonvensi ini bertujuan untuk : (1) menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan (2) mempermudah prosedur
10
Sudikno Mertokusumo, Op. cit., hlm. 90
28
(3) menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan satu sama lain (4) menetralisir tuntutan konvensi (5) acara pembuktian dapat dipersingkat dan disederhanakan (6) menghemat biaya.11 Dalam setiap perkara, orang yang digugat berhak mengajukan gugatan balasan, kecuali : (1) kalau penggugat menggugat karena suatu sifat, sedang gugat balasan mengenai diri sendiri (2) kalau Pengadilan yang memeriksa gugat asal dari penggugat tidak berwenanguntuk
memeriksa
gugat
balasan
karena
pokok
persengketaannya (3) dalam perkara persengketaantentang menjalankan putusan hakim Apabila tergugat dalam jawabannya terhadap gugatan penggugat, mengajukan gugat balasan, maka kedua perkara tersebut yaitu gugat asal dan gugat balasan diselesaikan sekaligus dan diputus dalam satu putusan. Apabila hakim berpendapat, bahwa perkara yang satu dapat diselesaikan terlebih dahulu daripada yang lain, kedua perkara tersebut boleh diperiksa satu persatu oleh hakim, akan tetapi putusannya tetap menunggu perkara yang lain, jadi putusannya tetap satu (pasal 132 b ayat (3) H.I.R.).12
11
A. Mukti Arto, Op. cit., hlm. 104 Ellyana Tansah, dan L.J. Ferdinandus, (Mahkamah Agung R.I.), Cara Penyelesaian Perkara Perdata dengan Sistem Putusan Sela, Jakarta, 1998, hlm. 25 12
29
Gugatan rekonvensi disusun sama dengan gugatan konvensi, dibuat menurut pasal 120 H.I.R./pasal144 R.Bg., dengan memuat identitas para pihak dan kedudukannya masing-masing dalam perkara rekonvensi, posita dan petitum rekonvensi. Apabila rekonvensi di ajukan secara lisan, hakim merumuskannya dalam berita acara persidangan. Gugatan rekonvensi di ajukan kepad hakim / ketua majelis yang kemudian memerintahkan kepada panitera sidang agar rekonvensi tersebut di daftar dalam register induk perkara gugatan pada nomor dan kolom yang sama dengan perkara konvensi. 3. Replik Penggugat Replik berasal dari bahasa latin replicare yang berarti jawaban atas jawaban yang diberikan oleh pihak tergugat atau terdakwa dalam sidang Pengadilan.13
Hal
jawabannya,
kemudian
ini
dilakukan
setelah
penggugat
tergugat
diberi
menyampaikan
kesempatan
untuk
menanggapinya sesuai dengan pendapatnya. Dalam tahap ini mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya dan menambah keterangan yang dianggap perlu untuk memperjelas dalil-dalilnya, atau mungkin juga penggugat merubah sikap yang membenarkan jawaban / bantahan tergugat.
13
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 504
30
4. Duplik Tergugat Duplik berasal dari bahasa latin duplica yang berarti jawaban lanjutan dari tergugat atas replik dari penggugat dalam perkara perdata.14 Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi kesempatan untuk menanggapi pula. Dalam tahap ini mungkin tergugat bersikap seperti penggugat dalam repliknya tersebut. Acara replik dan duplik (jawab-menjawab) ini dapat diulangi sampai ada titik temu antara penggugat dan tergugat, dan/atau dianggap cukup oleh hakim. Apabila acara jawab-menjawab ini telah cukup namun masih ada hal-hal yang tidak disepakati oleh penggugat dan tergugat sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian. 5. Pembuktian Dalam
memeriksa
suatu
perkara,
hakim
bertugas
untuk
mengkonstatir yang artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang di kemukakan oleh para pihak itu benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian. Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakimakan kebenaran peristwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah di tetapkan oleh Undang-undang. Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang diperiksa di muka majelis hakim itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang digunakan untuk memperkuat dakwaannya.
14
Ibid., hlm. 161
31
Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan seksama itulah hakim menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan aturan yang telah di tetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peristiwa-peristiwa yang harus dibuktikan di muka sidang Pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (1) Peristiwa atau kejadian tersebut harus merupakan peristiwa atau kejadian yang disengketakan, sebab pembuktian itu merupakan cara untuk menyelesaikan sengkeata. Kalo seandainya peristiwa atau kejadian yang menjadi dasar gugatan itu tidak disengketakan, maka tidak perlu dibuktikan. Oleh karena itu peristiwa atau kejadian yang sudah diakui oleh tergugat maka tidak perlu dibuktikan lagi. (2) Peristiwa atau kejadian tersebut harus dapat diukur, terikat dengan ruang dan waktu. Hal ini logis sebab peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadianyang tidak dapat diukur tidak dapat dibuktikan. (3) Peristiwa atau kejadian tersebut harus berkaitan dengan hak yang disengketakan, karena pembuktian itu tidak mengenai hak yang disengketakan itu sendiri, tetapi yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang menjadi sumber hak yang disengketakan. (4) Peristiwa atau kejadian tersebut efektif untuk dibuktikan.
32
(5) Peristiwa atau kejadian tersebut tidak dilarang oleh hukum dan kesusilaan.15 Adapun hal-hal yang tidak perlu dibuktikan adalah sebagai berikut: (1) Dalam putusan verstek, dalam menjatuhkan putusan verstek tidak diperlukan pembuktian, hakim hanya diperintahkan untuk melihat apakah gugatan penggugat melawan hak atau tidak beralasan. (2) Gugatan diakui pihak lawan, gugatn yang sudah diakui pihak lawan tidak
perlu dibuktikan,
karena pengakuan
itu
sudah
berarti
membenarkan dalil gugatan dan pengakuan itu sendiri sudah merupakan salah satu alat bukti. (3) Penglihatan hakim sendiri di muka sidang, halini sejalan dengan arti pembuktian bahwa pihak yang berperkara memberi dasar kepada hakim untuk memperoleh kepastian akan kebenaran suatu peristiwa. Oleh karena itu sesuatu yang sudah diketahui hakim sewaktu memimpin sidang, maka hal tersebut tidak perlu dibuktikan. Yang telah diketahui oleh umum (fakta-fakta notoir).16 Asas pembuktian dalam Hukum Acara Perdata di jumpai dalam pasal 1865 Burgerlijke Wetboek (BW), pasal 163 H.I.R., pasal 383 R.Bg., yang bunyi pasal-pasal tersebut semakna saja, yaitu: “Barang siapa mempunyai suatu hak atau guna membantah hak orang lain, atau
15 16
hlm. 17-19
Abdul Manan, Op. cit., hlm. 130 Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, Bandung; Alumni, 1993,
33
menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut”.17 Dalam membuktikan suatu peristiwa atau kejadian, di perlukan alat-alat bukti. Alat-alat bukti dalam perkara Perdata adalah : a. Alat bukti surat, ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (alat bukti). Alat bukti ini diatur dalam pasal 138, 165, 167 H.I.R./ 164,285 – 305 R.Bg., Stbl.1867 No.29 dan pasal 1867 – 1894 B.W., serta pasal 138 – 147 R.V. surat sebagai alat bukti tulis dibedakan menjadi dua yaitu akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta (surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti). b. Alat bukti saksi, ialah orang yang memberikan ketyerangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Alat bukti ini diatur dalam pasal 168 – 172 H.I.R. c. Alat bukti persangkaan, ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan Undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim. 17
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 138
34
Alat bukti ini diatur dalam pasal 173 H.I.R., 1916 B.W. ada dua macam bentuk persangkaan yaitu : persangkaan yang berupa kesimpulan berdasarkan Undang-undang, serta persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul di persidangan. d. Alat bukti pengakuan, ialah pernyataan seseoranmg tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain. Alat bukti ini diatur dalam pasal 174, 175, 176 H.I.R./ 311, 312,313 R.Bg., dan pasal 1923 – 1928 B.W. ada beberapa macam bentuk pengakuan, yaitu pengakuan murni (sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan), pengakuan dengan kualifikasi (disertai dengan sangkalan terhadap sebagian tuntutan), dan pengakuan dengan klausula (disertai keterangan tambahan yang bersifat membebaskan). e. Alat bukti sumpah, ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau dengan mengingat sifat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Ada dua macam sumpah, yaitu sumpah / janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (sumpah promissoir) dan sumpah atau janji untuk memberi keterangn guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tida benar (sumpah assertoir/ confirmatoir).
35
6. Koreklus / Kesimpulan Para Pihak Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung, menurut pandangan masing-masing. 7. Putusan Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara. Setiap putusan Pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis, yang harus di tanda tangani oleh hakim ketua sidang dan hakimhakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang (pasal 23 ayat (2) UU. No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Apa yang diucapkan hakim dalam sidang haruslah benar-benar sama dengan apa yang tertulis, dan apa yang dituliskan haruslah benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang Pengadilan.18 Dalam putusan yang bersifat perdata, pasal 178 ayat (2) H.I.R. dan pasal 187 ayat (2) R.Bg. mewajibkan para hakim untuk mengadili semua tuntutan sebagaimana tersebut dalam surat gugatan. Hakim dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut sebagaimana tersebut dalam pasal 178 ayat (3) H.I.R. dan pasal 189 ayat (3) R.Bg.
18
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 117-118
36
Hasil akhir dari pemeriksaan perkara di Pengadilan karena adanya gugatan dari salah satu pihak adalah putusan atau vonis. Lain halnya dengan perkara permohonan yang hasil akhirnya adalah penetapan atau beschikking. Kalau dilihat susunan setiap putusan pengadilan, maka terlihat ada enam bagian yang tersusun secara kronologis dan saling berkaitan satu sama lain, yaitu : a. Kepala putusan Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala pada bagian atas putusan/penetapan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (ps. 4 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan. Jika kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 224 HIR/258 RBg. Di dalam pasal 57 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa tiap penetapan/putusan dimulai dengan kalimat
“BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM”
diikuti
dengan
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.19
19
Umar Mansyur Syah, Op. cit., hlm. 174.
37
b. Identitas para pihak Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dalam setiap perkara perdata selalu ada dua pihak yang saling berlawanan, yaitu penggugat dan tergugat, bahwa mungkun juga ada turut tergugat. Identitas para pihak harus jelas ditulis dalam putusan, yaitu nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan kedudukan sebagai pihak, serta kuasanya kalau yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain. Dalam menyusun putusan perlu diingat tentang adanya kemungkinan terjadi peribahan terhadap posisi para pihak, terutama apabila ada gugat rekonvensi dari tergugat atau juga adanya gugat intervensi dari pihak ketiga yang masuk dalam sengketa yang sedang berlangsung di Pengadilan. Terhadap hal ini posisi para pihak berubah sehingga dalam menyusun putusan, penggugat dan tergugat asli bisa berubah. c. Duduknya perkara atau tentang kejadiannya Pasal 184 H.I.R. dan pasal 195 R.Bg. serta pasal 23 UU. No.14 Tahun
1970
tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman mengemukakan bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat secara ringkas tentang gugatan dan jawaban tergugat secara ringkas dan jelas. Di samping itu dalam surat putusan juga harus dimuat secara jelas tentang alasan dasar dari putusan, pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku,
38
biaya perkara, serta hadir dan tidaknya para pihak yang berperkara pada waktu putusan diucapkan. Muatan yang harus ada dalam bagian duduknya perkara adalah meliputi gugatan yang diajukan oleh penggugat, jawaban dan tanggapan para pihak, serta fakta-fakta kejadian dalam persidangan. d. Tentang pertimbangan hukum Pertimbangan hukum biasanya dimulai dengan kata-kata “Menimbang.... dan seterusnya”. Dalam pertimbangan hukum ini hakim akan mempertimbangkan dalil-dalil gugatan, bantahan atau eksepsi dari tergugat serta dihubungkan dengan alat-alat bukti yang ada. Dari pertimbangan hukum, hakim menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya gugatan itu. Di sinilah argumentasi hakim dipertaruhkan dalam mengkonstatir segala peristiawa yang terjadi selama persidangan berlangsung. Kemudian barulah ditulis dalil-dalil hukum syara’ yang menjadi sandaran pertimbangannya. Selainitu juga di muat pasal-pasal yang menjadi dasar dari putusan itu. Dalam praktek, uraian tentang peraturan hukum di muat dalam bentuk “mengingat”. e. Tentang amar putusan Amar putusan adalah isi dari putusan itu sendiri yang merupakan jawaban petitum dalam surat gugatan yang di ajukan oleh penggugat. Amar putusan dimulai dengan kata-kata “mengadili”. Dalam amar itu hakim harus menyatakan tentang hal-hal yang
39
dikabulkan, ditolak atau tidak diterima berdasarkan pertimbangan hukum yang telah dilakukannya. f. Bagian penutup Dalam bagian ini disebutkan kapan putusan tersebut dijatuhkan (hari dan tanggal), dan dicantimkan pula nama hakim ketua dan hakim anggota serta panitera pengganti yang menyidangkan perkara itu sesuai dengan penetapan majelis hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama. Di samping itu perlu di cantumkan juga tentang hadir tidaknya penggugat atau tergugat dalam persidangan sewaktu dibacakan putusan, serta setiap putusan harus di beri materai secukupnya dan ditanda tangani oleh ketua majelis, hakim anggota dan panitera pengganti yang ikut dalam persidangan, sesuai dengan pasal 7 ayat (5) UU. No.13 Tahun 1989 tentang Bea Materai.20
20
Abdul Manan, Op. cit., hlm. 174-177
40
LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN ( KKL) DI LPKBHI IAIN WALISONGO SEMARANG LAPORAN Disusun sebagai tugas akhir dalam Kuliah Kerja Lapangan ( KKL )
Oleh : M. Fikrul Khadziq NIM : 2100275
JURUSAN AHWALUS SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2004