1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Peradilan Agama telah hadir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak masuknya agama Islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan penegakan keadilan, pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al Qur’an, Hadits Rasul dan ijtihad para ahli hukum Islam, terdapat aturan-aturan hukum materiil sebagai pedoman hidup dan aturan dalam hubungan antar manusia (muamalah) serta hukum formal sebagai pedoman beracara di Pengadilan Agama. Dalam hukum Islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan muamalah, yaitu kegiatan
antara
manusia
dalam
kehidupan
bersama
(manusia
dengan
manusia/manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan (kegiatan) peradilan hukumnya adalah fardhu kifayah; harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang dalam satu kelompok masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau beberapa orang yang mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah terpenuhi. Al Mawardi di dalam buku al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan kegiatan peradilan adalah merupakan bagian pemerintah dalam rangka bernegara.1
1
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Darul Falah, Jakarta, 2000, halaman 122-142.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Peradilan Agama adalah salah satu dari tiga peradilan khusus di Indonesia. Sebagai peradilan khusus, Peradilan Agama mengadili perkara-perkara perdata tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dengan perkataan lain, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata Islam tertentu saja dan hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia. Oleh karena itu, Peradilan Agama dapat disebut sebagai peradilan Islam di Indonesia, yang pelaksanaannya secara limitatif telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia.2 Dengan adanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara formal maka keberadaan Peradilan Agama diakui, namun mengenai susunan dan kekuasaan (wewenang) masih beragam dan hukum acara yang dipergunakan adalah HIR serta peraturan-peraturan yang diambil dari hukum acara Peradilan Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, dewasa ini telah dikeluarkan UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur: susunan, kekuasaan dan hukum acara Peradilan Agama. Undang-Undang ini kemudian mengalami perubahan pada Pasal-Pasal tertentu untuk menyesuaikan dengan perkembangan perundang-undangan yang ada maupun dengan kebutuhan di lapangan praktis dengan keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.3 Tugas dan kewenangan Peradilan menurut Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang: 2
Roihan A. Rasjid, Hukum Acara Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, halaman 6. Sulaikin Lubis, Wismar ‘Ain Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008, halaman 2. 3
Universitas Sumatera Utara
3
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sedekah. Kewenangan Peradilan Agama tersebut berdasar atas asas personalitas ke-Islaman, yaitu yang dapat ditundukkan ke dalam kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang beragama Islam.4 Saat ini dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, salah satu yang diatur adalah tentang perubahan atau perluasan kewenangan lembaga Peradilan Agama pada Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, yang meliputi: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedekah, dan ekonomi syariah. Salah satu sentral dalam Undang-Undang ini adalah asas personalitas keislaman. Asas personalitas ke-Islaman dalam bidang perdata kewarisan, meliputi seluruh golongan rakyat beragama Islam. Dengan perkataan lain, dalam hal terjadi sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama Islam, kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan Peradilan Agama, bukan ke lingkungan Peradilan Umum. Jadi, luas jangkauan mengadili lingkungan Peradilan Agama ditinjau dari subjek pihak yang berperkara, meliputi seluruh golongan rakyat yang beragama Islam tanpa terkecuali.5 Sengketa keperdataan yang menyangkut hak kebendaan dalam perkara waris, meliputi sengketa hak milik atas tanah. Kebutuhan akan adanya perlindungan hukum dan jaminan kepastian hukum dalam bidang pertanahan berarti bahwa setiap warga 4
Ibid., halaman 109. M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, UU No. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, halaman 147-148. 5
Universitas Sumatera Utara
4
Negara Indonesia dapat menguasai tanah secara aman dan mantap.6 Penguasaan yang mantap
berarti
ditinjau
dari
aspek
waktu/lamanya
seseorang
dapat
mempunyai/menguasai tanah sesuai dengan isi kewenangan dari hak atas tanah tersebut, sedangkan penguasaan secara aman berarti si pemegang hak atas tanah dilindungi dari gangguan, baik dari sesama warga negara dalam bentuk misalnya penguasaan illegal ataupun dari penguasa. Pada asasnya apabila pihak lain memerlukan tanah untuk keperluan apapun, maka cara untuk memperoleh tanah yang diperlukan harus ditempuh musyawarah dengan pemegang hak atas tanah hingga tercapai kata sepakat yang benar-benar keluar dari maksud baik antara kedua belah pihak. Hak atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegangnya untuk memakai suatu bidang tanah tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan tertentu. Sedangkan tujuan pemakaian tanah pada hakekatnya ada 2 (dua), yaitu : pertama, untuk diusahakan, misalnya untuk pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. Kedua, tanah dipakai sebagai tempat membangun, misalnya bangunan gedung, lapangan, jalan dan lain-lain.7 Hak atas tanah dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak-hak atas tanah dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan. Demikian pula tubuh bumi dan air serta
6
Arie Sukanti Hutagalung, Analisa Yuridis Keppres No. 55 Tahun 1993, (Diklat DDN : Jakarta, 2001), halaman 1. 7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya , Jilid i, Djambatan, Jakarta, 2008, halaman 285.
Universitas Sumatera Utara
5
ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. Terhadap banyaknya kasus-kasus pertanahan yang terjadi di masyarakat maka sangatlah perlu dicari cara penyelesaiannya yang sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Untuk itu penyelesaian sengketa perdata yang berkenaan dengan tanah diluar lembaga peradilan menjadi ideal bagi penyelesaian sengketa tanah. Karena bila ditempuh melalui jalur hukum/lembaga peradilan, sering kali tidak hanya menyangkut aspek hukum, hak-hak penguasaan, kalkulasi ekonomi, tetapi tidak sedikit yang menyentuh sisi sosio kultural. Penyelesaian melalui lembaga pengadilan yang lebih berpola menang kalah seringkali justru memicu konflik-konflik non hukum yang berkepanjangan. Apalagi jika masalah-masalah hukum yang diangkat hanya berfokus pada satu sebab saja. Munculnya ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan yang berakumulasi dengan berbagai aspek masalah pertanahan yang tidak terselesaikan melalui pengadilan, ternyata dapat berkembang sampai kepada kekerasan fisik. Persoalan hak penguasaan atas tanah dan sumberdaya alam di Indonesia, secara sepintas dapat digambarkan melalui peta konflik agraria di Indonesia, yang dihasilkan oleh kerja advokasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Dari data tersebut tampak bahwa konflik agraria terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Dari tahun 1950-an sampai akhir dekade 90-an terdapat 1455 kasus yang teridentifikasi oleh KPA; dari jumlah itu tidak sampai 50 kasus yang terjadi sebelum 1980. Artinya, konsentrasi
Universitas Sumatera Utara
6
kasus terutama dalam duapuluhan tahun terakhir. Dari sekian ribu konflik yang terjadi, tidak ada satu pun yang berakhir dengan kemenangan pihak masyarakat (adat dan lokal) dalam berhadapan dengan pihak perusahaan dan negara melalui jalur hukum. Seluruh masyarakat yang terlibat dalam berbagai kasus tersebut adalah korban yang kalah dalam pengertian yang paling tragis: tergusur, diusir, tidak mendapat ganti rugi, ditahan, ditembak dan kehilangan lahan untuk waktu yang tak dapat diperkirakan dan dengan demikian kehilangan sumber hidup dan putusnya pertalian dengan sumber budaya mereka. Data KPA tersebut menyebutkan bahwa jumlah keluarga yang menjadi korban dalam kasus tersebut adalah 242.088 KK dan jumlah korban individu manusia sebesar 533.866. Berarti dalam setiap kasus rata-rata timbul korban 367 manusia, baik yang kehilangan nyawa, tanah, terusir dan tergusur, mengalami kekerasan fisik dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lainnya.8 Masalah tanah dilihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Kesamaan terhadap konsep sangat diperlukan agar terdapat kesamaan persepsi yang akan menghasilkan keputusan yang solid dan adil bagi pihak-pihak yang meminta keadilan. Persamaan yang memerlukan persamaan persepsi tersebut, misalnya berkenaan antara lain dengan sertipikat sebagai tanda
8 Emil Kleden, Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban,” 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
7
bukti hak atas tanah, berkenaan dengan kedudukan sertipikat tanah, sertipikat yang mengandung cacat hukum dan cara pembatalan dan atau penyelesaiannya. 9 Pengertian pendaftaran menurut Harun Al Rashid, berasal dari kata cadastre (bahasa Belanda). Kadaster adalah suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah.10 Sedangkan pengertian Pendaftaran Tanah menurut Boedi Harsono adalah : suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka menjamin jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya.11 Pengertian pendaftaran tanah menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah : Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara
terus
menerus
berkesinambungan
dan
teratur
meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang tanah
9 Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001, halaman 163. 10 Harun Al Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (berikut peraturan-peraturan), Ghalia Indonesia, Jakarta,1986, halaman 82. 11 Boedi Harsono, Op.Cit, halaman 72.
Universitas Sumatera Utara
8
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Sertipikat hak atas tanah berisi data fisik (keterangan tentang letak, batas, luas bidang tanah serta bagian bangunan atau bangunan yang ada di atasnya bila dianggap perlu) dan data yuridis (keterangan tentang status tanah dan bangunan yang didaftar, pemegang hak atas tanah dan hak-hak pihak lain, serta beban-beban yang ada di atasnya). Dengan memiliki sertipikat, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya, subyek hak dan obyek haknya menjadi nyata. Bagi pemegang hak atas tanah, memiliki sertipikat mempunyai nilai lebih. Sebab dibandingkan dengan alat bukti tertulis, sertipikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, artinya harus dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan alat bukti yang lain.12 Stelsel publikasi yang digunakan dalam UUPA adalah stelsel negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 UUPA.13 Sistem publikasi negatif bertendensi positif artinya walaupun Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan dalam bukti hak, namun bukti hak tersebut dikategorikan sebagai bukti hak yang kuat (selama tidak ada putusan hakim yang menyatakan sebaliknya maka data yang disajikan dalam bukti hak tersebut merupakan data yang benar, sah dan diakui serta dijamin
12 13
Maria S.W. Soemarjono, Ibid, halaman 182. Boedi Harsono, Op.Cit, halaman 477.
Universitas Sumatera Utara
9
menurut hukum). Ketentuan tersebut ditambah lagi dengan adanya proses pemeriksaan tanah dalam rangka penetapan hak, yakni pengumpulan dan penelitian data yuridisnya sehingga dengan pemeriksaan tanah tersebut hasilnya diharapkan dapat mendekati kebenaran materil dari alas hak yang menjadi dasar penetapan haknya.14 Jaminan kepastian hukum pendaftaran tanah atau kebenaran data fisik dan data yuridis bidang tanah dalam sertipikat, sangat tergantung pada alat bukti kepemilikan tanah yang digunakan dasar bagi pendaftaran tanah. Didalam Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1960 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 telah diatur penentuan alat-alat bukti untuk menentukan adanya hakhak atas tanah secara jelas dan mudah dilaksanakan serta memberikan kepastian hukum bagi pemilik hak yang bermaksud mendaftarkan haknya. Alat bukti pendaftaran tanah dimaksud adalah alat bukti hak baru dan alat bukti hak lama. Terungkapnya kasus-kasus berkenaan dengan gugatan terhadap pemegang sertipikat oleh pemegang hak atas tanah semula, telah memunculkan rasa tidak aman bagi para pemegang sertipikat. Perorangan atau badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan terhadap hak atas tanah yang terdaftar dan diterbitkan sertipikatnya, berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan. Hak atas tanah dan/atau sertipikat dapat dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang berbunyi amar putusannya menyatakan batal atau tidak
14
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2010, halaman 148.
Universitas Sumatera Utara
10
mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya sama dengan itu. Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut hanya dapat dijadikan dasar pembatalan sertipikat hak atas tanah. Kewenangan membatalkan sertipikat hak atas tanah mutlak merupakan kewenangan administrasi Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Keputusan penerbitan sertipikat hak atas tanah berhak dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), dimana BPN merupakan jabatan tata usaha Negara, sehingga jika ada sengketa terhadap sertipikat hak atas tanah yang berhak memeriksa dan mengadili adalah Peradilan Tata Usaha Negara (kompetensi/kewenangan absolut).15 Sengketa tentang sertipikat hak atas tanah
sering terjadi disidangkan di
Pengadilan Negeri. Ada Jurisprudensi tetap HR sejak sebelum tahun Perang Dunia II diikuti dan dianut oleh badan-badan peradilan di Indonesia. Pasal 2 RO Ind (bunyinya sama dengan Pasal 2 RO Ned) masih berlaku sampai sekarang walaupun telah ada Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 dan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jurisprudensi pada awalnya diikuti oleh Hakim Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara Tata Usaha Negara terutama keputusankeputusan pemerintah atau penguasa yang sering merugikan hak-hak atau
15
Suriyati Tanjung, Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah dan Perlindungan Pihak Ketiga yang Beri’tikad Baik (Studi pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan), Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006, halaman 74.
Universitas Sumatera Utara
11
kepentingan masyarakat atau sering juga disebut dengan perbuatan melawan hukum penguasa (onrechtmatige overheids daadzaken/OOD).16 Jurisprudensi tetap tersebut lama kelamaan menjadi pendapat umum sehingga sampai sekarang sudah tidak asing lagi jika Pengadilan Negeri memeriksa dan memutus perkara yang seharusnya menjadi kewenangan PTUN. Demikian juga sengketa tentang sertipikat hak atas tanah yang banyak disidangkan di Pengadilan Negeri. Perlu diketahui bahwa sebenarnya yang menjadi objek perkara (objektum litis) dalam sengketa tersebut adalah bukan Keputusan Tata Usaha Negara atau bukan sertipikat hak atas tanah tersebut melainkan hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat yang dilanggar sebagai akibat keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara atau keluarnya sertipikat tersebut.17 Dalam hal sengketa hak milik dalam perkara waris Islam, seringkali pihakpihak yang berperkara mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim di lingkungan Peradilan Agama untuk memutus perkara yang salah satu objek gugatannya mengenai status kepemilikan terhadap tanah waris. Hal ini tentunya menjadi kewenangan mengadili Peradilan Agama untuk memeriksa dan mengadili perkara sengketa hak milik dalam perkara warisan yang sebelumnya menjadi kewenangan mengadili Peradilan Umum sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
16 17
Ibid, halaman 75. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
12
Permasalahan semakin kompleks ketika Peradilan Agama memutuskan sertipikat Hak Milik atas tanah waris tersebut dinyatakan tidak berkekuatan hukum. Hapusnya hak atas tanah berdasarkan putusan Pengadilan ditentukan dalam Pasal 52 jo. Pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun diatur di dalam Pasal 52, menyatakan bahwa: (1) Pendaftaran hapusnya suatu hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkan sertipikat hak yang bersangkutan, berdasarkan: a. Data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika mengenai hak-hak yang dibatasi masa berlakunya. b. Salinan surat keputusan pejabat yang berwenang bahwa hak yang bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut. c. Akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh pemegang haknya. (2) Dalam hal sertipikat hak atas tanah yang dihapus tidak diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan. Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan Pengadilan diatur didalam Pasal 55 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yang menyatakan bahwa: (1) Panitera Pengadilan wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai isi semua putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan penetapan Ketua Pengadilan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada data mengenai bidang tanah yang sudah didaftar atau satuan rumah susun untuk dicatat pada buku tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin pada sertipikatnya dan daftar-daftar lainnya. (2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan juga atas permintaan pihak yang berkepentingan, berdasarkan salinan resmi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau salinan penetapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan yang diserahkan olehnya kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Universitas Sumatera Utara
13
(3) Pencatatan hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan dan hak milik atas satuan rumah susun berdasarkan putusan Pengadilan dilakukan setelah diperoleh surat keputusan mengenai hapusnya hak yang bersangkutan dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1). Kedua ketentuan di atas, pada pokoknya mengatakan bahwa atas permintaan yang berkepentingan maka Kepala Kantor Pertanahan segera melaksanakan pendaftaran hapusnya hak atas tanah dengan membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Hal tersebut dilakukan setelah diperoleh Surat Keputusan dari Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kewenangan membatalkan sertipikat hak atas tanah merupakan kewenangan administrasi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, sesuai dipertegas Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 3 Nopember 1971 Nomor 383/K/Sip/1971 menyatakan bahwa: “Pengadilan tidak berwenang membatalkan sertipikat hak atas tanah, karena hal tersebut termasuk kewenangan administrasi, dalam hal ini adalah Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.” Berangkat dari uraian di atas, ada kasus yang terjadi di kabupaten Serdang Bedagai mengenai sengketa Milik sebidang tanah dalam perkara gugatan waris mal waris di Pengadilan Agama Tebing Tinggi, dimana putusan Pengadilan Agama No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. 145/Pdt.G/2008/PTA.MDN, dijadikan dasar permohonan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah No. 249/Pematang Ganjang yang semula atas nama RAHIM (almarhum), kemudian pemegang sertipikat beralih kepada
Universitas Sumatera Utara
14
KADIR berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 368/19/S.R.H/1997 tanggal 7 Juli 1997 yang dibuat dihadapan H. BADAR selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah di kabupaten Deli Serdang. Dalam sengketa tersebut, yang menjadi obyek perkara adalah sengketa kepemilikan antara ABDI, RAMLAH dan ZAIDAR yang merupakan ahli waris RAHIM (almarhum) dengan KADIR Bin H. TARMAN (keponakan almarhum RAHIM) atas
sebidang tanah yang dilekati oleh Sertipikat Hak Milik Nomor
249/Pematang Ganjang atas nama KADIR seluas 8.501 m2 yang terletak di desa Pematang Ganjang, kecamatan Sei Rampah, kabupaten Serdang Bedagai, yang merupakan harta peninggalan almarhum RAHIM dan almarhumah SARAH yang meninggal pada tahun 2005 dan 2002. Bidang tanah tersebut
pada awalnya
diterbitkan sertipikat Hak Milik atas nama almarhum RAHIM kemudian diserahkan dan dikuasai oleh KADIR dengan Akta Jual Beli. Menurut para ahli waris almarhum RAHIM, KADIR tidak berhak atas tanah tersebut karena tanah tersebut merupakan harta warisan dari kedua orang tua mereka. Sedang KADIR bukan ahli waris almarhum RAHIM dan almarhumah SARAH. Hal ini diperkuat dengan Akta Pengakuan No. 42 tanggal 20 Oktober 2006 yang dibuat dihadapan RALIA, SH, Notaris di kabupaten Serdang Bedagai, KADIR dan istrinya, yaitu Ramlah Saragih, mengakui Sertipikat Hak Milik Nomor 249/Pematang Ganjang adalah milik ABDI, RAMLAH dan ZAIDAR (ahli waris almarhum RAHIM dan almarhumah SARAH) dan menyatakan meminjam sertipikat tersebut selama satu tahun sejak akta pengakuan tersebut dibuat.
Universitas Sumatera Utara
15
Oleh karena sertipikat dimaksud tidak diserahkan kepada ahli
waris
sebagaimana kesepakatan awal, ahli waris almarhum RAHIM dan almarhumah SARAH mengajukan gugatan secara perdata kepada KADIR Bin H. TARMAN melalui Pengadilan Agama Tebing Tinggi. Kemudian Pengadilan Agama Tebing Tinggi memutus perkara tersebut dengan putusan No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD Jo. No. 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN, yang amar putusannya mengabulkan gugatan ahli waris almarhum, yaitu ABDI, RAMLAH dan ZAIDAR. Salah satu amar putusannya adalah menyatakan bahwa sertipikat tanah Hak Milik atas nama KADIR No. 249/Pematang Ganjang yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten Serdang Bedagai tanggal 10-03-2006 tidak berkekuatan hukum. Oleh karena petitum
putusan tingkat banding tersebut telah disampaikan
kepada para pihak dan kesempatan para pihak untuk kasasi telah habis, maka berdasarkan Surat Keterangan Nomor W2-A6/221/HK.05/III/2009 tanggal 10 Maret 2009 yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Tebing Tinggi dijelaskan bahwa putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD tanggal 25 September 2008 jo. putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara Nomor 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN tanggal 19 Januari 2009 tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewisjde). Ahli waris almarhum kemudian menindaklanjuti putusan Pengadilan Agama tersebut di atas dengan mengajukan surat permohonan pembatalan sertipikat Hak Milik Nomor 249/Pematang Ganjang atas nama KADIR yang ditujukan kepada
Universitas Sumatera Utara
16
Kepala Kantor Pertanahan kabupaten Serdang Bedagai sebagaimana surat tertanggal 6 September 2010. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji masalah tersebut dan mengambil judul tesis : “Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum. (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PATTD
jo.
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Agama
Sumatera
Utara
No.
145/Pdt.G/2008/PTA-MDN).” B. Perumusan Masalah. Permasalahan yang timbul dan dapat dirumuskan dalam tesis ini adalah: 1. Apakah Pengadilan Agama memiliki kewenangan untuk memutuskan Sertipikat Hak Milik atas tanah tidak berkekuatan hukum? 2. Bagaimana status hukum putusan Pengadilan Agama yang memutus perkara yang bukan kewenangannya? 3. Apakah putusan Pengadilan Agama dapat menjadi dasar permohonan pembatalan sertipikat Hak Milik di Badan Pertanahan Nasional (BPN)? C. Tujuan Penelitian. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui
kewenangan mengadili Pengadilan Agama yang
menyatakan Sertipikat Hak Milik atas tanah tidak berkekuatan hukum.
Universitas Sumatera Utara
17
2. Untuk mengetahui status hukum putusan Pengadilan Agama yang memutus perkara yang bukan kewenangannya. 3. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Agama yang menjadi dasar permohonan pembatalan sertipikat Hak Milik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Serdang Bedagai. D. Manfaat Penelitian. 1. Manfaat Teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah dan sebagai masukan bagi pengetahuan dan perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum agraria dan pendaftaran tanah, yang berkaitan dengan pembatalan sertipikat hak milik atas tanah dan hukum waris Islam, yang berkaitan dengan kewenangan mengadili Peradilan Agama. 2. Manfaat Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi praktisi Badan Pertanahan Nasional dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya dalam menyelesaikan permasalahan tentang pembatalan sertipikat hak milik atas tanah dan bagi kalangan Hakim di lingkungan Peradilan Agama dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya memutuskan perkara, khususnya mengenai sengketa hak milik dalam waris Islam.
Universitas Sumatera Utara
18
E. Keaslian Penulisan. Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan Penulis, khususnya di lingkungan kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Analisis Hukum Putusan Pengadilan Agama Yang Memutuskan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah Tidak Berkekuatan Hukum. (Studi Kasus : Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara No. 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN),” belum ada yang membahasnya. Sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis. Adapun beberapa penelitian yang mengkaji tentang pembatalan sertipikat hak atas tanah sudah pernah ada, diantaranya adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Suriyati Tanjung (NIM. 027011060), mahasiswa program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah Dan Perlindungan Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik (Studi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara).” Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan tesis ini adalah: a. Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan sertipikat hak atas tanah sebagai alat bukti yang kuat dapat dibatalkan? b. Bagaimanakah mekanisme pembatalan sertipikat hak atas tanah? c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik, dalam hal sertipikat hak atas tanah dibatalkan oleh Pengadilan dan konsekwensi hukumnya?
Universitas Sumatera Utara
19
2. Penelitian yang dilakukan oleh saudara Nursuhadi (NIM. 002111035), mahasiswa program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Penyimpangan Pelaksana Peralihan Hak Atas Tanah (Studi Mengenai Penyimpangan Jual Beli Tanah Bersertipikat Hak Milik di Kecamatan Kota Kisaran Barat, Kabupaten Asahan).” Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan penelitian ini adalah: a. Mengapa terjadi penyimpangan pelaksanaan jual beli tanah bersertipikat Hak Milik di Kecamatan Kota Kisaran Barat. b. Apa yang menyebabkan terjadinya penyimpangan pelaksanaan jual beli tanah bersertipikat Hak Milik. c. Solusi apa yang dilakukan terhadap penyimpangan pelaksanaan jual beli tanah bersertipikat Hak Milik di Kecamatan Kota Kisaran Barat. 3. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Nurcahaya Batubara (NIM. 002111034), mahasiswa program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Pelaksanaan Stelsel Negatif Yang Bertendensi Positif Terhadap Pemberian Sertipikat Hak Milik Atas Tanah (Studi Kota Medan).” Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan tesis ini adalah: a. Apakah Stelsel Negatif yang Bertendensi Positif dalam pemberian Sertipikat Hak Milik di Kota Medan telah dilaksanakan? b. Apakah akibat hukum dari pelaksanaan Stelsel Negatif yang Bertendensi Positif tersebut?
Universitas Sumatera Utara
20
c. Bagaimana perlindungan hukum bagi pemegang Sertipikat Hak Milik dari Stelsel Negatif yang Bertendensi Positif tersebut di Kota Medan? 4. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Reno Yanti (NIM. 067011011), mahasiswa program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Peralihan Sertipikat Hak Milik Melalui Hibah Kepada Anak Kandung Yang Belum Dewasa. F. Kerangka Teori dan Konsepsi. 1. Kerangka Teori. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.19 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan perkiraan serta menjelaskan gejala yang diamati. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang diarahkan secara khas pada ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami jalannya penyelesaian sengketa waris yang diatur dalam undang-undang. Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, menyatakan bahwa sebagai suatu sistem hukum dari sistem
18 19
M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, halaman 203. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, halaman 80.
Universitas Sumatera Utara
21
kemasyarakatan, maka hukum mencakup tiga komponen, yaitu legal substance (substansi hukum), legal structure (struktur hukum) dan legal culture (budaya hukum). Sistem hukum mempunyai dua pengertian yang penting untuk dikenali, sekalipun dalam pembicaraan-pembicaraan keduanya sering dipakai secara tercampur begitu saja. Pertama adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Kedua, sistem sebagian suatu rencana, metoda, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu. Pemahaman yang umum mengenai sistem menurut Shrode dan Voich yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo mengatakan, bahwa suatu sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain. Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada ciri keterhubungan dari bagian-bagiannya tetapi mengabaikan cirinya yang lain, yaitu bahwa bagian-bagian tersebut bekerja bersama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut. Apabila suatu sistem tersebut ditempatkan pada pusat pengamatan yang demikian itu maka pengertian-pengertian dasar yang terkandung didalamnya adalah sebagai berikut : (Satjipto Rahardjo, 2000 : 48-49) a. Sistem itu berorientasi kepada tujuan. b. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya (wholism).
Universitas Sumatera Utara
22
c. Suatu sistem berinteraksi dengan yang lebih besar, yaitu lingkungannya (keterbukaan sistem). d. Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (transformasi). e. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (keterhubungan). f. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (mekanisme kontrol). Legal substance (substansi hukum) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. Legal substance (substansi hukum) digunakan untuk melihat kewenangan mengadili Peradilan Agama dan penerapan hukum materiil yang berlaku didalam memeriksa dan memutus perkara objek yang diteliti. Legal structure (struktur hukum) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia yang merupakan struktur dari sistem hukum antara lain: institusi atau penegak hukum, seperti advokat, polisi, jaksa dan hakim. Legal structure digunakan untuk melihat Peradilan Agama dari aspek status dan kedudukannya sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang memeriksa dan memutus perkara objek yang diteliti. Legal culture (budaya hukum) merupakan suasana pikiran sistem dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau
Universitas Sumatera Utara
23
disalahgunakan oleh masyarakat. Legal culture (budaya hukum) digunakan untuk melihat peran dan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara objek yang diteliti. Ketiga sub sistem tersebut di atas tidak dapat dipisah-pisahkan dan tidak boleh bertentangan satu sama lainnya. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang saling berkait dan saling menopang sehingga pada akhirnya mengarah kepada tujuan (hukum) yaitu kedamaian. Bilamana ketiga komponen hukum tersebut bersinergi secara positif, maka akan mewujudkan tatanan sistem hukum yang ideal seperti yang diinginkan. Dalam hal ini, hukum tersebut efektif mewujudkan tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum). Sebaliknya, bila ketiga komponen hukum bersinergi negatif maka akan melahirkan tatanan sistem hukum yang semrawut dan tidak efektif mewujudkan tujuan hukum. Hukum,
kaidah/norma,
perundang-undangan
(substansi
hukum)
yang
merupakan komponen dari sistem hukum memiliki fungsi sebagai alat untuk melindungi kepentingan manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum itu sendiri dapat berlangsung secara damai dan normal, tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan.
Universitas Sumatera Utara
24
2. Konsepsi. Konsepsi merupakan bagian terpenting dalam teori. Dapat diterjemahkan sebagai usaha membawa dari abstrak menuju konkrit. Konsepsi berperan untuk menghubungkan teori dengan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Dengan kata lain, mengandung arti definisi singkat dari kelompok fakta atau gejala yang perlu diamati dan menentukan antara variabel-variabel adanya hubungan empiris.20 Pada hakekatnya merupakan pengarah atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang kadangkala masih bersifat abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. Adapun beberapa konsepsi yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak) adalah bahwa putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akan tetapi sudah tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum bisaa (banding dan kasasi) dan upaya hukum luar bisaa (peninjauan kembali).21 2. Peradilan Agama menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. 3. Pengadilan menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
20
Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, halaman 21. 21 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, halaman 438.
Universitas Sumatera Utara
25
Agama adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama. 4. Pengertian sertipikat menurut UUPA Pasal 19 ayat (2) adalah surat tanda bukti hak atas tanah yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Sertipikat sebagai surat bukti tanda hak, diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan, sesuai dengan data fisik yang ada dalam surat ukur dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah.22 Sertipikat, menurut Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, terdiri atas salinan buku tanah yang memuat data yuridis dan surat ukur yang memuat fisik hak yang bersangkutan, yang dijilid menjadi satu dalam suatu sampul dokumen. Pengertian sertipikat menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, adalah satu lembar dokumen sebagai surat tanda bukti hak yang memuat data fisik dan data yuridis obyek yang didaftar untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing dibukukan dalam buku tanah. 5. Pengertian Hak Milik menurut Pasal 570 BW adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan Undang-Undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak 22
Boedi Harsono, Op.Cit., halaman 500.
Universitas Sumatera Utara
26
itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan Undang-Undang dan dengan pembayaran ganti rugi. 6. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.23 7. Pengertian pembatalan hak atas tanah tercantum didalam Pasal 1 angka 14 PMNA/KBPN Nomor 9 tahun 1999, yaitu : “Pembatalan keputusan mengenai pemberian suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.” Surat Keputusan pembatalan hak atas tanah menurut Pasal 104 ayat (2) PMNA/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999, diterbitkan apabila terdapat : a. Cacat hukum administratif. b. Melaksanakan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 7. Kewenangan mengadili adalah kekuasaan Pengadilan untuk mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materiil). Lebih jelas, dapat ditegaskan bahwa kewenangan mengadili itu merupakan batasan tentang perkara-perkara apa saja yang wewenang penyelesaiannya diserahkan kepada suatu pengadilan.24
23 24
Ibid, halaman 18. M. Hasballah Thaib, Hukum Islam di Indonesia, Tanpa Penerbit, Medan, 2005, halaman 6.
Universitas Sumatera Utara
27
G. Metodologi Penelitian. 1. Sifat Penelitian. Spesifikasi penelitian dalam penulisan bersifat deskriptif analitis, yaitu data hasil penelitian, baik yang berupa data hasil studi dokumen yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum in concreto yang menyangkut permasalahan maupun penelitian lapangan yang berupa hasil pengamatan dianalisa secara kualitatif. 2. Jenis Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan. Menggunakan pendekatan yuridis normatif oleh karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm). Pengertian kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value), peraturan hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-asas hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.25 Penelitian ini sering disebut juga penelitian dokumenter untuk memperoleh data sekunder dibidang hukum. Penelitian lebih meliputi penelitian asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang berlaku, literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan. Titik berat penelitian tertuju pada penelitian dokumenter, yang berarti lebih banyak menelaah dan mengkaji data sekunder yang diperoleh dari penelitian. 25
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, halaman 70.
Universitas Sumatera Utara
28
Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah: 1. Putusan Pengadilan Agama Tebing Tinggi No. 52/Pdt.G/2008/PA-TTD tanggal 25 September 2008 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Sumut No. 145/Pdt.G/2008/PTA-MDN tanggal 19 Januari 2009. 2. Surat
Keterangan
Pengadilan
Agama
Tebing
Tinggi
Nomor
W2-
A6/221/HK.05/III/2009 yang menerangkan bahwa putusan di atas telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 3. Sertipikat Hak Milik Nomor 249/Pematang Ganjang atas nama KADIR yang merupakan sertipikat pengganti dari sertipikat Hak Milik Nomor 12/Pematang Ganjang yang semula atas nama RAHIM (almarhum). 3. Metode Pengumpulan Data. Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi kepustakaan. Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dari arsip-arsip, bahan pustaka, data resmi pada instansi pemerintah, Undang-Undang, makalah yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, yang terdiri dari : a). Bahan hukum primer,26 yaitu bahan hukum yang mengikat, yaitu : UndangUndang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
26
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, halaman 55.
Universitas Sumatera Utara
29
Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap, surat-surat dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan hak atas tanah. b). Bahan hukum sekunder,27 yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, yaitu : literatur tentang kewenangan mengadili Pengadilan Agama, literatur tentang Hukum Agraria, pendaftaran tanah, hak atas tanah dan pembatalan hak atas tanah, hasil penelitian di bidang Hukum Agraria, pendaftaran tanah, hak-hak atas tanah dan pembatalan hak atas tanah. c). Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.28
27 28
Ibid. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit., halaman 14.
Universitas Sumatera Utara
30
Selain data sekunder, penulis juga menggunakan data primer, yaitu data yang diambil langsung dengan wawancara yang dilakukan secara terarah (directive interview),29 yaitu pejabat pada Badan Pertanahan Nasional kabupaten Serdang Bedagai dan Pengacara, yang digunakan sebagai data pembanding. 4. Alat Pengumpulan Data. Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara : a. Studi dokumen. Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian.30 b. Wawancara. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dimana penulis melakukan percakapan atau tatap muka yang terarah kepada pihak yang berkepentingan guna memperoleh keterangan atau data-data yang diperlukan. 5. Analisis Data. Penelitian ini bersifat deskriptif. Data hasil penelitian yang berupa data hasil studi dokumen (data sekunder), data hasil pengamatan dan wawancara dianalisis
29
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., halaman 60. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986, halaman 21. 30
Universitas Sumatera Utara
31
dengan metode analisis kualitatif,31 dengan maksud untuk memaparkan apa yang dianalisis tadi secara sistematis dan menyeluruh untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deduktif.
31
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, halaman 58.
Universitas Sumatera Utara