Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama ( Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi ) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Nur Hidayat 107044100337
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432H/2011M
Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama ( Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi )
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Nur Hidayat 107044100337
Di Bawah Bimbingan
Hj. Rosdiana, MA NIP : 196906102003122001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1432H/2011M
Lembar Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atu merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 07 September 2011
Nur Hidayat
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi
berjudul
EFEKTIFITAS
MEDIASI
DI PENGADILAN
AGAMA
(
STUDI
IMPLEMENTASI PERMA NO. 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA BEKASI ) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 September 2011 M. skripsi ini telah diterima swebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Syariah (S.Sy), pada Program Studi Ahwal Syakhsiyyah (Peradilan Agama).
Prof.Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM NIP. 195 505 051 982 031 021
PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP. 195 003 061 976 031 001
(……………..)
2. Sekretaris
: Hj. Rosdiana, MA. NIP. 196 906 102 003 122 001
(……………..)
3. Pembimbing
: Hj. Rosdiana, MA. NIP. 196 906 102 003 122 001
(……………..)
4. Penguji I
: Dr. M. Nurul Irfan, M. Ag. NIP. 150 326 893
(……………..)
5. Penguji II
: Arip Purqon, S.Hi. NIP. 197 904 272 003 121 003
(……………..)
Kata Pengantar
Puji dan Syukur kupersmbahkan kepada Allah SWT, kepada berkat cinta dan kasih-Nya, semuanya seolah-olah mudah untuk kulalui. Shalawat dan salam terhatur kepada Nabi Muhammad SAW yang berkat perjuangan panjang beliau, maka manusia di bumi ini mempunyai keadilan yang bisa ditegakkan. Dan karena penulisan ini skripsi ini juga telah dibantu oleh beberapa pihak, maka pada kesempatan ini, izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Amin Suma SH., MA., MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. selaku Ketua Jurusan Ahwal AlSyakhshiyah, semoga Bapak senantiasa diberikan nikmat sehat dan akan selalu menjadi suri tauladan bagi kami. 3. Hj. Rosdiana, MA. selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah yang telah banyak memberi arahan dan motivasi kepada penulis. 4. Hj. Rosdiana, MA. selaku pembimbing skripsi. Berkat bimbingan beliau penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
i
5. Pengadilan Agama Bekasi, khususnya Bpk Hakim Mahmudin yusuf, Bpk Adam, Bpk Komarudin, Bpk Enjang yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. 6. Ketua pengadilan Agama Bekasi, yang telah memfasilitasi penulis untuk mengadakan penelitian. 7. Dosen-dosen di fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas transfer ilmu yang diberikan. Semoga ilmu yang di dapat menjadi berkah. 8. Untuk Keluarga ku, Umrotul Amalia, Irsyad Hilmy, terima kasih telah menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi, aku sayang kalian. 9. Big Family Ayah “Muhammad Ali Ghozali” dan Ibunda “Ariyah H. Mustaqim dan kakak ku Mimi Maftuha, Umi Maimunah, Bang Hafiz, Bang Budi, adik ku Silvia terima kasih atas doanya i love you all. 10. Sahabat-sahabatku : Riki, Tajul, Muslih, Zainul, Zaky, & teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2007 terima kasih atas bantuan kalian. 11. Teman-teman seperjuangan: Sofyan, Tamyiz, Hajir, Faqih, Lutfi, Ndha, Ratna, senang bisa dekat dan beridiskusi bersama kalian. 12. Kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Penulis ucapkan terima kasih banyak. 05 September 2011 Penulis ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................................... i Daftar Isi ………………………………………………………………………… iii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……..……………………………..…….. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..………………………...…. 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …….…………………………….. 8 D. Kerangka Teori ……………………..…………………………….. 9 E. Review Studi Terdahulu ………………………………………….. 11 F. Metode Penelitian ………………..…………………………….…. 12 G. Sistematika Penulisan ………………..………………………….... 15
BAB II
MEDIASI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN POSITIF A. Mediasi Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif …..…….……. 17 B. Peraturan Mediasi sebelum Perma No. 1 Tahun 2008 …….….…... 21 C. Peraturan Mediasi Menurut Perma No. 1 Tahun 2008 …..………... 26
BAB III
PROFIL KOTA BEKASI DAN PENGADILAN AGAMA BEKASI A. Profil Singkat Kota Bekasi ……….……………………………….. 33 B. Sejarah Singkat dan Kewenangan Pengadilan …..….…………….. 40 C. Gambaran Permohonan Perkara di Pengadilan Agama Bekasi ..….. 42
iii
BAB IV
EFEKTIFITAS MEDIASI DAN IMPLEMENTASI PERMA NO. 1 TAHUN 2008 A. Proses Mediasi di Pengadilan ……….……………………………. 44 B. Faktor Penghambat dan Pendukung Pelaksanaan Mediasi ….…… 45 C. Implementasi Proses Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi …....... 48 D. Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi ….……………... 52 E. Analisis Penulis …………………………………………………… 55
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………………... 60 B. Saran-saran ……………………………………………………....... 63 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 65 DAFTAR LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara ……………………………………………... 67 2. Hasil Wawancara …………………………………………………. 68 3. Surat Permohonan Dosen Pembimbing ……………..…….……… 74 4. Surat Permohonan Data/Wawancara ……………………………... 75 5. Surat Keterangan Hasil Wawancara ……………………………… 76 6. Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 77
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk yang di ciptakan oleh Allah SWT, manusia di bekali dengan keinginan untuk melakukan pernikahan, karena pernikahan itu adalah salah satu faktor untuk menjaga keberlangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang di jalankan berdasarkan tuntutan agama.1 Tidak hanya sebagai ikatan kontraktual antara satu individu dengan individu lain, pernikahan dalam Islam menjadi suatu sarana terciptanya masyarakat terkecil (keluarga) yang nyaman, tenteram dan penuh kasih sayang. Pernikahan menjadi dasar berlangsungnya kehidupan umat manusia, menyalurkan sifat alamiah manusia yang hidup berpasang-pasangan, dan menjaga kesucian mereka.2 Berangkat dari kerangka tersebut, pernikahan dimaknai sebagai akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
1
Asrorun Ni’am Sholeh, , Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008), hal. 3. Abdul Wahaf Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi Syariah al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, tth), hal. 15-16. 2
1
2
merupakan ibadah.3 Ikatan yang kuat dan tujuan mulia yang hendak dicapai oleh pernikahan menjadikan institusi ini patut dipertahankan, sebagaimana pula Allah SWT membenci perceraian, meskipun tetap menghalalkannya. Tetap terbuka pintu perceraian ini menjadi salah satu konsep syariat Islam yang tetap mengakui perceraian sebagai jalan terakhir dalam hubungan pernikahan, karena selain perceraian, al-Qur’an sebagai landasan syariat Islam juga memberikan alternatif lain, yaitu penyelesaian sengketa pernikahan secara damai dengan fasilitasi seorang hakam dari kalangan keluarga isteri dan suami, sebagaimana termaktub dalam alQur’an surat al-Nisa/4 ayat 35. Pengangkatan hakam dalam proses perdamaian ini menjadi upaya preventif terjadi perceraian dan demi terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.4 Tujuan dasar terwujudnya keluarga ini pula yang menjadi ruh peraturan perundangan di Indonesia dalam perkawinan, di antaranya adalah keharusan melakukan mediasi sebelum pasangan suami isteri memutuskan perceraian, dengan mengangkat hakam. Hakam menurut penjelasan pasal 76 ayat (2) UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ialah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencapai upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. Dalam konteks ini pula, berdasarkan Hukum Acara
Demikian Kompilasi Hukum Islam memberikan definisi pernikahan. Pasal 2 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. 3
Ahmad Mushtofa al-Mawaghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mushthofa al-Babi al-Halbi wa Awladuh, tth), Juz I, hal. 973. 4
3
yang berlaku di Pengadilan Agama, perdamaian selalu diupayakan di tiap kali persidangan, bahkan pada sidang pertama, suami isteri harus hadir secara pribadi, tidak boleh diwakilkan. Urgensi mediasi dalam sistem peradilan di Indonesia dapat pula dibuktikan dengan proses perubahan dan pembaruan hukum mediasi. Untuk pertama kalinya, mediasi secara formal diatur dalam HIR pasal 130 jo RBG pasal 154, yang secara umum mewajibkan para hakim terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa. Kemudian mediasi diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) No. 1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan lembaga perdamaian dalam pasal 130 HIR/154 RBG. Lalu dikeluarkan lagi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi. Berdasarkan evaluasi dan perbaikan dari mekanisme mediasi berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2003, Perma ini kemudian direvisi kembali pada tahun 2008,5 untuk memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak dalam
D.S.Dewi, “Implementasi PERMA No.01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan”,disampaikan dalam Pelatihan Mediator.Diakses dari http:/ /www.mahkamahagung.go.id/images/uploaded/IMPLEMENTASI_MEDIASI. ppt diakses Rabu 15 Agustus 2010. 5
4
rangka menemukan penyelesaian perkara secara damai yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.6 Dikeluarkannya Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini telah terjadi perubahan fundamental dalam praktik peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan
menyelesaikan
perkara
yang diterimanya,
tetapi
juga berkewajiban
mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini terkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, tetapi setelah munculnya Perma ini pengadilan juga menampakkan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.7 Dalam konteks sekarang ini, mediasi menjadi suatu mekanisme penyelesaian perkara yang relevan, karena dari perkara yang masuk ke Pengadilan Agama secara nasional selama tahun 2007, sejumlah 217.084, hanya 11.327 perkara yang dicabut. Hal ini berarti hanya 5,2% yang berhasil damai atau didamaikan.8 Selain itu, menurut Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Nasaruddin Umar, Indonesia berada diperingkat tertinggi memiliki angka perceraian paling
Wahyu Widiana, Upaya Penyelesaian Perkara Melalui Perdamaian pada Pengadilan Agama, Kaitannya dengan Peran BP4. Makalah disampaikan pada Rakernas BP4 tanggal 15 Agustus 2008 di Jakarta. Diakses dari www.badilag.net. diakses Kamis 15 April 2011 6
Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, hal. 1. Artikel diakses dari www.badilag.net diakses 17 Aoril 2011. 7
Ditjen Badilag MA RI, Himpunan Statistik Perkara Peradilan Agama Tahun 2007, Jakarta, 2007 8
5
banyak dalam setiap tahunnya bila dibandingkan negara Islam didunia lainnya. Menurutnya pula, setiap tahun ada 2 juta perkawinan, tetapi yang memprihatinkan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat. Setiap 100 pasangan yang menikah, 10 pasangannya bercerai dan umumnya mereka yang baru berumah tangga.9 Dengan begitu, upaya perdamaian melalui proses mediasi tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi lebih dari itu, proses mediasi sangat berhubungan dengan berbagai macam faktor, baik yang menghambat atau yang mendukungnya. Seperti dijelaskan di atas, mediasi bukan merupakan suatu hal yang baru di Indonesia, tetapi sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, yang diatur dalam HIR/RBG. Kemudian dilanjutkan kembali pada masa pasca kemerdekaan, sampai masa reformasi. Sebagaimana Pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyebutkan, “Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini”. Tidak hanya itu, secara lebih kuat Perma ini mengatur, bahwa perkara yang “Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini
Hal ini disampaikan pada dalam acara Pembukaan Pemilihan Keluarga Sakinah dan Pemilihan Kepala KUA Teladan Tingkat Nasional, di Asrama haji, Pondok Gede, Jakarta, Selasa (14 Agustus 2007); lihat, “Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi, Dibanding Negara Islam Lain”, Rabu, 15/08/2007, http://www.eramuslim.com/berita/nasional/angka-perceraian-di-indonesiatertinggi-dibanding-negara-islam-lain.html 9
6
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.10 Kedua pasal ini cukup menguatkan argument,
bahwa sistem peradilan di
Indonesia betul-betul
menekankan adanya proses mediasi yang ditempuh oleh hakim, mediator atau semua pihak dalam penyelesaian perkara. Adanya penekakan melaksanakan mediasi terlebih dahulu bagi para hakim atau mediator sebelum melanjutkan perkara perceraian patut ditinjau dan dievaluasi efektifitasnya. Efektifitas dan implementasi ini sangat berkaitan dengan berbagai faktor, baik itu yang bersumber dari struktur hukum, substansi hukum, ataupun budaya hukum, karena ketiga unsur ini akan sangat mempengaruhi berjalannya proses
mediasi
di
pengadilan.
Bahkan,
dalam
sebuah
Workshop
yang
diselenggarakan oleh Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung pada akhir tahun 2010, mengemukakan bahwa keberhasilan mediasi di lingkungan peradilan agama tidak hanya dilihat dari segi berapa banyak perkara yang dicabut (kuantitas) atau berapa banyak perkara perceraian yang berhasil didamaikan, tetapi perlu dilakukan kajian mendalam tentang kriteria keberhasilan mediasi di lingkungan peradilan agama.11
Pasal 2 ayat (2) dan (3) Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 10
“Dirjen pada Workshop Ahli Penyusunan Modul Mediasi: Perlu Dikaji, Kriteria Keberhasilan Mediasi di Lingkungan Peradilan Agama”, Jakarta, Badilag.net, 30 November 2010|, diakses dari http://pa-makassar.net/ index.php?option=com_content&view =article&id = 48: badilag&catid =3:newsflash 11
7
Berdasarkan
paparan
singkat
di
atas
dan
seiring
dengan
telah
terimplementasinya Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi selama dua tahun, perlu kiranya untuk melihat praktik mediasi secara utuh di pengadilan agama, sekaligus pula melihat faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas mediasi selama dua tahun terakhir, sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merangkum permasalahan penelitian dalam judul penelitian “Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama: Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi ”. 2. Perumusan Masalah Adanya Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, setiap petugas pengadilan, baik hakim atau mediator, lebih diberikan tanggung jawab untuk menyelesaikan perkara (perceraian) dengan mediasi. Untuk itu, penting kiranya mengetahui efektifitas proses mediasi di pengadilan agama setelah terbitnya Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, serta mengetahui lebih lanjut faktor-faktor penghambat dan pendukung proses mediasi di pengadilan agama. Apakah pelaksanaan mediasi sudah sesuai dengan aturan yang ada di dalam Perma No. 1 Tahun 2008
8
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, karna banyak Pengadilan Agama yang menerapakan proses mediasi tidak sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Saya akan merumuskan masalahmasalah penelitian ini berfokus pada beberapa pertanyaan penelitian, di antaranya adalah: 1. Bagaimana praktik atau implementasi mediasi di Pengadilan Agama setelah Perma No. 1 Tahun 2008? 2. Faktor apa yang mendukung proses mediasi? 3. Faktor apa yang menjadi penghambat mediasi dan tercapainya perdamaian? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, di antaranya adalah: a. Mengetahui praktik atau implementasi mediasi di Pengadilan Agama setelah terbitnya Perma No. 1 Tahun 2008 b. Mengatahui faktor-faktor pendukung proses mediasi di Pengadilan Agama c. Mengetahui faktor penghambat proses mediasi di Pengadilan Agama
9
2. Manfaat Penelitian Adapum manfaat dari pembahasan proposal ini adalah sebagai berikut : a. Agar penelitian ini menjadi bermanfaat bagi peningkatan keasadaran hukum kepada masyarakat khususnya dalam proses mediasi di pengadilan Agama. b. Bagi masyarakat pembaca umumnya dan mahasiswa khususnya, tulisan ini diharapkan supaya menjadi salah satu sumber bacaan yang dapat dipertimbangkan dalam memecahkan sebuah masalah di lembaga peradilan. c. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum yang menyangkut hal perceraian khususnya di dalam proses mediasi. D. Kerangka Teori Setelah Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia hal itu menjadikan pergeseran fungsi dan tugas sistem peradilan, yang awalnya hanya memeriksa, mengadili dan menyelesaikan, tetapi juga memediasi dan menyelesaikan perkara secara damai. Perma ini memberikan penekanan lebih proses mediasi dan mewajibkan para hakim atau mediator untuk melakukan mediasi sebelum memeriksa perkara. Perkara yang tidak melalui proses mediasi terlebih dahulu dianggap batal demi hukum. Perma yang telah berjalan selama dua tahun ini
10
tentunya perlu dibuktikan efektifitas dan implementasinya, termasuk pula meninjau faktor penghambat dan pendukung keberhasilan mediasi tersebut. Untuk itu, penelitian ini akan berfokus pada tiga aspek penting, yaitu: 1. Implementasi mediasi di Pengadilan Agama Bekasi 2. Faktor yang menghambat mediasi di pengadilan Agama 3. Faktor pendukung proses mediasi di Pengadilan Agama Penelitian ini menjadi penting tatkala proses mediasi yang ada di pengadilan Agama selama ini terkesan menjadi formalitas. Setiap kali mengawali persidangan, para hakim selalu menanyakan kepada pihak yang berperkara (terutama perkara perceraian) apakah hendak diselesaikan melalui jalur mediasi atau tidak. Meskipun dilakukan demikian, dalam praktiknya, tidak banyak perkara yang kemudian berhasil diselesaikan melalui mediasi, sehingga mediasi sendiri tidak menjadi pilihan utama dalam penyelesaian perkara. Setelah terbitnya Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi seakan mendapatkan kekuatan hukumnya, sehingga setiap petugas pengadilan, baik hakim atau mediator, lebih diberikan tanggung jawab untuk menyelesaian perkara (perceraian) dengan mediasi. Untuk itu, penting kiranya mengetahui efektifitas proses mediasi di pengadilan agama setelah terbitnya Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, serta mengetahui lebih lanjut faktor-faktor penghambat dan
11
pendukung proses mediasi tersebut, untuk kemudian dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan di masa yang akan datang. E. Review Studi Terdahulu Tema mengenai pembahasan mediasi telah banyak di kaji dalam bentuk artikel dan karya ilmiah. Namun demikian sejauh penelusuran penulis pembahasan mengenai penelitian Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama: Studi Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi, nyaris belum ada yang membahas. Namun ada beberapa penelitian yang dapat penulis temukan terkait dengan Mediasi di pengadilan agama Adapun beberapa penelitian itu diantaranya : Syahdan (105044101432) Pengaruh Mediasi Terhadap Angka Perceraian. (Studi Analisa pasca Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 1431 H / 2010 M. Ahwal Al- Syakhsiyyah. Skripsi ini menjelaskan tentang Pasca Adanya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Proses Mediasi terhadap angka perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan jadi didalam skripsi ini memfokuskan angka perceraian yang ada di pengadilan agama Jakarta Selatan setelah adanya Perma No 1 Tahun 2008 Tentang Proses Mediasi. yang membedakan didalam skripsi penulis yakni penulis ingin mengetahui seberapa Efektif Perma No. 1 Tahun 2008 yang ada di Pengadilan Agama Bekasi.
12
Nusra Arini (105043201339) Aplikasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Dalam Putusan Perkara Perdata di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 1430 H/ 2009 M. Perbandingan Hukum. Program Perbandingan Mazhab dan Hukum. Skripsi ini menjelaskan tentang Aplikasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang prosedur mediasi dalam putusan perkara perdata di pengadilan agama Jakarta Selatan. Didalam skripsi ini hampir ada kesamaan dengan skripsi penulis akan tetapi ada yang membedakan yakni penulis ingin mengetahui Implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi. M. Ali Suproni (101044122104) Pelaksanaan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 1430 H/ 2009. Ahwal AlSyakhsiyyah Peradilan Agama. Skripsi ini memfokuskan kepada Pelaksanaan Mediasi dalam perkara perceraian di pengadilan agama Jakarta Selatan. Mengetahui kesesuaian pelaksanaan mediasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dan pada skripsi yang penulis ingin teliti yakni lebih memfokuskan kepada Efektivitas Mediasi dan tingkat kepuasan pemohon/ orang yang berperkara dengan proses mediasi yang dilakukan oleh Pengadilan Agama. F. Metode Penelitan Untuk mendapatkan data yang valid, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
13
1. Pendekatan Masalah Pendekatan Masalah dalam penelitian ini adalah dengan cara menggunakan pendekatan Kualitatif, yaitu dengan memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala dalam kehidupan manusia.12 Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu penelitian bersifat pendekatan survey dengan melakukan Observasi langsung dan melakukan wawancara kepada para Hakim yang ditunjuk sebagai Hakim Mediator dan para pihak yang berperkara. Penelitian ini terdiri dari studi pustaka dan studi lapangan (Library Research and Field research), untuk memperoleh informasi pada responden yang terkait dengan judul skripsi ini sehingga diperoleh data yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan. 2. Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh penelitian sendiri selama penelitian berjalan.13 Data ini dikumpulkan melalui wawancara
12
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 20
13
Modul Perancangan Undang-Undang, (Jakarta: Sekretaris Jenderal DPR RI, 2008), hal. 7
14
Hakim Mediator, observasi dan kuesioner yang di dapatkan di Pengadilan Agama Kota Bekasi. b. Data Sekunder Data Sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer.14 Data sekunder ini diperoleh dari buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara perceraian yang berhasil dimediasikan dan dikumpulkan permasalah dan diklasifikasi berdasar klasifikasi. 3.
Tehnik Pengumpulan Data Karena pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitataif, maka Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan melalui metode wawancara. Wawancara dilakukan pada pihak yang menangani Proses Mediasi yakni Hakim Mediator. Dan melakukan observasi langsung ke Pengadilan Agama Kota Bekasi. Selain itu pada penelitian ini juga menggunakan teknik dokumenter untuk mendapatkan data yang lebih lengkap. Teknik ini sangat penting dilakukan, karena beberapa bahan materi terdapat di dalam buku, jurnal, arsip, dan dokumen.
14
35
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) hal.
15
4.
Analisa Data Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan hasil wawancara yang diperoleh. Sehingga didapat suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.
5.
Teknik Penulisan Data penulisan Proposal skripsi ini, penulis mengacu kepada buku pedoman Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
G. Sistematika Penulisan Di dalam melakukan penyusunan proposal ini penulis memeberikan gambaran guna untuk mempermudah pembaca dalam memeahami proposal ini, dalam hal penulis menyusunnya dalam lima bab. Isi dari proposal ini secara singkat adalah sebagai berikut: BAB Pertama berisi Latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, review studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan. BAB Kedua berisi hal-hal yang berhubungan dengan mediasi Definisi Mediasi menurut hukum islam, Peraturan Mediasi di Indonesia sebelum adanya Perma No. 1 Tahun 2008 dan Peraturan Mediasi menurut Perma No. 1 Tahun 2008
16
BAB Ketiga Menjelaskan tentang profil kota Bekasi yang diantaranya memaparkan terlebih dahulu tentang letak geografis dan demografis kota Bekasi dan sejarah kewenangan pengadilan agama kota Bekasi dan gambaran permohonan perkara di Pengadilan Agama Bekasi. BAB Keempat menjelaskan tentang bagaimana Efektifitas mediasi dan implementasi Perma No. 1 tahun 2008 tentang proses mediasi di pengadilan agama Bekasi dan faktor penghambat, pendukung pelaksanaan mediasi, melalui proses mediasi di pengadilan agama Bekasi. BAB Kelima terdapat suatu kesimpulan dan saran-saran yang berhubungan dengan pelaksanaan mediasi, penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lain-lain.
BAB II MEDIASI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN POSITIF A. Mediasi menurut Hukum Islam dan Hukum Positif 1. Mediasi menurut hukum Islam Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan istilah Shulhu/Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan menurut syara’ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.1 Shulhu/Islah merupakan sebab untuk mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka Shulhu/Islah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan dan yang menimbulkan sebab-sebab serta menguatkannya adalah persatuan dan persetujuan, hal itu merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara.2 Beberapa ahli fiqih memberikan definisi yang hampir sama meskipun dalam redaksi yang berbeda, arti yang mudah difahami adalah memutus suatu persengketaan.
1
As Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah Juz III (Beirut:Dar Al Fikr, 1977), hal. 305
Alauddin at Tharablisi, Muin Al Hukkam: Fi ma yataraddadu baina al khasamaini min al Ahkami, (Beirut : Dar al Fikr, tth.), hal 123 2
17
18
Dalam penerapan yang dapat difahami adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling bersengketa yang berakhir dengan perdamaian. Ash-Shulhu berasal dari bahasa Arab yang berarti perdamaian, penghentian perselisihan, penghentian peperangan. Dalam khazanah keilmuan, ash-shulhu dikategorikan sebagai salah satu akad berupa perjanjian diantara dua orang yang berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan perselisihan diantara keduanya. Dalam terminologi ilmu fiqih ash-shulhu memiliki pengertian perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana mencapai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih. Di dalam Ash-shulhu ini ada beberapa istilah yaitu: Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syariat Islam di istilahkan musalih, sedangkan persoalan yang diperselisihkan di sebut musalih’anhu, dan perbuatan yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain untuk mengakhiri pertingkaian atau pertengkaran dinamakan dengan musalih’alaihi atau di sebut juga badalush shulhu. Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri. Adapun dasar hukum diadakan perdamaian dapat dilihat dalam alqur’an, sunah rasul dan ijma. Al-qur’an menegaskan dalam surat an-nisa ayat 35 yang berbunyi :
19
Artinya :
Mediasi menurut Hukum Positif Sedangkan pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851 KUHP Perdata adalah suatu perjanjian dengan kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.3 Dan di dalam hukum positif ketentuannya juga diatur dalam HIR Pasal 130, Pasal 154 RBg yang berbunyi: ”jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka, jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, dibuat sebuah surat (akte) tentang perdamaian, dimana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang dibuat itu, surat (akte) berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.” Selain itu ketentuan perdamaian juga diatur dalam Undang-
Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta : Pradnya Paramita, 1989). hal 23 3
20
undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 (2) yaitu: ” Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”, dan dalam Kompilasi Hukum Islam khususnya terkait dengan hukum keluarga Pasal 115: ”perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, pasal 143 ayat (1): ”Dalam pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak”. (2): ”Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan”, dan pasal 144:”Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian”. Dan UU No.7 tahun 1989 Pasal 65 dan 82, PP No. 9 tahun 1975 Pasal 31. B. Peraturan Mediasi sebelum Perma No. 1 Tahun 2008 Dalam pengertian umum, makna mengenai mediasi secara etimologi dan terminologi yang diberikan oleh para ahli akan dipaparkan sebagai berikut. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin yaitu mediare, yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukan kepada peran yang bertindak sebagai mediator. Mediator dalam menjalankan tugasnya berada di tengah-tengah para pihak yang bersengketa atau dalam artian menengahi kedua belah pihak. “Berada di tengah” juga mempunyai makna harus berada pada posisi netral dan
21
tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa dan harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa.4 Oleh karena itu, para mediator haruslah orang yang dapat dipercaya untuk mendamaikan atau menengahi kedua belah pihak yang bersengkata tanpa memihak salah satunya. Dalam Collin English Dictionary and Thesaurus yang dikutip dalam buku “Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum adat dan Hukum Nasional” karangan Syahrizal Abbas disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjebatani kedua belah pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasehat.5 Pada tanggal 24 sampai 27 September 2001, Rakernas Mahkamah Agung RI yang diadakan di Yogyakarta telah menghasilkan beberapa rekomendasi, salah satu keputusan rakernas tersebut merekomendasikan pemberdayaan pengadilan
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, ( Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), hal. 2 4
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hal. 569 5
22
tingkat pertama dalam menerapkan upaya perdamaian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg.6 Sejalan dengan hasil rakernas tersebut dan untuk membatasi perkara kasasi ke Mahkamah Agung secara substantif dan prosesual, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SE) No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapakan Lembaga Damai dalam bentuk Mediasi, dan diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2002. Namun, belakangan Mahkamah Agung menyadari Sema itu sama sekali tidak berdaya dan tidak efektif sebagai landasan hukum untuk mendamaikan para pihak. Sema itu tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Hanya memberi peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada satu segi, serta tidak memiliki kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian lebih dahulu melalui proses perdamaian. Itu sebabnya, sejak berlakunya Sema tersebut pada 1 Januari 2002, tidak tampak perubahan sistem dan prosesual penyelesaian perkara namun, tetap berlangsung secara konvensional melalui proses litigasi biasa.7 Umur Sema No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, hanya 1 tahun 9 bulan (30 Januari 2002 sampai dengan 11 September 2003). Pada tanggal 11 Yasardin, “Mediasi di Pengadilan Agama; Upaya Pelaksanaan SE Ketua MA No. 1Tahun 2002”, Suara Uldilag, Edisi II ( 1 juli 2003), hal. 52. 6
Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 242. 7
23
September 2003, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 2 Tahun 2003 sebagai penggantinya. Pasal 17 PERMA ini menegaskan: Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) ini, Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertam Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) dinyatakan tidak berlaku. Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi terdiri dari 6 Bab dan 18 Pasal: Sistemtika PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 1-2
BAB II
Tahap Pra Mediasi
Pasal 3-7
BAB III
Tahap Mediasi
Pasal 8-14
BAB IV
Tempat dan Biaya
Pasal 15
BAB V
Lain-lain
Pasal 16
24
BAB VI
Penutup
Pasal 17-18
Dalam konsideran dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi penerbitan Perma menggantikan Sema No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, antara lain: 1. Mengatasi Penumpukan Perkara Pada huruf a konsideran dikemukakan pemikian bahwa perlu diciptakan suatu instrument efektif yang mampu mengatasi kemungkinan perkara di pengadilan, tentunya terutama di tingkat kasasi. Menurut Perma, instrument yang dianggap efektif adalah sistem mediasi. Caranya dengan jalan pengintegrasian mediasi kedalam sistem peradilan. 2. Sema No. 1 Tahun 2002, Belum Lengkap Pada huruf e konsideran dikatakan, salah satu alasan mengapa Perma diterbitkan, karena Sema No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi belum lengkap atas alasan Sema tersebut belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem peradilan secara memaksa (compulsory) tetapi masih bersifat sukarela (Voluntary). Akibatnya, Sema itu
25
tidak mampu mendorong para pihak secara intensif memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian. 3. Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Dianggap Tidak Memadai Pada huruf f konsideran tersurat pendapat, cara penyelesaian perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg masih belum cukup mengatur tata cara proses mendamaikan yang pasti, tertib dan lancer. Oleh karena itu, sambil menunggu pembaharuan hukum acara, Mahkamah Agung menganggap perlu menetapkan Perma yang dapat dijadikan landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para berperkara.8 Mahkamah Agung menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah. Selain itu, mediasi dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Menurut hakim agung susanti Adi Nugroho, mediasi yang terintegrasi ke pengadilan diharapkan efektif mengurangi tumpukan perkara, termasuk di Mahkamah Agung.9 Sejak Tahun 2006 Mahkamah Agung sudah membentuk tim yang bekerja mengevaluasi
kelemahan-kelemahan
pada Perma No.
2
Tahun
2003.
Beranggotakan dari hakim, advokat, Pusat Mediasi Nasional dan Organisasi yang selama ini concern pada masalah-masalah mediasi, Indonesia Institute for Muhammada Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian,dan Putusan Pengadilan,(jakarta: Sinar Grafika, 2007) hal. 243 8
Ali, “Beleid Baru Untuk Sang Mediator”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2010 dari http://hukumonline.com/detail.asp?id=20214&cl=Berita. 9
26
Conflict Transformation (IICT). Hasil kerja tim menyepakati peraturan baru, yakni Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang prosedur mediasi di Pengadilan. Ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Bagir Manan, SH.,M.CL pada tanggal 31 juli 2008. Perma No. 1 Tahun ini lahir karena dirasakan Perma No. 2 Tahun 2003 mengandung kelemahan yang beberapa hal harus disempurnakan. C. Peraturan Mediasi Menurut Perma No. 1 Tahun 2008 Dengan penerbitan Perma No. 1 Tahun 2008 mengubah secara mendasar prosedur mediasi di pengadilan. Mahkamah Agung belajar dari kegagalan selama lima tahun terakhir. Dari jumlah klausul, Perma 2008 jauh lebih padat karena memuat 27 Pasal, sementara Perma 2003 hanya 18 Pasal. Perbedaan jumlah pasal ini setidaknya menunjukkan ada perbedaan keduanya. Perma No. 1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mencoba memberikan pengaturan yang lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih detail sehubungan dengan mediasi di pengadilan. Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memang membawa perubahan mendasar dalam beberapa hal, misalnya rumusan perdamaian pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali. Perma No. 2 Tahun 2003 sama sekali tidak mengenal tahapan demikian. Perma No. 1 Tahun 2008 memungkinkan para pihak atas dasar kesepakatan mereka menempuh perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi atau
27
peninjauan kembali (PK). Syaratnya, sepanjang perkara belum diputus majelis pada masing-masing tingkatan tadi. Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan terdiri dari 8 Bab dan 27 Pasal. Sistematika Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Bab I : Ketentuan Umum
Ruang lingkup dan kekuatan Pasal 1-6
berlakunya Perma
Bab II : Tahap Pra Mediasi
Biaya pemanggilan para pihak
Jenis perkara yang dimediasi
Sertifikasi Mediator
Sifat Proses Mediasi
Kewajiban hakim pemeriksaan Pasal 7-12
dan kuasa hkum
Hak
para
pihak
memilih
mediator
Daftar mediator
Honorarium mediator
Batas waktu pemilihan mediator
Menempuh itikad baik
mediasi
dengan
28
Bab III : Tahap-Tahap Proses
Mediasi
Penyerahan resume perkara dan Pasal 13-9
lama waktu proses mediasi
Kewenangan
mediator
menyatakan mediasi gagal
Tugas-tugas mediator
Keterlibatan ahli
Mencapai kesepakatan
Keterpisahan
mediasi
dan
litigasi Bab
IV
:
Tempat
Pasal
Penyelenggaraan Mediasi
20
Bab V : Perdamaian di Tingkat
Pasal
Banding, Kasasi, dan Peninjauan
21-
Kembali
22
Bab VI : Kesepakatan di Luar
Pasal
Pengadilan
23
Bab VII : Pedoman Perilaku
Pasal
29
Mediator dan Insentif
2425
Bab VIII : Penutup
Pasal 2627
Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Perma No. 2 Tahun 2003 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam Bentuk Mediasi. penyempurnaan tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam Perma No. 2 Tahun 2003 ditentukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan. Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2008 sebagai upaya mempercepat, mempermurah, mempermudah, pnyelesaian sengketa serta memberikan akses lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi merupakan instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaiakan sengketa, disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif). Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau engggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib
30
menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha. Perkara yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara perdata yang menjadi kewenangan lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan agama. Mediator non hakim dapat berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapatkan akreditasi Mahkamah Agung RI (Pasal 5 ayat (1) Perma). Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri oleh para pihak. Adanya kewajiban menjalankan mediasi, membuat hakim dapat menunda proses persidangan perkara. Dalam menjalankan mediasi, para pihak bebas memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan atau mediator di luar pengadilan.
Untuk
memudahkan
memilih
mediator,
ketua
pengadilan
menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya (5) nama mediator yang disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para mediator. Ketua pengadilan mengevaluasi mediator dan memperbaharui daftar mediator setiap tahun. (Pasal 9 ayat (7) Perma No. Tahun 2008). Bila para pihak
31
yang memilih mediator hakim, maka baginya tidak dipungut biaya apapun, sedangkan bila memilih mediator non hakim uang jasa ditanggung bersama para pihak berdasarkan kesepakatan. Dalam pasal 11 Perma No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama untuk memilih mediator atau 2 (dua) hari kerja sejak pertama kali sidang. Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim memberitahukan mediator untuk melaksanakan tugasnya. Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 hari sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim (Pasal 13 ayat (3) Perma). Atas dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 hari sejak berakhirnya masa 40 hari (Pasal 13 ayat (4) Perma). Dalam pasal 21 disebutkan bahwa para pihak atas dasar kesepakatan mereka dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau Peninjauan Kembali sepanjang perkara itu belum diputus. Para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan tinggi pertama yang mengadili, dan ketua pengadilan tingkat pertama segera memberitahukan kepada ketua pengadilan tingkat banding yang berwenang, atau ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.
BAB III PROFIL KOTA BEKASI DAN PENGADILAN AGAMA KOTA BEKASI A. Profil Singkat Kota Bekasi 1. Geografis Kota Bekasi Berdasarkan data sejarah, akar wilayah Kota Bekasi berawal dari pesatnya pertumbuhan Kecamatan Bekasi (salah satu kecamatan Kabupaten Bekasi ketika itu). Tuntutan pemekaran wilayah Kecamatan Bekasi menjadi sebuah keharusan yang tak terelakan.1 Kota Bekasi adalah salah satu kota dalam wilayah Jawa Barat. Kota tersebut Memiliki wilayah seluas 210.49 km2, terletak di bagian utara Jawa Barat yang terletak antara 1060 28’29” Bujur Timur dan 60 10’ 6” 60 30’6” Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Bekasi 21. 049 ha. Jarak antara Kota Bekasi dengan Ibu Kota Provinsi+ 140 Km dan jarak
antara Kota Bekasi
dengan Ibu Kota Negara + 18 Km.2 Secara administrative Kota Bekasi berbatasan dengan : Sebelah Utara
: berbatasan dengan Kabupaten Bogor
Sebelah Selatan
: berbatasan dengan Kabupaten Bogor
Sebelah Utara
: berbatasan dengan Propinsi DKI Jakarta
Andi Sopandi, Hibridasi Masysrakat di Perbatasan Jakarta: Profil Masyarakat Bekasi dalam Persfektif Budaya,(Bekasi, PK2SB FKIP Unisma,2005), hal. 29 1
2
Ibid, h. 30
33
34
Sebelah Timur
: berbatasan dengan Kabupaten Bekasi
Keadaan topografi wilayah Kota Bekasi umumnya relatif datar, dengan Kemiringan lahan
bervariasi antara 0 25% berada pada ketinggian rata-rata
kurang dari 25 meter di atas permukaan laut. Ketinggian kurang dari 25 meter berada di Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Bekasi Timur, dan pondok Gede. Sementara itu, ketinggian antara 25 100 meter berada di Kecamatan Bantar Gebang, Jatiasih dan Jati Sampurna.3 2. Demografis Kota Bekasi Pada masa Hindia-Belanda, Distrik Bekasi dikenal sebagai daerah agraris, dengan mata pencaharian utama adalah bercocok tanam (padi dan palawija).oleh sebab itu, umumnya banyak penduduk di Bekasi yang memiliki mata pencaharian bertani dan berkebun. Sedangkan di wilayah Utara Bekasi
karena letaknya
berbatasan dengan Laut Jawa, maka sebagian diantaranya bekerja sebagai nelayan dan tambak.4 Karakteristik wilayah pesisir laut dan daerah pertanian inilah yang kemudian memberikan warna budaya yang khas di daerah Bekasi. Di sisi lain keberadaannya pun sangat dipengaruhi oleh perkembangan pusat pemerintah Negara “Jakarta” (dahulu Batavia). Menurut Ridwan Saidi (2000), daerah Bekasi, Depok, Tanggerang, merupakan sebuah daerah luas dari Regentschap Meester Cornelis, yang umumnya memiliki karakteristik penduduk etnis Sunda-Betawi.
3
Ibid
4
Ibid
35
Namun, kenyataan yang ada justru kebudayaan masyarakat di daeah tersebut juga mendapat unsur-unsur kebudayaan lainnya.5 Sebagaimana daerah lainnya, penduduk daerah Bekasi terdapat dua etnis yang menonjol, yaitu : 1. Suku Bangsa Sunda 2. Suku Bangsa Melayu- Betawi6 Selain itu terdapat pula etnis-etnis lain di antaranya adalah Padang, Ambon, Batak Cina dan Arab. Etnis Cina dan Arab biasanya terdapat di daerah aktivitas perdagangan, yang tampil lebih menonjol di bidang perekonomian (Tideman, 1983 : 84-85;Suparman, 1985 : 193). Apabila dilihat dari berbagai data, ternyata keragaman budaya justru lebih banyak terjadi di wilayah Bekasi (terutama unsure budaya Betawi pinggiran dan Betawi Ora). Namun, dalam perkembangannya justru seiring dengan pertumbuhan pembangunan dan migrasi penduduk Kota Bekasi bergeser ke daerah Kabupaten Bekasi berikut unsure budaya yang dianutnya, maka disinilah letak permasalahan sehingga yang terjadi bias budaya atau identitas budaya masyarakat Bekasi. Dengan adanya pengalokasian wilayah budaya Betawi Jakarta (kota) dengan wilayah budaya Bekasi (Betawi Ora), maka ada semacam arogansi budaya di wilayah DKI Jakarta. Padahal, masing-masing wilayah memiliki karakteristik
5
Ibid
6
Ibid
36
budaya yang berbeda, walaupun di sisi lain tidak dapat menampilkan diri ada unsure Betawi Kota yang juga dimiliki Betawi Pinggiran di daerah Bekasi. Selain itu di Bekasi pun terdapat komunitas Tiongkhoa yang terpusat di sekitar Bekasi Timur dan Bekasi Selatan yang telah berbaur dengan masyarakat sekitarnya. Keberadaannya ditandai dengan pusat-pusat perekonomian yang ada di Bekasi. Seiring waktu keberadaan Kota Bekasi yang semakin pesat dengan pusat perbelanjaan dan industri-industri yang ada, menjadikan Kota Bekasi sebagai sasaran para perantau dari berbagai daerah lain untuk menetap di wilayah Kota Bekasi sehingga semakin banyak pula unsure kebudayaan lain yang masuk dan berbaur dengan kebudayaan masyarakat Bekasi. Adapun secara rinci, struktur masyarakat Kota Bekasi jika diklasifikasikan adalah sebagai berikut : a. Struktur Penduduk Menurut Jenis Kelamin Berdasarkan hasil sementara sensus penduduk di Kota Bekasi pada tahun 2010 jumlah penduduk sebanyak 2.37.610 jiwa dengan komposisi menunjukkan jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan, yaitu laki-laki 821.923 jiwa sedangkan perempuan 815.687 jiwa b. Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur Penduduk menurut Kelompok Umur ditampilkan disini adalah penduduk tahun 2010, bahwa pengolahan SP 2011 sendiri belum selesai sehingga data belum bisa disajikan untuk tahun 2011, pengelompokkan penduduk berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa kelompok umur 0-14
37
tahun menjadi kelompok terbesar di wilayah Kota Bekasi dengan jumlah 627.405 jiwa. Kondisi ini dapat di maklumi, mengingat cukup banyak pasangan usia muda yang berdomisili di Kota Bekasi c. Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan adalah penduduk yang baru 5 tahun keatas (usia sekolah). d. Struktur Penduduk Menurut Angkatan Kerja Pendudukn yang dikelompokkan berdasarkan angkatan kerja adalah penduduk yang berumur 18 tahun keatas (hasil Konperensi ILO Tahun 2010). Jumlah penduduk yang berada dalam kelompok angkatan kerja pada tahun 2010 berjumlah 597.215 jiwa atau sekitar 46,97%. Angkatan kerja yang sudah bekerja berjumlah 513.961 jiwa dan pencari kerja sebanyak 83.254 jiwa. Sedangkan penduduk yang termasuk kelompok bukan angkata kerja sebanyak 674.206 jiwa (53,03%), terdiri dari penduduk yang bersekolah dengan jumlah 343.219 jiwa, mengurus rumah tangga 268.385 jiwa serta kegiatan lainnya 62.602 jiwa.7 3. Wilayah Budaya Bekasi Berdasarkan kajian dan sumber data mengenai Wilayah Bekasi, maka didapatkan keterangan bahwa masyarakat Bekasi merupakan masyarakat transisi (prural) yang berada dalam pergulatan pembangunan yang sangat pesat. Oleh
7
http;/www.kotabekasi.go.id/F.KotaBekasi/kependudukan/ diakses 23 November 2010
38
sebab itu, proses migrasi penduduk di daerah ini cukup tinggi yang berdampak terhadap unsure-unsur budaya luar yang berkembang di daerah Bekasi. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Bekasi mengalami kesulitan menentukan identitas budaya aslinya dalam sebuah reflika budaya local. Sebagian masyarakatnya menganut unsure kebudayaan Betawi (Pinggiran atau Betawi Ora), sebagian lain mengaku mendapat pengaruh unsure kebudayaan Sunda-Banten ( terutama di daerah pesisir pantai laut Jawa). Sebagian juga mendapat pengaruh unsure kebudayaan Jawa dan sebagainya. a. Bahasa Sebagaimana dikemukakan di atas dalam wilayah kebudayaan (culture area) Bekasi, maka dari segi perkembangan bahasa di daerah Bekasi pun beragam. Maka secara realitas, daerah Bekasi ini banyak mendapatkan pengaruh dari unsur-unsur lain di antaranya Sunda, Jawa, Bali, dan sebagainya, selain kebudayaan Betawi. Oleh sebab itu, bentuk dialek Bekasi pun khas dan sangat berbeda debngan dialek Jakarta. Walaupun kenyataannya, menurut Muhajir (2000 : 35) secara geografis bahasa Betawi berada di wilayah berbahasa Sunda, terutama di daerah pinggiran Jakarta (di antaranya daerah Bekasi)8 Banyak penduduk pribumi, Sunda, hijrah ke daerah pinggiran Batavia (Jakarta) diikuti penduduk asal Jawa yang mewarnai kosa kata bahasa daerah
Muhajir, Bahasa Betawi; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2000)cet ke 1, h. 68 8
39
pinggiran, seperti ora “tidak’, lanang ‘laki-laki’ dan ‘bocah’ anak-anak. Hal inilah yang kemudian membedakan dialek bahasa Jakarta dengan ciri ucapnya banyak menggunakan vocal e pada kosa katanya seperti ape, ade, aye, gue dan sebagainya dengan dialek bahasa pinggiran (Bekasi) yang tidak menggunakan vocal e (pepet) tetapi vocal a seperti apa, ada, saya, gua 9 Selain pengaruh bahasa Sunda-Betawi-Bali, bahasa di daerah Bekasi pun banyak mendapat pengaruh unsur-unsur bahasa cina, terutama bahasa sehari-hari masarakat Bekasi dalam menghitung biasanya menggunakan hitungan-hitungan bahasa cina, seperti cepek, gopek, dan sebagainya.10 Menurut Stephen Wallace, secara umum dialek Jakarta dan pinggiran dikelompokkan dalam dua dialektikal, yaitu dialek Betawi Tengahan (DKI Jakarta) dan dialek Betawi pinggiran (Bekasi, Bogor dan Tanggerang) sejajar dengan sejarah kependudukannya.11 b. Adat istiadat Masyarakat di Bekasi Masyarakat Bekasi mayoritas beragama Islam yang taat. Walaupun ada pula sebagian masyarakat lainnya yang beragama non Islam. Terutama etnis Tiongkhoa (keturunan). Akan tetapi, nuansa kehidupan Islami sangat kental dalam budaya masyarakat Bekasi. Beberapa kehidupan agama Islam itu menyatu dalam kehidupan keseharian masyarakat di Bekasi. Unsur yang memberi 9
Ibid
10 11
Ibid Ibid, h.70
40
pengaruh kuat pada budaya masyarakat di Bekasi adalah agama Islam dengan segala sistem keyakinan, nilai-nilai dan kaidah-kaidahnya. Mahbub Junaidi dalam Melalatoa (1997: 164-165) menyatakan bahwa kebudayaan di Bekasi sebagai satu subkultur hampir tidak dapat dipisahkan dengan ajaran Islam. B. Sejarah Singkat dan Kewenangan Pengadilan12 Pengadilan Agama Bekasi sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undangundang. Sebagai salah satu lembaga yang melaksanakan amanat Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, dan biaya ringan, hal mana Pengadilan Agama Bekasi sebagai pelaksana Visi dan Misi Mahkamah Agung RI yang menjabarkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, yaitu: Visi “Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib dan damai di bawah lindungan Allah SWT” dan Misi : “Menerima,
12
http://www.pa-bekasi.go.id/profil-pa di akses pada tanggal 14 April 2011
41
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam. Indonesia di bidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan ekonomi syari’ah, secara cepat, sederhana dan biaya ringan”. Institusi Pengadilan agama Bekasi terbentuk pada tahun 1950 yang berkantor di Jl. Is. Sirait Kampung Melayu Jatinegara dengan ketua Rd. H. Abu Bakar kemudian terjadi pemekaran yaitu terbentuk Kabupaten Bekasi juga wilayah hukumnya di pindah ke Kabupaten Bekasi. Seiring waktu wilayah Walikotamadya Dati II Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1996 tanggal 19 Desember 1996 yang sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Bekasi, pada tahun 1998 berdasarkan KEPRES No. 145 tahun 1998 di bentuk Pengadilan Agama Kabupaten Bekasi yang dikenal Pengadilan Agama Cikarang sebagai konsekuensi atas pembentukan Walikotamadya tersebut, dimana wilayah hukum Pengadilan Agama Bekasi yang semula meliputi Kabupaten dan Kotamadya sejak diresmikannya Pengadilan Agama Cikarang hanya meliputi wilayah Kotamadya Bekasi saja. Gedung Pengadilan Agama Bekasi saat ini terletak di Jl. Ahmad Yani No. 10 Bekasi Telp. (021) 8841880 Kode Pos 17141 dengan Letak Geografis Posisi antara 106°55' - Bujur Timur dan antara 6°7 - 6° 15' Lintang Selatan dengan memiliki markaz Kiblat 64° 51' 29° 87'' dari Utara ke Barat atau 25° 08' 30 13'' dari Barat ke Utara. Kota Bekasi memiliki area seluas ± 16.175.21 HA dengan batas-batas : 1.Sebelah Barat dengan Wilayah DKI Jakarta.
42
2.Sebelah Utara dengan Kec. Tarumajaya dan Babelan. 3.Sebelah Timur dengan Kec. Tambun dan Setu. Sebelah Selatan dengan Wilayah Kab. Bogor. C. Gambaran Permohonan Perkara di Pengadilan Agama Bekasi Permohonan Perkara yang masuk dan diputus di Pengadilan Agama Bekasi dan perkara yang dicabut (berhasil di mediasi) Tabel 1. Tahun
Jumlah Perkara
Jumlah Perkara
Perkara yang dicabut
Prosentase
yang masuk
yang diputus
(berhasil di mediasi )
2007
1253
753
132
10.5%
2008
1546
864
165
10.6%
2009
680
457
74
10.8%
2010
1689
935
185
10.9%
2011
1537
648
184
11.9%
Sumber : Data diperoleh dari arsip Panitera Muda Hukum Berdasarkan tabel di atas, jumlah permohonan perkara di Pengadilan Agama Bekasi pada tahun 2007 untuk jumlah perkara yang masuk 1253 perkara dan yang diputus seluruhnya 753 perkara dan yang berhasil di mediasi 132 perkara. Tahun 2008 jumlah perkara yang masuk 1546 yang diputus berjumlah 864 dan yang berhasil di mediasi 165. Tahun 2009 perkara yang masuk 680 yang diputus
43
457 yang berhasil di mediasi 74. Tahun 2010 perkara yang masuk 1689, perkara yang diputus 935 dan yang berhasil di mediasi 185. Untuk tahun 2011 jumlah perkara yang masuk 1537 dan yang diputus 648 dan yang berhasil di mediasi 184 kasus. Jumlah permohonan perkara yang masuk di pengadilan agama Bekasi terbanyak pada tahun 2010. Dari tabel diatas menggambarkan mediasi sebagai suatu bentuk cara mendamaikan pihak yang bersengketa ternyata sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Suatu realita hukum yang tak terbantahkan bahwa banyaknya jumlah perkara yang tidak berhasil untuk di damaikan.
BAB IV EFEKTIFITAS MEDIASI DAN IMPLEMENTASI PERMA NO. 1 TAHUN 2008 A. Proses Mediasi di Pengadilan Agama Proses Mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu tahap pramediasi, tahap pelaksanaan mediasi, dan tahap akhir implementasi hasil mediasi. Ketiga tahap ini merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator dan para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka.1 1. Tahap Pramediasi Tahap pramediasi merupakan tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Pada tahap ini mediator melakukan beberapa langkah antara lain membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengoordinasikan pihak bertikai, mewaspadai perbedaan budaya, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan penemuan, kesepakatan waktu dan tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk bertemuj dan membicarakan perselisihan mereka.
Syahrizal Abbas. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional.(Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009), hal. 36-54 1
44
45
2. Tahap Pelaksanaan Mediasi Tahap pelaksanaan mediasi merupakan tahap dimana pihak-pihak yang bertikai sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi. Ada beberapa langkah dalam tahap ini yaitu sambutan pendahuluan mediator, presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan permasalahan, berdiskusi dan negosiasi masalah yang disepakati, menciptakan opsi-opsi, menemukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan, mencatat dan menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi. 3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi Tahap ini merupakan tahap dimana para pihak hanyalah menjalankan hasil-hasil kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis. Dalam menjalankan kesepekatan tersebut harus sesuai dengan komitmen. B. Faktor Penghambat dan Pendukung Pelaksanaan Mediasi Hampir segala hal yang berkenaan dengan mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif atau ADR (Alternative Dispute Resolution) telah diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai revisi dari Perma sebelumnya. Hanya saja dalam praktiknya di Pengadilan Agama Bekasi keefektifan yang maksimal dari peraturan tersebut belumlah dapat dirasakan nyata bila dilihat dari tingkat keberhasilannya dalam mendamaikan para pihak yang
46
berperkara tidak mencapai angka diatas 15% (setidaknya pada kurun tahun 20072011). Memang ada beberapa kendala teknis dalam mengaplikasikan Perma No. 1 Tahun 2008, diantaranya:2 1. Durasi waktu mediasi, yakni 40 hari yang bisa ditambah 14 hari. Kurang adanya inisiatif dari Pengadilan Agama Bekasi untuk memaksimalkan
waktu
dari
proses
mediasi.
karena
dengan
pemaksimalan waktu maka akan semakin menumpuk jumlah perkara yang tersisa dan akan memakan biaya yang lebih banyak. 2. Biaya. Dalam Pasal 10 ayat 1 Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Mengenai
honorarium
Mediator
disebutkan
bahwa
penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya, justru bisa menjadi kendala dan penyebab kurang pedulinya hakim Mediator, sehingga ia kurang memaksimalkan upaya perdamaian. 3. Hakim yang bersertifikat Mediator Tidak adanya Hakim yang bersertifikat Mediator hal itu mungkin menjadi kendala dari keberhasilan mediasi. apabila seorang
Wawancara Pribadi dengan Bpk Drs. Mahmudin Yusuf, MH. Hakim Mediator di Pengadilan Agama Bekasi 2
47
hakim memiliki sertifikat mediator mungkin ia mempunyai trik dan strategi dalam proses perdamaian. 4. Tidak adanya Mediator dari luar Pengadilan hal itu juga menjadi salah satu penghambat dalam proses mediasi 5. Aspek Perkara Jumlah terbesar perkara yang diajukan ke pengadilan agama adalah perkara perceraian. Perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan agama oleh pasangan suami isteri telah diawali oleh berbagai proses penyelesaian kasus yang melatar belakanginya yang diselesaikan oleh para pihak secara langsung maupun menggunakan pihak lain yang berasal dari kalangan keluarga maupun seseorang yang ditokohkan. Dengan gambaran seperti ini perkara perceraian yang diajukan ke peradilan agama pada dasarnya merupakan perkara perceraian yang masalahnya sudah sangat rumit sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan antara pasangan suami dan isteri telah pecah.
Perkara
perceraian yang dimediasi dan mengalami kegagalan sangat bervariasi sebab dan latar belakangnya. Untuk kasus-kasus perceraian yang disebabkan oleh Perselingkuhan dan KDRT, penyelesaian melalui mediasi acapkali gagal di dalam mediasi. Dan
Faktor
yang
diantaranya : 1. Aspek dari para pihak
mendukung
tercapainya
Perdamaian
48
Faktor keberhasilan mediasi dari aspek para pihak, yaitu usia perkawinan, tingkat kerumitan perkara yang dihadapi oleh para pihak, para pihak memiliki i’tikad baik untuk mengakhiri sengketa melalui mediasi dan para pihak memiliki kesadaran untuk berdamai dan menyadari kekeliruannya. 2. Aspek Sarana Di Pengadilan Agama Bekasi ruang mediasi tersedia cukup memadai. Hal ini dapat ikut membantu proses keberhasilan dalam mediasi. 3. Permasalahan yang dihadapi Hakim Mediator sebelum melakukan proses mediasi ia mempelajari dahulu permasalahan penyebab perkara yang di hadapi oleh kedua belah pihak. C. Implementasi Proses Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi Sebagaimana yang telah di bahas sebelumnya mengenai proses mediasi, tentunya di Pengadilan Agama Bekasi dalam proses sepenuhnya sama dengan apa yang tertera dalam teori proses mediasi. Adapun untuk proses mediasi di lingkungan Pengadilan Agama Bekasi adalah3:
3
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Drs.Mahmudin Yusuf, MH. Hakim Mediator di Pengadilan Agama Bekasi
49
Sidang Pra Mediasi Pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan dan dihadiri kedua belah pihak, majelis hakim menjelaskan tentang keharusan para pihak untuk menempuh proses mediasi serta menjelaskan prosedur mediasi menurut Perma No.1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Ketua Majelis memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator yang dikehendaki bersama dan berunding tentang pembebanan biaya yang timbul jika memilih mediator bukan hakim. Untuk itu, majelis hakim menskors persidangan. Setelah mendapat laporan dari panitera sidang, ketua majelis kemudian mencabut skors dan melanjutkan persidangan. Dalam hal mediator sudah ditunjuk, selanjutnya majelis hakim, Paling lambat satu hari kerja berikutnya, mediator yang ditunjuk wajib menentukan hari pelaksanaan mediasi dalam sebuah Penetapan, dengan ketentuan tenggang waktu antara Surat Penunjukan Mediator dengan hari pelaksanaan mediasi tidak boleh lebih dari 7 hari kerja. Panggilan para pihak untuk mediasi dapat dilakukan oleh Jurusita Pengganti dan biayanya dibebankan kepada panjar biaya perkara. Jika ditinjau dari Perma No. 1 Tahun 2008, pelaksanaan mediasi di pengadilan agama Bekasi telah sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam Perma ini. Hal tersebut dapat dilihat dari :
50
Pelaksanaan Mediasi Mediasi dilaksanakan di tempat mediasi Pengadilan Agama, kecuali para
pihak menghendaki lain,apabila mediator bukan dari hakim. Dalam hal kedua belah pihak tidak hadir maka mediasi ditunda untuk memanggil para pihak. Apabila telah dipanggil 2 kali berturut-turut tidak hadir, maka mediator menyatakan mediasi gagal (Pasal 14 ayat 1 Perma Nomor 1 Tahun 2008). Proses mediasi diawali dengan identifikasi masalah. Untuk itu Mediator memberi kesempatan kepada kedua pihak, pihak yang hadir untuk menyiapkan ‘resume perkara’ baik secara lisan maupun tertulis. Pada hari dan tanggal yang ditentukan,
Penggugat/Pemohon
menyampaikan/membacakan
resumenya,
kemudian dilanjutkan dengan penyampaian/ pembacaan resume perkara dari Tergugat/ Termohon atau Kuasanya. Setelah menginventarisasi permasalahan dan alternatif penyelesaian yang disampaikan para pihak, mediator menawarkan kepada pihak Tergugat/ Termohon alternatif solusi yang diajukan Penggugat/ Pemohon dan sebaliknya, untuk dimintai pendapatnya. Dalam hal terjadi kebuntuan, mediator dapat melakukan kaukus; Sebelum mengambil kesimpulan, mediator memberikan kesempatan kepada pihak untuk merumuskan pendapat akhir atas perkara tersebut. Dalam hal tidak diperoleh kesepakatan, mediator menyatakan proses mediasi gagal, mediator melaporkan kegagalan tersebut kepada majelis hakim pada hari sidang yang telah ditentukan;
51
Dalam hal diperoleh kesepakatan, para pihak merumuskan kesepakatan tersebut secara tertulis dalam suatu Surat Kesepakatan dibantu oleh mediator. Setelah surat kesepakatan tersebut disetujui dan ditanda tangani para pihak dan mediator, dilaporkan oleh para pihak kepada majelis hakim. Dalam hal kesepakatan dilakukan oleh kuasa hukum maka para pihak in person harus ikut menandatangani kesepakatan tersebut sebagai tanda persetujuannya. Laporan Mediasi Mediator wajib menyusun laporan pelaksanaan mediasi, baik dalam hal mediasi berhasil yang diakhiri dengan perdamaian atau tidak berhasil. Laporan mediator sudah harus disampaikan melalui panitera sidang sebelum persidangan dimulai. Apabila mediator dalam laporannya menyatakan bahwa mediasi telah gagal, dalam hal majelis hakim telah menentukan hari sidang berikutnya, maka persidangan dibuka kembali dengan acara biasa. Sedangkan dalam hal siding berikutnya belum ditentukan, maka sidang dilanjutkan terlebih dahulu memanggil para pihak dengan Penetapan Hari Sidang baru. Dalam hal mediasi gagal, maka laporan mediasi cukup ditanda tangani oleh mediator. Jika para pihak dalam proses mediasi diwakili oleh kuasa hukum, maka laporan kesepakatan harus dilampiri pernyataan persetujuan tertulis dari para
52
pihak. Apabila mediasi tidak berhasil, maka seluruh catatan mediasi dimusnahkan dengan berita acara pemusnahan catatan mediasi sebelum sidang dibuka kembali yang ditandatangi oleh mediator. Sidang Lanjutan Laporan Mediasi Dalam sidang terdapat dua komponen yaitu mediasi gagal atau berhasil Jika mediasi berhasil maka kedua belah pihak harus melaksanakan amar dari hasil mediasinya. Akan tetapi jika gagal maka akan di lanjutkan ke persidangan sampai ada putusan dari hakim. D. Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi Semenjak ditetapkannya Perma No. 1 Tahun 2008 Tenang prosedur Mediasi di Pengadilan, telah terjadi perubahan fundamental dalam praktek peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan suatu perkara tetapi berwenang mendamaikan para pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini terkesan sebagai lembaga yang menegakkan hukum dan keadilan, tetapi sekarang pengadilan juga menampakkan diri sebagai lembaga yang mencari solusi antara pihak-pihak yang bertikai. Pemberlakuan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini diharapkan bisa menjadi tonggak awal ke efektifan usaha perdamaian atau mediasi, bukan hanya dalam tataran teoritis, tetapi juga dalam praktiknya di lapangan. Karena Perma tersebut merupakan penyempurnaan dari
53
Perma No. 2 Tahun 2003 yang dianggap kurang begiu efektif dalam menyelesaikan perkara di Pengadilan. Pada dasarnya hukum mediasi tercantum dalam pasal 2 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak berperkara untuk mengikuti prosedur penyelesaian perkara melalui mediasi. Dan apabila tidak menempuh prosedur mediasi ini maka berdasarkan Perma ini merupakan ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg. Yang mengakibatkan putusan baral demi hukum. Artinya, semua perkara yang masuk pada pengadilan tingkat pertama tidak mungkin melewatkan prosedur mediasi.4 Pemberlakuan Perma mediasi ini terbilang baru dalam ranah pengadilan agama Bekasi sebagai salah satu institusi yang mempraktikkan mediasi, karenanya pengadilan agama Bekasi butuh waktu penyesuaian untuk bisa memaksimalkan tingkat keefektifan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini. Mengenai tingkat keefektifan mediasi yang dianggap kurang efektif, seperti yang diutarakan oleh H. Andi Syamsu Alam Ketua Muda Mahkamah Agung dan dibenarkan oleh H. Wahyu Widiana dirjen Badilag RI, selain belum maksimalnya pemberdayaan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan tersebut, terlebih lagi perkara perceraian. Karena perkara
Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, hal. 2. Artikel diakses dari www.badilag.net diakases Rabu 17 April 2011 4
54
perceraian menyangkut soal hati yang tidak bisa dipaksakan, karena para pihaklah yang benar-benar merasakan permasalahannya. Dan kebanyakan dari mereka datang membawa permasalahan ke pengadilan dengan tekad bulat ingin bercerai. Maka akan sulit sekali untuk didamaikan. Mengenai keefektifan mediasi dalam penelitian ini terdapat dua persfektif dari kata efektif yang pertama apakah peraturan yang berlaku itu efektif dalam artian berjalan dan dilaksanakan sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2008, dan kedua makna efektif di sini yaitu apakah hasil yang diharapkan atau target dari peraturan tersebut berhasil. Apabila keefektifan yang dimaksud pada bagian pertama Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan berhasil dilaksanakan, berarti Perma ini efektif. Namun apabila efektif yang dimaksud pada bagian kedua, tentang hasil target dari penerapan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sekiranya Perma ini belum efektif walaupun memang setiap tahunnya ada peningkatan prosentase dari tahun sebelum adanya Perma dan sesudah adanya Perma. Dilihat dari tabel permohonan perkara yang masuk, diputus, dan dicabut (berhasil di mediasi) pada tahun 2007 – 2011 ada peningkatan walaupun hanya sedikit. Pada tahun 2007 prosentase perkara yang berhasil di mediasi sebesar 10.5%, pada tahun 2008 prosentase perkara yang berhasil di mediasi yakni 10.6%, pada tahun 2009 prosentase perkara yang berhasil di mediasi sebesar 10.8%, selanjutnya pada tahun 2010 prosentase perkara yang berhasil di mediasi
55
10.9%, dan ada peningkatan yang lebih besar yakni pada tahun 2011 prosentase perkara yang berhasil di mediasi sebesar 11.9% ada kemajuan dari tahun-tahun sebelumnya akan tetapi peningkatannya hanya sebesar 1%. E. Analisis Penulis Pada dasarnya sebuah ikatan perkawinan harus didasari dengan kekuatan cinta. Namun dalam perjalanan kehidupan rumah tangga sering sekali dibumbui dengan adanya pertengkaran atau percekcokan. Oleh karena itu Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang diharapkan bisa meminimalisir angka perceraian yang ada di pengadilan, karena perkara yang paling banyak masuk di pengadilan agama adalah masalah perceraian hampir 90% dari seluruh perkara yang masuk di pengadilan adalah kasus perceraian5. Perceraian adalah hal yang sangat di benci oleh Allah SWT. Sebagaimana di terangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, sebagai berikut :
اﳊَْﻼَ لِإِﱃَ اﻟﻠﱠﺗﻪـَِﻌَﺎﱃَاﻟﻄﱠﻼَ ق ُأَﺑـْﻐَﺾ Artinya : ”Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah Ta’alaa adalah menjatuhkan thalaq" (H.R. Abu dawud)
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Drs.Mahmudin Yusuf, MH. Hakim Mediator di Pengadilan Agama Bekasi 5
56
Seharusnya perceraian haruslah dihindari akan tetapi pada kenyataan tidak seperti itu, di dalam ajaran Islam pun memerintahkan agar penyelesaian perselisihan yang terjadi pada manusia sebaiknya diselesaikan dengan jalan perdamaian. Keadilan merupakan salah satu kebutuhan dalam hidup manusia yang umumnya diakui disemua tempat di dunia ini. Apabila keadilan itu kemudian dikukuhkan ke dalam sebuah institusi yang bernama hukum, maka hukum itu harus mampu menjadi saluran agar keadilan itu dapat diselenggarakan secara seksama dalam masyarakat. Dalam konteks ini tugas hakim yang paling berat adalah menjawab kebutuhan manusia akan kebutuhan tersebut selain melakukan pendekatan kedua belah pihak untuk merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki dan upaya ini dapat dilakukan pada tahap perdamaian. Pengadilan Agama Bekasi dari tahun ke tahun tidak pernah sepi dari perkara perceraian, dalam prosesnya pengadilan agama Bekasi dalam melakukan proses mediasi sesuai berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Tujuan mediasi pada dasarnya agar orang yang bersengketa (yang mengajukan perkara ke pengadilan) bisa berdamai dengan hasil sama sama senang. Jadi inti dan motivasi dari mediasi adalah hasil akhir dari suatu sengketa menuju kepada sepakat untuk damai dengan tidak melanjut perkaranya di pengadilan. Namun untuk menuju ke arah tersebut sangat sulit dicapai oleh para pihak yang berperkara, maka perlu ada pihak ketiga yang netral tidak memihak
57
dan dihormati untuk membantu menyelesaikan sengketa tersebut di luar lembaga peradilan, yaitu mediator. Terkait dengan hal tersebut, Perma Nomor 01 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (2) yang mewajibkan setiap hakim, agar mendamaikan pihak yang berperkara sebelum melanjutkan proses persidangan, harus melalui tahap mediasi dulu, apabila tidak menempuh prosudur mediasi maka menurut Perma ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 R.Bg, yang berakibat putusan batal demi hukum.6 Berdasarkan hasil wawancara yang penulis peroleh pengadilan agama Bekasi sudah efektif menerapkan Proses Mediasi sesuai dengan perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan akan tetapi didalam fungsi dari mediasi itu sendiri penulis menganggap hasil dari proses mediasi itu sendiri kurang efektif dilihat dari hasil prosentase yang kurang dari 15%. Memang ada faktor-faktor yang jadi penghambat di dalam proses mediasi yakni:
Durasi waktu mediasi, yakni 40 hari yang bisa ditambah 14 hari. lebih baik ada pemaksimalan waktu maka tidak akan semakin banyak penumpukan jumlah perkara yang tersisa dan akan memakan biaya yang lebih banyak.
Mengenai honorarium Mediator disebutkan bahwa penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya, justru bisa menjadi kendala
Pasal 2 ayat (2) dan (3) Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 6
58
dan penyebab kurang pedulinya hakim Mediator, sehingga ia kurang memaksimalkan upaya perdamaian.
Tidak adanya Hakim yang bersertifikat Mediator hal itu mungkin menjadi kendala dari keberhasilan mediasi. apabila seorang hakim memiliki sertifikat mediator mungkin ia mempunyai trik dan strategi dalam proses perdamaian.
Tidak adanya Mediator dari luar Pengadilan hal itu juga menjadi salah satu penghambat dalam proses mediasi
Jumlah terbesar perkara yang diajukan ke pengadilan agama adalah perkara perceraian. Perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan agama oleh pasangan suami isteri telah diawali oleh berbagai proses penyelesaian kasus yang melatar belakanginya yang diselesaikan oleh para pihak secara langsung maupun menggunakan pihak lain yang berasal dari kalangan keluarga maupun seseorang yang ditokohkan. Dengan gambaran seperti ini perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan agama pada dasarnya merupakan perkara perceraian yang masalahnya sudah sangat rumit sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan antara pasangan suami dan isteri telah pecah. Perkara perceraian yang dimediasi dan mengalami kegagalan sangat bervariasi sebab dan latar belakangnya. Untuk kasus-kasus perceraian yang disebabkan oleh Perselingkuhan dan KDRT,
59
penyelesaian melalui mediasi acapkali gagal di dalam mediasi. Dengan demikian penulis dapat menganalisa bahwa pelaksanaan mediasi sudah sesuai dengan prosedur dan sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, salah satunya dapat dilihat dari proses mediasi dan adanya peningkatan prosentase mediasi dari tahun 2007-2011 walaupun peningkatannya itu hanya sebesar 1% masukan dari penulis untuk pengadilan agama Bekasi yakni untuk lebih memperbaiki faktor-faktor yang jadi penghambat di dalam proses mediasi.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis mengkaji dan memaparkan pembahasan skripsi tentang, efektifitas mediasi dan implementasi Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka penulis dapat menyimpulkan : 1. Bahwasannya pelaksanaan praktik atau implementasi di pengadilan agama Bekasi sudah sepenuhnya menjalankan proses mediasi sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan menjadikan Perma tersebut sebagai acuan dalam mengaplikasikan mediasi. adapun tahapan-tahapan dalam proses mediasi adalah: a. Sidang Pra Medasi b. Pelaksanaan mediasi c. Laporan Mediasi d. Sidang Lanjutan Laporan Mediasi Dilihat dari praktik atau implementasi proses mediasi sudah pastinya kita melihat hasil dari praktik atau implementasi tersebut, tingkat keefektifan dari penerapan Perma tersebut apakah peraturan yang berlaku itu efektif dalam artian berjalan dan telah dilaksanakan sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2008 dan dilihat dari hasil target dari penerapan
60
61
Perma tersebut, sekiranya Perma No. 1 Tahun 2008 belum efektif karena prosentase dari perkara yang di cabut (berhasil di mediasi) tidak sampai 15%. 2. Faktor-faktor yang mendukung di dalam penerapan perma yakni adalah: a. Faktor keberhasilan mediasi dari aspek para pihak, yaitu usia perkawinan, tingkat kerumitan perkara yang dihadapi oleh para pihak, para pihak memiliki i’tikad baik untuk mengakhiri sengketa melalui mediasi dan para pihak memiliki kesadaran untuk berdamai dan menyadari kekeliruannya. b. Di Pengadilan Agama Bekasi ruang mediasi tersedia cukup memadai. Hal ini dapat ikut membantu proses keberhasilan dalam proses mediasi. c. Hakim
Mediator
sebelum
melakukan
proses
mediasi
ia
mempelajari dahulu permasalahan penyebab perkara yang di hadapi oleh kedua belah pihak. 3. Faktor-faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan ini adalah sebagai berikut: a. Durasi waktu mediasi, yakni 40 hari yang bisa ditambah 14 hari. lebih baik ada pemaksimalan waktu maka tdak akan semakin banyak penumpukan jumlah perkara yang tersisa dan akan memakan biaya yang lebih banyak.
62
b. Mengenai honorarium Mediator disebutkan bahwa penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya, justru bisa menjadi kendala dan penyebab kurang pedulinya hakim Mediator, sehingga ia kurang memaksimalkan upaya perdamaina. c. Tidak adanya Hakim yang bersertifikat Mediator hal itu mungkin menjadi kendala dari keberhasilan mediasi. apabila seorang hakim memiliki sertifikat mediator mungkin ia mempunyai trik dan strategi dalam proses perdamaian. d. Tidak adanya Mediator dari luar Pengadilan hal itu juga menjadi salah satu penghambat dalam proses mediasi e. Jumlah terbesar perkara yang diajukan ke pengadilan agama adalah perkara perceraian. Perkara perceraian yang diajukan ke pengadilan agama oleh pasangan suami isteri telah diawali oleh berbagai proses penyelesaian kasus yang melatar belakanginya yang diselesaikan oleh para pihak secara langsung maupun menggunakan pihak lain yang berasal dari kalangan keluarga maupun seseorang yang ditokohkan. Dengan gambaran seperti ini perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama pada dasarnya merupakan perkara perceraian yang masalahnya sudah sangat rumit sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan antara pasangan suami dan isteri telah pecah. Perkara perceraian yang
63
dimediasi dan mengalami kegagalan sangat bervariasi sebab dan latar belakangnya. Untuk kasus-kasus perceraian yang disebabkan oleh Perselingkuhan dan KDRT, penyelesaian melalui mediasi acapkali gagal di dalam mediasi. B. Saran-saran Dalam bagian akhir skripsi ini, penulis penulis ingin memberikan saransaran yang berhubungan dengan dikeluarkannya Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, saran-saran ini penulis tujukan kepada berbagai pihak yang terkait dengan yakni : 1. Kepada pengadilan agama, pelaksanaan mediasi hendaknya lebih ditingkatkan dan tenaga ahli di bidang mediasi lebih ditingkatkan seperti hakim yang di wajibkan mempunyai sertifikat mediator, agar nantinya hakim yang ingin memediasi bisa menjalankan tugasnya dengan sungguhsungguh untuk mencegah lebih banyaknya angka perceraian. 2. Kepada pemerintahan penulis berharap proses mediasi tidak hanya diatur didalam Perma akan lebih baiknya di jadikan Undang-undang, agar kekuatan hukumnya lebih tinggi dan lebih kuat guna memberikan kesadaran kepada orang-orang bahwa mediasi itu hal yang sangat diwajibkan. 3. Untuk segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Fakultas Syariah dan Hukum agar lebih mengkaji lagi
64
mengenai penyelesaian melalui Mediasi karna kedepannya itu merupakan tantangan bagi mahasiswa yang ingin berprofesi sebagai hakim atau yang ingin menjadi seorang mediator .
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Kathoda,, 2005. Abbas, Syahrizal Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 2007 Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004 Kompilasi Hukum Islam memberikan definisi pernikahan. Pasal 2 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Mushtofa al-Mawaghi, Ahmad, Tafsir al-Maraghi, Mushthofa al-Babi al-Halbi wa Awladuh, Mesir, Juz I, t.th Muhammad Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Muhajir, Bahasa Betawi; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2000 Ni’am Sholeh, Asrorun, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta : Elsas, 2008 Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Pasal 2 ayat (2) dan (3) Sabiq, As Sayyid, Fiqh As Sunnah Juz III, Beirut: Dar Al Fikr, 1977 Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1989 Sopandi, Andi, Hibridasi Masyarakat di Perbatasan Jakarta, Bekasi, PK2SB FKIP UNISMA, 2005 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
65
Tharablisi at, Alauddin, Muin Al Hukkam: Fi ma yataraddadu baina al khasamaini min al Ahkami, Beirut : Dar al Fikr, tth Wahaf Khalaf, Abdul, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi Syariah al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Qalam, tth Wawancara Pribadi dengan Bpk Drs. Mahmudin Yusuf, MH. Hakim Midiator di Pengadilan Agama Bekasi Yasardin, Mediasi di Pengadilan Agama, Upaya Pelaksanaan SE Ketua MA No. 1 Tahun 2002, Suara Uldilag, Edisi II, 2003 Ditjen Badilag MA RI, Himpunan Statistik Perkara Peradilan Agama Tahun 2007, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 INTERNET www.badilag.net Siddiki, Mediasi di Pengadilan dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, Rabu 17 April 2011 www.badilag.net Wahyu Widiana, Upaya Penyelesaian Perkara Melalui Perdamaian pada Pengadilan Agama, Kaitannya dengan Peran BP4. Makalah disampaikan pada Rakernas BP4 tanggal 15 Agustus 2008 di Jakarta Kamis 15 April 2011 Ali, “Beleid Baru Untuk Sang Mediator”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2010 dari http://hukumonline.com/detail.asp?id=20214&cl=Berita. D.S.Dewi, “Implementasi PERMA No.01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan”,Diakses dari http:/ /www.mahkamahagung.go.id /images/uploaded/IMPLEMENTASI_MEDIAS.ppt http://www.eramuslim.com/berita/nasional/angka-perceraian-di-indonesia-tertinggidibanding-negara-islam-lain.html Pembukaan Pemilihan Keluarga Sakinah dan Pemilihan Kepala KUA Teladan Tingkat Nasional, di Asrama haji, Pondok Gede, Jakarta, Selasa (14 Agustus 2007); lihat, “Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi, Dibanding Negara Islam Lain”, Rabu, 15/08/2007, http://pa-makassar.net/index.php?option=com_content&view=article&id=48: badilag &cati =3:newsflash Dirjen pada Workshop Ahli Penyusunan Modul Mediasi: Perlu Dikaji, Kriteria Keberhasilan Mediasi di Lingkungan Peradilan Agama”, jakarta, Badilag.net, 30 November 2010 http://www.pa-bekasi.go.id/profil-pa di akses pada tanggal 14 April 2011 66
Pedoman Wawancara Responden : Hakim Mediator di Pengadilan Agama Bekasi 1.
Menurut bapak apa tujuan sebenarnya dari mediasi?
2. Bagaimana tanggapan Pengadilan Agama Bekasi mengenai dikeluarkannya Perma No. 1 Tahun 2008? 3. Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah dikeluarkannya Perma No 1 Tahun 2008? 4. Bagaimana praktek atau implementasi mediasi di Pengadilan Agama Bekasi? 5. Menurut bapak faktor apa yang mendukung Proses Mediasi? 6. Menurut bapak faktor apa yang menjadi penghambat mediasi
hingga
tercapainya perdamaian? 7. Bagaimana efektifitas mediasi di pengadilan agama bekasi? 8. Bagaimanakah peran mediasi dalam suatu kasus perceraian? 9. Lalu apakah perbedaan mendasar perma No. 1 tahun 2008 dengan perma sebelumnya yakni (Perma No 2 tahun 2003) sehingga merasa perlu untuk direvisi?
67
Hasil Wawancara Nama Responden
: Drs. Mahmudin Yusuf, MH
Jabatan
: Hakim Mediator
Di Tempat
: Ruang Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi
1
Pertanyaan: Menurut bapak apa tujuan sebenarnya dari mediasi? Jawaban
: Mediasi sebagai upaya dari lembaga peradilan untuk
menyelesaikan masalah sebelum lebih lanjut ke pengadilan dan untuk mengurangi perkara agar tidak banyak di Pengadilan agama dan perkara itu lebih cepat dengan adanya mediasi. 2
Pertanyaan: Bagaimana tanggapan Pengadilan Agama Bekasi mengenai dikeluarkannya Perma No. 1 Tahun 2008? Jawaban
: Sangat positif dengan dikeluarkannya Perma No. 1 tahun
2008 untuk mengurangi angka perceraian 3
Pertanyaan: Bagaimana pelaksanaan mediasi setelah dikeluarkannya Perma No 1 Tahun 2008? Jawaban
: Pengadilan agama melaksanakan mediasi sudah sesuai
dengan Perma No. 1 Tahun 2008 4
Pertanyaan: Bagaimana praktek atau implementasi mediasi di Pengadilan Agama Bekasi? Jawaban
: Praktek atau Implementasi di pengadilan agama Bekasi
melaksanakan sesuai Perma No. 1 Tahun 2008 yakni :
68
69
Sidang Pra Mediasi Pada hari dan tanggal persidangan yang telah ditentukan dan dihadiri kedua belah pihak, majelis hakim menjelaskan tentang keharusan para pihak untuk menempuh proses mediasi serta menjelaskan prosedur mediasi menurut Perma No.1 tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Ketua Majelis memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator yang dikehendaki bersama dan berunding tentang pembebanan biaya yang timbul jika memilih mediator bukan hakim. Untuk itu, majelis hakim menskors persidangan. Setelah mendapat laporan dari panitera sidang, ketua majelis kemudian mencabut skors dan melanjutkan persidangan. Dalam hal mediator sudah ditunjuk, selanjutnya majelis hakim, Paling lambat satu hari kerja berikutnya, mediator yang ditunjuk wajib menentukan hari pelaksanaan mediasi dalam sebuah Penetapan, dengan ketentuan tenggang waktu antara Surat Penunjukan Mediator dengan hari pelaksanaan mediasi tidak boleh lebih dari 7 hari kerja. Panggilan para pihak untuk mediasi dapat dilakukan oleh Jurusita Pengganti dan biayanya dibebankan kepada panjar biaya perkara. Pelaksanaan
Mediasi
Mediasi
dilaksanakan
di
tempat
mediasi
Pengadilan Agama, kecuali para pihak menghendaki lain,apabila mediator bukan dari hakim. Dalam hal kedua belah pihak tidak hadir maka mediasi ditunda untuk memanggil para pihak. Apabila telah dipanggil 2 kali berturut-turut tidak hadir, maka mediator menyatakan mediasi gagal (Pasal 14 ayat 1 Perma Nomor 1 Tahun 2008). Proses mediasi diawali dengan
70
identifikasi masalah. Untuk itu Mediator memberi kesempatan kepada kedua pihak, pihak yang hadir untuk menyiapkan ‘resume perkara’ baik secara lisan maupun tertulis. Pada hari dan tanggal yang ditentukan, Penggugat/Pemohon menyampaikan/membacakan resumenya, kemudian dilanjutkan dengan penyampaian/ pembacaan resume perkara dari Tergugat/
Termohon
atau
Kuasanya.
Setelah
menginventarisasi
permasalahan dan alternatif penyelesaian yang disampaikan para pihak, mediator menawarkan kepada pihak Tergugat/ Termohon alternatif solusi yang diajukan Penggugat/ Pemohon dan sebaliknya, untuk dimintai pendapatnya. Dalam hal terjadi kebuntuan, mediator dapat melakukan kaukus;
Sebelum
mengambil
kesimpulan,
mediator
memberikan
kesempatan kepada pihak untuk merumuskan pendapat akhir atas perkara tersebut. Dalam hal tidak diperoleh kesepakatan, mediator menyatakan proses mediasi gagal, mediator melaporkan kegagalan tersebut kepada majelis hakim pada hari sidang yang telah ditentukan; Dalam hal diperoleh kesepakatan, para pihak merumuskan kesepakatan tersebut secara tertulis dalam suatu Surat Kesepakatan dibantu oleh mediator. Setelah surat kesepakatan tersebut disetujui dan ditanda tangani para pihak dan mediator, dilaporkan oleh para pihak kepada majelis hakim. Dalam hal kesepakatan dilakukan oleh kuasa hukum maka para pihak in person harus
ikut
menandatangani
persetujuannya.
kesepakatan
tersebut
sebagai
tanda
71
Laporan Mediasi Mediator wajib menyusun laporan pelaksanaan mediasi, baik dalam hal mediasi berhasil yang diakhiri dengan perdamaian atau tidak berhasil. Laporan mediator sudah harus disampaikan melalui panitera sidang sebelum persidangan dimulai. Apabila mediator dalam laporannya menyatakan bahwa mediasi telah gagal, dalam hal majelis hakim telah menentukan hari sidang berikutnya, maka persidangan dibuka kembali dengan acara biasa. Sedangkan dalam hal siding berikutnya belum ditentukan, maka sidang dilanjutkan terlebih dahulu memanggil para pihak dengan Penetapan Hari Sidang baru. Dalam hal mediasi gagal, maka laporan mediasi cukup ditanda tangani oleh mediator. Jika para pihak dalam proses mediasi diwakili oleh kuasa hukum, maka laporan kesepakatan harus dilampiri pernyataan persetujuan tertulis dari para pihak. Apabila mediasi tidak berhasil, maka seluruh catatan mediasi dimusnahkan dengan berita acara pemusnahan catatan mediasi sebelum sidang dibuka kembali yang ditandatangi oleh mediator. Sidang Lanjutan Laporan Mediasi Dalam sidang terdapat dua komponen yaitu mediasi gagal atau berhasil Jika mediasi berhasil maka kedua belah pihak harus melaksanakan amar dari hasil mediasinya. Akan tetapi jika gagal maka akan di lanjutkan ke persidangan sampai ada putusan dari hakim. 5
Pertanyaan: Menurut bapak faktor apa yang mendukung Proses Mediasi?
72
Jawaban
: dilihat dari faktor usia ada para pihak yang memiliki i’tikad
baik untuk mengakhiri sengketa melalui mediasi dan para pihak memiliki kesadaran untuk berdamai dan menyadari kekeliruannya, ruang mediasi di pengadilan agama Bekasi yang cukup memadai, para Hakim Mediator di pengadilan agama bekasi sebelum melakukan proses mediasi ia mempelajari dahulu permasalahan penyebab perkara yang di hadapi oleh kedua belah pihak. 6
Pertanyaan: Menurut bapak faktor apa yang menjadi penghambat mediasi hingga tercapainya perdamaian? Jawaban
: Durasi Kurang adanya inisiatif dari Pengadilan Agama Bekasi
untuk memaksimalkan waktu dari proses mediasi. karena dengan pemaksimalan waktu maka akan semakin menumpuk jumlah perkara yang tersisa dan akan memakan biaya yang lebih banyak, penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya, mungkin penyebab kurang pedulinya hakim Mediator, sehingga ia kurang memaksimalkan upaya perdamaian. Tidak adanya Hakim yang bersertifikat Mediator. Tidak adanya Mediator dari luar Pengadilan. Jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan agama adalah perkara perceraian. Perkara perceraian yang sudah didamaikan dari kalangan keluarga maupun seseorang yang ditokohkan akan tetapi sudah tidak bisa. Dengan gambaran seperti ini perkara perceraian yang diajukan ke peradilan agama pada dasarnya merupakan perkara perceraian yang sudah sangat rumit sehingga dapat
73
dikatakan bahwa perkawinan mereka sudah pecah. perkara yang susah di mediasi kebanyakan perkara perselingkuhan dan KDRT. 7
Pertanyaan: Bagaimana efektifitas mediasi di pengadilan agama bekasi? Jawaban
:
Menurut saya masalah efektifitas mediasi di pengadilan
agama Bekasi bukan di ukur dari tingkat ke efektifannya akan tetapi dilihat dari prosentase keberhasilan, memang kalau dilihat dari prosentase proses mediasi keberhasilannya memang masih sangat sedikit sekali. 8
Pertanyaan: Bagaimanakah peran mediasi dalam suatu kasus perceraian? Jawaban
: Di dalam kasus perceraian sulit mendamaikan kedua belah
pihak karna perkara yang sudah masuk perkara yang sangat rumit dan hati mereka memang sudah sama-sama sakit, mereka sudah kekeh ingin bercerai. Apalagi mengenai kasus Perselingkuhan dan KDRT itu lebih sulit lagi dalam menangani perdamaian. 9
Pertanyaan : Lalu apakah perbedaan mendasar perma No. 1 tahun 2008 dengan perma sebelumnya yakni (Perma No 2 tahun 2003) sehingga merasa perlu untuk direvisi? Jawaban
: Sebelum adanya Perma No. 1 Tahun 2008 usaha-usaha
perdamain sudah ada akan tetapi sifatnya tidak mengharuskan hanya sebagai pilihan dan dengan adanya Perma No. 1 tahun 2008 hal itu lebih bagus lagi jadi pelaksananaa mediasi itu menjadi sebuah keharusan yang sifatnya lebih kuat lagi untuk mengusahakan perdamaian.
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 01 TAHUN 2008
Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. b. Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif). c.
Bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri.
d. Bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung. e. Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan
77
78
mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. Mengingat :
1. Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Reglemen Indonesia yang diperbahrui (HIR) Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) Staatsblad 1927 Nomor 227; 3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman,
Lembaran Negara Nomor 8 Tahun 2004; 4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 2004 dan Tambahan Lembaran Negara No 4359 Tahun 2004; 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, lembaran Negara Nomor 20 Tahun 1986, sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Lembaran Negara Nomor 34 Tahun 2004; 6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000. 7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006, Lembaran Negara Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4611.
MEMUTUSKAN: PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Perma adalah Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 2. Akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim
79
yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. 3. Hakim adalah hakim tunggal atau majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk mengadili perkara perdata; 4. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya; 5. Kesepakatan perdamaian adalah dokumen yang memuat syarat-syarat yang disepakati oleh para pihak guna mengakhiri sengketa yang merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan bantuan seorang mediator atau lebih berdasarkan Peraturan ini; 6. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian; 7. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator; 8. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian; 9. Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan ini; 10. Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara dan atau usulan penyelesaian sengketa; 11. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung; 12. Proses mediasi tertutup adalah bahwa pertemuan-pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau kuasa hukum mereka dan mediator atau pihak lain yang diizinkan oleh para pihak serta dinamika yang terjadi dalam pertemuan tidak boleh disampaikan kepada publik terkecuali atas izin para pihak. 13. Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. 14. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tinggi dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama.
80
Pasal 2 Ruang
(1)
lingkup dan Kekuatan Berlaku Perma
Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.
(2)
Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini.
(3)
Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(4)
Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Pasal 3 Biaya Pemanggilan Para Pihak
(1)
Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara.
(2)
Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para pihak.
(3)
Jika mediasi gagal menghasilkan kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak dalam proses mediasi dibebankan kepada pihak yang oleh hakim dihukum membayar biaya perkara.
Pasal 4 Jenis Perkara Yang Dimediasi
Kecuali perkara yang diselesaikan melalui
prosedur pengadilan
niaga, pengadilan hubungan
industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
semua sengketa perdata yang diajukan ke
Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.
Pasal 5
81
Sertifikasi Mediator
(1)
Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (6), setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(2)
Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan Pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator.
(3)
Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia; b. memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi; c.
sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan;
d. memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang disahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Pasal 6 Sifat Proses Mediasi Proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain.
BAB II Tahap Pra Mediasi Pasal 7 Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum
(1)
Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.
(2)
Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi.
(3)
Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
(4)
Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau
82
aktif dalam proses mediasi. (5)
Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.
(6)
Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.
Pasal 8 Hak Para Pihak Memilih Mediator
(1)
Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut: a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; b. Advokat atau akademisi hukum; c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; d. Hakim majelis pemeriksa perkara; e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.
(2)
Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.
Pasal 9 Daftar Mediator
(1)
Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, mediator yang memuat
sekurang-kurangnya
Ketua Pengadilan
menyediakan daftar
5 (lima) nama mediator dan disertai dengan
latarbelakang pendidikan atau pengalaman para mediator. (2)
Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator.
(3)
Jika dalam wilayah
pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat,
semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator. (4)
Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator pada pengadilan yang bersangkutan.
83
(5)
Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.
(6)
Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator.
(7)
Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain, karena mutasi tugas, berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku.
Pasal 10 Honorarium Mediator
(1)
Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya.
(2)
Uang jasa
mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan
kesepakatan para pihak.
Pasal 11 Batas Waktu Pemilihan Mediator
(1)
Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.
(2)
Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim.
(3)
Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas.
(4)
Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim.
(5)
Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.
(6)
Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator.
84
Pasal 12 Menempuh Mediasi dengan Iktikad Baik
(1)
Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik.
(2)
Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik. BAB III Tahap-Tahap Proses Mediasi Pasal 13 Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses Mediasi
(1)
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
(2)
Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masingmasing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.
(3)
Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dan (6).
(4)
Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3.
(5)
Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.
(6)
Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.
Pasal 14 Kewenangan Mediator Menyatakan Mediasi Gagal
(1). Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. (2)
Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang
85
dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap.
Pasal 15 Tugas-Tugas Mediator
(1)
Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
(2)
Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
(3)
Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
(4)
Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
Pasal 16 Keterlibatan Ahli
(1)
Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak.
(2)
Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli.
(3)
Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Pasal 17 Mencapai Kesepakatan
(1)
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
86
(2)
Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
(3)
Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik.
(4)
Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian.
(5)
Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
(6)
Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.
Pasal 18 Tidak Mencapai Kesepakatan
(1).
Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebabsebab yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim.
(2).
Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.
(3)
Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan.
(4)
Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan.
Pasal 19 Keterpisahan Mediasi dari Litigasi
(1)
Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara
87
yang bersangkutan atau perkara lain. (2)
Catatan mediator wajib dimusnahkan.
(3)
Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.
(4)
Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.
BAB IV Tempat Penyelenggaraan Mediasi Pasal 20
(1)
Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak.
(2)
Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan.
(3)
Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya.
(4)
Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.
BAB V PERDAMAIAN DI TINGKAT BANDING, KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI Pasal 21
(1)
Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian
terhadap
perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. (2)
Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili.
(3)
Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.
(4)
Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali wajib
88
menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian. (5)
Jika berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas atau memori
banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk
memberi kesempatan para pihak
mengupayakan perdamaian.
Pasal 22
(1)
Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak penyampaian kehendak tertulis para pihak diterima Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
(2)
Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut di tingkat pertama atau di tempat lain atas persetujuan para pihak.
(3)
Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan menunjuk seorang hakim atau lebih untuk menjadi mediator.
(4)
Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak boleh berasal dari majelis hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan pada Pengadilan Tingkat Pertama, terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut.
(5)
Para pihak melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.
(6)
Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dicatat dalam register induk perkara.
(7)
Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) peraturan ini, jika para pihak mencapai kesepakatan perdamaian yang telah diteliti oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan para pihak menginginkan perdamaian tersebut dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, berkas dan kesepakatan perdamaian tersebut dikirimkan ke pengadilan tingkat banding atau Mahkamah Agung.
89
Bab VI Kesepakatan di Luar Pengadilan Pasal 23
(1)
Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
(2)
Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus disertai atau dilampiri
dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa. (3)
Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. sesuai kehendak para pihak; b. tidak bertentangan dengan hukum; c.
tidak merugikan pihak ketiga;
d. dapat dieksekusi. e. dengan iktikad baik.
Bab VII Pedoman Perilaku Mediator dan Insentif Pasal 24
(1)
Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati pedoman perilaku mediator
(2)
Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator.
Pasal 25
(1)
Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator.
(2)
Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang kriteria keberhasilan
90
hakim dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator.
BAB VIII Penutup Pasal 26
Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 31 Juli 2008
KETUA MAHKAMAH AGUNG
BAGIR MANAN