77
BAB III MEDIASI PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA TEGAL DAN PENGADILAN AGAMA BATANG PASCA PERMA NO.1 TAHUN 2008
A. Sejarah Mediasi di Pengadilan Setiap masyarakat memiliki berbagai cara untuk memperoleh kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa, perselisihan atau konflik yang sedang dihadapi. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh kedua belah pihak secara kooperatif, dibantu oleh orang lain atau pihak ketiga yang bersifat netral. Sebelum mengenal hukum tertulis cara yang ditempuh masyarakat adalah berdasarkan kebiasaan yang bersifat informal (hukum adat setempat) kemudian berkembang ke cara formal melalui lembaga-lembaga peradilan berdasarkan hukum tertulis, karena masyarakat tersebut secara berangsurangsur menggunakan cara penyelesaian sengketa yang diakui oleh pemerintah, sebab cara itu dianggap lebih memberikan keadilan dan kepastian hukum. Namun ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pengadilan saat ini menjadikan penyelesaian sengketa atau konflik mulai beralih ke penyelesaian dengan cara non ligitasi, salah satunya menerapkan Alternatif Dispute Resolution (ADR). Istilah ADR relatif baru dikenal di negara Indonesia. Dan dasar hukum negosiasi, mediasi dan konsiliasi belum memiliki ketentuan perundangundangannya yang secara tegas mengaturnya, hanya saja dalam dunia bisnis,
78
praktek ADR bertumpu pada etika bisnis Indonesia, khususnya negosiasi, mediasi dan arbitrase, padahal pola penyelesaian seperti ini bisa dilakukan di daerah-daerah pedesaan di Indonesia berdasarkan hukum adat. Hukum adat di Indonesia sudah biasa dilakukan oleh warga pedesaan untuk menyelesaikan suatu perselisihan. Hanya saja istilah yang digunakan berbeda. Istilah yang dikenal dalam hukum adat tersebut adalah musyawarah untuk mufakat, yang pada hakekatnya sama dengan melakukan negosiasi, mediasi dan arbitrase. Pancasila sebagai dasar filosofi kehidupan bermasyarakat telah mengisyaratkan bahwa asas penyelesaian melalui musyawarah untuk mufakat telah diutamakan, seperti tersirat dalam Undang-Unang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan juga firman Allah dalam Al-Qur‟an Surah Ali Imran ayat 159 yang berbunyi sbb:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya.1 1
Departemen Agama RI, Al Qur‟an dan Terjemahnya., hlm. 103
79
Dalam sejarah peradilan Islam, mediasi dan arbitrase merupakan bentuk penyelesaian perkara yang pertama. Arbitrase telah dikenal oleh orangorang Nasrani yang menyelesaikan sengketa diantara mereka melalui Paus. Demikian juga pada orang-orang Arab. Rasulullah mendapat gelar al-Amin (yang dipercaya) karena mampu menyelesaikan sengketa mengenai hak untuk mengembalikan hajar aswad ke tempat semula setelah direnovasi. Demikian halnya pada masa Rasulullah terdapat sahabat bernama Hani ra (bapaknya Syuraih ra.) dikenal dengan nama Abu al-Hakam, karena kemampuan dia untuk menyelesaikan sengketa diantara kaumnya. Sejarah hukum telah mengklaim bahwa arbitrase muncul sekitar awal abad ke 19 sebagai akibat ketidakpuasan terhadap proses ligitasi. Pada awalnya arbitrase
mampu
menyelesaikan
perkara-perkara
dengan
mengurangi
kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pengadilan. Namun pada dekade selanjutnya, arbitrae bersifat formal dan terpaku pada aturan-aturan yang dibuat arbiter. Pada gilirannya kritik ditujukan kepada pengadilan dan juga ditujukan pada lembaga arbitase. Akan tetapi sampai sekarang arbitrase masih tetap eksis bahkan dijadikan sebagai salah satu mekanisme ADR. Arbitrase dalam Islam sepadan dengan tahkim. Peristiwa arbitrase atau tahkim dalam sejarah Islam yang sangat dikenal adalah peristiwa turunnya tahta kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pada saat berkecamuknya perang antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu`awiyah. Orang-orang dari kelompok Mu‟awiyah mengangkat al-Qur‟an sebagai tanda gencatan senjata.
80
Untuk menyelesaikan pertikaian tersebut, kelompok Mu‟awiyah mengangkat Amr bin `ash dan kelompok Ali bin Abi Thalib mengangkat Ibnu Abbas, masing-masing
sebagai
penengah
(arbiter).
Keduanya
mengadakan
musyawarah dan hasil akhir pada intinya menurunkan Ali bin Abi Thalib dan Mu‟awiyah dari jabatan khalifah. Dengan dalih sebagai penghormatan, Ibnu Abbas yang usianya lebib tua dari Amru bin „Ash diberi kesempatan terlebih dahulu untuk memberikan orasinya. Ibnu Abbas tampil berpidato dan menurunkan Ali bin Abi Thalib dari jabatan khalifah. Selanjutnya Amru bin „Ash tampil di atas mimbar dan berpidato mengangkat Mu‟awiyah bin Abu Sufyan untuk menjadi khalifah. Dari proses tahkim tersebut dapat ditarik beberapa unsur sebagai berikut : 1) Adanya sengketa tentang kepemimpinan antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan Mu‟awiyah bin Abu Sufyan. 2) Kedua belah pihak mempunyai keinginan untuk menyelesaikan sengketa dengan damai. 3) Pihak Ali bin Abi Thalib mengutus Ibnu Abbas dan pihak Mu‟awiyah bin Abu Sufyan mengutus Amru bin „Ash sebagai hakam untuk bersama-sama menyelesaikan masalah. 4) Ibnu Abbas berpidato terlebih dahulu dan menurunkan Ali bin Abi Thalib dari jabatan khalifah. 5) Amru bin „Ash tampil di depan hadirin dan berpidato mengangkat Mu‟awiyah bin Abu Sufyan untuk menjadi khalifah.
81
6) Dengan keputusan yang dikeluarkan oleh arbiter (Ibnu Abbas dan Amru bin‟Ash) sengketa tentang kepemimpinan berakhir. Meskipun sejarah telah mencatat adanya tahkim, namun pada kenyataanya hasilnya tidak sesuai dari kesepakan semula karena kelicikan Amru bin „Ash, sehingga Ali bin Abi Thalib turun dari jabatan kekhalifahannya. Bagi penulis bukan hasil akhir yang menjadi pedoman, namun yang penting adalah telah memberikan gambaran bagaimana proses lembaga arbitrase/hakam berjalan sekaligus mengambil unsur-unsur dari arbitrase secara umum yang dimungkinkan dapat dipergunakan dalam jenis perkara lain. Proses inilah yang akan memberikan gambaran kepada kita, sehingga proses perdamaian tersebut dapat diterapkan pada sistem peradilan Agama. Dalam hal perkara perceraian kewenangan seorang hakam, ulama fiqh berbeda pendapat, apakah jika dia gagal dalam mendamaikan antara kedua belah pihak yang ingin bercerai dia berhak memutuskan perceraian tanpa seijin sang suami. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa seorang hakam juga berhak memutus perceraian para pihak tanpa seijin suami, karena menurut mereka seorang hakam sama dengan pemerintah (pengadilan) yang putusannya harus dilaksanakan.2 Dalam konteks ini tahkim sama dengan arbitrase. Sedangkan Abu Hanifah dan As-Syafi‟i berpendapat bahwa penyelesaian masalah tetap diserahkan kewenangannya pada para pihak (dalam
2
Dahlan Abdul Aziz, 1997, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, hlm. 741.
82
perkara ini suami). 3 Seorang hakam hanya sebatas mediator dan fasilitator dan tidak berhak mengambil keputusan. Dalam konteks ini tahkim sama dengan mediasi. Pada saat ini fungsi hakam pada Pengadilan Agama berjalan secara limitatif, yaitu hanya perkara perceraian yang mempunyai alasan syiqoq (pertengkaran terus menerus). Hal ini jarang sekali dilakukan, mengingat lembaga hakam tidak bersifat imperatif (keharusan) melainkan bersifat fakultatif, terserah kepada Majelis Hakim tentang perlu tidaknya mengangkat hakam. Artinya pengangkatan hakam bukan merupakan keharusan pada setiap perkara perceraian yang mempunyai alasan syiqoq melainkan bersifat kasuistis. Praktek seperti ini dapat disadari karena keterbatasan landasan hukum yang mengatur lembaga hakam pada Peradilan Agama. Pada Pasal 76 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang direvisi dengan UU. Nomor 3 Tahun 2006 kemudian diubah lagi dengan UU. Nomor 5o Tahun 2009, menyebutkan: 1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas syiqoq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri. 2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam. 3
Ibid
83
Memperhatikan pasal tersebut, secara limitatif hanya memfungsikan lembaga hakam pada perkara perceraian karena alasan syiqoq, namun tidak pula secara eksplisit melarang menerapkannya pada perkara lain. Seacara penafsiran a contrario berarti membolehkan penerapan lembaga hakam dalam bentuk perkara selain yang disebutkan dalam pasal tersebut.
B. Gambaran Umum Tentang Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang.
1. Lintasan Sejarah Peradilan Agama di Indonesia Sejarah perkembangan Lembaga Peradilan Agama Islam di Indonesia menurut Tim Penyusunan Buku Peradilan Agama dibagi menjadi 8 (delapan) periode, yaitu : 1. Periode sebelum tahun 1882 2. Periode tahun 1882 sampai dengan tahun 1937 3. Periode tahun 1937 sampai dengan tahun 1942 4. Periode tahun 1942 sampai dengan tahun 1945 5. Periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1957 6. Periode tahun 1957 sampai dengan tahun 1970 7. Periode tahun 1970 sampai dengan tahun 1974 8. Periode tahun 1974 sampai dengan tahun 1989 Pada periode sebelum tahun 1882, sebelum Islam masuk ke Indonesia telah ada dua macam peradilan di Indonesia yaitu : - Peradilan Pradata yang bersumber pada hukum Hindu
84
- Peradilan Padu yang bersumber pada Hukum Indonesia Asli Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad pertengahan Hijriyah atau sekitar abad ke tujuh masehi, yang dibawa oleh para pedagang yang berasal dari Gujarat India, yang sekaligus sebagai da‟i atau mubaligh, maka dalam praktek kehidupan sehari-harinya telah melaksanakan sistem beracara dihadapan hakim yang disebut lembaga qadla
atau lembaga tahkim guna
menyelesaikan sengketa diantara penduduk yang beragama Islam. Lembaga Tahkim ini diduga merupakan cikal bakal perkembangan Peradilan Agama di Indonesia setelah melewati periode Tauliyah Ahlal Halli waal Aqdi dan periode Tauliyah dari Imam. Pada periode tahun 1982 sampai dengan tahun 1937 Lembaga Peradilan Islam sebagai lembaga Hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat dalam masyarakat dimana kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri telah melaksanakan hukum Islam dan melembagakan sistem peradilan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem pemerintahan di Indonesia sehingga tokoh Belanda LWC Van Den Berg berpendapat hukum yang berkembang dan berlaku di Indonesia adalah undang-undang agama mereka yaitu hukum Islam. Teori ini disebut teori “receptio in complexu” yang sejak tahun 1855 didukung peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui Pasal 75, 78 dan pasal 109 RR 1854 (Staatsblad 1855
No.
25). Setelah pasang surut, lalu terbitlah Staatsblad 1882 No. 152 yang tetap mensahkan Peradilan Agama sebelum adanya Staatsblad tersebut dengan
85
alasan pada aturan kebiasaan sejak jaman dahulu dan sebagai tatanan nasional, pendapat ini dimunculkan LWC. Van den Berg yang juga konseptor Staatsblad No. 152. Selanjutnya ada perubahan dari teori receptio yang dimotori oleh Cornellis Van Vollenhoven (1874 – 1933) yang sebenarnya seorang ahli hukum adat, juga didukung oleh Christian Snuock H (1857-1936) yang notabene Penasehat Pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri (pribumi).
Teori ini kemudian disebut Teori Reseptic yang
menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia sebenarnya Hukum Adat Asli dan keberadaan hukum adat ini memang masuk pengaruh hukum Islam sedikit yang baru mempunyai kekuatan jika sudah diterima oleh hukum adat dan lahirnya sebagai hukum adat bukan hukum Islam. Prof. Ter Haar juga termasuk pendukung teori ini disamping beberapa Sarjana Hukum alumni Universitas Belanda. Kemudian dibentuk satu komisi untuk merumuskan peraturan perbaikan Peradilan Agama disebut Comissie Voor Priesterraad pada tahun 1922 – 1924 yang melahirkan Staatsblad 1931 No. 53 yang membatasi Peradilan Agama hanya bidang munakahat saja. Wewenang perkara waris dicabut dan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi (MIT) atau Hooger Islami Aische Zaken. Staatsblad No. 53 ini tidak berjalan, karena Pemerintah Hindia Belanda kesulitan anggaran belanja.
86
Setelah itu terbit Staatsblad 1937 No. 116 dan 610 yang lebih mempersempit kewenangan Pengadilan Agama yaitu mengenai perkawinan saja dan itupun masih dibatasi. Periode selanjutnya adalah periode tahun 1942 sampai 1945, periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1957 ditandai adanya penyerahan pembinaan Peradilan Agama dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama dan keluarnya PP No. 29 tahun 1957 yang mengembalikan kewenangan waris ke kantor Pengadilan Negeri dan mulai ditentukan Pengadilan Agama dimana di tempat tersebut ada Pengadilan Negeri di Propinsi Aceh, maka harus didirikan satu Pengadilan Agama yang susunannya sekurang-kurangnya seorang Ketua, dan sekurang-kurangnya atau sebanyak-banyaknya 8 (delapan) hakim anggota yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. Selanjutnya keluar Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957 yang mengatur pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah di daerah luar Jawa dan Madura.
Periode selanjutnya keluarlah UU No. 19 tahun 1964
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dan disempurnakan dengan UU No. 14 tahun 1970 dimana pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh 4 lingkungan peradilan yaitu : 1. Peradilan Umum 2. Peradilan Agama 3. Peradilan Militer 4. Peradilan Tata Usaha Negara
87
Dengan adanya UU No. 14 tahun 1970 maka keberadaan Peradilan Agama semakin kuat dan kokoh, sehingga sampai tahun 1974 beberapa Pengadilan Agama di Jawa dan luar Jawa terus bertambah jumlahnya. Pada tahun 1974, tepatnya tanggal 2 Januari 1974 RUU Perkawinan yang diajukan Pemerintah kepada DPR tanggal 31 Juli 1974 disahkan dan diumumkan oleh Presiden menjadi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun Peraturan Pelaksanaannya di undang-undangkan melalui Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974. Perkembangan berikutnya lahir Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Selanjutnya RUU Peradilan Agama yang sudah dilakukan persiapan sejak tahun 1982 setelah sebelumnya sejak tahun 1971 Menteri Agama pada saat itu KH. Moh. Dahlan telah meminta kepada Presiden untuk menyusun Draft RUU Peradilan Agama dan disusul pada tahun 1972, yang dijawab Menteri Kehakiman pada tahun 1974 supaya menunggu selesainya RUU Peradilan Umum.
Sehingga pada akhirnya dapat disahkan dan diundang-
undangkan pada tanggal 29 Desember 1989 menjadi UU No. 7 tahun 1989 tantang Peradilan Agama dari Lembaran Negara tahun 1989 No. 49. Tambahan Lembaran Negara No. 3400. Setelah itu pada tanggal 22 Maret 2006 disahkan dan di undangkan pula Amandemen terhadap UU No. 7 tahun 1989 yaitu Undang-Undang No.3 tahun 2006 yang semakin menguatkan eksistensi Peradilan Agama dengan
88
tambahan kewenangan yaitu bidang ekonomi syariah yang seluruhnya menjadi kewenangan mutlak Peradian Agama. 4
2. Gambaran Umum Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Tegal. a. Sejarah dan Profil Pengadilan Agama Tegal Kabupaten Tegal pada awalnya adalah wilayah kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati. Atas jasa Ki Gede Sebayu membangun daerah Tegal menjadi daerah yang maju maka pada tanggal 18 Mei 1601 Masehi atau tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1010 Hijriyah Beliau diangkat oleh Panembahan Senopati sebagai Demang, setaraf dengan Tumenggung di Wilayah Tegal pada tanggal dan tahun tersebut di atas disepakati oleh para sesepuh sebagai hari jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Tegal. Pada tahun 1625 raja Mataram (Sultan Agung Hanyokrokusumo) mengangkat Adipati Martoloyo sebagai Bupati Tegal yang pertama. Dalam Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 sampai dengan tahun 1900 Tegal ditetapkan menjadi Ibukota Karesidenan yang meliputi Kabupaten Tegal, Brebes dan Pemalang yaitu pada tahun 1928. Setiap Kabupaten ditetapkan Asisten Residen, Tahun 1942 Tegal menjadi Kabupaten lagi. Dengan perkembangan /kemajuan yang semakin meningkat baik dalam bidang pertanian maupun bidang lainnya, berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan daerah Kabupaten/Kodya dalam
4
www. Badilag.net. com, dikses tanggal 10 Mei 2013
89
wilayah Jawa Tengah. Wilayah Tegal dibagi 2 (dua) Wilayah Pemerintahan Kabupaten dati II Tegal dan Wilayah Pemerintahan Kotamadya Dati II Tegal. Sesuai perkembangan pemerintah dan perekonomian serta pembangunan di Kabupaten Dati II Tegal maka berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 2 Tahun 1984 Ibukota Pemerintah Daerah Tingkat II Tegal dipindahkan ke Kota Slawi di wilayah Dati II Tegal. Pengadilan Agama Tegal diperkirakan berdiri pada awal tahun 1900 M. (seribu sembilan ratus Masehi) tanggal yang pasti sulit ditentukan karena sebagai akibat sering berpindahnya Kantor Pengadilan Agama Tegal tidak sedikit dokumen yang hilang. Pada fase pertama pusat kegiatan / kantor Pengadilan Agama Tegal mengalami 4 (empat) kali pindah tempat yaitu: Pertama di serambi Masjid Agung Tegal, Kemudian sewa / kontrak di Gang Basole, Desa Panggung. Selanjutnya pindah ke Jalan Hos Cokroaminoto no. 54 Tegal. Pada tahun 1981 barulah Pengadilan Agama Tegal memiliki gedung milik negara Cq. Departemen Agama seluas 150 M2 di atas tanah seluas 650 m2 (DIP 1980/1981) sebesar Rp. 12.242.000.- (duabelas juta dua ratus empat puluh dua ribu rupiah) tidak termasuk harga tanah sebesar Rp. 3.500.000,- (Tiga juta lima ratus ribu rupiah) yang diperoleh dari dana pembinaan. Yang terletak di jalan Lele nomor 16 Tegal. Pada tahun Anggaran 2007 melalui DIPA Nomor : 0111.0/00501.0/XIII/2008 tanggal 31 Desember 2007 Pengadilan Agama Tegal
90
memperoleh Belanja Modal Pengadaan tanah sebesar Rp. 3.957.127.000,- dan telah di realisasikan untuk pengadaan tanah guna Pembangunan gedung/kantor Pengadilan Agama Tegal yang terletak di jalan Mataram No. 6 Kelurahan Sumurpanggang, Kecamatan Margadana, Kota Tegal seluas 5.412 m2. Kemudian pada tahun anggaran 2008 Pengadilan Agama Tegal memperolah Belanja Modal Pembangunan gedung kantor melalui DIPA Pengadilan Agama Tegal nomor : 0111.0/005-01.0/XIII/2008 tanggal 31 Desember 2007 sebesar Rp.
5.442.272.000,-
dan
telah
direalisasikan
membangun
sebuah
gedung/kantor Pengadilan Agama Tegal dua lantai seluas 1.700 m2. b. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Tegal berdasar : KMA/150/II/1994
dan
Keputusan
Menteri
Kehakiman
RI
No.06.AT.01.01.1982 tanggal 26 Juni 1982. yaitu wilayah Pengadilan Negeri Tegal meliputi Kotamadia ditambah 2 (dua) Kecamatan, wilayah Kabupaten Tegal yaitu Kecamatan Kramat dan Kecamatan Dukuhturi. Surat Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor. PTA.k/K/355/87 tanggal 26 Nopember 1987, yaitu wilayah hukum Pengadilan Agama Tegal sama dengan wilayah hukum Pengadilan Negeri Tegal meliputi Kotamadia ditambah 2 (dua) Kecamatan, Kecamatan Kramat dan Kecamatan Dukuhturi.5 3. Gambaran Umum Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Batang. a. Sejarah dan Profil Pengadilan Agama Batang Sebagaimana kita ketahui bahwa Kabupaten Batang dulunya merupakan wilayah dari Kabupaten Pekalongan maka pada saat itu bagi 5
Surat Edaran Pengadilan Tinggi Agama Semarang, PTA.k/K/355/87 tanggal 26 Nopember 1987
91
masyarakat
pencari keadilan yang memerlukan penyelesaian melalui
Pengadilan Agama, adalah datang ke Pengadilan Agama Pekalongan. Namun sejak terbentuknya daerah tingkat II Kabupaten Batang berdasarkan UU No. 9 tahun 1965, maka sangat diperlukan adanya Pengadilan Agama di Batang. Setelah terbentuknya Kabupaten Batang dan berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI, N0.90 tahun 1967 tanggal 2 Agustus 1967 tentang Pembentukan Kantor Cabang Pengadilan Agama Batang, maka Bapak K.H. Mohammad Sowwam selaku Kepala Jawatan Peradilan Agama Propinsi Jawa Tengah di Semarang mengadakan orientasi ke daerah Kabupaten Pekalongan dalam rangka mencari calon yang pantas menduduki jabatan sebagai ketua di Pengadilan Agama Batang.
Setelah mendapat gambaran calon-calon yang
diambil dari kepala-kepala KUA Kecamatan dan ada 3 orang calon, masingmasing adalah : 1. K. Mohasan Kepala KUA Kecamatan Tersono 2. K.H. Maksum Kepala KUA Kecamatan Lumpung 3. K. Chumaidi Kepala KUA Kecamatan Kedungwuni Sedangkan dari Bapak-Bapak Alim Ulama lainnya ditawari tidak bersedia, pada akhirnya atas bantuan sidang Syuriah Nahdlatul Ulama Kabupaten Batang menyetujui bahwa sdr. K.H. Maksum agar menerima kaputusan sidang syuriah tersebut untuk menjadi Ketua Pengadilan Agama Batang, oleh karena K. Mohasan dan K. Chumaidi ditawari untuk menjadi Ketua Pengadilan Agama Batang beliau semuanya menolak.
92
Dengan keluarnya surat Kepala Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Batang tanggal 12 Juni 1968 Nomor 230/DI/EI/2/1968 perihal undangan peresmian Pengadilan Agama Kabupaten Batang pada hari Sabtu 22 Juni 1968 pukul 09.00 WIB di Pendopo Asistenan Batang, secara resmi Ketua Pengadilan Agama Batang dilantik dengan disertai pelaksanaan sumpah jabatan oleh Bapak K.H. Moh.Sowwam (Kepala Jawatan Peradilan Agama Propinsi Jawa Tengah) disetai Bapak Asnawi dan Bapak Sungkono. Setelah dilantik Ketua Pengadilan Agama Batang (K.H. Maksum) juga langsung menerima penyerahan wilayah (daerah yurisdiksi) Pengadilan Agama Batang dari Ketua Pengadilan Agama Pekalongan (Bapak K.H. Mohammad Nur) dan sesaat setelah melantik, dalam pidato pelantikan yang disampaikan Bapak K.H. Moh. Sofwam, beliau langsung membekali Ketua Pengadilan Agama Batang yang baru dilantik berupa: - 1 (satu) buah palu ukir jepara. - 1 (satu) buah taplak meja hijau - 1 (satu) buah mesin tulis tua. Untuk melaksanakan tugas/sidang Pengadilan Agama hanya dengan bekal itulah beliau memulai bekerja dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Adapun kantor, peralatan kantor dan sarana-sarana lainnya belum ada, tenaga personil baru seorang Ketua dan Panitera.
Meskipun demikian
keadaannya, Pengadilan Agama Batang mulai bekerja, waktu itu sementara masih bertempat di rumah sdr. Siti Rohmah, desa Kauman, Jalan Jenderal Ahmad Yani Batang dengan hanya berbekalkan palu ukir, taplak meja hijau
93
dan mesin ketik. Adapun mengenai meja dan kursi masih pinjam kepada tuan rumah sampai bulan September 1968, namun belum genap empat bulan, tepatnya pada bulan Agustus 1968 pindah ke rumah sdr. Machaly (Sekretaris Kantor Departemen Agama Kabupaten Batang) selama 1 tahun dan pindah lagi ke rumah Ny Qomariah di desa Proyonanggan Batang sampai bulan Pebruari 1970.
Pada bulan Maret 1970 pindah ke rumah sdr. Solichin desa Kauman
Batang yang mendapat pinjaman meja, kursi, bangku dan lemari serta mendapatkan tambahan 1 orang pegawai sampai pada bulan April 1971. Pada bulan Mei 1971 pindah ke rumah Ibu Sarkumi desa Kauman Batang, jalan Ahmad Yani sampai bulan Juni 1972, dan pada bulan juli 1972 pindah lagi ke rumah Ibu Umi Salamah desa Kauman Batang, pada saat itu di samping mendapat pinjaman kursi dan meja, Pengadilan Agama juga sudah mulai dapat membeli meja, kursi dan lemari, serta mendapatkan tambahan 2 orang pegawai. Kemudian pada tanggal 1 Desember 1976 pindah lagi ke jalan Gajah Mada No. 1210 Batang mengontrak di rumah Bapak Raden Partodijoyo bin Suleman dengan biaya kontrak sebesar Rp 200.000,- selama dua tahun, karena rumahnya cukup besar yaitu ada 7 ruang kamar, bahkan pada saat itu mulai menunjukkan adanya kemajuan, terbukti dengan banyaknya alat-alat kantor yang mampu dibelinya seperti mesin tulis, mebeuleir dan lain-lainnya. Dalam hal penanganan perkara terjadi peningkatan jumlah perkara yang ditanganinya, semenjak berlaku Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dari
94
penanganan perkara yang hanya berkisar 7 perkara menjadi rata-rata 100 perkara pada waktu tahun 1976 s/d tahun 1978. Dari banyaknya perkara yang harus ditangani mengakibatkan terlupakannya kewajiban Pengadilan Agama Batang terhadap kewajibannya untuk memperpanjang sewa kontrak rumah (kantor) yang berbuntut pada teguran dari yang mempunyai rumah dan berkelanjutan pada kesepakatan dari tuan rumah yang memberikan 2 (dua) alternatif untuk membeli rumah atau meninggalkannya.
Pengadilan Agama Batang kemudian menghubungi
Pengadilan Tinggi Agama di Surakarta, namun Pengadilan Tinggi Agama (PTA) hanya memberi saran supaya menghubungi langsung kepada Direktur Peradilan Agama Jakarta dan usaha ini menghasilkan dana sebesar Rp 4.500.000,- dan langsung digunakan untuk membeli tanah dan sebuah gedung di jalan Gajah Mada No. 1210 Batang dengan luas areal tanah 1280 m2. Pada tahun 1975 tepatnya ketika ada Penataran Panitera Pengadilan Agama dan Pegawai Pencatat Nikah, diumumkan tentang rencana akan dibangunnya balai sidang Pengadilan Agama Batang oleh Bapak H.A Wasit Aulawi M.A. dan Bapak Mochtar Zarkasi S.H. akan tetapi pelaksanaannya baru terwujud pada tahun 1979. Jadi sejak tahun 1979 Pengadilan Agama Batang telah mempunyai Gedung Balai sidang yang wajar dan ditambah bangunan gedung lama yang terletak di atas tanah seluas 1280 m2 di jalan Gajah Mada No. 1210 Batang.6 b. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Batang
6
www. Pengadilan Agama Batang, diakses tanggal, 2 Juni 2013.
95
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Batang meliputi daerah tingkat II Batang, terdiri dari 12 kecamatan, yaitu : 1. Kecamatan Batang 2. Kecamatan Warung Asem 3. Kecamatan Wonotunggal 4. Kecamatan Tulis 5. Kecamatan Bandar 6. Kecamatan Blado 7. Kecamatan Subah 8. Kecamatan Reban 9. Kecamatan Bawang 10. Kecamatan Limpung 11. Kecamatan Gringsing 12. Kecamatan Tersono Adapun jumlah penduduk Kabupaten Batang menurut sensus penduduk tahun 2011 berjumlah 713.942 Jiwa dan penduduk Kabupaten Batang yang beragama Islam berjumlah 73 %. 4. Yurisdiksi atau Kewenangan Mengadili Pengadilan Agama di Indonesia sejak dibentuknya berdasarkan pada Staatblad 1882 Nomor 152, yang mengatur Peradilan Agama di Jawa dan Madura, dimana dalam peraturan ini belum ada ketentuan yang jelas mengenai wewenang Pengadilan Agama.
96
Pada waktu awal dibentuknya Pengadilan Agama, perkara-perkara yang masuk ke dalam kekuasaan wewenang Pengadilan Agama yakni perkaraperkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, shadaqah, baitul mal dan wakaf. Namun sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Hindia Belanda dengan Staatblad 1937 Nomor 116 Pasal 2 ayat (1), Pengadilan Agama tidak lagi mempunyai wewenang mengadili perkara kewarisan, tetapi dalam kenyataan masih banyak masyarakat Islam Indonesia yang menghendaki penyelesaian masalah-masalah kewarisan diselesaikan menurut ketentuan hukum Islam. Pengadilan Agama tidak menolak apabila ada perkara kewarisan yang diajukan kepadanya, namun terbatas dalam menyelesaikan “memberikan fatwa”. Dasar penerimaan ini adalah Surat Edaran Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Nomor : b./III/227/1952, tanggal 8 Januari 1995 tentang Kompetensi Pengadilan Agama dan Sekitar Pembagian Maal Waris (Harta Waris). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan masalah-masalah sebagai berikut : 1) Izin poligami (beristeri lebih dari satu orang), Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (2); 2) Izin kawin, Pasal 6 ayat (5) ; 3) Dispensasi kawin, Pasal 7 ayat (2); 4) Pencegahan perkawinan, Pasal 13 jo Pasal 17 ayat (1);
97
5) Penolakan perkawinan, Pasal 22, 23, 24,25, dan 26; 6) Pembatalan perkawinan, Pasal 22, 23, 24,25, dan 26; 7) Perjanjian perkawinan, Pasal 29; 8) Kedudukan harta benda dalam perkawinan, Pasal 35, 36 dan 37; 9) Perceraian, Pasal 36,39 dan 40; 10) Hadlonah (pemeliharaan anak) apabila terjadi perceraian, Pasal 41; 11) Kedudukan anak, Pasal 42 dan 43; 12) Nafkah Iddah, Pasal 41 huruf (c); 13) Pencabutan kekuasaan orang tua / wali, Pasal 49, 50 dan 51; 14) Penolakan perkawinan campuran, Pasal 60; 15) Biaya penghidupan bekas isteri, Pasal 41 huruf (c); 16) Biaya pemeliharaan anak, Pasal 41 huruf (c); 17) Penentuan kedudukan anak sah/tidak sah atas dasar tuduhan zina, Pasal 40 ayat (1); 18) Pencabutan kekuasaan orang, Pasal 49 ayat (1); 19) Penunjukan dan pencabutan kekuasaan wali, Pasal 53 ayat (2). Setelah lahir Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang direvisi dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan revisi kedua dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dalam Bab III Pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa perkara-perkara di tingkat pertama, antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum islam, c) wakaf dan Shadaqah. Selanjutnya pada tanggal 10 Juni 1991
98
dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai pedoman dan atau pegangan Pengadilan Agama. Adapun kewenangan Pengadilan Agama Kajen dalam hal wilayah yurisdiksi, meliputi semua wilayah Kabupaten Pekalongan. Kewenangan Pengadilan Agama diatur secara limitatif dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 02/MA/Kumdil/1973/IV/1990, tanggal 03 April 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Setelah diundangkannya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang direvisi lagi dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : 1) Perkawinan, 2) Waris, 3) Hibah, 4) Wakaf, 5) Zakat, 6) Infaq, 7) Shadaqah 8) Ekonomi Syari‟ah Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku dan dilakukan menurut syari‟ah. Sedangkan yang dimaksud ekonomi syari‟ah
99
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah. Tujuan utama tentang kewenangan mengadili ini adalah untuk menentukan pengadilan mana berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul agar gugatan atau permohonan diajukan ke pengadilan tidak salah alamat. Sebab jika pengajuannya keliru, mengakibatkan gugatan/permohonan tidak dapat diterima atas alasan pengadilan yang dituju, tidak berwenang mengadilinya. Atau dengan kata lain, gugatan yang diajukan berada di luar yurisdiksi pengadilan tersebut.7 Untuk mengetahui perkara itu menjadi wewenangnya atau tidak, adalah setelah gugatan / permohonan dibacakan, apakah Tergugat / Termohon dalam jawabannya baik secara lisan atau tertulis disertai dengan tangkisan (esepsi) terhadap isi gugatan/permohonan atau tidak. Jika ada Tangkisan, maka isinya agar pengadilan menolak gugatan Penggugat / permohonan Pemohon, karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang diajukan Penggugat/Pemohon, baik kewenangan absolut maupun kewenangan relatif. Majelis Hakim dalam memeriksa suatu perkara, sebelum meneruskan kepada pokok perkara, terlebih dahulu memeriksa kewenangan mengadili terhadap kasus yang ditangani. Apabila isi gugatan/permohonan tidak sesuai dengan kewenangan mengadili sebagaimana yang telah ditentukan pada Pasal 49 dan 50 ayat (2) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU. No. 3 Tahun 2006 kemudian direvisi lagi dengan UU. No. 50 Tahun 2009,
7
M. Yahya HarahapI, Kedudukan kewenangan eksekusi bidang perdata t. hlm. 180
100
maka
gugatan/permohonan
tersebut
tidak
diterima,
karena
isi
gugatan/permohonannya menjadi wewenang di lingkungan peradilan lain. Begitu juga apabila ternyata isi gugatan/permohonannya menjadi kewenangan Pengadilan Agama, namun diajukan di wilayah hukum (domisili) yang berbeda, maka Majelis Hakim memerintahkan kepada Pemohon/Penggugat untuk mencabut perkaranya dan mengajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahinya. 5. Prosedur
dan
Proses
Pemeriksaan
Perkara
Perceraian di
Persidangan a. Prosedur Penerimaan Perkara Perkara masuk ke pengadilan diawali dari adanya gugatan/ Permohonan dari Penggugt/Pemohon. Setelah gugatan / permohonan masuk, pihak pengadilan memproses dengan urutan sebagai berikut: a) Pendaftaran Perkara Penerimaan berkas perkara dilakukan di sub kepaniteraan gugatan atau sub kepaniteraan permohonan, dengan prosedur sebagai berikut: (1) Meja Pertama Membuat Surat Kuasa untuk Membayar (SKUM) rangkap 3 (tiga) dan menyerahkan
SKUM
tersebut
kepada
Penggugat/Pemohon
serta
menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonannnya kepada Penggugat/Pemohon setelah mendapat nomor register pendaftaran.
101
Penggugat/Pemohon membayar uang panjar biaya perkara ke bank berdasarkan SKUM. Pihak bank mengembalikan asli dan tindasan pertama SKUM kepada Penggugat/Pemohon setelah dibubuhi cap tanda lunas. (2) Meja Kedua Menerima surat gugatan/permohonan dari Penggugat/ Pemohon sebanyak jumlah Tergugat / Termohon ditambah 4 rangkap untuk keperluan Majelis Hakim. Memasukkan asli gugatan/permohonan ke dalam map merah untuk permohonan cerai talak dan map kuning bagi permohonan cerai gugat dengan melampirkan tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berhubungan dengan gugatan, untuk disampaikan kepada Wakil Panitera, selanjutnya berkas gugatan/permohonan tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera. (3) Meja Ketiga Menyusun atau mempersiapkan berkas. Menyerahkan salinan putusan Pengadilan Agama kepada pihak yang berkepentingan b) Penetapan Majelis Hakim Asas persidangan adalah pemeriksaan perkara dilakukan oleh Majelis Hakim yang sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan yang obyektif guna memberikan perlindungan keadilan kepada para pihak. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterimanya perkara tersebut, Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Agama harus sudah menunjuk Majelis
102
Hakim melalui surat penetapan yang dicatat dalam buku khusus. Setelah itu Ketua Majelis Hakim memberikan surat gugatan/permohonan kepada Hakim Anggota untuk mempelajari secara seksama terhadap surat gugatan/ permohonan. c) Penetapan Hari Sidang Berdasarkan Penetapan Majelis Hakim (PMH) dari Ketua Pengadilan, maka Ketua Majelis Hakim dapat menentukan Penetapan Hari Sidang (PHS) selambat-lambatnya dalam waktu dua minggu setelah berkas diterima dari Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Agama. Selanjutnya pengadilan akan memeriksanya dalam masa 30 hari setelah pendaftaran. Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada Juru Sita Pengganti untuk memanggil para pihak agar hadir di muka persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan. Dalam praktek di Pengadilan Agama, apabila Majelis Hakim telah menentukan hari sidang, kemudian Juru Sita Pengganti telah memanggil para pihak untuk mengahdiri sidang yang telah ditentukan, namun sebelum sidang pertama dilaksanakan, pihak Penggugat mencabut gugatannya, maka pihak pengadilan memerintahkan agar pencabutan dilaksanakan di depan sidang sesuai hari dan tanggal yang telah ditentukan Majelis Hakim. Pencabutan perkara yang telah ditetapkan hari sidang agar dilakukan di depan sidang itu didasarkan tidak adanya aturan hukum baik dalam HIR maupun R.Bg. yang mengatur tata cara pencabutan, disamping itu juga dalam rangka tertibnya administrasi perkara (pola pembinaan dan pengendaliam
103
administrasi) terutama hal-hal yang menyangkut
biaya perkara dan
memudahkan dalam pelaksanaan minutasi perkara. 8
Secara ringkas alur penerimaan perkara dapat digambarkan sebagai berikut : Surat Gugatan
Majelis Menentukan Hari Sidang
Pemeriksaan perkara sesuai dengan hari dan tanggal yang telah ditentukan
Didaftarkan di Kepaniteraan Perdata
Membayar Ongkos Perkara
KPA Menunjuk Majelis Hakim
Panitera Memberikan Surat gugatan ke KPA
b. Proses Pemeriksaan Perkara Perceraian di Persidangan
8
Wawancara Pribadi dengan Syaefuddin, SH., Panitera Sekretaris Pengadilan Agama Kajen, Tanggal 8 Januari 2010.
104
Bahwa hukum acara perdata yang berlaku di pengadilan untuk wilayah pulau Jawa dan Madura HIR (het herziene Indonesisch reglement/ reglemen Indonesia yang diperbaharui) yang merupakan produk hukum Belanda S. 1848 no. 16 jo. S. 1941 nomor 44. Sedangkan untuk luar Jawa Madura menggunakan RBg
(Reglement
Buitengewesten/
reglemen
daerah
seberang)
yang
diberlakukan berdasarkan S. 1927 Nomor 227. Berlakunya HIR dan RBg. sebagai ketentuan beracara di pengadilan perdata memang ditunjuk oleh undang-undang nasional, yaitu Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Disamping dua aturan tersebut, dalam praktek digunakan juga aturan lain, seperti Rv (Recht Reglement op de Burgelijke rechtsvordering) yang semula digunakan untuk golongan Eropa dan BW (burgelijke wetboek) khususnya buku ke IV. Sebagai pedoman beracara, maka dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan harus tunduk pada aturan tersebut, Tidak diterapkannya Hukum Acara sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka produk yang dihasilkan pengadilan batal demi hukum. Sebagaimana permohonan/gugatan
perkara akan
pada
umunnya,
berlangsung
dalam
pemeriksaan tahapan-tahapan,
perkara yaitu
pemeriksaan identitas, perdamaian, pemeriksaan pokok perkara, pembuktian dan putusan. a) Pemeriksaan Identitas. Penyebutan identitas dalam surat gugatan / permohonan merupakan syarat formil keabsahan gugatan/permohonan. Surat gugatan/permohonan yang
105
tidak menyebut identitas para pihak, apalagi tidak ada menyebut identitas Tergugat, menyebabkan gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Pemeriksaan identitas, bertujuan untuk mengetahui data pribadi pemohon/penggugat mengenai nama lengkap, umur, perkerjaan, agama, dan alamat tempat tinggalnya. Pemeriksaan identitas pemohon/penggugat yang perlu diperhatikan lebih serius adalah mengenai nama, agama dan tempat tinggal. Maksud mencantumkan nama lengkap termasuk alias dan gelar untuk membedakan orang tersebut dengan orang lain yang kebetulan namanya sama pada lingkungan tempat tinggal. 9 Sedangkan maksud dicantumkannya agama dan tempat tinggal adalah untuk mengetahui di lingkungan peradilan mana yang berwenang memeriksa gugatan / permohonan tersebut. Di samping itu rasio dicantumkannya alamat atau tempat tinggal, untuk menghindari tindakan kesewenang-wenangan Tergugat. Sebab jika perubahan alamat sesudah gugatan diajukan dibenarkan mengakibatkan gugatan cacat formil, perubahan itu akan dimanfaatkan Tergugat
yang
beriktikad tidak
baik untuk
melumpuhkan dan mempermainkan penggugat dan peradilan. Jika perubahan setelah perkara didaftarkan dibenarkan, maka perkara tersebut tidak dapat diselesaikan. b) Mediasi dan Perdamaian dalam Perkara Perceraian Pada sidang yang telah ditentukan, pertama kali yang dilakukan Majelis
Hakim 9
adalah memeriksa
identitas para pihak,
selanjutnya
Abdul Kadir Muhammad, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 41.
106
menanyakan maksud dan tujuan datang ke pengadilan serta menanyakan apakah gugatan/permohonan yang diajukan sudah dipikirkan secara matang dan sudah bulat. Majelis Hakim memberikan nasehat dan pengertian tentang akibat hukum dan konsekuensi-konsekuensi jika terjadi perceraian, terutama kelangsungan terhadap kejiwaan anak-anak. Untuk itu, Majelis Hakim menjelaskan prosedur mediasi yang harus ditempuh oleh para pihak sesuai dengan isi Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 1 Tahun 2008 terhadap semua perkara contensius tanpa kecuali, selanjutnya pada saat itu juga mewajibkan para pihak untuk melakukan mediasi. Ketua Majelis membuat surat penetapan penunjukan mediator kepada salah seorang hakim sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan, selanjutnya sidang ditunda untuk mediasi dan sekaligus menentukan hari dan tanggal sidang berikutnya. Pada hari itu Panitera Pengganti mengantarkan para pihak melalui satpam mengantarkan pihak yang berperkara ke ruang mediasi dan menyerahkan berkas perkara kepada Mediator. Mediator Pada hari itu melaksanakan mediasi, hal ini dimaksudkan untuk memenuhi asas sederhana, cepat dan biaya ringan, namun jika para pihak menghendaki hari lain, maka dengan kesepakatan bersama, mediator menentukan hari dan tanggal dilaksanakan mediasi. 10 Mediasi merupakan bagian dari hukum acara yang terintegrasi ke dalam prosedur berperkara, oleh karena itu harus masuk dalam proses pemeriksaan perkara, hakim dalam pertimbangan putusan wajib menyebutkan 10
2014.
Wawancara Pribadi Ketua Majelis Pengadilan Agama Tegal, Tanggal 7 Maret
107
bahwa perkara tersebut telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediatornya. Semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama termasuk perkara perceraian, sebelum diteruskan pemeriksaan pokok perkara wajib
melalui
mediasi,
namun
dalam
hal
ketidakhadiran
pihak
Tergugat/Termohon, ada perbedaan pendapat, ada majelis yang melaksanakan mediasi, namun ada juga yang tidak melaksanakan mediasi. Setelah dilaksanakan mediasi, mediator menulis hasil mediasi dalam buku register mediasi dan menyerahkan berkas perkara kepada Majelis Hakim melalui Panitera Pengganti dengan disertai hasil pelaksanaan mediasi dengan salah satu kategori yaitu : mediasi gagal, tidak layak dimediasi atau mediasi berhasil. Apabila mediasi tidak berhasil, maka Majelis Hakim melanjutkan pemeriksaan pada pokok perkara pada hari dan tanggal yang telah ditentukan. Pada setiap sidang Majelis Hakim tetap selalu mengupayakan perdamaian. c) Pemeriksaan Pokok Perkara Sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku, dalam persidangan pemeriksaan perkara perceraian, dihadirkan pihak pihak secara pribadi di muka persidangan. Khusus pemeriksaan perkara perceraian dilakukan sidang tertutup untuk umum. Kehadiran Penggugat / Pemohon dalam persidangan, akan diperiksa mengenai alasan/motif mengajukan perceraian. Karena banyak motif yang menjadi
dorongan
dan
latar
belakang
seseorang
mengajukan
108
gugatan/permohonan perceraian tidak didasarkan pada fakta yang sebenarnya, bahkan alasan yang diajukan Penggugat/Pemohon dan atau jawaban yang disampaikan Tergugat / Termohon di muka persidangan dibuat-buat sedemikian rupa dengan maksud untuk mempermudah terjadinya perceraian. Majelis Hakim yang memeriksa perkara benar-benar memperhatikan alasan-alasan yang dijadikan dasar gugatan. Apabila alasan-alasan yang dikemukakan dalam posita benar-benar terjadi dan sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, maka gugatan / permohonannya dipertimbangkan. d) Pembuktian Dalam tahap pembuktian, hakim harus teliti dalam memeriksa alatalat bukti. Pemeriksaan terhadap alat bukti merupakan tahap yang strategis, dengan berdasar pada alat bukti itu hakim membuat pertimbangan hukum dalam membuat putusannya. Alat bukti yang diperlukan dalam gugatan / permohonan perceraian adalah antara lain berupa bukti surat dan saksi. Di antara bukti surat yang terpenting adalah Akte Nikah Penggugat/Pemohon. Tanpa adanya akte nikah maka perceraian tidak akan terjadi, karena terjadinya perceraian didahului dengan pernikahan. Bukti
keterangan
saksi
juga
diperlukan
dalam
pemeriksaan
gugatan/permohonan perceraian. Bukti keterangan saksi diperlukan terutama untuk mengetahui keadaan rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon
109
atau Penggugat dengan Tergugat yang sebenarnya. Bila dimungkinkan Majelis Hakim menghadirkan keluarga masing-masing untuk didengar keterangannya di muka persidangan guna mengetahui sejauh mana pertengkaran dan perselisihan yang terjadi diantara para pihak. Apabila dalil gugatannya telah didukung dengan alat bukti dan tidak melawan hak serta sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka gugatan penggugat / Permohonan Pemohon dapat dikabulkan.
e) Putusan Setelah dengan seksama memeriksa Penggugat / Pemohon dan pihak lainnya,
serta
meneliti
Penggugat/pemohon,
dengna
hakim
cermat
melakukan
bukti-bukti musyawarah
yang
diajukan
secara
rahasia.
Musyawarah berusaha mencapai mufakat, apabila tetap tidak tercapai, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Bahkan apabila pendapat ketua majelis sebagai pendapat minoritas, yang dijadikan putusan adalah suara anggota.11
C. Mediasi Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang. Penumpukan sekaligus peningkatan
jumlah angka perceraian di
Indonesia beberapa tahun terakhir merupakan fakta yang tidak bisa dihindari. Meskipun demikian, ditinjau dari segi sejarah, angka perceraian di negara ini 11
Anomus, 1998, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Buku II, Mahkamag Agung, Edisi Revisi Jakarta, hlm. 102-103.
110
sesungguhnya bersifat fluktuatif. Hal itu dapat dibaca dari hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA12. Berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2009. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Wahyu Widiana, bahwa mayoritas perkara di Pengadilan Agama se Indonesia adalah perkara mengenai keluarga bermasalah (perceraian), setiap tahun rata-rata sekitar 91 % dari jumlah semua jenis perkara13. Begitu juga di Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan menunjukan bahwa, jumlah perkara perceraian (cerai talak dan cerai gugat) yang diterima di masing-masing Pengadilan Agama dalam lima ( 5) tahun ke belakang adalah, lihat tabel di bawah ini. Tabel 2 Data Statistik Perkara Perceraian Diterima di Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang tahun 2009 s/d tahun2013 Tahun
12
Nama Pengadilan Tegal
Batang
2009
652
1585
2010
645
1704
www. Badilag.net. diakses tanggal 24 Januari 2014 Dalam Wahyu Widiana, “ Pola Penasehatan Keluarga Bermasalah:Peranan Mediasi Sebagai Alternative“ Makalah, Rakernas BP4, Jakarta, 2006, hlm,2. Lihat juga dalam Ditjen Badilag, Statistik Perkara Laporan Tahunan tahun 2009, Mahakamah Agung, Jakarta, 2010. hlm. 25 13
111
2011
762
1853
2012
862
2000
2013
901
2015
Jumlah
2960
9157
Sumber: laporan tahunan PA Tegal dan PA Batang tahun 201314
Data
tersebut
mengindikasikan
bahwa,
perkara
perceraia
di
Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang menunjukan jumlah yang tinggi. Apabila jumlah tersebut diperbandingkan dengan jumlah total perkara lainnya, prosentasenya juga tidak sepadan. Misalnya pada tahun 2009, jumlah perkara lain yang masuk di Pengadilan Agama Tegal (izin poligami, harta bersama, kewarisan dan lain-lain), jumlah total 25 perkara, dan di Pengadilan Agama Batang 44 perkara. Padahal pada tahun 2009, jumlah perkara perceraian yang masuk, misalnya untuk Pengadilan Agama Tegal adalah 652 perkara. Maka logika perbandingannya adalah 652: 25. Bahkan Untuk Pengadilan Agama Batang yaitu 1629 : 44. Ini membuktikan bahwa, jumlah perkara perceraian di seluruh Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang memang masih terjadi penumpukan perkara
dibandingkan
dengan perkara lain. Masih dalam wacana di atas, hal tersebut masih ditambah dengan sisa perkara tahun sebelumnya. Jumlah sisa perkara pada setiap akhir tahun tentu menjadikan proses penanganan perkara perceraian juga semakin menumpuk. Dari data yang berhasil dihimpun, jumlah sisa perkara perceraian yang belum berhasil diputus dan juga masih dalam proses di Pengadilan Agama Tegal dan
14
Laporan Tahunan PA Tegal Dan PA Batang
112
pengadilan Agama Batang adalah sebagai berikut. Lihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3 Data Statistik Sisa Perkara Perceraian Akhir Tahun di PA Tegal dan PA Batang per tahun 2009 s/d tahun 2013
Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
PA Tegal 144 146 143 213 223
PA Batang 444 473 546 610 586
Sumber: laporan tahunan Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang15
Data tersebut mengindikasikan bahwa, sisa akhir perkara perceraian setiap tahunnya di masing-masing Pengadilan Agama tersebut juga masih menunjukan angka yang signifikan. Artinya, dengan adanya sisa perkara tersebut penumpukan perkara semakin tidak bisa dihindari. Pada tahun 2009 misalnya, jumlah perkara perceraian yang diterima di Pengadilan Agama Tegal adalah sebanyak 652 perkara, sedangkan sisa perkara perceraian pada akhir tahun 2009 sebanyak 144 perkara, sehingga hal tersebut menambah jumlah perkara menjadi 652 + 144 = 796 perkara, begitu seterusnya untuk tahun-tahun berikutnya ( lihat tabel 2 dan 3) . Di Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang, sebagaimana yang terdapat dalam tabel di atas, dimana jumlah perkara perceraian yang masuk pada setiap tahunnya tidak begitu banyak dibandingkan dengan di Pengadilan Agama Brebes menduduki peringkat paling tinggi di wilayah Eks Karesidenan Pekalongan, adanya sisa perkara tentu menjadi problem tersendiri untuk segera dicari pemecahannya. misalnya pada tahun
15
Laporan Tahunan PA Tegal dan PA Batang.
113
2009, dimana jumlah perkara perceraian pada Pengadilan Agama Batang yang diterima pada tahun tersebut adalah sebanyak 1585 perkara, sedangkan sisa perkara perceraian pada akhir tahun 2009 adalah sebanyak 444 perkara, maka jumlah perkara menjadi 1585 + 444 = 2029 perkara. Sedangkan apabila dilihat dari faktor-faktor terjadinya perceraian, dari ke dua Pengadilan Agama tersebut dipicu oleh salah satu pihak meninggalkan kewajiban. Meninggalkan kewajiban ini disebabkan oleh karena salah satu pihak tidak bertanggung jawab, faktor ekonomi di rumah tangga dan dikarenakan pula sejarah perkawinan para pihak yang dipaksa oleh orang tua. Pemicu kedua adalah perselisihan terus-menerus. Perselisihan dalam perkawinan yang berujung pada peristiswa perceraian ini disebabkan oleh ketidak harmonisan dalam rumah tangga serta adanya. gangguan pihak ketiga. Persoalan moral pun memberikan andil untuk pemicu krisis keharmonisan rumah tangga. Faktor moral juga bisa menyebabkan pasangan suami isteri berujung di persidangan pengadilan agama. Faktor moral ini misalnya, pemabuk, penjudi, selingkuh, poligami tidak sesuai aturan (poligami tidak sehat), krisis akhlak dan cemburu yang berlebihan. Pemicu selanjutnya adalah kekerasan dalam rumah tangga dan salah satu pasangan mengalami cacat biologis yang menyebabkan tidak bisa melaksanakan kewajiban. Perkawinan di bawah umur dan salah satu pihak dijatuhi pidana oleh pengadilan juga menjadi salah satu faktor pemicu perceraian di Pengadilan Agama.16
16
Data laporan tahunan perkara dilihat dari faktor yang menyebabkannya di seluruh PA Tegal dan PA Batang mulai tahun 2009 s/d 2013.
114
Secara fakta, penyebab perceraian merupakan faktor yang saling kait mengkait. Artinya, antara faktor satu dengan faktor lainnya tidak berdiri sendiri secara
tunggal.
Misalnya,
perceraian
yang
disebabkan
oleh
faktor
ketidakharmonisan. Faktor ini bisa saja terjadi karena tidak bertanggung jawab, faktor ekonomi, moral/krisis akhlak atau bahkan penganiayaan. Jadi pengelompokan faktor-faktor tersebut berdasarkan pada faktor dominan yang mendasari pada perkara perceraian tersebut. Hal ini juga dipertegas oleh Drs. Abd. Adhim, MH ( hakim Pengadilan Agama Batang) 17 Berdasarkan hasil yang diperoleh di lapangan, perbandingan jumlah perkara yang diterima dengan jumlah perkara yang berhasil dimediasi di kedua Pengadilan Agama tersebut, sangatlah tidak seimbang. Misalnya, di Pengadilan Agama Batang per tahun 2009, jumlah perkara perceraian yang diterima adalah 1585 perkara, dan perkara yang dimediasi berjumlah 347 perkara, sedangkan perkara yang berhasil dimediasi hanyalah 10 perkara. jumlah perkara yang berhasil di mediasi, menjadi indikator keberhasilan dari proses pelaksanaan mediasi oleh para mediator yang bersangkutan. Seorang mediator yang handal, tentu akan berusaha untuk bisa menyelesaikan perkara yang dimediasi, sehingga mediasi tersebut berhasil. Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah ini. Tabel 4 Data Jumlah Perkara Perceraian yang berhasil dimediasi di Pengadilan Agama Tegal dan pengadilan Agama Batang tahun 2009 s/d 2013
Tahun 17
Tegal
Batang
Keterangan
Wawancara pada tanggal 4 April 2014 , pukul 10.30 WiB
115
2009
0
0
2010
17
10
2011
0
3
2012
1
6
2013
2
6
Jumlah
20
25
Belum ada yang berhasil
Sumber: Data Laporan tahunan Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang18
Data
tersebut
mengindikasikan
bahwa,
di
masing-masing
Pengadilan Agama tersebut, jumlah perkara perceraian yang berhasil melalui jalur mediasi sangat sedikit, apalagi jika dibandingkan dengan jumlah perkara yang diterima di masing-masing Pengadiilan Agama ( lihat tabel 2 mengenai perkara perceraian yang diterima). Di Pengadilan Agama Batang yang jumlah perkaranya lebih menumpuk dibandingkan dengan Pengadilan Agama Tegal, yaitu misalnya per tahun 2010, jumlah perkara yang diterima adalah 1585 perkara, sedangkan jumlah perkara yang berhasil dimediasi hanya 10 perkara, sehingga perbandingannya adalah 1585 : 10 perkara. Sedikitnya jumlah perkara yang berhasil dimediasi di kedua Pengadilan Agama tersebut, mengandung arti bahwa mediasi perkara perceraian banyak yang gagal. Akan tetapi meskipun mediasi perkara perceraian banyak yang gagal, bukan berarti tidak ada manfaatnya sama sekali.
18
Laporan Tahunan PA Tegal dan PA Batang.
116
Sebagaimana yang disitir oleh hakim Pengadilan Agama Tegal19, bahwa mediasi yang gagal atau suami isteri tidak berhasil didamaikan/ rujuk, bukan berarti mediasi tidak ada manfaatnya sama sekali, karena meskipun mediasi tersebut gagal, dalam realitasnya tetap membantu untuk lebih mempermudah penanganan perkara, terutama perkara-perkara yang menyertai perkara perceraian tersebut. Misalnya, pembagian harta bersama atau gono-gini, hak pemeliharaan anak dan nafkah anak.
1. Tahapan-tahapan Mediasi. Secara umum, di kedua Pengadilan Agama, tahapan proses mediasi perkara perceraian mengacu pada ketentuan yang ada dalam Pasal 13 Perma No.1 Tahun 2008, dengan fariasi perbedaan dalam pelaksanaannya antara Pengadilan Agama yang satu dengan lainnya. Akan tetapi perbedaan tersebut secara signifikan tidak keluar dari jalur ketentuan yang ada dalam Perma No. 1 Tahun 2008. Di Pengadilan Agama Batang dan Tegal proses mediasi perkara perceraian rata-rata hanya selama 14 s/d 21 hari kerja. Menurut salah satu hakim Pengadilan Agama Tegal, hal tersebut terjadi karena menumpuknya perkara perceraian, sehingga proses mediasi kalau terlalu lama akan menghambat penyelesaian perkara perceraian20. Bahkan di kedua Pengadilan
19
Wawancara Drs. Abd. Adhim, MH (hakim Pengadilan Agama Batang) tanggal 2 Mei 2014, pukul 10.30 WIB 20
Wawancara Dra. Hj. Nafilah MH, tanggal 2 Mei 2014 pukul 12.30 WIB
117
Agama tersebut, mediator langsung ditunjuk dan ditetapkan oleh Majelis Hakim dengan mediator hakim pengadilan dan tahap penyerahan resume hanya diberikan selama 1 (satu) hari kerja setelah sidang pertama dan proses mediasi selama 2 minggu ( 14 hari kerja). Adapun tahapan proses mediasi Perkara Perceraian di kedua Pengadilan Agama adalah sebagai berikut: 1) Tahap pra mediasi Pada tahap ini, para pihak yang berperkara mendapatkan tawaran dari hakim yang menangani perkara, setelah sidang pertama untuk menggunakan jalur mediasi dengan menunjuk mediator hakim pengadilan di mana proses perkara perceraian dilakukan atau menggunakan mediator di luar pengadilan sebagai pihak ketiga yang membantu penyelesaiaan sengketa mereka dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Tahap ini diberikan selama 1 (satu) hari kerja setelah sidang pertama. Setelah para pihak melakukan sepakat, mediator mana yang akan ditunjuk dalam mediasi perkara mereka, maka proses mediasi mulai dilakukan. Akan tetapi apabila para pihak dalam waktu satu hari kerja belum menentukan mediatornya, maka majelis hakim menetapkan mediator hakim yang ada di pengadilan tersebut. 2) Proses mediasi 1. Setelah penunjukan mediator, dalam waktu paling lama lima (5) hari kerja para pihak wajib menyerahkan foto copi dokumen yang memuat duduk perkara, foto copi surat-surat lain yang diperlukan dan hal-hal lain terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak. Kegunaan dokumen ini untuk dipelajari mediator tentang duduk perkara, sehingga
118
mediator bisa mengetahui faktor penyebab sengketa. Sedangkan dokumen yang diberikan kepada masing-masing pihak dimaksudkan sebgai upaya agar para pihak masing-masing bisa mempelajari berkas satu sama lainnya. 2. Mediator kemudian menentukan jadwal pertemuan dan tempat mediasi untuk menyelesaian proses mediasi. Apabila diperlukan dipanggil juga saksi ahli atas persetujuan para pihak, dan semua biaya jasa ahli ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Dalam tahap ini yang dilakukan mediator adalah: pertama,
memberikan penjelasan
mengenai posisi dirinya dan maksud dari adanya mediasi tersebut dalam rangka membantu menemukan solusi atas sengketa mereka dan kedua, mengemukakan aturan mediasi kepada para pihak. 3. Mediator mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingannya dan mencari berbagai pilihan bagi penyelesaian terbaik bagi keduanya. Apabila diperlikan, kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya dapat dilakukan dengan persetujuan para pihak. 3) Tahap akhir mediasi. Jangka waktu proses mediasi di pengadilan Agama paling lama adalah 40 (empat puluh) hari kerja, dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 (empat belas) hari kerja. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak, dan hakim dapat mengukuhkannya sebagai sebuah akta
119
perdamaian. Akan tetapi apabila tidak tercapai kesepakatan atau gagal, maka hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Untuk lebih jelas, alur administrasi sampai pada tahapan proses mediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang, lihat bagan di bawah ini.
BAGAN 1 ALUR ADMINISTRASI MEDIASI
Surat Gugatan
Penentuan hari Sidang
Diberikan kepada Panitera PA
Ketua PA Menunjuk Majelis Hakim
Membayar Ongkos Perkara
Diberi No. Register Perkara
120
Hari Pertama Sidang (hakim mewajibkan para pihak menempuh mediasi
Gugatan diserahkan kepada Ketua PA
BAGAN 2 Proses Mediasi di Pengadilan Agama
Ketua Majelis Hakim Menunjuk Mediator dengan Penetapan Atas Kesepakatan Para Pihak
Mediator dapat menunjuk co-mediator atau mediator non hakim atas persetujuan para pihak
Mediasi Berhasil: Mediator melaporkan secara tertulis Kepada
Panitera menyerahkan kepada: a. Mediator : (1) Salinan surat gugatan;(2) Surat Penetapan penunjukan Mediator b. Panitera muda Perdata, berupa salinan penetapan penunjukan mediaor untuk dicatat dalam register mediasi Proses Mediator menetukan Mediasi : jadwal pertemuan max 40 Hari mediasi dan mewajibkan para pihk hadir
121
Mediasi tidak berhassil: mediator melaporkan secara tertulis kepada ketua majelis dan PP melaporkan kepada Panmud Perdata untuk dicatat dalam register Mediasi
Ketua Majelis menentukan harii sidang , untk melanjutkan pemeriksaan perkara
Apabila dalam Proses pemeriksaan perkara ( litigasi) para pihak sepakat untuk mediasi dan mohon pada salah satu hakim majelis menjadi mediator maka pemeriksaan ditunda dicatat dalam BAP
Tahapan pelaksanaan proses mediasi yang terkesan hanya sekedar formalitas untuk memenuhi ancaman batal dari Perma Nomor.1 tahun 2008, terdapat di kedua Pengadilan Agama. Hal ini terjadi, karena mediator di kedua Pengadilan Agama tersebut berasal dari hakim, dan tidak ada mediator non hakim. Sehingga dengan adanya mediasi justeru menambah pekerjaan para hakim yang sekaligus menjadi mediator menjadi semakin menumpuk dan juga tidak adanya fee bagi mediator hakim. Sebagaimana diungkapkan oleh Drs. Abd. Adhim, MH (hakim Pengadilan Agama Batang)21, “ Para hakim bukan tidak mau menjadi mediator, karena tugas mendamaikan para pihak secara otomatis sudah melekat pada hakim sebagaimana yang diamanahkan dalam peraturan perundangan....akan tetapi dengan adanya proses mediasi tentu menyita waktu tersendiri bagi para hakim yang memang pekerjaaanya sudah begitu banyak.... solusi yang paling baik adalah di setiap PA, harus ada
21
Wawancara Drs. Abd. Adhim, MH (hakim Pengadilan Agama Batang) tanggal 4 April 2014 Pukul 11.00 WIB.
122
mediator non hakim” .Ungkapan tersebut di “iya” kan oleh beberapa hakim lain. 2. Mediator Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang Mediator adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian sengketa para pihak dan tidak melakukan intervensi terhadap pengambilan kepuutusan. Mediator menjembatani pertemuan para pihak, melakukan negosiasi, menjaga dan mengontrol proses negosiasi, menawarkan alternatif solusi dan secara bersama-sama para pihak merumuskan kesepakatan penyelesaian sengketa. Keputusan akhir penyelesaian sengketa bukan ada pada mediator akan tetapi ada pada para pihak. Mediator hanya membantu mencari jalan keluar, agar para pihak mau berhadapan muka untuk secara damai menyelesaikan sengketa yang sedang menimpa keduanya. Sebagai pihak ketiga, mediator harus mendapatkan kepercayaan ( trust) dari para pihak yang bersengketa. Kepercayaan yang diberikan para pihak ini, sebagai modal awal yang akhirnya dengan mudah medoiator bisa memfasilitasi para pihak untuk menemukan solusi yang terbaik bagi keduanya. Di Pengadilan Agama, mediator bisa dari hakim dan /atau non hakim yang telah bersertifikat. Mediator dari hakim pengadilan menjalankan tugas mediasi setelah ada penunjukan dari ketua majelis hakim. Hakim yang bertindak sebagai mediator, adalah
bukan hakim yang sedang menangani
perkara yang dimediasi, akan tetapi hakim lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara yang sedang diperiksa. Sedangkan mediator non hakim adalah
123
mediator yang ditunjuk oleh para pihak dengan syarat boleh diajukan ke pengadilan sebagai mediator, jika telah memiliki sertifikat sebagai mediator. Di Pengadilan Agama Tegal dan pengadilan Agama Batang, dalam perkara perceraian, para mediator yang ditunjuk oleh para pihak hampir semuanya berasal dari mediator hakim. Sebagaimana hasil interprestasi wawancara di lapangan bahwa, hal tersebut terjadi karena, tidak ada daftar mediator non hakim di kedua Pengadilan Agama tersebut; para pihak hanya ditawari mediator yang namanya tercantum dalam daftar mediator di Pengadilan Agama, padahal para mediator yang ada dalam daftar tersebut semua adalah mediator dari hakim, para pihak tidak pernah ada yang tahu siapa dan dimana mencari mediator non hakim, . dengan menunjuk mediator dari hakim, biaya mediasi tidak dipungut, lebih percaya pada para mediator hakim pengadilan dan tidak mau “ribet”. Hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh para pihak (34), yang sedang menjalani proses perkara perceraian di Pengadilan Agama Tegal “ Urusan ini sudah saya pasrahkan semua sama pak hakim, jadi saya manut saja dan nda mau “ ribet‟, yang penting cepet selesai dan prosesnya mudah. Biayanya juga tidak banyak “22 Sedangkan ungkapan dari para pihak (28) yang sedang berperkara di Pengadilan Agama Tegal, justeru tidak paham siapa itu mediator “ mediator itu kan ya memang pak hakim yang nyidang cerai saya, apa boleh orang luar ikut nyidang di pengadilan, yang pernah saya dengar waktu itu pak hakim menyebutkan saya disuruh memilih daftar dan saya bilang 22
Wawancara Para pihak (Tarno) tanggal 8 April 2014, pukul 11.15 WIB
124
saya serahkan semua pada pak hakim saja dan saya manut-manut saja..... biar semua cepet selesai dan tidak “ ribet” juga todak habis uang banyak.... saya juga sudah percaya sama pak hakim disini kok, buktinya sekarang perkara saya sudah hampir selesai ......” 23 Sedangkan jumlah mediator dari hakim di masing masing Pengadilan Agama Tersebut adalah sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 5 Data Jumlah Mediator Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang tahun 2013 Nama N pengadilan Agama
Mediator
Mediator Non
Hakim
Hakim
1
PA Tegal
5
-
2
PA Batang
6
-
1 2 Sumber: Masing –masing Pengadilan Agama Batang dan Tegal24
Tabel tersebut mengindikasikan bahwa mediator non hakim di kedua Pengadilan Agamatersebut memang tidak ada. Hal ini terjadi karena memang tidak ada mediator bersertifikat yang mengajukan permohonan di masingmasing Pengadilan Agama. Selain itu, jumlah mediator hakim di masingmasing Pengadilan Agama tersebut sudah memenuhi standar minimal jumlah yang ditetapkan oleh Perma No. 1 tahun 2008 yaitu minimal 5 orang mediator, 23
24
Wawancara Para pihak (Murni) tanggal 9 April 2014 Pukul 9.30 WIB Data Daftar Mediator di PA Tegal dan PA Batang.
125
Akan tetapi apabila jumlah mediator tersebut diperbandingkan dengan jumlah perkara perceraian yang diterima, maka tidak sebanding ( lihat tabel 2). Artinya bahwa, di kedua Pengadilan Agama tersebut memang masih membutuhkan tambahan mediator lagi, terutama dari kalangan non hakim. Masih dalam wacana di atas, misalnya di Pengadilan Agama Batang, jumlah mediator hakim di Pengadilan Agama Batang sebanyak 6 orang dan jumlah perkara yang diterima misalnya tahun 2009 sebanyak 1585 perkara, perbandingannya adalah 1585 : 6 = 264. Jadi untuk satu (1) orang mediator menangani sebanyak 264 perkara /tahunnya. Di Pengadilan Agama Tegal, jumlah mediator hakim adalah 5 orang dan jumlah perkara yang diterima tahun 2009 adalah 661 perkara, perbandingannya adalah 661 :5 = 132 pertahun/ per mediator.
Perbandingan jumlah tersebut, akan membawa dampak pada
penanganan proses mediasi yang hanya bersifat formalitas dan akhirnya banyak yang tidak berhasil atau gagal, kecuali . para pihak ada yang menunjuk mediator non hakim. 3. Skill Mediator Hakim Pengadilan Agama di Pengadilan Agama Tegal dan Pengadilan Agama Batang Ketrampilan mediator menjadi hal yang sangat menentukan bagi berhasilnya proses mediasi. Oleh karena itu seorang hakim yang menjadi mediator harus mempunyai ketrampilan dan kemampuan sebagai seorang mediator. Ketrampilan ini, bisa diperoleh melalui berbagai pelatihan atau training dan dipertajam melalui
pengalaman di lapangan ketika mereka
menangani sengketa para pihak. Oleh karena itu, terkait dengan hal tersebut
126
dipersyaratkan bagi para mediator mempunyai sertifikat, sehingga bisa diketahui apakah mediator tersebut telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk menjalankan fungsi mediator. Ketrampilan para mediator hakim di masing-masing Pengadilan Agama tersebut, apabila diukur dari pelatihan, kursus yang pernah mereka ikuti dan sertifikat yang mereka peroleh, dalam realitasnya sangat minim. Sebagian besar para mediator hakim di kedua Pengadilan Agama tersebut, tidak bersertifikat, ada yang hanya pernah mengikuti sosialisasi tentang mediasi yang diselenggarakan oleh Pengadilan Tinggi Agama Semarang, Selain itu menurut mereka, ketrampilan mediator sudah mereka dapatkan dari pengalaman selama menjadi hakim, yaitu karena salah satu tugas hakim adalah mendamaikan para pihak, sehingga mediasi sudah bukan hal yang baru menurut mereka. Lain lagi dengan Dra. Hj Nining Yuningsih, MH (Hakim PA Tegal), beliau pernah mengikuti pelatihan khusus tentang mediasi di Mahkamah Agung pada awal tahun 2009 dan mendapatkan sertifikat mediator.25 Persoalan keluarga adalah persoalan yang sangat sensitif dan membutuhkan konsentrasi penuh untuk merekatkan kembali hubungan emosional yang retak. Oleh karena itu memahami situasi dan kondisi suami isteri membutuhkan kemampuan khusus, yaitu kemampuan interpersonal dan komunikasi mediator sehingga para pihak mau mengemukakan “uneg-uneg” mereka untuk diketahui informasinya mengenai sebab-sebab sengketa yang ternyadi antara mereka secara lebih dalam dari hati ke hati. Kepercayaan yang 25
Wawancara Dra. Hj Nining Yuningsih, MH (Hakim PA Tegal ) tanggal 8 April 2014 pukul 13.30 WIB.
127
dimiliki mediator juga harus dibangun, agar kedua pihak percaya kepada mediator tersebut terkait dengan semua hal yang menurut mereka menjadi privasi bahkan “aib” bagi rumahtangga. Oleh karena itu, ketika seorang hakim mejalankan tugas dan fungsinya sebagai mediator, maka bahasa atau komunikasi yang digunakan oleh hakim tentu tidak akan sama dengan bahasa ketika mereka berada di ruang sidang dalam proses litigasi. Hakim yang biasa menggunakan bahasa adjudikatif, akan membawanya ke ruang mediasi yang akhirnya menjadikan mediasi tidak bedanya dengan forum sidang litigasi. Hal ini terjadi dalam realitas di kedua Pengadilan Agama tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang hakim dari Pengadilan Agama Tegal (tidak mau disebut namanya), “ bahwa hal yang paling sulit ketika menjadi mediator adalah menata bahasa yang bisa dipahami para pihak dan memilah bahasa adjudikatif dan non adjudikatif.
Apalagi menghadapi suami-isteri yang sedang sama-sama
“panas” hatinya, sangatlah sulit, ketika disuruh berbicara yang terjadi malah saling menuduh, menyalahkan dan akhirnya justeru bertengkar. Terus terang saya pernah “ kaku” hati menghadapi mereka dan biasanya dengan tegas saya mengatakan „ lho jenengan itu disuruh rukun dan disuruh rembukan baik-baik malah bertengkar, kalau jenengan begitu terus selesaikan saja di ruang sidang.....‟ ”26 Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa, berbahasa adalah proses latihan yang panjang. Ketika seorang biasa terlatih menggunakan bahasa “ A” 26
Wawancara Drs. Ahmad Yani, SH, tanggal 10 April 2014. Pukul 15.30
128
dia akan secara otomatis menggunakan bahasa “ A” meski dia seharusnya menggunakan bahasa “ B”. Apalagi kondisi yang dihadapi adalah sama, yaitu sama-sama pada kondisi yang secara otomatis akan direspon dengan bahasa “ A” tersebut. Bekerja
sebagai
mediator
memang
merupakan
kerja
yang
membutuhkan banyak keterampilan untuk memproses penyelesaian sengketa melalui pengelolaan terhadap pemecahan masalah secara ilmiah dan alamiah, dalam menganalisis sengketa atau konflik. Dengan kata lain mediator harus dapat membangun kerangka kerja dalam proses pengambilan putusan para pihak yang bersengketa, secara kooperartif dengan memperhatikan aspek fisik, emosional dan prosedural sekaligus. Aspek fisik yang harus diperhatikan adalah tempat dan suasana dalam proses mediasi. Aspek emosional berkaitan erat dengan suasana kejiwaan pihak yang bersengketa, sehingga mediator dapat dengan tepat merumuskan kalimat yang menyejukkan perasaan mereka. Sementara aspek prosedural, mediator haruslah dapat membantu membuat schedule perundingan, merumuskan butir kesepakatan dan mekanismenya pengambilan keputusan bersama. 27 4. Pandangan Hakim dan Para Pihak terhadap Mediasi Perkara Perceraian Budaya penyelesaian sengketa secara damai, sebenarnya telah menjadi sesuatu yang mengejawantah dalam realitas kehidupan bangsa ini. Sebut saja, ada lembaga lokal yang dalam istilah Jawa dinamakan “ rembug desa”. 27
90-92
Mas Ahmad Santosa dkk., Tipologi dan Proses Mediasi, IICT, Jakarta, 2004, hlm
129
Lembaga ini menjadi ajang penyelesaian masalah yang dihadapi bersama antar seluruh masyarakat desa untuk diselesaikan dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah ini, paling banyak dilakukan dalam lingkup RT maupun RW. Mediator dalam konteks tradisional ini, biasanya dimainkan oleh orang yang memiliki kekuasaan, baik kekuasaan yang dibangun atas dasar karisma (Kyai/Ustadz-ah, tokoh masyarakat, dan lain-lain) ataupun kekuasaan formal, aparat pemerintah. Di lingkup peradilanpun, mendamaikan juga sudah menjadi hal yang biasa dilakukan dalam proses litigasi. Seorang hakim pada sidang pertama, diamanahkan oleh peraturan untuk mendamaikan para pihak yang berperkara terlebih dahulu sebelum mereka menuju pada sidang berikutnya. Berangkat dari realitas tersebut, sebenarnya suatu hal yang sudah tidak asing lagi ketika mediasi menjadi bagian yang terintegrasi dalam perkara di lingkup lembaga peradilan. Akan tetapi, hal tersebut tentu tidak bisa dikatakan sebagai suatu yang niscaya ketika masyarakat memang masih merasa asing mendengar istilah mediasi. Hal tersebut terjadi sebenarnya hanya pada istilah yang memang benar-benar baru bagi masyarakat, meskipun mereka sudah terbiasa melakukanya ataupun biasa terjadi dilingkungan masyarakat Indonesia secara luas. Berdasarkan
hasil
wawancara
dengan
para
pihak,
dapat
diinterprestasikan bahwa, mereka baru mengetahui istilah mediasi tersebut saat mereka berperkara. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sumiati (39), bahwa “ Saya baru mengetahui istilah mediasi ketika diberitahu oleh pak hakim,
130
yang saya tahu mediasi itu damai, dan biar saya bisa rujuk dengan suami saya, tapi saya tidak akan pernah mau rujuk sama suami saya meskipun pak hakim nyuruh saya rujuk demi anak-anak, nda usah pak hakim, pak Kyai aja nyuruh saya rujuk tapi saya nda mau kok ”28. Sedangkan menurut Rani yang sedang menyelesaikan perkara perceraiannya di Pengadilan Agama Tegal menyatakan bahwa“ Saya tidak mau damai dengan suami saya yang telah menyakiti saya dan bahkan mengajukan cerai ke Pengadilan.... saya sakit hati dan tidak akan pernah damai ( rujuk) lagi.... meski disuruh pak hakim....” 29 Bahkan Sunarto (24), tidak pernah mendengar kata mediasi tersebut meskipun dia telah menjalankan proses mediasi, sebagai mana yang diungkapkannya” Mediasi saya tidak tahu, saya hanya lulus SD dan saya serahkan semua masalah saya pada pak hakim, jadi semua yang dikatakan pak hakim saya lupa, yang penting masalah rumah tangga saya ini cepet
selesai,
jadi saya hanya mengiyakan apapun yang dikatakan pak hakim, tapi kalau damai saya tahu...musyawarah saya tahu.... rembukan saya tahu... masak saya suruh rembukan sama orang yang selalu ngajak saya bertengkar dan meninggalkan saya dan anak-anak saya pergi sama laki—laki lain yang lebih berduit dari saya ( isteri: pen).... melihat wajahnya saja saya benci....”30. Dari ketiga ungkapan tersebut mengindikassikan bahwa, perkara perceraian adalah perkara yang memang sulit dimediasi. Karena melibatkan suasana hati dan konflik yang intens dari rasa yang tersakiti. Selain itu, budaya 28
Wawancara Rani (Para pihak) tanggal 1 April 2014 pukul 10.30 WIB
29
Wawancara Sunarto (Para pihak) tanggal 1 April 2014 Pukul 11.00 WIB
30
Wawancara Sunarto (Para pihak) tanggal 1 April 2014 pukul 10.30 WIB
131
damai yang memang kadang kurang disadari dari suami-isteri yang sedang konflik, untuk bisa diajak duduk bersama memecahkan masalah secara damai tidak ada dalam realitas ini. Egoisme masing-masing pihak, merasa paling benar dan merasa paling baik menjadi salah satu tembok yang sulit ditembus ketika suami isteri ini sudah merubah rasa cinta mereka menjadi rasa benci bahkan dendam. Sedangkan menurut pandangan para hakim, perkara perceraian bukan perkara yang mudah untuk dimediasi, kecuali perkara-perkara yang menyertai perkara percerain tersebut (perkara kumulatif) , misalnya gono-gini, nafkah lalu, pengasuhan anak dan lain-lain. Akan tetapi bukan berari mediasi yang gagal tidak membawa dampak baik pada perkara perceraian, karena meskipun mediasi gagal akan tetap bisa membantu proses perkara yang “alot” menjadi lebih mudah di tangani. Selain itu, menurut pandangan para hakim, dalam konteks perkara perceraian ini, seorang suami yang ketika perkaranya sudah masuk ke Pengadilan Agama, pasti mempunyai rasa “gengsi” untuk mencabut perkaranya tersebut ( damai dengan isterinya). Rasa gengsi yang tinggi dari seorang suami ( laki) adalah realitas yang ada dalam masyarakat kita. Sebagaimana yang kita tahu, kulture patriarkhi yang sudah mengejawantah dalam masyarakat kita, menjadikan posisi laki-laki merasa lebih tinggi dibandingkan perempuan, sehingga ketika seorang laki-laki sudah memutuskan sesuatu untuk isterinya, atau sebaliknya isterinya mengajukan gugat cerai untuk dia, egoismenya sebagai orang yang merasa mempunyai kedudukan lebih
132
tinggi dalam ranah apapun dalam rumah tangga, mulai muncul. Harga diri yang merasa terlalu tinggi karena disebut sebagai makhluk laki-laki akan mengalahkan semua logika yang telah dibangun dalam pikiran dan perbuatannya.