BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK-HAK TERTANGGUNG DALAM ASURANSI JIWA A. Ruang Lingkup Asuransi Jiwa 1.
Pengertian Asuransi Jiwa Dalam Asuransi, kita mengenal bermacam-macam istilah. Asuransi dalam
bahasa Belanda disebut verzekering yang berarti pertanggungan atau asuransi dan dalam bahasa Inggris disebut insurance. 1 Sedangkan dalam praktek sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang banyak dipakai orang istilah Asuransi (Assurantie). Istilah pertanggungan umumnya digunakan dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan tinggi hukum di Indonesia, sedangkan istilah asuransi banyak digunakan dalam praktik dunia usaha. 2 Istilah pertanggungan melahirkan istilah penanggung (verzekeraar) dan tertanggung (verzekerde). Istilah asuransi melahirkan assurador atau assuradeur penanggung) dan geassuraarde (tertanggung). 3 Menurut Pasal 246 KUH Dagang, asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian di mana seseorang penangggung dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinya kepada tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerusakan, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang akan dideritanya karena kejadian yang tidak pasti.
1
J.C.T.Simorangkir,dkk, Kamus Hukum, 2009, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 182 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 6 3 Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, 2006, FH UII PRESS, Yogyakarta, 2
hal. 194
14 Universitas Sumatera Utara
15
Dari definisi yang dirumuskan Pasal 246 KUH Dagang tersebut, dapat ditarik beberapa unsur yang terdapat di dalam asuransi, yakni : a. Ada dua pihak yang terkait dalam asuransi, yakni penanggung dan tertanggung; b. Adanya peralihan risiko dari tertanggung kepada penanggung; c. Adanya premi yang harus dibayar tertanggung kepada penanggung d. Adanya unsur peristiwa yang tidak pasti (onzeker vooral, evenement); dan e. Adanya unsur ganti rugi apabila terjadi sesuatu peristiwa yang tidak pasti. Definisi tersebut di atas, oleh KUH Dagang dimaksudkan sebagai pengertian asuransi pada umumnya, yang berlaku baik-baik untuk asuransi kerugian maupun asuransi jumlah. 4 Wirdjono Projodikoro menulis dalam buku Hukum Asuransi Indonesia, pengertian asuransi adalah suatu pertanggungan yang melibatkan dua pihak, sau pihak sanggup menanggung atau menjamin, dan pihak lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin akan dideritanya sebagai akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya. Selanjutnya Santoso Poejosubroto, memberikan definisi asuransi pada umumnya adalah perjanjian timbal balik dalam mana pihak penanggung dengan mana menerima premi, mengikatkan dirinya untuk memberikan pembayaran kepada pengambil asuransi atau orang yang ditunjuk, karena terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti disebutkan dalam perjanjian baik karena pengambil
4
Ibid., hal. 195
Universitas Sumatera Utara
16
asuransi atau tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa tadi mengenai hidup kesehatan atau validitet seorang penanggung. Sedangkan Mehr dan Cammack menulis dalam buku Principles of Insurance menyatakan bahwa pengertian asuransi adalah suatu pengalihan risiko (transfer of risk). 5 Adapun definisi yang lebih luas dari asuransi yaitu diberikan dalam Pasal 41 New York Insurance Law. Menurut ketentuan Pasal 41 New York Insurance Law ini: The Insurance contract is any agreement or other transaction where by one party herein called the insurer, is obligated to confer benefit of precuniary value upon another party, herein called the isured of beneficiary, dependent up on the happening of a fortuitous event in which the insured or beneficiary has, or expected to have the time of such happening a material interest which will be adversely affected by the happening of such event. A lortuitous event is any occurance or failure to occur which is, or is assumed by the parties to be a substantial extended beyond the control of either party. (Perjanjian asuransi adalah suatu persetujuan atau transaksi dengan orang lain dimana satu orang di dalam hal ini disebut penanggung, diwajibkan untuk memberikan perlindungan yang ada manfaatnya bagi pihak yang lainnya, inilah yang disebut dengan tertanggung atau penerima manfaat. Peristiwa apa yang secara kebetulan terjadi yang menimpa tertanggung atau penerima manfaat, atau merugikan harta benda yang diasuransikan yang menyebabkan kerugian dari peristiwa tersebut. Peristiwa atau kejadian tersebut terjadi di luar dari kehendak para pihak). 6 Definisi tersebut menggunakan kata-kata to confer benefit of precuniary value, tidak digunakan kata-kata confer indemnity of precuniary value. Pengertian benefit tidak hanya meliputi ganti kerugian terhadap harta kekayaan, tetapi juga meliputi pengertian “yang ada manfaatnya” bagi tertanggung. Jadi, termasuk juga pembayaran sejumlah uang pada asuransi jiwa. Defenisi dalam Pasal 41 New York Insurance law meliputi asuransi kerugian (Schade Verzekering) dan asuransi 5
Asuransi. Dalam http://hizbut-tahrir.or.id/2015/08/31/asuransi/ diakses pada tanggal 19
Mei 2016 6
Pengertian Perjanjian Asuransi. Dalam http://www.sanabila.com/2015/11/pengertianperjanjian-asuransi.html diakses pada tanggal 19 Mei 2016
Universitas Sumatera Utara
17
sejumlah uang (Sommen Verzekering). Rumusan tersebut juga lebih luas daripada rumusan Pasal 246 KUHD. 7 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 menyatakan bahwa “Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a.
Memberikan penggantian kepada tertangung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b.
Memberikan pelayanan yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.” Dunia asuransi juga sering memakai istilah usaha perasuransian. Usaha
perasuransian merupakan kegiatan usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Pasal 1 angka 4, usaha perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.
7
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
18
Jika dihubungkan dengan asuransi jiwa maka fokus pembahasan diarahkan pada Pasal 1 angka (1) butir (b) Undang-Undang No 40 tahun 2014. Asuransi Jiwa dapat diartikan sebagai suatu perjanjian asuransi yang kewajiban penanggung untuk membayar sejumlah uang kepada tertanggung didasarkan kepada meninggal atau hidupnya seseorang. Di Indonesia mengenai asuransi jiwa ini pengaturannya terdapat dalam Buku I Bab X Bagian Ketiga mulai Pasal 302 s.d. Pasal 308 KUH Dagang. 8 Menurut ketentuan Pasal 302 KUH Dagang: ”Jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang ditentukan dalam perjanjian”. Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa: pertama,
yang
berkepentingan dalam asuransi jiwa adalah orang yang bersangkutan. Untuk itu orang tersebut dapat mengasuransikan jiwanya sendiri. Jadi yang bertindak sebagai Tertanggung adalah yang bersangkutan. Kedua, yang berkepentingan dalam hal ini bukan yang bersangkutan akan tetapi orang lain. Sekalipun demikian, orang yang akan mengasuransikan jiwa seseorang tersebut harus ada hubungan hukum, misalnya orang tua mengasuransikan anak. Pemberi kerja atau perusahaan mengasuransikan karyawannya. Dalam hal ini orang tua dan ataupun perusahaan dapat mengasuransikan jiwa orang tersebut karena mempunyai kepentingan, bahkan sekalipun orang yang jiwanya diasuransikan tidak mengetahui. 9
8
Man S. Sastra Widjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, 2005, PT. Alumni, Bandung,
9
Sentosa Sembiring, Hukum Asuransi, 2014, Nuansa Aulia, Bandung, hal. 80
hal. 51
Universitas Sumatera Utara
19
Selanjutnya, dalam Pasal 303 KUH Dagang ditentukan: “Orang yang berkepentingan dapat mengadakan asuransi itu bahkan tanpa diketahui atau persetujuan orang yang diasuransikan jiwanya itu.” Berdasarkan kedua pasal tersebut, jelaslah bahwa setiap orang dapat mengasuransikan jiwanya, asuransi jiwa bahkan dapat diadakan untuk kepentingan pihak ketiga. Asuransi jiwa dapat diadakan selama hidup atau selama jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian. Sehubungan dengan uraian pasal-pasal di atas, Purwosutjipto memperjelas lagi pengertian asuransi jiwa dengan mengemukakan definisi: “Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup (pengambil) asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dan meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup (pengambil) asuransi sebagai penikmatnya”. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 dikatakan bahwa usaha asuransi jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan data. 2.
Pengaturan Asuransi Jiwa di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
20
Kegiatan usaha perasuransian, khususnya usaha asuransi, merupakan jenis yang termasuk dalam kategori kegiatan usaha yang sangat diatur oleh pemerintah. Hal ini dilakukan karena usaha asuransi sangat berkaitan dengan pengumpulan dana masyarakat. Secara yuridis, hukum asuransi di Indonesia tertuang dalam beberapa produk hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, UndangUndang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri Keuangan. Usaha perasuransian ini telah diatur sejak tanggal 11 Februari 1992, yaitu melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Selain undang-undang, terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. KMK No. 426/KMK/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. KMK No. 425/KMK/2003 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. KMK No. 423/KMK/2003 tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian. KUH Dagang ada 2 (dua) cara pengaturan asuransi, yaitu pengaturan yang bersifat umum dan khusus 10. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku I Bab IX Pasal 246 – Pasal 286 KUH Dagang yang berlaku bagi semua jenis asuransi, baik yang sudah diatur dalam KUH Dagang maupun yang diluar KUH Dagang, kecuali jika secara khusus ditentukan lain. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab X Pasal 287 – Pasal 308 KUH Dagang dan
10
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 18
Universitas Sumatera Utara
21
Buku II Bab IX dan Bab X Pasal 592 – Pasal 695 KUH Dagang dengan rincian sebagai berikut : a.
Asuransi kebakaran Pasal 287 – Pasal 298 KUH Dagang
b.
Asuransi hasil pertanian Pasal 299 – Pasal 301 KUH Dagang
c.
Asuransi jiwa Pasal 302 – Pasal 308 KUH Dagang
d.
Asuransi pengangkutan laut dan perbudakan Pasal 592 – Pasal 685 KUH Dagang
e.
Asuransi pengangkutan darat, sungai, dan perairan pedalaman Pasal 686– Pasal 695 KUH Dagang. Keberadaan Undang-Undang sekaligus peraturan tersebut merupakan hal
yang sangat penting untuk senantiasa diperhatikan dan dipatuhi. Hal itu berlaku bagi perusahaan asuransi dan nasabah asuransi (tertanggung). Apabila keberadaan Undang-Undang dan peraturan tersebut ternyata tidak dipatuhi, atau ditemukan terjadinya pelanggaran terhadap keberadaan Undang-Undang dan peraturan tersebut, maka akan terdapat beberapa konsekuensi logis yang disesuaikan dengan tingkat pelanggarannya. Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi perusahaan asuransi (pihak penanggung) saja, akan tetapi berlaku pula bagi nasabah (pihak tertanggung). 11 3.
Syarat Sah Perjanjian Asuransi Jiwa Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam
KUH Dagang. Sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPdt berlaku juga bagi perjanjian asuransi.
11
Zian Farodis, Buku Pintar Asuransi, 2014, Laksana, Jogjakarta, hal. 24
Universitas Sumatera Utara
22
Di dalam Pasal 247 KUH Dagang terdapat kata-kata “antara lain” yang menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Pasal 247 KUH Dagang itu secara yuridis tidak membatasi atau menghalangi timbulnya jenis-jenis pertanggungan lain menurut kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat kita dasarkan pada kata-kata “antara lain” yang terdapat di dalam Pasal 247 KUH Dagang hanyalah menyebutkan beberapa contoh saja atau numeratif. Dengan demikian para pihak dapat juga memperjanjikan adanya pertanggungan dalam bentuk lain. R. Subekti mengemukakan bahwa hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan demikian adanya jenis-jenis baru di bidang asuransi yang menjadi dasar hukumnya adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Bunyi Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata di atas disebutkan perjanjian yang sah. Adapun syarat-syarat sahnya asuransi, antara lain meliputi: a.
Adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang keberadaannya saling mengikat satu sama lain. Dalam mengadakan perjanjian asuransi, maka terlebih dahulu dibuat suatu kesepakatan antara tertanggung dan penanggung, kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi: 1) Benda yang menjadi objek asuransi;
Universitas Sumatera Utara
23
2) Pengalihan resiko dan pembayaran premi; 3) Evenemen dan ganti kerugian; 4) Syarat-syarat khusus asuransi; 5) Dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut polis. Akan tetapi perjanjian asuransi itu tidak akan terjadi karena paksaan (dwaang), kekhilafan (dwaling), ataupun penipuan (berdog). Ini dipertegas lagi seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 1321 KUH Perdata, yang menentukan tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Jadi jelaslah sudah bahwa kata sepakat dalam perjanjian asuransi baru terjadi apabila masing-masing pihak mempunyai persesuaian kehendak secara timbal balik dan tanpa ada kekhilafan, penipuan maupun paksaan seperti apa yang telah disebutkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata. Kemudian kesepakatan antara tertanggung dan penanggung itu dibuat secara bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. b.
Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; Kedua pihak antara tertanggung dan penanggung berwenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwalian (trusteeship), atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan benda objek
Universitas Sumatera Utara
24
asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri. Penanggung adalah pihak yang sah mewakili perusahaan asuransi berdasarkan anggaran dasar perusahaan. Apabila asuransi yang diadakan itu untuk kepentingan pihak ketiga, maka tertanggung yang mengadakan asuransi itu mendapat kuasa atau pembenar dari pihak ketiga yang bersangkutan. Menurut KUH Perdata, orang yang dikatakan cakap menurut hukum dalam membuat suatu perjanjian adalah orang yang sudah dewasa. Sedangkan dewasa tidaklah diatur secara tegas dalam Undang-Undang. Untuk itulah kita melihat dengan menyimpulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata. Dalam Pasal terseut pengertian dewasa adalah sebagai berikut: 1) Mereka yang sudah berumur 21 tahun 2) Mereka yang belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin terlebih dahulu 3) Mereka yang telah pernah kawin dan bercerai, walaupun belum berumur 21 tahun. Pengertian dewasa seperti yang telah disimpulkan dari Pasal 330 KUH Perdata di atas tidaklah sepenuhnya bahwa mereka dapat membuat suatu perjanjian. Maka dalam hal ini selain syarat umur, juga kita harus memperhatikan faktor lainnya, seperti faktor kecakapan seseorang untuk mengadakan suatu perjanjian. Jadi ketentuan dewasa menurut umur belumlah merupakan jaminan bahwa orang tersebut cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu. Harus ada faktor lain seperti sehat pikiran, tidak dilarang atau dibatasi dalam melakukan perbuatan hukum, misalnya orang yang membuat suatu perjanjian
Universitas Sumatera Utara
25
tidak sakit ingatan. Karena orang tersebut tidak mampu untuk menginsyafi tanggung jawab yang dipikul sebagai akibat dari perjanjian tersebut. Demikian pula orang yang akan membuat suatu perjanjian harus tidak dilarang oleh Undang-Undang, seperti orang yang di bawah pengampunan. Di samping kecakapan dikenal juga adanya kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dikatakan mempunyai kewenangan apabila ia mendapat kuasa dari pihak ketiga untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu,
seperti
membuat
perjanjian
tertentu.
Akibat
hukum
dari
ketidakwenangan membuat perjanjian, maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim. Jika tidak dimintakan pembatalannya oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian tersebut tetao berlaku bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian itu. Hal tersebut di atas juga berlaku dalam perjanjian asuransi. c.
Adanya hal tertentu yang menjadi sebab Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Objek tertentu dalam perjanjian asuransi merupakan objek atau benda yang dapat diasuransikan, objek tersebut berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian adalah jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang nilainya. Untuk itu tertanggung harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan benda yang diasuransikan itu. Hubungan langsung maksudnya adalah tertanggung memiliki langsung benda tersebut. Sedangkan hubungan tak
Universitas Sumatera Utara
26
langsung maksudnya adalah bahwa tertanggung mempunyai kepentingan atas sesuatu yang dipertanggungkan itu. Jadi dalam hal ini tertanggung harus dapat membuktikan bahwa ia benarbenar mempunyai kepentingan atas sesuatu yang dipertanggungkan. Dan jika tidak, maka asuransi itu menjadi batal. Karena kepentingan adalah juga merupakan syarat dalam perjanjian asuransi. d.
Adanya kausa yang halal Sahnya kausa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian
dibuat. Perjanjian tanpa kausa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Suatu sebab dikatakan halal apabila: 1) Tidak bertentangan dengan undang-undang 2) Tidak bertentangan dengan ketertiban umum 3) Tidak bertentangan dengan kesusilaan. 12 Dan suatu perjanjian tanpa sebab, atau dibuat karena sesuatu yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 1335 KUH Perdata). Jadi perjanjian yang dibuat itu tidak mengikat. Sebaliknya perjanjian yang berisi sebab/causa yang halal adalah sah (Pasal 1336 KUH Perdata). Sebenarnya undang-undang tidak memperdulikan sebab orang membuat suatu perjanjian. Yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang adalah isi perjanjian itu. Oleh karena itu suatu perjanjian harus benar-benar mempunyai maksud dan tujuan yang jelas sehingga tidak merugikan masing-masing pihak.
12
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 2004, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 342
Universitas Sumatera Utara
27
Jadi perjanjian asuransi supaya sah harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata. H.M.N. Purwosutjipto menulis bahwa Syarat-syarat sebagai yang ditentukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUH Perdata itu bagi perjanjian pertanggungan masih belum memuaskan, karena itu ditambah lagi dengan ketentuan Pasal 251 KUH Dagang, yang mewajibkan adanya pemberitahuan tentang semua mengenai keadaan yang diketahui oleh tertanggung mengenai benda pertanggungan. Jadi untuk perjanjian asuransi selain Pasal 1320 KUH Perdata juga ditambah dengan Pasal 251 KUH Dagang dalam sub c dari Pasal 1320 KUH Perdata mengenai obyek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah kepentingan yang diasuransikan. Kepentingan dalam perjanjian asuransi mutlak harus ada. Apabila tidak ada maka perjanjian asuransi itu batal (Pasal 250 KUH Dagang). Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal 251 KUH Dagang, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi. Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUH Dagang tidak bergantung pada ada itikad baik atau tidak dari tertanggung. Apabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga mengakibatkan batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung telah memperjanjikan lain. Biasanya
Universitas Sumatera Utara
28
perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas dalam polis dengan klausula “sudah diketahui”. 4.
Premi dan Polis Asuransi Jiwa Dalam hukum asuransi, terdapat istilah yang dikenal dengan kata “premi”
dan “polis”. Dua istilah tersebut merupakan bagian dari komponen penting dalam asuransi. Keduanya merupakan suatu istilah yang keberadaannya sudah tidak asing bagi masing-masing individu yang sudah kerap berhubungan dengan urusan asuransi. Dalam hukum asuransi, premi merupakan suatu prestasi yang diberikan oleh pihak tertanggung kepada pihak penanggung atas jasa yang telah diberikan oleh pihak penanggung untuk mengambil alih risiko. Premi merupakan kewajiban pokok yang keberadaannya harus dipenuhi oleh tertanggung. Hal itu bisa pula dimaknai sebagai imbalan atas jasa yang diberikan oleh penanggung. Perjanjian asuransi merupakan sebuah kontrak yang bersifat legal. Kontrak tersebut menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi, premi yang harus dibayar oleh pihak tertanggung kepada pihak penanggung sebagai jasa pengalihan risiko, sekaligus besarnya dana yang keberadaannya bisa diklaim di masa depan, termasuk biaya administratif dan keuntungan. Perjanjian asuransi merupakan bagian dari hukum asuransi itu sendiri. Dalam hukum asuransi, ditetapkan bahwa objek pertanggungan dalam perjanjian asuransi bisa berupa benda dan jasa, jiwa, dan raga, kesehatan, tanggung jawab hukum, serta berbagai kepentingan lainnya yang dimungkinkan bisa hilang, rusak, ataupun berkurang nilainya.
Universitas Sumatera Utara
29
Adapun unsur-unsur dalam sebuah perjanjian asuransi atau hukum asuransi antara lain, meliputi: a. b. c. d.
Subjek hukum, yaitu mencakup perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung dan nasabah sebagai pihak tertanggung; Substansi hukum berupa pengalihan risiko; Objek pertanggungan, bisa berupa benda maupun kepentingan lain yang melekat padanya keberadaannya bisa dinilai dengan finansial; serta Adanya peristiwa yang tidak tentu yang dimungkinkan bisa terjadi kapan saja di masa depan. 13 Pada ketentuan yang termaktub dalam Pasal 225 KUH Dagang, disebutkan
bahwa perjanjian asuransi hendaknya dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang kemudian disebut sebagai polis, yang keberadaannya memuat mengenai kesepakatan, syarat-syarat khusus, serta janji-janji khusus yang kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pemenuhan hak sekaligus kewajiban-kewajiban pihak-pihak yang terikat di dalamnya yaitu pihak penanggung dan pihak tertanggung dalam rangka mencapai tujuan asuransi. Fungsi polis bagi penanggung adalah sebagai bukti tertulis atas jaminan yang diberikannya kepada tertanggung untuk membayar ganti rugi kerugian yang mungkin akan diderita oleh tertanggung dan sebagai bukti yang kuat untuk menolak klaim yang diajukan oleh tertanggung apabila penyebab kerugian tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam polis, sedangkan fungsi polis bagi tertanggung adalah sebagai bukti tertulis atas jaminan penanggungan untuk mengganti kerugian yang mungkin dideritanya dan sebagai bukti otentik yang dapat digunakan tertanggung apabila pihak penanggung mengabaikan tanggung jawabnya untuk mengganti
13
Hukum Asuransi - Perlindungan Bagi Para Pelanggan Asuransi. http://www.anneahira.com/hukum-asuransi.htm diakses pada tanggal 21 Mei 2016
Dalam
Universitas Sumatera Utara
30
kerugian yang telah diperjanjikan, selain itu bagi tertanggung polis juga berfungsi sebagai bukti pembayaran premi 14. Hal itu kemudian bersinyalir dengan fungsi dari polis tersebut, yaitu sebagai bukti tertulis. Oleh sebab itu, sudah menjadi suatu keharusan kemudian bagi para pihak, utamanya bagi nasabah sebagai pihak tertanggung, untuk memperhatikan secara sungguh-sungguh hal-hal yang berkenaan dengan kejelasan isi polis. 15 Adapun mengenai isi polis itu sendiri, hendaknya selalu diperhatikan bahwa isi polis seharusnya tidak mengandung kata-kata atau kalimat yang memiliki kemungkinan perbedaan interpretasi. Sebab, jika polis mengandung kata-kata atau kalimat yang memiliki kemungkinan perbedaan interpretasi, hal tersebut akan menjadi pemantik terjadinya suatu perselisihan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 255 KUH Dagang, asuransi jiwa harus diadakan secara tertulis dengan bentuk akta yang disebut polis. Menurut ketentuan Pasal 304 KUH Dagang, polis asuransi jiwa memuat: a.
Hari diadakannya asuransi; Dalam polis harus dicantumkan hari dan tanggal diadakan asuransi. Hal ini penting untuk mengetahui kapan asuransi itu mulai berjalan dan dapat diketahui pula sejak hari dan tanggal itu risiko menjadi beban penanggung.
b.
Nama tertanggung; Suatu polis harus mencantumkan nama tertanggung sebagai pihak yang wajib membayar premi dan berhak menerima polis. Apabila terjadi evenemen atau apabila jangka waktu berlakunya asuransi berakhir,
14
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan, dan Asuransi, 2007, PT. Alumni, Bandung, hal 112 15 Ibid., hal 15-17
Universitas Sumatera Utara
31
tertanggung berhak menerima sejumlah uang santunan atau pengembalian dari penanggung. Selain tertanggung, dalam praktik asuransi jiwa dikenal pula penikmat (beneficiary), yaitu orang yang berhak menerima sejumlah uang tertentu dari penanggung karena ditunjuk oleh tertanggung atau karena ahli warisnya, dan tercantum dalam polis. Penikmat berkedudukan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. c.
Nama orang yang jiwanya diasuransikan; Objek asuransi jiwa adalah jiwa dan badan manusia sebagai satu kesatuan. Jiwa tanpa badan tidak ada, sebaliknya tanpa jiwa tidak ada arti apa-apa bagi asuransi jiwa. Jiwa seseorang merupakan objek asuransi yang tidak berwujud, yang hanya dapat dikenal melalui wujud badannya. Orang yang punya bada itu mempunyai nama yang jiwanya diasuransikan, baik sebagai pihak tertanggung ataupun sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Namanya itu harus dicantumkan dalam polis. Dalam hal ini, tertanggung dan orang yang jiwanya diasuransikan itu berlainan.
d.
Saat mulai dan berakhirnya evenemen; Saat mulai dan berakhirnya evenemen merupakan jangka waktu berlaku asuransi, artinya dalam jangka waktu itu risiko menjadi beban penanggung.
e.
Jumlah asuransi; Jumlah asuransi adalah sejumlah uang tertentu yang diperjanjikan pada saat diadakannya asuransi sebagai jumlah santunan yang wajib dibayar oleh penanggung
kepada
penikmat
dalam
hal
terjadi
evenemen,
atau
pengembalian kepada tertanggung sendiri dalam hal berakhirnya jangka waktu asuransi tanpa terjadi evenemen. Menurut ketentuan Pasal 305 KUH
Universitas Sumatera Utara
32
Dagang, perkiraan jumlah dan syarat-syarat asuransi sama sekali ditentukan oleh perjanjian bebas antara tertanggung dan penanggung. Dengan adanya perjanjian bebas tersebut, asas kepentingan dan asas keseimbangan dalam asuransi jiwa dikesampingkan. f.
Premi asuransi. Premi asuransi adalah sejumlah uang yang wajib dibayar oleh tertanggung kepada penanggung setiap jangka waktu tertentu, biasanya setiap bulan selama asuransi berlangsung. Besarnya jumlah premi asuransi bergantung pada jumlah asuransi yang disetujui oleh tertanggung pada saat diadakan asuransi. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa polis tetap mempunyai arti besar
bagi tertanggung, sebab polis merupakan bukti yang sempurna tentang apa yang mereka perjanjikan dalam perjanjian pertanggungan. Berdasarkan praktik pertanggungan, hampir tidak ada perjanjian pertanggungan dibuat tanpa dibuatnya polis. Polis ini hanyalah merumuskan isi dari perjanjian antara para pihak, sehingga polis merupakan alat bukti tentang isi perjanjian. Beberapa perusahaan telah mempunyai polis standar dengan maksud untuk mempermudah pembuktian adanya pertanggungan itu. Di dalam polis standar ini, isi polis telah diberikan rumusan secara spesifik dan sepihak oleh penanggung, sehingga menyerupai perjanjian standar. Pasal 256 KUH Dagang memberi ketentuan tentang syarat-syarat suatu akta dapat disebut sebagai polis merupakan syarat-syarat umum terjadinya perjanjian asuransi. Oleh karena itu timbullah kebutuhan untuk menambah syarat-
Universitas Sumatera Utara
33
syarat lain yang khusus berlaku bagi para pihak. Poin 8 (delapan) dari Pasal 256 KUH Dagang, memberi kesempatan kepada para pihak untuk mengatur sendiri hal-hal yang kiranya dianggap penting untuk diatur. Syarat-syarat lain yang khusus ini adalah syarat-syarat yang belum diatur dalam polis, tetapi oleh para pihak dianggap penting baginya. Sri Redjeki Hartono membagi syarat-syarat khusus ke dalam dua jenis, yaitu: a.
Syarat-syarat yang bersifat larangan Yaitu syarat-syarat dimana dinyatakan bahwa pihak tertanggung dilarang melakukan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman bilamana larangan termaksud dilanggar oleh tertanggung, maka perjanjian pertanggungan itu menjadi batal.
b.
Syarat-syarat lain Yaitu semua syarat-syarat yang tidak mengandung anacaman batalnya perjanjian pertanggungan, syarat untuk melanjutkan perjanjian pertanggungan dan sebagainya. Misalanya, selesainya jangka waktu yang tersebut dalam polis itu dan sehabisnya tiap-tiap jangka waktu yang berikut, maka perjanjian pertanggungan ini dianggap menurut hukum telah diperpanjang untuk jangka waktu yang sama, bilamana sekurang-kurangnya satu bulan di muka tidak menyatakan penghentian pertanggungan ini oleh salah satu pihak yang bersangkutan kepada pihak lain dengan surat tercatat. Dengan syarat ini diberi kesempatan kepada pihak tertanggung atau
penanggung untuk melanjutkan pertanggungan secara otomatis,
dengan
kelonggaran membatalkan pertanggungan itu pada tanggal tersebut dalam polis
Universitas Sumatera Utara
34
dengan suatu pemberitahuan maksud tersebut oleh pihak yang menghendaki kepada pihak lain. Jadi, dalam hal ini adanya syarat lanjutan pertanggungan, apabila tertanggung tidak berminat untuk melanjutkan pertanggungan atau ia lalai melakukan kewajibannya seperti tersebut dalam syarat lanjutan pertanggungan, maka penanggung berhak menuntut dari tertanggung premi yang bersangkutan dengan lanjutan pertanggungan. Sebaliknya bila penanggung bermaksud untuk menghentikan atau membatalkan pertanggungan pada saat jangka waktu pertanggungan habis masa berlakunya, maka ia diwajibkan memberitahukan tersebut pada pihak tertanggung. 5. Risiko dan Evenemen Dalam hukum asuransi, terdapat istilah “risiko”. Risiko yang dialihkan dari tertanggung kepada penanggung bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya kerugian sekaligus batalnya sebagian atau keseluruhan keuntungan yang diharapkan, yang keberadaannya disebabkan oleh suatu kejadian luar biasa dan tidak terprediksikan sebelumnya, atau bisa pula dikatakan berada di luar kekuasaan manusia. Jadi, dapat dipahami kriteria atau ciri risiko dalam asuransi sebagai berikut: a. b. c. d.
Bahaya yang mengancam benda atau obyek asuransi Berasal dari faktor ekonomi, alam, atau manusia Diklasifikasikan menjadi risiko pribadi, kekayaan, tanggung jawab Hanya berpeluang menimbulkan kerugian. 16 Dalam praktiknya risiko-risiko yang timbul dari setiap pemberian usaha pertanggungan adalah sebagai berikut:
16
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 118
Universitas Sumatera Utara
35
a.
Risiko spekulatif Risiko spekulatif adalah suatu keadaan yang dihadapi perusahaan yang dapat memberikan keuntungan dan juga dapat memberikan kerugiaan. Risiko spekulatif ini juga dikenal dengan risikobisnis (business risk). Seseorang yang menginvestasikan dananya di suatu tempat mengahadapi dua kemungkinan, investasinya menguntungkan atau justru merugikan. 17 b. Risiko murni Risiko murni (pure risk) adalah sesuatu yang dapat berakibat merugikan atau tidak terjadi apa-apa dan tidak mungkin menguntungkan. Salah satu cara menghindari risiko murni adalah asuransi. Dengan demikian, besarnya kerugian dapat diminimalisasi karena dapat diasuransikan (insurable risk). 18 c. Risiko individu Risiko individu adalah risiko dalam kehidupan sehari-hari. Risiko individu ini dibagi dalam tiga macam yaitu: 1) Risiko pribadi, yaitu risiko kemampuan seseorang untuk memperoleh keuntungan, akibat sesuatu hal seperti sakit, kehilangan pekerjaan atau mati. 2) Risiko harta, adalah risiko kehilangan harta apakah dicuri, hilang, rusak, yang menyebabkan kerugian keuangan. 3) Risiko tanggung-gugat, yaitu risiko yang disebabkan apabila kita menanggung kerugian seseorang dan kita harus membayarnya. Contohnya kelalaian di jalan yang menyebabkan orang lain tertabrak dan harus mengganti kerugian tersebut 19. Robert Mehr mengemukakan 5 (lima) cara mengatasi risiko, yaitu: a.
b. c. d. e.
Menghindari risiko (risk avoidance), tidak melakukan kegiatan yang memberi peluang kerugian, misalnya menghindari pembangunan gedung bertingkat di daerah rawan gempa. Mengurangi risiko (risk reduction), memperkecil peluang terjadi kerugian, misalnya menyediakan alat penyemprot antikebakaran di perkantoran. Menahan risiko (risk retention), tidak melakukan apa-apa terhadap risiko karena dapat menimbulkan kerugian. Membagi risiko (risk sharing), membagi risiko dengan pihak lain, misalnya melalui reasuransi. Mengalihkan risiko (risk transfer), memindahkan risiko kepada pihak lain, yaitu: perusahaan asuransi. 20 17
Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain (Edisi Kedua), 2006, Salemba Empat, Jakarta, hal. 183 18 Suswinarno, Mengantisipasi Risiko Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, 2013, Visimedia, Jakarta, hal. 7 19 Ibid., hal. 8 20 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal 118-119
Universitas Sumatera Utara
36
Agar risiko dapat diasuransikan, maka perlu dipenuhi kriteria berikut ini: a. b. c. d. e.
Dapat dinilai dengan uang; Harus risiko murni, artinya hanya berpeluang menimbulkan kerugian; Kerugian timbul akibat bahaya/peristiwa tidak pasti; Tertanggung harus memiliki insurable interest; Tidak dilarang undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 21 Peristiwa yang tidak terduga disebut sebagai evenemen. Evenemen yaitu
suatu peristiwa yang keberadaannya tidak terduga atau peristiwa yang keluar dari kondisi normal, atau bisa pula dipahami sebagai sesuatu yang keberadaannya tidak bisa dipastikan akan terjadi. Seandainya hal itu pun bisa diprediksikan akan terjadi, semisal kematian, tetapi waktu kedatangannya tidak bisa diprediksi. Peristiwa semacam itu bisa pula berupa sesuatu yang keberadaannya tidak diharapkan terjadi. Akan tetapi, apabila terjadi, maka akan menimbulkan kerugian bahkan bisa pula membatalkan keuntungan. Evenemen dalam asuransi adalah peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan terjadi, atau walaupun sudah pasti terjadi, saat terjadinya itu tidak dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan akan terjadi, jika terjadi juga mengakibatkan kerugian. Ciri-ciri evenemen yaitu: a.
Peristiwa yang terjadi itu menimbulkan kerugian
b.
Terjadinya itu tidak diketahui, tidak dapat diprediksi lebih dahulu
c.
Berasal dari faktor ekonomi, alam, dan manusia
d.
Kerugian terhadap diri, kekayaan, dan tanggung jawab seseorang.
21
Ibid, hal. 119
Universitas Sumatera Utara
37
Dalam Pasal 304 KUH Dagang yang mengatur tentang isi polis, tidak ada ketentuan keharusan mencantumkan enevemen dalam polis asuransi jiwa. Berbeda dengan asuransi kerugian, Pasal 256 ayat (1) KUH Dagang mengenai isi polis mengharuskan pencantuman bahaya-bahaya yang menjadi beban penanggung. Dalam asuransi jiwa yang dimaksud dengan bahaya adalah meninggalnya orang yang jiwanya diasuransikan. Meninggalnya seseorang itu merupakan hal yang sudah pasti, setiap makhluk bernyawa pasti mengalami kematian. Akan tetapi, kapan meninggalnya seseorang tidak dapat dipastikan. Inilah yang disebut peristiwa tidak pasti (evenemen) dalam asuransi jiwa. Evenemen ini hanya 1 (satu), yaitu ketidakpastian kapan meninggalnya seseorang, sebagai salah satu unsur yang dinyatakan dalam definisi asuransi jiwa. Dengan begitu, maka tidak perlu dicantumkan dalam polis. Ketidakpastian kapan meninggalnya seorang tertanggung atau orang yang jiwanya diasuransikan merupakan risiko yang menjadi beban penanggung dalam asuransi jiwa. Evenemen meninggalnya tertanggung itu bersisi 2 (dua), yaitu meninggalnya itu benar-benar terjadi dalam jangka waktu asuransi, dan benar-benar tidak terjadi sampai jangka waktu asuransi berakhir. Kedua-duanya menjadi beban penanggung. 22 6.
Jenis-Jenis Asuransi Jiwa Sasaran asuransi jiwa menunjukkan kelas dan jenis asuransi jiwa yang
ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi jiwa, yaitu: a.
Sasaran terhadap perorangan (asuransi biasa/perorangan) Asuransi jiwa biasa (ordinary life) diperuntukkan bagi perorangan adalah asuransi jiwa yang umumnya dipasarkan oleh perusahaan-perusahaan asuransi jiwa. Pada umumnya asuransi ini diperuntukkan bagi golongan 22
Ibid, hal. 200
Universitas Sumatera Utara
38
masyarakat menengah ke atas. Pada dasarnya premi di bayarkan oleh pembeli polis setiap tahun atau setiap semester atau setiap triwulan dan boleh juga setiap bulan, atau dibayar sekaligus sebagai premi tunggal bagi mereka yang mempunyai cukup uang. b. Sasaran terhadap masyarakat (asuransi rakyat) Asuransi rakyat diperuntukkan bagi anggota masyarakat yang berpenghasilan kecil seperti buruh, karyawan rendah, peDagang kecil, pelayan, petani, nelayan, dan sebagainya. Asuransi ini dibayar preminya dengan frekuensi tinggi (setiap minggu) dan besarnya premi disesuaikan dengan kesanggupann calon tertanggung membayar setiap minggu. Besarnya uang pertanggungan dengan berpedoman kepada besarnya premi setiap minggu dan lamanya pertanggungan apakah seumur hidup atau hingga calon tertanggung mencapai usia tertentu. c. Sasaran terhadap kumpulan orang/karyawan (asuransi kumpulan kolektif) Asuransi kumpulan (group insurance) disebut juga asuransi kolektif dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1) Satu polis untuk sekelompok tertanggung, misalnya para karyawan suatu perusahaan diasuransikan dengan menggunakan satu polis yang disebut polis induk (master policy). 2) Pemegang polis adalah perusahaan kepada masing-masing karyawan yang diberikan sertifikat tanda bukti peserta asuransi kumpulan. 3) Pada umumnya para peserta tidak perlu melalui pemeriksaan medis. 4) Pembayaran premi asuransi kumpulan biasanya terdiri dari tiga macam yaitu: (a) Dibayar sendiri oleh masing-masing peserta berupa kontribusi yang dipungut secara berkala dari setiap peserta. (b) Semua premi ditanggung oleh perusahaan. (c) Sebagian dibayar oleh perusahaan dan sebagian lagi dibayar oleh para peserta misalnya 50%-50% atau 60%-40%. d. Sasaran terhadap dunia usaha (asuransi dunia usaha) Pada umumnya ada 4 (empat) macam sasaran pokok dari asuransi jiwa dunia usaha, yaitu: 1) Asuransi orang penting, tenaga yang memegang peranan penting, seperti direktur urama, para manajer. Apabila meninggal dunia dapat menimbulkan kerugian ekonomis bagi perusahaan berupa pemberian santunan besar kepada keluarga almarhum. 2) Rencana kesejahteraan karyawan. Dengan menutup asuransi kumpulan, asuransi keselamatan kerja, asuransi kecelakaan, dan asuransi kesehatan bagi karyawan maka semakin sempurnalah peranan dan bantuan perusahaan dalam memberi kesejahteraan bagi karyawan. 3) Meningkatkan kepercayaan. Asuransi jiwa dapat berperan untuk meningkatkan kepercayaan kepada relasi terhadap perusahaan karena
Universitas Sumatera Utara
39
asuransi dapat memberikan jaminan stabilitas posisi finansial perusahaan, yang sekaligus menjadi gambaran yang baik kreditur. 4) Kelangsungan usaha. Bagi perusahaan yang dimilikinya bersifat partnership seperti kongsi, firma, CV, apabila salah seorang pemiliknya meninggal, maka akan timbul masalah yaitu membayar terus-menerus hak-hak almarhum kepada jandanya, tanpa mengikutsertakannya dalam pimpinan perusahaan. Polis asuransi jiwa dapat menghindarkan keadaan tersebut yaitu dengan memberi santunan kepada janda almarhum sehingga hak-hak dari almarhum tidak perlu terus-menerus dibayar oleh perusahaan. e. Sasaran terhadap orang-orang yang muda (asuransi orang muda) Seseorang yang masih muda dan mempunyai penghasilan dapat membeli polis asuransi jiwa atas dirinya dan menunjuk orangtuanya atau adikadiknya sebagai penerima manfaat. f. Sasaran terhadap keluarga (asuransi keluarga) Dengan memiliki polis asuransi jiwa dapat memberikan rassa tenteram terhadap kehidupan ekonomi keluarga, juga menjamin kelangsungan pendidikan anak-anak. Asuransi keluarga mempunyai tiga macam jaminan yaitu jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan atas kelangsungan pendidikan anak-anak. 23 7.
Tujuan dan Manfaat Asuransi Jiwa Hidup tak ubahnya seperti permainan dari ketidakpastian. Secara awam,
ketidakpastian itu diterjemahkan sebagai risiko. Sesuatu yang belum pasti terjadi, akibatnya tentu tidak dikehendaki juga. Misalnya risiko kecelakaan, kematian, kerugian dan lain sebagainya. Tak seorang pun mengetahui secara pasti kapan risiko itu akan terjadi. Berdasarkan uraian di atas, sejatinya yang menjadi fokus utama adalah risiko dibalik ketidakpastian yang umumnya tidak dikehendaki.24
23
Herlina, Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa Pada PT. Prudential Life Assurance Cab. Kota Sungai Penuh, 2015, Fak. Hukum Universitas Tamansiswa Padang 24 Menurut Agus Purwanto 1995 bahwa di dalam industri asuransi, resiko diartikan sangat khusus dan sederhana. Secara operasional, resiko diartikan sebagai Uncertainty of financial loss atau kerugian yang tidak pasti. Jadi, risiko memiliki 2 (dua) unsur yaitu ketidakpastian dan kerugian (uncertainty and loss). Oleh karena itu, apapun yang dapat menimbulkan kerugian disebut risiko. Dalam Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi, 2009, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
40
Namun, risiko itu dapat dialihkan kepada pihak lain (perusahaan asuransi) bila mereka menjadi anggota asuransi. Berdasarkan uraian di atas, asuransi sebenarnya memiliki tujuan-tujuan utama yang hendak dicapai. Tujuan-tujuan tersebut antara lain: a.
b.
c.
Teori Pengalihan Risiko Menurut teori pengalihan risiko (risk transfer theory) tertanggung menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Jika bahaya tersebut menimpa harta kekayaan atau jiwanya, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raganya. Secara ekonomi, kerugian material atau korban jiwa atau cacat raga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang atau ahli warisnya. Tertanggung sebagai pihak yang terancam bahaya merasa berat memikul beban risiko yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Untuk mengurangi atau menghilangkan beban risiko tersebut, pihak tertanggung berupaya mencari jalan kalau ada pihak lain yang bersedia mengambil alih beban risiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut premi. Dalam dunia bisnis Perusahaan Asuransi selalu siap menerima tawaran dari pihak tertanggung untuk mengambil alih risiko dengan imbalan pembayaran premi. Pembayaran Ganti Kerugian Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalah terhadap risiko yang ditanggung oleh penanggung. Dalam praktiknya tidak senantiasa bahaya yang mengancam itu sungguh-sungguh terjadi. Ini merupakan kesempatan baik bagi penanggung mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa tertanggung yang mengikatkan diri padanya. Jika pada suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam praktiknya, kerugian yang timbul itu bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugia total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi yang bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh dideritanya. Pembayaran Santunan Asuransi bertujuan melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yag mengakibatkan kematian atau cacat tubuh. Dengan membayar sejumlah kontribusi (semacam premi), tertanggung berhak memperoleh perlindungan dari ancaman bahaya. Tertanggung yang membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat pada suatu hubungan hukum tertentu yang ditetapkan undangundang, misalnya hubungan kerja, penumpang angkutan umum. Apabila mereka mendapat musibah kecelakaan dalam pekerjaannya atau selama angkutan berlangsung, mereka (atau ahli warisnya) akan memperoleh santunan dari penanggung (BUMN), yang jumlahnya telah ditetapkan oleh Universitas Sumatera Utara
41
d.
undang-undang. Jadi tujuan mengadakan asuransi menurut pembentuk undang-undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan mereka yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang. Kesejahteraan Anggota Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung, sedangkan anggota perkumpulan berkedudukan sebagai tertanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertanggung), perkumpulan akan membayar sejumlah uang kepada anggota tersebut. Prof. Wirjono Prodjodikoro menyebut asuransi seperti ini mirip dengan “perkumpulan koperasi”. Asuransi ini merupakan asuransi saling menanggung atau asuransi usaha bersama yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anggota. 25 Dalam asuransi jiwa, nasabah atau pihak tertanggung bisa menuai
beberapa bentuk manfaat yang bertalian erat dengan beberapa bentuk ketidakpastian berupa produktivitas ekonomi yang kerap menghampiri kehidupan masing-masing
orang.
Ketidakpastian
tersebut,
secara
prinsipil,
dapat
diklasifikasikan menjadi empat, yaitu kematian, cacat, pemutusan hubungan kerja, dan pengangguran. Dalam menghadapi beberapa bentuk risiko yang bermuara dari ragam kemungkinan seiring dengan ketidakpastian dari keempat hal tersebut, asuransi jiwa dalam konteks ini berperan sebagai instrumental finansial guna melingkupi beberapa hal, yaitu: a. b. c. d. e. 8.
Memberikan dukungan bagi pihak yang selamat dari suatu kecelakaan; Membayar santunan bagi tertanggung yang meninggal; Membantu usaha dari kerugian yang disebabkan meninggalnya pejabat kunci perusahaan; Penghimpunan dana untuk persiapan pensiun, keperluan penting dan penggunaan untuk bisnis; Menunda atau menghindari pajak pendapatan. 26 Berakhirnya Asuransi Jiwa
25
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. hal.12. Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan Edisi Keempat, 2004, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hal. 453 26
Universitas Sumatera Utara
42
Satu-satunya evenemen yang menjadi beban penanggung dalam asuransi jiwa adalah meninggalnya tertanggung. Terhadap evenemen inilah diadakan asuransi jiwa antara tertanggung dan penanggung. Apabila dalam jangka waktu yang diperjanjikan terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung, maka penanggung berkewajiban membayar uang santunan kepada penikmat yang ditunjuk oleh tertanggung atau kepada ahli warisnya. Sejak penanggung melunasi pembayaran uang santunan tersebut. Sejak itu pula asuransi berakhir. Menurut hukum perjanjian, suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak berakhir apabila prestasi masing-masing pihak telah terpenuhi. Karena asuransi jiwa adalah perjanjian, maka asuransi jiwa berakhir sejak penanggung melunasi uang santunan sebagai akibat dari meninggalnya tertanggung. Dengan kata lain, asuransi jiwa berakhir sejak terjadi evenemen yang diikuti dengan pelunasan klaim. Evenemen dalam asuransi jiwa tidak selalu yang menjadi beban penanggung itu terjadi bahkan sampai berkhirnya jangka waktu asuransi. Apabila jangka waktu berlaku asuransi jiwa itu habis tanpa terjadi evenemen, maka beban risiko penanggung berakhir. Akan tetapi, dalam perjanjian ditentukan bahwa penanggung akan mengembalikan sejumlah uang kepada tertanggung apabila sampai jangka waktu asuransi habis tidak terjadi evenemen. Dengan kata lain, asuransi jiwa berakhir sejak jangka waktu berlaku asuransi habis diikuti dengan pengembalian sejumlah uang kepada tertanggung. 27 Menurut ketentuan Pasal 306 KUH Dagang, apabila orang yang diasuransikan jiwanya pada saat diadakan asuransi ternyata sudah meninggal, 27
Hukum Asuransi. Dalam http://hukumasuransi.blogspot.co.id/2009/01/asuransijiwa.html. diakses pada tanggal 2 April 2016
Universitas Sumatera Utara
43
maka asuransinya gugur, meskipun tertanggung tidak mengetahui kematian tersebut, kecuali jika diperjanjikan lain. Kata-kata bagian terakhir pasal ini “kecuali jika diperjanjikan lain” memberi peluang kepada pihak-pihak untuk memperjanjikan menyimpang dari ketentuan pasal ini, misalnya asuransi yang diadakan itu tetap dinyatakan sah asalkan tertanggung betul-betul tidak mengetahui telah meninggalnya itu. Pasal 306 KUH Dagang ini mengatur asuransi jiwa untuk kepentingan pihak ketiga, yang berbunyi apabila orang yang mengasuransikan jiwanya bunuh diri atau dijatuhi hukuman mati, maka asuransi jiwa itu gugur. Asuransi jiwa dapat berakhir karena pembatalan sebelum jangka waktu berakhir. Pembatalan tersebut dapat terjadi karena tertanggung tidak melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan perjanjian atau karena permohonan tertanggung sendiri. Pembatalan asuransi jiwa dapat terjadi sebelum premi mulai dibayar ataupun sesudah premi dibayar menurut jangka waktunya. B. Hak-Hak Tertanggung Menurut Hukum Asuransi Indonesia Pada saat tertanggung sudah menyelesaikan sekaligus memenuhi kewajibannya, maka pada saat bersamaan dirinya memiliki hak untuk memperoleh penyelesaian ganti rugi berdasarkan dengan syarat-syarat polis. Penyelesaian ganti rugi tersebut tidak dibenarkan untuk ditahan oleh pihak penganggung hanya dengan berdasarkan pada alasan masih menunggu recovery dari hasil penggunaan hak subrogasi maupun hak kontribusi. 1.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Perjanjian Asuransi tidak termasuk perjanjian yang secara khusus diatur
dalam KUH Perdata, tetapi pengaturannya dalam KUH Dagang. Walaupun
Universitas Sumatera Utara
44
demikian berdasarkan Pasal 1 KUH Dagang ketentuan umum perjanjian dalam KUH Perdata dapat berlaku pula bagi perjanjian Asuransi untuk kepentingan pemegang polis/tertanggung yang terdapat beberapa ketentuan dalam KUH Perdata yang perlu diperhatikan. Ketentuan yang dimaksud antara lain : a. Untuk mencegah penanggung menambah syarat-syarat lainnya dalam memberikan ganti rugi atau sejumlah uang, maka sebaiknya pemegang polis memperhatikan ketentuan Pasal 1253 sampai dengan Pasal 1262 KUH Perdata. b. Pasal 1266 KUH Perdata mengatur bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian timbal balik apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Namun demikian, disebutkan pula bahwa perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan tersebut juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian. Bagi kepentingan tertanggung, ketentuan pasal tersebut perlu diperhatikan sebab kemungkinan misalnya yang bersangkutan terlambat dalam melakukan pembayaran premi. c. Pasal 1276 KUHPerdata menyebutkan bahwa apabila ternyata penanggung wajib memberikan ganti kerugian atau sejumlah uang dalam perjanjian asuransi dan ternyata melakukan ingkar janji, maka pemegang polis dapat menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga. Dengan memperhatikan Pasal 1276 KUH Perdata yang menyatakan bahwa pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan,
Universitas Sumatera Utara
45
akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga. d. Pasal 1318 KUH Perdata yang mengenai ahli waris dari pemegang polis/ tertanggung dalam perjanjian asuransi yang mempunyai hak untuk dilaksanakan prestasi dari perjanjian tersebut. e. Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian yaitu : 1) Sepakat mereka yang mengikat diri 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3) Suatu hal tertentu 4) Suatu sebab yang halal. f. Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang –Undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu pemegang polis dan penanggung terikat untuk memenuhi perjanjian yang telah dibuatnya. Pasal ini melahirkan beberapa asas antara lain asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat, dan asas kepercayaan.
Selanjutnya Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata
menjelaskan bahwa perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dengan demikian apabila misalnya pemegang polis terlambat membayar premi, maka penanggung tidak secara sepihak menyatakan perjanjian asuransi batal. Dilain pihak pemegang polis pun demikian pula. Pasal 1338 KUH Perdata ayat (3) yang menegaskan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Universitas Sumatera Utara
46
g. Pasal 1339 KUH Perdata yang melahirkan asas kepatuhan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat, perjanjian, diharuskan oleh kepatutan , kebiasaan, atau undang-undang”. Ketentuan ini melahirkan asas kepatutan yang berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. h. Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351 KUH Perdata yang mengenai penafsiran perjanjian harus diperhatikan pula oleh para pihak yang mengadakan perjanjian asuransi. i. Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melanggar hukum dapat juga dipergunakan oleh pemegang polis apabila dapat membuktikan penanggung telah melakukan perbuatan yang merugikannya. 2.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Dalam hubungan dengan perlindungan kepentingan pemegang polis
asuransi, dalam KUHD terdapat beberapa peraturan lainnya yaitu : a. Pasal 254 KUHD yang melarang para pihak dalam perjanjian, baik pada waktu diadakan perjanjian maupun selama berlangsungnya perjanjian asuransi menyatakan melepaskan hak-hak yang oleh ketentuan UndangUndang diharuskan sebagai pokok suatu perjanjian Asuransi ataupun hal-hal yang dengan tegas telah dilarang. Apabila hal demikian dilakukan mengakibatkan perjanjian Asuransi batal. Ketentuan ini diberlakukan terutama untuk mencegah supaya perjanjian Asuransi tidak menjadi perjudian dan pertaruhan. Untuk kepentingan polis hal itu dapat terjadi
Universitas Sumatera Utara
47
seperti contoh sebagai berikut : “telah ditutupnya perjanjian Asuransi antara pemegang polis dengan penanggung” Setelah Asuransi berjalan beberapa lama kemudian pihak penanggung menyatakan hal-hal seperti yang dilarang dalam Pasal 254 KUHD tersebut. b. Pasal 257 KUHD merupakan penerobosan dari ketentuan Pasal 255 KUHD. Pasal 255 KUHD menyatakan bahwa Asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Memperhatikan Pasal 255 KUHD tersebut seolah-olah polis merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya perjanjian Asuransi. Hal itu ternyata tidak benar apabila diperhatikan Pasal 257 KUHD. Dalam Pasal 257 KUHD disebutkan : “Bahwa perjanjian Asuransi diterbitkan seketika setelah ditutup, hak dan kewajiban bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung mulai berlaku sejak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani”. Dengan demikian perjanjian Asuransi merupakan perjanjian konsensual sehingga telah terbentuk dengan adanya kata sepakat kedua belah pihak. Dalam hal polis hanya merupakan alat bukti saja. Dalam hubungan dengan ini apabila kedua belah pihak telah menutup perjanjian Asuransi tetapi polisnya belum dibuat, maka tertanggung tetap berhak menuntut ganti rugi apabila peristiwa yang diperjanjikan terjadi. Adapun yang harus dilakukan oleh tertanggung adalah membuktikan bahwa perjanjian Asuransi dimaksud terbentuk. c. Pasal 258 KUHD mengenai pembuktian adanya Perjanjian Asuransi. Disebutkan bahwa untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun demikian alat pembuktian yang lain juga boleh dipergunakan apabila sudah ada permulaan pembuktian
Universitas Sumatera Utara
48
dengan tulisan. Istilah tulisan dalam bagian permulaan pasal tersebut dapat diartikan sebagai polis. Tetapi istilah tulisan dalam bagian terakhir harus diartikan surat yang bukan polis. Biasanya dalam praktek perjanjian Asuransi di samping polis juga ada surat lain seperti surat-menyurat (korespodensi) antara tertanggung dan penanggung, catatan penanggung, nota penutupan dan sebagainya. d. Pasal 260 dan Pasal 261 KUH Dagang yang mengatur tentang asuransi yang ditutup dengan perantara makelar. Dari Pasal 260 KUH Dagang diketahui bahwa dalam hal perjanjian asuransi ditutup dengan perantara seorang makelar, maka polis yang telah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 hari seteas ditutupnya perjanjian. Demikian pula Pasal 259 KUH Dagang yang mengatur mengenai perjanjian asuransi yang ditutup langsung oleh tertanggung dengan penanggung, diharuskan pihak yang disebut terakhir ini menandatanganinya dalam waktu 24 jam. Apabila waktu yang ditentukan di atas dilampaui, tertanggung perlu memperhatikan Pasal 261 KUH Dagang yang menyatakan bahwa jika ada kelalaian, dalam hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 259 dan Pasal 260 KUH Dagang tersebut, maka wajiblah penanggung atau makelar yang bersangkutan memberikan ganti rugi kepada tertanggung dalam hal timbul kerugian yang diakibatkan kelalaian tersebut. e. Pasal 269 KUH Dagang yang mengatur bahwa dalam perjanjian Asuransi dianut peristiwa yang belum pasti terjadi secara subyektif. Maksudnya bahwa apabila Asuransi ketika ditutup, peristiwanya sudah terjadi adalah batal jika tertanggung atau orang yang atau tanpa pemberian kuasa telah
Universitas Sumatera Utara
49
mengadakan perjanjian Asuransi, telah mengetahui bahwa kerugian atau peristiwa tersebut telah terjadi. Dengan demikian apabila tertanggung belum mengetahui bahwa kerugian / peristiwa yang telah terjadi, maka perjanjian tersebut tidak menjadi batal. 3.
Peraturan perundang-undangan lainnya:
a. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian b. Keputusan Menteri Keuangan RI NO 125/ KMK.013 / 1998 tanggal 2 Desember 1998 tentang Usaha Asuransi Jiwa. Sedangkan menurut Abdul Muis, hak-hak dari tertanggung itu antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hak untuk menunjuk orang yang akan menerima uang pertanggungan Hak untuk merubah siapa-siapa yang menjadi tertunjuk dalam batas-batas tertentu Hak untuk menebus kembali polis Hak untuk mengubah polis menjadi bebas premi Hak untuk mengadakan pengawasan terhadap penanggung Hak untuk menggadaikan polis. 28 Untuk mengalihkan suatu risiko kepada pihak lain (penanggung),
tertanggung mempunyai beberapa kewajiban di samping juga mempunyai hak. Salah satunya yaitu kewajiban membayar premi. Kewajiban lain dari seorang tertanggung dapat juga disebutkan antara lain: 1. 2.
3.
Kewajiban untuk memberitahukan kepada penanggung hal-hal yang perlu diberitahukan dengan benar (Pasal 251, 283, dan 654 KUH Dagang); Berusaha untuk menghindari timbulnya kerugian atau setidak-tidaknya ia berusaha untuk memperkecil kemungkinan timbulnya kerugian (Pasal 283 dan 655 KUH Dagang); Kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam polis sebagai suatu perjanjian asuransi dalam rangka adanya kebebasan berkontrak antara penanggung dan tertanggung. 29
28
Abdul Muis, Hukum Asuransi dan Bentuk-Bentuk Perasuransian, 2005, Fakultas Hukum USU, Medan, hal. 66
Universitas Sumatera Utara
50
C. Tanggung Jawab Penanggung (Perusahaan Asuransi Jiwa) Terhadap Tertanggung Menurut Perjanjian Asuransi Jiwa Penanggung adalah perusahaan asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau matinya seseorang yang diasuransikan. Dengan memberikan sejumlah premi oleh tertanggung kepada penanggung, maka risiko telah beralih kepada pihak penanggung. Dalam hal ini penanggung harus bertanggung jawab untuk memberikan pengalihan risiko kepada tertanggung. Tanggung jawab penanggung di antaranya adalah: 1.
Memberikan ganti kerugian atau memberikan sejumlah uang kepada tertanggung apabila peristiwa yang diperjanjian terjadi, kecuali jika terdapat hal yang dapat menjadi alasan untuk membebaskan dari kewajiban tersebut. Hal ini terdapat di dalam pengertian asuransi atau pertanggungan dalam Pasal 246 KUH Dagang. Pasal ini mengatakan bahwa seorang penanggung yang mengikatkan dirinya kepada seorang tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena suatu hal kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Dalam hal asuransi berganda, pada Pasal 277 KUH Dagang mengatakan bahwa jika terjadi perjanjian yang berhubungan dengan asuransi berganda atas benda yang sama dengan kepentingan yang sama dan untuk waktu yang sama, dan harga pertanggungan penuh telah ada pada penanggung yang pertama, maka penanggung kedua dibebaskan. Penanggung kedua hanya bertanggung jawab untuk pemenuhan kekurangan harga pertanggungan
29
Ibid, hal. 31
Universitas Sumatera Utara
51
apabila dalam pertanggungan pertama tidak dipertanggungkan harga sepenuhnya. 2.
Menandatangani dan menyerahkan polis kepada tertanggung; Dalam hal ini Pasal 257 mengatakan bahwa perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Ditutupnya perjanjian
menerbitkan
kewajiban
bagi
si
penanggung
untuk
menandatangani polis tersebut dalam waktu yang ditentukan dan menyerahkannya kepada si tertanggung. Pasal 259 mengatakan bahwa apabila suatu pertanggungan ditutup langsung antara si tertanggung, atau seorang yang telah diperintahnya untuk itu atau mempunyai kekuasaan untuk itu, dan si penanggung, maka haruslah polisnya dalam waktu 24 jam setelah dimintanya ditandatangani oleh pihak yang tersebut terakhir ini, kecuali apabila dalam ketentuan undang-undang dalam suatu hal tertentu, ditetapkan suatu jangka waktu yang lebih lama. Kemudian Pasal 260 mengatakan bahwa apabila pertanggungan ditutup dengan perantaraan seorang makelar, maka polis yang telah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu delapan hari setelah ditutupnya perjanjian. 3.
Mengembalikan premi kepada tertanggung jika asuransi batal atau gugur, dengan syarat tertanggung belum menanggung risiko sebagian atau seluruhnya; Dalam hal ini Pasal 281 berbunyi dalam segala hal di mana perjanjian pertanggungan itu untuk seluruhnya atau sebagian gugur atau menjadi batal,
Universitas Sumatera Utara
52
sedangkan si tertanggung telah bertindak dengan itikad baik, maka si penanggung diwajibkan mengembalikan preminya untuk seluruhnya, ataupun untuk sebagian yang sedemikian untuk mana ia tidak telah menghadapi bahaya. 4.
Agar perjanjian asuransi terlaksana dengan baik, maka masing-masing pihak dituntut untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan itikad baik yang merupakan prinsip penting dalam perjanjian pada umumnya sebagaimana tertulis dalam Pasal 1338, ayat (3) KUH Perdata; Pada prinsip ini para pihak dituntut untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik agar tidak menyebabkan suatu kerugian baik pihak tertanggung maupun penanggung. Dalam hal ini penanggung bertanggung jawab dalam memberikan informasi yang jujur, benar, dan jelas mengenai pertanggungan yang diberikan kepada tertanggung.
5.
Memberikan uang santunan kepada penikmat dalam hal meninggalnya tertanggung sesuai dengan kesepakatan yang tercantum dalam polis 30. Asuransi dapat juga diadakan untuk kepentingan pihak ketiga dan ini harus dicantumkan dalam polis. Menurut teori kepentingan pihak ketiga (the third party
interest
theory),
dalam
asuransi
jiwa,
pihak
ketiga
yang
berkepentingan itu disebut penikmat. Penikmat ini dapat berupa orang yang ditunjuk oleh tertanggung atau ahli waris tertanggung. 31 Apabila dalam hal tertanggung meninggal, maka yang berhak menerima biaya santunan ialah
30
Abdulkadir Muhammad, Penikmat yang dimaksud adalah orang yang ditunjuk oleh tertanggung atau orang yang menjadi ahli warisnya sebagai yang berhak menerima dan menikmati santunan sejumlah uang yang dibayar oleh penanggung. Op. Cit, hal. 200 31 Hukum Asuransi. Dalam http://hukumasuransi.blogspot.co.id/2009/01/asuransijiwa.html. diakses pada tanggal 2 April 2016
Universitas Sumatera Utara
53
penikmat. Yang merupakan penikmat adalah orang tua, wali yang sah, atau anak kandung.
Universitas Sumatera Utara