BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI JIWA DAN KLAIM ASURANSI JIWA
2.1 Asuransi Jiwa 2.1.1 Pengertian asuransi jiwa Manusia sepanjang hidupnya selalu dihadapkan pada kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang dapat mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya nilai ekonomi daripada manusia itu sendiri, hal ini sudah jelas akan membawa akibat kerugian baik bagi manusia itu sendiri maupun bagi keluarganya atau orang-orang lain yang berkepentingan atas objek yang diasuransikan, atau dengan kata lain manusia dalam hidupnya selalu menghadapi suatu risiko seperti misalnya meninggal dunia, baik meninggal karena usia tua atau meninggal pada usia muda karena sakit, kecelakaan dan lain sebagainya. Jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Orang yang berkepentingan dapat mengadakan asuransi itu bahkan tanpa diketahui atau persetujuan orang yang diasuransikan jiwanya. Jadi setiap orang dapat mengasuransikan jiwanya, asuransi jiwa bahkan dapat diadakan untuk kepentingan pihak ketiga. Asuransi jiwa dapat diadakan selama hidup atau selama jangka waktu tertentu yang dtetapkan dalam perjanjian. Pihak-pihak yang 24
25
mengikatkan diri secara timbal balik itu disebut penanggung dan tertanggung. Penanggung dengan menerima premi memberikan pembayaran, tanpa menyebutkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penikmatnya. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka lembaga perasuransian khususnya asuransi jiwa berusaha untuk mengalihkan ketidakpastian dari individuindividu itu ke dalam suatu kelompok besar orang-orang dengan cara membagi resiko perorangan pada banyak orang. Hal ini dapat dilaksanakan oleh lembaga perasuransian walaupun tidak dapat menentukan berapa panjang umur dari individu yang bersangkutan, atau dengan kata lain kapan individu yang bersangkutan meninggal dunia, namun umur rata-rata dari kelompok besar orang-orang secara statistic dapat ditentukan. Selanjutnya mengenai asuransi jiwa dalam arti luas dikemukakan oleh Emmy Pangaribuan Simanjuntak, sebagai suatu perjanjian dimana satu pihak mengikatkan dirinya untuk membayar sejumlah uang secara sekaligus atau periodik, sedangkan pihak lain mengikatkan dirinya untuk membayar premi dan pembayaran itu tergantung pada mati atau hidupnya seseorang tertentu atau lebih.13 Dalam Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, usaha asuransi dikelompokkan menjadi dua jenis usaha, yaitu asuransi kerugian dan usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
13
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1980, Hukum Pertanggungan, Cet. IV, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Emmy Pangaribuan Simanjuntak II), h.91.
26
Pengertian asuransi jiwa juga dikemukakan oleh Santoso Poedjosoebroto, yang menyebutkan
bahwa asuransi
jiwa adalah
Perjanjian dimana penanggung
mengikatkan diri dengan menerima premi untuk membayar sejumlah uang tertentu manakala terjadi peristiwa yang belum pasti berkaitan dengan hidup atau kesehatan seseorang.14 Asuransi jiwa merupakan bagian dari golongan asuransi sejumlah uang, karena dalam asuransi jiwa jaminannya dinyatakan dalam sejumlah uang dan bukan berdasarkan kerugian yang mungkin diderita. Sejumlah uang ini disetujui oleh penanggung dan tertanggung ketika asuransi ditutup. Penanggung akan membayar sejumlah uang pada tertanggung atau ahli warisnya jika risiko yang dijamin terjadi. Sebagai imbalan atas proteksi yang diberikan oleh penanggung, tertanggung membayar premi kepada penanggung sampai batas waktu yang disetujui bersama. Subyek dalam asuransi jiwa yaitu : a.
Pemegang Polis Pihak yang memegang/menyimpan dokumen polis.
b.
Tertanggung Pihak yang jiwa atau kesehatannya ditanggung / dilindungi oleh Asuransi.
c.
Ahli Waris Pihak yang berhak memperoleh santunan Asuransi. 15
14
Santoso Poedjosoebroto, 1969, Beberapa Aspek Tentang Pertanggungan Jiwa di Indonesia, Bharata, Jakarta, h.69. 15 A Junaedy Ganie, 2011,Hukum Asuransi Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, h. 53.
27
Selanjutnya
fungsi dari asuransi jiwa adalah sebagai Media Proteksi yaitu
memberikan santunan kepada ahli waris ketika tertanggung meninggal dunia dalam periode pertanggungan dan Media Investasi yaitu memberikan santunan kepada ahli waris atau pemegang polis ketika tertanggung tetap hidup sampai usia tertentu atau sampai akhir masa pertanggungan.
2.1.2 Jenis dan unsur asuransi jiwa Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam perundang-undangan dan perusahaan perasuransian. Istilah perasuransian berasal dari kata asuransi yang berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian.16 Di Indonesia, untuk istilah asuransi sering digunakan istilah pertanggungan. Kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan), kedua istilah ini, dipakai dalam kegiatan bisnis maupun pendidikan hukum di perguruan tinggi hukum.17 Dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dinyatakan bahwa asuransi adalah : Suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan dirinya kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang yang tidak tentu. 16
Abdul Kadir Muhammad, 2006, Hukum Asuransi Indonesia, Cet.IV, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Abdul Kadir Muhammad II), h.5. 17 A Junaedy Ganie, op. cit. h.6.
28
Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992: Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dan suatu peristiwa tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ini mencakup 2 (dua) jenis asuransi, yaitu: a. Asuransi kerugian (loss insurance), dapat diketahul dan rumusan: “untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang rnungkin ahan diderita oleh terlanggung”. b. Asuransi jumlah (sum insurance), yang meliputi asuransi jiwa dan asuransi sosial, dapat diketahui dari rumusan: “untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.” Selain terdapat pengertian dari asuransi, dalam KUHD juga diatur mengenai penggolongan asuransi. Penggolongan asuransi tersebut yakni pada Pasal 247 KUHD menyebutkan bahwa : Pertanggungan-pertanggungan itu antara lain dapat mengenai : a. Bahaya kebakaran; b. Bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belum panen;
29
c. Jiwa; satu atau beberapa d. Bahaya laut dan perbudakan; e. Bahaya yang sering mengancam pengangkutan di daratan, di sungai-sungai, dan di perairan darat. Semua penggolongan-penggolongan di atas, pada akhirnya diciutkan kembali pada klasifikasi dua besar yaitu asuransi kerugian dan asuransi sejumlah uang. Kedua asuransi tersebut, menjadi dua golongan besar asuransi karena dalam perkembangan praktek perasuransian muncul jenis-jenis asuransi baru di luar dari jenis-jenis asuransi yang disebutkan dalam KUHD, yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Semua jenis asuransi baru tersebut dimasukkan ke dalam salah satu golongan besar yakni asuransi kerugian atau asuransi sejumlah uang. 18 Terdapat perbedaan pokok antara asuransi kerugian dan asuransi sejumlah uang, diantaranya: a.
Wirjono Prodjodikoro Asuransi ganti kerugian dan sejumlah uang memiliki perbedaan yakni dalam asuransi ganti kerugian si penjamin berjanji akan mengganti kerugian tertentu yang di derita oleh si terjamin, sedang dalam asuransi sejumlah uang si penjamin berjanji akan membayar uang yang jumlahnya sudah ditentukan sebelumnya tanpa disandarkan pada suatu kerugian tertentu.19
18 19
h.4.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak II, op. cit. h.36. Wirjono Prodjodikoro, 1982, Hukum Asuransi di Indonesia, Cet. VII, PT. Intermasa, Jakarta,
30
b. Emmy Pangaribuan Simanjuntak Cara untuk mengetahui dengan mudah apakah suatu pertanggungan itu tergolong pada pertanggungan kerugian atau pertanggungan sejumlah uang tergantung pada jawaban dari pertanyaan terhadap prestasi apakah penanggung itu mengikatkan dirinya. Apabila penanggung mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi memberikan suatu jumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya maka disitulah terdapat pertanggungan sejumlah uang. Apabila mengikatkan dirinya untuk melakukan prestasi dalam bentuk mengganti rugi sepanjang ada kerugian yang timbul maka kita menghadapi pertanggungan kerugian.20 c. H.Van Barneveld Pada pertanggungan kerugian, kerugian adalah tidak pasti, apakah dan kapan peristiwa itu akan terjadi, pada pertanggungan jumlah uang kedua kepastian ini tidak perlu ada. Pada pertanggungan kerugian adalah yang diganti kerugian yang diderita. Pada pertanggungan jumlah uang dibayarkan sejumlah uang yang ditentukan lebih dulu, yang tidak perlu ada hubungannya dengan kerugian.21
20
Emmy Pangaribuan Simanjuntak II, op.cit, h.33 R. Ali Rido, 1984, Hukum Dagang Tentang Aspek-aspek Hukum Dalam Asuransi Udara dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Remadja Karya CV, Bandung, h.90. 21
31
Dari ketiga pendapat di atas, maka dalam asuransi sejumlah uang terdapat unsur-unsur sebagai berikut: a.
Penanggung akan membayar (berjanji akan membayar) sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya tanpa disandarkan pada suatu kerugian tertentu.
b.
Ketidakpastian dalam hal apakah peristiwa itu akan terjadi, tidak mutlak harus ada. Asuransi jiwa sebagai salah satu asuransi yang termasuk dalam golongan
asuransi sejumlah uang, mempunyai sifat murni sebagai sommen verzekeringsrecht karena memenuhi kedua unsur tersebut.22 Salah satu jenis asuransi yang diatur di dalam KUHD adalah asuransi jiwa. Pengaturan tentang asuransi jiwa dalam KUHD cukup singkat, hanya 7 pasal, yakni dari Pasal 302 sampai 308. Apabila diperhatikan ke tujuh pasal tersebut tidak ada rumusan tentang apa yag dimaksud dengan asuransi jiwa. Dalam Pasal 302 hanya dirumuskan : “Jiwa seseorang dapat, guna keperluan seorang yang berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama hidupnya jiwa itu, baik untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian”.
22
Ibid, h.91.
32
Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa: pertama, yang berkepentingan dalam asuransi jiwa adalah orang yang bersangkutan. Untuk itu orang tersebut dapat mengasuransikan jiwanya sendiri. Jadi yang bertindak sebagai Tertanggung adalah yang bersangkutan. Kedua, yang berkepentingan dalam hal ini bukan yang bersangkutan akan tetapi orang lain. Sekalipun demikian, orang yang akan mengasuransikan jiwa seseorang tersebut harus ada hubungan hukum, misalnya orang tua mengasuransikan anak. Pemberi kerja atau perusahaan mengasuransikan karyawannya.
Dalam
hal
ini
orang
tua
dan
ataupun
perusahaan
dapat
mengasuransikan jiwa orang tersebut karena mempunyai kepentingan, bahkan sekalipun orang yang jiwanya diasuransikan tidak mengetahui.23 Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 303 KUHD, dirumuskan : “Yang berkepentingan dapat mengadakan pertanggungan bahkan diluar pengetahuan atau persetujuan orang yang jiwanya dipertanggungkan itu”. Selanjutnya, Purwosutjipto memberikan pengertian mengenai asuransi jiwa, yakni : Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup (pengambil) asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup ( pengambil) asuransi sebagai penikmatnya.24
23 24
Sentosa Sembiring, 2014, Hukum Asuransi, Nuansa Aulia, Bandung, h. 80 Abdul Kadir Muhammad I, op.cit, h.195.
33
Berdasarkan pengertian asuransi jiwa tersebut, terdapat beberapa unsur dari asuransi jiwa yakni : a.
Perjanjian Perjanjian merupakan persetujuan antara dua orang atau lebih untuk melakukan sesuatu hal.25 Sehingga asuransi jiwa ini terjadi atas adanya kesepakatan kehendak antara para pihak, tanpa adanya paksaan ataupun tekanan dari orang lain. Konsekuensi asuransi jiwa sebagai suatu perjanjian, sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata, maka pihak harus menaati perjanjian tersebut seperti undang-undang, para pihak tidak dapat membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut, dan para pihak harus melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik dan tidak bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan dan undang-undang.
b.
Pihak-pihak dalam asuransi jiwa Berdasarkan pengertian asuransi jiwa tersebut, pihak-pihak yang terlibat dalam asuransi jiwa yakni penutup (pengambil) asuransi, penanggung dan penikmat. 1.
Penanggung Penanggung adalah perusahaan asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau matinya seseorang yang diasuransikan.
25
Abdul Kadir Muhammad I, op.cit, h.197.
34
2.
Tertanggung Penutup
(pengambil)
asuransi
diartikan
sebagai
tertanggung.
Tertanggung adalah pihak yang memberikan premi kepada penanggung dalam jangka waktu tertentu, sebagai imbalan bagi penanggung karena telah menanggung beban risiko tertanggung. 3.
Pihak yang berkepentingan Menurut teori kepentingan pihak ketiga (the third party interest theory), dalam asuransi jiwa, pihak ketiga yang berkepentingan itu disebut penikmat.26 Penikmat ini dapat berupa orang yang ditunjuk oleh tertanggung atau ahli waris tertanggung. Munculnya penikmat ini apabila terjadi evenemen meninggalnya tertanggung. Dalam hal ini, tertanggung yang meninggal itu tidak mungkin dapat menikmati santunan, tetapi penikmat yang ditunjuk atau ahli waris tertanggunglah sebagai yang berhak menikmati santunan. Penikmat selaku pihak ketiga tidak mempunyai kewajiban membayar premi terhadap penanggung. Asuransi memang diadakan untuk kepentingannya, tetapi tidak atas tanggung jawabnya.27
c.
Objek asuransi jiwa Objek dari asuransi jiwa berbeda dengan objek asuransi kerugian. Objek
26 27
Abdul Kadir Muhammad II, op. cit, h.199. Abdul Kadir Muhammad II, op. cit, h.200.
35
asuransi jiwa tidak berwujud dan tidak dapat dinilai dengan uang. Hal ini disebabkan objek asuransi jiwa adalah jiwa seseorang. d.
Evenemen dalam asuransi jiwa Abdul Kadir Muhammad dalam bukunya yang berjudul Hukum Asuransi Indonesia, merumuskan pengertian evenemen
yaitu Evenemen
adalah
peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan terjadi, walaupun sudah pasti terjadi, saat terjadinya itu tidak dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan akan terjadi, jika terjadi juga mengakibatkan kerugian.28 Peristiwa yang terdapat di dalam asuransi jiwa adalah kematian. Akan tetapi, kematian itu adalah suatu peristiwa yang telah dapat ditentukan akan terjadi, sebab semua orang nantinya pasti akan menghadapi kematian. Hanya saatnya kematian (waktu) itulah yang tidak dapat dipastikan.29 Hal ini berbeda dengan evenemen
dalam asuransi
kerugian, dimana peristiwa yang tidak pasti tersebut, diharapkan tidak akan terjadi. e.
Hak dan Kewajiban para pihak Asuransi jiwa sebagai suatu perjanjian, akan menimbulkan hubungan hukum antara para pihak yakni adanya hak dan kewajiban. Pihak penanggung berhak menerima premi dari tertanggung sebagai imbalan karena pihak penanggung telah menanggung beban risiko dari tertanggung. Selanjutnya,
28 29
Abdul Kadir Muhammad I, op.cit, h.86. Emmy Pengaribuan Simanjuntak II, op.cit, h.92.
36
apabila terjadi evenemen sebelum jangka waktu perjanjian berakhir, maka penanggung wajib memberikan pembayaran atau uang santunan kepada tertanggung sesuai dengan yang diperjanjikan, atau jika berakhirnya jangka waktu asuransi tanpa terjadi evenemen , maka penanggung wajib membayar sejumlah uang pengembalian kepada tertanggung.
2.2 Klaim Asuransi 2.2.1 Pengertian klaim asuransi Di dalam penulisan skripsi ini, pengertian klaim yang dirumuskan oleh S. Wojowasito dan W.J.S Poerwadarminto, adalah “Tuntutan atau menuntut”30 Penggunaan di dalam penulisan ini pengertian atau istilah klaim tidaklah diartikan seperti apa yang dirumuskan di atas, tuntutan atau menuntut, akan tetapi pengertian klaim dalam industri asuransi jiwa adalah suatu pengembalian hak tertanggung oleh penanggung atas hal-hal yang diperjanjikan dalam polis, seperti umpamanya : 1. Klaim akhir kontrak, yaitu pengembalian hak tertanggung oleh penanggung sebagai akibat telah berakhirnya masa pertanggungan atau kontrak yang telah diperjanjikan dalam polis. 2. Klaim meninggal dunia, yaitu pengembalian hak tertanggung oleh penanggung kepada ahli waris tertanggung sebagai akibat meninggalnya tertanggung dalam masa pertanggungannya.
30
S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwa Darminto, 1972, Kamus Lengkap Inggris Indonesia dan Indonesia Inggris, Cet. III, Jakarta, h.23.
37
3. Klaim nilai tunai, yaitu pengembalian hak tertanggung oleh penanggung akibat wanprestasi tertanggung. Jika kalau melihat uraian tersebut di atas, maka sudah jelas bahwa pengertian klaim di dalam asuransi jiwa tidaklah dapat diartikan sebagai tuntutan atau ganti rugi, karena mengingat jiwa manusia tidak mungkin diganti dengan uang.
2.2.2 Penyebab terjadinya klaim Persoalan peristiwa tertentu atau evenemen erat sekali hubungannya dengan persoalan ganti kerugian. Dalam Pasal 204 KUHD yang mengatur tentang isi polis, tidak ada ketentuan keharusan mencantumkan evenemen dalam polis asuransi jiwa. Dalam asuransi jiwa, yang dimaksud dengan bahaya adalah meninggalnya orang yang jiwanya diasuransikan. Meninggalnya seseorang itu merupakan hal yang sudah pasti, setiap makhluk bernyawa pasti mengalami kematian. Tetapi kapan meninggalnya seseorang tidak dapat dipastikan. Inilah disebut peristiwa tidak pasti (evenemen) dalam asuransi jiwa. Evenemen meninggalnya tertanggung itu berisi dua, yaitu meninggalnya itu benar-benar terjadi sampai jangka waktu asuransi, dan benar-benar tidak terjadi sampai asuransi berakhir. Kedua-duanya menjadi beban penanggung. Tuntutan ganti kerugian oleh tertanggung kepada penanggung inilah biasanya disebut klaim atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa klaim adalah tuntutan terhadap hak yang timbulnya disebabkan karena adanya perjanjian asuransi yang telah berakhir. Adapun
38
penyebab terjadinya klaim adalah : 1. Tertanggung meninggal dunia. 2. Pemegang polis menghentikan pembayaran preminya dan memutuskan perjanjian asuransinya pada saat polisnya sudah mempunyai nilai tunai. 3. Perjanjian asuransi sudah berakhir sesuai dengan jangka waktu yang tercantum dalam polis dan kewajiban pemegang polis telah terpenuhi atau polis dalam keadaan lapse tetapi telah mempunyai nilai tunai. 4. Tertanggung mendapat kecelakaan. 5. Tertanggung karena suatu penyakit perlu opname atau rawat jalan.
2.3 Dasar Hukum Perjanjian Asuransi Jiwa a.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Perjanjian Asuransi tidak termasuk perjanjian yang secara khusus diatur
dalam KUH Perdata, tetapi pengaturannya dalam KUHD. Walaupun demikian berdasarkan Pasal 1 KUHD ketentuan umum perjanjian dalam KUHPerdata dapat berlaku pula bagi perjanjian Asuransi untuk kepentingan pemegang polis yang terdapat beberapa ketentuan dalam KUHPerdata yang perlu diperhatikan. Ketentuan yang dimaksud antara lain : 1.
Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu, orang lain atau lebih”
39
2.
Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian yaitu :
3.
a.
Sepakat mereka yang mengikat diri
b.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c.
Suatu hal tertentu
d.
Suatu sebab yang halal
Pasal 1318 KUHPerdata yang mengenai ahli waris dari pemegang polis / tertanggung dalam perjanjian asuransi yang mempunyai hak untuk dilaksanakan prestasi dari perjanjian tersebut.
4.
Untuk mencegah penanggung menambah syarat-syarat lainnya dalam memberikan ganti rugi atau sejumlah uang, maka sebaiknya pemegang polis memperhatikan ketentuan Pasal 1253 sampai dengan Pasal 1262 KUHPerdata.
5.
Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) yang menyatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Oleh karena itu pemegang polis dan penanggung terikat untuk memenuhi perjanjian yang telah dibuatnya. Selanjutnya Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata berbunyi : “Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.
40
Dengan demikian apabila misalnya pemegang polis terlambat membayar premi, maka penanggung tidak secara sepihak menyatakan perjanjian Asuransi batal. Dilain pihak pemegang polis pun demikian pula. Pasal 1338 KUHPerdata ayat (3) yang menegaskan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. 6.
Pasal 1339 KUHPerdata yang melahirkan asas kepatuhan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat, perjanjian, diharuskan oleh kepatutan , kebiasaan, atau undang-undang”.
7.
Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351 KUHPerdata yang mengenai penafsiran perjanjian harus diperhatikan pula oleh para pihak yang mengadakan perjanjian asuransi.
8.
Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melanggar hukum dapat juga dipergunakan oleh pemegang polis apabila dapat membuktikan penanggung telah melakukan perbuatan yang merugikannya.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Sebagai sumber pengaturan yang utama dari perjanjian Asuransi terdapat dalam KUHD. Pengaturan Asuransi dalam KUHD adalah sebagai berikut:
41
1.
Buku I Bab X diatur tentang beberapa jenis Asuransi yaitu Asuransi terhadap bahaya kebakaran, Asuransi terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasilhasil pertanian yang belum dipanen dan tentang Asuransi Jiwa.
2.
Buku II Bab IX mengatur tentang Asuransi terhadap bahaya laut dan bahaya pembudakan.
3.
Bab X mengatur tentang Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan di daratan, di sungai dan di perairan darat.31 Dalam peraturan Asuransi dan ketentuan yang bersifat memaksa dan
peraturan yang bersifat menambah. Contoh ketentuan yang bersifat memaksa adalah seperti yang diatur dalam Pasal 250 KUHD yang artinya sebagai berikut : “Bahwa untuk dapat ditutupnya perjanjian asuransi di syaratkan tertanggung harus mempunyai kepentingan”. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka penanggung tidak diwajibkan memberikan
ganti
kerugian.32
Dalam
hubungan
dengan
perlindungan
kepentingan pemegang polis asuransi, dalam KUHD terdapat beberapa peraturan lainnya yaitu : a.
Pasal 254 KUHD yang melarang para pihak dalam perjanjian, baik pada waktu diadakan perjanjian maupun selama berlangsungnya perjanjian asuransi menyatakan melepaskan hak-hak yang oleh ketentuan Undang-
31 32
M. Suparman S. dan Endang, 1993, Hukum Asuransi, Bandung,Alumni, h.16. Ibid.
42
Undang diharuskan sebagai pokok suatu perjanjian Asuransi ataupun hal-hal yang dengan tegas telah dilarang. Apabila hal demikian dilakukan mengakibatkan perjanjian Asuransi batal. Ketentuan ini diberlakukan terutama untuk mencegah supaya perjanjian Asuransi tidak menjadi perjudian dan pertaruhan. Untuk kepentingan polis hal itu dapat terjadi seperti contoh sebagai berikut : “telah ditutupnya perjanjian Asuransi antara pemegang polis dengan penanggung” Setelah Asuransi berjalan beberapa lama kemudian pihak penanggung menyatakan hal-hal seperti yang dilarang dalam Pasal 254 KUHD tersebut.33 b.
Pasal 257 KUHD Pasal 257 KUHD merupakan penerobosan dari ketentuan Pasal 255 KUHD. Pasal 255 KUHD menyatakan bahwa Asuransi harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Memperhatikan Pasal 255 KUHD tersebut seolah-olah polis merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya perjanjian Asuransi. Hal itu ternyata tidak benar apabila diperhatikan Pasal 257 KUHD. Dalam Pasal 257 KUHD disebutkan : “Bahwa perjanjian Asuransi diterbitkan seketika setelah ditutup, hak dan kewajiban bertimbal balik dari penanggung dan tertanggung mulai berlaku sejak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani”.
33
Ibid, h.17.
43
Dengan demikian perjanjian Asuransi merupakan perjanjian konsensual sehingga telah terbentuk dengan adanya kata sepakat kedua belah pihak. Dalam hal polis hanya merupakan alat bukti saja. Dalam hubungan dengan ini apabila kedua belah pihak telah menutup perjanjian Asuransi tetapi polisnya belum dibuat, maka tertanggung tetap berhak menuntut ganti rugi apabila peristiwa yang diperjanjikan terjadi. Adapun yang harus dilakukan oleh tertanggung adalah membuktikan bahwa perjanjian Asuransi dimaksud terbentuk.34 b.
Pasal 258 KUHD mengenai pembuktian adanya Perjanjian Asuransi. Disebutkan bahwa untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun demikian alat pembuktian yang lain juga boleh dipergunakan apabila sudah ada permulaan pembuktian dengan tulisan. Istilah tulisan dalam bagian permulaan pasal tersebut dapat diartikan sebagai polis. Tetapi istilah tulisan dalam bagian terakhir harus diartikan surat yang bukan polis. Biasanya dalam praktek perjanjian Asuransi di samping polis juga ada surat lain seperti surat-menyurat (korespodensi) antara tertanggung dan penanggung, catatan penanggung, nota penutupan dan sebagainya.35
d.
Pasal 269 KUHD yang mengatur bahwa dalam perjanjian Asuransi dianut peristiwa yang belum pasti terjadi secara subyektif. Maksudnya bahwa
34 35
Ibid. h.19. Ibid.
44
apabila Asuransi ketika ditutup, peristiwanya sudah terjadi adalah batal jika tertanggung atau orang yang atau tanpa pemberian kuasa telah mengadakan perjanjian Asuransi, telah mengetahui bahwa kerugian atau peristiwa tersebut telah terjadi. Dengan demikian apabila tertanggung belum mengetahui bahwa kerugian / peristiwa yang telah terjadi , maka perjanjian tersebut tidak menjadi batal.36 e.
Peraturan perundang-undangan lainnya 1). Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian , yaitu Pasal 1 tentang Asuransi pada umumnya dan Pasal 6 tentang Asuransi Jiwa. 2). Keputusan Menteri Keuangan RI NO 125/ KMK.013 / 1998 tanggal 2 Desember 1998 tentang Usaha Asuransi Jiwa.
2.4 Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi Jiwa Mengingat asuransi adalah perjanjian, maka ketentuan-ketentuan perikatan dan perjanjian yang terdapat dalam buku III KUHPerdata dapat berlaku bagi perjanjian asuransi, selama ketentuan-ketentuan KUHD tidak mengatur, sehingga ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPerdata berlaku juga bagi perjanjian asuransi.36 Selain ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syarat-syarat khusus yang diatur dalam KUHD. Syarat-syarat sah suatu perjanjian
36 36
Ibid, h.24. Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang, op. cit, h.17.
45
diatur dalam Pasal 132KUHPerdata dan syarat yang diatur dalam KUHD, diatur dalam Pasal 250 KUHD dan Pasal 251 KUHD. Hal ini berlaku pula untuk perjanjian asuransi jiwa, karena berdasarkan Pasal 247 KUHD salah satu jenis asuransi adalah asuransi jiwa. Syarat-syarat sahnya perjanjian asuransi jiwa, antara lain : 1.
Kesepakatan (consensus) Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung dibuat secara bebas, artinya tidak berada dibawah pengaruh, tekanan,atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
2.
Kewenangan (authority) Para pihak berwenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh Undang-Undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada dibawah perwalian (trusteeship), atau pemegang kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai hubungan yang sah dengan objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan milik sendiri.
46
3.
Objek tertentu (fixed object) Objek asuransi meliputi objek asuransi kerugian dan objek asuransi jumlah bukan benda. Hal ini diketahui dari kata bagian akhir rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, yaitu untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dengan demikian, objek asuransi tidak hanya meliputi harta kekayaan, tetapi juga jiwa atau raga manusia.
4.
Kausa yang halal (legal cause) Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi tidak dilarang Undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Berdasarkan kausa yang halal, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. 38 Syarat sahnya perjanjian asuransi jiwa, juga terdapat di dalam ketentuan
KUHD, diantaranya : 1.
Adanya kepentingan Pada Pasal 250 KUHD, dirumuskan bahwa dalam setiap asuransi, kepentingan itu harus ada. Jika tidak ada kepentingan atas benda yang
38
Abdul Kadir Muhammad I, op.cit, h.26.
47
diasuransikan, penanggung tidak diwajibkan membayar klaim. Kepentingan dalam asuransi jiwa dilandasi oleh beberapa hal atau kepentingan itu dapat timbul dari beberapa hal yaitu :
a.
Interest atau kepentingan dari seseorang atas hidupnya sendiri.
b.
Kepentingan berdasarkan hubungan keluarga jadi ada kepentingan yang timbul dari cinta atau kasih sayang atau perhatian seperti hubungan keluarga karena darah atau perkawinan.
c.
Kepentingan yang timbul atas dasar kebutuhan ekonomi (keuntungan). 39 Selanjutnya Pasal 268 KUHD merumuskan bahwa, asuransi dapat
mengenai segala kepentingan yang dapat dinilai dengan uang. Dalam asuransi jiwa, walaupun terdapat kepentingan seseorang atas meninggalnya orang yang atas jiwanya diadakan asuransi, tetapi kepentingan itu tidak dapat dinilai dengan uang. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 268 KUHD, maka asuransi jiwa tidak dapat dimasukkan ke dalam hakekat asuransi, sehingga asuransi jiwa digolongkan ke dalam perjanjian asuransi yang tidak sesungguhnya.40 2.
Pemberitahuan (notification) Salah satu teori ilmu hukum yang dikenal dalam hukum asuransi adalah teori objektivitas. Menurut teori ini, setiap asuransi harus mempunyai
39
Emmy Pangaribuan Simanjuntak II, op.cit, h.53. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1990, Hukum Pertanggungan (Pokok-pokok Pertanggungan Kerugian, Kebakaran dan Jiwa), Cet. X, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Emmy Pangaribuan simanjuntak III), h.93. 40
48
objek tertentu.41 Objek tertentu artinya jenis, identitas, dan sifat yang dimiliki objek tersebut harus jelas dan pasti. Semua hal terssebut wajib diberitahukan oleh tertanggung kepada penanggung, tidak boleh ada yang disembunyikan. Pemberitahuan dalam asuransi jiwa, dilakukan saat calon tertanggung memberitahukan informasi mengenai dirinya secara jujur kepada penanggung. Berdasarkan pemberitahuan tersebut penanggung dapat mempertimbangkan apakah akan
menerima
pengalihan risiko
dari
tertanggung atau tidak. Pemberitahuan ini berkaitan dengan prinsip itikad baik yang terkandung di dalam Pasal 251 KUHD.
2.5 Polis dalam Perjanjian Asuransi Jiwa Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti yang sangat penting karena berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak hanya bagi para pihak saja, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dalam perjanjian bersangkutan. Undang-undang menentukan bahwa perjanjian asuransi harus ditutup dengan suatu akta yang disebut polis. Pada Pasal 255 KUHD dirumuskan bahwa : “Suatu tanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis”. Selanjutnya Pasal 257 mengatur tentang saat perjanjian asuransi itu mulai dianggap ada, yaitu sejak adanya kata sepakat/ sejak saat ditutup, bahkan sebelum 41
Abdul Kadir Muhammad II, op.cit, h.53.
49
polis ditandatangani. Polis sebagai suatu akta yang formalitasnya diatur di dalam undang-undang, mempunyai arti yang sangat penting pada perjanjian asuransi, baik pada tahap awal, selama perjanjian berlaku dan dalam masa pelaksanaan perjanjian. Jadi polis tetap mempunyai arti yang sangat penting di dalam perjanjian asuransi, meskipun bukan merupakan syarat bagi sahnya perjanjian, karena polis merupakan satu-satunya alat bukti bagi tertanggung terhadap penanggung. Undang-undang menentukan bahwa polis dibuat dan ditandatangani oleh penanggung sebagaimana diatur pada Pasal 256 ayat 3 bahwa polis tersebut harus ditandatangani oleh tiap-tiap penanggung.42 Di samping itu polis juga mempunyai arti sangat penting bagi tertanggung, sebab polis itu merupakan bukti yang sempurna dan satu-satunya alat bukti tentang apa yang mereka (penanggung dan tertanggung) perjanjikan dalam perjanjian pertanggungan. Jadi bagi tertanggung polis itu mempunyai nilai yang sangat menentukan dalam pembuktian haknya. Tanpa polis maka pembuktian akan menjadi sulit dan terbatas. Lebih lanjut Mehr dan Cammack-A. Hasyim membagi polis asuransi jiwa menjadi beberapa jenis yakni : a. Polis Asuransi bermasa (term insurance) Pada jenis polis asuransi ini perjanjian asuransi dilakukan untuk sejumlah tahun tertentu. Dalam perjanjian ini, penanggung akan berjanji akan membayarkan jumlah
42
Sri Rejeki Hartono, op.cit, h.122
50
nominal polis kepada pihak ketiga atau pihak yang berkepentingan sekiranya tertanggung meninggal dunia dalam waktu tertentu. Jika tertanggung tidak meninggal selama jangka waktu tertentu, perjanjian asuransi berakhir. b. Polis Asuransi Dwiguna (endowment insurance) Pada jenis polis ini, perusahaan asuransi berjanji akan membayarkan sejumlah uang tertentu kepada pihak berkepentingan atau ahli waris sekaligus jika tertanggung meninggal dalam jangka waktu usia polis, atau jumlah itu dibayarkan kepada tertanggung jika ia hidup terus sesudah jangka waktu polis tersebut. c. Polis Asuransi Jiwa lengkap (whole life insurance) Pada jenis polis ini perusahaan asuransi menanggung seluruh hidup tertanggung.43 Perbedaan polis asuransi jiwa dengan polis asuransi pada umumnya hanya dari isi polis, dimana isi polis asuransi jiwa diatur dalam Pasal 304 KUHD dan isi polis pada umumnya diatur dalam Pasal 256 KUHD. Menurut ketentuan Pasal 304 KUHD, polis asuransi jiwa memuat: a. Hari diadakan asuransi b. Nama tertanggung c. Nama orang yang jiwanya diasuransikan d. Saat mulai dan berakhirnya evenemen e. Jumlah asuransi f. Premi asuransi
43
Merh dan Cammack-A.Hasymi. 1981. Bidang Usaha Asuransi, Jakarta, Balai Aksaran, h.83
51
Dalam Pasal 304 KUHD yang mengatur tentang isi polis, tidak ada ketentuan keharusan mencantumkan evenemen dalam polis asuransi jiwa. Hal ini berbeda dengan asuransi kerugian, dalam Pasal 256 KUHD ayat (1) KUHD diatur mengenai isi polis yang mengharuskan pencantuman bahaya-bahaya yang menjadi beban penanggung. Dalam asuransi jiwa yang dimaksud dengan bahaya adalah meninggalnya orang yang jiwanya diasuransikan. Meninggalnya seseorang itu merupakan hal yang sudah pasti, setiap makhluk bernyawa pasti mengalami kematian.
2.6 Premi dalam Perjanjian Asuransi Jiwa Premi Asuransi jiwa adalah uang yang dibayarkan kepada pembawa asuransi dalam pertukaran untuk membayar manfaat, uang pertangungan umumnya dibayarkan setelah kematian orang yang diasuransikan, kepada penerima yang disebutkan dalam polis asuransi jiwa. Jumlah premi tergantung pada sejumlah faktor yang berhubungan dengan kebijakan, seperti jenis asuransi jiwa lainnya, kemungkinan kematian tertanggung selama jangka waktu kebijakan tersebut, biaya administrasi dan komisi agen termasuk dalam faktornya yang turur mempengaruhi. Tarif premi asuransi jiwa juga dipengaruhi oleh kondisi keuangan perusahaan asuransi,
termasuk
pertimbangan
seperti
kemampuan
perusahaan
untuk
mengantisipasi membayar klaim dalam jangka pendek.44
44
H. Mashudi dan Moch, Chidir Ali, 1995, Hukum Asuransi, Bandung, Mandar Maju, h.73
52
Setiap perusahaan dalam operasionalnya sehari-hari akan berusaha untuk dapat meningkatkan jumlah penerimaan kas yang masuk dan meminimalisasi biaya operasional yang harus dikeluarkan dalam perusahaan asuransi. Salah satu sumber penerimaan kas adalah dari penerimaan pendapatan premi asuransi. Menurut Sri Susilo, Sigit Triandaru, dan A Totok Budi Santoso pengertian premi adalah : “Kewajiban pihak tertanggung kepada pihak penanggung yang berupa pembayaran uang dalam jumlah tertentu secara periodik, premi merupakan harga dari produk asuransi yang cara pembayarannya beragam berdasarkan produk asuransi”. Dalam asuransi yang dimaksud dengan premi adalah pembayaran dari tertanggung kepada penanggung, sebagai imbalan jasa atas peralihan risiko pada penanggung. Dengan demikian premi asuransi merupakan : 1.
Imbalan jasa atas jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada tertanggung untuk menghitung kerugian yang mungkin diderita tertanggung.
2.
Imbalan jasa atas jaminan perlindungan yang diberikan oleh penanggung kepada tertanggung dengan menyediakan sejumlah uang terhadap risiko. Premi asuransi merupakan kontra prestasi dari tertanggung kepada penanggung sebagai akibat dari dialihkannya risiko kerugian kepada pihak penanggung. Premi adalah salah satu unsur yang penting dalam asuransi karena premi
adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung. Dalam
53
hubungan hukum pertanggungan, penanggung menerima peralihan risiko dari tertanggung dan tertanggung mempunyai kewajiban membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila premi tidak dibayar, pertanggungan dapat diputuskan, atau setidak-tidaknya asuransi tersebut tidak berjalan. Untuk mencegah terjadinya pemutusan asuransi setiap ada kelambatan pembayaran premi, biasanya para pihak menentukan klausula janji di dalam polis asuransi yang dibuat. Klausula janji tersebut menentukan premi harus dibayar dimuka (pada waktu yang telah ditentukan). Apabila tidak dibayar pada waktu yang telah ditentukan, asuransi tersebut tidak berjalan.45 Hal ini berlaku juga pada asuransi jiwa. Besarnya jumlah premi asuransi jiwa, yang harus dibayar tertanggung kepada penanggung ditetapkan oleh kedua belah pihak, karena asuransi jiwa termasuk dalam asuransi sejumlah uang, yakni untuk membayar suatu jumlah uang (premi) yang besarnya sudah ditentukan sejak awal atau terlebih dahulu.
2.7 Mulai dan Berakhirnya Perjanjian Asuransi Jiwa Kesepakatan untuk mengadakan perjanjian asuransi jiwa, berkaitan dengan dimulainya hak dan kewajiban dari penanggung dan tertanggung. Untuk menyatakan kapan dimulainya perjanjian asuransi yang dibuat oleh tertanggung dan penanggung, terdapat dua teori terjadinya perjanjian asuransi yakni :
45
Abdul Kadir Muhammad I, op.cit. h.75.
54
a. Teori tawar-menawar (bargaining theory) Teori tawar-menawar dikenal juga dengan sebutan offer and acceptance theory. Menurut teori ini, setiap perjanjian hanya akan terjadi antara kedua pihak apabila penawaran dari pihak yang satu dihadapkan dengan penerimaan oleh pihak yang lainnya dan sebaliknya. b. Teori penerimaan (acceptance theory) Menurut teori penerimaan, saat terjadinya perjanjian bergantung pada kondisi konkret yang dibuktikan oleh perbuatan nyata (menerima) atau dokumen perbuatan hukum (bukti menerima).46 Kedua teori tersebut, tertuang di dalam KUHD, yakni pada Pasal 257 ayat (1) dan Pasal 255 KUHD. Dalam Pasal 257 ayat (1) KUHD ditegaskan bahwa perjanjian asuransi terjadi seketika setelah tercapainya kesepakatan antara para pihak, sehingga hak dan kewajiban timbal balik timbul sejak saat itu, walaupun sebelum polis ditandatangani. Hal ini mencerminkan bahwa perjanjian asuransi itu adalah perjanjian konsensual.47 Namun ketentuan tersebut, bertentangan dengan ketentuan Pasal 255 KUHD, yang juga menegaskan bahwa asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis. Untuk mengatasi hal tersebut, Pasal 257 KUHD memberikan ketegasan, walaupun belum dibuatkan polis, asuransi sudah terjadi sejak tercapai kesepakatan antara tertanggung dan penanggung, yang disertai dengan adanya hak dan kewajiban dari penanggung dan tertanggung. Kesepakatan itu
46 47
Abdul Kadir Muhammad II, op.cit. h.54. BPHN, 1980, Tentang Hukum Asuransi, Binacipta, Jakarta, h.35.
55
dibuktikan dengan nota persetujuan yang ditandatangani oleh tertanggung. Selanjutnya, perjanjian asuransi jiwa juga dapat berakhir. Berakhirnya perjanjian asuransi jiwa, umumnya disebabkan oleh: a.
Terjadi evenemen Dalam asuransi jiwa, satu-satunya evenemen yang menjadi beban penanggung adalah meninggalnya tertanggung. Terhadap evenemen inilah diadakan asuransi jiwa antara tertanggung dan penanggung. Apabila dalam jangka waktu yang diperjanjikan terjadi peristiwa meninggalnya tertanggung, maka penanggung berkewajiban membayar uang santunan kepada pihak ketiga yang ditunjuk oleh tertanggung sebagai ahli warisnya.
b.
Jangka waktu berakhir Apabila jangka waktu berlaku asuransi jiwa itu habis tanpa terjadi evenemen , maka beban risiko penanggung berakhir. Dengan demikian, asuransi jiwa berakhir sejak jangka waktu berlaku asuransi habis diikuti dengan pengembalian sejumlah uang kepada tertanggung.
c.
Asuransi gugur Menurut ketentuan Pasal 306 KUHD, pasal ini mengatur asuransi jiwa untuk kepentingan pihak ketiga. Kata-kata bagian akhir pasal tersebut, kecuali jika diperjanjikan lain memberi peluang kepada para pihak untuk memperjanjikan menyimpang dari ketentuan pasal ini, misalnya asuransi yang diadakan itu tetap dinyatakan sah asalkan tertanggung betul-betul tidak mengetahui telah meninggalnya pihak ketiga.
56
d.
Asuransi dibatalkan Asuransi jiwa dapat berakhir karena pembatalan sebelum jangka waktu berakhir. Pembatalan tersebut dapat terjadi karena tertanggung tidak melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan perjanjian atau karena permohonan tertanggung sendiri. Pembatalan asuransi jiwa dapat terjadi sebelum premi mulai dibayar ataupun sesudah premi dibayar menurut jangka waktunya.48
48
Abdul Kadir Muhammad II, op. cit, h.201.