BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Pasar Modal Pengertian pasar modal menurut UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995 adalah
kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga profesi yang berkaitan dengan efek. Pasar sekuritas atau pasar modal yang merupakan pasar tempat modal ekuitas dikumpulkan adalah tempat saham-saham para pemegang saham diperdagangkan (Hendriksen dan Van Breda, 2000). Umumnya surat-surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal dapat dibedakan menjadi surat berharga bersifat utang dan surat berharga yang bersifat pemilikan. Surat berharga yang bersifat utang dikenal dengan nama obligasi dan surat berharga yang bersifat pemilikan dikenal dengan nama saham. Lebih jauh dapat juga didefinisikan bahwa obligasi adalah bukti pengakuan utang dari perusahaan, sedangkan saham adalah bukti penyertaan dari perusahaan. Meskipun aktivitas sehari-hari pasar modal adalah jual beli surat berharga atau efek jangka panjang, tujuan utama penyelenggaraan pasar modal adalah menumpuk sumber pembiayaan, baik bagi pemerintah maupun bagi dunia usaha untuk kegiatan yang bersifat produktif (Winarto dkk., 1997).
13
14
Pasar modal memiliki peran penting bagi perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi (Martalena dan Malinda, 2011). Pertama, sebagai sarana bagi pendanaan usaha atau sebagai sarana bagi perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat (investor). Kedua, pasar modal menjadi sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan seperti saham, obligasi, dan reksadana. Pasar modal menjadi sumber dana yang sangat potensial bagi perusahaan yang membutuhkan dana jangka panjang. Pasar modal merupakan mediator yang mempertemukan perusahaan dengan masyarakat yang memiliki kelebihan dana untuk selanjutnya bertindak sebagai investor. Agar dapat selalu terselenggara dengan baik, pasar
modal memiliki sejumlah pelaku yang masing-masing
mempunyai berbagai fungsi yang saling terkait. Sebagai pengawas terbentuklah Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) yang bekerja langsung di bawah Menteri Keuangan. Sementara itu, para pemain utama dan lembaga penunjang yang terlibat langsung dalam proses transaksi di pasar modal adalah sebagai berikut (Sitompul, 2000) : 1. Emiten 2. Investor 3. Bursa Efek 4. Lembaga Kliring dan Penjaminan 5. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian 6. Reksadana 7. Perusahaan Efek dan Wakil Perusahaan Efek
15
8. Penasehat Investasi 9. Lembaga Penunjang, seperti : a. Kustodian b. Biro Administratif Efek c. Wali amanat (trustee). 10. Profesi Penunjang, seperti : a. Penasehat Hukum Perusahaan b. Akuntan/Auditor c. Perusahaan Penilai d. Notaris Secara umum tujuan akuntansi yang didasarkan pada pasar adalah menyediakan informasi yang memungkinkan pengalokasian sumber daya yang optimal dan memungkinkan investor memiliki portofolio sekuritas yang optimal menurut preferensi risiko (Hendriksen dan Van Breda, 2000). Dengan kata lain, informasi
diperlukan
dalam
menetapkan
harga-harga
sekuritas
yang
mencerminkan hubungan risiko dan imbalan. Pasar efisien (market efficient) adalah suatu kondisi dimana informasi tentang semua harga dapat diperoleh secara terbuka dan cepat tanpa ada hambatan yang khusus. Pada pasar yang efisien, harga sekuritas seharusnya mencerminkan semua informasi yang tersedia tidak memihak. Efisien di sini berhubungan dengan kecepatan reaksi pasar dan ketepatan tanggapannya. Hipotesis Pasar Modal (Efficient-Market Hypothesis) menyatakan bahwa tidak ada informasi yang relevan yang terabaikan oleh pasar.
16
Analisis mengenai pasar memunculkan tiga bentuk efisiensi pasar, yaitu lemah, semikuat, dan kuat. Efficient-Market Hypothesis (EMH) bentuk lemah menyatakan bahwa harga-harga sekuritas mencerminkan informasi masa lalu yang berisi serangkaian harga historis. EMH bentuk kuat menyatakan bahwa harga sekuritas mencerminkan semua informasi baik informasi publik maupun informasi privat (informasi istimewa), sedangkan EMH bentuk semikuat menyatakan bahwa harga-harga sekuritas mencerminkan semua informasi sekarang dan masa lalu yang tersedia bagi publik. Menurut Irham dan Hadi (2009), agar tercipta suatu pasar modal yang efisien, terdapat syarat-syarat umum yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut diuraikan sebagai berikut : a. Disclosure. Berbagai informasi pengetahuan dan perkiraan direfleksikan atau tergambarkan secara akurat dalam harga pasar. Masing-masing pihak mengetahui sebab-musabab naik-turunnya harga tersebut dari berbagai perolehan informasi baik dari sisi fundamental dan teknikal analisis. Datadata tersebut dapat diperoleh tanpa ada batas dan biaya dengan waktu yang cepat dan akurat serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. b. Pasar dalam keadaan seimbang. Usaha untuk memasukan informasi baru akan menghasilkan nilai intrinsik saham yang memungkinkan terciptanya equilibrium pasar. c. Kondisi pasar berlangsung secara bebas. Tidak ada seorang pun yang bisa mempengaruhi kondisi harga di pasar. Berbagai pihak memperoleh informasi yang sama dan tidak ada saling intervensi.
17
2.1.2
Go Public dan Initial Public Offering Perusahaan memiliki berbagai alternatif sumber pendanaan, baik yang
berasal dari dalam maupun luar perusahaan. Alternatif pendanaan dari dalam perusahaan umumnya menggunakan laba yang ditahan perusahaan. Alternatif pendanaan dari luar perusahaan dapat berasal dari kreditur berupa utang dan pembiayaan bentuk lain, seperti penerbitan surat-surat utang atau pendanaan yang bersifat penyertaan dalam bentuk saham. Pendanaan melalui mekanisme penyertaan umumnya dilakukan dengan menjual saham perusahaan kepada masyarakat yang dikenal dengan istilah go public. Menurut Brigham dan Ehrhardt (2002), “Go public means selling some of a company’s stock to outside investors and then letting the stock trade in public markets”. Pada saat perusahaan memutuskan untuk go public, perusahaan tersebut memperoleh beberapa keuntungan diantaranya adalah : 1. Perusahaan akan mendapatkan dana tunai yang dapat digunakan sebagai modal jangka panjang. 2. Perusahaan mampu meningkatkan likuiditas perusahaan. 3. Memberi kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan diversifikasi. 4. Mempengaruhi nilai perusahaan. Widarjo (2011) menyatakan faktor lain yang mungkin menjadi pendorong perusahaan untuk go public adalah adanya dukungan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. UU PPh Pasal 17 memberikan fasilitas pengurangan berupa penurunan tarif sebesar 5% dari tarif yang berlaku bagi wajib pajak badan yang sahamnya diperdagangkan minimal 40% di bursa efek
18
(Republik Indonesia, 2008). Sementara itu, terdapat hal lain yang harus dilakukan perusahaan sebagai konsekuensi dari go public (Brigham dan Ehrhardt, 2002), seperti : 1. Perusahaan diharuskan mengeluarkan laporan triwulan dan laporan tahunan tentang perusahaan, laporan-laporan ini menimbulkan biaya pelaporan (cost of reporting). 2. Adanya keterbukaan (disclosure) manajemen perusahaan yang berkaitan dengan operasi dan permodalan. Hal tersebut mengakibatkan para pesaing dan pihak luar dapat dengan mudah mengetahui kondisi perusahaan. 3. Kepentingan pribadi (self dealing) bagi perusahaan go public sudah tidak berlaku lagi. 4. Kemungkinan terjadi keadaan dimana saham tidak aktif diperdagangkan, pasar lesu, dan harga yang rendah (inactive market price) setelah perusahaan go public. Perusahaan yang memutuskan untuk go public akan melakukan penawaran umum saham perdana atau Initial Public Offerings (IPO). IPO terjadi ketika efek ditawarkan kepada masyarakat (investor) oleh penjamin emisi untuk pertama kalinya. UU No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal menyatakan bahwa penawaran umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual saham atau efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh Undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya. Ketika suatu perusahaan melakukan IPO, transaksi tersebut terjadi di pasar perdana. Pada pasar ini, perusahaan memperoleh dana melalui penjualan saham
19
hasil perdagangan antara perusahaan dan investor. Setelah terlaksananya penawaran perdana, saham-saham tersebut kemudian dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Transaksi yang terjadi di pasar sekunder hanya antarinvestor, perusahaan tidak akan memperoleh tambahan dana dari setiap transaksi yang terjadi. Harga saham yang terbentuk di pasar sekunder didasarkan pada permintaan dan penawaran (mekanisme pasar), sedangkan harga yang terbentuk di pasar perdana merupakan kesepakatan antara pihak emiten dan pihak penjamin emisi (underwriter). McInish (2000) berpendapat bahwa pada saat IPO terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan underwriter. Sebagai pihak yang membutuhkan dana, emiten menginginkan harga yang tinggi. Harga yang tinggi akan mempengaruhi respon calon investor terhadap saham yang ditawarkan. Keadaan ini membuat penjamin emisi berupaya untuk meminimalkan risiko dengan melakukan negosiasi dengan emiten agar harga saham-saham tersebut tidak terlalu tinggi. Alasan inilah yang menyebabkan penerbitan saham perdana atau IPO sering dijumpai fenomena underpricing. Underpricing adalah suatu keadaan dimana harga saham pada saat penawaran perdana lebih rendah dibandingkan ketika diperdagangkan di pasar sekunder.
2.1.3
Prospektus Pada saat perusahaan melakukan IPO yang dilaksanakan di pasar perdana,
tidak ada harga pasar saham hingga dimulainya perdagangan di pasar sekunder. Pada pasar perdana, umumnya investor memiliki informasi terbatas, seperti yang
20
diungkapkan dalam prospektus. Prospektus menyajikan informasi mengenai perusahaan, laporan keuangan terbaru dan historis, proyeksi laba dan persentase dividen yang dijanjikan, analisis perbandingan dengan industri sejenis, serta tujuan penggunaan dana. Menurut UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan penawaran umum dengan tujuan agar pihak lain membeli efek. Investor membutuhkan informasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam pembuatan keputusan investasi di pasar perdana. Sebuah prospektus merupakan sumber informasi satu-satunya yang diijinkan oleh hukum selama proses IPO, dan dirancang untuk mengurangi asimetri informasi dan ketidakpastian di kalangan pelaku pasar (Ström, 2005). Apabila kinerja perusahaan tersebut tercermin dari informasi akuntansi dan non-akuntansi yang dipublikasikan pada saat IPO maka investor akan merespon dengan membeli saham-saham yang ditawarkan. Investor akan memberikan respon yang baik jika perusahaan menunjukkan prospek yang baik di masa datang. Dapat dikatakan bahwa prospektus merupakan bentuk promosi emiten atas perusahaannya
ketika
melakukan
penawaran
umum.
Perusahaan
akan
memasukkan setiap informasi yang relevan dengan bisnisnya ke dalam prospektus sebagaimana yang disyaratkan oleh Bapepam-LK untuk menarik banyak calon pembeli (investor). Namun, pada kenyataannya manajemen cenderung enggan untuk mengungkap semua informasi yang berkaitan dengan perusahaan (Nuswandari, 2009). Hal ini dikarenakan adanya perilaku manajemen yang cenderung mementingkan diri sendiri dan mengorbankan kepentingan umum.
21
Regulasi diharapkan dapat menyeimbangkan kepentingan tersebut dengan mengurangi asimetri informasi baik di antara manajemen dan investor maupun antarinvestor. Tabel 2.1 Beberapa Peraturan BAPEPAM yang Mengatur Pengungkapan Penawaran Umum Nomor IX.A.8 Nomor IX.C.2 Nomor IX.C.6 Nomor IX.C.8 Nomor IX.C.10
2.1.4
Prospektus Awal dan Info Memo Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Perusahaan Menengah atau Kecil Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Beragun Aset
Resources Based Theory/Resources Based View Resource Based Theory (RBT) membahas mengenai sumber daya yang
dimiliki perusahaan, serta bagaimana perusahaan tersebut dapat mengolah dan memanfaatkannya. Pengelolaan secara strategis melibatkan pengembangan dan pengeksploitasian sumber daya dan kemampuan perusahaan yang unik, yang belum
diimplementasikan
oleh
perusahaan
pesaing
mana
pun,
serta
mempertahankan dan memperkuat sumber daya tersebut secara terus menerus (David, 2005).
22
Memiliki sumber daya dan kemampuan perusahaan yang berbeda dengan perusahaan pesaing akan memberikan keuntungan bagi perusahaan. Ketika perusahaan lain tidak mampu menduplikasi strategi tersebut, perusahaan memiliki keunggulan kompetitif berkelanjutan yang dapat menciptakan nilai bagi perusahaan. Sumber daya harus memenuhi kriteria “VRIN” agar dapat memberikan keunggulan kompetitif dan kinerja yang berkelanjutan (Barney, 1991). Kriteria “VRIN” tersebut adalah sebagai berikut : a. Valuable (bernilai), sumber daya akan menjadi berharga jika dapat memberikan nilai strategis untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi perusahaan. b. Rare (langka), sumber daya yang menjadi potensi perusahaan tidak dapat ditemukan di antara para pesaing. c. Imperfect imitability (tidak dapat ditiru), sumber daya dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan bagi perusahaan hanya jika perusahaan lain yang tidak memegang sumber daya ini tidak bisa mendapatkan mereka atau tidak dapat meniru sumber daya tersebut. d. Non-substitution (tidak dapat digantikan), sumber daya tidak dapat disubstitusikan oleh sumber daya alternatif lainnya. Menurut Pearce dan Robinson (2005) terdapat tiga jenis dasar sumber daya keunggulan bersaing. Ketiga sumber daya tersebut adalah tangible assets, intangible assets, dan organizational capabilities. Tangible assets sangat mudah
23
untuk diidentifikasi dan sering dijumpai pada neraca perusahaan seperti fasilitas produksi, bahan baku, real estate, dan komputer. Intangible assets merupakan nama brand, reputasi perusahaan, etika perusahaan, pengetahuan teknis, hak paten, merek dagang, dan pengalaman dalam organisasi. Sementara itu, yang dimaksud dengan organizational capabilities adalah keterampilan yang merupakan kemampuan dalam mengkombinasikan aset, manusia, dan proses yang digunakan perusahaan dalam mengubah suatu masukan menjadi
keluaran.
Menurut
Belkaoui
(2003),
strategi
potensial
untuk
meningkatkan kinerja perusahaan adalah dengan menyatukan aset berwujud dan aset tidak berwujud yang dimiliki perusahaan. Dari penjelasan tersebut, menurut konsep RBT, modal intelektual memenuhi kriteria-kriteria sebagai sumber daya unik yang mampu menciptakan keunggulan kompetitif perusahaan sehingga dapat menciptakan nilai bagi perusahaan. Nilai di sini menunjukkan kinerja yang semakin baik di dalam perusahaan.
2.1.5
Teori Stakeholder Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan mempunyai kewajiban
untuk melapor tidak hanya kepada para pemegang saham (stockholder), tetapi juga kepada siapa pun yang mempunyai “penyertaan” (stake) dalam perusahaan (Hendriksen dan Van Breda, 2000). Teori ini mempertimbangkan posisi para stakeholder yang dianggap powerfull daripada hanya posisi stockholder saja. Menurut Freeman dan Reed (1983) istilah stakeholder adalah “Any identifiable
24
group or individual who can affect the achievement of an organisation’s objectives, or is affected by the achievement of an organisation’s objectives”. Stakeholder dapat dikatakan sebagai individu, sekelompok manusia, komunitas atau masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan. Pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu pihak berkepentingan internal (orang dalam suatu perusahaan) dan eksternal (orang luar suatu perusahaan). Pihak berkepentingan internal adalah orang atau instansi yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan, seperti pemegang saham, manajer, dan karyawan, sedangkan pihak berkepentingan eksternal adalah orang atau instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan perusahaan. Pihak eksternal di sini adalah para konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup perusahaan. Teori
stakeholder
mengemukakan
bahwa
manajemen
perusahaan
diharapkan melakukan aktivitas-aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholder mereka dan melaporkan kembali aktivitas-aktivitas tersebut kepada stakeholder. Stakeholders memiliki hak untuk diberi informasi mengenai dampak aktivitas perusahaan bagi mereka meskipun mereka memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut, atau tidak dapat memainkan peran kontruktif dalam kelangsungan hidup perusahaan (Purnomosidhi, 2006). Teori ini menganggap akuntabilitas organisasional tidak hanya terbatas pada kinerja ekonomi atau keuangan saja sehingga perusahaan perlu melakukan pengungkapan informasi lain untuk memenuhi ekspektasi stakeholder.
25
Tujuan utama dari teori stakeholder adalah untuk membantu manajer korporasi memahami lingkungan stakeholder mereka dan melakukan pengelolaan dengan lebih efektif (Ulum, 2009). Namun demikian, tujuan yang lebih luas dari teori stakeholder adalah untuk menolong manajer dalam meningkatkan nilai dari dampak aktivitas-aktivitas mereka, dan meminimalkan kerugian-kerugian bagi stakeholder. Aspek etika dalam teori ini terpenuhi ketika manajer mampu mengelola organisasi secara maksimal demi kepentingan seluruh stakeholder, khususnya dalam upaya penciptaan nilai bagi perusahaan. Penciptaan nilai dalam konteks ini adalah dengan memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki perusahaan, baik karyawan (human capital), aset fisik (physical capital), maupun structural capital. Sementara itu, stakeholder memiliki kepentingan untuk mempengaruhi manajemen dalam proses pemanfaatan seluruh potensi tersebut. Kekuatan stakeholder untuk mempengaruhi manajemen korporasi harus dipandang sebagai fungsi dari tingkat pengendalian stakeholder atas seluruh potensi yang dimiliki perusahaan. Para stakeholder akan berupaya mengendalikan seluruh potensi perusahaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Kesejahteraan tersebut diwujudkan dengan semakin tingginya return yang dihasilkan oleh organisasi. Apabila seluruh potensi yang dimiliki perusahaan dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik maka akan menciptakan nilai tambah bagi perusahaan. Nilai tambah tersebut dapat mendorong kinerja keuangan perusahaan yang merupakan orientasi para stakeholder dalam mengintervensi manajemen untuk memenuhi kepentingan para stakeholder.
26
2.1.6
Teori Legitimasi Teori legitimasi berhubungan erat dengan teori stakeholder. Teori
legitimasi menyatakan bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin keberlangsungan usaha mereka dalam batas dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pandangan teori legitimasi menyatakan bahwa dalam menjalankan operasinya, organisasi harus sejalan dengan nilai-nilai masyarakat. Teori legitimasi didasarkan pada pernyataan bahwa terdapat sebuah kontrak sosial antara organisasi dan lingkungan dimana organisasi tersebut beroperasi. Kontrak sosial merupakan suatu cara untuk menjelaskan harapan masyarakat tentang bagaimana seharusnya organisasi melaksanakan operasinya. Harapan-harapan tersebut bersifat tidak tetap dan akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini menuntut organisasi untuk selalu tanggap terhadap lingkungan tempat perusahaan tersebut beroperasi (Deegan dalam Ulum 2009). Berdasarkan teori legitimasi, organisasi secara berkelanjutan harus menunjukkan bahwa mereka telah berperilaku sesuai dengan nilai sosial. Hal ini sering kali dapat dicapai melalui pengungkapan (disclosure) dalam laporan perusahaan (Guthrie dan Parker, 1989). Organisasi menggunakan pengungkapan untuk mendemonstrasikan perhatian manajemen akan nilai sosial. Perusahaan akan secara sukarela melaporkan kegiatan-kegiatannya jika perusahaan merasa bahwa hal tersebut adalah yang diharapkan komunitas. Teori legitimasi sangat erat hubungannya dengan pelaporan modal intelektual, dan penggunaan metode content analysis sebagai ukuran dari pelaporan tersebut (Ulum, 2009). Perusahaan cenderung melaporkan modal
27
intelektual ketika mereka memiliki kebutuhan khusus untuk melakukannya. Hal ini mungkin terjadi ketika perusahaan menemukan bahwa perusahaan tersebut tidak mampu melegitimasi statusnya berdasarkan tangible asset, yang umumnya dikenal sebagai simbol kesuksesan perusahaan. Perusahaan terdorong untuk menunjukkan kapasitas modal intelektualnya dalam laporan keuangan untuk memperoleh legitimasi dari publik atas kekayaan intelektual yang dimilikinya. Pengakuan legitimasi publik ini menjadi penting bagi perusahaan untuk mempertahankan eksistensinya dalam lingkungan sosial perusahaan (Ulum, 2009). Purnomosidhi (2006) menyatakan bahwa pengukuran keluasan pelaporan modal intelektual yang paling baik adalah dengan menggunakan content analysis. Hal tersebut dikarenakan content analysis bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik atau informasi spesifik yang terdapat pada suatu dokumen untuk menghasilkan deskripsi yang objektif dan sistematis. Dengan demikian, antara teori legitimasi, modal intelektual, dan content analysis saling berkaitan.
2.1.7
Teori Sinyal Teori sinyal didasarkan pada asumsi bahwa informasi yang diterima oleh
masing-masing pihak tidak sama. Dengan kata lain, teori sinyal berkaitan dengan asimetri informasi. Asimetri informasi dalam teori ini terjadi di antara manajemen perusahaan dan pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan informasi. Kurangnya informasi bagi pihak-pihak berkepentingan mengenai perusahaan menyebabkan mereka melindungi diri mereka dengan memberikan harga yang
28
rendah untuk perusahaan. Karena itu, upaya perusahaan mengurangi asimetri informasi diharapkan dapat meningkatkan nilainya. Salah satu cara untuk mengurangi asimetri informasi adalah dengan memberikan sinyal kepada pihak luar. Leland dan Pyle (1977) menyatakan bahwa sinyal
adalah
tindakan
yang
dilakukan
oleh
pemilik
lama
dalam
mengkomunikasikan informasi yang dimilikinya kepada investor. Sinyal dari informasi yang beredar dapat mempengaruhi tindakan yang diambil pihak-pihak yang berkepentingan dalam mengambil keputusan ekonomi. Perusahaan perlu mengungkapkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai sinyal kepada outsiders, yaitu investor potensial dan kreditor (Wolk et al., 2004). Suatu pengungkapan dikatakan mengandung informasi jika dapat memicu reaksi pasar. Reaksi tersebut tercermin dalam perubahan harga saham dan volume perdagangan diseputar perilisan informasi tersebut. Apabila pengungkapan tersebut memberikan dampak positif berupa kenaikan harga saham maka pengungkapan dinyatakan sebagai sinyal positif, dan sebaliknya. Menurut Widarjo (2011), pemilik lama termotivasi untuk mengungkapkan informasi privat secara sukarela, karena mereka berharap informasi tersebut dapat diinterpretasikan sebagai sinyal positif mengenai kinerja perusahaan, dan mampu mengurangi asimetri informasi.
2.1.8
Aset (Asset) Suatu aset sangat penting bagi perusahaan karena merupakan sumber
hidup perusahaan. Tanpa adanya aset, sebuah perusahaan akan sulit untuk
29
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Aset telah dianggap sebagai faktor penting dalam kinerja organisasi karena aset menentukan nilai organisasi (Santoso, 2011). Menurut konsep pertambahan nilai (accretion concept), jika tidak adanya transaksi modal, laba perusahaan terjadi ketika nilai aset naik (Hendriksen dan Van Breda, 2000). Terdapat beberapa sumber yang mendefinisikan aset, salah satu diantaranya adalah Financial Accounting Standards Board (FASB). Menurut FASB (Statement of Financial Accounting Concepts‒SFAC No. 6, prg. 25), aset merupakan manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang diperoleh atau dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu. Serupa dengan yang diungkapkan FSAB dalam rerangka konseptualnya tersebut, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 19 menyatakan bahwa aset adalah sumber daya yang: (a) Dikendalikan oleh entitas sebagai akibat peristiwa masa lalu; dan (b) Manfaat ekonomis di masa depan dari aset tersebut diharapkan diterima oleh entitas. Menurut Suwardjono (2005), aset berdasarkan aliran potensi jasa dapat digolongkan menjadi moneter dan non-moneter. Aset moneter (monetary asset) merupakan klaim untuk menerima kas di masa mendatang dengan jumlah dan saat yang pasti tanpa mengaitkannya dengan harga masa datang barang dan jasa tertentu. Perubahan harga tidak akan mempengaruhi besarnya klaim tersebut. Aset ini terdiri dari kas, piutang, dan investasi pada obligasi. Selain aset moneter, terdapat aset yang bukan merupakan klaim atas kas pada masa-masa mendatang
30
yang disebut dengan aset non-moneter. Aset non-moneter merupakan aset yang mengandung jumlah rupiah yang nilainya berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Aset ini meliputi persediaan, fasilitas fisis, investasi dalam saham, dan ekuitas. Penggolongan aset dalam laporan keuangan cukup beragam, selain dapat digolongkan menjadi aset moneter dan aset non-moneter, aset juga dapat digolongkan berdasarkan tingkat penggunaan (rate of return) menjadi aset lancar dan aset tidak lancar (Suwardjono, 2005). Aset tidak lancar kemudian dapat dikelompokkan kembali menjadi aset berwujud (intangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible asset).
2.1.8.1 Aset Berwujud Kieso et al. (2010) menyatakan bahwa “Plant assets are tangible longlived assets used in the regular operations or the business”. Menurut PSAK 16 (revisi 2011), aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode. Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa aset tetap adalah aset berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun, bernilai material, digunakan dalam operasi normal perusahaan dan tidak dimaksudkan untuk dijual.
31
Hendriksen dan Van Breda (2000) berpendapat bahwa aset tetap memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut : a. Aset tetap merupakan barang fisik yang dimiliki untuk memperlancar atau mempermudah produksi barang-barang lain dalam kegiatan normal perusahaan. b. Semua aset tetap mempunyai umur terbatas dan pada akhir umurnya harus dibuang atau diganti. Umur ini dapat merupakan estimasi jumlah tahun yang didasarkan pada pemakaian dan keausan yang ditimbulkan oleh unsur-unsurnya, atau dapat bersifat variabel tergantung pada jumlah penggunaan dan pemeliharaannya. c. Nilai aset tetap berasal dari kemampuannya untuk mengesampingkan pihak lain dalam mendapatkan hak-hak yang sah atas penggunaannya dan bukan dari pemaksaan suatu kontrak. d. Aset tetap seluruhnya bersifat non-moneter, manfaatnya diterima dari penjualan jasa-jasa dan bukan dari pengubahannya menjadi sejumlah uang tertentu. e. Pada umumnya jasa yang diterima dari aset tetap ini meliputi suatu periode yang lebih panjang dari satu tahun atau satu siklus operasi perusahaan. Selama ini kesuksesan perusahaan bergantung pada bagaimana perusahaan tersebut mampu menggunakan aset berwujudnya, seperti persediaan, gedung, dan peralatan seperti mesin produksi, seefisien mungkin (Williams, 2001). Namun,
32
untuk dapat mengendalikan dan mengoperasikan aset tersebut tentu tidak terlepas dari biaya dan tenaga manusia seperti biaya penyimpanan barang dan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung.
2.1.8.2 Aset Tidak Berwujud Intangible property adalah properti yang tidak dapat disentuh karena tidak mempunyai badan (Hendriksen dan Van Breda, 2000), secara lebih formal aset tidak berwujud dikatakan sebagai incorporeal (corpus=badan). Tidak mempunyai substansi di sini bukan berarti bahwa aset tersebut menjadi berkurang nilainya. SFAC 5, prg 63, menetapkan bahwa suatu pos harus diakui bila ia (a) memenuhi definisi yang tepat, (b) dapat diukur, (c) relevan, dan (d) dapat diandalkan. Karena itu, pos aset tidak berwujud harus mengikuti aturan yang sama seperti pos lain. Setiap sumber daya tidak berwujud yang memenuhi kriteria sebagai aset seperti yang dituangkan dalam SFAC 6, prg 25 maka ia harus diakui sebagai aset sama seperti aset berwujud. PSAK 19 (revisi 2009) mendefinisikan aktiva tidak berwujud sebagai aktiva non-moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Definisi PSAK 19 di atas merupakan adopsi dari pengertian yang disajikan oleh International Accounting Standard (IAS) 38 tentang intangible assets yang relatif sama dengan definisi yang diajukan dalam Financial Reporting Standard (FRS) 10 tentang goodwill dan intangible assets. Keduanya, baik IAS 38 maupun
33
FRS 10, menyatakan bahwa aktiva tidak berwujud harus (1) dapat diidentifikasi, (2) bukan aset keuangan (non-financial/non-monetary assets), dan (3) tidak memiliki substansi fisik. Banyak yang beranggapan bahwa intangible dalam dunia bisnis hanyalah sebatas pada intellectual property/intangible assets saja, padahal sebenarnya intangible juga terdiri dari keunggulan kompetitif, jasa, kepuasan, tingkat pengetahuan dan masih banyak faktor lainnya. Intangible dalam bentuk ide, kemampuan berinteraksi dengan orang lain, emotional intelligence, dan pengetahuan disebut sebagai soft intangible. Ketika soft intangible dituangkan maka soft intangible ini berubah menjadi hard intangible. Seperti halnya ketika seorang juru masak dalam menuangkan ide masakannya menjadi sebuah resep tertulis. Seringkali, istilah modal intelektual diperlakukan sebagai sinonim dari intangible assets, sebenarnya terdapat perbedaan antara modal intelektual dan aset tidak berwujud itu sendiri. Perbedaan tersebut terletak hanya pada standar yang mengaturnya saja. Modal intelektual mencakup semua soft intangible yang bersifat menciptakan nilai bagi perusahaan (McShane dan Glinow, 2003). Modal intelektual berbentuk hard intangible yang memenuhi kriteria sebagai aset tidak berwujud, sesuai standar yang berlaku umum, maka ia dapat dikatakan sebagai intellectual property/intangible asset. Hubungan antara soft intangible, hard intangible, dan intangible assets dapat dilihat pada gambar 2.1.
34
Gambar 2.1 Modal Intelektual dan Aset Tidak Berwujud
Intangible Assets
Hard Intangible
Soft Intangible (Intellectual Capital)
Masih banyak komponen modal intelektual yang belum dapat diukur sehingga sulit untuk menetapkan kriteria dan standar pelaporannya. Beberapa kriteria aset tidak berwujud serta kesulitan bagi modal intelektual dalam memenuhi kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.2 Kriteria Aset Tidak Berwujud dan Ketentuan Modal Intelektual dalam Memenuhinya
Definisi Aset
Kriteria Aset Tidak Berwujud Sumber daya yang dikendalikan oleh entitas. Akibat peristiwa masa lalu. Memiliki manfaat ekonomis di masa depan.
Kesulitan Modal Intelektual dalam Memenuhi Kriteria Terdapat komponen modal intelektual yang tidak dapat dikendalikan sepenuhnya seperti karyawan perusahaan. Karena hanya dapat dikendalikan melalui kontrak kerja namun tidak dapat dikendalikan sepenuhnya (karyawan dapat mengundurkan diri kapan saja)
35
Tabel 2.2 Kriteria Aset Tidak Berwujud dan Ketentuan Modal Intelektual dalam Memenuhinya (Lanjutan) Identifikasi Aset Dapat dipisahkan dari Tidak Berwujud entitas (dapat dijual, dipindahkan, dilisensikan, disewakan, atau ditukar). Harus berasal dari kontrak atau hak legal lainnya.
Sulitnya komponen modal intelektual tersebut untuk dipisahkan dari entitas. Seperti structural capital yang merupakan fondasi perusahaan yang apabila dipisahkan dari perusahaan maka perusahaan tersebut akan menjadi perusahaan yang baru dan berbeda sama sekali dari perusahaan sebelum pemisahan.
Pengakuan Aset Kemungkinan Tidak Berwujud memperoleh manfaat ekonomis masa depan dari aset tersebut. Biaya perolehan aset tersebut dapat diukur secara andal. Sumber : Data Sekunder Diolah, 2013
Pengukuran biaya (pengetahuan, intelligence, dan budaya perusahaan belum dapat diukur dalam bentuk moneter).
Tabel di atas menegaskan bahwa item-item aset tidak berwujud secara logika tidak membentuk bagian dari modal intelektual suatu perusahaan.
2.1.9
Modal Intelektual Penelitian mengenai modal intelektual sebenarnya telah dilakukan sejak
era tahun 60-an dan 70-an. Namun, istilah modal intelektual baru populer setelah Stewart (1991) mendefinisikan intellectual capital (modal intelektual) sebagai “The sum of everything everybody in your company knows that gives you a competitive edge in the market place. It is intellectual material–knowledge,
36
information, intellectual property, experience–that can be put to use to create wealth”. Terdapat beberapa definisi dan pengertian yang beragam mengenai modal intelektual. Menurut Klein dan Prusak dalam Ulum (2009), modal intelektual adalah material yang disusun, ditangkap, dan digunakan untuk menghasilkan nilai aset yang lebih tinggi. Lain halnya dengan Roos et al. dalam Ulum (2009). Beliau menyatakan bahwa, “IC includes all the processes and the assets which are not normally shown on the balance-sheet and all the intangible assets (trademarks, patent and brands) which modern accounting methods consider…”. Sementara itu, menurut Williams (2001), modal intelektual didefinisikan sebagai berikut : “The enhanced value of a firm attributable to assets, generally of an intangible nature, resulting from the company’s organizational function, processes and information technology networks, the competency and efficiency of its employees and its relationship with its costumers. Intellectual capital assets are developed from (a) the creation of new knowledge and innovation; (b) application of present knowledge to present issues and concerns that enhance employees and customers; (c) packaging, processing and transmission of knowledge; and (d) the acquisition of present knowledge created through research and learning.”
Salah satu definisi modal intelektual yang banyak digunakan dan menyajikan cukup perbedaan adalah yang ditawarkan oleh Organisation for Economic Coorperation and Development (OECD, 1999). OECD meletakan modal intelektual sebagai bagian terpisah dari dasar penetapan intangible assets secara keseluruhan suatu perusahaan.
OECD menjelaskan modal intelektual
sebagai nilai ekonomi dari dua kategori aset tidak berwujud, seperti : (1)
37
organizational (structural) capital yaitu sistem software, jaringan distribusi, dan rantai pasokan; dan (2) human capital yang meliputi sumber daya manusia dalam organisasi (yaitu sumber daya tenaga kerja/karyawan), serta sumber daya eksternal yang berkaitan dengan organisasi, seperti konsumen dan pemasok. Bontis et al. (2000) menyatakan bahwa pada umumnya modal intelektual dibagi menjadi tiga komponen, yaitu human capital (HC), structural capital (SC), dan customer capital (CC). Secara sederhana HC mencerminkan individual knowledge stock suatu organisasi yang direpresentasikan oleh karyawannya. HC ini termasuk kompetensi, komitmen dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Lebih lanjut Bontis et al. (2000) menyebutkan bahwa SC meliputi seluruh nonhuman storehouses of knowledge dalam organisasi. SC merupakan database, organizational chart, process manual, strategies, routines dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar dari nilai materialnya. Sementara itu, CC adalah pengetahuan yang melekat dalam marketing channels dan customer relationship. Modal intelektual merupakan sumber daya perusahaan yang dapat menciptakan nilai dan keunggulan bersaing dibandingkan dengan perusahaan lain. Kesadaran akan pentingnya hal tersebut mulai muncul dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini membuat perhatian terhadap pengelolaan modal intelektual semakin meningkat.
38
2.1.9.1 Komponen Modal Intelektual Menurut Purnomosidhi (2006) terdapat tiga skema yang sering dikutip dalam berbagai penelitian, yaitu skema yang diusulkan Sveiby (1997), Stewart (1997), dan Edvinsson dan Sullivan (1996). Ketiga skema tersebut memiliki tiga elemen yang sama. Elemen tersebut adalah modal intelektual yang terletak dalam diri manusia, modal intelektual yang melekat dalam perusahaan, dan modal intelektual yang menyangkut hubungan di antara perusahaan dengan pihak eksternal. Ketiga skema modal intelektual dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini. Tabel 2.3 Komponen Modal Intelektual
Elemen/Author
Modal intelektual yang melekat pada manusia
Edvinson
Human Capital
Organizational Capital
Customer Capital
Stewart
Human Capital
Structure Capital
Customer Capital
Internal Structure
External Structure
Employee Competence Sumber : Purnomosidhi (2006) Sveiby
Modal intelektual Modal intelektual yang melekat yang melekat pada organisasi pada hubungan
1. Human capital merupakan keterampilan dan pengetahuan kumulatif dari sebuah perusahaan (Lewis dan Goodman, 2004). Perusahaan yang mampu menggunakan pengetahuan yang dimiliki oleh karyawannya akan meningkatkan nilai dari human capital perusahaan. Modal ini merupakan sumber daya kreatif dan inovatif perusahaan yang dapat diperbaharui, yang tidak tercermin dalam laporan keuangan. Pada human capital terdapat sumber innovation dan improvement yang merupakan lifeblood
39
dalam modal intelektual. Akan tetapi elemen ini merupakan komponen yang sulit diukur (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). 2. Structural capital merupakan kumpulan pengetahuan dan bagaimana seharusnya perusahaan merepresentasikan hak paten, merek dagang dan hak cipta, kepemilikan database, dan sistem (Lewis dan Goodman, 2004). Structural capital akan tercipta ketika organisasi atau perusahaan mampu memenuhi proses rutinitas perusahaan, dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja
bisnis
secara
keseluruhan,
misalnya:
sistem
operasional
perusahaan, proses manufacturing, budaya organisasi, dan filosofi manajemen (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). 3. Relational capital atau customer capital adalah nilai yang terbentuk dari hubungan dengan pelanggan dan pemasok. Relational capital muncul dari berbagai bagian di luar lingkungan perusahaan yang dapat menambah nilai bagi
perusahaan
(Sawarjuwono
dan
Kadir,
2003).
Elemen
ini
menggambarkan hubungan yang harmonis/association network yang dimiliki oleh perusahaan dengan para mitranya. Hubungan tersebut berasal dari para pemasok yang andal dan berkualitas, para pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan, serta berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar.
40
2.1.9.2 Pengukuran Modal Intelektual Luthy dan Williams dalam Sveiby (2010) menyarankan suatu pendekatan pengukuran intangible assets yang dibagi ke dalam empat kategori. Kategori tersebut dijabarkan sebagai berikut : a. Direct Intellectual Capital Method (DIC), nilai moneter dari aset tidak berwujud diestimasi dengan mengidentifikasikan aset ke dalam beberapa komponen. Setelah diidentifikasi, komponen-komponen tersebut dapat langsung dievaluasi, baik secara individu atau sebagai koefisien agregat. b. Market Capitalization Method (MCM), menghitung perbedaan antara kapitalisasi pasar perusahaan dan ekuitas perusahaan sebagai nilai modal intelektual atau aset tidak berwujud. c. Return on Assets Method (ROA), membagi rata-rata pendapatan dengan biaya modal rata-rata perusahaan atau suku bunga sehingga dapat diperoleh perkiraan nilai aset tidak berwujud atau modal intelektual. d. Scorecard Method (SC), mengidentifikasi berbagai komponen aset tidak berwujud atau modal intelektual sehingga menghasilkan indikator dan indeks yang dilaporkan ke dalam scorecard atau grafik.
41
Gambar 2.2 Metode Pengukuran
Gambar 2.2 di atas menunjukkan bahwa metode pengukuran modal intelektual dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu pengukuran moneter dan non-moneter. Berikut adalah beberapa daftar pengukuran modal intelektual yang berbasis non-moneter : a. The Balance Scorecard, dikembangkan oleh Kaplan dan Norton (1992); b. Brooking’s Technology Broker method (1996); c. The Skandia IC Report method oleh Edvinssion dan Malone (1997); d. The IC-index dikembangkan oleh Roos et al. (1997); e. Intangible Assets Monitor approach oleh Sveiby (1997); f. The Heuristic Frame dikembangkan oleh Joia (2000); g. Vital Sign Scorecard dikembangkan oleh Vanderkaay (2000); dan h. The Ernst & Young model (Barsky dan Marchant, 2000)
42
Pengukuran modal intelektual lain yang berbasis moneter adalah sebagai berikut : a. The EVA dan MVA model (Bontis et al, 1999); b. The Market-to-book Value model (beberapa penulis); c. Tobin’s Q method (Luthy, 1998); d. Pulic’s VAIC Model (Pulic, 1998,2000); e. Calculated intangible value (Dzinkowski, 2000); dan f. The Knowledge Capital Earnings model (Lev dan Feng, 2001).
2.1.10 Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM) menyajikan informasi mengenai efisiensi penciptaan nilai perusahaan dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible asset) yang dimiliki oleh perusahaan (Pulic, 1998). Pendekatan ini relatif mudah dan sangat mungkin untuk dilakukan karena dikonstruksikan dari akun-akun dalam laporan keuangan (neraca dan laporan laba rugi). Selain itu, data yang digunakan dalam perhitungan VAICTM didasarkan pada informasi yang telah diaudit, sehingga perhitungannya dapat dianggap objektif dan dapat diverifikasi. Model
VAICTM
dimulai
dengan
kemampuan
perusahaan
untuk
menciptakan value added (VA). VA merupakan indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai (value creation). VA didapat dari selisih antara output dan input. Nilai output adalah revenue, mencakup seluruh produk dan jasa yang
43
dihasilkan perusahaan untuk dijual. Sementara itu, input meliputi seluruh beban, terkecuali beban karyawan, yang digunakan perusahaan untuk memproduksi barang atau jasa dalam rangka menghasilkan revenue. Hal tersebut dikarenakan karyawan memegang peranan penting dalam proses penciptaan nilai. Proses value creation suatu perusahaan dipengaruhi oleh efisiensi dari capital employed (Value added of Capital Employed), human capital (Value Added Human Capital), dan structural capital (Structural Capital Value Added). 1. Value added of Capital Employed (VACA) VACA adalah indikator untuk value added yang diciptakan oleh satu unit dari physical capital. Berdasarkan konsep RBT, agar dapat bersaing dengan perusahaan lainnya, perusahaan membutuhkan sebuah kemampuan dalam pengelolaan sumber dayanya. VACA merupakan bentuk dari kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya berupa capital asset. Pengelolaan capital asset yang baik diyakini perusahaan dapat meningkatkan kinerja dan nilai pasar perusahaan. 2. Value Added Human Capital (VAHU) VAHU menunjukan berapa banyak value added dapat dihasilkan dengan dana yang dikeluarkan untuk tenaga kerja. Berdasarkan konsep RBT, perusahaan membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi agar dapat bersaing dengan kompetitornya. Tidak hanya memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, tetapi perusahaan juga harus dapat mengelola sumber daya tersebut dengan maksimal. Hal ini akan
44
menciptakan value added dan keunggulan kompetitif perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. 3. Structural Capital Value Added (STVA) STVA menunjukkan kontribusi structural capital dalam penciptaan nilai. Structural capital bukanlah ukuran yang independen sebagaimana human capital dalam proses penciptaan nilai. Semakin besar kontribusi human capital dalam value creation maka akan semakin kecil kontribusi structural capital dalam hal tersebut. Lebih lanjut Pulic menyatakan bahwa structural capital merupakan pengurangan human capital atas value added.
2.1.11 Pengungkapan Salah satu tujuan pelaporan keuangan adalah menyajikan informasi bagi pengambilan keputusan. Hal tersebut memerlukan pengungkapan (disclosure) data keuangan yang memadai. Tuanakotta (1985) mendefinisikan pengungkapan sebagai penyajian sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal yang efisien. Seperti yang diungkapkan oleh Hendriksen dan Van Breda (2000) pengungkapan dalam hal ini merupakan pengertian yang lebih terbatas, yaitu berupa penyampaian informasi keuangan suatu perusahaan yang tidak dimuat dalam laporan keuangannya. Pengungkapan di luar laporan keuangan itu sendiri memegang peranan yang sangat penting dalam pasar global seperti sekarang ini. Setiap pengungkapan haruslah adequate (memadai), fair (layak), dan full (lengkap). Pengungkapan
45
memadai yaitu pengungkapan yang minimal harus ada sehingga ikhtisar-ikhtisar keuangan menjadi tidak menyesatkan. Sementara itu, pengungkapan dikatakan layak ketika memberikan perlakuan yang sama pada semua calon pembaca, dan pengungkapan dikatakan lengkap yaitu ketika menyajikan seluruh informasi yang relevan. Informasi yang diungkapkan oleh emiten dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure).
2.1.11.1 Pengungkapan Wajib Pengungkapan wajib adalah informasi yang harus diungkapkan oleh emiten yang diatur oleh peraturan pasar modal suatu negara (Nuswandari, 2009). Di Indonesia, setiap emiten atau perusahaan publik yang terdaftar di bursa efek wajib menyampaikan setiap informasi material dan laporan tahunan secara berkala kepada publik dan Bapepam-LK. Ketentuan mengenai kewajiban penyampaian laporan tahunan bagi emiten dan perusahaan publik diatur dalam peraturan nomor X.K.6 (Bapepam-LK, 2006).
2.1.11.2 Pengungkapan Sukarela Pengungkapan sukarela merupakan penyampaian informasi yang diberikan secara sukarela oleh perusahaan di luar pengungkapan wajib. Pengungkapan ini memuat informasi yang melebihi persyaratan minimum dari peraturan pasar modal yang berlaku. Pengungkapan secara sukarela berarti bahwa pengungkapan
46
tersebut di luar laporan keuangan karena tidak ada standar akuntansi yang mengharuskan menyajikan dalam laporan tahunan (Suhendah, 2005). Pengungkapan sukarela merupakan salah satu cara meningkatkan kredibilitas pelaporan keuangan perusahaan dan membantu investor dalam memahami strategi bisnis perusahaan (Healy dan
Palepu, 2001). Setiap
perusahaan memiliki keleluasaan dalam melakukan pengungkapan tersebut pada laporan tahunannya. Hal ini menimbulkan adanya keragaman atau variasi luas pengungkapan sukarela antar-perusahaan.
2.1.12 Pengungkapan Modal Intelektual Menurut Mouritsen et al. (2001), pengungkapan modal intelektual dalam laporan keuangan merupakan suatu cara untuk mengungkapkan bahwa laporan tersebut menggambarkan aktifitas perusahaan yang kredibel, terpadu (kohesif) serta “true and fair”. Pengungkapan modal intelektual adalah suatu laporan yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi pengguna yang dapat memerintahkan persiapan laporan tersebut sehingga dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka (Abeysekera, 2006). Perusahaan yang mengungkapkan modal intelektual dapat memberikan informasi serta gambaran mengenai keadaan perusahaan yang sebenarnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan informasi pengguna laporan keuangan. Pengungkapan modal intelektual dapat berupa pengungkapan sukarela ataupun pengungkapan wajib (Suhendah, 2005). Menurut Hartono dalam Chrisdianto (2009) pengungkapan modal intelektual bersifat wajib jika modal
47
intelektual tersebut dapat diukur dan memenuhi persyaratan standar akuntansi yang berlaku umum untuk diungkapkan dalam laporan keuangan perusahaan. Tiga atribut internal structures, yaitu patents, copyrights, dan trademarks merupakan intellectual property yang wajib diungkapkan dalam laporan tahunan karena masuk ke dalam golongan aktiva tidak berwujud, seperti yang tertuang pada PSAK No. 19 dan peraturan nomor VIII.C.5 (Bapepam, 2011). Pengungkapan modal intelektual bersifat sukarela apabila modal intelektual yang ada di perusahaan sulit untuk diukur, serta tidak memiliki tingkat materialitas dan pengaruh yang tinggi dalam perusahaan. Pengungkapan sukarela dapat mengurangi kesalahan keputusan investasi dan menurunkan rata-rata biaya modal perusahaan dalam investasi pada aset tidak berwujud (Suhendah, 2005). Variabel seperti pelatihan dan pengembangan karyawan, management philosophy, corporate culture, dan management processes masuk ke dalam pengungkapan sukarela karena tidak diatur, baik dalam PSAK No. 19 maupun peraturan nomor VIII.C.5 (Bapepam, 2011) Perusahaan akan mengungkapkan semua informasi yang dibutuhkan, untuk membuat pasar modal berfungsi secara optimal dengan harapan mereka dapat mengumpulkan dana (modal) di pasar modal. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa sebagian perusahaan enggan menambah luas pengungkapan keuangan, tanpa adanya tekanan dari profesi akuntansi atau pemerintah. Di indonesia, rerata jumlah atribut modal intelektual yang diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Jakarta hanya sebanyak 14 atribut atau 56% saja (Purnomosidhi, 2006). Cara pengungkapan
48
modal intelektual dalam laporan tahunan belum sistematis sesuai dengan framework yang disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan belum benarbenar menyadari pentingnya modal intelektual untuk peningkatan keunggulan kompetitif dan sebagai alat untuk penciptaan nilai.
2.1.13 Jenis-Jenis Nilai Saham Menurut Hartono (2000) terdapat tiga jenis penilaian saham sebagai berikut : a. Book Value Book value (nilai buku) suatu perusahaan adalah jumlah seluruh aset yang ada di neraca dikurangi jumlah seluruh kewajiban, hasilnya adalah ekuitas bersih modal pemilik. Nilai buku tidak menggambarkan nilai perusahaan secara riil karena nilai yang muncul berdasarkan data historis aset perusahaan. Nilai buku per saham menyatakan aset bersih yang dimiliki oleh pemegang saham dengan memiliki satu lembar saham. Aset bersih sama dengan total ekuitas pemegang saham maka nilai buku per lembar saham adalah total ekuitas dibagi dengan jumlah saham yang beredar. b. Intrinsic Value Intrinsic value (nilai intrinsik) merupakan nilai saham yang sebenarnya. Terdapat dua jenis analisis yang umum digunakan untuk menentukan nilai intrinsik dari saham, yaitu analisis sekuritas fundamental dan analisis teknik. Estimasi nilai intrinsik perusahaan diperlukan untuk
49
menganalisis nilai intrinsik saham dengan harga pasarnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengambil keputusan dalam menentukan apakah saham tersebut undervalue atau overvalue. c. Market Value Market value (nilai pasar) adalah harga saham yang terjadi di pasar bursa pada saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar. Nilai tersebut tergantung pada penawaran dan permintaan saham di pasar modal. Nilai pasar terpengaruh oleh unsur spekulatif murni yang berhubungan dengan keputusan individu dan penilaian masyarakat. Hal ini menyebabkan perubahan nilai yang fluktuatif. Nilai pasar menjadi salah satu pendekatan utama yang digunakan untuk menilai harga perusahaan.
2.1.14 Nilai perusahaan Menurut Husnan (1996), nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Sementara itu, Keown (2005) menyatakan bahwa nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar. Fama (1978) menggunakan pendekatan konsep nilai pasar untuk mengukur nilai perusahaan. Nilai pasar berbeda dengan nilai buku. Jika nilai buku merupakan harga yang dicatat pada nilai saham perusahaan maka nilai pasar adalah harga saham yang terjadi di pasar bursa tertentu. Nilai pasar terbentuk atas permintaan dan penawaran saham tersebut oleh pelaku pasar.
50
Bagi perusahaan yang telah melakukan penawaran umum saham perdana, nilai pasar tercermin pada harga sahamnya. Harga saham yang tinggi mengindikasikan nilai perusahaan yang tinggi pula. Van Horne (2002) menyatakan bahwa, “Value is represented by the market price of the company’s common stock, which, in turn, is reflection of the firm’s investment, financing and dividend decisions”. Harga pasar dikalikan dengan jumlah saham yang beredar maka akan didapat kapitalisasi pasar (market capitalization). Karvof (2004) menyatakan bahwa market capitalization merupakan nilai suatu perseroan seperti yang telah ditentukan oleh harga pasar dari saham biasa yang diterbitkan dan beredar. Harga pasar merupakan harga yang paling mudah ditentukan karena harga pasar merupakan harga satuan suatu saham pada pasar yang sedang berlangsung. Harga pasar saham perusahaan mencerminkan penilaian investor keseluruhan atas setiap ekuitas yang dimiliki. Salvatore (2005) menyatakan bahwa tujuan utama perusahaan menurut theory of the firm adalah untuk memaksimumkan kekayaan atau nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang tinggi akan menunjukkan prospek yang baik di mata investor, selain itu nilai perusahaan yang tinggi juga mencerminkan kemakmuran para pemegang saham yang merupakan tujuan dari setiap perusahaan. Nilai perusahaan dalam penelitian ini merupakan nilai pasar perusahaan pada hari pertama pasar sekunder (initial market value). Nilai rupiah diperoleh dengan mengalikan jumlah seluruh lembar saham yang ditempatkan dan disetor penuh
51
dengan harga penutupan per lembar saham hari pertama pasar sekunder seperti yang dilakukan oleh Hartono (2006).
2.2
Kerangka Pemikiran Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan tidak hanya beroperasi
untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi para stakeholder-nya. Perusahaan secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin keberlangsungan usaha mereka dalam batas dan norma yang berlaku di masyarakat. Perusahaan akan berusaha untuk menunjukkan sinyal positif kepada para stakeholder-nya. Demi kepentingan stakeholder-nya, perusahaan harus mampu mengelola sumber daya yang dimiliki secara maksimal dalam upaya menciptakan value added bagi perusahaan. Berdasarkan konsep RBT, pengelolaan sumber daya secara strategis melibatkan pengembangan dan pengeksploitasian sumber daya dan kemampuan perusahaan yang unik, dan mempertahankan serta memperkuat sumber daya tersebut secara terus menerus. Sumber daya dan kemampuan perusahaan dapat dikatakan unik jika belum dapat diimplementasikan oleh perusahaan pesaing mana pun dan dapat menciptakan keunggulan bersaing bagi perusahaan. Sumber daya strategis perusahaan meliputi aset berwujud maupun aset tidak berwujud. Jika perusahaan dapat mengelola setiap sumber dayanya secara optimal, persepsi pasar terhadap nilai perusahaan akan meningkat (Kehelwalatenna dan Gunaratne, 2010).
52
Semula perusahaan yang menggunakan akuntansi tradisional lebih menekankan pada penggunaan aset berwujud. Namun secara berangsur, basis pertumbuhan
perusahaan merubah
pemanfaatan aset
berwujud
menjadi
pemanfaatan aset tidak berwujud. Perusahaan kini mulai menerapkan knowledgebased business. Basis bisnis tersebut dapat menciptakan suatu cara untuk mengelola pengetahuan sebagai sarana untuk memperoleh penghasilan (Sunarsih dan Mendra, 2012). Hal inilah yang membuat penciptaan nilai perusahaan berubah. Menurut Guthrie dan Petty (2000), salah satu pendekatan untuk menilai dan mengukur aset pengetahuan adalah modal intelektual. Modal intelektual yang dimiliki oleh perusahaan terdiri dari tiga komponen, yaitu human capital (HC), structural capital (SC), dan customer capital (CC). HC mencerminkan individual knowledge stock suatu organisasi yang direpresentasikan oleh karyawannya. HC ini termasuk kompetensi, komitmen dan loyalitas karyawan terhadap perusahaan. SC meliputi seluruh non-human storehouses of knowledge dalam organisasi. SC merupakan database, organizational chart, process manual, strategies, routines dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar dari nilai materialnya. Sementara itu, CC adalah pengetahuan yang melekat dalam marketing channels dan customer relationship. Modal intelektual memenuhi kriteria sebagai sumber daya yang unik untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan sehingga value bagi perusahaan dapat tercipta. VAICTM (Value Added Intellectual Coefficient) yang dikembangkan oleh Pulic (1998) merupakan instrumen yang digunakan untuk
53
mengukur kinerja modal intelektual perusahaan. Komponen utama dari VAIC™ dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (VACA–Value Added Capital Employed), human capital (VAHU–Value Added Human Capital), dan structural capital (STVA–Structural Capital Value Added). Permintaan informasi mengenai modal intelektual semakin meningkat, terutama ketika terdapat asimetri informasi dan ketidakpastian seperti pada saat perusahaan melakukan IPO (Warganegara, 2010). Pengungkapan modal intelektual memberikan nilai tambah tersendiri bagi perusahaan dalam menciptakan nilai perusahaan. Tingkat pengungkapan informasi yang tinggi akan memberikan informasi yang kredibel atau dapat dipercaya dan akan mengurangi kesalahan investor dalam mengevaluasi harga saham perusahaan, sekaligus kapitalisasi pasar. Dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi investor serta meningkatkan nilai perusahaan maka perusahaan harus mengungkapkan modal intelektual pada laporan keuangan mereka.
54
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
ASET
IPO Stakeholder Theory Signalling Theory
Aset Berwujud
Aset Tidak Berwujud
(Tangible Asset)
(Intangible Asset)
Resource Based Theory Legitimacy Theory
Modal Intelektual (VAICTM)
Asimetri Informasi
VACA VAHU
Pengungkapan Modal Intelektual
STVA
Tujuan Perusahaan Memaksimalkan Nilai Perusahaan (Harga yang bersedia dibayar oleh Investor)
Nilai Perusahaan
55
2.3
Penelitian terdahulu Tabel 2.4 Penelitian Terdahulu Peneliti
Variabel
Metode
Hasil Penelitian
Chen et al. (2005)
VAICTM, MtBV, AD, RD
Regresi
IC berpengaruh terhadap nilai pasar dan kinerja perusahaan; R&D berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
Abdolmohammadi (2005)
ICD, MC, BV, ROADiff
Content Analysis
IC berpengaruh signifikan terhadap kapitalisasi pasar perusahaan.
Ulum (2008)
VAICTM, ROA, ATO, GR
PLS
IC berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, baik masa kini maupun masa mendatang; rata-rata pertumbuhan IC berhubungan positif dengan kinerja perusahaan di masa mendatang.
Rubhyanti (2008)
VAIC, MtBV
Regresi
Para investor memberikan nilai yang lebih tinggi pada perusahaan dengan modal intelektual yang tinggi.
Widarjo (2011)
MC, ICD, VAICTM
Regresi
Modal intelektual tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan; pengungkapan modal intelektual berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
Regresi
VAIC berpengaruh signifikan positif terhadap MtBV; VAIC berpengaruh signifikan terhadap ROE dan ROA.
Entika dan MtBV, ROE, Ardiyanto (2012) ROA, GR
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2013
56
2.4
Hipotesis Penelitian
2.4.1
Hubungan Antara Modal Intelektual dan Nilai Perusahaan Stewart (1991) mendefinisikan modal intelektual sebagai pengetahuan,
informasi, kekayaan intelektual, pengalaman yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kekayaan dan memberikan keunggulan kompetitif di pasar. Modal intelektual merupakan aset strategis yang mampu menghasilkan kompetitif yang berkelanjutan dan kinerja keuangan yang unggul (Barney, 1991). Perusahaan yang memiliki keunggulan kompetitif tentunya dapat bersaing dengan lawan bisnisnya dan keberlanjutan perusahaan akan terjamin. Jika keberlanjutan perusahaan terjamin, persepsi pasar terhadap nilai perusahaan akan meningkat. Modal intelektual adalah sumber daya penting dan faktor kunci dari keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, keberhasilan ekonomi dan penciptaan nilai perusahaan (Lev et al., 2005). Nilai perusahaan yang diberikan oleh investor kepada perusahaan akan tercermin dalam harga pasar saham perusahaan. Investor akan memberikan nilai yang lebih tinggi pada perusahaan yang memiliki sumber daya intelektual yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki sumber daya intelektual yang rendah (Chen et al., 2005). Oleh karena itu modal intelektual diyakini memegang peranan penting dalam meningkatkan nilai perusahaan di mata pasar. Firer dan Williams (2003), Chen et al. (2005) dan Tan et al. (2007) telah membuktikan bahwa modal intelektual berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Ulum dkk. (2008) melakukan penelitian tentang modal
57
intelektual yang dengan menggunakan sampel perusahaan perbankan di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa modal intelektual yang diukur dengan VAICTM terbukti secara statistik berpengaruh terhadap kinerja perusahaan dan kinerja di masa depan. Hasil penelitian tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Saengchan (2008), Rubhyanti (2008), serta Entika dan Ardiyanto (2012) yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara modal intelektual dan kinerja keuangan dan nilai pasar. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut maka diajukan hipotesis sebagai berikut : H1 :
Modal intelektual berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan yang melakukan penawaran umum saham perdana.
2.4.2
Hubungan Antara Pengungkapan Modal Intelektual dan Nilai Perusahaan Mouritsen et al. (2001) menyatakan bahwa pengungkapan modal
intelektual dikomunikasikan kepada stakeholder intern dan ekstern, dengan mengkombinasikan laporan berbentuk angka, visualisasi dan naratif, sebagai penciptaan nilai. Pengungkapan yang semakin tinggi akan memberikan informasi yang kredibel atau dapat dipercaya, dan akan mengurangi kesalahan investor dalam mengevaluasi harga saham perusahaan, sekaligus kapitalisasi pasar. Semakin tinggi pengungkapan modal intelektual maka semakin tinggi nilai perusahaan. Abdolmohammadi (2005) membuktikan bahwa jumlah pengungkapan komponen modal intelektual dalam laporan tahunan perusahaan berpengaruh
58
signifikan terhadap nilai pasar perusahaan, yang diukur dengan nilai kapitalisasi pasar. Penelitian Sihotang dan Winata (2008) yang mengambil sampel perusahaan publik di Indonesia yang berbasis teknologi menemukan bukti bahwa adanya kecenderungan peningkatan pengungkapan modal intelektual selama periode pengamatan. Selain itu, penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara tingkat pengungkapan modal intelektual dan kapitalisasi pasar. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Abdolmohammadi (2005). Berdasarkan uraian tersebut, diajukan hipotesis kedua sebagai berikut : H2 :
Pengungkapan modal intelektual berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan
yang
melakukan
penawaran
umum
saham
perdana.