BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Filariasis 1. Filariasis Filariasis adalah suatu infeksi cacing filaria yang menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk dan dapat menimbulkan pembesaran pada anggota badan terutama pada tungkai atau tangan. Cara filaria menginfeksi manusia yaitu melalui gigitan vektor Arthopoda, misalnya nyamuk.Vektor ini menjadi infektif karena menelan mikrofilaria yang berada dalam darah mamalia. Setiap spesies filaria mempunyai pola daur hidup yang kompleks. Infeksi pada manusia terjadi apabila terkena pemaparan larva infektif secara intensif dalam jangka waktu lama. Setelah pemaparan, diperlukan waktu bertahun-tahun untuk terjadinya perubahan patologis nyata pada manusia. (Onggowaluyo,J.S, 2002). Mikrofilaria dapat ditemukan dalam darah pada malam hari dan siang hari, tetapi ditemukan dalam jumlah besar pada malam hari dan lebih banyak ditemukan dalam kapiler dan pembuluh darah paru-paru. (Onggowaluyo, J.S, 2002). Infeksi penyakit ini terutama pada bagian tungkai atau tangan yang menyebabkan pembengkakan dan deformasi organ tubuh. Pembengkakan dan deformasi organ terjadi karena bentuk dewasa parasit cacing filaria
4
(umumnya Wuchereria bancrofti) yang hidup dalam kelenjar getah bening pada bagian tungkai, karena parasit tersebut menutup sistem getah bening, timbunan getah bening mengalami akumulasi. (Sembel, D.T, 2009). 2. Filaria Cacing filaria mempunyai spesies 200 lebih dan hanya beberapa yang terdapat pada manusia. Cacing dewasa hidup di kelenjar dan saluran limfe. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria bersarung. Mikrofikaria ini sangat aktif, bentuknya seperti benang, terdapat di dalam darah dan paling sering ditemukan di aliran darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler organ-organ visceral (jantung, ginjal, dan paru-paru). Cara filaria menginfeksi manusia yaitu melalui gigitan vektor Arthopoda, misalnya nyamuk. 3. klasifikasi Klasifikasi Filaria : Phylum
: Nemathehelmintes
Class
: Nemathoda
Ordo
: Spirurida
Sub famili
: Filarioidea
Genus
: - Wuchereria - Brugia - Onchocerca - Loa- loa - Dipetalonema
- Mansonela - Dilofilaria 4. Morfologi umum Cacing dewasa berbentuk silindrik seperti benang, berwarna putih kekuning-kuningan. Pada ujung anteriornya terdapat mulut tanpa bibir dan dilengkapi baris papila 2 buah, baris luar 4 buah dan baris dalam 10 buah. Cacing betina berukuran 55 x 0,16 mm dengan ekor lurus. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria bersarung, panjangnya 177 – 230 mikron, lekuk tubuh kaku, panjang ruang kepala dua kali lebarnya. Inti tubuh tidak teratur dan ekornya mempunyai 1 – 2 inti tambahan. Cacing jantan berukuran 23 x 0,09 mm, ekor melingkar dan bagian ujungnya terdapat papila 3 – 4 buah dan di belakang anus terdapat sepotong papila. Pada ujung ekor terdapat 4 – 6 papila kecil dan 2 spikula yang panjangnya tidak sama. (Onggowaluyo, J.S, 2002).
Gambar.1 Mikrofilaria Wuchereria bancrofti
5. Siklus Hidup Manusia
merupakan
hospes
definitif,
sedangkan
insekta
merupakan hospes sementara sebagai tempat mikrofilaria tumbuh menjadi infektif yang akan masuk ke dalam tubuh manusia pada saat nyamuk yang membawa filaria menghisap darah manusia. Mikrofilaria yang tertelan nyamuk bersama darah masuk ke dalam otot nyamuk. Setelah pertumbuhan selama 6 – 20 hari. Selama nyamuk menghisap darah manusia maka larva infektif keluar dari probosis ke hospes baru sesudah menembus kulit melalui luka gigitan nyamuk. Larva meneruskan perjalanan ke dalam jaringan manusia kemudian masuk ke sistem limfatik perifer dan kemudian ke kelenjar limfe tempat mereka tumbuh menjadi cacing dewasa. Cacing betina yang sudah matang dan gravid mengeluarkan mikrofilaria dan dapat di deteksi di darah perifer dalam waktu 8 – 12 bulan pascainfeksi. (onggowaluyo, J.S, 2002). Spesies filaria yang paling sering menginfeksi manusia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori ( di Indonesia ) dan Onchocerca volvulus. (Onggowaluyo, J.S, 2002). Cacing filaria yang sering menimbulkan filariasis di Indonesia yaitu : a. Wuchereria bancrofti 1) Hospes dan Nama penyakit Hospes definitif cacing ini adalah manusia. Cacing dewasa hidup di kelenjar dan saluran limfe, sedangkan mikrofilaria hidup di
dalam darah. Hospes perantara cacing ini adalah nyamuk. Penyakit yang
disebabkan
cacing
ini
disebut
Filariasis
Bancrofti
(Wukereriasis Bancrofti). (Onggowaluyo, J.S, 2002). 2) Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa menyerupai benang, berwarna putih kekuningkuningan. Cacing betina berukuran 90 – 100 x 0,25 mm, ekor lurus dan ujungnya tumpul, didelfik dan uterusnya berpasangan (paired). Cacing jantan berukuran 35 – 40 x 0,1 mm, ekor melingkar dan dilengkapi dua spikula. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria bersarung dan berukuran 250 – 300 x 7 – 8 mikron. Mikrofilaria terdapat di dalam darah dan paling sering ditemukan di aliran darah tepi, tetapi pada waktu tertentu saja. Pada umumnya mikrofilaria, cacing ini mempunyai periodisitas nokturna karena mikrofilaria dalam darah tepi banyak ditemukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler organ-organ viseral (jantung,ginjal, paru-paru dan sebagainya). (Onggowaluyo, J.S, 2002). Untuk
melengkapi
daur
hidupnya,
Wuchereria
bancrofti
membutuhkan manusia ( hospes definitif ) dan nyamuk (hospes perantara). Nyamuk terinfeksi dengan menelan mikrofilaria yang terisap bersama-sama dengan darah. Di dalam lambung nyamuk, mikrofilaria melepaskan sarungnya dan berkembang menjadi larva
stadium 1 ( L – 1 ), larva stadium 2 ( L – 2 ), dan larva stadium 3 (L – 3 ) dalam otot toraks dan kepala. (Onggowaluyo, J.S, 2002). L – 1 memiliki panjang 135 – 375 mikron, bentuknya seperti sosis, ekor ,memanjang dan lancip, dan masa perkembangannya 0,5 – 5,5 hari ( di toraks ). L – 2 memiliki panjang 310 – 1.370 mikron, bentuk gemuk dan lebih panjang daripada L – 1, ekornya pendek membentuk kerucut, dan masa perkembangannya antara 6,5 – 9,5 hari ( di toraks dan kepala ). L – 3 memiliki mobilitas yang cepat sekali, kadang-kadang ditemukan di proboscis nyamuk sehingga larva ini bersifat infektif dan ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk. Apabila L – 3 ini masuk ke dalam jaringan manusia kemudian masuk ke system limfatik perifer dan bermigrasi ke saluran limfe distal dan akhirnya ke kelenjar limfe dan tumbuh menjadi L – 4 dan L – 5 (cacing betina dewasa dan jantan dewasa). (Onggowaluyo, J.S, 2002). 3) Gejala Klinis Kelainan dan perubahan patologis disebabkan oleh cacing dewasa maupun mikrofilaria. Cacing dewasa pada stadium akut 10 – 15 tahun menjadi obstruktif. Mikrofilaria tidak mengakibatkan kelainan, namun dalam kondisi tertentu menyebabkan occult filariasis. (Onggowaluyo, J.S, 2002).
Patogenesis filariasis bancrofti dibagi 3 stadium, yaitu stadium mikrofilaria, stadium akut, dan stadium kronis. Pada stadium akut terjadi peradangan kelenjar, limfadenitis maupun limfangitis retrograde. Dalam waktu 1 tahun, peradangan ini hilang dan timbul berkali-kali. Kasus peradangan yang umum dijumpai adalah peradangan sistem limfatik organ genital pria, misalnya epididimitis, funikulitis dan orkitis.
Saluran
sperma
mengalami
peradangan
hingga
membengkak dan keras menyerupai tali, bila diraba terasa nyeri sekali. Pada stadium kronis (menahun) gejala yang sering terjadi adalah terbentuknya hidrokel. Kadang-kadang terjadi limfedema dan elephantiasis yang mengenai daerah tungkai dan lengan, payudara, testes dan vulva yang dapat diperbaiki dengan tindakan operatif. (Onggowaluyo, J.S, 2002). b. Brugia malayi dan Brugia timori 1) Hospes dan Nama Penyakit Hospes definitif Brugia malayi adalah manusia dan mamalia lainnya, misalnya kera, anjing, kucing dan sebagainya. Cacing dewasa terdapat pada saluran dan kelenjar limfe. Hospes definitif Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang disebabkan Brugia malayi disebut filariasis malayi, sedangkan yang disebabkan Brugia timori
disebut filariasis timori. Kedua penyakit ini juga disebut filariasis brugia. (Onggowaluyo, J.S, 2002). 2) Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa berbentuk silindrik seperti benang berwarna putih kekuning-kuningan. Pada ujung anteriornya terdapat mulut tanpa bibir dan dilengkapi baris papilla 2 buah, baris luar 4 buah dan baris dalam 10 buah. Cacing betina berukuran 55 x 0,16 mm dengan ekor lurus, vulva mempunyai alur transversal dan langsung berhubungan dengan vagina membentuk saluran panjang. Cacing jantan berukuran 23 x 0,09 mm, ekor melingkar dan bagian ujungnya terdapat papila 3 – 4 buah, dan di belakang anus terdapat sepotong papila. Pada ujung ekor terdapat 4 – 6 papila kecil dan 2 spikula yang panjangnya tidak sama. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria bersarung, panjangnya 177 – 230 mikron, lekuk tubuh kaku, panjang ruang kepala dua kali lebarnya, inti tubuh tidak teratur dan ekornya mempunyai 1 – 2 inti tambahan. Mikrofilaria ini terdapat dalam darah tepi. ( Onggowaluyo, J.S, 2002 ). Kedua cacing ini mempunyai daur hidup yang kompleks dan ukuran tubuh lebih pendek bila dibandingkan dengan ukuran tubuh Wuchereria bancrofti. Masa pertumbuhan larva di dalam tubuh vektor kira-kira 10 hari. Disini larva mengalami pergantian kulit dan berkembang menjadi L – 1, L – 2, dan L – 3. Pada manusia masa
pertumbuhan
bisa
mencapai
3
bulan.
Pada
tubuh
manusia
perkembangan kedua cacing ini mempunyai pola hidup yang sama seperti Wuchereria bancrofti. (Onggowaluyo, J.S, 2002). 3) Gejala Klinis Gejala filariasis brugia sama dengan filariasis bancrofti. Patogenesis berlangsung berbulan – bulan, bahkan sampai bertahun – tahun setelah terjadi infeksi. Penderita sering tidak menunjukkan gejala yang nyata meskipun di dalam darahnya di temukan mikrofilaria. Pada stadium akut akan terjadi demam dan peradangan saluran maupun kelenjar limfe inguinal. Keadaan ini berlangsung 2 – 5 hari dan dapat sembuh sendiri walaupun tidak diobati. Peradangan kelenjar limfe dapat menimbulkan limfangitis retrograde. Peradangan pada saluran limfe tampak garis merah yang menjalar ke bawah dan bisa menjalar ke jaringan yang ada di sekitarnya. Pada stadium ini, tungkai bawah
penderita
membengkak
dan
mengalami
limfedema.
(Onggowaluyo, J. S, 2002).
B. Diagnosis Gejala filariasis ditimbulkan oleh cacing dewasa yang ditularkan ke manusia (hospes definitif) dengan perantara nyamuk (hospes perantara) yang mengandung mikrofilaria. Mikrofilaria dapat ditemukan dalam darah pada puncak masa periodik, misalanya antara jam 10 malam sampai tengah malam ( nocturnal periodik Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi ). (Soedarto, 2009).
Diagnosis filariasis hasilnya lebih tepat bila didasarkan pada anamnesis yang berhubungan dengan vektor di daerah endemis dan di konfirmasi dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Bahan pemeriksaan adalah darah yang diambil pada malam hari yang kemudian dibuat Sediaan darah tetes tebal lalu diperiksa dengan mikroskop untuk melihat adanya mikrofilaria yang masih bergerak aktif, sedangkan untuk menetapkan spesies filaria dilakukan dengan membuat sediaan darah tetes tebal yang diwarnai dengan larutan Giemsa atau Wright. (Onggowaluyo, J.S, 2002). Dalam darah penderita dengan gejala filariasis tidak selalu ditemukan mikrofilaria. Kira – kira setelah satu tahun pascainfeksi. Larva menjadi cacing dewasa dan mengeluarkan mikrofilaria. Pada bulan pertama terjadi gejala filariasis yang disertai peradangan. Pada gejala ini tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah. (Onggowaluyo, J.S, 2002).
C. Pencegahan dan Pengobatan Upaya pemberantasan penyakit filariasis sebaiknya diimbangi dengan pemberantasan nyamuk dan sarang nyamuk dengan tujuan memutus siklus hidup dari vektor sementara. Perlindungan manusia dengan cara menutup fentilasi pada ruangan dengan jaring-jaring, memasang kelambu pada tempat tidur, menggunakan obat nyamuk pada saat tidur ( semprot / bakar / elektrik ), menggunakan lotion anti nyamuk, membersihkan saluran air di lingkungan rumah, melakukan 3M (menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air, dan mengubur
barang – barang bekas), selain itu diperlukan upaya sadar diri untuk selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Pengobatan secara masal dilakukan di daerah endemis dengan menggunakan obat Dietil Carbamazine Citrat ( DEC ) di kombinasikan dengan Albendazol sekali setahun selama 5–10 tahun, untuk mencegah reaksi samping seperti demam, diberikan Parasetamol. (Isharmanto, 2009). Dosis DEC yang dianjurkan adalah 6mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Dosis harian obat tersebut dapat diberikan dalam tiga kali pemberian sesudah makan. (Sutanto, Inge, 2008). Dietilkarbamazin adalah efektif tetapi dapat mencetuskan reaksi alergi yang dapat diatasi dengan antihistamin. (Bell, J.C, 1995).