BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1
NYERI KEPALA
II.1.1 Definisi Nyeri kepala adalah suatu rasa nyeri atau rasa tidak enak pada daerah kepala termasuk meliputi daerah wajah dan tengkuk leher. (Sjahrir dkk, 2013) II.1.2 Epidemiologi Studi epidemiologi menunjukkan bahwa 86% wanita dan 63% lakilaki mengalami nyeri kepala dalam 1 tahun. (Peatfield, 2008). Terdapat sekitar 28 juta penderita migren di Amerika Serikat, dimana dua pertiga diantaranya adalah wanita. Berdasarkan kepustakaan negara barat prevalensi migren pada orang dewasa adalah sekitar 10-20% setahun, pria 6% dan wanita 15-18%, dimana migren dengan aura 4% sedangkan migren tanpa aura 6%. Sedangkan untuk TTH 59% dari populasi pernah mengalami TTH 1 hari (atau kurang dari 1 hari perbulannya), 37% mengalami beberapa kali serangan per bulan dan 3% mengalami TTH kronik (Landy, Rasmussen cit Sjahrir,2008) Berdasarkan hasil penelitian multisenter berbasis rumah sakit pada 5 rumah sakit besar di Indonesia, didapatkan prevalensi penderita nyeri kepala sebagai berikut: Migren tanpa aura 10%, Migren dengan aura
Universitas Sumatera Utara
1,8%, Episodik Tension Type Headache 31%, Chronic Tension Type Headache 24%, Cluster Headache 0,5%, Mixed Headache 14% (Sjahrir, 2004). II.1.3 Klasifikasi Nyeri Kepala Berdasarkan The International Classification of Headache Disorders, 2nd Edition, dari the International Headache Society (Sjahrir dkk, 2013) secara garis besar nyeri kepala diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Migren 2. Tension-Type Headache 3. Nyeri kepala klaster dan sefalalgia trigeminal-otonomik yang lainnya 4. Nyeri kepala primer lainnya 5. Nyeri kepala yang berkaitan dengan trauma kepala dan/atau leher 6. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan vaskuler kranial dan/atau servikalis 7. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan non vaskuler 8. Nyeri kepala yang berkaitan dengan suatu substansi atau proses withdrawal nya 9. Nyeri kepala yang berkaitan dengan infeksi 10. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan hemostasis 11. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan kranium, leher, mata, telinga, hidung, sinus, gigi, mulut atau struktur fasial atau kranial lainnya 12. Nyeri kepala yang berkaitan dengan kelainan psikiatrik 13. Neuralgia kranial dan penyebab sentral nyeri fasial
Universitas Sumatera Utara
14. Nyeri kepala, neuralgia kranial, sentral atau nyeri fasial primer lainnya Klasifikasi nyeri kepala primer sesuai The International Classification of Headache Disorders, 2nd Edition (Sjahrir dkk, 2013) adalah sebagai berikut: 1. Migren: 1.1.
Migren tanpa aura
1.2.
Migren dengan aura
1.3.
Sindroma periodik pada anak yang sering menjadi prekursor migren
1.4.
Migren Retinal
1.5.
Komplikasi migren
1.6.
Probable migren
2. Tension-type Headache: 2.1.
Tension-type headache episodik yang infrequent
2.2.
Tension-type headache episodik yang frequent
2.3.
Tension-type headache kronik
2.4.
Probable tension-type headache
3. Nyeri kepala klaster dan sefalgia trigeminal-otonomik yang lainnya: 3.1.
Nyeri kepala Klaster
3.2.
Hemikrania paroksismal
3.3. Short-lasting unilateral neuralgiform headache with conjunctival injection and tearing (SUNCT) 3.4.
Probable sefalgia trigeminal otonomik
4. Nyeri kepala primer lainnya: 4.1.
Primary stabbing headache
4.2.
Primary cough headache
4.3.
Primary exertional headache
4.4.
Nyeri kepala primer sehubungan dengan aktifitas seksual
Universitas Sumatera Utara
4.5.
Hypnic headache
4.6.
Primary thunderclap headache
4.7.
Hemikrania kontinua
4.8.
New daily-persistent headache
II.1.4 Patofisiologi nyeri kepala Pada nyeri kepala, rangsang nyeri dapat disebabkan oleh adanya tekanan, traksi, displacement maupun proses kimiawi dan inflamasi terhadap nosiseptor pada struktur yang pain sensitive di kepala. Jika struktur pain sensitive yang terletak pada ataupun diatas tentorium serebelli dirangsang, maka rasa nyeri akan timbul menjalar pada daerah frontotemporal dan parietal anterior, yang ditransmisi oleh nervus trigeminus. Sedangkan rangsangan terhadap struktur yang peka terhadap nyeri di bawah tentorium, akan menimbulkan nyeri pada daerah oksipital, sub-oksipital dan servikal bagian atas, dimana akan ditransmisi oleh saraf kranial IX,X dan saraf spinal C1, C2 dan C3 (Sjahrir, 2008) Pada migren diduga bukan hanya adanya iritasi pain fiber perifer yang terdapat pada pembuluh darah intrakranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan sensitisasi sel saraf sentral terutama pada sistem trigeminal. Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway daripada sistem trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti 5-HT, bradikinin, prostaglandin dan juga mengaktivasi enzim NOS (Landy cit Sjahrir 2008)
Universitas Sumatera Utara
Pada migren aktivasi N.Trigeminal melepaskan CGRP dan peptida lain yang menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi. Mediator ini meningkatkan CGRP sintese lebih lanjut dan dilepaskan dalam waktu beberapa jam sampai hari sesuai dengan episode waktu 4-72 jam serangan migren. Peningkatan sintesa dan pelepasan CGRP dimediasi oleh pengaktifan dari jaras protein Mitogen-Activated Kinase (MapK) (Durham cit Sjahrir, 2008)
Gambar 1. Regulasi CGRP pada trigeminal ganglia neuron. Aktivasi nervus trigeminalis menyebabkan pelepasan dari CGRP dan neuropeptida lain yang merangsang pelepasan mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi tersebut, termasuk TNF-α, selanjutnya meningkatkan sintesa dan pelepasan CGRP melalui MAPKs. Dikutip dari : Sjahrir, 2008. Nyeri Kepala dan Vertigo
Pada
Tension
Type
Headache
kronis
bukti
eksperimental
menunjukkan bahwa sensitisasi sentral yaitu sifat eksitabilitas neuron yang ditingkatkan sistem saraf pusat yang dihasilkan oleh input nociceptive yang lama masuk dari jaringan pericranial myofascial memainkan
peranan
penting
dalam
patofisiologinya.
Penemuan
neurotransmitter dan neuromodulator seperti Nitric Oxide (NO), Calcitonin Gene Related Peptide (CGRP), Substance P (SP), Neuropeptide Y (NPY)
Universitas Sumatera Utara
& Vasoactive Intestinal Polypeptide (VIP) yang dilibatkan pada proses nyeri menyediakan pemahaman baru biologi dari nyeri kepala kronis (Ashina cit Sjahrir, 2008) Selain itu nociception dari jaringan pericranial myofascial berperan utama di dalam patofisiologi tension type headache. Peningkatan eksitabilitas dari sistem saraf pusat oleh adanya input myofascial perifer mungkin menyebabkan transformasi dari episodik menjadi tension type headache kronik (Ashina cit Sjahrir, 2008) Patofisiologi dari nyeri kepala klaster belum sepenuhnya dipahami. Diduga melibatkan suatu pengaktifan dari hipothalamus dan sistem trigeminovaskuler. Nyeri kepala klaster hanya berpusat pada mata & kepala atas mungkin disebabkan keterlibatan Trigeminal Nociceptive Pathway Ipsilateral secara integral. Gambaran otonomik ipsilateral diduga akibat pengaktifan sistem parasimpatis kranial (lakrimasi & rhinorrhea) dan kelainan fungsi sistem simpatis ipsilateral (ptosis & miosis). Pada nyeri kepala klaster terjadi pengaktifan sistem trigeminovaskuler yang ditandai oleh peningkatan CGRP di dalam peredaran pembuluh darah vena kranial saat serangan, serta pengaktifan sistem parasimpatis dengan peningkatan kadar VIP yang dihubungkan dengan ipsilateral otonom (Sjahrir, 2008)
Universitas Sumatera Utara
II.2 TEKANAN DARAH II.2.1. Pengertian tekanan darah Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi volume darah dan elastisitas pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan peningkatan volume darah atau elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan menurunkan tekanan darah. (Ronny dkk. 2010) II.2.2 Tekanan arteri rata-rata Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama yang mendorong kearah jaringan. Tekanan ini harus diukur secara ketat dengan dua alasan. Pertama, tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup; tanpa tekanan ini, otak dan jaringan lain tidak akan menerima aliran yang adekuat seberapapun penyesuaian lokal mengenai resistensi arteriol ke organ-organ tersebut yang dilakukan. Kedua, tekanan tidak boleh terlalu tinggi sehingga menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan resiko kerusakan pembuluh serta kemungkinan rupturnya pembuluhpembuluh halus (Sherwood, 2001). Mekanisme-mekanisme
yang
melibatkan
integrasi
berbagai
komponen sistem sirkulasi dan sistem tubuh lain penting untuk mengatur tekanan darah arteri rata-rata. Dua penentu utama tekanan darah arteri rata-rata adalah curah jantung dan resistensi perifer total. Perubahan
Universitas Sumatera Utara
setiap faktor tersebut akan mengubah tekanan darah kecuali apabila terjadi perubahan kompensatorik pada variabel lain sehingga tekanan darah konstan. Aliran darah kesuatu jaringan bergantung pada gaya dorong berupa tekanan darah arteri rata-rata dan derajat vasokonstriksi arteriol-arteriol
jaringan
tersebut.
Karena,
tekanan
arteri
rata-rata
bergantung pada curah jantung dan derajat vasokonstriksi arteriol, jika arteriol di salah satu jaringan berdilatasi, arteriol di jaringan lain akan mengalami konstriksi untuk mempertahankan tekanan darah arteri yang adekuat, sehingga darah mengalir tidak saja ke jaringan yang mengalami vasodilatasi tetapi juga ke otak, yang harus mendapatkan pasokan darah yang konstan. Dengan demikian variabel kardiovaskuler harus terus menerus diubah untuk mempertahankan tekanan darah yang konstan walaupun kebutuhan jaringan akan darah berubah-ubah (Sherwood, 2001). II.2.3. Faktor-faktor yang menentukan Tekanan Darah Agar kita mendapatkan tekanan darah maka harus ada curah jantung dan tahanan terhadap aliran darah sirkulasi sistemik. Tahanan ini disebut tahanan tepi. Tekanan darah = Curah jantung x Tahanan tepi Faktor-faktor yang mempengaruhi curah jantung seperti frekuensi jantung dan stroke volume. Tahanan terhadap aliran darah terutama terletak di arteri kecil tubuh, yang disebut arteriole. Pembuluh darah berdiameter kecil inilah yang memberikan tahanan terbesar pada aliran
Universitas Sumatera Utara
darah. Kapiler merupakan pembuluh darah yang jauh lebih kecil dari arteriole, tetapi meskipun setiap kapiler akan memberikan tahanan yang lebih besar di banding sebuah arteriole, terdapat sejumlah besar kapiler yang tersusun paralel dan berasal dari satu arteriole. Akibatnya terdapat sejumlah lintasan alternatif bagi darah dalam perjalanannya dari arteriole ke vena, dan karena inilah maka jaringan kapiler ini tidak memberikan tahanan terhadap aliran darah seperti yang diberikan oleh arteriole (Green, 2008). II.2.4 Jenis-jenis Tekanan Darah Terdapat tiga jenis tekanan darah, yaitu : a. Tekanan Darah Normal Tekanan darah dikatakan normal apabila tekanan sistoliknya 120-140 mmHg manakala tekanan diastoliknya 80-90 mmHg (WHO). Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) dari National Institute of Health (NIH), mendefinisikan tekanan darah normal adalah tekanan sistolik kurang dari 120 mm Hg dan tekanan diastolik kurang dari 80 mm Hg. (NHLBI, 2008) b. Tekanan Darah Rendah (Hipotensi) Hipotensi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah lebih rendah dari normal, yaitu mencapai nilai rendah 90/60 mmHg. Antara gejala klinis yang bisa dilihat akibat hipotensi adalah sering pusing, cepat lelah, penglihatan kurang jelas apabila merubah posisi, dan berkeringat dingin. Tekanan darah rendah sering terjadi
Universitas Sumatera Utara
pada waktu setelah sakit atau semasa penyembuhan. (NHLBI, 2008) c. Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi) Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI), hipertensi adalah suatu keadaan apabila tekanan darahnya melebihi normal, yaitu tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih tinggi manakala tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih tinggi. Tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh
darah,
terhambat
sampai
ke
jaringan
tubuh
yang
membutuhkannya (Sustrani, 2004). Tekanan darah tinggi berlaku apabila tekanan darah melebihi 140/90 mmHg. Hipertensi ini bisa menyebabkan komplikasi seperti gagal jantung dan stroke. Pada umumnya gejala hipertensi tidak diketahui dengan pasti. Gejala penyakit ini bisa diketahui setelah timbul komplikasi pada organ lain. Gejala hipertensi itu antara lain: sakit kepala, jantung berdebar-debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau beban berat, mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah, sering buang air kecil, terutama di malam hari, telinga berdenging, vertigo (Sustrani, 2004). Menurut The Seventh Report Of The Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation And Treatment Of High Blood Pressure
Universitas Sumatera Utara
(JNC 7),klasifikasi tekanan darah pada dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi,hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2. Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah __________________________________________________ Sistolik Diastolik Kategori Normal <120 <80 Prehipertensi 120 - 139 80-89 Hipertensi stage 1 140 - 159 90 – 99 Hipertensi stage 2 160 100 Sumber : The Seventh Report Of The Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation And Treatment Of High Blood Pressure (JNC) (2003)
II.3 Hemoglobin II.3.1 Defenisi Hemoglobin merupakan molekul berbentuk sfera dengan berat molekul kira-kira 64500 Daltons dan diameter kira-kira 6.4 nm. Ia merupakan komponen tetramer yang terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida globin, dengan setiap satunya berikatan dengan kelompok heme, yaitu sebuah kompleks antara molekul besi dan protoporfirin (Champe, 2008). Hemoglobin adalah suatu pigmen (yaitu secara almiah berwarna). Karena kandungan besinya, hemoglobin tampak kemerahan apabila berikatan
dengan
deoksigenasi.
O2
Dengan
dan
tampak
demikian,
kebiruan
darah
arteri
apabila yang
mengalami teroksigenasi
Universitas Sumatera Utara
sempurna tampak merah dan darah vena yang telah kehilangan sebagian oksigen nya di jaringan memperlihatkan rona kebiruan. Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan zat – zat berikut : 1. Karbondioksida. Hemoglobin ikut berperan mengangkut gas ini dari jaringan kembali ke paru. 2. Bagian ion hydrogen asam (H+) dari asam karbonat yang terionisasi, yang dibentuk dari CO2 pada tingkat jarigan. Dengan demikian hemoglobin menyangga asam ini sehingga pH tidak terlalu terpengaruh. 3. Karbonmonoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat di darah tetapi jika terhirup akan menempati tempat pengikatan O2 di hemoglobin, sehingga terjadi keracunan karbon monoksida. Dengan demikian, hemoglobin beperan penting dalam pengangkutan O2 sekaligus ikut serta dalam pengangkutan CO2 dan menentukan kapasita penyangga dari darah. (Sherwood, 2001)
Universitas Sumatera Utara
Gambar II. Regulasi pembentukan sel darah merah. Dikutip dari WHO dalam Arisman, 2002 II.3.2 Kadar Hemoglobin Kadar hemoglobin ialah ukuran pigmen respiratorik dalam butiranbutiran darah merah (Costill, 1998). Jumlah hemoglobin dalam darah normal adalah kira-kira 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut “100 persen” (Evelyn, 2009). Batas normal nilai hemoglobin untuk seseorang sukar ditentukan karena kadar hemoglobin bervariasi diantara setiap suku bangsa. Namun WHO telah menetapkan batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis kelamin (WHO dalam Arisman, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Batas kadar hemoglobin _________________________________________________ Kelompok umur Batas Nilai Hemoglobin (gr/dl) Anak 6 bulan – 6 tahun 11,0 Anak 6 tahun – 14 tahun 12,0 Pria Dewasa 13,0 11,0 Ibu hamil Wanita Dewasa 12,0 ______________________________________________ Sumber : WHO dalam arisman 2002 II.3.3 Anemia Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh berkurangnya kadar hemoglobin di dalam aliran darah. Kadar hemoglobin ini tergantung pada umur, jenis kelamin dan ketinggian tempat tinggal. Hemoglobin adalah pigmen darah berwarna merah yang didapatkan di dalam eritrosit dan berfungsi mengikat serta mengangkut oksigen dari paru ke jaringan dan CO2 dari jaringan ke paru. Dalam keadaan normal, eritrosit mempunyai masa hidup 120 hari, setelah itu eritrosit akan dirusak di limpa dan digantikan eritrosit yang baru yang dihasilkan oleh sumsum tulang. Pada keadaan tertentu umur eritrosit ini bisa memendek yaitu < 120 hari yang mengakibatkan terjadinya anemia. (wirawan dkk, 2012) Menurut WHO, anemia adalah kondisi dimana jumlah sel darah merah tidak dapat memenuhi kebutuhan fisik seseorang. Kebutuhan fisiologi seseorang bervariasi pada setiap orang, bias berdasarkan pada
Universitas Sumatera Utara
umur, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal, prilaku merokok dan tahap kehamilan. II.3.4. Polisetemia Vera Polisitemia Vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel induk hematopoitik dengan karakteristik peningkatan jumlah eritrosit absolut
dan
volume
darah
total,
biasanya
disertai
leukositosis,
trombositosis dan splenomegali. (Supandiman, 2003) Polisitemia Vera dapat mengenai semua umur, sering pada pasien berumur 40-60 tahun, dengan perbandingan antara pria dan wanita 2:1, di Amerika Serikat angka kejadiannya ialah 2,3 per 100.000 penduduk dalam setahun, sedangkan di Indonesia belum ada laporan tentang angka kejadiannya. Penyakit ini dapat terjadi pada semua ras/bangsa, walaupun didapatkan angka kejadian yang lebih tinggi pada orang Yahudi. (Prenggono, 2006) Sejarah Polisitemia Vera dimulai tahun 1892 ketika Louis Hendri Vaquez pertama kali menjelaskan Polisitemia Vera pada pasien dengan tanda eritrositosis dan hepatosplenomegali. Kemudian tahun 1951 William Dameshek mengklasifikasikan Polisitemia Vera, Trombositosis Esensial dan Mielofibrosis Idiopatik sebagai Penyakit Mieloproliferatif. Dan baru tahun 1970 Polycythemia Vera Study Group (PVSG) membuat kriteria diagnosis Polisitemia Vera atas kriteria mayor dan kriteria minor.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Kriteria Mayor dan Minor diagnosis Polisitemia Vera KRITERIA MAYOR
KRITERIA MINOR
1. Massa eritrosit : Laki-laki
1. Trombositosis
>36 ml/kg, perempuan >32
>400.000/mm3 2. Lekositosis >12.000/mm3
ml/kg 2. Saturasi Oksigen > 92 %
3. Aktivasi
3. Splenomegali
Alkalifosfatase
leukosit >100 (tanpa ada demam/infeksi 4. B12 serum > 900 pg/ml; atau UBBC (Unsaturated B12 Binding Capasity) > 2200 pg/ml
Sumber : Pedoman diagnosis dan terapi Hematologi Onkologi (Supandiman, 2003) Etiopatogenesis Polisitemia Vera belum sepenuhnya dimengerti, suatu penelitian sitogenetik menemukan adanya kelainan molekular yaitu adanya kariotip abnormal di sel induk hematopoisis. yaitu kariotip 20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q, trisomi 8, trisomi 9. Dan tahun 2005 ditemukan mutasi JAK2V617F, yang merupakan hal penting pada etiopatogenesis Polisitemia Vera. (James, 2008) Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan penurunan kecepatan aliran darah sehingga dapat menyebabkan
trombosis
dan
penurunan
laju
transport
oksigen.
(Prenggono, 2006)
Universitas Sumatera Utara
II.4. Trombosit Trombosit adalah sel darah tak berinti yang berasal dari sitoplasma megakariosit. Hitung trombosit antara 150-400 X 103/mm3, sedangkan umur trombosit berkisar antara 7-10 hari. Sel ini memegang peranan penting pada hemostasis karena trombosit membentuk sumbat hemostatik untuk menutup luka. Trombosit dihasilkan dari sumsum tulang melalui fragmentasi sitoplasma megakariosit. Megakariosit berasal dari megakarioblast yang merupakan hasil diferensiasi dari sel induk hemopoietik. Megakariosit mengalami pematangan dengan replikasi inti endomitotik, memperbesar volume sitoplasma sejalan dengan penambahan lobus inti menjadi dua kali lipat. Pada berbagai stadium dalam perkembangannya, sitoplasma menjadi granular dan trombosit dilepaskan. Tiap megakariosit dapat menghasilkan
kurang-lebih
4000
trombosit.
Rentang
waktu
sejak
diferensiasi sel induk hemopoietik sampai produksi trombosit berkisar selama 10 hari. Pengatur utama produksi trombosit adalah trombopoietin, yang dihasilkan oleh hati dan ginjal. Trombopoietin meningkatkan jumlah dan kecepatan maturasi dari megakariosit. Jumlah trombosit normal adalah sekitar 250.000/mm 3 (atau sekitar 250x109/L) dengan kisaran antara 150.000 hingga 400.000/mm 3. Lama hidup trombosit yang normal adalah sekitar 7 – 10 hari.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama respon hemostasis normal jika terjadi cedera pada vaskular. Jika tidak ada trombosit, dapat terjadi kebocoran darah spontan dari pembuluh darah kecil. Reaksi trombosit berupa adhesi, sekresi, agregasi, dan fusi serta aktivitas prokoagulannya sangat penting untuk fungsi trombosit tersebut (Hoffbrand dkk, 2002). II.4.1 Trombositopenia Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit yang berada dibawah rata-rata normal populasi. Pada kebanyakan laboratorium, jumlah platelet
yang
normal
berada
diantara
150.000-450.000/mm3,
dari
pengertian ini, 5% dari populasi memiliki jumlah diluar normal. Tidak ada definisi yang berlaku umum dari trombositopenia ringan, sedang atau berat. Untuk pasien kanker yang menerima pengobatan, National Cancer Institute (NCI) telah mengembangkan kriteria toksisitas umum untuk menggambarkan tingkat keparahan trombositopenia. Jumlah trombosit dari 75.000 menjadi 150.000 / L yang didefinisikan sebagai grade I trombositopenia, 50.000 sampai 75.000 / L sebagai grade II, 25.000 sampai 50.000 / L sebagai grade III, dan di bawah 25.000 / L sebagai grade IV trombositopenia. Resiko harus dinilai dalam tiga cara: penyebab yang mendasari trombositopenia, risiko perdarahan yang berbahaya, dan efek samping yang mungkin dari suatu pengobatan (misalnya, penggunaan steroid
Universitas Sumatera Utara
kronis atau splenektomi). Pendarahan spontan tidak mungkin turun sampai hitungan di bawah 20.000, dan perdarahan yang berlebihan dengan trauma tidak mungkin kecuali hitungan jatuh di bawah 60.000 Kerja dari jumlah trombosit yang rendah meliputi anamnesis, pemeriksaan, dan penelaahan terhadap hapusan darah. Tes khusus untuk penyakit tertentu (seperti HIV) mungkin seringkali diperlukan, termasuk aspirasi sumsum tulang. Trombositopenia digaris bawahi sebagai penyebab. Jumlah trombosit <100.000 yang tidak dapat dijelaskan ditunda. Jika tidak ada penyebab khusus yang ditemukan setelah pengujian klinis, dan sisanya dari CBC normal tanpa hepatosplenomegali, diagnosis mungkin adalah Idiopatik Thromnocytopenia (ITP). Karena tidak ada tes untuk ITP, diagnosis ini dibuat
dengan
mengesampingkan
penyakit
lain-seperti
hati/limpa,
penyakit sumsum tulang, leukemia, limfoma dan lain-lain. ITP akut terlihat pada anak-anak, sering mengikuti infeksi virus, dan pemulihan spontan terjadi pada> 80%, sebagian besar dalam 6 bulan. ITP pada orang dewasa cenderung menjadi gangguan autoimun kronis. Kematian meningkat terutama karena perdarahan intrakranial dan GI, tetapi kebanyakan pasien baik-baik saja meskpun trombosit turun di bawah 20.000 (yang tidak biasa). Sebagian besar bentuk pengobatan dapat disampaikan sebagai pasien rawat jalan. Rawat inap adalah
Universitas Sumatera Utara
perawatan yang sesuai untuk orang-orang dengan jumlah trombosit di bawah 20.000. Pasien dengan jumlah trombosit > 50.000 tidak memerlukan pengobatan rutin. Pengobatan diberikan bila: 1) jumlah trombosit <30.000, 2) terdapat tanda-tanda perdarahan, atau 3) trombosit <50.000 dengan faktor risiko perdarahan yang signifikan (seperti Hipertensi , usia> 60 tahun, penyakit ulkus peptikum). (Sudhir dkk, 2006) II.4.2 Trombositosis Trombositosis didefinisikan sebagai peningkatan jumlah trombosit yang berada dari nilai normal antara 150.000 dan 250.000/mm3 trombosit. Batasan luar yang keadaan trombosit biasanya ditandai dalam trombosit yang didefinisikan sebagai 400.000/mm3 Trombocytosis dibagi menjadi primer atau otonom, dalam perjalanan penyakit myeloproliferative (thrombocythemia, polisitemia vera, leukemia myelogenous kronis, myelofibrosis) dan sekunder atau reaktif. Bentukbentuk primitif memiliki asal mula yang sama sebagai sel induk dari sumsum tulang, dan, meskipun masing-masing memiliki karakteristik khusus, sering tumpang tindih dengan gambaran klinis, sehingga sulit untuk menentukan diagnosis diantara penyakit myeloproliferative. . Pada
dasarnya
thrombocythemia
selalu
merupakan
suatu
peningkatan trombosit, tetapi ini juga dapat terjadi dalam tiga penyakit
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Idiopatik thrombocythemia, cepat atau lambat, dalam perjalanan penyakit, mungkin telah meningkatkan sel darah putih dan, bahkan sel-sel darah merah. Durasi trombositosis sekunder adalah variabel terikat dan terhadap
kemungkinan
menghilangkan
penyakit
yang
mendasari.
Diagnosis didasarkan pada temuan, pemeriksaan emocromocitimetrico (haemochromocytometric test), untuk melihat tingkat platelet lebih tinggi dari 400.000/mm3 dengan volume, morfologi dan fungsi trombosit normal, dan
mencari
kemungkinan
kondisi
patologis
yang
menyebabkan
trombositosis. Penyakit myeloproliferative
harus
dikecualikan
dari
trombosit,
termasuk essential thrombocythemia, yang selain kelainan hematologi yang spesifik, memiliki tingkat yang lebih tinggi dengan anisomacrocitosi platelet, dan lebih sering terjadi pendarahan atau trombotik. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pada kebanyakan pasien dengan polisitemia vera dan sekitar setengah dari mereka dengan akan menjadi thrombocythemia atau myelofibrosis idiopatik, yang merupakan mutasi nukleotida tunggal yang mengaktifkan JAK2 (Griesshammer, 2007).
II.5. Hubungan antara nyeri kepala dengan tekanan darah, kadar hemoglobin dan kadar trombosit Nyeri kepala merupakan salah satu gejala yang paling sering ditemui pada kejadian umum dan kejadian klinis neurologi (Peatfield, 2008). Saat ini nyeri kepala juga berada pada gangguan sistem saraf yang paling
Universitas Sumatera Utara
sering terjadi, menyebabkan gangguan yang cukup besar dalam populasi di dunia (WHO, 2006). Hubungan antara hipertensi dan nyeri kepala pertama kali diperkenalkan oleh Janeway pada tahun 1913. Kebanyakan pasien dan dokter masih meyakini bahwa nyeri kepala menjadi gejala yang paling umum dari hipertensi. Secara patofosiologi, nyeri kepala meningkat ketika serat afferent primer menginervasi meningeal atau pembuluh darah serebral menjadi aktif; kebanyakan dari serat nociceptive dilokasikan di dalam bagian pertama dari ganglion trigeminal atau ganglia servikal atas (Yeung, 2006). Rangsangan terhadap struktur yang peka terhadap nyeri dibawah tentorium (yaitu yang terletak pada fossa krani posterior) radiks servikalis bagian atas dengan cabang – cabang saraf perifernya akan menimbulkan nyeri pada daerah dibelakang garis tersebut diatas, yaitu pada area oksipital, area sub-oksipital dan servikal bagian atas. Rasa nyeri ini ditransmisi oleh saraf cranial IX, X dan saraf spinal C1, C2, C3. Kadangkadang bisa juga radiks servikalis bagian atas dan N. Oksipitalis mayor akan menjalarkan nyerinya ke frontal dan mata pada sisi ipsilateral. Telah dibuktikan adanya hubungan yang erat antara inti – inti trigeminus dengan radiks dorsalis segmen servikal atas. Refleks trigeminoservikal dapat dibuktikan dengan cara stimulasi n.supraorbitalis dan direkam dengan cara pemasangan electroda pada otot strenocleido-mastoid. Input eksteroseptif dan nosiseptif dari reflex trigeminoservikal ditransmisikan melalui jalur polisinaptik, termasuk nukleus spinal trigeminal dan mencapai
Universitas Sumatera Utara
motor neuron servikal. Dengan adanya hubungan ini jelaslah bahwa nyeri didaerah leher dapat dirasakan atau diteruskan kearah kepala dan sebaliknya. (Sjahrir, 2008) Berdasarkan The International Classificatin of Headache disorder (2004), nyeri kepala dapat disebabkan oleh hipertensi yang sedang yang berhubungan dengan pheochromocytoma, krisis hipertensi dengan atau tanpa hipertensi encephalopathy, preeklamsi dan eklamsi dan respon tekanan akut ke agen exogenous.(Yeung 2006) Dijumpai hubungan terbalik antara level tekanan darah dan nyeri kepala yang dihubungkan dengan suatu phenomena “ hypertensioninduced hypalgesia” dimana sensibilitas terhadap rangsangan nyeri berhubungan terbalik dengan tekanan darah. Hal ini disebabkan pengulangan aktivitas barorefleks dalam modulasi nosiseftif (Yeung 2006) Tekanan darah sistolik 150 mmhg atau lebih tinggi memiliki resiko 30% lebih rendah mengalami nyeri kepala non migren dibandingkan dengan tekanan sistolik lebih rendah dari 140 mmhg (Hagen dkk, 2002) Pasien dengan anemia menunjukkan berbagai gejala, seperti nyeri kepala, wajah pucat, orthostatic hypotension, atau edema yang dihasilkan dari penurunan sel darah merah, kelelahan, tidak enak badan, vertigo, syncope, tinnitus, atau nyeri dada yang disebabkan oleh kekurangan suplai oksigen, jantung berdebar atau bernafas dengan mekanisme kompensatori (Ohta, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Pada
keadaan
anemia
terjadi
peningkatan
dari
2,3-
biphospoglycerate yang mengakibatkan affinitas oksigen-hemoglobin menurun,
maka
hemoglobin
tidak
dapat
mengikat
oksigen
(deoxyhemoglobin). Pada keadaan ini hemoglobin dapat melakukan persenyawaan NO. (Dessypris dkk 2004) Nitric Oxide molekul yang bereaksi dengan Cysß93, dimana suatu hemoglobin yang rantai ß nya mengikat globin cystein pada nomor 93 yang menghasilkan nitrosothiol. (Dessypris dkk 2004) Nitrosothiol akan mengaktivasi sitoplamic guanylate cyclase yang akan menaikkan kadar guanosine 3,5 – monophosphate
(cGMP) dan
cytosolic calcium yang akan menyebabkan vasodilitasi (Sjahrir 2008) Pada keadaan polisitemia terjadi peningkatan afinitas oksigen hemoglobin, sehingga hemoglobin sangat kuat mengikat oksigen. Akibatnya terjadi penurunan penghantaran oksigen ke jaringan atau hipoksia (Harmening dkk, 2002, Telen dkk, 2004). Keadaan hipoksia ini dapat menyebabkan timbulnya nyeri kepala. (Newman dkk, 2001) Pada studi epidemiologi pada 379 laki – laki yang tinggal di ketinggian 4300, dijumpai 32,2% migren, sebanyak 15,2 dengan tension type headache, dan 7,2 dengan nyeri kepala lainnya. Didapati hemoglobin yang tinggi (HB>21,3 gr%) dan saturasi oksigen yang rendah (O 2 <81,5%) (Arregui dkk, 2002)
Universitas Sumatera Utara
Varol dkk, 2013 menyatakan gumpalan trombosit (clots) dapat menginduksi Cortically Spreading Depression dengan menghalangi pembuluh darah kecil dan menghasilkan aura-like symptoms dan pulsatile headaches. Aktivasi platelet berperan dalam adhesi endotel dan agregasi mengatur proses inflamasi yang berinteraksi dengan leukosit. Andrea dkk (2003), melakukan suatu studi yang menunjukkan gangguan agregasi platelet pada cluster headache, didapati hipoagregasi sebagai respon rendahnya colagen dan adenosine disphosphate dan hyperagregasi dimana platelet distimulasi oleh Platelet-Activating Factor. Pada studi ini menyatakan bahwa penurunan agregasi platelet dengan kolagen dan adenosine difosfat dapat menunjukkan kekacauan fungsi Nitric Oxide, sedangkan hipersensitivitas pada Platelet – Activating Factor disebabkan fluktuasi kadar plasma. Pada pasien dengan Essential Thrombocythaemia memiliki simptom neurologi termasuk nyeri kepala dan rasa kebas. Nyeri kepala dihubungkan dengann disfungsi platelet yaitu hipersensitif reseptor seretonin
atau
peningkatan
level
serotonin.
Nyeri
kepala
juga
dihubungkan dengan peningkatan Platelet Adenosine Disphosphate dan Neuropeptide Calcitonin Gene – Related Peptide. (Frewin dkk, 2012)
Universitas Sumatera Utara
II.6 Kerangka teori
HEMOGLOBIN
TROMBOSIT
Ranney et all(2004) Nitrit oxide berikatan dengan hemoglobin
Varol et all(2013) gumpalan trombosit (clots) dapat menginduksi Cortically Spreading Depression
Stovner et all(2011), keluhan
Sjahrir (2008) peningkatan
Frewin et all (2012) disfungsi
nyeri muskuliskeletal yang
kadar cGMP dan Cytosolic
platelet dengan peningkatan
kronik
calcium
level serotonin
TEKANAN DARAH
Albert Yeung (2006), serat aferen primer menginervasi meningeal
Newmann et all (2001) pada polisetemia terjadi hipoksia
NYERI KEPALA
Universitas Sumatera Utara
II.7. Kerangka Konsepsional
TEKANAN DARAH
HEMOGLOBIN
TROMBOSIT
NYERI KEPALA
Universitas Sumatera Utara