7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori Menurut Sugiyono (2010:83) teori adalah alur logika atau penalaran, yang
merupakan seperangkat konsep, definisi dan preposisi yang disusun dengan sistematis. Teori adalah sekumpulan konsep, definisi dan proposisi-proposisi yang sistematis yang digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi fenomena atau fakta (Hartono, 2013:53).
2.1.1
Teori Regulasi Regulasi umumnya dirancang dan dioperasikan demi kepentingan industri
yang ada (Belkaoui, 1985:48). Ada dua teori regulasi dalam industri, yaitu: teori kepentingan publik dan teori kepentingan kelompok. Teori kepentingan publik berpandangan bahwa regulasi diperlukan sebagai tanggapan atas permintaan publik terhadap perbaikan praktik pasar yang tidak efisien dan tidak adil. Dalam hal ini legislatif membuat aturan untuk melindungi pengguna laporan keuangan dengan meningkatkan kinerja ekonomi. Pembentukan regulasi terkait dengan beberapa kepentingan. Kepentingan tersebut terkait dengan konsekuensi yang akan diterima pengguna, atas pembentukan dari suatu regulasi. OJK (dulu disebut Bapepam-LK) dibawah naungan Kementrian Keuangan mendukung program konvergensi PSAK ke IFRS. OJK merevisi beberapa regulasi yang sudah tidak sejalan dengan PSAK yang berbasis IAS/IFRS. Konvergensi IFRS di Indonesia
8
dimulai tahun 2009 sampai dengan 2011, sedangkan adopsi IFRS secara penuh dimulai tahun 2012 hingga sekarang. Menurut Baruch Lev menyatakan bahwa perubahan standar yang berlaku memiliki pengaruh yang nyata pada operasi keuangan (Hendriksen, 2005: 116). Kebijakan akuntansi baru (IFRS) mengakibatkan perubahan dalam standar dan memengaruhi baik rasio keuangan maupun angka keuangan dari setiap aktivitas keuangan sehingga memengaruhi informasi akuntansi secara keseluruhan. Pada perusahaan akan terjadi biaya penerbitan laporan keuangan dan perbedaan angka laporan keuangan. Hal tersebut akan berdampak pada persepsi masyarakat dan informasi akuntansi.
Berikut ini adalah konsekuensi yang
diterima oleh pengguna dari perubahan kebijakan. Tabel 2.1 Konsekuensi Ekonomi Pengguna Perusahaan/ korporasi Manajemen Masyarakat Investor dan kreditor Sumber: Hendriksen, 2005: 115
Konsekuensi ekonomi Biaya penerbitan laporan keuangan Perbedaan volatilitas angka laporan keuangan Perilaku manajemen Persepsi atas perusahaan Keputusan keuangan
Perubahan regulasi berimbas pada relevansi nilai informasi akuntansi yang diterima investor dalam mengambil keputusan keuangan. Relevansi nilai informasi akuntansi mempunyai arti kemampuan informasi akuntansi untuk menjelaskan nilai perusahaan (Beaver, 1968). Informasi akuntansi memiliki relevansi nilai jika informasi tersebut mampu memprediksi atau memengaruhi harga saham (Francis dan Schipper, 1999). Hal ini berdampak pada perbedaan relevansi nilai informasi akuntansi sebelum dan sesudah adopsi IFRS.
9
Konsekuensi ekonomi akibat dari perubahan regulasi juga berimbas pada perilaku manajemen (Hendriksen, 2005: 117). Perilaku manajemen yang oportunis dapat meningkatkan utilitasnya dengan cara melakukan manajemen laba. Penerapan IFRS sebagai standar pelaporan akuntansi global berdampak pada minimnya pilihan metode akuntansi yang dapat diterapkan sehingga akan meminimalisasi praktik-praktik kecurangan akuntansi (Prihadi, 2011:4). Hal ini berdampak pada perbedaan manajemen laba sebelum dan sesudah adopsi IFRS.
2.1.2
Teori Agensi (Agency Theory) Agency theory berasumsi bahwa masing-masing individu termotivasi oleh
kepentingannya sendiri-sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan principal dan kepentingan agent. Pihak principal termotivasi untuk mensejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Agent termotivasi
untuk
memaksimalkan
pemenuhan
kebutuhan
ekonomi
dan
psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi dan bonus. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena principal tidak dapat memonitor aktivitas CEO sehari-hari untuk memastikan bahwa CEO bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan adanya adopsi IFRS maka terjadi perubahan standar yang berlaku. Perubahan standar dapat mengakibatkan perubahan perilaku manajemen. Hal ini dapat mendorong perilaku agent (manajemen) yang oportunis yang menggunakan momentum adopsi IFRS untuk memaksimumkan utilitasnya. Kegiatan oportunis agent yang memanipulasi laporan keuangan demi kepentingan manajemen dapat
10
memberikan informasi yang bias pada principal maupun investor. Hal ini dapat menurunkan relevansi nilai informasi akuntansi. Dalam teori keagenan, principal adalah para pemegang saham, sedangkan agent adalah manajemen perusahaan. Masalah agensi muncul ketika konflik kepentingan terjadi antara principal dan agent. Terdapat konflik antara kedua belah pihak karena utilitas maksimal yang tidak saling bertemu. Agent secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan yang diperoleh principal. Namun, manajer juga memiliki keinginan untuk memperoleh kesejahteraan. Jadi, kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak yang terbaik untuk para principal menurut Jensen dan Meckling (1976). Agent dapat melakukan praktik manajemen laba untuk memaksimalkan utilitasnya. Penerapan IFRS sebagai standar pelaporan akuntansi yang bersifat global berdampak pada minimnya pilihan metode akuntansi yang dapat diterapkan sehingga akan meminimalisir praktik-praktik kecurangan akuntansi (Prihadi, 2011:4). Dengan adanya perubahan standar, yaitu IFRS dapat menurunkan praktik manajemen laba di Indonesia. Hal ini berdampak pada perbedaan manajemen laba sebelum dan sesudah adopsi IFRS.
2.1.3
Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory) Adopsi IFRS di Indonesia secara penuh dilakukan pada tahun 2012.
Manajemen yang oportunis dapat meningkatkan utilitasnya dengan melakukan manajemen laba. Manajemen laba yang dilakukan manajemen dapat mengecoh para pelaku pasar dengan memberikan informasi yang tidak sesuai dengan kondisi
11
perusahaan yang sesungguhnya. Tiga hipotesis Positive Accounting Theory (PAT) mengenai motivasi manajemen laba, yaitu (Watts dan Zimmerman, 1986:354): 1) Hipotesis program bonus (The Bonus Plan Hypothesis) Motivasi bonus merupakan dorongan manajer perusahaan dalam mengatur laba yang diperolehnya. Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer yang bekerja pada perusahaan yang menerapkan rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya agar dapat memaksimalkan jumlah bonus yang akan diterimanya. Manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa kini sehingga dapat menaikkan laba saat ini. Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah, yaitu bogey (tingkat laba terendah) dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey, tidak ada bonus yang diperoleh manajer. Sedangkan jika laba berada di atas cap, manajer tidak akan mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey, manajer cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus lebih besar pada periode berikutnya, demikian pula jika laba berada di atas cap. Jadi hanya jika laba bersih berada di antara bogey dan cap, manajer akan berusaha menaikkan laba bersih perusahaan. 2) Hipotesis perjanjian utang (Debt Covenant Hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba dengan harapan dapat mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak utang. Hal ini menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
12
3) Hipotesis biaya politik (The Political Cost Hypothesis/ Size Hypothesis) Motivasi regulasi politik merupakan motivasi manajemen dalam menyiasati berbagai regulasi pemerintah. Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan dengan skala besar dan industri strategis cenderung untuk menurunkan laba guna mengurangi tingkat visibilitasnya terutama saat periode kemakmuran yang tinggi. Upaya ini dilakukan dengan harapan memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah. Biaya politik muncul dikarenakan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen. Ketiga hipotesis menjelaskan mengenai motivasi manajemen laba. Dengan adanya adopsi IFRS di Indonesia yang dilakukan secara penuh pada tahun 2012 diharapkan dapat mengurangi motivasi manajemen dalam melakukan manajemen laba dan meminimalisir praktik-praktik kecurangan akuntansi. Sehingga hal ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan manajemen laba sebelum dan sesudah adopsi IFRS.
2.1.4
International Financial Reporting Standard (IFRS) IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh
International Accounting Standar Board (IASB). Standar Akuntansi Internasional disusun oleh empat organisasi utama dunia, yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional, Komisi Masyarakat Eropa, Organisasi Internasional Pasar Modal, dan Federasi Akuntansi Internasional. International Accounting Standar Board
13
(IASB) yang dahulu bernama International Accounting Standar Committee (IASC), merupakan lembaga independen untuk menyusun standar akuntansi. Pada tahun 2009, Indonesia belum mewajibkan perusahaan-perusahaan listed di Bursa Efek Indonesia (BEI) menggunakan IFRS, melainkan masih mengacu kepada standar akuntansi keuangan nasional atau PSAK. Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia (DPN IAI), Ahmadi Hadibroto menyatakan terciptanya harmonisasi standar akuntansi global juga menjadi salah satu tujuan dan komitmen kelompok G-20 dalam meningkatkan kerjasama perekonomian dunia (IAI Global, 2009). Adopsi penuh IFRS didukung dengan Surat Edaran nomor: SE-05/MBU/2009 yang menyatakan Menteri BUMN ikut aktif dalam kegiatan public hearing, konsultasi publik dan sosialisasi konvergensi IFRS yang berlaku sepenuhnya pada tahun 2012. Ketua DPN IAI, Mardiasmo menyatakan DSAK IAI telah berhasil menyelesaikan proses konvergensi IFRS tahap pertama pada 1 Januari 2012 (Ikatan Akuntan Indonesia, 2014). Menurut Immanuella (2012) tujuan IFRS adalah memastikan bahwa laporan keuangan intern perusahaan untuk periode-periode yang dimaksudkan dalam laporan keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas tinggi yang terdiri dari: 1) Transparansi bagi para pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode yang disajikan. 2) Menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada IFRS.
14
3) Dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat untuk para pengguna. Disisi lain tujuan adopsi IFRS adalah agar laporan keuangan berdasarkan PSAK tidak memerlukan rekonsiliasi dengan laporan keuangan berdasarkan IFRS dan kalaupun ada diupayakan hanya relatif sedikit sehingga pada akhirnya laporan auditor menyebut kesesuaian dengan IFRS, dengan demikian diharapkan meningkatnya kegiatan investasi secara global, memperkecil biaya modal (cost of capital) serta lebih meningkatkan transparansi perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan. Dengan adopsi IFRS, PSAK akan bersifat principle-based dan memerlukan professional judgment, senantiasa peningkatan kompetensi harus dibarengi dengan peningkatan integritas. Secara ringkas perbedaan US GAAP dan PSAK yang terbaru dapat dilihat pada lampiran 8. Maka secara umum, manfaat dari Adopsi IFRS ini adalah : 1) Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi
Keuangan
yang
dikenal
secara
internasional
(enhance
comparability). 2) Meningkatkan arus investasi global dengan transparansi . 3) Menurunkan Biaya modal dengan membuka peluang fund raising dengan pasar modal. 4) Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan. 5) Meningkatkan kualitas laporan keuangan, antara lain dengan mengurangi kesempatan untuk melakukan earning management.
15
2.1.5
Relevansi Nilai Informasi Akuntansi Relevansi nilai (value relevance) informasi akuntansi mempunyai arti
kemampuan informasi akuntansi untuk menjelaskan nilai perusahaan (Beaver, 1968). Penelitian mengenai value relevance menjadi penting karena terdapat klaim yang menyatakan bahwa laporan keuangan berbasis kos historis telah kehilangan sebagian besar relevansinya bagi investor yang diakibatkan oleh perubahan besar-besaran dalam perekonomian, yaitu dari perekonomian industrial ke prekonomian berteknologi tinggi dan berorientasi jasa (Francis dan Schipper, 1999). Lev dan Zarowin (1999) menyebutkan bahwa relevansi nilai akuntansi dicirikan oleh kualitas informasi akuntansi. Francis dan Schipper (1999) memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dengan menyebutkan empat kemungkinan interpretasi konstruk relevansi nilai. Pertama, informasi laporan keuangan memengaruhi harga saham karena mengandung nilai intrinsik saham sehingga berpengaruh pada harga saham. Kedua, informasi laporan keuangan merupakan nilai yang relevan bila mengandung variabel yang dapat digunakan dalam model penilaian atau memprediksi variabel-variabel tersebut. Ketiga, hubungan statistik digunakan untuk mengukur apakah investor benar-benar menggunakan informasi tersebut dalam penetapan harga, sehingga nilai relevan diukur dengan kemampuan informasi laporan keuangan untuk mengubah harga saham karena menyebabkan investor memperbaiki ekspektasinya. Terakhir, relevansi nilai diukur dengan kemampuan informasi laporan keuangan untuk menangkap berbagai macam informasi yang memengaruhi nilai saham.
16
Pengujian hubungan antara informasi akuntansi dengan nilai saham memerlukan suatu model penilaian. Terdapat dua tipe model penilaian yang umumnya digunakan untuk menginvestigasi hubungan tersebut, yaitu model harga (price model) dan model return (return model). Kedua model tersebut diderivasi dari fondasi teoritis yang sama yaitu yang dikenal sebagai model informasi linier (linier informasi model) yang dikembangkan oleh Ohlson (1995). Indra dan Syam (2004) menjelaskan bahwa pada saat model harga digunakan sebagai model penilaian, relevansi nilai dari data akuntansi mengalami peningkatan sejalan dengan waktu (over time). Pada saat model return digunakan sebagai model penilaian, relevansi nilai dari data akuntansi menunjukkan penurunan sejalan dengan waktu, penurunan yang signifikan pada model return ini mengindikasikan variabel-variabel akuntansi secara bersamaan tidak berperan dalam pengambilan keputusan investor (Kusumo dan Subekti, 2014). Pola pikir intuitif secara ekonomis menyarankan bahwa penerapan model harga lebih baik dari model return karena dapat mengestimasi koefisien slope model valuasi yang tidak bias (Kothari dan Zimmerman, 1995).
2.1.6
Manajemen Laba Beberapa peneliti mendefinisikan manajemen laba dalam arti yang
berbeda-beda. Beberapa definisi tersebut, antara lain : 1) Manajemen laba merupakan pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer untuk mencapai tujuan tertentu (Scott. 2009: 403).
17
2) Menurut Schipper, manajemen laba merupakan campur tangan dalam proses penyusunan pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi (Sulistyanto, 2008:49). 3) Menurut Davidson, Stickney, dan Weil, manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu dengan disengaja dalam batas-batas akuntansi berterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan (Sulistyanto, 2008:48). 4) Menurut Fischer dan Rozenzwig, manajemen laba merupakan tindakan manajer yang menaikkan/ menurunkan laba periode berjalan dari perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabkan peningkatan / penurunan keuntungan ekonomi perusahaan dalam jangka panjang (Sulistyanto, 2008:49). Salah satu informasi yang terdapat di dalam laporan keuangan adalah informasi mengenai laba perusahaan. Informasi laba sebagaimana dinyatakan dalam Statement of Financial Accounting (SFAC) Nomor 2 merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena memiliki nilai prediktif (Financial Accounting Standards Board, 1980). Ikatan Akuntan Indonesia dalam PSAK Nomor 1, informasi laba diperlukan untuk menilai perubahan potensi sumber daya ekonomis yang mungkin dapat dikendalikan di masa depan, menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada, dan untuk perumusan pertimbangan tentang efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya (Ikatan Akuntan Indonesia, 2014). Pengguna laporan keuangan menggunakan informasi laba untuk membuat berbagai keputusan penting. Laba yang tidak menunjukkan informasi
18
yang sebenarnya tentang kinerja manajemen dapat menyesatkan pihak pengguna laporan. Grahita (2001) menyatakan laba akuntansi yang berkualitas adalah laba akuntansi yang dapat mencerminkan kinerja keuangan perusahaan yang sebenarnya dengan sedikit atau tidak dipengaruhi oleh manajemen laba yang disebabkan dari penerapan konsep akrual dalam akuntansi (Jang et al., 2007). Manajemen laba dalam penelitian ini diukur dengan Modified Jones Model.
Jumlah akrual dalam perhitungan laba terdiri atas non discretionary
(NDACC) dan discretionary accruals (DACC). Manajemen laba dilihat dari nilai DACC, semakin tinggi DACC mencerminkan manajemen laba yang tinggi sehingga kualitas laba perusahaan menjadi rendah. Adanya manajemen laba dalam informasi laba yang dilaporkan menyebabkan laporan keuangan tidak lagi berfokus pada kebutuhan umum pemakai tetapi mengarah pada kepentingan pihak tertentu. Manajemen laba akan mengurangi reliabilitas yang merupakan karakteristik utama informasi akuntansi. Healy (1985) menyatakan manajemen suatu perusahaan dapat melakukan manajemen laba dengan dua cara, yaitu : 1) Mengendalikan transaksi-transaksi akrual, transaksi yang tidak berpengaruh pada aliran kas masuk ataupun kas keluar. 2) Mengubah kebijakan akuntansi dan manajemen harus menjelaskannya dalam disclosure pada laporan keuangan tahunan. Dalam prosesnya konsep akrual ini memungkinkan adanya perilaku untuk manajer melakukan rekayasa laba atau earnings management guna menaikkan atau menurunkan porsi angka akrual dalam laporan laba rugi. Perekayasaan laba
19
merupakan salah satu praktek manajemen laba dengan rekayasa akrual. Konsep akrual dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 1) Normal akrual (non-discretionary accruals) merupakan akrual
yang
jumlahnya tidak dapat dikendalikan oleh manajemen karena berhubungan dengan aktivitas bisnis. Normal akrual adalah pengakuan akrual laba yang wajar yang tunduk pada suatu standar atau prinsip akuntansi yang berlaku umum. 2) Abnormal akrual (discretionary accruals) merupakan akrual yang jumlahnya dapat dikendalikan oleh manajemen perusahaan sehingga manajemen dapat mengatur besarnya laba yang diinginkan. Abnormal akrual adalah pengakuan akrual laba atau beban yang bebas tidak diatur dan merupakan pilihan kebijakan manajemen.
2.1 Penelitian Sebelumnya Penelitian yang dilakukan Nuraini (2014) menunjukkan bahwa penerapan standar akuntansi keuangan internasional (IFRS) di Indonesia dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi, yaitu dengan meningkatnya relevansi nilai dan menurunnya manajemen laba tetapi disatu sisi penerapan IFRS tidak berpengaruh pada peningkatan pengakuan kerugian tepat waktu. Penelitian Kusumo dan Subekti (2014) menguji pengaruh adopsi IFRS pada kualitas informasi akuntansi. Pengujian dilakukan dengan membandingkan hanya satu dimensi kualitas informasi akuntansi, yaitu relevansi nilai pada periode sebelum dan sesudah adopsi IFRS. Hasil pengujian menunjukkan bahwa: 1) Relevansi nilai laba
20
mengalami penurunan ketika IFRS diadopsi sebagai standar keuangan. 2) Relevansi nilai buku mengalami kenaikan ketika IFRS diadopsi sebagai standar keuangan. Rohaeni dan Aryati (2012) Konvergensi IFRS terbukti berpengaruh negatif pada income smoothing. Berlawanan dengan hipotesis kedua yang menyatakan bahwa pengaruh konvergensi IFRS pada income smoothing perusahaan yang diaudit KAP big 4 lebih tinggi dibanding perusahaan yang diaudit KAP non big 4. Penelitian Cahyonowati dan Ratmono (2012) menunjukkan bahwa aplikasi standar berbasis IFRS di Indonesia belum dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi. Relevansi laba akuntansi dengan keputusan investasi sebagaimana tercermin pada harga saham tidak meningkat secara signifikan pada periode setelah adopsi IFRS. Penelitian
Kustina
(2012)
menghasilkan
dampak
konvergensi
International Financial Reporting Standards (IFRS) bagi pelaporan akuntasi perusahaan di indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu pertama dampak pada sistem akuntansi, kedua berdampak pada sistem informasi perusahaan, ketiga dampak pada sumber daya manusia, dan keempat dampak pada sistem organisasi perusahaan. Penelitian Immanuella (2012) menghasilkan konsekuensi adopsi IFRS terhadap pelaporan keuangan di Indonesia, yaitu adanya perubahan dari pengukuran dan pengungkapan menggunakan biaya historis (historical cost) ke nilai wajar (fair value). Konsep historical cost menggunakan pendekatan biaya perolehan yang menghasilkan nilai buku. Historical cost dianggap tidak relevan
21
karena tidak mencerminkan nilai ekonomi yang sebenarnya. Fair value adalah harga yang akan diterima atas penjualan suatu aset atau harga yang akan dibayar atas pengalihan liabilitas (kewajiban) dalam suatu transaksi antarpartisipan pasar pada saat tanggal pengukuran. Penelitian Cahyati (2011) menghasilkan konvergensi IFRS diharapkan akan membawa dampak positif baik dari sisi ekonomi dan akuntansi. Dilihat dari sisi ekonomi dengan adanya standar yang seragam maka akan mengurangi hambatan investasi lintas negara. Dipandang dari sisi akuntansi adalah meningkatnya kualitas laporan keuangan dimana secara teoritis konvergensi IFRS diharapkan mengurangi manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Latif (2012) memberikan bukti bahwa terjadi peningkatan kualitas informasi setelah pengadopsian wajib IFRS di Uni Eropa. Namun demikian, peningkatan kualitas informasi ini tidak diikuti dengan menurunnya asimetri informasi dan hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan asimetri informasi setelah adopsi wajib IFRS di Uni Eropa. Berbeda dengan Rohmah (2013) menyatakan terjadi peningkatan relevansi nilai sesudah adopsi IFRS serta diikuti dengan terjadinya penurunan asimetri informasi sesudah adopsi IFRS. Darmawan (2012) menyatakan adopsi IFRS dapat meningkatkan kualitas informasi akuntansi dan direspon secara positif oleh para investor. Selain itu terbukti pula bahwa informasi laba dinilai lebih tinggi setelah adopsi IFRS dibandingkan sebelum adopsi IFRS. Lestari dan Takada (2014) menghasilkan bahwa relevansi nilai informasi akuntansi meningkat setelah perubahan standar
22
akuntansi. Hendika dan Hudiwinarsih (2014) menghasilkan bahwa ada perbedaan kualitas laba dan nilai perusahaan, baik setelah atau sebelum pelaksanaan IFRS. IFRS dapat memberikan pelaporan kualitas dan lingkungan bisnis yang lebih baik. Salewski (2013) menghasilkan laba komperhensive lainnya (Other Comprehensive Income) pada perusahaan non keuangan yang terdaftar dalam German Stock Exchange mengalami peningkatan relevansi nilai. (Widyawati dan Anggraita, 2013) Konvergensi IFRS dalam PSAK yang efektif di tahun 2011 memiliki pengaruh negatif signifikan pada tingkat manajemen laba. Lestari (2011) meneliti konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) dan manajemen laba di Indonesia, menghasilkan peralihan kepada konvergensi IFRS diharapkan akan membawa dampak positif diantaranya adalah dari sisi pelaporan keuangan dengan adanya konvergensi IFRS maka akan tercipta suatu pelaporan yang seragam, sehingga memudahkan para pengguna laporan keuangan untuk melakukan kebijakan kebijakan yang terkait dengan performa laporan keuangan suatu perusahaan dan hal ini akan memudahkan investor lintas negara untuk melakukan kebijakan investasinya. Barth, et al (2008) meneliti International Accounting Standards dan kulitas akuntansi menghasilkan bahwa perusahaan yang menerapkan IAS dari 21 negara umumnya terbukti mengurangi manajemen laba, pengakuan kerugian lebih tepat waktu, dan lebih relevansi nilai akuntansi. Penelitian Ball (2012) menghasilkan akuntansi di dibentuk oleh kekuatankekuatan ekonomi dan politik dan standar seragam saja akan menghasilkan pelaporan keuangan yang seragam tampaknya naif.
Kelemahan adopsi IFRS
23
dinyatakan dalam Joos dan Edith (2013), Tendeloo dan Vanstraelen (2005) Reaksi pasar kurang positif untuk perusahaan, pengadopsi sukarela IFRS di Jerman tidak dapat dikaitkan dengan manajemen laba yang lebih rendah. Sebaliknya penelitian Armstrong, et al (2009), Lin (2012), Hope, et al (2006), Carmona dan Trombetta (2008), Aisbitt (2006), Cordeiro, et al (2007) menyatakan reaksi positif dan harmonisasi pada acara adopsi IFRS untuk perusahaan dengan kualitas tinggi informasi pra-adopsi, konsisten dengan investor mengharapkan manfaat konvergensi IFRS bersih dari adopsi, kegunaan manajemen laba dengan cara smoothing telah berkurang, relevansi nilai informasi laporan keuangan telah membaik, terutama untuk perusahaan-perusahaan non keuangan. IFRS dapat meningkatkan perlindungan investor dan membuat pasar modal mereka lebih mudah diakses oleh investor asing, perubahan ini akan menuntut perhatian pada detail oleh pengguna laporan keuangan, neraca dan Laporan Laba Rugi struktur perusahaan yang diteliti mengalami konversi akuntansi yang relevan dalam proses kepatuhan. Blom (2009) meneliti 4.069 perusahaan di Eropa mengalami penurunan tingkat manajemen laba pada periode setelah mengadopsi IFRS dibanding sebelum mengadopsi IFRS. Chen, et al (2010) meneliti pengaruh IFRS pada kualitas akuntansi di negara-negara Uni Eropa. Mereka membandingkan kualitas akuntansi dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa di 15 negara anggota Uni Eropa sebelum dan setelah dilakukannya pengadopsian IFRS secara penuh pada tahun 2005. Penelitian ini menggunakan lima indikator sebagai proksi bagi kualitas akuntansi, dan menemukan bahwa terjadi peningkatan pada sebagian
24
besar indikator tersebut setelah pengadopsian IFRS di Uni Eropa. Hal ini ditunjukkan dengan lebih sedikitnya pengaturan laba dengan target tertentu, absolute discretionary accrual yang jauh lebih rendah, dan kualitas akrual yang lebih tinggi. Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa perusahaan lebih banyak melakukan earning smoothing dan lebih tidak tepat waktu dalam mengakui kerugian yang nilainya besar pada periode setelah IFRS. Penelitian Soderstrom dan Sun (2007) menyatakan bahwa dengan adopsi sukarela akuntansi internasional secara umum memberikan dampak positif pada prinsip akuntansi yang lebih baik. Penelitian Paiva dan Lourenco (2010) menyatakan bahwa faktor karakteristik perusahaan memengaruhi kualitas akuntansi pada perusahaan yang listing di Inggris dan Prancis setelah adopsi IFRS tahun 2005. Penelitian Qu, et al (2012) menghasilkan bahwa earnings per share, nilai buku ekuitas merupakan faktor penjelas yang kuat return pasar baik sebelum dan setelah periode konvergensi IFRS. Investor dalam membuat keputusan bergantung pada laba yang dihasilkan perusahaan dan kepercayaan pada laba meningkat pada periode setelah adopsi IFRS. Penelitian Palea (2013) berfokus pada perusahaan di Eropa secara empiris adopsi IFRS dapat meningkatkan kualitas pelaporan keuangan sehingga meningkatkan nilai guna pada investor. Chiha, et al (2013) menyatakan bahwa membaiknya kualitas informasi akuntansi seiring dengan meningkatnya nilai asosiasi antara EPS dan return saham. Assidi dan Omri, 2012 menyatakan bahwa adopsi standar IFRS dapat meningkatkan kualitas dari countable information dan IFRS meningkatkan transparansi. Yip dan Young, 2012 meneliti komparabilitas
25
informasi setelah adopsi IFRS secara mandatory menghasilkan peningkatan komparabilitas dan perbaikan yang berdampak pada lingkungan institusi perusahaan. Sejalan dengan penelitian Yip dan Young, 2012 adopsi IFRS dapat meningkatkan kualitas laba dan komparabilitas (Ozkan et al., 2011). Bagaeva (2010) meneliti kualitas informasi di Rusia menghasilkan kualitas publikasi informasi akuntansi setelah adopsi IFRS bergantung dari beberapa faktor diantaranya karakteristik institusi dan pengaruh insentif dari persiapan laporan keuangan. Akileng (2014) menghasilkan bahwa kualitas informasi akuntansi dapat dihasilkan dari kombinasi tingginya kualitas standar IFRS dan efektivitas sistem corporate governance.