BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Proses Kelompok 2.1.1 Pengertian Proses Kelompok Menurut Blais, Hayes, Kozier dan Erb (2006), proses kelompok adalah kekuatan dalam situasi kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan anggotanya. Proses kelompok dikaitkan dengan kelompok melakukan fungsi, berkomunikasi, menetapkan tujuan dan mencapai sasaran. Menurut Widyanto (2014), dinamika kelompok/proses kelompok adalah suatu bentuk intervensi keperawatan komunitas yang dilakukan bersamaan dengan masyarakat melalui pembentukaan peer/social support berdasar kondisi dan kebutuhan masyarakat. Jadi, dapat disimpulkan proses kelompok adalah perilaku kelompok dan anggotanya yang dilakukan secara bersamaan melalui pembentukan peer/social support. Menurut Indanah (2010), dukungan merupakan keterlibatan yang diberikan oleh keluarga dan teman kepada klien untuk mengatur dan merawat diri sendiri. Dukungan dapat berupa hubungan antar individu dalam sikap positif, penegasan dan bantuan. Dukungan sebagai perilaku yang dapat menumbuhkan rasa nyaman dan individu merasa dihargai, dihormati dan dicintai. Dukungan dari peer group merupakan sumber dari dukungan sosial alami yang berasal dari interaksi yang spontan. Peer group merupakan individu yang memiliki kedekatan, tingkat kedewasaan, usia yang sama dan rasa saling memiliki.
12
13
Menurut Musliha dan Fatmawati (2010), kelompok sebaya/peer group, individu merasakan adanya kesamaan seperti dibidang usia, kebutuhan dan tujuan yang dapat memperkuat kelompok. Peer group tidak dipentingkan adanya struktur organisasi, namun diantara anggota kelompok merasakan adanya tanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan kelompoknya. Dalam peer group, individu menemukan dirinya serta dapat mengembangkan rasa sosialnya dengan perkembangan pribadinya. 2.1.2 Fungsi Peer Group Fungsi dari peer group menurut Santoso (2004), antara lain : 1. Mengajarkan kebudayaan (mengajarkan kebudayaan yang ada di tempat tinggal). 2. Mengajarkan mobilitas sosial, perubahan status. 3. Membantu peranan sosial yang baru, peer group memberi kesempatan bagi anggotanya untuk mengisi peranan sosial yang baru. 4. Peer group sebagai sumber informasi bagi orang tua dan guru bahkan untuk masyarakat. 5. Dalam peer group individu dapat mencapai ketergantungan satu sama lain. 6. Peer group mengajarkan moral orang dewasa. 7. Dalam peer group individu dapat mencapai kebebasan sendiri. 8. Dalam peer group, anak-anak mempunyai organisasi sosial yang baru.
14
2.1.3
Ciri-Ciri Peer Group
Adapun ciri-ciri dari peer group menurut Musliha dan Fatmawati (2010), adalah : 1. Tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas. Peer group terbentuk secara spontan. Antar anggota kelompok mempunyai kedudukan yang sama, tetapi ada satu di antara anggota kelompok yang dianggap sebagai pemimpin. Semua anggota beranggapan bahwa yang memang pantas dijadikan sebagai pemimpin biasanya anak yang disegani dalam kelompok itu. 2. Bersifat sementara, karena tidak ada struktur organisasi yang jelas, maka kelompok ini kemungkinan tidak bisa bertahan lama, jika yang menjadi keinginan masing-masing anggota kelompok tidak tercapai, atau karena keadaan yang memisahkan mereka seperti pada teman sebaya di sekolah. Yang terpenting dalam peer group adalah mutu hubungan yang bersifat sementara. 3. Peer group mengajarkan individu tentang kebudayaan yang luas. Misalnya teman sebaya di sekolah, pada umumnya terdiri dari individu yang lingkungannya berbeda, di mana mempunyai aturan-aturan atau kebiasaankebiasaan yang berbeda pula. Lalu memasukkannya dalam peer group, sehingga mereka saling belajar secara tidak langsung tentang kebiasaankebiasaan itu dan dipilih sesuai dengan kelompok kemudian dijadikan kebiasaan-kebiasaan kelompok.
15
2.1.4
Pengaruh Peer Group
Menurut Santoso (2004) menyatakan pengaruh dari perkembangan peer group terhadap individu dan kelompok ada yang positif dan negatif, yaitu : 1. Pengaruh positif : a. Apabila individu di dalam kehidupannya memiliki peer group maka individu akan lebih siap menghadapi kehidupan yang akan datang. b. Individu dapat mengembangkan rasa solidaritas antar kawan. c. Bila individu masuk dalam peer group, maka setiap anggota akan dapat membentuk masyarakat yang akan direncanakan sesuai dengan kebudayaan yang mereka anggap baik. d. Setiap anggota dapat berlatih memperoleh pengetahuan, kecakapan dan melatih bakatnya. e. Mendorong individu untuk bersikap mandiri. f. Menyalurkan perasaan dan pendapat demi kemajuan kelompok. 2. Pengaruh Negatif a. Sulit menerima seseorang yang tidak mempunyai kesamaan. b. Tertutup bagi individu lain yang tidak termasuk anggota. c. Menimbulkan rasa iri pada anggota satu dengan anggota yang lain yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya. d. Timbulnya persaingan antar anggota kelompok. e. Timbulnya pertentangan antar kelompok sebaya, misalnya : antara kelompok kaya dengan kelompok miskin.
16
2.2 Konsep Dasar Peer Education 2.2.1 Pengertian Peer Education Peer education (pendidikan sebaya) adalah suatu proses komunikasi, informasi dan edukasi yang dilakukan oleh kalangan sebaya yaitu kalangan suatu kelompok, dapat kelompok sebaya pelajar, kelompok mahasiswa, sesama rekan profesi, jenis kelamin. Kegiatan sebaya dipandang sangat efektif dalam rangka KIE, karena penjelasan yang diberikan oleh seseorang dari kalangannya sendiri akan lebih mudah dipahami (Wahyuningsih dkk, 2000). Peer education sering disebut dengan pendidikan sebaya, dilaksanakan antar kelompok sebaya dengan dipandu oleh fasilitator yang juga berasal dari kelompok itu sendiri atau yang mengerti kelompok itu. Pendidikan sebaya menjadi istilah konsep yang popular yang memberikan pendekatan, saluran komunikasi, metodologi, fisiologi dan strategi. Istilah ini digunakan pada pendidikan dan pelatihan. Pendidikan sebaya sekarang dilihat sebagai strategi perubahan perilaku yang efektif (Negara, Pawelloi, Jelantik dan Arnawa, 2006). Pendidikan sebaya biasanya melibatkan pelatihan dan anggota kelompok tertentu. Melakukan perubahan diantara anggota kelompok, pendidikan sebaya sering digunakan untuk efek perubahan dalam pengetahuan, sikap, keyakinan dan perilaku pada tingkat individu (Horizons, 2002). Jadi dapat disimpulkan, peer education adalah suatu proses komunikasi dalam memberikan informasi antar kelompok sebaya yang dapat dipandu oleh fasilitator dari kelompok sebaya itu sendiri.
17
2.2.2 Manfaat Peer Education Peer education dipandang sangat efektif dalam mengatasi berbagai masalah remaja, karena penjelasan yang diberikan oleh seorang kelompoknya sendiri akan lebih mudah dipahami. Pendidikan lebih bermanfaat, karena alih pengetahuan dilaksanakan oleh antar kelompok sebaya mereka sehingga komunikasi menjadi lebih terbuka. Hal-hal yang tidak dapat dibicarakan bersama termasuk yang sifatnya sensitif dapat didiskusikan secara terbuka diantara mereka (Negara, Pawelloi, Jelantik dan Arnawa, 2006). 2.2.3 Penerapan Peer Education Di Sekolah Menurut Sari (2007), peer education di sekolah dilaksanakan sebagai program yang mandiri. Meyakinkan pihak sekolah tentang keuntungan yang bisa diperoleh dari peer education, khususnya dalam membentuk siswa menjadi agent of change. Sekolah juga diminta kesediaannya untuk membantu pelaksanaan peer education. Para guru dapat sebagai agen yang dapat memberikan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan berpikir dengan menggunakan teknik-teknik yang dikuasai. Peer education ini pada akhirnya akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kesehatan siswa sekolah. 2.2.4 Kriteria Pendidik/Fasilitator Sebaya Peer education/fasilitator sebaya adalah orang yang menjadi narasumber bagi kelompok sebayanya (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, 2008). Syarat-syarat menjadi peer education antara lain : 1. Aktif dalam kegiatan sosial dan populer di lingkungannya 2. Berminat pribadi menyebarluaskan informasi kesehatan
18
3. Lancar membaca dan menulis 4. Memiliki ciri-ciri kepribadian antara lain : ramah, lancar dalam mengemukakan pendapat, luwes dalam pergaulan, berinisiatif dan kreatif, tidak mudah tersinggung, terbuka untuk hal-hal baru, mau belajar serta senang menolong. Menurut Imron (2012), peer education adalah orang yang dipilih karena mempunyai sifat memimpin dalam membantu orang lain, untuk itu pendidik sebaya haruslah seorang yang berasal dari kelompoknya dan mempunyai kriteria sebagai berikut : 1. Peer education mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik dan mampu mempengaruhi teman sebayanya. 2. Peer education mempunyai hubungan pribadi yang baik serta memiliki kemampuan untuk mendengarkan pendapat orang lain. 3. Peer education mempunyai rasa percaya diri dan sifat kepemimpinan. 4. Peer education mampu melaksanakan pendidikan kelompok sebaya. Menurut Depdiknas (2004), untuk menjadi peer education harus menjalani pelatihan terlebih dahulu. Pelatihan peer education pada dasarnya menggunakan azas pendidikan orang dewasa (andragogi) dan mengikuti pendekatan partisipatori. Proses pembelajaran yang berdasarkan partisipatori andragogi menempatkan siswa sebagai orang yang memiliki bekal pengetahuan dan sudah mempunyai sedikit pengalaman, keterampilan serta cenderung untuk menentukan prestasinya sendiri. Pengalaman dan potensi yang ada pada siswa adalah sumber yang perlu digali dalam proses pembelajaran pada pendidikan sebaya.
19
Fasilitator dalam peer education harus mampu menciptakan suasana belajar diantara sesama siswa dan mampu memotivasi agar dapat berperan aktif dalam proses belajar untuk meningkatkan pengalaman dan penghayatan terhadap suatu materi yang dibahas (Sari, 2007). Peran Peer education/fasilitator sebaya dilakukan dengan merangkum, mengkomunikasikan kembali dan membangun komitmen dan dialog. Fasilitator dalam melakukan fasilitas meletakkan dirinya sebagai sumber informasi yang setara dengan peserta pendidikan, berkontribusi untuk memberikan informasi, menarik kesimpulan, memberikan feed back dan respon sesuai dengan proses pendidikan sebaya (Rahardjo et al, 2008). 2.2.5 Kriteria Pemilihan Anggota Kelompok Sebaya Stanhope dan Lancaster (2010), pemilihan anggota kelompok dalam peer education antara lain : 1. Pertimbangkan kedudukan ketika membentuk sebuah kelompok baru. 2. Anggota kelompok tertarik kepada teman sebaya yang memiliki latar belakang yang sama, pengalaman serupa dan minat/kepentingan serta kemampuan yang sama. 3. Individu yang memiliki keahlian memecahkan masalah dan mengutaran pikiran dan perasaan individu. 4. Anggota kelompok terdiri dari 8-12 orang. Suatu kelompok yang terdiri dari 8-12 orang merupakan jumlah yang bagus untuk kelompok yang memfokuskan diri pada perubahan kesehatan individu.
20
5. Perpaduan sifat-sifat berbeda yang dimiliki oleh setiap anggota sehingga memungkinkan adanya keseimbangan bagi proses pengambilan keputusan serta pertumbuhan. 2.2.6 Teknik Pemberian Informasi Peer education dapat dilakukan di mana saja asalkan nyaman buat pendidik sebaya dan kelompoknya. Kegiatan tidak harus dilakukan diruangan khusus, tetapi tempat peer education sebaiknya dilakukan di tempat yang tidak ada orang lalu lalang dan jauh dari kebisingan sehingga diskusi bisa berlangsung tanpa gangguan. Menurut PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, 2008), pemberian informasi agar efektif, pendidik sebaya perlu : 1. Mempelajari dan memahami materi 2. Memahami bahwa pemberian materi : a. Tidak menggurui, jangan pernah menggurui teman, karena bakal dianggap meremehkannya. b. Tidak harus mengetahui semuanya, kelompok sebaya bukanlah seorang ahli, maka apabila teman merasa kurang puas atas jawaban yang diberikan. c. Tidak memutuskan pembicaraan, dalam kegiatan diskusi hendaknya membiarkan
teman
untuk
menyelesaikan
pendapatnya
atau
pertanyaannya dulu walaupun pendidik sebaya sudah tahu maksud dari pendapat atau pertanyaannya.
21
d. Tidak diskriminatif, pendidik sebaya harus berusaha memberikan perhatian dan kesempatan kepada semua teman, bukan hanya kepada satu atau dua peserta saja, atau dengan kata lain “tidak pilih kasih”. 3. Rasa percaya diri Pendidik sebaya harus memiliki rasa percaya diri agar penyampaian materi berjalan lancar. Percaya diri dapat tumbuh bila : a. Materinya dapat dikuasai. b. Teknik penyampaian informasi tidak monoton. c. Dapat menguasai peserta. d. Dapat berkomunikasi dengan baik dan jelas. e. Mampu menghayati peran yang dijalankan. 4. Komunikasi dua arah Komunikasi yang terjadi hendaknya bersifat dua arah, atau terjadi hubungan timbal balik. Dialog sangat efektif menghadapi teman yang sifatnya tertutup, cenderung menolak pandangan lain atau perubahan. Pendidik sebaya harus bisa mendengarkan setiap teman, terbuka dan menghargai pandangan dengan menghindari kesan bahwa pendidik sebaya hendak memaksakan suatu informasi baru pada sasaran. 2.2.7 Prosedur Pelaksanaan Metode Peer Education Prosedur pelaksanaan peer education menurut Negara, Pawelloi, Jelantik dan Arnawa, (2006), dikembangkan oleh Aricipta (2009) dan dikembangkan oleh peneliti, antara lain :
22
1. Pendidikan kesehatan dengan metode peer education dimulai dengan peneliti mengumpulkan remaja yang memenuhi kriteria inklusi 2. Satu kelompok peer education terdiri dari 8-12 orang dengan satu orang fasilitator. Menurut Stanhope dan Lancaster (2010), suatu kelompok yang terdiri dari 8-12 orang merupakan jumlah yang bagus untuk kelompok yang memfokuskan diri pada perubahan kesehatan individu. Mengidentifikasi siswa yang dijadikan fasilitator. Setiap kelas dipilih 1 siswa untuk dijadikan fasilitator. Pemilihan ini berdasarkan syarat-syarat menjadi fasilitator dengan berdiskusi terlebih dahulu dengan guru BK dan pendapat anggota kelompok tersebut karena remaja yang lebih banyak dipilih oleh anggota kelompok merupakan remaja yang dianggap lebih bisa dan mampu untuk mempengaruhi dan memimpin teman-temannya. 3. Fasilitator yang telah terpilih kemudian diberi pelatihan oleh pembina KSPAN berupa pemberian informasi baik secara lisan maupun tertulis yang telah mendapatkan pelatihan dan memiliki sertifikat. 4. Pelatihan
dilakukan
sebanyak
tiga
kali
pertemuan,
pelatihan
ini
dilaksanakan selama 3 minggu yaitu 1 minggu 1 kali pertemuan, dengan menggunakan waktu formal tanpa menggangu jam pelajaran. Pertemuan pertama dilakukan pre test terlebih dahulu terkait pengetahuan, sikap dan psikomotor fasilitator. Kemudian penyampaian informasi terkait rokok, upaya mencegah dan menghindari rokok, pertemuan kedua dilakukan penyampaian informasi terkait teknik komunikasi dan evaluasi dilakukan latihan role play agar fasilitator mampu menyampaikan informasi kepada
23
kelompok sebaya, masing-masing pertemuan berlangsung selama 45-60 menit. 5. Pada pertemuan yang ketiga diberikan post test dan role play sehingga fasilitator dianggap mampu untuk menyampaikan informasi tersebut kepada kelompok sebaya. 6. Kegiatan peer education dilaksanakan sebanyak tiga kali pertemuan, kegiatan ini dilaksanakan selama 3 minggu yaitu setiap 1 minggu 1 kali pertemuan. Informasi diteruskan oleh fasilitator kepada kelompokkelompok kecil yang sudah dibentuk sebelumnya, kemudian dilaksanakan kegiatan meliputi pre test kepada responden pada pertemuan pertama penyampaian informasi terkait rokok, upaya mencegah dan menghindari rokok, pertemuan kedua dilakukan penyampaian informasi terkait teknik komunikasi dilanjutkan dengan sharing, diskusi kelompok dan tanya jawab kepada responden. Pertemuan menggunakan waktu formal selama 30-45 menit. 7. Pertemuan ketiga dilakukan sharing pengalaman dan upaya pencegahan merokok. Kemudian dilakukan post test kepada responden terhadap pengetahuan, sikap dan psikomotor tentang perilaku merokok.
2.3 Konsep Dasar Perilaku 2.3.1 Pengertian Perilaku Kwik (dalam Mubarak dkk, 2007), mengatakan bahwa perilaku adalah perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Menurut Alwi (2007)
24
perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan dari lingkungan. Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku manusia adalah semua tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati. Jadi dapat disimpulkan perilaku merupakan tindakan yang dilakukan manusia sehingga terjadi perubahan pada perilaku pada pengetahuan, sikap dan psikomotor manusia menjadi yang lebih baik dari sebelumnya. 2.3.2 Bentuk Perilaku Teori Bloom (1908) (dalam Notoatmodjo, 2010), membedakan perilaku dalam tiga domain perilaku yaitu : kognitif (cognitive), afektif (affective) dan psikomotor (psychomotor). Untuk kepentingan pendidikan praktis, teori ini kemudian dikembangkan menjadi tiga jenis perilaku yaitu : A. Pengetahuan (Knowledge) 1.
Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). 2.
Tingkat Pengetahuan
Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif (Notoatmodjo, 2007), tercakup dalam enam tingkatan, yaitu :
25
1. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik. 2. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan suatu materi tersebut secara benar. 3. Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). 4. Analisis (analysis), yaitu kemampuan untuk menjabarkan suatu materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5. Sintesis (synthesis), merupakan kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6. Evaluasi (evaluation), tingkat pengetahuan yang berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. 3.
Kriteria Pengukuran Pengetahuan
Menurut Arikunto (2006), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan isi materi yang diukur dari subyek penelitian atau responden. Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan, yaitu :
26
a. Pengetahuan baik
: hasil persentase baik 76%-100%.
b. Pengetahuan cukup
: hasil persentase cukup 56%-75%.
c. Pengetahuan kurang
: hasil persentase kurang < 56%.
B. Sikap (Attitude) 1.
Pengertian
Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoadmodjo, 2007). Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. 2.
Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya yaitu : 1. Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2. Merespon (responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. 3. Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan dan mendiskusikan suatu maslah. 4. Bertanggung jawab (responsible) Pada tingkat ini, sikap individu akan bertanggung jawab dan siap menanggung segala risiko atas segala sesuatu yang telah dipilihnya.
27
3.
Pengukuran Sikap
Menurut Sunaryo (2004), secara garis besar pengukuran sikap dibedakan menjadi dua cara yaitu secara langsung dan tidak langsung 1. Secara langsung Terdapat dua cara, yaitu langsung berstruktur dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang disusun sedemikian rupa misal dengan skala Guttman atau skala Likert, sedangkan langsung tak berstruktur dengan pengukuran
sederhana
seperti
wawancara
bebas
(free
interview),
pengamatan langsung atau survei. 2. Secara tidak langsung Cara pengukuran sikap dengan menggunakan tes. Umumnya menggunakan skala sematik-differential yang terstandar. Menurut Hidayat (2008) (dalam Ariani, 2012), sikap seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan, yaitu : a. Sikap baik
: hasil persentase baik 76%-100%.
b. Sikap cukup
: hasil persentase cukup 51%-75%.
c. Sikap kurang
: hasil persentase kurang < 50%.
C. Psikomotor/Tindakan 1.
Pengertian
Suatu sikap pada diri individu belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Agar sikap individu terwujud dalam perilaku nyata diperlukan faktor pendukung dan fasilitas (Sunaryo, 2004).
28
2.
Tingkatan Psikomotor
Menurut Notoatmodjo (2007), psikomotor atau praktik memiliki beberapa tingkatan yaitu : 1. Persepsi (persection) Persepsi adalah mengenal dan memilih berbagai objek sesuai dengan tindakan yang akan dilakukan. 2. Respon terpimpin (guide response) Respon terpimpin yaitu individu dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai contoh. 3. Mekanisme (mecanisme) Mekanisme adalah individu dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sudah menjadi kebiasaan. 4. Adaptasi (adaption) Adaptasi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dan dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran. 3.
Pengukuran Psikomotor
Menurut Dewi (2011), hasil pengukuran dapat dikategorikan menjadi baik, cukup, kurang. Psikomotor seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan, antara lain : a. Psikomotor baik
: hasil persentase baik 70%-100%.
b. Psikomotor cukup
: hasil persentase cukup 40%-69%.
c. Psikomotor kurang
: hasil persentase kurang < 40%.
29
2.4 Konsep Dasar Remaja 2.4.1 Pengertian Remaja Remaja adalah periode perkembangan dimana individu mengalami perubahan atau masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Perry dan Potter, 2005). Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak menuju dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi untuk memasuki masa dewasa (Rumini dan Sundari, 2004). Remaja merupakan suatu kehidupan individu yang terjadi eksplorasi psikologis untuk menemukan identitas diri. Pada masa transsisi dari masa anak-anak ke masa remaja, individu mulai mengembangkan ciri-ciri abstrak dan konsep diri menjadi lebih berbeda (Kusmiran, 2012). Menurut Depkes RI (2005), masa remaja merupakan suatu proses tumbuh kembang yang berkesinambungan, yang merupakan masa peralihan dari anak-anak ke dewasa muda. Jadi dapat disimpulkan, remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa muda dengan perubahan yang terjadi di dalam diri dan tubuh remaja. 2.4.2 Tahapan Masa Remaja Menurut Soetjiningsih (2004), dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati sebagai berikut :
30
1. Masa Pra Remaja Masa pra remaja adalah suatu tahap untuk memasuki tahap remaja yang sesungguhnya. Pada masa ini ada beberapa indikator yang telah dapat ditentukan untuk menentukan indentitas gender laki-laki atau perempuan. Ciri-ciri perkembangan seksual pada masa ini antara lain, perkembangan fisik yang masih tidak banyak berbeda dengan sebelumnya. Pada masa ini juga mereka sudah mulai senang mencari tahu informasi tentang seks dan mitos seks baik dari teman sekolah, keluarga atau dari sumber lainnya. 2. Masa Remaja Awal Merupakan tahap awal remaja sudah mulai tampak ada perubahan fisik yaitu, fisik sudah mulai matang dan berkembang, remaja sudah mulai merasakan rangsangan yang diakibatkan oleh faktor internal yaitu meningkatnya kadar testosteron pada laki-laki dan estrogen pada perempuan. 3. Masa Remaja Menengah Pada masa ini para remaja sudah mengalami pematangan fisik secara penuh yaitu anak laki-laki sudah mengalami mimpi basah sedangkan anak perempuan sudah mengalami haid. 4. Remaja Akhir Pada masa ini remaja sudah mengalami perkembangan fisik secara penuh, sudah seperti orang dewasa, mereka telah mempunyai perilaku seksual yang sudah jelas dan sudah mulai mengembangkannya dalam bentuk pacaran.
31
Pada tahap ini remaja telah mencapai kemampuan untuk mengembangkan cita-citanya sesuai dengan pengalaman dan pendidikannya. 2.4.3 Batasan Usia Remaja Menurut Monks (2009), semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Menurut tahap perkembangan, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu : 1. Masa remaja awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain : a. Lebih dekat dengan teman sebaya. b. Ingin bebas. c. Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak. 2. Masa remaja tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain : a. Mencari identitas diri. b. Timbulnya keinginan untuk kencan. c. Mempunyai rasa cinta yang mendalam. d. Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak. e. Berkhayal tentang aktivitas seks. 3. Masa remaja akhir (18-21 tahun), dengan ciri khas antara lain : a. Pengungkapan identitas diri. b. Lebih selektif dalam mencari teman sebaya. c. Mempunyai citra jasmani dirinya.
32
d. Dapat mewujudkan rasa cinta. e. Mampu berfikir abstrak. 2.4.4 Karakteristik Perkembangan Remaja Menurut Wong (2009), karakteristik perkembangan remaja dapat dibedakan menjadi : 1.
Perkembangan Psikososial Teori perkembangan psikososial menurut Erikson (dalam Wong, 2009), menganggap bahwa krisis perkembangan pada masa remaja menghasilkan terbentuknya identitas. Periode remaja awal dimulai dengan awitan pubertas dan berkembangnya stabilitas emosional dan fisik yang relatif pada saat atau ketika hampir lulus dari SMA. Pada saat ini, remaja dihadapkan pada krisis identitas kelompok versus pengasingan diri. Pada periode selanjutnya, individu
berharap
untuk
mencegah
otonomi
dari
keluarga
dan
mengembangkan identitas diri sebagai lawan terhadap difusi peran. Identitas kelompok menjadi sangat penting untuk permulaan pembentukan identitas pribadi. Remaja pada tahap awal harus mampu memecahkan masalah tentang hubungan dengan teman sebaya sebelum mereka mampu menjawab pertanyaan tentang siapa diri mereka dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat. a. Identitas kelompok Selama tahap remaja awal, tekanan untuk memiliki suatu kelompok semakin kuat. Remaja menganggap bahwa memiliki kelompok adalah hal yang penting karena merasa menjadi bagian dari kelompok dan kelompok
33
dapat memberi status. Ketika remaja mulai mencocokkan cara dan minat berpenampilan, gaya mereka segera berubah. Bukti penyesuaian diri remaja terhadap kelompok teman sebaya dan ketidakcocokkan dengan kelompok orang dewasa memberi kerangka pilihan bagi remaja sehingga mereka dapat memerankan penonjolan diri mereka sendiri sementara menolak identitas dari generasi orang tuanya. b. Identitas individual Pada tahap pencarian ini, proses perkembangan identitas pribadi merupakan proses yang memakan waktu dan penuh dengan periode kebingungan, depresi dan keputusasaan. Penentuan identitas dan bagiannya di dunia merupakan hal yang penting dan sesuatu yang menakutkan bagi remaja. Difusi peran terjadi jika individu tidak mampu memformulasikan kepuasan identitas dari berbagai aspirasi, peran dan identifikasi. c. Identitas peran seksual Masa remaja merupakan waktu untuk konsolidasi identitas peran seksual. Selama
masa
remaja
mengkomunikasikan
awal,
beberapa
kelompok pengharapan
teman
sebaya
terhadap
mulai
hubungan
heterokseksual dan bersamaan dengan kemajuan perkembangan, remaja dihadapkan pada pengharapan terhadap perilaku peran seksual yang matang yang baik dari teman sebaya maupun orang dewasa.
34
d. Emosionalitas Remaja mampu menghadapi masalah dengan tenang dan rasional, walaupun masih mengalami periode depresi. Perasaan remaja lebih kuat dan mulai menunjukkan emosi yang lebih matang pada masa remaja akhir. Sementara remaja awal bereaksi cepat dan emosional, sedangkan remaja akhir dapat mengendalikan emosinya sampai waktu dan tempat untuk mengekspresikan dirinya dapat diterima masyarakat. 2.
Perkembangan Kognitif Teori perkembangan kognitif menurut Piaget (dalam Wong, 2009), remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan aktual, yang merupakan ciri periode berpikir konkret. Tanpa memusatkan perhatian pada situasi saat ini, remaja dapat membayangkan suatu rangkaian peristiwa yang mungkin terjadi. Remaja secara mental mampu memanipulasi lebih dari dua kategori variabel pada waktu yang bersamaan.
3.
Perkembangan Moral Teori perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Wong, 2009), masa remaja akhir dicirikan dengan suatu pertanyaan serius mengenai nilai moral dan individu. Remaja memahami tugas dan kewajiban berdasarkan hak timbal balik dengan orang lain dan juga memahami konsep peradilan yang tampak dalam penetapan hukuman terhadap kesalahan dan perbaikan atau penggantian apa yang telah dirusak akibat tindakan yang salah.
35
4.
Perkembangan Spiritual Pada saat remaja mulai mandiri dari orang tua atau otoritas yang lain, beberapa diantaranya mulai mempertanyakan nilai dan ideal keluarga. Remaja mungkin menolak aktivitas ibadah yang formal tetapi melakukan ibadah secara individual dengan privasi dalam kamar sendiri.
5.
Perkembangan Sosial Untuk memperoleh kematangan penuh, remaja harus membebaskan diri dari dominasi keluarga dan menetapkan sebuah identitas yang mandiri dari wewenang orang tua. Remaja ingin dewasa dan ingin bebas dari kendali orang tua, tetapi merasa takut ketika mencoba untuk memahami tanggung jawab yang terkait dengan kemandirian. a. Hubungan dengan orang tua Selama masa remaja, hubungan orang tua-anak berubah dari menyayangi dan persamaan hak. Proses mencapai kemandirian sering kali melibatkan karena baik orang tua maupun remaja belajar untuk menampilkan peran yang baru dan menjalankannya sampai selesai, sementara pada saat bersamaan, penyelesaian sering kali merupakan rangkaian kerenggangan yang menyakitkan. Pada saat remaja menuntut hak mereka untuk mengembangkan hak-hak istimewanya, mereka sering kali menciptakan ketegangan di dalam rumah. b. Hubungan dengan teman sebaya Walaupun orang tua tetap memberi pengaruh utama dalam sebagian besar kehidupan, bagi sebagian besar remaja, teman sebaya dianggap lebih
36
berperan penting ketika masa remaja dibandingkan masa kanak-kanak. Kelompok teman sebaya memberikan remaja perasaan kekuatan dan kekuasaan. 1. Kelompok teman sebaya Remaja biasanya berpikiran sosial, suka berteman dan suka berkelompok. Untuk memperoleh penerimaan kelompok, remaja awal berusaha untuk menyesuaikan diri secara total dalam berbagai hal seperti model berpakaian, gaya rambut, selera musik, tata bahasa dan sering kali mengorbankan individualitas dan tuntutan diri. Segala sesuatu pada remaja diukur oleh reaksi teman sebayanya. 2. Sahabat Hubungan personal antara satu orang dengan orang lain yang berbeda biasanya terbentuk antara remaja sesama jenis. Hubungan ini lebih dekat dan lebih stabil daripada hubungan yang dibentuk pada masa kanak-kanak pertengahan dan penting untuk pencarian identitas. Seorang sahabat merupakan pendengar terbaik, yaitu tempat remaja mencoba kemungkinan peran-peran dan suatu peran bersamaan, mereka saling memberikan dukungan satu sama lain.
37
2.4.5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Pada Remaja
Faktor yang mempengaruhi perilaku merokok menurut Notoatmodjo (2005), antara lain : 1.
Faktor Intrinsik a. Kepribadian Kepribadian merupakan segala bentuk pola pikiran, emosi dan perilaku yang berbeda serta mempunyai karakteristik yang menentukan gaya personal individu dan mempengaruhi interaksinya dengan lingkungan. Orang dengan kepribadian tipe A (introvert) lebih mudah mengalami gangguan akibat adanya stres dari pada orang dengan kepribadian tipe B (ekstrovert). Adapun ciri-ciri orang dengan kepribadian tipe A (introvert) dan tipe kepribadian B (ekstrovert) menurut Hawari (2001) antara lain : 1.
Tipe A (introvert) Sikap introvert mengarahkan pribadi ke pengalaman subjektif, memusatkan diri pada dunia dalam, cenderung menyendiri, pendiam atau tidak ramah, bahkan antisosial. Seseorang juga mengamati dunia luar, tetapi mereka melakukannya secara selektif dan menggunakan pandangan subjektif mereka sendiri. Ciri-ciri anak dengan tipe introvert adalah sulit bergaul, hatinya tertutup, sulit berhubungan dengan orang lain dan penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar kurang baik.
38
2.
Tipe B (ekstrovert) Sikap ekstrovert mengarahkan pribadi ke pengalaman objektif, memusatkan perhatiannya ke dunia luar, cenderung berinteraksi dengan orang disekitarnya, aktif dan ramah. Ciri-ciri anak tipe ekstrovert biasanya mudah bergaul, hatinya terbuka, hubungan dengan orang lain lancar dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.
b. Karakteristik 1. Jenis kelamin Laki-laki dan perempuan memiliki pertimbangan yang berbeda dalam berperilaku.
Laki-laki
lebih
cenderung
untuk
menggunakan
pertimbangan rasional dan mudah terpengaruh terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Perempuan lebih cenderung menggunakan pertimbangan
emosional
atau
perasaan
dalam
berperilaku
(Notoatmodjo, 2005). 2. Usia Tidak ada yang memungkiri adanya dampak negatif dari perilaku merokok tetapi perilaku merokok bagi kehidupan manusia merupakan kegiatan yang fenomenal. Artinya, meskipun sudah diketahui akibat negatif merokok tetapi jumlah perokok bukan semakin menurun tetapi semakin meningkat dan usia semakin bertambah muda (Hurlock, 2001).
39
c. Kepercayaan tentang rokok Kepercayaan remaja tentang merokok sangat besar karena perilaku merokok pada remaja sudah menjadi kebiasaan. Remaja menggunakan rokok sama sekali bukan untuk mengendalikan perasaan, tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaan rutin. Dapat dikatakan suatu perilaku yang bersifat otomatis, seringkali tanpa dipikirkan dan tanpa disadari karena merokok membuat remaja lebih rileks dan tenang (Finkelstein, Kubzansky dan Goodman, 2006). 2.
Faktor Pola Asuh Pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi (Edwards, 2006).
3.
Faktor Budaya Kebudayaan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap. Apabila remaja hidup dalam lingkungan atau kebudayaan yang menganggap merokok sebagai suatu hal yang wajar dilakukan oleh para remaja, maka kemungkinan besar remaja akan mempunyai sikap bahwa perilaku merokok pada remaja merupakan suatu hal yang wajar dilakukan. Jika remaja tinggal dilingkungan atau kebudayaan yang menganggap perilaku merokok pada remaja itu suatu hal yang kurang baik.
40
4.
Ekonomi Perilaku merokok pada remaja dipengaruhi oleh uang saku yang diperoleh remaja dan kemampuan keluarga dalam menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Komalasari dan Helmi, 2000).
5.
Lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku merokok diperoleh dari lingkungan keluarga, lingkungan sekitar tempat tinggal dan lingkungan pergaulan remaja (Syamsu, 2008) : a. Lingkungan keluarga Remaja yang berasal dari rumah tangga yang kurang bahagia, dimana orang tua tidak memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik secara keras maka remaja tersebut nantinya akan lebih mudah untuk menjadi seorang perokok dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang bahagia. Perilaku merokok lebih banyak dijumpai pada remaja yang tinggal dengan satu orang tua (single parent). Remaja akan lebih cepat berperilaku sebagai perokok bila ibu mereka merokok dari pada ayah yang merokok, hal ini lebih terlihat pada remaja putri. b. Lingkungan sekitar tempat tinggal Lingkungan mempengaruhi sikap merokok remaja dan lingkungan sekitar tempat tinggal merupakan tempat berkembangnya sikap pada remaja. Lingkungan ini meliputi segala sesuatu yang ada disekitar remaja itu
41
sendiri, baik fisik, biologis, maupun interaksi sosial yang ada dilingkungan tersebut. c. Lingkungan sekolah Lingkungan pergaulan remaja di sekolah banyak dipengaruhi oleh teman sebaya dan kelompoknya. Semakin banyak remaja yang merokok maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga dan demikian sebaliknya. 6.
Iklan Perilaku merokok pada remaja juga dapat muncul sebagai akibat dari iklan di media massa. Iklan rokok di berbagai tempat dan media massa yang saat ini makin merajarela sangat menarik bagi para remaja. Melihat iklan dimedia massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut.
2.5 Konsep Dasar Perilaku Merokok 2.5.1 Pengertian Merokok Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70-120 mm dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Menurut Poerwadarminta (dalam Nasution, 2007), mendefinisikan merokok sebagai menghisap rokok dan rokok didefinisikan sebagai gulungan tembakau yang berbalut daun nipah atau kertas. Hal ini senada dengan pendapat Armstrong (dalam Nasution, 2007), merokok adalah menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali keluar.
42
Menurut Subanada (2004), merokok adalah sebuah kebiasaan yang dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun dilain pihak dapat menimbulkan dampak buruk baik bagi si perokok itu sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Menurut Komalasari dan Alvin (2008), perilaku merokok adalah sebagai aktivitas subjek yang berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui intensitas merokok, waktu merokok dan fungsi merokok dalam kehidupan seharihari. Jadi dapat disimpulkan, merokok adalah suatu kebiasaan menghisap asap tembakau yang berbahaya bagi perokok aktif dan perokok pasif. 2.5.2 Komponen Racun Dalam Rokok Menurut Proverawati dan Rahmawati (2012), komponen dalam rokok terdiri dari : 1. Zat Kimia Rokok tidak dapat dipisahkan dari bahan baku pembuatannya, yakni tembakau. Tembakau ditambah cengkih dan bahan-bahan lain dicampur untuk dibuat rokok kretek. Selain kretek, tembakau dapat dibuat rokok linting, rokok putih, cerutu, rokok pipa dan tembakau tanpa asap (chewing tobacco atau tembakau kunyah). Komponen gas asap rokok adalah karbon monoksida, amoniak, asam hidrosianat, nitrogen oksida dan formaldehid. Partikelnya berupa tar, oksida, nikotin, karbarzol dan kresol. Zat-zat ini beracun, mengiritasi dan menimbulkan kanker (karsinogen). Asap yang dihembuskan para perokok dapat dibagi atas asap utama (main stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap utama merupakan asap tembakau yang dihirup langsung oleh perokok, sedangkan asap samping
43
merupakan asap tembakau yang disebarkan ke udara bebas, yang akan dihirup oleh orang lain atau perokok pasif. 2. Nikotin Zat yang paling sering dibicarakan dan diteliti orang, meracuni saraf tubuh, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan penyempitan pembuluh darah tepi, menyebabkan ketagihan dan ketergantungan pada pemakainya. Nikotin mengganggu sistem saraf simpatis dengan akibat meningkatnya kebutuhan oksigen
miokard.
Nikotin
juga
merangsang
pelepasan
adrenalin,
meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin mengaktifkan trombosit dengan akibat timbulnya adhesi trombosit (penggumpalan) ke dinding pembuluh darah. 3. Timah Hitam (Pb) Timah hitam yang dihasilkan oleh sebatang rokok sebanyak 0,5 ug. Sebungkus rokok (isi 20 batang) yang habis dihisap dalam satu hari akan menghasilkan 10 ug. Sementara ambang batas bahaya timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 ug per hari. 4. Gas Karbonmonoksida (CO) Karbon monoksida memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah. Karbon monoksida menimbulkan desaturasi hemoglobin, menurunkan langsung persediaan oksigen untuk jaringan seluruh tubuh termasuk miokard. CO menggantikan tempat oksigen di hemoglobin, mengganggu oksigen dan mempercepat
44
aterosklerosis (pengapuran/penebalan dinding pembuluh darah). Nikotin, CO dan bahan-bahan lain dalam asap rokok terbukti merusak endotel (dinding
dalam
pembuluh
darah)
dan
mempermudah
timbulnya
penggumpalan darah. 5. Tar Tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat asap rokok dan bersifat karsinogen. Pada saat rokok dihisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat. Setelah dingin, akan menjadi padat dan membentuk endapan berwarna cokelat pada permukaan gigi, saluran pernapasan dan paru-paru. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang, sementara kadar tar dalam rokok berkisar 24-45 mg. 2.5.3 Aspek-Aspek Perilaku Merokok Aspek-aspek perilaku merokok menurut Aritonang (dalam Nasution, 2007),yaitu : 1. Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari Merokok berkaitan dengan masa mencari jati diri pada diri remaja. Silvans dan Tomkins, fungsi merokok ditunjukkan dengan perasaan yang dialami si perokok, seperti perasaan yang positif maupun perasaan negatif. 2. Intensitas merokok Menurut Smet mengklasifikasikan perokok berdasarkan banyaknya rokok yang dihisap, yaitu : a. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam sehari. b. Perokok sedang yang menghisap 5-14 batang rokok dalam sehari.
45
c. Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari. 3. Tempat merokok, tipe perokok berdasarkan tempat ada dua (Mu’tadin, 2002) yaitu : a. Merokok di tempat-tempat umum/ruang publik 1. Kelompok homogen (sama-sama perokok), secara bergerombol mereka
menikmati
kebiasaannya.
Umumnya
mereka
masih
menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smoking area. 2. Kelompok yang heterogen (merokok ditengah orang-orang lain yang tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dan lain-lain). b. Merokok di tempat-tempat yang bersifat pribadi 1. Kantor atau di kamar tidur pribadi Perokok memilih tempat-tempat seperti ini yang sebagai tempat merokok digolongkan kepada individu yang kurang menjaga kebersihan diri dan penuh rasa gelisah yang mencekam. 2. Toilet Perokok jenis ini dapat digolongkan sebagai orang yang suka berfantasi. 4. Waktu merokok Remaja yang merokok dipengaruhi oleh keadaan yang dialaminya pada saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul dengan teman, cuaca yang dingin, setelah dimarahi orang tua dan lain-lain.
46
2.5.4 Tipe-Tipe Perilaku Merokok Triswanto (2007), ada beberapa tipe perokok yang bisa digolongkan menjadi tiga bagian berdasarkan kemampuan menghisap rokok dalam sehari yaitu : 1. Golongan perokok berat, yaitu apabila mereka mampu merokok dari 21-31 batang perhari atau lebih dan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6-30 menit. 2. Golongan perokok sedang, yaitu mereka biasanya mampu menghabiskan 11-21 batang dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi. 3. Golongan perokok ringan, menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu 60 menit dari bangun pagi. Menurut Silvan dan Tomkins (dalam Nasution, 2007), ada empat tipe perilaku merokok berdasarkan Management of affect theory, keempat tipe tersebut adalah : 1.
Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif a. Pleasure relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah minum kopi atau makan. b. Simulation to pick them up, perilaku merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan. c. Pleasure of handling the cigarette, kenikmatan yang diperoleh dari memegang rokok.
47
2.
Perilaku merokok yang dipengaruhi perasaan negatif Banyak yang merokok untuk mengurangi perasaan negatif dalam dirinya. Misalnya merokok bila marah, cemas, gelisah dan rokok dianggap sebagai penyelamat.
3.
Perilaku merokok yang adiktif Perokok yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.
4.
Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan Perokok menggunakan rokok sama sekali bukan untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi sudah menjadi bagian dari aktivitas mereka seharihari.
2.5.5 Bahaya Merokok Bahaya merokok terhadap remaja yang utama adalah terhadap fisiknya (Tarwoto dkk, 2012). Menurut Depkes RI (2003), efek merokok tidak hanya mempengaruhi kesehatan perokok, tetapi juga mempengaruhi kesehatan orang sekitarnya yang tidak merokok, karena terpapar asap rokok yang disebut perokok pasif. Adapun bahaya merokoknya antara lain (Depkes RI, 2003) : A. Bagi perokok aktif 1. Meningkatkan risiko dua kali lebih besar untuk mengalami serangan jantung. 2. Meningkatkan risiko dua kali lebih besar untuk mengalami stroke. 3. Meningkatkan risiko dua kali lebih besar untuk mengalami serangan jantung dengan memiliki tekanan darah tinggi.
48
4. Meningkatkan risiko sepuluh kali lebih besar untuk mengalami serangan jantung bagi pengguna pil KB. B. Bagi perokok pasif 1. Bahaya kerusakan paru-paru. Anak-anak yang orang tuanya merokok akan mengalami batuk, pilek dan radang tenggorokan. Pada wanita hamil yang merokok berisiko mendapatkan bayi lahir kurus, cacat dan kematian. 2. Suami yang merokok, asap rokok yang dihirup oleh istrinya akan mempengaruhi bayi dalam kandungan. 2.5.6 Dampak Perilaku Merokok Menurut Susanti (2008), rokok banyak menimbulkan kerugian bagi kesehatan. Dalam asap rokok terdapat 4.000 zat kimia berbahaya diantaranya yaitu nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik. Racun dan karsinogenik yang timbul akibat pembakaran tembakau dapat memicu terjadinya kanker. Terpaparnya remaja dengan asap rokok akan meningkatkan risiko asma, penyakit telinga tengah, pneumonia, batuk, infeksi saluran pernafasan atas, menurunkan kadar kolesterol High Density Lipoprotein (HDL) dan penyakit jantung koroner. Bila terpapar asap rokok mulai pada usia sebelum 10 tahun akan meningkatkan risiko leukemia dan limfoma (Soetijiningsih, 2004). 1. Dampak pada fisik Menurut Proverawati dan Rahmawati (2012), dampak pada fisik dari merokok antara lain :
49
a. Dampak rokok terhadap paru-paru Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mucus bertamah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya. Rokok merupakan penyebab utama terjadinya kanker paru-paru. Partikel asap rokok, seperti benzopiren, dibenzopiren dan ureten, dikenal sebagai bahan karsinogen. b. Dampak terhadap jantung Merokok menjadi faktor utama penyebab penyakit pembuluh darah jantung. Bukan hanya menyebabkan penyakit jantung koroner, merokok juga berakibat buruk bagi pembuluh darah otak dan perifer. 1. Penyakit Jantung Koroner (PJK) Risiko terjadinya penyakit jantung koroner meningkat 2-4 kali pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Risiko ini meningkat dengan bertambahnya usia dan jumlah rokok yang dihisap. Faktor risiko merokok bekerja sinergis dengan faktor-faktor lain, seperti hipertensi, kadar lemak atau gula darah yang tinggi terhadap tercetusnya PJK.
50
2. Penyakit (Stroke) Penyumbatan pembuluh darah otak yang bersifat mendadak atau stroke dan risiko kematian lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. 2. Dampak pada ekonomi Merokok dapat juga berdampak negatif pada aspek ekonomi. Perilaku merokok pada setiap individu dan rumah tangga dengan perokok memerlukan biaya ekonomi yang tinggi, pada rumah tangga dengan perokok sebanyak 11,5% dari total pengeluaran bulanan rumah tangga digunakan untuk membeli rokok. Bahkan pada keluarga yang kurang mampu, persentase pengeluaran rumah tangga untuk membeli rokok biayanya lebih besar (Barber, Adieotomo dan Setynoaluri, 2008). 2.5.7 Cara Menghentikan Merokok dan Cara Menghindarinya Menurut Mu’tadin (2002), dalam upaya prevalensi, motivasi untuk menghentikan perilaku merokok perlu untuk dipertimbangkan dan dikembangkan. Dengan menumbuhkan motivasi dalam diri remaja, berhenti atau tidak mencoba untuk merokok akan membuat mereka mampu untuk tidak terpengaruh oleh godaan merokok yang datang dari teman, media massa atau kebiasaan keluarga/orang tua. Agar terhindar dari kebiasaan merokok, kita harus terbiasa untuk bersikap asertif, untuk tetap mengatakan tidak pada rokok. Apabila telah mampu kita terapkan, maka teman sebaya atau kelompok kita bisa dijadikan kader pendidik sebaya. Bagi para perokok khususnya remaja, untuk berhenti dari kebiasaan merokok bukanlah suatu hal yang mustahil, apabila remaja meninggalkan kebiasaan
51
merokok hari ini, maka badan akan terbebas dari nikotin dalam masa delapan jam. Menurut Bangun (2008), menghentikan kebiasaan merokok, bisa tetap dilakukan, antara lain dengan cara : 1. Tekad untuk berhenti merokok dan mulailah dalam waktu dekat. Berhenti merokok tidak mudah, namun dapat dilakukan dengan mengendalikan kemauan untuk merokok. 2. Hindari dan buanglah rokok dari kantong dan semua bekas tembakau. Menjauhlah dari tempat biasa merokok dan menjauhlah dari para perokok. 3. Minumlah air sekurang-kurangnya delapan gelas sehari. Gantilah kopi, teh dan minuman cola dengan sari buah atau jus. Karena kopi, teh dan minuman cola dapat merangsang untuk merokok lagi. 4. Usahakan untuk melakukan kegiatan seperti olahraga di alam terbuka, gerak badan dan bernafas dalam-dalam. 5. Jagalah makanan, usahakan makan banyak buah-buahan dan sayur-sayuran yang segar. Makanlah secara teratur dan hindari makanan yang banyak bumbunya dan minuman keras. 6. Waktu tidur tujuh-delapan jam sehari, sehari dalam seminggu untuk istirahat. Sering merokok untuk mengurangi ketegangan, tapi tidur dan istirahat menghilangkan ketegangan lebih baik daripada merokok. 7. Membentuk kelompok sebaya Kelompok ini bisa dibentuk berdasarkan kesamaan prinsip para remaja, yaitu terdiri dari sekelompok remaja yang sama-sama menginginkan berhenti merokok. Selain memberi ruang yang cukup bagi para remaja yang
52
ingin berhenti merokok, kelompok ini juga bisa menampung segala permasalahan yang dialami remaja, khususnya yang berkaitan dengan upaya menghentikan kebiasaan merokok. 8. Senantiasa berdoa Upaya sekeras apapun tidak akan pernah membuahkan hasil, apabila tidak diikuti dengan doa. Selain bisa menambah keyakinan diri, doa bisa memberikan semacam kekuatan pelindung, terutama bagi remaja perokok untuk tetap melanjutkan upaya berhenti merokok dan tidak akan pernah merokok lagi. Selain itu, dukungan keluarga, serta teman-teman dan masyarakat sekitar akan sangat membantu remaja untuk menghentikan kebiasaan merokok.
2.6 Pengaruh Peer Education Terhadap Perilaku Merokok Pada Remaja Masa remaja merupakan periode perkembangan selama individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Potter dan Perry, 2005). Remaja merupakan masa pencarian identitas diri, pada masa ini pergaulan terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting bagi remaja (Iskandarsyah, 2006). Remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungannya. Lingkungan sosial budaya yang tidak positif merupakan faktor risiko bagi remaja dalam perilaku yang tidak sehat (Tarwoto dkk, 2012). Melalui proses kelompok dapat tercipta interaksi antar individu yang dapat membantu upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Menurut Widyanto (2014), peer group merupakan individu yang memiliki kedekatan dan tingkat
53
kedewasaan yang sama. Sehingga hubungan dengan teman sebaya dapat membantu dalam mengatasi masalah. Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Belajar diartikan sebagai proses perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu (Notoatmodjo, 2007). Metode peer education dipandang sangat efektif dalam mengatasi berbagai masalah remaja, karena penjelasan yang diberikan oleh seorang kelompoknya sendiri akan lebih mudah dipahami dalam memberikan informasi (Negara, Pawelloi, Jelantik dan Arnawa, 2006). Selain memberi ruang yang cukup bagi para remaja yang ingin berhenti merokok, kelompok ini juga bisa menampung segala permasalahan yang dialami remaja, khususnya yang berkaitan dengan upaya menghentikan kebiasaan merokok. Kelompok ini bisa dikepalai oleh seorang pendidik yang mampu menggerakkan dan menampung remaja yang ingin berhenti merokok, misalnya psikiater ataupun mahasiswa
yang
peduli.
Secara
berangsur-angsur,
kelompok
ini
akan
menghasilkan remaja-remaja yang benar-benar telah terbebas dari kebiasan merokok, sehingga hal ini akan berguna bagi remaja yang lain yang mempunyai keinginan yang sama untuk berhenti merokok. Menurut Albert Bandura (dalam Yusuf, 2008), menyatakan interaksi remaja dalam kelompok sebaya dapat merangsang dan menstimulasi pola-pola respon baru memulai belajar. Dalam hal ini metode peer education dapat memberikan pengetahuan, sikap, keyakinan serta tindakan dalam pemeliharaan dan melindungi kesehatannya. Pendekatan dengan menggunakan metode peer education dapat
54
memberikan hasil yang positif terhadap pengetahuan, sikap dan psikomotor remaja tentang perilaku merokok.