BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Intensitas Belajar 2.1.1 Pengertian Intensitas Menurut tim prima pena (2006:209) intensitas adalah kemampuan, kekuatan atau kehebatan. Sedangkan menurut Milman Yusdi (2010) dikutip dalam www.blogspot.com “mengartikan bahwa kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan kita berusaha dengan diri sendiri”. Sedangkan menurut Danim (1994) dikutip dalam http://edukasi.kompasiana.com. “Kemampuan adalah perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan”. Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa intensitas adalah sebagai suatu kemampuan dari seseorang dalam melakukan suatu kreatifitas atau kegiatan tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Dalam hubungannya dalam belajar intensitas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik bersumber dari dalam diri siswa maupun dari luar siswa seperti IQ, minat belajar, motivasi, keadaan ekonomi, metode mengajar, saran prasarana sekolah dan bentuk kehidupan masyarakat. Karena adanya faktor tersebut maka intensitas setiap siswa dapat berbeda-beda. Setiap siswa memiliki intensitas tersendiri dalam melakukan kegiatan belajar. Intensitas dapat ditumbuhkan, dibina, serta dikembangkan kearah yang positif untuk mencapai hal yang lebih baik. Hal ini senada yang diungkapkan Aristoteles (dalam Sudjana, 1980:13) bahwa “Jika tidak lain adalah kerja otak. Otak manusia terdiri dari bagian yang masing-masing dilatih dan dikembangkan sehingga dapat menyampai kemampuan yang maksimal”. Dengan demikian intensitas dapat didefinisikan pula sebagai hasil kerja otak yang dapat dilatih dan dikembangkan kearah yang positif.
2.1.2 Pengertian Belajar Proses belajar terjadi karena adanya interaksi antara siswa dengan guru, antar sesama siswa, serta antara guru dan siswa terhadap lingkungannya.
Slameto (2010:2) bahwa
“belajar adalah sala satu usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingka laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (1983:21), “belajar adalah suatu bentuk pertumbuhan atau perubahan pada diri seseorang yang dinyatakan dengan cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan-latihan”. Selain itu, menurut Thorndike (dalam Hamzah B. Uno, 2010:11) bahwa “belajar adalah proses interaksi antara stimulus (yang mungkin berupa pikiran perasaan atau gerakan) dan respon (yang juga bisa berupa pikiran, perasaan atau gerakan)”. Dari beberapa pengertian di atas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku, pengetahuan dan sikap pada kepribadian seseorang melalui latihan dan pengalaman, yang dapat diobservasi maupun tidak, yang dapat dilakukan dengan membandingkan tingkah laku seseorang sebelum dan sesudah mengalami peristiwa belajar. Menurut Slameto (2010:54-71)
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak
jenisnya, tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada diluar individu. 1) Faktor intern. Faktor intern ini meliputi tiga bagian yaitu faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan. (1) Faktor jasmaniah. Proses belajar seorang siswa akan terganggu jika kesehatan siswa tersebut terganggu. Selain itu juga ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, dan ngantuk jika badannya lemah, kurang darah ataupun ada kelainan fungsi alat inderanya serta tubuhnya. Dengan demikian apabila siswa cacat tubuh, hal itu
akan mempengaruhi hasil belajar. Siswa yang cacat, belajarnya akan terganggu. Jika hal itu terjadi hendaknya siswa tersebut belajar pada lembaga pendidikan khusus atau diusahakan dengan memberi alat bantu agar dia dapat menghindari atau mengurangi kecacatannya. (2) Faktor psikologis. Sekurangnya-kurangnya ada tujuh faktor yang tergolong kedalam faktor psikologis yang mempengaruhi belajar. Faktor-faktor itu adalah: a. Intelegensi. Intelegensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Dalam situasi yang sama, siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil dari pada siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah. b. Perhatian. Untuk menjamin hasil belajar yang baik siswa harus mempunyai perhatian yang penuh terhadap bahan yang dipelajarinya. Agar tumbuh perhatian sehingga siswa dapat belajar dengan baik, bahan pelajaran harus diusahakan selalu menarik perhatian. Dengan mengusahakan pelajaran itu sesuai dengan bakatnya, berkualitas, aktual, dan mengkaitkan bahan tersebut dengan pelajaran yang lalu, mengemukakan manfaat bagi anak baik dengan pelajaran yang sedang dibicarakan maupun dengan bahan yang akan datang, dan manfaat kelak dimasyarakat. c. Minat. Minat besar pengaruhnya terhadap belajar anak. Bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa, siswa tidak dapat belajar dengan sebaik-baiknya. Jika ada siswa kurang atau tidak berminat terhadap belajar perlu diusahakan cara membangkitkan minat tersebut. Minat dapat ditumbuhkan demgan berbagai cara, antara lain dengan menvariasikan media pembelajaran, mengembangkan metode pembelajaran, menjelaskan hal-hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa, dan mengkaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita siswa.
d. Bakat. Siswa yang memiliki bakat ibarat bagian golok yang runcing. Jika bahan pembelajaran yang dipelajari oleh siswa yang berbakat maka pelajaran itu akan cepat dikuasai, sehingga hasil belajarnya pun akan lebih baik. e. Motif. Dalam proses belajar mengajar guru harus memperhatikan motif belajar siswa atau faktor-faktor yang mendorong belajar siswa. Dengan mengetahui motif siswa belajar, maka guru dapat mengajak para siswa untul berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan dan melaksanakan kegiatan yang berhubungan serta menunjang belajar. f. Kematangan. Kematangan merupakan tingkat atau fase dalam pertumbuhan seseorang. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh anggota-anggota tubuhnya sudah siap untuk melaksanakan kecakapan baru. g. Kesiapan. Kesiapan erat hubungannya dengan kematangan. Siswa dikatakan sudah memiliki kearsipan apabila pada dirinya ada kesediaan untuk memberi respon atau bereaksi. Kesiapan ini perlu diperhatikan oleh guru dalam proses belajar. Pembelajaran yang diikuti oleh para peserta didik yang memiliki kesiapan tinggi akan terjadi proses pembelajaran yang optimal dan hasil belajarnya pun akan lebih baik. (3) Faktor kelelahan. Kelelahan baik jasmani ataupun rohani dapat mempengaruhi keberhasilan dalam belajar. Oleh karena itu, guru harus memberikan pengertian kepada siswa untuk berusaha menghindari terjadinya kelelahan dalam belajarnya. 2) Faktor ekstern. Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap belajar dapat dikelompokkan kedalam faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat. (1) Faktor keluarga. Para siswa yang sedang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa: (a) cara orang tua mendidik, (b) relasi/hubungan antara anggota
keluarga, (c) suasana rumah, (d) keadaan ekonomi keluarga, (e) sikap dan pengertian orang tua, dan (f) latar belakang kebudayaan orang tua. (2) Faktor sekolah. Faktor sekolah mempengaruhi belajar meliputi hal-hal yang berkaitan dengan: (a) metode mengajar, (b) kurikulum, (c) relasi guru dengan para siswa, (d) relasi siswa dengan siswa, (e) disiplin sekolah, (f) alat pelajaran, (g) waktu sekolah, (h) sarana dan prasarana sekolah, (i) metode belajar siswa, dan (j) tugas rumah. (3) Faktor masyarakat.
Merupakan faktor ekstern
yang berpengaruh terhadap
perkembangan pribadi siswa; yaitu keberhasilan siswa dalam belajar. Pengaruh tersebut terjadi karena keberadaan siswa dalam masyarakat. Faktor masyarakat ini banyak berkaitan dengan: (a) kegiatan siswa dalam masyarakat, (b) mass media, (c) teman bergaul, dan (d) bentuk kehidupan masyarakat
2.2 Pengukuran Intensitas Intensitas adalah kemampuan, kekuatan atau kehebatan. Mengacu pengertian intensitas di mana salah satu indikator intensitas adalah kemampuan maka kemampuan dapat dilihat dari evaluasi. Beberapa teori evaluasi sebagai berikut: Menurut Daryanto (2008:2) bahwa “evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan”. Selain itu, menurut Arikunto dan Abdul Jabar (2004:1-2) “evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan”. Dari beberapa pengertian di atas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa evaluasi adalah proses yang berkenaan dengan pengumpulan informasi yang memungkinkan kita menentukan tingkat kemajuan pengajaran dan bagaimana berbuat baik pada waktu-waktu mendatang.
Untuk mengetahui intensitas tersebut perlu mengadakan pengukuran, karena dengan adanya pengukuran ini kita bisa menentukan mana nilai yang rendah dan yang mana nilai yang tinggi yang diperoleh oleh siswa. Pengukuran yang dimaksud adalah dengan cara penskoran yaitu dari nilai 10 sampai 100. Adapun nilai standar kelulusan sesuai dengan ketentuan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 75, artinya bahwa apabila siswa mendapatkan nilai dibawah 75 yaitu nilai 10-70 berarti intensitas siswa tersebut dikatakan rendah (tidak baik) karena tidak memenuhi nilai standar kelulusan yang sudah ditentukan tersebut. Apabila siswa tersebut mendapatkan nilai 75-85 berarti intensitasnya sedang (baik) dan apabila siswa mendapatkan nilai 90-100 berarti intensitasnya tinggi (sangat baik).
2.3 Indikator Intensitas Belajar Siswa 1. Motivasi Motivasi adalah keadaan internal organisme (baik manusia maupun hewan) yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu. Di sini motivasi berarti pemasok daya untuk berbuat atau bertingkah laku secara terarah. Hal ini sejalan dengan pendapat M.C. Donal yang memberikan pengertian bahwa “Motivasi adalah perubahan energi di dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya reaksi untuk mencapai tujuan”. (Sardiman, 2009 : 73). Motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah keadaan yang berasal dari dalam diri individu yang dapat melakukan tindakan belajar, termasuk didalamnyan adalah perasaan menyukai materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah hal atau keadaan yang mendorong untuk melakukan tindakan karena adanya rangsangan dari luar individu, pujian, dan hadiah atau peraturan sekolah, suri tauladan orang tua, guru dan seterusnya, merupakan contoh konkrit motivasi ekstrinsik yang dapat mendorong siswa untuk
belajar. Dalam hal ini Sardiman, (2009:74-75) mengemukakan bahwa fungsi motivasi dalam belajar adalah untuk mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dicapai; Jadi, fungsi motivasi dalam belajar adalah: 1. Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai; 2. Mendorong manusia untuk berbuat. 3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Dengan demikian, cukup jelaslah bahwa motivasi itu akan mendorong seseorang yang belajar untuk memperoleh hasil belajar yang optimal. Dengan kata lain, bahwa dengan adanya usaha yang tekun yang terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat mencapai prestasi yang baik. Intensitas motivasi seseorang peserta didik/mahasiswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajar. 2. Durasi kegiatan Durasi kegiatan yaitu berapa lamanya kemampuan penggunaan untuk melakukan kegiatan. Dari indikator ini dapat dipahami bahwa motivasi akan terlihat dari kemampuan seseorang menggunakan waktunya untuk melakukan kegiatan. Yaitu dengan lamanya siswa menyediakan waktu untuk belajar setiap harinya. 3. Frekuensi kegiatan Frekuensi yang dimaksud adalah seringnya kegiatan itu dilaksanakan dalam periode waktu tertentu. Misalnya dengan seringnya siswa melakukan belajar baik disekolah maupun
diluar sekolah. 4. Presentasi Presentasi yang dimaksud adalah gairah, keinginan atau harapan yang keras yaitu maksud, rencana, cita-cita atau sasaran, target dan idolanya yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan. Ini bsia dilihat dari keinginan yang kuat bagi siswa untuk belajar. 5. Arah sikap Sikap sebagai suatu kesiapan pada diri seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal yang bersifat positif ataupun negative. Dalam bentuknya yang negativ akan terdapat kecendrungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, bahkan tidak menyukai objek tertentu. Sedangkan dalam bentuknya yang positif kecendrungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, dan mengharapkan objek tertentu. Contohnya, apabila siswa menyenangi materi tertentu maka dengan sedirinya siswa akan mempekajari dengan baik. Sedangkan apabila tidak menyukai materi tertentu maka siswa tidak akan mempelajari kesan acuh tak acuh. 6. Minat Minat timbul apabila individu tertarik pada sesuatu karena sesuai dengan kebutuhannya atau merasakan bahwa sesuatu yang akan digeluti memiliki makna bagi dirinya. Slameto (2010:57) mengatakan bahwa minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penermiaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar dirinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Fatrawati Husain (2011:22) menyatakan bahwa minat timbul apabila individu tertarik kepada sesuatu karena sesuai dengan kebutuhannya atau merasakan bahwa sesuatu yang akan dipelajari dirasakan bermakna bagi dirinya. Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa minat adalah
kemauan, perhatian, hasrat dan kecenderungan individu untuk aktif melakukan kegiatan dalam rangka mencapai tujuan. Minat erat kaitannya dengan merasa senang seseorang terhadap sesuatu. Minat juga merupakan hasrat atau keinginan individu terhadap sesuatu objek untuk memenuhi kebutuhan psikis maupun fisik, sehingga individu dapat menikmati hal yang diinginkan. Adapun ciri-ciri siswa yang mempunyai minat tinggi adalah : 1. Pemusatan perhatian Pemusatan perhatian dapat mempengaruhi terhadap prestasi. Sebab dengan perhatian siswa terhadap materi dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang studi tertentu. Umpamanya, seorang siswa yang menaruh perhatian besar terhadap matematika akan meusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi itulah yang meingkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan. 2. Keingintahuan Kadar keingintahuan siswa dalam belajar dapat terlihat dari partisipasinya ketika kegiatan itu berlangsung. Misalnya ketika kegiatan itu berlangsung, siswa aktif untuk berperan dalam latihan dengan selalu mengikuti kegiatan tersebut atau bertanya. Ketika dalam suatu hal yang belum dipahami dan juga mampu mengomentari terhadap suatu permasalahan. 3. Kebutuhan Siswa yang merasa butuh dan tertarik atau menaruh minat pada suatu kegiatan atau pelajaran maka ia akan selalu menekuni kegiatan itu dengan giat belajar baik pada waktu acara formal maupun diluar acara formal. Misalnya apabila siswa merasa butuh pada pelajaran maka, siswa itu akan berusaha dengan cara apapun juga.
7. Aktivitas Aktivitas diartikan sebagai suatu kegiatan yang mendorong atau membangkitkan potensi-potensi yang dimiliki oleh seorang anak. Sertiap gerak yang dilakukan secara sadar oleh seorang dapat dikatakan sebagai aktivitas. “Aktivitas merupakan ciri dari manusia, demikian pula dalam proses belajar mengajar itu sendiri merupakan sejumlah aktivitas yang sedang berlangsung. Itulah sebabnya prinsip atau azas yang sangat penting dalam interaksi belajar mengajar aktivitas”. (Sudjana 1980 : 26) Pada dasarnya aktivitas dipandang sebagai sarana kelangsungan pengajaran, memiliki bobot dan kualitas dalam proses belajar mengajar, sehingga mempengaruhi keberhasilan belajarnya serta dapat membangkitkan potensi-pontensi anak dalam berbagai pekerjaan yang mereka senangi dan mewujudkan kecendrungan kepribadian mereka sesuai dengan kesiapannya, membangkitkan kesenangan, gairah dan optimisme. J.J Rouseau yang dikutip oleh Sardiman (2009 : 94) memberikan penjelasan bahwa segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, dengan faslitas yang diciptakan sendiri, baik secara rohani maupun takhnis. Ini menunjukkan setiap orang yang belajar harus aktif sendiri, tanpa ada aktifitas maka proses belajar mengajar tidak mungkin terjadi. Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dalam kegiatan belajar mengajar subjek didik atau siswa harus aktif berbuat dengan kata lain bahwa belajar sangat diperlukan adanya aktifitas karena tanpa adanya aktifitas belajar itu tidak mungkin berlangsung dengan baik. Ada beberapa aktifitas siswa sewaktu berlangsungnya suatu kegiatan yaitu: 1. Bertanya Bertanya merupakan proses aktif, bila siswa tidak atau bahkan kurang dilibatkan
maka hasil belajar yang dicapai akan rendah. Bentuk keterlibatan siswa itu misalnya, dengan bertanya tentang hal-hal yang belum dipahami atau menjawab pertanyaan yang diajukan. 2. Mencatat Mencatat erat kaitannya sebagai aktivitas belajar adalah mencatat yang didorong oleh kebutuhan dan tujuan, dengan menggunakan set tertentu agar catatannya itu berguna. 3. Mengingat Mengingat yang termasuk aktivitas belajar adalah mengingat yang didadasari untuk suatu tujuan, misalnya menghafal suatu materi 4. Latihan Latihan termasuk aktivitas belajar, orang yang melaksanakan latihan tentunya mempunyai dorongan untuk mencapai tujuan tertentu yang dapat mengembangkan suatu aspek pada dirinya. Dalam latihan terjadi interaksi yang interaktif antara subjek dengan lingkungannya hasil belajar akan berupa pengalamannya yang dapat mengubah dirinya yang kemudian akan mempengaruhi terhadap lingkungan sekitarnya. 5. Mendengarkan Dalam proses belajar mengajar seorang guru sering menggunakan metode ceramah dalam penyampaian materi disamping metode lainnya. Dalam hal ini, tugas pokok siswa ketika guru sedang menyampaikan materi adalah mendengarkan yang didorong oleh minat dan tujuan. Untuk memahami suatu materi seseorang siswa tidak hanya dipengaruhi oleh kerajinan saja tetapi dipengaruhi juga oleh ketelitian dan ketekunan seseorang siswa dalam mendengarkan materi yang disampaikan.
2.4 Teori Motivasi
Teori tentang motivasi ini lahir dan awal perkembangannya ada di kalangan para psikolog. Menurut ahli ilmu jiwa, dijelaskan bahwa dalam motivasi itu ada suatu hierarki, maksudnya motivasi itu ada tingkatan-tingkatannya, yakni dari bawah ke atas (Sardiman, 2009:80). Menurut Sondang (2004:146-185) mengelompokkan teori motivasi sebagai berikut: 1. Teori ”X” dan ”Y” Seorang ilmuan yang hasil karyanya banyak dimanfaatkan dalam usaha mendalami teori motivasi ialah Douglas McGregor. Dalam mengemukakan dan mempertahankan kebenaran teorinya, McGregor menekankan bahwa cara yang digunakan oleh para manajer dalam memperlakukan para bawahannya sangat tergantung pada asumsi yang digunakan tentang ciri-ciri manusia yang dimiliki oleh para bawahannya itu. Teori ”X” yang pada dasarnya mengatakan bahwa manusia cenderung berperilaku negatif dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a.
Para pekerja pada dasarnya tidak senang bekerja dan apabila mungkin akan berusaha mengelakkannya.
b.
Karena para pekerja tidak senang bekerja, mereka harus dipaksa, diawasi atau diancam dengan berbagai tindakan punitif agar tujuan organisasi tercapai.
c.
Para pekerja akan berusaha mengelakkan tanggung jawab dan hanya akan bekerja apabila menerima perintah untuk melakukan sesuatu.
d.
Kebanyakan pekerja akan menempatkan pemuasan kebutuhan fisiologis dan keamanan di atas faktor-faktor lain yang berkaitan dengan pekerjaannya dan tidak akan menunjukkan keinginan atau ambisi untuk maju. Sebaliknya, menurut teori ”Y” yang pada dasarnya mengatakan bahwa manusia
cenderung berperilaku positif dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Para pekerja memandang kegiatan pekerja sebagai hal yang alamiah seperti halnya beristirahat dan bermain.
b.
Para pekerja akan berusaha melakukan tugas tanpa terlalu diarahkan dan akan berusaha mengendalikan diri sendiri.
c.
Pada umumnya para pekerja akan menerima tanggung jawab yang lebih besar.
d.
Para pekerja akan berusaha menunjukkan kreativitasnya dan oleh karenanya akan berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan tanggung jawab mereka juga dan bukan semata-mata tanggung jawab orang-orang yang menduduki jabatan manajerial.
2.
Teori Motivasi-Higiene Teori ini dikembangkan oleh Frederick Herzberg, seorang psikolog. Yang sangat
menarik dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Herzberg ialah bahwa apabila para pekerja merasa puas dengan pekerjaannya, kepuasaan itu didasarkan pada faktor-faktor yang sifatnya intrinsik seperti keberhasilan mencapai sesuatu, pengakuan yang diperoleh, sifat pekerjaan yang dilakukan, rasa tanggung jawab, kemajuan dalam karier dan pertumbuhan profesional dan intelektual, yang dialami oleh seseorang. Sebaliknya apabila para pekerja merasa tidak puas dengan pekerjaannya, ketidakpuasan itu pada umumnya dikaitkan dengan faktor-faktor yang biasanya ekstrinsik, artinya bersumber dari luar diri pekerja yang bersangkutan. Seperti kebijaksanaan organisasi, pelaksanaan kebijaksanaan yang telah ditetapkan, supervisi oleh para manajer, hubungan interpersonal dan kondisi kerja. 3.
Teori ”ERG” Teori ”ERG” dikembangkan oleh Clayton Alderfer dari Universitas Yale. Akronim
”ERG” merupakan huruf pertama dari tiga kata, yaitu: Existense, Relatedness dan Growth. Menurut teori ini, yang didukung oleh kenyataan hidup sehari-hari, mempertahankan eksistensi seseorang merupakan kebutuhan yang sangat mendasar. Merupakan kebutuhan nyata setiap orang untuk mempertahankan dan melanjutkan eksistensinya itu secara
terhormat. Hal ini sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Mudah memahami bahwa mempertahankan eksistensi secara terhormat itu berarti antara lain terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. 4.
Teori ”Tiga Kebutuhan” Teori ini dikemukakan oleh David McCleland beserta rekan-rekannya. Inti teori ini
terletak pada pendapat yang mengatakan bahwa pemahaman tetang motivasi akan semakin mendalam apabila didasari bahwa setiap orang mempunyai tiga jenis kebutuhan, yaitu: ”Need for Achievement”, “Need for Power”, “Need for Affiliation”. Need for Achievement. Kiranya tidak akan ada kesukaran untuk menerima pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang yang ingin dipandang sebagai orang yang berhasil dalam hidupnya. Keberhasilan itu bahkan mencakup seluruh segi kehidupan dan penghidupan seseorang. Misalnya, keberhasilan dalam pendidikan, keberhasilan dalam membina rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, keberhasilan dalam usaha, keberhasilan dalam pekerjaan dan bidang-bidang kehidupan lainnya. Sebaliknya, merupakan kebenaran pula apabila dikatakan bahwa tidak ada orang yang senang jika menghadapi kegagalan. Need for Power. Menurut teori ini, kebutuhan akan kekuasaan menampakkan diri pada keinginan untuk mempunyai pengaruh terhadap orang lain. Penelitian dan pengalaman memang menunjukkan bahwa setiap orang ingin berpengaruh terhadap orang lain dengan siapa ia melakukan interaksi. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini. Pertama, adanya seseorang yang mempunyai kebutuhan berpengaruh pada orang lain itu. Kedua, orang lain terhadap siapa pengaruh itu digunakan. Ketiga, persepsi ketergantungan antara seseorang dengan orang lain. Need for Affiliation.
Kebutuhan afiliasi merupakan kebutuhan nyata dari setiap manusia, terlepas dari kedudukan, jabatan dan pekerjaannya. Artinya, kebutuhan tersebut bukan hanya kebutuhan mereka yang menduduki jabatan manajerial. Juga bukan hanya merupakan kebutuhan para bawahan yang tanggung jawab utamanya hanya melaksanakan kegiatankegiatan operasioanl. Kenyataan ini berangkat dari sifat manusia sebagai makhluk sosial. 5. Teori Evaluasi Kognitif Apabila perkembangan teori motivasi disimak dengan teliti akan terlihat bahwa para ilmuwan yang mendalami motivasi menggunakan asumsi bahwa faktor-faktor motivasional yang bersifat intrinsik seperti kemajuan, tanggung jawab dan kompetensi tidak terikat kepada faktor-faktor motivasional yang bersifat ekstrinsik seperti upah atau gaji yang besar, promosi, hubungan yang baik dengan atasan dan kondisi kerja yang menyenagkan. Artinya, stimulasi
faktor-faktor
motivasional
ekstrinsik
tidak
mempengruhi
faktor-faktor
motivasional intrinsik. Akan tetapi pada tahun enam puluhan berlangsung berbagai penelitian yang mengahasilkan pendapat (teori) bahwa anggapan yang berlaku pada waktu itu dirasakan tidak benar. Artinya penemuan dari berbagai hasil penelitian itu mengatakan bahwa ada hubungan antara faktor-faktor motivasional yang intrinsik dengan faktor-faktor yang bersifat ekstrinsik. Teori ini kemudian dikenal dengan istilah “evaluasi kognitif”. Menurut teori ini, apabila faktor-faktor motivasional yang bersifat ekstrinsik diperkenalkan, seperti upah atau gaji yang besar sebagai imbalan bagi usaha penyelesaian tugas, yang tadinya memberikan kepuasan bagi pekerja yang bersangkutan secara intrinsik akan cenderung mengurangi tingkat motovasional seseorang. Dengan perkataan lain, menurut teori ini, apabila organisasi menggunakan imbalan yang merupakan motivasional ekstrinsik bagi pelaksanaan pekerjaan dengan baik, faktor-faktor motivasional intrinsik, misalnya kepuasan karena seseorang menyenangi apa yang dikerjakan, menjadi berkurang.
6. Teori Penentuan Tujuan Ketika
makin
banyak
ilmuwan
sosial
yang
memberikan
perhatian
pada
pengembangan dan akumulasi teori motivasi, berbarengan dengan timbulnya “Gerakan Human Relations” yang kemudian diikuti oleh “Gerakan ``Keperilakuan”, pentingnya penentuan tujuan secara spesifik oleh mereka yang melakukan kegiatan tertentu kurang mendapat perhatian. Artinya, tidak jarang terdengar orang berkata kepada orang lain: “Bekerjalah sebaik mungkin”. Kalimat demikian rupanya dipandang memadai sebagai penggerak sebagai faktor-faktor intrinsik dalam arti akan mendorong seseorang berbuat sebatas kemampuannya. Misalnya, seorang tua yang berusaha mendorong anaknya untuk belajar keras pada umumnya berkata: “Belajarlah baik-baik dan berusaha sekuat tenaga”. Dorongan itu merupakan dorongan yang spesifik. Dorongan spesifik inilah yang menjadi inti teori penentuan tujuan. Dorongan spesifik itu dapat bersifat intrinsik, akan tetapi dapat pula bersifat ekstrinsik. Artinya, teori ini terletak pada pendapat yang mengatakan bahwa kejelasan tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya akan menumbuhkan motivasi yang semakin besar. Bahkan lebih jauh lagi. Tujuan yang sukar dicapai, menurut teori ini apabila ditetapkan oleh yang bersangkutan sendiri atau ditentukan oleh organisasi tetapi diterima oleh pekerja sebagai tujuan yang pantas dan layak dicapai, akan mengakibatkan prestasi kerja yang semakin tinggi. 7. Teori Penguatan Dapat dikatakan bahwa teori penguatan merupakan kebalikan dari teori penentuan tujuan yang telah disinggung di atas. Seperti telah terlihat di atas, teori penetuan tujuan menggunakan pendekatan kognitif, sedangkan teori penguatan menggunakan pendekatan keperilakuan, dalam arti bahwa penguatan menentukan perilaku seseorang. Secara filsafati ke dua teori tersebut berbeda. Para penganut teori penguatan melihat perilaku seseorang
sebagai akibat lingkungannya. Lebih jauh para penganut teori ini mengatakan bahwa dalam kehidupan organisasional, seorang manajer tidak perlu memikirkan peristiwa-peristiwa internal yang bersifat kognitif karena yang mengendalikan perilaku bawahan dalah faktorfaktor penguatan. Yang dimaksud dengan faktor-faktor penguatan adalah setiap konsekuensi yang apabila timbul mengikuti suatu respons, memperbesar kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi. 8.
Teori Keadilan Telah umum diakui bahwa keadilan menyangkut persepsi seseorang tentang
perlakuan yang diterimanya dari orang lain. Biasanya seseorang akan mengatakan bahwa dirinya diperlakukan dengan adil apabila perlakuan itu menguntungkannya. Sebaliknya dia akan cenderung mengatakan bahwa dia diperlakukan tidak adil apabila perlakuan yang diterima dirasakan merugikannya. Dapat dipastikan bahwa persepsi seseorang tentang keadilan berpengaruh pada perilaku dan tindak tanduknya yang pada gilirannya menentukan motivasinya, terutama yang bersifat intrinsik, yang antara lain terlihat pada tingkat prestasi kerjanya. Orang Lain Sebagai Pembanding. Untuk menilai apakah seorang mendapat perlakuan yang adil dalam kehidupan yang organisasionalnya, ia biasanya melakukan perbandingan antara dirinya dengan orang-orang lain dalam organisasi, yaitu mereka yang berada pada tingkat yang sama dalam hirarki organisasi, melakukan tugas yang relatif serupa dengan tanggung jawab yang sama pula. Jika terdapat perbedaan perlakuan antara yang bersangkutan dengan orang-orang lain itu, akan timbul persepsi ketidak adilan. Orang lain yang bekerja di organisasi lain juga dapat digunakan sebagai pembanding. Jika memang terdapat perbedaan perlakuan, faktor-faktor penyebabnya antara lain ialah latar belakang pendidikan, asal usul, kedaerahan, kesukuan, pertalian darah dan faktor-faktor lainnya yang bersifat subjektif dan juga mungkin tidak rasional.
Dari Sendiri Sebagai Pembanding. Setiap orang memasuki suatu organisasi sebagai tempat “mengadu nasib” dengan berbagai hal yang pada mulanya mungkin bersifat “ego sentris”. Artinya, setiap orang mempunyai persepsi tertentu tentang diri sendiri yang tercermin dari berbagai hal seperti: filsafat hidupnya, latar belakang sosialnya, latar belakang pendidikannya, usianya, pengalamannya dan mungkin juga jumlah tanggungannya, nilai-nilai yang dianutnya. 9. Teori Harapan Salah satu hasil usaha para ilmuwan yang mendalami teori motivasi ialah dikembangkannya apa yang dikenal dengan teori harapan. Dewasa ini, dapat dikatakan bahwa teori harapan merupakan merupakan teori yang dipandang paling baik menjelaskan motivasi seseorang dalam kehidupan organisasionalnya, meskipun sudah barang tentu tidak diterima dengan universal. Artinya, dengan segala kelebihannya, teori harapanpun mempunyai kelemahan-kelemahan. Inti teori ini terletak pada pendapat yang mengatakan bahwa hanya kecenderungan seseorang bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan pada daya tarik dari hasil itu bagi orang yang bersangkutan. Pendalaman teori harapan akan menunjukkan hal-hal sebagai berikut: 1. Kuatnya motivasi seseorang berprestasi (usahanya) tergantung pada pandangannya tentang betapa kuatnya keyakinan yang terdapat dalam dirinya bahwa ia akan dapat mencapai apa yang diusahakan untuk dicapai. 2. Jika tujuan ini tercapai (prestasi kerja), timbul pertanyaan apakah ia akan memperoleh imbalan yang memadai dan apabila imbalan itu diberikan oleh organisasi, apakah imbalan itu akan memuaskan tujuannya atau kepentingannya?