BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Advokasi Istilah advokasi sering sekali dihubungkan dengan profesi hukum. Menurut bahasa Belanda, advocaat atau advocateur adalah pengacara atau pembela. Banyak orang menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum (litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi. Advokasi seoalah-olah merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Karena itu tidak mengherankan jika advokasi sering diartikan sebagai kegiatan pembelaan kasus di pengadilan. Namun jika kita mengacu pada kata advocate dalam bahasa Inggris, pengertian advokasi akan menjadi luas, tidak hanya berarti to defend (membela), melainkan pula to promote (mengemukakan atau memajukan), to create (menciptakan) dan to change (melakukan perubahan). Istilah advokasi dapat merujuk kepada dua pengertian, yaitu pertama, pekerjaan atau profesi dari seorang advokat dan kedua, perbuatan atau tindakan pembelaan untuk atau secara aktif mendukung suatu maksud (Edi Suharto, 2006:1). Ada beberapa pengertian terkait dengan definisi advokasi, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
Mansour Faqih dkk, mengartikan advokasi sebagai usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental).
Institut Advokasi Washington DC, mengartikan advokasi sebagai usaha terorganisir maupun aksi yang menggunakan sarana-sarana demokrasi untuk menyusun dan melaksanakan undang-undang dan kebijakan yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan merata.
Webster’s New Collegiate Dictionary, memberikan pengertian advokasi sebagai tindakan atau protes untuk membela atau memberi dukungan. Jika kita melihat dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa advokasi
lebih merupakan suatu usaha sistematik dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesak perubahan dengan memberikan dukungan dan pembelaan terhadap kaum lemah (miskin,terbelakang, dan tertindas) atau terhadap mereka yang menjadi korban ketidakadilan. Ada banyak sekali alasan mengapa seseorang diharuskan untuk melakukan advokasi. Secara umum alasannya ialah: (a) karena kita selalu diperhadapkan dengan persoalan-persoalan kemanusiaan dan kemiskinan, (b) keserakahan, kebodohan, dan kemunafikan semakin tumbuh subur di sekitar kita, (c) yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan tertindas. Dari beberapa alasan inilah timbul kesadaran untuk melakukan suatu perubahan, perlawanan, dan pembelaan
Universitas Sumatera Utara
atas apa yang dirasakan oleh banyak orang. Salah satu bentuk perlawanan dan pembelaan yang ‘anggun (elegan)’ ialah advokasi. Ada dua unsur penting dalam membangun konsep advokasi yaitu pertama, advokasi ditujukan untuk membela dan meringankan beban kelompok yang lemah dan tujuan yang seharusnya berorientasi kepada perubahan sosial. Kedua, advokasi dapat dijadikan untuk membuka kemungkinan baru bagi masyarakat yang menjadi korban untuk menentukan strategi dan orientasi perubahan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Melakukan advokasi berarti bertindak sebagai seorang perantara, penengah, atau pembela yang akan bertindak seperti penghubung. Advokasi akan lebih efektif jika dilaksanakan dengan prinsip kemitraan, yaitu dengan membentuk jejaring advokasi atau forum kerjasama. Dengan dilakukannya advokasi diharapkankesadaran dan pemahaman kelompok masyarakat maupun individu semakinmeningkat untuk memperjuangkan hak-haknya
serta
mengorganisir
dirinyasecara
berkesinambungan.
Beberapa karakteristik advokasi, antara lain: a) Berorientasi tindakan, yaitu suatu advokasi berorientasi kepada tindakan untuk mencapai perubahan. b) Menentang ketidakadilan.
Universitas Sumatera Utara
c) Tidak netral, yaitu para pekerja berpihak kepada yang lemah, yang perlu dibantu melalui usaha advokasi. d) Mengaitkan kebijakan kepada praktek, yaitu kegiatan advokasi adalah menterjemahkan kebijakan ke dalam praktek dan memberi manfaat kepada semua orang. e) Kesabaran dan penuh harapan, yaitu advokasi harus dilakukan dengan kesabaran penuh agar hasil advokasi dapat tercapai dengan baik. f) Pemberdayaan, yaitu setiap usaha advokasi tujuannya ialah pemberdayaan korban agar dapat mengatasi masalah dan mandiri. Konsep advokasi sering sekali disandingkan dengan pemberdayaan, karena proses advokasi yang dilakukan oleh banyak LSM membutuhkan pengorganisasian dan pemberdayaan kelompok masyarakat yang diajak untuk melakukan advokasi. Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan (Edi Suharto, 2009:59).
Universitas Sumatera Utara
Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi atau pendapat di depan umum, mempunyai mata pencaharian, dan sebagainya. Oleh sebab itu, advokasi dan pemberdayaan tidak dapat dipisahkan. Pemberdayaan dan avokasi bagaikan dua sisi mata uang yang keduanya memiliki tujuan akhir yang sama yaitu perubahan sosial di masyarakat menuju masyarakat yang lebih bermanfaat dan sejahtera. Di dalam penanggulangan terhadap kaum lemah ataupun marginal yang pertama sekali dilakukan adalah mengadvokasi mereka yang menjadi korban ketidakadilan sebelum memberdayakan mereka. Pemaknaan advokasi di pemberdayaan tidak hanya sebagai pembela yang menjadi korban, melainkan bersama-sama dengan masyarakat melakukan upaya-upaya perubahan sosial secara sistematis.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Swadaya Masyarakat adalah organisasi swasta yang secara umum bebas dari intervensi pemerintah. LSM didirikan dengan sebuah idealisme untuk memberikan perhatian terhadap isu-isu sosial, kemanusiaan, perbaikan kesejahteraan kelompok marginal, perlawanan terhadap kesenjangan dan kemiskinan. Menurut PBB, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah sebuah organisasi non pemerintah yang tidak mencari keuntungan materi, didirikan secara sukarela oleh masyarakat dengan skala lokal maupun internasional, serta bertujuan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat. LSM didirikan dengan tujuan-tujuan tertentu oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan pandangan. Lembaga Swadaya Masyarakat melakukan berbagai pelayanan dan fungsi kemanusiaan, menyampaikan keinginan warga Negara kepada pemerintah, memonitor implementasi kebijakan dan program, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan Negara. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan suatu organisasi kemasyarakatan yang dibentuk atas prakarsa masyarakat untuk membantu pelaksanaan program pembangunan. Istilah LSM secara tegas didefinisikan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8 tahun 1990 yang ditujukan kepada Gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi atau lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya. Dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan pasal 1, yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat WNI (Warga Negara Indonesia) secara suka rela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Masa Esa untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila. Menurut Philips J. Elridge, kelahiran LSM di Indonesia didorong oleh dua hal. Pertama,adanya upaya mencari model partisipasi dalam pembangunan sosial dan ekonomi yang memberikan penekanan lebih besar bagi masyarakat sendiri dalam menentukan kebutuhan dan meningkatkan kemampuan dalam mengelola kegiatan pembangunan secara mandiri. Kedua,adanya tuntutan kepada LSM sebagai katalisator bagi pengembangan nilai-nilai dan proses demokrasi dalam kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia secara lebih luas. Peter Hannan,
Universitas Sumatera Utara
seorang pakar ilmu-ilmu sosial dari Australia yang pernah melakukan penelitian tentang LSM di Indonesia pada tahun 1986, menyatakan bahwa LSM ialah organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan pembangunan pada level masyarakat bawah (grassroots), biasanya melalui penciptaan dan dukungan terhadap kelompok-kelompok swadaya lokal. Kelompok ini biasanya mempunya 20 sampai 50 anggota. Sasaran LSM adalah untuk menjadikan kelompokkelompok ini berswadaya setelah proyeknya berakhir. Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah yang disingkat Ornop atau ONP (bahasa Inggris non-governmental organization; NGO). Menurut Hadiwinata mengatakan bahwa LSM telah menjadi sektor ketiga, yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga Negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan sektor kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan. Sebagai sektor ketiga, LSM beroperasi diluar pemerintah dan pasar. Secara garis besar ciri-ciri LSM ataupun organisasi non pemerintah sebagai berikut : Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur.
Universitas Sumatera Utara
Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah. Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan (profit) kepada direktur atau pengurusnya. Menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar. Sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu. Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama. Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu. LSM lahir dalam konteks untuk mengimbangi peran dominatif negara. Tujuannya adalah untuk menjadi sparing partner pemerintah secara kritis dan memberdayakan masyarakat agar mereka memiliki kekuatan dalam bernegosiasi dan berjaringan guna menentukan masa depannya sendiri. Tidak jarang peran LSM cenderung radikal dan galak terhadap pemerintah lantaran kebijakan pembangunannya yang dianggap elitis. Peran LSM sering kali menjadi tumpuan dan harapan masyarakat yang hak-hak sosial politik dan ekonominya telah terampas. Sebaliknya, LSM tidak didirikan dengan tujuan untuk mendapatkan uang atau materi. Jika ada LSM yang proses pendiriannya dimotivasi oleh tujuantujuan materi, maka ia telah menyalahi kodratnya sebagai LSM.
(Zubaedi,
2013:89).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Anak Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara di masa mendatang. Menurut Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Right of The Child ), yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah setiap individu yang berusia dibawah 18 tahun. Sebaliknya, Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, batasan seseorang dapat dikatakan sebagai anak ialah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, disebut sebagai anak jika seseorang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah nikah. Selain itu dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 pasal 1 ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Abu Huraerah, 2007:31). 2.4. Anak Jalanan Istilah anak jalanan pertama sekali diperkenalkan di Amerika Selatatan (Brazil) dengan nama Menimos de Ruas untuk menyebutkan kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak memiliki ikatan dengan keluarga. Dalam diskusi
Universitas Sumatera Utara
Badan Koordinasi Kesejahteraan Sosial (1996), mendefinisikan anak-anak jalanan adalah anak-anak yang hidup dan bekerja di jalanan, ditinggalkan atau diterlantarkan, atau melarikan diri dari keluarga yang masih ada hubungan dengan keluarganya tetapi menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di jalan. Sedangkan menurut PBB, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain. Anak jalanan tidak jarang menghadapi resiko seperti pemerasan, perkelahian, kecelakaan dan kekerasan yang lain. Lebih dari itu, anak jalanan lebih mudah terpengaruh kebiasaan tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan penyalahgunaan obat. Anak jalanan pada umumnya berasal dari keluarga yang memiliki perekonomian yang lemah. Anak jalanan tumbuh dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan penganiayaan, kemiskinan dan hilangnya kasih sayang yang akhirnya membuat anak jalanan berperilaku negatif. Menurut Suyanto, munculnya anak jalanan memiliki penyebab yang tidak tunggal. Munculnya fenomena anak jalanan tersebut disebabkan oleh dua hal yaitu: Problema sosiologis, karena faktor keluarga yang tidak kondusif bagi perkembangan si anak. Misalnya, orang tua yang kurang perhatian kepada anak-anaknya, tidak ada kasih sayang dalam keluarga, diacuhkan dan banyak tekanan dalam keluarga serta pengaruh teman.
Universitas Sumatera Utara
Problema ekonomi, karena faktor kemiskinan anak terpaksa memikul beban ekonomi keluarga yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pengais sampah, dan sebagainya. Anak jalanan ini terutama beroperasi di perempatan jalan (traffic light). Jenis pekerjaan anak jalanan oleh Departemen Sosial RI (1998) dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu : 1. Usaha dagang yang terdiri dari pedagang asongan, penjual koran, majalah serta menjual sapu atau lap kaca mobil. 2. Usaha di bidang jasa yang terdiri dari pembersih bus, pengelap kaca mobil, pengatur lalu lintas, kuli angkut pasar, ojek payung, tukang semir sepatu dan kernek atau calo. 3. Pengamen, dalam hal ini menyanyikan lagu dengan berbagai macam alat musik seperti gitar, kecrekan, suling bambu, gendang, radio karaoke dan lain-lain. 4. Kerja serabutan yaitu anak jalanan tidak mempunyai pekerjaan tetap, dalam artian dapat berubah sesuai keinginan mereka. Hasil penyelidikan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dan Childhope, Philipina (1995), membagi dua kategori anak-anak jalanan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan penggunaan masa dan aktivitas yang mereka lakukan (Didin Saripudin, 2010:156): a. Anak yang bekerja di jalanan (children of the street). Anak-anak dalam kategori ini menghabiskan sebagian besar masanya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya untuk bekerja dan penghasilannya digunakan untuk membantu kehidupan keluarga. Sebagian besar anak jalanan yang termasuk dalam kategori ini masih berhubungan dengan orang tua, karena sebagian besar di antara anak-anak ini masih tinggal bersama orang tua. b. Anak-anak yang hidup di jalanan (children on the street). Anak jalanan yang termasuk dalam kategori ini menghabiskan sebagian besar masanya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya, tetapi hanya sedikit masa yang digunakan untuk bekerja. Anak jalanan dalam kategori ini jarang berhubungan dengan keluarganya dan mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindak kriminal serta penggunaan obat terlarang. Beberapa orang diantara anak jalanan ini tidak memiliki rumah tinggal (homeless), anak-anak ini hidup dan tinggal di jalanan mana saja. Selanjutnya Departemen Sosial RI dan UNDP (1997) menambahkan satu kategori lagi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
c. Anak yang rentan menjadi anak jalalan (vurnerable to be street children). Anak-anak yang masih tinggal dan berhubungan dengan keluarganya dan sebagian besar masih bersekolah. Dalam waktu luangnya (pulang sekolah), anakanak ini bekerja di jalanan dan penghasilannya digunakan untuk membiayai sekolah atau keluarganya. Beberapa karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan, diantaranya adalah : i. Kelihatan kumuh atau kotor, baik kotor tubuh maupun kotor pakaian. ii. Memandang orang lain yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang dapat dimintai uang. iii. Mandiri, artinya anak jalanan tidak terlalu menggantungkan hidupnya terutama dalam hal tempat tidur atau makan. iv. Mimik wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan. v. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik berbicara dengan siapaun selama di jalanan. vi. Malas untuk melakukan kegiatan anak “rumahan”, misalnya jadwal tidur selalu tak beraturan, mandi, membersihkan badan, dan sebagainya. Menurut Mohammad Farid, sebagian anak jalanan bertahan hidup dengan cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima, disebabkan
Universitas Sumatera Utara
tantangan kehidupan yang anak jalanan hadapi pada umumnya memang berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak kasus, anak jalanan sering hidup dan berkembang di bawah tekanan dan stigma atau cap sebagai pengganggu. Perilaku anak jalanan sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari stigma sosial dan keterasingan mereka dalam masyarakat. Tidak ada yang berpihak kepada mereka dan justru sebenarnya perilaku mereka mencerminkan cara masyarakat memperlakukan mereka (Bagong, 2010:190). Ada perbedaan perilaku sosial anak-anak jalanan yang hidup di jalanan dengan anak yang bekerja di jalanan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Perbedaan Anak Jalanan yang Hidup di Jalanan dan Anak yang Bekerja di Jalanan No
1
Aspek-aspek
Waktu
Anak yang hidup di
Anak yang bekerja di
jalanan
jalanan
24 jam
Temporal menurut jam kerja
2
3
Ruang hidup
Tempat tinggal
Semua fasilitas jalan dan
Tertentu sesuai tempat
public space
kerja
Jalanan dan public space
Ibu bapak, mengontrak atau di tempat kerja
4
Hubungan dengan Terputus
Pulang ke rumah setiap
orang tua
hari atau secara periodik
5
Latar belakang
Non ekonomi: kekerasan,
Ekonomi: mencari
penolakan, penyiksaan,
uang, membantu
perceraian
keluarga, memenuhi kebutuhan sendiri
6
Aktivitas
Berkeliaran dan berganti-
Aktivitas ekonomi:
ganti pekerjaan seperti
menyemir sepatu,
mengamen, mengemis,
mengasong, mengamen,
menyemir sepatu
menjual koran, mencuci bis dan lain-lain
7
Sifat hidup
Berpindah-pindah
Menetap
(nomaden) 8
Sikap
Curiga, susah diatur, liar,
Lebih lunak
reaktif, tertutup, bebas
Universitas Sumatera Utara
No
9
Aspek-aspek
Perilaku norma
Anak yang hidup di
Anak yang bekerja di
jalanan
jalanan
Mengembangkan nilai sub
Masih normatif
kultur jalanan untuk survival 10
Jenis masalah
Eksploitasi jenis pekerjaan, Biaya sekolah, seksual, kriminalitas,
kebutuhan keluarga,
kesehatan, dll
biaya hidup, pengaruh teman dan eksploitasi keluarga
11
Frekuensi masalah Sering dan banyak terjadi, kurang kontrol orang tua
Sering dan sedikit terjadi, masih ada bantuan orang tua/LSM
12
Motivasi kerja
Untuk hidup terus
Untuk memperoleh uang
13
Minat kembali
untuk Umumnya tidak berminat kepada
Masih tinggal dengan ibu bapak
keluarga Sumber: Modul YKAI – Dep – Sos. 1999 Departemen Sosial (2004), mengungkapkan cukup banyak anak yang mengalami tindakan kekerasan dengan dampak yang sangat mendalam bagi anak. Bentuk kekerasan tersebut bukan hanya secara fisik saja tetapi juga non-fisik.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2. Bentuk Kekerasan yang dialami Anak Jalanan dan Pelakunya No 1
Bentuk Kekerasan
Pelaku
Diancam, dimarahi,
Ayah kandung, sesama anak jalanan, anak
dimaki
jalanan senior, preman, supir, pengendara, polisi, petugas kamtib (Satpol PP)
2
Dipukuli/ditempeleng
Ayah kandung, ayah tiri, penculik, teman, petugas kamtib (Satpol PP), polisi
3
Digebuki/ditendang
Ibu kandung, ayah tiri, ibu tiri, kakak, anak jalanan, kernek, polisi, satpam
4
Dipalak
Anak jalanan, preman
5
Dikeroyok
Preman
6
Kepala dibenturkan ke
Ayah dan ibu
tembok 7
Disetrum
Satpam
8
Dieksploitasi ekonomi
Ibu kandung, penculik, pacar
9
Diganggu/dilecehkan
Orang lain, polisi
10
Disodomi
Orang dewasa, sesama anak jalanan
Sumber: Pemetaan dan Survei Sosial Anak Jalanan 1999 2.5. Kekerasan Kekerasan adalah bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun lebih dari seorang yang dapat mengakibatkan penderitaan pada pihak lain. Dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (15) butir a, menyatakan bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya
Universitas Sumatera Utara
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan UNICEF dalam Pedoman Rujukan Kasus Kekerasan Terhadap Anak, mendefinisikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk tindakan/perlakuan menyakitkan
secara
fisik
ataupun
emosional,
penyalahgunaan
seksual,
penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lainnya, yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kekerasan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 351 menjelaskan penganiayaan atau tindak kekerasan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain, dan setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan pada orang lain. Tindak kekerasan dapat dibagi dalam dua, yaitu : Kekerasan yang dialami di lingkungan sosial Kekerasan yang dialami anak pada lingkungan sosial kebanyakan merupakan penganiayaan atau child abuse, yaitu perilaku-perilaku yang dilakukan orangtua atau orang dewasa terhadap anaknya dan dianggap tidak wajar. Definisi mengenai child abuse ini biasanya ditentukan oleh empat faktor, yaitu pertama
Universitas Sumatera Utara
intensitas perilaku atau tindakan, kedua efek yang ditimbulkan pada diri anak, ketiga penilaian terhadap perilaku atau tindakan tersebut, dan keempat standar dimana penilaian itu dilakukan. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa pelaku penganiayaan terhadap anak adalah orang-orang sakit. Ada juga yang menyatakan bahwa penganiayaan adalah hasil dari ketidakpuasan orangtua, kurangnya pengendalian diri, tidak adanya konsep diri yang kuat, dan merupakan proyeksi penganiayaan sewaktu kanak-kanak. Penganiayaan terhadap anak adalah hasil dari masyarakat itu sendiri dan bukan sifat-sifat dari individu. Walaupun demikian, tidak ada budaya yang memperbolehkan perilaku-perilaku atau tindakan-tindakan yang mengakibatkan luka atau trauma secara fisik. Child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak, mulai dari pengabaian anak sampai pada pemerkosaan anak dan pembunuhan anak. Kekerasan yang dialami dalam keluarga (Domestic Violence) Kekerasan yang dialami dalam keluarga adalah kekerasan yang diterima anak dari orangtuanya, baik berupa kekerasan fisik atau mental. Pada umumnya kekerasan dalam keluarga yang diterima anak terjadi apabila ada penyalahgunaan kekerasan oleh mereka yang merasa memiliki kekuasaan lebih. Selain itu ada juga bentuk-bentuk kekerasan yang dibagi menjadi 4 kategori, sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a) Kekerasan fisik, merupakan setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang dan atau menyebabkan kematian. Misalnya, memukul, menampar, menendang, melukai dengan tangan kosong atau dengan alat, melempar barang ke tubuh korban, dan sebagainya. b) Kekerasan psikologis, merupakan setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, dan hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya pada seseorang. Misalnya, mengancam, berteriak-teriak, merendahkan, dan yang lainnya yang merupakan tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut. c) Kekerasan seksual, merupakan tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai oleh korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya. Misalnya, memaksa berhubungan seks dengan korban tanpa persetujuan, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan yang mengarah pada aspek jenis kelamin korban, dan sebagainya. d) Kekerasan ekonomi, merupakan tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang, serta membiarkan korban bekerja untuk
Universitas Sumatera Utara
dieksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga. Misalnya, mengambil uang korban secara paksa, mengawasi pengeluaran uang sampai sekecilkecilnya, semuanya dengan maksud hanya untuk dapat mengendalikan tindakan korban. 2.6. Teori Konflik Teori konflik adalah suatu pandangan bahwa masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dimana komponen ini saling menaklukkan satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan bagi kepentingan diri sendiri maupun kelompok. Konflik berasal dari bahasa Latin yaitu con yang berarti bersama dan figere, yang artinya benturan atau tabrakan (saling memukul). Menurut Soerjono Soekanto, konflik merupakan suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan. Kekerasan terjadi dikarenakan tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan, baik itu dari kekerasan yang terkecil hingga peperangan. Konflik merupakan gejala sosial yang selalu hadir dalam kehidupan sosial, artinya konflik akan senantiasa hadir dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan, karena dalam masyarakat menapun pasti
Universitas Sumatera Utara
pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Menurut teori konflik, masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan, setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik, setiap elemen dalam masyarakat menyumbang pada disintegrasi dan perubahan sosial, serta setiap keteraturan yang terdapat di dalam masyarakat didasarkan atau berasal dari paksaan atas beberapa anggotanya oleh orang lain. Teoritisi konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat (Wirawan, 2012:74). Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang seharusnya menjadi permasalahan
bukanlah
bagaimana
meredam
konflik,
tetapi
bagaimana
menanganinya secara tepat sehingga tidak menghancurkan hubungan antar pribadi, bahkan menghancurkan tujuan organisasi. Ralf Dahrendorf mengatakan bahwa ada empat jenis konflik, yaitu: a) Konflik antar atau yang terjadi dalam peranan sosial yang biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapan-harapan yang berlawanan dari bermacammacam peranan yang dimilikinya. b) Konflik antara kelompok-kelompok sosial. Misalnya antar keluarga atau antar gank.
Universitas Sumatera Utara
c) Konflik
antara
kelompok-kelompok
yang
terorganisir
dan
tidak
terorganisir. Misalnya, polisi yang melawan massa. d) Konflik antara satuan nasional. Seperti antar partai politik, antar negara, atau organisasi internasional. Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan tekanan (Ritzer, 2014:148). Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, seseorang tidak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya. Sebaliknya konflik dapat mengarahkan konsensus dan integrasi. Menurutnya, masyarakat disatukan oleh ‘ketidakbebasan’ yang dipaksakan (kekuatan pemaksa). Dengan demikian posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas (wewenang) terhadap posisi yang lain. Kekuasan diartikan sebagai kemampuan untuk memaksakan kemauan seseorang meskipun mendapatkan perlawanan, sedangkan otoritas diartikan sebagai hak yang sah untuk mengharapkan kepatuhan dari seseorang. Otoritas
Universitas Sumatera Utara
tidak terletak dalam individu, tetapi dalam kedudukan dan kewenangan. Otoritas yang melekat pada posisi adalah elemen kunci dalam analisis Dahrendorf. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengontrol atau mengendalikan orang yang berada di bawahnya. Mereka berkuasa karena harapan orang-orang di sekelilingnya, bukan karena karakteristik/ciri-ciri psikologis mereka. Seperti otoritas, harapan ini melekat pada posisi (kedudukan) bukan pada orangnya (Maliki, 2012:237). Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka yang tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di dalam masyarakat. Karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada hak yang menentang. Menurutnya, otoritas tidak konstan karena terletak dalam posisi bukan di dalam diri orangnya (Ritzer, 2014:150). Banyak faktor telah menyebabkan terjadinya konflik, diantarnya: •
Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik-konflik antar individu. Dalam konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian dan masing-masing pihak berusaha membinasakan lawannya. Membinasakan tidak selalu harus diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujuinya. Kenyataannya bahwa setiap individu tidak satu pun memiliki karakter
Universitas Sumatera Utara
yang sama, sehingga perbedaan pendapat, keinginan dan tujuan dapat memperngaruhi munculnya timbulnya sosial. •
Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi dapat juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan polapola kepribadian dan pola-pola perilaku yang berbeda dikalangan khalayak kelompok yang luas, sehingga apabila terjadi konflik karena alasan ini, kemungkinan besar konflik tersebut akan bersifat luas dan karenanya dapat bersifat konflik antar kelompok.
•
Kepentingan-kepentingan
yang
berbeda-beda.
Mengejar
tujuan
kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana (Narwoko, 2004:68). Konflik tidak selamanya berdampak negatif seperti keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai, kerusakkan harta benda, bahkan hilangnya jiwa manusia. Adapun konflik juga memiliki fungsi, antara lain (a) konflik dapat dipakai sebagai indikator kekuatan dan stabilitas suatu hubungan, (b) konflik tidak selalu berakhir dengan rasa permusuhan, (c) meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kolompok lain. (d) mempunyai fungsi komunikasi, dan (e) mengaktifkan peranan individu yang
Universitas Sumatera Utara
semula terisolasi. Apabila terjadi pertentangan antara dua kelompok yang berlainan, individu-individu akan mudah untuk mengubah kepribadiannya untuk mengidentifikasikan dirinya secara penuh dengan kelompoknya (Soetomo, 2008:105). Menurut Nasikun, ada beberapa bentuk-bentuk pengendalian konflik diantaranya: 1) Konsiliasi. Pengendalian ini dapat terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. 2) Mediasi. Bentuk ini dilakukan bila dari kedua belah pihak yang bersengketa/berkonflik nasihatnya
tentang
bersama-sama bagaimana
sepakat
mereka
untk
sebaiknya
memberikan menyelesaikan
pertentangan mereka. 3) Arbitrasi yang berarti melalui pengadilan dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang hakim (arbiter) memberi keputusan yang mengikat kedua pihak yang bersengketa, yang artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, maka
Universitas Sumatera Utara
ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai kepada instansi pengadilan nasional yang tertinggi. 4) Perwasitan.
Di
dalam
bertentangan/berkonflik
hal
ini
bersepakat
kedua untuk
belah
pihak
memberikan
yang
keputusan-
keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka. 2.7. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penelitian yang berjudul “Peran Lembaga Advokasi Anak dalam mendampingi korban eksploitasi seksual komersial anak di Bandar Lampung”, yang ditulis oleh Elfira Susanty (Alumni Sosiologi FISIP Universitas Lampung) dan Endry Fatimaningsih (Staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Lampung). Dalam penelitian ini, peranan Lembaga Advokasi Anak dalam upaya perlindungan anak dibagi menjadi tiga kategori yaitu pertama, advokasi kebijakan perlindungan anak, dimana mereka mendorong pemerintah daerah Bandar Lampung untuk mengembangkan peraturab-peraturan daerah untuk mewujudkan oemenuhan hak-hak anak. Kedua, memberikan pendampingan terhadap anak korban kekerasan baik yang terlibat dalam hukum maupun tidak, serta memberikan pelatihan keterampilan kerja. Dan yang terakhir adalah penguatan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Faktor utama mengapa pentingnya peranan Lembaga Advokasi Anak dalam mendampingi anak korban kekerasan di Bandar Lampung karena tidak adanya strategi khusus yang dilakukan pemerintah dalam menangani anak-anak korban kekerasan ini sehinggan semakin banyaknya anak di Bandar Lampung yang menjadi korban. Selain perlindungan litigasi atau perlindungan hukum, bentuk pendampingan non litigasi juga dilakukan dan menjadi fokus utama Lembaga ini yaitu, (a) Fisik, metujuk korban ke Unit Pelayanan Terpadu Penanganan Korban Tindak Kekerasan, (b) Shelter (rumah aman), jika korban dianggap tidak aman untuk tetap berada dilingkungannya maka korban dirujuk ke rumah aman, (c) Psikis, berupa konseling psikologis dan sosiologis. Terapi psikologis dilakukan untuk meminimalisir gangguan psikologis yang muncul akibat kekerasan yang dialami anak, sedangkan terapi sosiologis bertujuan untuk membantu anak menghilangkan rasa malu terhadap stigma negatif yang didapatnya dari lingkungan. Di dalam mendampingi anak, LSM ini melakukan strategi khusus yang digunakan dalam proses pendampingan dilakukan dengan pendekatan secara emosional, hal ini dilakukan untuk mendapatkan kepercayaan anak terhadap mereka. Setelah mendapatkan kepercayaan, maka anak akan mau untuk mengikuti semua layanan yang diberikan oleh LSM. Proses selanjutnya yaitu pembinaan. Pembinaan yang dilakukan berupa layanan pendidikan.
Universitas Sumatera Utara