BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lanjut Usia
2.1.1
Pengertian Lanjut Usia Menurut pasal 1 ayat (2) UU No. 13 Tahun 1998 menyebutkan bahwa
lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Menurut WHO batas-batas lanjut usia meliputi : usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45 sampai usia 59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu kelompok usia antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu antara kelompok usia 75 sampai usia 90 tahun, usia sangat tua (very old) yaitu kelompok usia di atas 90 tahun.
2.1.2
Proses Penuaan Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari dimana
proses ini berjalan terus menerus dan berkesinambungan. Proses penuaan ini akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh sehingga akan mempengaruhi perubahan kemampuan dan fungsi tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2001). Proses penuaan merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan
kemampuan
jaringan
untuk
memperbaiki
dirinya
dan
untuk
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak mampu bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang terjadi (Maryam dkk, 2012).
9
10
2.1.3 Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lansia akibat dari proses menua, meliputi perubahan pada sel, sistem persyarafan, kardiovaskuler, pengaturan temperatur tubuh, respirasi, perkemihan, endokrin (Ismayadi, 2004). Perubahan yang terjadi pada sel adalah menurunnya jumlah sel dan ukuran dari sel tersebut akan membesar dari bentuk sebelumnya. Pada lansia akan mengalami pengurangan jumlah cairan dalam tubuh dan berkurangnya cairan intraselular (Maryam dkk, 2012). Lansia juga mengalami perubahan pada sistem persyarafan yaitu mengecilnya saraf panca indra sehingga akan menyebabkan fungsi saraf panca indra terganggu. Gangguan yang terjadi seperti berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, saraf penciuman dan perasa mengalami penurunan, dan kulit lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan rendahnya ketahanan terhadap dingin. Selain itu saraf panca indra ini juga lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya terhadap stress (Ismayadi, 2004). Penambahan usia tidak menyebabkan jantung mengecil (atrofi) seperti organ tubuh lain, tetapi malahan terjadi hipertropi. Pada umur 30-90 tahun massa jantung bertambah (± 1gram/tahun pada laki-laki dan ± 1,5 gram/tahun pada wanita) (Gunawan, 2009). Proses menua juga menyebabkan terjadinya perubahan pada sistem kardiovaskuler yaitu terjadi penurunan pada elastisitas dinding aorta sehingga akan menyebabkan tekanan pada dinding aorta akan semakin tinggi. Katup jantung mengalami penebalan dan menjadi kaku sehingga menyebabkan terdengarnya bising sistolik ejeksi pada usia lanjut (Gunawan, 2008). Kemampuan
11
jantung untuk memompa darah mengalami penurunan sehingga menyebabkan menurunnya kontraksi dan menurunnya volume darah yang mengalir ke seluruh tubuh. Sedikitnya volume darah yang mengalir ke seluruh tubuh akan mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan darah akibat dari resistensi pembuluh darah perifer (Ismayadi, 2004). Perubahan yang terjadi pada sistem pengaturan temperatur tubuh adalah terjadinya penurunan temperatur tubuh sebagai akibat dari metabolisme yang menurun. Perubahan pada temperature tubuh ini juga terjadi karena tubuh tidak dapat memproduksi panas akibat aktivitas otot menurun dan keterbatasan refleks menggigil (Ismayadi, 2004). Perubahan yang terjadi pada sistem pernafasan yaitu otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan otot-otot pernafasan juga menjadi kaku. Elastisitas paruparu mengalami penurunan sehingga menyebabkan kapasitas pernafasan maksimum menurun. Selain itu kedalaman bernafas juga menurun, alveoli ukurannya melebar tetapi jumlahnya berkurang dan kemampuan untuk batuk berkurang (Maryam dkk, 2012). Perubahan pada sistem perkemihan adalah terjadi atrofi pada nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %. Penurunan aliran darah ke ginjal terjadi karena adanya penyempitan pembuluh darah pada lansia tersebut. Selain itu otot-otot vesika urinaria juga mengalami kelemahan sehingga frekuensi buang air kecil akan meningkat dan pada pria dapat terjadi retensi urin (Ismayadi, 2004). Perubahan pada sistem endokrin adalah terjadi penurunan produksi semua hormon, penurunan produksi aldosteron, menurunnya sekresi hormon kelamin,
12
dan penurunan aktivitas tyroid, Basal Metabolic Rate (BMR), kemampuan pertukaran zat (Ismayadi, 2004).
2.2
2.2.1
Tekanan Darah
Pengertian Tekanan Darah Tekanan darah merupakan kekuatan lateral pada dinding arteri oleh darah
yang didorong dengan tekanan dari jantung (Potter & Perry, 2005). Tekanan darah dipengaruhi oleh dua faktor yaitu volume darah dan elastisitas pembuluh darah. Apabila terjadi peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh peningkatan volume darah atau penurunan elastisitas pembuluh darah, dan apabila terjadi penurunan tekanan darah dapat disebabkan oleh penurunan volume darah (Ronny dkk, 2008).
2.2.2 Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah Terdapat mekanisme tubuh yang dapat mengubah tekanan darah seperti mengubah kekuatan dan frekuensi kontraksi jantung untuk memompa darah dalam sirkulasi, mengubah diameter pembuluh darah, dan dengan mengubah volume darah dalam sirkulasi.
Proses-proses tersebut dikontrol secara otomatis dan
dipertahankan keseimbangannya oleh saraf-saraf otonom dan ginjal. Sistem saraf otonom terbagi menjadi dua bagian yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis (Bryan Williams, 2007). Sistem saraf simpatis mempunyai neurotransmitter yaitu noradrenalin dan adrenalin, dimana noradrenalin akan berikatan dengan beta-adrenoreseptor yang merupakan reseptor spesifik yang terdapat di otot jantung. Sehingga jantung akan
13
memberi respon dengan meningkatkan kontraksi dan frekuensi denyut jantung sehingga tekanan darah akan meningkat. Sedangkan sistem saraf parasimpatis akan menurunkan frekuensi denyut jantung dan arteri berdilatasi sehingga menurunkan tekanan darah. Pengontrolan dari tekanan darah dideteksi oleh baroreseptor, dimana jika tekanan darah terlalu tinggi atau terlalu rendah baroreseptor akan mengirim sinyal ke jantung dan pembuluh darah lain untuk memperbaiki keadaan ke kondisi normal (Bryan Williams, 2007). Ginjal juga ikut berperan dalam pengaturan tekanan darah yaitu yang pertama dengan menjaga cairan dalam tubuh dengan mengatur jumlah garam dan air yang dikeluarkan melalui urin. Yang kedua dengan sistem renin-angiotensin. Renin adalah enzim yang bekerja pada angiotensinogen dan mengubahnya menjadi angiotensin I yang belum aktif. Kemudian angiotensin I akan dirubah menjadi angiotensin II yang aktif oleh ACE (angiotensin converting enzyme). Angiotensin II akan meningkatkan tekanan darah dengan bekerja langsung pada pembuluh darah dan dengan merangsang kelenjar adrenal untuk menghasilkan hormon aldosteron. Aldosteron akan membuat ginjal menahan natrium sehingga air akan tertarik melalui osmosis sehingga akan menyebabkan peningkatan tekanan darah (Bryan Williams, 2007).
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Tekanan Darah Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi tekanan darah antara lain : usia, stress, ras, medikasi, variasi diurnal, dan jenis kelamin (Potter & Perry, 2005).
14
a. Usia Berdasarkan usia tingkat normal tekanan darah sangat bervariasi. Tekanan darah pada bayi, anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia berbeda tingkat normal tekanan darahnya. Pada lansia akan terjadi peningkatan tekanan darah berhubungan dengan penurunan elastisitas dari pembuluh darahnya. b. Stress Stres, kecemasan, takut dan nyeri dapat mengakibakan terjadinya stimulasi simpatik yang dimana stimulasi simpatik ini dapat meningkatkan frekuensi darah, curah jantung dan tahanan vaskuler perifer sehingga akan meningkatkan tekanan darah. c. Ras Frekuensi terjadinya tekanan darah tinggi pada orang Afrika Amerika lebih tinggi dibandingkan dengan denga orang Eropa Amerika. Genetik dan lingkungan merupakan salah satu faktor yang diyakini yang menyebabkan populasi ini menderita tekanan darah tinggi. d. Medikasi Terdapat beberapa medikasi yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi tekanan darah, seperti analgesik narkotik dan antihipertensi yang dapat menurunkan tekanan darah. e. Variasi Diurnal Tekanan darah biasanya pada pagi hari akan rendah kemudian secara berangsur-angsur akan meningkat pada pagi menjelang siang dan sore, dan
15
puncaknya pada sore dan malam hari. Ini menandakan bahwa tingkat tekanan darah akan mengalami perubahan sepanjang hari. f. Jenis Kelamin Jenis kelamin pria akan cenderung memiliki tekanan darah yang lebih tinggi seteleh pubertas, sedangkan pada wanita cenderung memilki tekanan darah yang lebih tinggi setelah menopause. Namun secara klinis tidak ada perbedaan yang signifikan dari tekanan darah pada pria dan wanita (Potter & Perry, 2005).
2.2.4 Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan darah pada orang dewasa diklasifikasikan menjadi tekanan darah normal, prehipertensi, hipertensi derajat satu, dan hipertensi derajat dua menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII).
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC VII Klasifikasi Normal Prehipertensi Hipertensi tahap I Hipertensi tahap II
Tekanan darah sistolik (mmHg) < 120 120-139 140-159 ≥ 160
Tekanan darah Diastolik (mmHg) dan < 80 atau 80-89 atau 90-99 atau ≥ 100
2.2.5 Pengukuran Tekanan Darah Pengukuran tekanan darah arteri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung maupun tidak langsung. Metode langsung merupakan tindakan invasif yaitu dengan melakukan insersi kateter kecil ke dalam arteri kemudian menghubungkannya dengan alat pemantau elektronik. Kemudian monitor akan
16
menampilkan gelombang dan bacaan tekanan arteri secara otomatis, tetapi pemantauan tekanan darah secara invasive ini hanya digunakan pada situasi perawatan intensif. Sedangkan metode tidak langsung atau non invasif paling sering menggunakan sfignomanometer dan stetoskop (Potter & Perry, 2005). Metode tidak langsung menggunakan dua cara yaitu palpasi yang dapat mengukur tekanan sistolik dan auskultasi yang dapat mengukur tekanan sistolik dan diastolik. Metode palpasi dilakukan dengan meletakkan tangan pada posisi terlentang kemudian pasang manset pada lengan kanan atau kiri sekitar 3cm di atas fossa cubiti. Kemudian tentukan denyut nadi arteri radialis lalu satu tangan mengembungkan manset sampai 30 mmHg diatas titik dimana tidak terabanya denyut nadi arteri radialis. Manset kemudian dikempiskan secara perlahan dan catat mmHg pada manometer saat pertama kali denyut nadi teraba kembali. Dan nilai ini menunjukkan tekanan sistoliknya secara palpasi (Hidayat, 2005). Metode dengan auskultasi dilakukan dengan meletakkan manset diatas nadi brakialis. Kemudian satu tangan meraba arteri brakialis dan satu tangan lagi mengembungkan manset dengan cepat sampai 30 mmHg diatas titik dimana denyut nadi tidak teraba. Kempiskan manset dan tunggu sampai 30 detik. Letakkan diafragma diatas arteri brakialis dan kembungkan manset lagi dan kemudian lepaskan secara perlahan dan akan terdengar tekanan darah sistolik dan diastolik (Potter & Perry, 2005). Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan dengan beberapa posisi tubuh seperti : duduk, berbaring, dan berdiri. Pada saat berbaring tekanan darah akan lebih rendah karena arah peredaran tersebut horisontal sehingga tidak terlalu
17
melawan gravitasi dan tidak terlalu memompa. Pada saat duduk maupun berdiri kerja jantung dalam memompa darah akan lebih keras karena melawan gaya gravitasi sehingga kecepatan denyut jantung meningkat. Hal ini karena ada efek gravitasi bumi (Wiliam, 2007).
2.2.6
Patofisiologi Tekanan Darah Tinggi pada Lanjut Usia Peningkatan tekanan darah sistolik maupun tekanan darah diastolik terjadi
sesuai dengan meningkatnya umur. Tekanan darah sistolik meningkat secara progresif sampai umur 70-80 tahun, sedangkan tekanan darah diastolik meningkat sampai umur 50-60 tahun. Perubahan tekanan darah ini mencerminkan adanya pengkakuan dari pembuluh darah dan penurunan elastisitas dari arteri (Kuswardhani, 2006). Proses menua menyebabkan penebalan pada dinding aorta dan pembuluh darah besar sehingga akan menyebabkan penurunan elastisitas dari aorta dan pembuluh darah sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah. Penurunan elatisitas pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi vaskuler perifer sehingga akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah (Kuswardhani,2006). Sistem baroreseptor merupakan sistem yang sangat penting dalam meregulasi tekanan darah. Pada saat terjadi penurunan tekanan darah maka refleks baroreseptor akan menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis yang akan meningkatkan output jantung dan meningkatkan resistensi vaskuler dengan cara vasokontriksi untuk menaikkan tekanan darah dan sebaliknya jika tekanan darah meningkat, refleks baroreseptor akan merangsang sistem saraf parasimpatis yang
18
mengakibatkan penurunan dari output jantung dan vasodialtasi pembuluh darah (Ronny dkk, 2008). Pada lanjut usia terjadi penurunan sensitivitas baroreseptor sehingga akan menyebabkan kegagalan refleks postural sehingga mengakibatkan hipertensi pada lanjut usia tetapi juga sering terjadi hipotensi ortostastik (Kuswardhani, 2006).
2.3 Penatalaksanaan Tekanan Darah Tinggi Penatalaksanaan tekanan darah tinggi secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu: 2.3.1
Penatalaksanaan secara farmakologis Golongan obat anti hipertensi yang banyak digunakan adalah diuretic tiazid
(misalnya: bendroflumetiazid), beta blocker (misalnya: propanolol, atenolol), penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya: captopril, enalapril), antagonis angiotensin II (misalnya: candesartan, lozartan), calcium channel blocker (misalnya: amlodipin, nifedipin), dan alpha blocker (misalnya: doksasozin). 2.3.2
Penatalaksanaan secara non farmakologis Penanganan secara nonfarmakologis sebenarnya memiliki peranan yang
sama dengan penanganan secara farmakologis, terutama pada hipertensi derajat I. Pada hipertensi derajat I ini terapi nonfarmakologis kadang-kadang dapat menurunkan tekanan darah sehingga terapi farmakologis dapat ditunda atau tidak diperlukan
lagi.
Dan
apabila
obat
antihipertensi
diperlukan,
terapi
nonfarmakologis dapat dipakai sebagai terapi pelengkap untuk mendapatkan hasil pengobatan yang lebih baik (Sugiharto, 2007).
19
Penanganan secara non farmakologis terdiri dari: a. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok karena asap rokok diketahui dapat menurunkan aliran darah ke berbagai organ sehingga dapat meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu penderita hipertensi juga harus mengurangi asupan alkohol dan mengurangi mengkonsumsi makanan berlemak b. Olahraga dan aktivitas fisik Olahraga dan aktivitas fisik yang teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah dan juga menjaga kebugaran tubuh. Olahraga seperti berenang dan jogging baik dilakukan oleh penderita hipertensi dan olahraga ini dianjurkan untuk dilakukan secara teratur minimal 3 kali seminggu. Olahraga raga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah. c. Perubahan pola makan Penderita hipertensi harus dapat mengubah pola makannya dengan mengurangi asupan garam. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol perhari yaitu dengan tidak menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam. Selain mengurangi asupan garam, pengurangan mengkonsumsi lemak jenuh juga dianjurkan terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh yang berasal dari minyak sayuran dan biji-bijian.
20
Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak juga dianjurkan untuk penderita hipertensi karena dalam sayuran dan buah-buahan banyak mengandung mineral-mineral yang bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah. d. Menghilangkan stres Stres yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menjadi tetap tinggi. Cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan stress yaitu dengan melakukan perubahan pada kehidupan rutin sehari-hari dapat meringankan beban stres. e. Terapi komplementer Terapi komplementer bersifat terapi pengobatan secara ilmiah. Menurut The National Institute of Health pengobatan alternative dan komplementer dibagi menjadi: terapi biologi dengan menggunakan herbal dan diet-diet khusus, terapi energy seperti: reiki, prana dan sentuhan terapi, metode manipulasi tubuh seperti: akupresur, dan refleksiologi, mind-body medicine. Jenis-jenis dari mind-body medicine seperti: meditasi, biofeedback, music dan humor, dan pendekatan medis yang berbasis sistem kedokteran Barat dan kedokteran Timur seperti: akupuntur dan ayurweda (Cahyono, 2011).
2.4 Terapi Komplementer Rebusan Seledri
2.4.1 Definisi seledri Seledri yang dikenal dengan nama ilmiah Apium Graveolens L. adalah tumbuhan yang memiliki daun yang majemuk, berpangkal pada batang dan
21
berujung runcing. Daun seledri memiliki panjang 2-7.5cm dan lebar 2-5cm, pertulangan daun menyirip dan berwarna hijau atau hijau keputih-putihan. Seledri memiliki batang yang tidak berkayu, bersegi,beralur, beruas dan bercabang tegak dengan warna hijau pucat. Bunga seledri majemuk, berbentuk payung dengan tangkai 2 cm berjumlah 8-12, benang sari berjumlah 5, berlepasan, berseling dengan mahkota dan ujungnya runcing. Mahkotanya terbagi lima dan bagian pangkal berlekatan berwarna putih. Saeledri memilki buah berbentuk kerucut dengan panjang 1-1,5 mm dan berwarna hijau kekuningan serta seledri berakar tunggang dengan warna putih kotor (Naturakos, 2008). Tumbuhan seledri ini biasanya banyak ditanam di sawah atau ladang dan tumbuhan ini menyukai tempat yang lembab dengan udara yang sejuk (Soenanto, 2009). Tumbuhan seledri terdiri dari dua yaitu seledri tangkai dan seledri umbi. Seledri tangkai ditandai dengan tangkai daun yang tebal berisi, dan biasanya lebih besar serta lebih tinggi dibandingkan dengan seledri jenis lainnya, sedangkan seledri umbi ditandai dengan umbi yang bulat dengan diameter umbi rata-rata 10 cm (Dalimartha, 2008).
2.4.2 Kandungan Seledri Dalam seledri banyak mengandung minyak menguap seperti limonene, myrcene, β-selinene, carveol, dihydrocarvone, geranyl acetate, dan senyawa pthalide yang memberikan bau aromatik yaitu 3-butyliden pthalid, 3-butyl pthalid, dan 3-isobutyliden dihydrophthalid. Selain itu seledri juga mengandung senyawa flavonoid
apiin,
apigenin,
luteosin-7-O-apiosyl
glucoside
dan
senyawa
22
furanocoumarin seperti bergaptene, xanthotoxin, dan isopimpinelin (Naturakos, 2008). Seledri dilaporkan dapat menyebabkan reaksi fotosensitivitas, ini dikaitkan karena dalam seledri terkandung senyawa furanocoumarin yang memiliki sifat photosensiting. Dan senyawa ini ditemukan pada batang seledri dan konsentrasi senyawa ini akan meningkat apabila batang seledri tersebut rusak. Selain itu seledri juga dapat menyebabkan dermatitis angioderma dan urtikaria apabila kulit kontak dengan seledri. Untuk meminimalkan efek samping dosis pemberian seledri harus dengan tepat. Untuk biji seledri yang dikeringkan dapat digunakan 0,5-2,0 gram kemudian direbus dengan perbandingan 1 : 5, kemudian diminum 3 kali sehari (Barnes, J. Anderson, L.A.& Philipson, J.D, 2007). Dosis rebusan seledri untuk tekanan darah tinggi : 100 gram batang seledri beserta daunnya direbus dengan 400 mL air sampai air yang tersisa 300 mL lalu disaring, kemudian minum 2 kali sehari separuhnya (Hariana, 2006). Pemberian seledri bersamaan dengan pengobatan lain harus dipersiapkan dengan baik terutama kombinasi seledri dengan pengobatan yang sama atau memiliki efek yang berlawanan harus dipertimbangkan. Selain itu seledri juga tidak dapat diberikan pada ibu yang sedang dalam kehamilan atau dalam fase menyusui (Barnes, J. Anderson, L.A. & Philipson, J.D, 2007).
2.5 Pengaruh Rebusan Seledri terhadap Tekanan Darah Kandungan mineral yang terdapat dalam seledri yaitu kalium dan magnesium dapat mempengaruhi tekanan darah melalui penurunan retensi garam natrium. Kandungan kalium yang tinggi dalam seledri dapat membersihkan darah
23
sehingga distribusi oksigen akan lancar menuju jaringan. Selain itu seledri juga mengandung pthalides dan arginin, yang merupakan asam amino nonesensial yang bersifat diuretic sehingga dapat menurunankan tekanan darah (Naturakos, 2008). Dr. William J. Elliot, berhasil mengisolasi senyawa pada seledri yang dapat menurunkan tekanan darah. Senyawa itu adalah 3-n-butyphtalida yang memberi aroma harum. Beliau memperkirakan seledri membantu menurunkan tekanan darah karena mampu menekan konsentrasi hormone stres sehingga pembuluh darah kembali melebar. Ahli lain menyatakan kandungan yang terdapat pada seledri yang dapat membantu untuk menurunkan tekanan darah adalah senyawa aktif apigenin yang mirip calcium antagonist seperti yang terdapat pada obat hipertensi yang sangat bermanfaat untuk mencegah penyempitan pembuluh darah dan tekanan darah tinggi (Rahmawati, 2012). Penelitian Zulhafni (2011) menjelaskan bahwa kandungan yang ada dalam seledri seperti 3-n-butylpthalide atau pthalides berfungsi untuk merelaksasikan dan melemaskan otot-otot halus pembuluh darah dan menurunkan hormon stress dalam darah. Dalam penelitian ini juga menyatakan seledri dapat berfungsi sebagai diuretik dan kaya akan kalium dan magnesium. Selain itu zat warna klorofil dalam seledri mengandung antioksidan sehingga dapat digunakan sebagai anti imflamasi.