BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Lanjut Usia Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut undang-undang nomor 4 tahun 1945, lansia adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun, namun tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000). Berdasarkan pengertian lanjut usia secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun keatas (Effendi dan Makhfudli,2009). Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi,1999). Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4), undangundangnomor 13 tahun 1998 tentang kesehatan pendidikan dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Usia lanjut adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang dimulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup (Darmojo, 2004).Batasanbatasan pada lansia menurut WHO adalah middle age (usia pertengahan) yaitu kelompok usia 45-59 tahun, elderly yaitu antara 60-74 tahun, old yaitu antara 75-90 tahun, very old yaitu lebih dari 90 tahun. Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia
membuat
pengelompokkan lansia menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pertengahan umur adalah kelompok usia dalam masa virilitas, yaitu masa persiapan lansia yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-54
7 Universitas Sumatera Utara
8
tahun).Kelompok usia dini adalah kelompok dalam masa prasenium, yaitukelompok yang mulai memasuki lansia (55-64 tahun) dan kelompok lansia dengan risiko tinggi ialah kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok lansia yang hidup sendiri, terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat atau cacat.
2.2. Perubahan-perubahan Yang Terjadi Pada Lansia Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, sosial dan psikologis. Perubahan fisik yang terjadi pada sel adalah jumlah sel berkurang, ukuran membesar, cairan intraseluler menurun. Pada sistem kardiovaskular katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat. Pada sistem respirasi otot-otot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik nafas lebih berat, kemampuan batuk menurun. Sistem persarafan pancaindra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress. Pada sistem muskuloskeletal cairan tulang menurun/mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis) dan atrofi otot. Sistem gastrointestinal esofagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun dan peristaltik menurun sehingga daya absorpsi juga ikut menurun
Universitas Sumatera Utara
9
serta berkurangnya produksi hormon dan enzim. Pada sistem pendengaran membran timfani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Pada sistem penglihatan, respon terhadap sinar menurun, akomodasi menurun dan lapangan pandang menurun. Mengalami penurunan elastisitas pada kulit serta mengalami penurunan memori. Perubahan sosial yang terjadi pada lansia beberapa diantaranya adalah perubahan peran dimana lansia mengalami kesepian ketika ditinggal pasangannya, berada di rumah terus-menerus akan membuat lansia cepat pikun, berkurang aktivitas sosialnya akibat penurunan aktivitas. Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory, frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi dan kecemasan.
2.3.Faktor Yang Mempengaruhi Pemenuhan Kebutuhan Gizi Pada Lansia Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi lansia dalam pemenuhan gizi adalah : 1. Usia Seiring pertambahan usia, kebutuhan zat gizi karbohidrat dan lemak menurun, sedangkan kebutuhan protein, vitamin dan mineral meningkat. Hal ini dikarenakan ketiganya berfungsi sebagai antioksidan untuk
melindungi
sel-sel
tubuh
dari
radikal
bebas
(Fatmah,2010).Semakin tinggi usia lansia maka akan semakin rentan mengalami masalah kesehatan karena
adanya faktor-faktor penuaan.
Beberapa penurunan fungsi yang terkait dengan proses pencernaan lansia
Universitas Sumatera Utara
10
adalah menurunnya indra pengecap dan penciuman, tanggalnya gigi, kesulitan mengunyah dan menelan, dan penurunan asam lambung (Fatmah, 2010). 2. Jenis kelamin Fatmah (2010) menjelaskan bahwa laki-laki lebih banyak memerlukan kalori, protein, dan lemak. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat aktivitas fisik pada laki-laki dan perempuan. 3. Perawatan Mulut Yang Tidak Adekuat Perawatan mulut yang tidak adekuat dapat mempengaruhi lansia dalam
memenuhi
kebutuhan
gizinya.
Ketidakbersihan
mulut
menyebabkan gigi dan gusi kerap terinfeksi, yang akan mempengaruhi lansia dalam merasakan cita rasa makanan. Faktor yang menyebabkan tidak adekuatnya perawatan gigi adalah tingkat ekonomi yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya transportasi, kurangnya perawatan gigi dan mahalnya pelayanan perawatan gigi (Miller, 2004). 4. Gangguan fungsional dan proses penyakit Meningkatnya usia menyebabkan seseorang menjadi rentan terserang penyakit. Penyakit-penyakit tertentu sering menyebabkan keadaan gizi menjadi buruk. Misalnya penyakit diabetes melitus umumnya mempunyai berat badan dibawah batas normal, diakibatkan oleh defisiensi zat besi.Penyakit lain yang diderita lansia adalah osteoporosis yang mengalami defisiensi kalsium yang berlangsung secara perlahan-lahan, penyakit hipertensi yang cenderung mengalami defisiensi
Universitas Sumatera Utara
11
vitamin c, penyakit artritis yang paling umum dialami oleh lansia selanjutnya diikuti gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan.Hal ini menunjukkan bahwa penyakit yang diderita seorang lansia sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kebutuhan zat gizi di dalam tubuhnya (Wirakusumah, 2001). 5. Efek pengobatan Bertambahnya usia identik dengan ketergantungan obat. Pada dasarnya, pengobatan dapat memperbaiki kondisi kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup, tetapi di lain pihak pengobatan pun dapat mempengaruhi asupan kebutuhan gizi lansia. Efek ini timbul karena obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi proses penyerapan zat gizi (Wirakusumah, 2001). Selain itu, obat yang dikonsumsi dapat mengubah nafsu makan, rasa atau bau yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi ataupun memiliki efek samping seperti mual, muntah, atau diare (Heimburger, 2006). 6. Gaya hidup Kepercayaan terhadap obat-obat terlarang dapat dilhat dari 11% populasi usia dewasa termasuk beberapa diantaranya adalah lansia, dimana jumlahnya sebanyak 25% sampai 50% seluruhnya adalah pengguna obat-obatan. Lansia yang mengkonsumsi obat-obat terlarang memiliki efek terhadap status nutrisi lansia. Efek yang terjadi
yaitu
menurunkan selera makan lansia, terganggunya kemampuan indra perasa
Universitas Sumatera Utara
12
dan pembau, terganggunya proses pencernaan, absorbsi. Metabolisme, dan eksresi nutrisi. Kebiasaan selanjutnya adalah penyalahgunaan alkohol. Beberapa lansia menggunakan alkohol akibat merasa bosan, kesepian, dan depresi.Penyalahgunaan
alkohol
menyebabkan
defisiensi
nutrisi,
terutama asam folat dan thiamin mengalami perubahan (Dudek, 1997). Tidak hanya mengkonsumsi obat-batan dan alkohol, merokok, tidak berolahraga, pola makan yang tidak baik juga sangat mempengaruhi status gizi pada lansia. 7. Faktor psikososial Faktor psikososial dapat mempengaruhi selera dan pola makan pada lansia. Stress dan cemas dapat mempengaruhi proses sistem pencernaan melalui sistem saraf autonomi. Depresi, masalah memori dan penurunan kognitif lainnya juga dapat mempengaruhi pola makan dan kemampuan dalam menyiapkan makanan (Miller, 2004).Hasil penelitian yang dilakukan oleh Elva Simanjuntak pada lansia yang berada di pedesaan di daerah porsea menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara gangguan suasana hati dengan status gizi. Analisis statistik diperoleh dua nilai OR yaitu nilai OR untuk status gizi kurang sebesar 5,412 (95% CI: 1,765-16,595) artinya lansia yang mengalami gangguan suasana hati berisiko status gizi kurang sebesar 5,412 kali lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami gangguan suasana hati. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
13
Angraini (2013) juga
mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan
antara depresi dengan status gizi dengan nilai p= 0,023. 8. Faktor sosial Ekonomi dan Budaya Latar belakang suku, kepercayaan religius dan faktor budaya yang kuat dapat mempengaruhi seseorang dalam mendefinisikan, memilih, menyiapkan dan memakan makanan serta minuman. Faktor budaya juga dapat mempengaruhi pola makan seseorang sehingga hal ini memiliki hubungan dengan status kesehatan seseorang (Miller, 2004).Status ekonomi yang rendah juga akan mempengaruhi lansia dalam memilih asupan dan jenis makanan yang akan dikonsumsi bahkan lansia akan memilih satu kali makan dalam sehari.Latar belakang pendidikan juga mempengaruhi lansia dalam memilih makanan yang tepat untuk dikonsumsi yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi nya. Penelitian yang dilakukan oleh Retno (2009) pada lansia yang berada di Kelurahan Krobokan Kecamatan Sumatra Barat, Kotamadya Semarang mendapatkan hasil bahwa ada pengaruh signifikan (p=0,000) tingkat sosial ekonomi terhadap status gizi dengan rata-rata skor tingkat sosial ekonomi sebesar 69,3% kontribusi tingkat sosial ekonomi terhadap status gizi sebesar 32,2%. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial ekonomi mempengaruhi gizi lansia.
Universitas Sumatera Utara
14
9. Faktor lingkungan Faktor lingkungan mempengaruhi seseorang dalam menikmati makanan dan kemampuan untuk memperoleh dan mempersiapkan makanannya. Banyak hambatan diidentifikasi dalam lingkungan perawatan lansia seperti panti werdha, pelayanan sosial dan rumah sakit. Lansia yang berada di ekonomi rendah cenderung berada di rumah yang di bawah standar yang mungkin tidak memiliki perawatan untuk menyimpan dan memasak makanan. Lansia yang dirawat di rumah sakit juga akan mempengaruhi status nutrisinya. Hal ini diakibatkan karena dibatasinya asupan diet serta fasilitas dan waktu yang kurang mendukung.
2.4.Kebutuhan zat gizi pada Lansia 2.4.1. Kalori Pada lansia kebutuhan kalori menurun sehubungan dengan menurunnya BMR, penurunan aktivitas fisik, dan perubahan komposisi tubuh. RDA menyatakan penurunan kalori pada usia 51 tahun sampai 75 tahun sebesar 10% , dan pada usia 75 tahun ke atas sebesar 20-25% (Dedek, 1997). 2.4.2. Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia. Setiap 1 gram karbohidrat yang dikonsumsi menghasilkan energi sebesar 4 kkal dan hasil proses oksidasi (pembakaran) karbohidrat ini
Universitas Sumatera Utara
15
kemudian akan digunakan oleh tubuh untuk menjalankan berbagai fungsi-fungsinya seperti bernapas, kontraksi jantung dan otot, serta untuk menjalankan berbagai aktivitas fisik (Fatmah, 2010).Kebanyakan lansia mengkonsumsi zat karbohidrat hanya 45-50% dari seharusnya 55-50% kalori total. Sebagian lansia menderita kekurangan laktase, enzim yang berfungsi menghidrolisis laktosa. Ketiadaan proses hidrolisis berakibat laktosa tidak bisa diserap. Laktosa dalam usus kemudian dimetabolisasi oleh bakteri dan menghasilkan gas. Gas ini berpotensi menimbulkan diare, kram, dan flatulens. Salah satu gangguan yang sering kali dikeluhkan oleh lansia ialah sembelit. Gangguan ini akan timbul manakala frekuensi pergerakan usus berkurang yang akhirnya memperpanjang masa transit tinja. Semakin lama tinja tertahan dalam usus, konsistensinya semakin keras, dan akhirnya membatu sehingga sulit dikeluarkan. Kejadian ini berpangkal pada kelemahan tonus otot dinding saluran cerna akibat penuaan (kegiatan fisik berkurang), serta reduksi asupan cairan dan serat (Arisman,2010). 2.4.3. Protein Protein dibutuhkan oleh tubuh sebagai zat pembangun dan pemelihara sel. Pemeliharaan protein yang baik untuk lansia sangat penting mengingat sintesis protein dalam tubuh tidak sebaik saat masih muda, dan banyak terjadi kerusakan sel yang harus segera diganti. Dengan bertambahnya usia, perlu pemilihan makanan yang kandungan
Universitas Sumatera Utara
16
proteinnya bermutu tinggi dan mudah dicerna. Pakar gizi menganjurkan kebutuhan protein lansia dipenuhi dari nilai biologis tinggi seperti telur, ikan dan protein hewani lainnya dikarenakan kebutuhan asam amino esensial meningkat pada usia lanjut. 2.4.4. Lemak Lemak dalam tubuh berfungsi membantu dalam pengaturan suhu, memberikan sumber energi cadangan, memudahkan penyerapan vitamin yang larut dan mengurangi sekresi asam dan aktivitas otot perut (Miller, 2004). Asupan lemak dibatasi sampai sebesar 30% dari total energi, sementara sisanya diupayakan dari karbohidrat. RDA untuk asam lemak esensial minimal sebanyak 2-3%. Pembatasan lemak kurang dari 20% akan mempengaruhi mutu makanan karena kandungan asam lemak esensial berkurang. Kelebihan dan kekurangan lemak yang diwujudkan dalam bentuk kadar kolestrol darah, berdampak sama buruknya dengan angka kematian tertinggi. Peningkatan kadar kolestrol dapat mempertinggi risiko terkena penyakit jantung koroner (Arisman, 2010). Untuk menurunkan kadar kolestrol dalam darah dapat diturunkan dengan mengkonsumsi jenis lemak tak jenuh. Beberapa makanan yang mengandung lemak tak jenuh adalah bawang putih, tempe, anggur, apel, alpukat dan ikan.
Universitas Sumatera Utara
17
2.5. Masalah gizi pada lansia Masalah gizi pada lansia merupakan rangkaian proses masalah gizi sejak usia muda yang manifestasinya timbul setelah tua. Selain itu ada pula masalah gizi yang terjadi pada lansia akibat terjadinya proses penuaan (Depkes RI, 2001).
Banyak hal yang mempengaruhi masalah gizi pada
lansia. Beberapa diantaranya yaitu penurunan fungsi fisik yang dialami lansia, asupan gizi yang salah, dan ketidakmampuan tubuh memanfaatkan asupan gizi.Bentuk masalah gizi yang sering dijumpai pada lansia, adalah sebagai berikut : 2.5.1. Obesitas Berbagai penelitian yang dilakukan para pakar menunjukkan bahwa maalah gizi pada lansia sebagian besar merupakan masalah gizi berlebih dan kegemukan/obesitas. Keadaan ini disebabkan karena pola konsumsi yang berlebihan, terutaa makanan yang banyak mengandung lemak, protein, dan karbohidrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Kegemukan biasanya terjadi sejak usia muda, bahkan sejak anak-anak. Proses metabolisme yang menurun pada lansia bila tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik atau penurunan jumlah makanan, maka kalori yang berlebihan akan diubah menjadi lemak yang mengakibatkan kegemukan. Banyak faktor penyebab terjadinya kegemukan baik dari faktor dalam maupun dari faktor luar. Prevalensi gizi lebih pada lansia di Indonesia adalah sebesar 20,6% (Depkes RI, 1997). Hasil survey Indeks
Universitas Sumatera Utara
18
Massa Tubuh orang dewasa yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di kota besar di Indonesia pada tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi gizi lebih dan obesitas di kalangan penduduk > 55 tahun sebesar 15,3% pada laki-laki dan 25,9% pada wanita. Penelitian yang dilakukan oleh aryana et al, 2011 menyatakan prevalensi obesitas sentral pada subjek dengan PJK usia lanjut didapatkan sangat tinggi yaitu 51,1%. Masalah gizi lebih lebih atau kegemukan akan memacu timbulnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus, gout (rematik), gijal, sirosis hati dan kanker. 2.5.2. Malnutrisi Prevalensi gizi kurang di kalangan lansia cukup tinggi, yaitu sebesar 10-50%. Kekurangan gizi pada lansia ditandai dengan penurunan berat badan akibat
kurangnya nafsu makan sehingga
pemenuhan kalori yang dibutuhkan tidak tercukupi. Bila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan, hal tersebut menyebabkan berat badan berkurang dari normal. Apabila kondisi ini disertai kekurangan protein, kerusakan sel dapat terjadi dan tidak dapat diperbaiki. Akibatnya rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun, atau mudah terkena infeksi pada organ tubuh yang vital. Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya gizi pada lansia adalah keterbatasan ekonomi keluarga, penyakit-penyakit kronis, pengaruh
Universitas Sumatera Utara
19
psikologis, hilangnya gigi, kesalahan dalam pola makan, kurangnya pengetahuan tentang gizi dan cara pengolahannya, serta menurunnya energi.Banyak penelitian yang dilakukan terkait masalah status gizi yang dialami lansia. Penelitian yang dilakukan oleh situmorang et al, 2014 menunjukkan bahwa presentasi lansia yang mengalami gizi kurang adalah sebesar 12%. penelitian yang dilakukan oleh kaisare at al, (2010) yang menyatakan bahwa prevalensi malnutrisi di dunia adalah 22,8%. Penelitian ini dilakukan pada 4 tempat yang berbeda, yaitu rumah sakit dengan kejadian malnutrisi sebesar 39%, panti jompo sebesar 14%, masyarakat 6%, dan tempat rehabilitasi 50%. Penelitian yang dilakukan di panti-panti werdha di Amerika menemukan lebih dari sepertiga lansia menderita gizi kurang. Hasil penelitian yang dilakukan Enny et al (2006) di Kota Padang menunjukkan status gizi kurang pada lansia > 60 tahun sekitar 25,9%. Penelitian Formayoza, (2006) menunjukkan status gizi kurang sebanyak 12,5%.
2.6. Status gizi Menurut Supariasa dan kawan-kawan (2002), status gizi adalah keadaan dari keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi merupakan keadaan kesehatan yang dihubungkan dengan penggunaan makanan di dalam tubuh. Kebutuhan akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor, seperti tingkat
Universitas Sumatera Utara
20
metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktifitas fisik dan
faktor yang
bersifat relatif yaitu, gangguan pencernaan (ingestion), perbedaan daya serat (absorption), tingkat penggunaan (utilization) dan perbedaan pengeluaran dan penghancuran (excretion dan destruction dari zat gizi tersebut dalam tubuh).Penilaian gizi didefinisikan sebagai interprestasi informasi yang diperoleh dari hasil pengukuran konsumsi makanan, biokimia, antropometri dan klinis pada seseorang atau sekelompok manusia. Dalam penilian gizi ada dua
kegiatan yang dilakukan yaitu
pengukuran atau pengumpulan data dan interpretasi data. Sistem-sistem dalam penilaian gizi dapat mengambil salah satu sistem dari tiga sistem berikut, yaitu : survey, surveilence, dan screning (Riyadi, 2003). Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi 4 penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan untuk penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi 3 yaitu: survey konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa, 2002). Fatmah (2010) menjelaskan penentuan status gizi pada lansia berdasarkan World Health Organization(1999) dapat dikategorikan menjadi gizi kurang (underweight), norml, gizi lebih, dan obesitas, sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2005) status gizi lansia dikategorikan mejadi gizi kurang, giz normal, dan gizi lebih. Status gizi normal adalah keadaan dimana terdapat keseimbangan antara asupan gizi dan energi yang dikeluarkan oleh seseorang, status gizi kurang adalah keadaan
Universitas Sumatera Utara
21
dimana asupan gizi yang dikonsumsi seseorang lebih sedikit jika dibandingkan dengan energi yang dikeluarkan sedangkan status gizi lebih adalah keadaan terbalik dari status gizi kurang dimana asupan gizi yang dikonsumsi lebih banyak dan energi yang dikeluarkan sedikit. 2.6.1. Pengukuran status gizi lansia Pengukuran status gizi digunakan untuk menentukan status gizi, mengidentifikasikan malnutrisi (kurang gizi atau gizi lebih) dan menentukan jenis diet atau menu makanan yang harus diberikan pada seseorang. Untuk mengukur status gizi lansia sebaiknya menggunakan lebih dari satu parameter sehingga hasil kajian lebih akurat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2003). Pengukuran status gizi dapat melalui pemeriksaan klinis, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan biofisik, dan antropometri. Alat pengkajian lain yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi adalah MNA (The Mini Nutritional Assesment). 2.6.1.1. Pemeriksaan klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (Supervicial ephithelial tissue) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.
Universitas Sumatera Utara
22
Penggunaan metode ini umumnya untuk survey klinis secara cepat (rapid clinical surveys). Survey ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih gizi. Pemeriksaan klinis digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (Sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit. Pemeriksaan klinis (assesment clinic) secara umum terdiri dari dua bagian,yaitu : 1. Medical History (Riwayat medis) yaitu catatan megenai perkembangan penyakit 2. Pemeriksaan fisik, yaitu melihat dan mengamati gejala gangguan gizi baik sign (gejala yang dapat diamati) dan symptom (gejala yang tidak dapat diamati, tetapi dirasakan oleh penderita gangguan gizi) (Supariasa, 2002). 2.6.1.2. Pemeriksaan Biokimia Penilaian
status
gizi
dengan
biokimia
adalah
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Pemeriksaan
Universitas Sumatera Utara
23
biokimia dalam penilaian status gizi memberikan hasil yang lebih tepat dan objektif daripada menilai konsumsi pangan dan pemeriksaan
lain.
Pemeriksaan
biokimia
yanga
sering
digunakan adalah teknik pengukuran kandungan berbagai zat gizi dan substansi kimia lain dalam darah dan urine. Hasil pengukuran tersebut dibandingkan dengan standar normal yang telah ditetapkan (Supariasa, 2002). 2.6.1.3. Pemeriksaan Biofisik Penilaian status gizi dengan biofisik termasuk penilaian status gizi secara langsung. Penilaian stayus gizi dengan biofisik adalah melihat dari kemampuan fungsi jaringan dan perubahan struktur. Tes kemampuan jaringan meliputi kemampuan kerja dan energi expenditure sert adaptasi sikap. Tes perubahan struktur dapat dilihat secara klinis seperti pengeran kuku, pertumbuhan rambut tidak normal dan menurunnya elastisitas kartilago. Penilaian status gizi secara biofisik sangat mahal, memerluan tenaga yang profesional dan dapat diterapkan dalam keadaan tertentu saja. Penilaian secara biofisik dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu uji radiologi, tes fungsi fisik, dan sitologi. 2.6.1.4. Antropometri Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan dalam masyarakat adalah antopometri. Antropometri berasal
Universitas Sumatera Utara
24
dari kata antrhopos dan metros. Antrhopos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Antropometri adalah ukuran dari tubuh. Antropometri gizi adalah
berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penilaian status gizi lansia diukur dengan antropometri atau ukuran tubuh, yaitu Tinggi Badan (TB), Berat Badan (BB), Lingkar Lengan Atas (LLA), dan ketebalan kulit trisep/skinfold. 1. Berat Badan Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh.
Berat badan
merupakan pengukuran kasar terhadap berat jaringan tubuh dan cairan tubuh (Fatmah, 2010). Pengukuran berat badan sangat menentukan dalam menilai status gizi seseorang. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti
umur.
Sebaliknya
dalam
keadaan
yang
abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal (Supariasa, 2002).
Universitas Sumatera Utara
25
2. Tinggi Badan Tinggi
badan
merupakan
antropometri
yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun, pada lansia akan mengalami penurunan tinggi badan seiring dengan pertambahan usia. Pengurangan tersebut dapat disebabkan oleh berkurangnya komponen cairan tubuh sehingga duskus invertebralis relatif kurang mengandung air sehingga menjadi lebih pipih. Lansia mengalami kifosis, sehingga tinggi dan tegak lurusnya tulang punggung berkurang, lansia mengalami osteoporosis sehingga akan mudah mengalami fraktur vertebra yang mengakibatkan tinggi badan berkurang (Nugroho, 2008). Meiner (2006) juga menjelaskan bahwa tinggi badan lansia yang tidak dapat berdiri tanpa bantuan dapat diperkirakan dengan mengukur tinggi lutut. Oleh sebab itu, dianjurkan menggunakan ukuran tinggi lutut (knee height) untuk menentukan secara pasti tinggi badan seseorang. Tinggi lutut tidak akan berkurang, kecuali jika terdapat
fraktur
tungkai
bawah
(Nugroho,
2008).
Nomogram atau konversi tinggi badan dari tinggi lutut untuk prediksi tinggi badan pria adalah 56,343 + 2,102 ×
Universitas Sumatera Utara
26
tinggi lutut sedangkan untuk prediksi tinggi badan wanita adalah 62,682 + 1,889 × tinggi lutut (Fatmah,2010). 3. Lingkar Lengan Atas (LLA) Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas merupkan parameter antropometri yang sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh tenaga yang bukan profesional. Pengukuran LLA adalah suatu cara untuk mengetahui risiko kekurangan energi protein. LLA banyak digunakan untuk pengukuran status gizi (Supariasa, 2002). Pengukuran LLA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dala jangka pendek. Pengukuran LLA dilakukan untuk menilai apakah seseorang mengalami kekurangan energi kronik atau tidak. Ambang batas LLA dengan risiko kekurangan energi kronik di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LLA kurang dari 23,5 cm artinya orang tersebut beresiko mengalami kekurangan energo kronik (Supariasa, 2002). 4. Tebal Lipatan Kulit/Pengukuran skinfold Pengukuran lemak tubuh melalui pengukran lemak bawah kulit (skinfold) dilakukan pada beberapa bagian tubuh.Bagian tersebut terdapat pada bagian atas (triceps
Universitas Sumatera Utara
27
dan biceps), lengan bawah (forearm), tulang belikat (subscapular), di tengah garis ketiak (midaxillary), sisi dada (pectoral), perut (abdominal), suprailiaka, paha, dan tempurung lutut (suprapatelar).Lemak tubuh dapat diukur secara absolut dinyatakan dalam kilogram maupun secara relatif dinyatakan dalam persen terhadap berat tubuh total. Jumlah lemak tubuh sangat bervariasi tergantung dari jenis kelamin dan umur. Umumnya lemak bawah kuliat ntuk pria 3,1 kg dan pada wanita 5,1 kg. 2.6.2. Penentuan Status Gizi Status
gizi
seseorang
dapat
ditentukan
dengan
membandingkan hasil yang di dapat dari pemeriksaan dengan nilai standar yang ada. Selain itu untuk penentuan status gizi dapat juga menggunakan hasil perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Khusus untuk lansia dalam menentukan tatus malnutrisi dapat ditentukan dengan form skrining yang disebut dengan The Mini Nutritional Assesment (IMT). 2.6.2.1. Indeks Massa Tubuh Indeks kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia 18 tahun keatas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakit-penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau
Universitas Sumatera Utara
28
normal. Pada usia dewasa, penilaian status gizi ditentukan melalui indeks BB dan TB yang disebut sebagai IMT.
IMT adalah indeks yang diperoleh dari perhitungan BB dalam satuan kilogram dibagi dengan kuadrat dari TB dalam meter (Supariasa dkk, 2002) :
IMT =
𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 (𝑘𝑘𝑘𝑘) 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 (𝑚𝑚)𝑥𝑥 𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 (𝑚𝑚)
IMT merupakan salah satu alat untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.Kategori ambang batas IMT untuk indonesia menurut Depkes, 1994 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kategori status gizi lansia berdasarkan indeks massa tubuh menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005 Status Gizi
IMT
Gizi kurang
< 18,5 𝑘𝑘𝑘𝑘/𝑚𝑚2
Gizi normal Gizi lebih
18,5-25 kg/𝑚𝑚2 >25 kg/𝑚𝑚2
(Sumber: Fatimah, (2010). Gizi usia lanjut. Jakarta: penerbit Erlangga)
Universitas Sumatera Utara
29
Tabel 2.Kategori status gizi lansia berdasarkan Indeks Massa Tubuh menurut WHO Kategori
IMT
Kekurangan berat badan tingkat < 17,0 berat Gizi kurang Kekurangan berat badan tingkat 17,0 – 18,5 ringan > 18,5 – 25,0
Gizi normal Kelebihan Gizi lebih
berat
badan
tingkat > 25,0 – 27,0
ringan Kelebihan berat badan tingkat berat
> 27,0
(Sumber: Departemen Kesehatan RI, 2005)
2.6.2.2. The Mini Nutritional Assesment (MNA) The Mini Nutritional Assesment (MNA) adalah alat pengkajan skrining nutrisi yang paling cocok untuk lansia karena dapat cepat dan mudah untuk digunakan dan secara efektif dapat merefleksikan keadaan status gizi pada lansia. MNA secara luas digunakan dalam berbagai pengaturan sebagai alat penilaian yang dapat dipercaya dan divalidasi untuk mengidentifikasi kekurangan gizi atau berisiko gizi buruk pada lansia (Miller,2004).
Universitas Sumatera Utara
30
MNA merupakan alat skrining yang telah divalidasi secara khusus untuk lansia, memiliki sensitifitas yang tinggi, spesifik, dan dapat diandalkan, secara luas dapat digunakan sebagai metode skrining dan telah direkomendasikan oleh organisasi ilmiah dan klinis baik nasional maupun internasional. MNA juga mudah dan cepat untuk digunakan, tidak memerlukan waktu lama untuk menjawab pertanyaan yang ada, tidak membutuhkan pelatihan khusus, tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium (Mini Nutritional Assesment, 2011). MNA memiliki dua bentuk yaitu full MNA dan Short form MNA.Full MNA mencakup 18 item pertanyaan yang dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu pengkajian antropometri,
pengkajian
umum,
pengkajian
pola
makan/diet, pengkajian subjektif. Pengkajian antropometri meliputi IMT yang dihitung dari berat badan dan tinggi badan, kehilangan berat badan, lingkar lengan atas dan lingkar betis. Pengkajian
antropometri
berhubungan
dengan
berbagai macam pengukuran yang digunakan untuk mengukur status gizi dan berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Penelitian yang dilakukan oleh Fatmah (2005) pada 6 panti di Jakarta memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
31
hasil antropometri yaitu sebanyak 43% lansia mengalami gizi kurang. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dilihat bahwa pengukuran antropometri
dapat digunakan untuk
melihat status gizi pada lansia. Pengkajian umum meliputi gaya hidup, obat-obataan, mobilisasi dan adanya tanda dari depresi atau demensia. Melihat
kondisi
umum
tersebut
kita
dapat
mengetahui faktor-faktor penyebab yang membuat lansia mengalami masalah gizi, misalnya efek samping dari obatobatan yang dikonsumsi lansia dapat mempengaruhi lansia dalam memenuhi asupan gizi nya. Pengkajian pola makan/diet meliputi jumlah makanan, asupan makanan dan cairan serta kemandirian dalam makan. Pengkajian pola makan pada lansia penting untuk dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan Maulinda menunjukkan bahwa apabila pola makan berada dalam kategori baik maka pada umunya status gizi juga berada dalam kategori normal. Pengkajian terakhir adalah pengkajian subjektif yang meliputi persepsi individu dari kesehatan dan status gizinya. pengkajian subjektif dilakukan untuk melihat persepsi lansia mengenai status gizi nya, karena dengan mengetahui
persepsi
lansia,
kita
dapat
mengetahui
Universitas Sumatera Utara
32
bagaimana pengetahuan lansia terhadap status gizi dan masalah-masalah gizi yang dialami. (Guigoz 2006). Full MNA ini dapat dilengkapi dalam waktu kurang dari 15 menit dan masing-masing jawaban memilki nilai yang akan mempengaruhi nilai akhir, dimana nilai maksimum akhir adalah 30. Batas nilai ambang dari full MNA ini adalah nilai ≥ 24 mengindikasikan nutrisi baik, nilai 17-23,5 mengidikasikan risiko malnutrisi dan ≤17 mengidikasikan malnutrisi (Guigoz 2006).Bentuk ke dua dari The Mini Nutritional Assesment adalah Short form MNA. Short form MNA telah dikembangkan dan divalidasi untuk memungkinkan
2 proses skrining pada populasi
berisiko rendah yang mempertahankan validitas dan akurasi full MNA (Guigoz, 2006). Short form MNA terdiri dari 6 pertanyaan berupa skrining dimana masing-masing pertanyaan memiliki nilai yang berbeda-beda untuk setiap jawabannya. Setelah mendapatkan nilai dari setiap pertanyaan maka nilai tersebut dijumlahkan. Nilai maksimal dari Short form MNA adalah 14. Jika total nilai yang didapat ≥ 12 menunjukkan bahwa status gizi orang tersebut normal atau tidak berisiko dan tidak membutuhkan pengkajian lebih lanjut.Namun, jika nilai yang diperoleh ≤ 11 menunjukkan bahwa kondisi
Universitas Sumatera Utara
33
orang tersebut mungkin malnutrisi sehingga membutuhkan pengkajian lebih lanjut dengan melengkapi full form MNA (MNA Mini Nutritional Assesment, 2011).Dari beberapa bentuk pengukuran gizi, peneliti menggunakan MNA sebagai alat untuk mengetahui gambaran status gizi khususnya lansia.
Universitas Sumatera Utara