BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Pembangunan Pertanian Nasional Pembangunan Nasional dilakukan secara menyeluruh di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Didalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 s.d. 2025, perencanaan pembangunan nasional dikelompokkan kedalam sembilan bidang pembangunan yaitu: (1) Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama; (2) Bidang Ekonomi; (3) Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; (4) Bidang Sarana dan Prasarana; (5) Bidang Politik; (6) Bidang Pertahanan dan Keamanan; (7) Bidang Hukum dan Aparatur; (8) Bidang Wilayah dan Tataruang; dan (9) Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (BAPPENAS, 2010). Pada Buku I Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, salah satu prioritas pembangunan nasional adalah ketahanan pangan, dengan enam substansi inti, yaitu: (1) lahan, pengembangan kawasan, dan tata ruang pertanian; (2) infrastruktur; (3) penelitian dan pengembangan; (4) investasi, pembiayaan dan subsidi; (5) pangan dan gizi; dan (6) adaptasi perubahan iklim. Sedangkan pada Buku II Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pembangunan pertanian ditempatkan pada kelompok pembangunan Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup (SDA dan LH), dimana dalam lima tahun ke depan, pembangunan SDA dan LH masih terus diarahkan kepada dua kelompok (kluster), yaitu (i) pemanfaatan SDA yang mendukung pembangunan ekonomi, dan (ii) peningkatan kualitas dan kelestarian
13
14
LH. Pemanfaatan SDA dalam mendukung pembangunan ekonomi dijabarkan pada tiga prioritas, yaitu (1) peningkatan ketahanan pangan, revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan; (2) peningkatan ketahanan dan kemandirian energi; dan (3)
peningkatan
pengelolaan
sumber
daya
mineral
dan
pertambangan
(BAPPENAS, 2010). Didalam Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014 (KEMENTAN, 2010) dirumuskan empat target utama yang meliputi: (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani. Guna mendukung upaya pencapaian empat target utama tersebut, maka arah kebijakan pengembangan SDM pertanian difokuskan pada hal-hal sebagai berikut. 1. Pengembangan Penyuluh Pertanian Polivalen di tingkat lapangan dan Penyuluh Pertanian Spesialis di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat untuk mendukung Program Utama Pembangunan Pertanian. 2. Pelatihan bagi aparatur sesuai dengan kebutuhan jenjang karir Pegawai Negeri Sipil (PNS). 3. Pelatihan bagi pengelola P4S dan Pengurus Gapoktan serta pelaku agribisnis lainnya dilaksanakan oleh UPT Pelatihan, sedangkan Pelatihan bagi petani pelaku utama agribisnis dilaksanakan oleh P4S. 4. Pendidikan Tinggi bidang Rumpun Ilmu Hayati Pertanian (RIHP) diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga fungsional Penyuluh Pertanian, Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), Paramedik Veteriner, Pengawas
15
Bibit Ternak (PBT), Pengawas Mutu Pakan Ternak, Pengawas Mutu Hasil Pertanian, dan Karantina. 5. Pendidikan Menengah Kejuruan di bidang pertanian diarahkan untuk memenuhi tenaga teknisi menengah dan menyiapkan wirausahawan muda di bidang pertanian. Lima arah kebijakan tersebut akan diimplementasikan dalam bentuk empat rencana aksi yang terdiri atas: (1) pemantapan sistem penyuluhan pertanian, (2) pemantapan sistem pelatihan pertanian, (3) revitalisasi pendidikan pertanian, dan (4) pemantapan sistem administrasi dan manajemen pengembangan SDM pertanian. Berkaitan dengan pengembangan SDM pertanian, ada tiga komponen SDM pertanian yang perlu dikembangkan kapasitasnya, yakni sebagai berikut (KEMENTAN, 2010). 1. Non-aparatur yang meliputi petani/tenaga kerja pertanian dan pelaku agribisnis lainnya. 2. Aparatur pertanian, baik fungsional maupun struktural yang lebih berperan sebagai fasilitator, motivator, dan dinamisator dalam proses pembangunan pertanian. 3. Lembaga petani pedesaan seperti kelompok tani, gabungan kelompok tani (Gapoktan), Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S), koperasi, lembaga keuangan mikro, kios sarana produksi, dan lembaga pemasaran.
16
2.2 Program Sistem Pertanian Terintegrasi di Provinsi Bali Program Sistem Pertanian Terintegrasi (Program Simantri) adalah upaya percepatan alih teknologi kepada masyarakat perdesaan dengan mengintegrasikan kegiatan sektor pertanian dengan sektor pendukungnya secara vertikal maupun horizontal sesuai potensi masing-masing wilayah dengan mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya
lokal.
Kegiatan
utama
Simantri
adalah
mengintegrasikan usaha budidaya tanaman dan ternak, dimana limbah tanaman diolah untuk pakan ternak dan cadangan pakan pada musim kemarau, dan limbah ternak (faeces, urine) diolah menjadi bio gas, bio urine, bio pestisida, dan pupuk organik.
Kegiatan integrasi berorientasi pada usaha tani tanpa limbah (zero
waste) yang dapat menghasilkan pangan, pakan, pupuk, dan bahan bakar (food, feed, fertilizer, dan fuel) (Dinas Pertanian Provinsi Bali, 2010). Kebijakan Program Simantri yang mulai dilaksanakan pada Tahun 2009, dirancang dengan tujuan sebagai berikut. 1. Mendukung berkembangnya diversifikasi usaha pertanian secara terpadu dan berwawasan agribisnis. 2. Sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran, mendukung pembangunan ramah lingkungan, Bali bersih dan hijau (clean and green) serta program bali organik menuju “Bali Mandara”. 3. Kegiatan utama adalah integrasi tanaman dan ternak dengan kelengkapan: unit pengolah kompos, pengolah pakan, instalasi bio urine, dan bio gas .
17
4. Dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan dengan target peningkatan pendapatan petani pelaksana, minimal dua kali lipat dalam 4 s.d. 5 tahun ke depan. Adapun sasaran yang ingin dicapai di dalam pelaksanaan Program Simantri meliputi: (1) peningkatan luas tanam, populasi ternak, perikanan dan kualitas hasil; (2) tersedia pakan ternak berkualitas sepanjang tahun; (3) tersedia pupuk dan pestisida organik serta bio gas; dan (4) berkembangnya diversifikasi usaha, lembaga usaha ekonomi dan infrastruktur di perdesaan. Unit Program Simantri terdiri atas paket kegiatan yang terkait antarsatu kegiatan dengan kegiatan lainnya.
Paket utama Program Simantri
meliputi
kegiatan-kebiatan sebagai berikut. 1. Pengembangan komoditi tanaman pangan, peternakan, perikanan, dan intensifikasi perkebunan sesuai potensi wilayah. 2. Pengembangan ternak sapi atau kambing dan kandang koloni (untuk 20 ekor sapi atau 40 ekor kambing). 3. Bangunan instalasi bio gas dua unit, terdiri atas: masing-masing satu unit kapasitas 11 m3 dan kapasitas 5 m3 yang dilengkapi dengan kompor bio gas. 4. Bangunan instalasi bio urine sebanyak satu unit. 5. Bangunan pengolah kompos dan pengolah pakan masing-masing sebanyak satu unit. 6. Pengembangan tanaman kehutanan sesuai kondisi dan potensi masing-masing wilayah.
18
Keberhasilan
pelaksanaan
Program
Simantri
diukur
berdasarkan
indikator-indikator capaian sebagai berikut. 1. Berkembangnya kelembagaan dan SDM baik petugas pertanian maupun petani. 2. Terciptanya lapangan kerja melalui pengembangan diversifikasi usaha pertanian dan industri rumah tangga. 3. Berkembangnya intensifikasi dan ekstensifikasi usaha tani. 4. Meningkatnya insentif berusaha tani melalui peningkatan produksi dan efisiensi usaha tani (pupuk, pakan, biogas, bio urine, bio pestisida diproduksi sendiri atau in situ). 5. Tercipta dan berkembangnya pertanian organik menuju green economic. 6. Berkembangnya lembaga usaha ekonomi perdesaan. 7. Peningkatan pendapatan petani (minimal dua kali lipat). 2.3 Komunikasi dalam Penyuluhan Pembangunan Pertanian Menurut van den Ban dan Hawkins (2005) penyuluhan didefinisikan secara sistematis sebagai suatu proses seperti berikut. 1. Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan kedepan. 2. Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut. 3. Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani.
19
4. Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal. 5. Membantu petani memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai alternatif tindakan. 6. Meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya. 7. Membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Didalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai
upaya untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pada Pasal 2 dinyatakan bahwa penyuluhan diselenggarakan berasaskan demokrasi, manfaat, kesetaraan, keterpaduan, keseimbangan, keterbukaan, kerjasama, partisipatif, kemitraan, berkelanjutan, berkeadilan, pemerataan, dan bertanggung gugat. Penyuluhan
berasaskan
demokrasi,
yaitu
penyuluhan
yang
diselenggarakan dengan saling menghormati pendapat antara pemerintah, pemerintah daerah, dan pelaku utama serta pelaku usaha. Penyuluhan berasaskan kesetaraan, yaitu hubungan antara penyuluh, pelaku utama dan pelaku usaha yang
20
harus merupakan mitra sejajar.
Penyuluhan berasaskan partisipatif, yaitu
penyelenggaraan penyuluhan yang melibatkan secara aktif pelaku utama, pelaku usaha dan penyuluh sejak perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Berdasarkan batasan-batasan yang dituangkan didalam undang-undang tersebut, tampaknya kegiatan penyuluhan sudah tidak tepat lagi menggunakan pendekatan komunikasi linear seperti yang selalu dimanfaatkan pada masa-masa periode awal pembangunan dengan paradigma modernisasi, karena model komunikasi linear bersifat satu arah dari atas ke bawah (top down). Pemanfaatan model komunikasi linear cenderung menempatkan petani pada posisi yang tidak setara dengan penyuluh, dimana komunikasi berlangsung tidak efektif, sehingga aspirasi tentang keberadaan serta permasalahan petani tidak tersampaikan secara utuh. Petani sebagai komunikan yang imperior hanya bisa menerima dan diatur oleh penyuluh sebagai komunikator yang superior, yang melaksanakan misi kepentingan atasannya. Ketidak efektifan model komunikasi linear diterapkan didalam penyuluhan pebangunan pertanian di Indonesia tersirat dari apa yang sudah sejak lama dikemukakan oleh Suwardi (1987) dan Padmanagara (1995), yang menyatakan bahwa pendekatan program pembangunan yang bersifat satu arah dan top down telah menghasilkan petani yang tidak kreatif, apatis, dan menunggu petunjuk dari aparat (penyuluh). Berdasarkan hal tersebut, penyuluhan pembangunan pertanian ke depan seyogyanya
memanfaatkan
pendekatan
komunikasi
yang
memungkinkan
terjadinya interaksi, relasi, dan transaksi yang setara antara petani dan penyuluh. Untuk itu model komunikasi yang tampak relevan yaitu Covergence Model atau
21
Model Konvergensi yang dikemukakan oleh Kincaid (1979) yang mencakup: (1) informasi, (2) adanya ketidak pastian (uncertainty), (3) konvergensi kepentingan, (4) saling pengertian (respect), (5) kesamaan tujuan (mutual agreement), (6) tindakan bersama (collective action), dan (7) jaringan hubungan dan relasi sosial (network of ralationship). Model komunikasi konvergensi atau dapat dikatakan komunikasi interaktif, bersifat dua arah timbal balik (relasional) dan partisipatif, baik vertikal maupun horizontal (Nasution, 2002).
Pemanfaatan model tersebut dalam
penyuluhan pembangunan pertanian, sangat memungkinkan terakomodasinya kebutuhan petani dalam program-program yang ditawarkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Dengan demikian, kepentingan pemerintah (pusat dan
daerah) selaku pemrakarsa program pembangunan dapat dipadukan dengan kepentingan dan permasalahan petani sesuai dengan potensi lingkungannya. Penyuluhan dengan pendekatan komunikasi konvergensi dapat juga diterapkan untuk mengomunikasikan Program Simantri kepada petani anggota Gapoktan calon penerima program. 2.4 Komunikasi dan Perubahan Perilaku Petani Perubahan perilaku komunikan merupakan konsekwensi atas terjadinya proses komunikasi. Komunikasi memiliki hubungan dengan terjadinya perubahan perilaku pada sasaran. Dampak komunikasi (communication effect) pada awalnya menyentuh ranah kognitif sasaran yang ditandai oleh adanya kesadaran bahwa ada sesuatu yang baru diketahui, kemudian akan berlanjut pada tumbuhnya kecenderungan (affective) disertai dengan pembentukan sikap (attitude) sebagai
22
cerminan keberpihakan atau penolakan terhadap informasi yang menerpanya (exposure), yang pada akhirnya bermuara pada tindakan (action). Tindakan yang timbul sebagai efek komunikasi dapat berupa sesuatu yang memang diharapkan terjadi (functional effect) dapat juga merupakan tidakan yang sama sekali tidak diharapkan terjadi (disfuctional effect) seperti teori communication effect yang disampaikan oleh Robert K. Merthon (dalam Effendi, 1993). Konteks komunikasi antara pendamping/penyuluh dengan petani bertujuan untuk terjadinya suatu perubahan. Perubahan dalam dimensi perilaku petani, yakni petani memperoleh informasi yang bermanfaat, dapat dipahami, diminati, dan dimanfaatkan untuk menunjang keberlangsungan usaha taninya.
Guna
mewujudkan perubahan tersebut, tampaknya perlu dikembangkan komunikasi yang bersifat dua arah, interaktif, dan partisipatif seperti yang dikemukakan oleh (Servaes, 1986).
Sejalan dengan pemikiran tersebut, perlu juga dikembangkan
pendekatan komunikasi yang berorientasi pada pemakai (user) dengan penekanan horizontalisasi, desentralisasi, akses, partisipasi sosial yang aktif, serta media dan teknologi yang menyatu.
Menurut MacBride (1980), komunikasi yang
berorientasi pada pemakai merupakan pendekatan mobilisasi dialektis yang terkadang didefinisikan sebagai “pendekatan aksi”. Perubahan perilaku petani berhubungan dengan pembangunan pertanian berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan yang dimaknai sebagai kegiatan usahatani yang mampun mendukung kehidupan layak bagi regenerasi petani ditentukan oleh kemampuan petani menyesuaikan
perilakunya dengan perubahan-perubahan
tuntutan pembangunan pertanian.
Berkaitan dengan pembangunan pertanian
23
berkelanjutan, menurut Wani (2008) faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam komunikasi pertanian antar lain: kedekatan personal, hubungan sosial, kepribadian, pengetahuan, dan parameter sosial ekonomi petani. 2.5 Komunikasi dalam Pembangunan Pada umumnya di dalam setiap proses pembangunan, sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi hasil pembangunan, selalu terjadi proses komunikasi antara pihak-pihak yang terkait.
Proses
komunikasi yang berlangsung pada dasarnya dimaksudkan untuk saling memahami, menumbuhkan pengertian, serta menyamakan persepsi yang berkaitan dengan pembangunan yang hendak dilaksanakan. Demikian juga hal nya dengan Program Simantri, sehingga fenomena komunikasinya dapat dimasukkan ke dalam ruang lingkup Komunikasi Pembangunan, seperti yang dikemukakan oleh Nasution (2002). Komunikasi pembangunan dapat dilihat dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi antar semua pihak yang terlibat dalam usaha pembangunan, terutama antara masyarakat dan pemerintah, sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian terhadap hasil pembangunan. Sedangkan dalam arti sempit, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya, cara, serta teknik penyampaian gagasan dan keterampilan-keterampilan pembangunan dari pemrakarsa pembangunan ditujukan kepada masyarakat luas.
Kegiatan tersebut dimaksudkan agar
masyarakat dapat memahami, menerima, dan berpartisipasi dalam melaksanakan gagasan-gagasan yang disampaikan tadi (Nasution, 2002).
24
Komunikasi Program Simantri akan tampak lebih jelas sebagai komunikasi pembangunan apabila dicermati proses kerjanya.
Sejak proses perumusan
masalah melalui konsultasi publik, penetapan tujuan program, sosialisasi program, monitoring
dan
evaluasi
program,
hingga
informasinya
diterima
dan
menimbulkan perubahan perilaku pada petani, sangat nyata merupakan proses komunikasi. Hal tersebut sesuai dengan pengertian komunikasi sebagai suatu proses, yaitu penyampaian gagasan atau pemikiran oleh sumber kepada penerima dengan tujuan untuk merubah perilaku (Rogers dan Rogers, 1976). Penyampaian gagasan atau pemikiran tersebut dapat langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media (Effendy, 1993).
Proses komunikasi akan dapat
mengubah perilaku orang lain apabila komunikasinya komunikatif
(Hovland
dalam Effendy, 2003). Di dalam proses komunikasi Program Simantri terjadi interaksi antara pihak pemrakarsa program dengan pihak Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sampai akhirnya terlahir keputusan, menerima ataupun menolak Program Simantri yang ditawarkan. Di dalam pengambilan keputusan tersebut, proses komunikasi terlihat ketika manusia (anggota Gapoktan) berinteraksi untuk mencapai tujuan pengintegrasian baik antar individu dalam kelompok maupun di luar kelompok (Harnack dan Fest dalam Fisher, 1986) dan komunikasi sebagai suatu proses ketika sejumlah orang diubah menjadi kelompok yang berfungsi (Newman dalam Fisher, 1986). Operasionalisasi Simantri melibatkan berbagai unsur, seperti PPL sebagai sumber informasi, Gapoktan sebagai penerima, dan ada pesan substansi kegiatan-
25
kegiatan yang diintegrasikan didalam Program Simantri yang disampaikan melalui forum pertemuan kelompok tani. Tampak dengan jelas bahwa di sini terjadi interaksi antar komponen seperti layaknya interaksi unsur-unsur komunikasi di dalam proses komunikasi.
Menurut Berlo (1960), proses
komunikasi melibatkan interaksi dari enam unsur penting komunikasi, yaitu: source, encoder, message, channel, decoder, dan receiver. Sedangkan Rogers dan Rogers (1976) menyatakan bahwa dalam proses komunikasi berinteraksi unsurunsur komunikasi yang terdiri atas: sumber, pesan, saluran, penerima, efek, dan umpan balik. Secara universal, elemen-elemen yang ada pada setiap proses komunikasi adalah: lingkungan, sumber-penerima, pesan, saluran, gangguan (fisik, psikologis, dan semantik), proses penyampaian atau encoding, proses penerimaan atau decoding, umpan balik dan umpan maju, dampak, dan etik (DeVito, 1997). Di dalam proses tersebut beberapa partisipan terlibat untuk bertukar tanda-tanda informasi yang bersifat verbal, nonverbal, dan paralinguistik pada suatu waktu (Gonzales dalam Jahi, 1988). Konseptual Komunikasi Program Simantri seyogyanya menekankan “pendekatan komponen komunikasi”, yakni menelaah variabel-variabel: sumber, pesan, saluran, dan penerima, untuk menentukan bagaimana hubungannya dalam proses komunikasi. Seperti komunikasi pembangunan, yang dilihat sebagai suatu proses menyeluruh, termasuk pemahaman terhadap khalayak serta kebutuhankebutuhannya, perencanaan komunikasi di sekitar strategi-strategi yang terpilih, pembuatan pesan-pesan, penyebaran, penerimaan, umpan balik, dan bukan hanya
26
kegiatan langsung satu arah dari komunikator kepada penerima yang pasif (Rogers, 1976). Proses komunikasi tersebut harus menggambarkan interrelasi antara komponen-komponennya, termasuk juga lingkungan dimana proses komunikasi itu berlangsung (Rogers dan Rogers, 1976). Komunikasi pembangunan yang relevan dikembangkan adalah yang bersifat dua arah, interaktif, dan partisipatoris dengan seluruh tingkatan, serta menolak keharusan untuk seragam, terpusatkan, biaya tinggi, lokalitas, deinstitusionalisasi (Servaes, 1986). Supaya terbentuk “model komunikasi yang berorientasi pemakai”, para ahli komunikasi menekankan perlunya horizontalisasi, deprofesionalisasi, desentralisasi, akses, pertukaran simetris, partisipasi sosial yang aktif, media dan teknologi yang menyatu, dan lain sebagainya. Strategi komunikasi yang berorientasi pemakai juga menunjukkan pendekatan mobilisasi dialektis, terkadang didefinisikan sebagai “pendekatan aksi” (MacBride, 1980). Strategi komunikasi Simantri yang berhasil akan dapat menumbuhkan partisipasi petani penerima program. Partisipasi diartikan sebagai keterlibatan mental/pikiran dan emosi/perasaan seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha tersebut (Davis, 1962). Partisipasi diartikan juga sebagai bentuk keterlibatan masyarakat setempat secara
aktif dalam
pengambilan keputusan
yang berhubungan
dengan
pembangunan atau pelaksanaan proyek (White, 1981). Apabila kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan harus dicapai secara partisipatif, maka media massa patut diberikan peranan yang berarti dalam
27
proses mencapai tujuan pembangunan tersebut.
Dalam kaitan ini Schramm
(dalam Jahi, 1988) menunjukkan bahwa ada tiga fungsi media massa dalam pembangunan, yaitu: (1) memberitahukan rakyat tentang pembangunan nasional, memusatkan perhatian mereka pada kebutuhan untuk berubah, kesempatan untuk menimbulkan perubahan, metode dan cara menimbulkan perubahan, dan jika mungkin meningkatkan aspirasi, (2) membantu masyarakat berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog, dan menjaga agar informasi mengalir baik ke atas maupun ke bawah, dan (3) mendidik rakyat agar memiliki keterampilan. 2.6 Efektivitas Komunikasi Pembangunan Dalam berkomunikasi, kondisi yang selalu diharapkan adalah terjadinya komunikasi yang efektif. Demikian juga seyogyanya komunikasi yang dilakukan oleh pihak pemrakarsa Program Simantri dengan petani anggota kelompok Simantri dalam pelaksanaan program tersebut. Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemrakarsa menghendaki Program Simantri dapat berjalan dengan baik. Di pihak lain, anggota Gapoktan mengharapkan agar pelaksanaan Program Simantri dapat memenuhi kebutuhannya. Terakomodasinya dua kepentingan dalam satu konsep program pembangunan itulah kondisi ideal yang diinginkan. Pencapaian kondisi ideal tersebut menuntut adanya komunikasi yang efektif antara pihak Pemprov Bali melalui para komunikator Program Simantri dan petani anggota Gapoktan. Komunikasi akan berjalan efektif apabila didukung oleh faktor-faktor yang terkait dengan konteks komunikasi, seperti faktor ketepatan komunikasi dan
28
faktor gangguan.
Ketepatan komunikasi (fidelity) dapat dicapai dengan
memperhatikan peranan unsur-unsur komunikasi (Berlo, 1960), yaitu: 1.
Komunikator harus memiliki keterampilan berkomunikasi, memiliki sikap positif terhadap komunikan dan pesan yang disampaikan, memiliki pengetahuan yang memadai tentang pesan dan komunikan, memahami kondisi sistem sosial dan budaya komunikan.
2.
Pesan komunikasi yang disampaikan harus berorientasi pada isi, unsur, struktur, kemasan, dan kode yang dipahami.
3.
Saluran/media komunikasi harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, sesuai dengan isi pesan, sesuai dengan konteks komunikasi, dan diupayakan agar dapat menyentuh panca indera (seeing, hearing, touching, smelling, dan tasting).
4.
Komunikan harus memiliki pengetahuan serta kemampuan berkomunikasi, bersikap positif terhadap komunikator serta pesan yang disampaikan, dan dapat memahami kondisi sistem sosial serta budaya komunikator. Di dalam mengkomunikasikan program-program pembangunan termasuk
Program Simantri, pihak Pemprov seyogyanya memperhatikan karakteristik masyarakat sasaran sebagai komunikan. Ada tiga karakter komunikan yang perlu diperhatikan oleh komunikator (Cutlip dan Center, 1971), yaitu: 1. Komunikan terdiri atas orang-orang yang hidup, bekerja, dan bermain satu sama lainnya dalam jaringan lembaga sosial, dan setiap orang adalah subjek bagi berbagai pengaruh, termasuk dari komunikator.
29
2. Komunikan
membaca,
mendengar,
dan
menonton
komunikasi
yang
menyajikan pandangan hubungan pribadi yang mendalam. 3. Tanggapan
yang
diinginkan
komunikator
dari
komunikan
harus
menguntungkan bagi komunikan, kalau tidak, ia tidak akan memberikan tanggapan. Disamping memperhatikan karakteristik masyarakat sasaran, di lain pihak komunikator program pembangunan hendaknya dapat tampil meyakinkan, sehingga masyarakat percaya dan tertarik terhadap komunikasi yang dilaksanakan. Untuk mendapatkan komunikasi yang efektif, komunikator harus dapat dipercaya (source credibility) dan memiliki daya tarik (source attractiveness). Kedua hal ini untuk memenuhi hasrat komunikan memperoleh suatu pernyataan yang benar dan hasrat menyamakan diri dengan komunikator, atau bentuk hubungan lainnya yang secara emosional memuaskan (Cutlip dan Center, 1971). Di samping itu, seseorang hanya berkomunikasi secara efektif sejauh perilakunya sesuai atau terpolakan dengan perilaku orang lain dalam konteks sosialnya (Fisher, 1986). Secara umum, masyarakat memberikan respon positif serta menerima pesan-pesan program pembangunan bila sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Komunikan dapat menerima pesan jika terdapat empat kondisi yang berkaitan secara simultan, yaitu: (1) ia dapat dan benar-benar mengerti isi pesan komunikasi; (2) pada saat mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusan itu sesuai dengan tujuannya; (3) pada saat mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusan itu berkaitan dengan kepentingan pribadinya; dan (4) ia mampu menepatinya baik secara mental maupun fisik (Barnard dalam Effendy, 2003).
30
Disamping unsur komunikator dan komunikan, unsur pesan memiliki peranan penting didalam menunjang efektivitas komunikasi. Oleh karena itu, informasi yang berkaitan dengan Program Simantri seyogyanya dibuat menarik, baik dalam kemasannya, metode serta teknik penyampaiannya, maupun manfaatnya bagi sasaran.
Kondisi yang harus dipenuhi agar pesan dapat
membangkitkan tanggapan masyarakat sesuai dengan yang dikehendaki antara lain: (1) pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan; (2) pesan harus menggunakan lambang-lambang yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama dimengerti; (3) pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut; (4) pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki (Schramm, 1973). Berkaitan dengan efektivitas komunikasi, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pesan komunikasi yaitu: (1) waktu penyampaian yang tepat; (2) bahasa yang dapat dimengerti; (3) sikap dan nilai yang harus ditampilkan; dan (4) jenis kelompok dimana komunikasi dilaksanakan (Barnard dalam Effendy, 2003). Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Bila S adalah pengirim atau sumber pesan dan R penerima pesan, maka komunikasi disebut mulus dan
31
lengkap bila respon yang diinginkan S dan respon yang diberikan R identik. Hal ini diformulasikan sebagai berikut (Goyer dalam Tubbs dan Moss, 1996): R = makna yang ditangkap penerima S makna yang dimaksud pengirim
=1
Guna mengetahui efektivitas komunikasi, ada lima indikator yang dapat dijadikan ukuran, yaitu: pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan (Tubbs dan Moss, 1996). Sedangkan Hardjana (2000) melihat efektivitas komunikasi dengan membandingkan antara apa yang dimaksud atau yang seharusnya menurut sistem dengan apa yang senyatanya terjadi. Kriteria efektivitas komunikasi dinilai berdasarkan enam indikator, yaitu: penerima atau pemakai (receiver or user), isi pesan (content), ketepatan waktu (timing), media komunikasi (media), format (format), dan sumber pesan (source). DeVito (1997) membedakan karakteristik efektivitas komunikasi dalam dua model, yaitu Model Humanistis dan Model Pragmatis. Model Humanistis menekankan lima kualitas, yaitu: keterbukaan, empati, dukungan (sifat deskriptif, spontanitas, dan profesionalisme), sikap positif, dan kesetaraan. Sudut pandang Model Pragmatis dipusatkan pada perilaku spesifik yang harus digunakan oleh komunikator untuk mendapatkan hasil yang dikehendaki. Model Pragmatis ini menekankan pada: rasa percaya diri, kebersatuan, manajemen interaksi, daya ekspresi, dan orientasi kepada pihak lain. Komunikasi Program Simantri niscaya akan efektif bila sejak awal dilaksanakan dengan pendekatan konvergensi, dimana semua sumberdaya komunikasi dilibatkan dalam upaya membahas Program Simantri, sejak perencanaan, pelaksanaan, monitoring-evaluasi, dan pemanfaatan hasil program.
32
Dengan pendekatan konvergensi menurut Rogers dan Adhikarya (dalam Nasution, 2002), dapat menuju ke suatu pengertian yang bersifat timbal-balik diantara partisipan komunikasi dalam hal pengertian, perhatian, kebutuhan, ataupun titik pandang.
Di samping itu, melalui forum konvergensi dapat diupayakan
tumbuhkembangnya partisipasi semua pihak yang ikut dalam proses komunikasi, demi tercapainya suatu fokus bersama dalam memandang permasalahan yang dihadapi. Komunikator Program Simantri seyogyanya memiliki kemampuan untuk mengembangkan komunikasi humanis, yakni mampu mengembangkan dialog antara pihak pemrakarsa program dan petani anggota Gapoktan sebagai pihak penerima program. Dalam konteks komunikasi yang humanis (Mulyana, 2007), dialog mencerminkan kesediaan untuk mendengarkan masyarakat, kesediaan mengasumsikan bahwa masyarakat setara dengan yang ingin memberdayakan mereka, apakah itu pemerintah (daerah), penyuluh, atau LSM. Harus disadari pula, bahwa masyarakat sebagai subjek pembangunan adalah manusia yang juga punya jiwa, kehendak bebas untuk memilih, bahkan menolak. Dialog menuntut kesediaan untuk memahami bahasa pihak lain, bukan saja bahasa verbal dan bahasa nonverbal mereka, namun juga bahasa dalam pengertian yang lebih luas, seperti nilai-nilai budaya yang mereka anut, keinginan, aspirasi, harapan, kepentingan, cita-cita, ketakutan, dan kekhawatiran yang mereka rasakan. 2.7 Komunikasi Organisasi dalam Program Pembangunan Keberhasilan Program Simantri sangat ditentukan oleh peranan aparatur Pemprov Bali yang melaksanakan program tersebut. Oleh karena itu, aparatur
33
Pemprov Bali dituntut memiliki kompetensi komunikasi yang memadai untuk melakukan pendekatan dengan berbagai pihak, khususnya petani anggota Gapoktan calon penerima bantuan Program Simantri. Kompetensi komunikasi aparatur Pemprov Bali dipengaruhi oleh pola serta kebijakan komunikasi Pemprov Bali dan faktor-faktor personal aparatur. Pola serta konteks komunikasi yang berkembang di lingkungan Pemprov Bali semestinya mencerminkan pola-pola komunikasi organisasi, karena berdasarkan aspek statis maupun dinamis Pemprov Bali merupakan suatu organisasi. Berdasarkan Teori Sistem Sosial, organisasi terdiri dari bagian-bagian yang berkomunikasi antara yang satu dengan yang lainnya, menerima pesan-pesan dari dunia luar, dan menyimpan informasi. Fungsi komunikasi bagian-bagian ini sekaligus
merupakan
konfigurasi
yang
menggambarkan
sistem
secara
keseluruhan. Dari sudut pandang sistem, komunikasi adalah organisasi (Scott dalam Pace dan Faules, 2000). Suatu organisasi terdiri atas unit-unit komunikasi dalam hubunganhubungan hierarki antara satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan. Komunikasi diantara anggota-anggota suatu organisasi menyangkut banyak transaksi yang terjadi secara simultan. Hal ini mencerminkan bahwa sistem komunikasi organisasi menyangkut interaksi diantara lusinan dan bahkan ratusan individu pada saat yang sama yang memiliki berbagai perbedaan (Pace dan Faules, 2000). Pemprov Bali sebagai suatu organisasi seyogyanya memberikan apresiasi positif terhadap peranan komunikasi di dalam kelancaran pelaksanaan tugas-tugas
34
pemerintahan. Komunikasi telah menjadi bagian penting dari organisasi sejak masa teori klasik tentang organisasi/manajemen (Koehler et al., 1976). Komunikasi memiliki tiga peran utama dalam organisasi, yaitu: fungsi tugas, integrasi serta diferensiasi, dan pemeliharaan (Wilson et al., 1986). Disamping peran tersebut, proses komunikasi dalam organisasi mampu membentuk jaringan komunikasi yang dapat menunjang fungsi-fungsi organisasi. Jaringan komunikasi dalam organisasi sangat penting terutama untuk tiga fungsi utama, yaitu: mengumpulkan informasi dari level hirarki yang berbeda, mengedarkan informasi melalui organisasi, dan pertukaran informasi pengetahuan, serta persuasi. Komunikasi organisasinya.
dalam
organisasi
sangat
dipengaruhi
oleh
struktur
Status dan peranan staf dalam organisasi tidak hanya akan
membawa dan membentuk struktur dominan – submission dalam proses komunikasi, juga akan menentukan arah, cakupan informasi, teknik, dan media komunikasi yang digunakan (Rogers dan Rogers, 1976). Dalam hubungan antara komunikasi dan organisasi, ada tiga hal penting yang perlu dicatat. Pertama, komunikasi tidak lain merupakan perilaku yang bertujuan (intentional behaviors). Kedua, komunikasi merupakan suatu proses dan hubungan-hubungan yang tidak statis tetapi berjalan dan kontinyu dalam mengembangkan interaksi, membangun hubungan dengan memanfaatkan teknologi. Ketiga, komunikasi tidak lain merupakan evaluasi dan budaya, ada awal, perkembangan, dan akhir, melalui penggunaan dan pemahaman simbol serta pola dan cara berkomunikasi dalam konteks budaya tertentu (Wilson et al.,1986).
35
Komunikasi organisasi dapat diartikan sebagai proses penciptaan dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubahubah (Goldhaber, 1986).
Lingkup komunikasi organisasi mencakup tiga hal
utama, yaitu: komunikasi antarorang, komunikasi kelompok, dan komunikasi publik organisasi. Komunikasi antarorang dalam organisasi terjadi dalam bentuk yang bervariasi, mulai dari komunikasi pathic, wawancara, mendekatkan atau mengakrabkan, membangun kebersamaan atau konflik (Wilson et al.,1986). Proses komunikasi antarorang dalam organisasi dibedakan menjadi dua tipe, yaitu komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal. Komunikasi vertikal terdiri atas komunikasi dari atas ke bawah (downward atau superior-subordinate communication) dan komunikasi dari bawah ke atas (upward atau subordinate initiated communication). Komunikasi horizontal dibutuhkan organisasi terutama untuk membangun koordinasi dalam menyelesaikan tugas-tugas organisasi dan mengembangkan suasana (Koehler et al., 1976). Komunikasi dari atas ke bawah umumnya menyangkut: bagaimana melakukan pekerjaan, dasar pemikiran untuk melakukan pekerjaan, kebijakan dan praktek-praktek organisasi, kinerja pegawai, dan pengembangan rasa memiliki tugas (sense of mission). Komunikasi dari bawah ke atas biasanya mencakup: kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan, pertanyaan yang belum terjawab, berbagai gagasan perubahan dan saran-saran perbaikan, dan perasaan yang berkaitan dengan pekerjaan mengenai organisasi.
Sedangkan komunikasi
horizontal/lateral umumnya dapat memperlancar pertukaran pengetahuan,
36
pengalaman, metode, dan masalah.
Hal ini dapat membantu organisasi
menghindarkan beberapa masalah dan memecahkan yang lainnya. Komunikasi jenis ini juga membangun semangat kerja dan kepuasan karyawan. Yang lebih penting lagi, komunikasi horizontal/lateral dapat membantu mengkoordinasikan berbagai kegiatan organisasi dan memungkinkan berbagai divisi mengumpulkan pengalaman dan keahliannya (DeVito, 1997). 2.8 Konsep dan Teori Strategi Komunikasi Strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan komunikasi (communication planning) dan manajemen (communication management) untuk mencapai suatu tujuan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi komunikasi
harus dapat menunjukkan taktik operasional yang harus dilakukan. Dalam arti kata, bahwa pendekatan (approach) bisa berbeda sewaktu-waktu tergantung dari situasi dan kondisi (Effendi, 1993). Lebih lanjut diungkapkan, bahwa strategi komunikasi meliputi planned multi-media strategy (bersifat makro) dan single communication medium strategy (bersifat mikro). Kedua aspek tersebut mempunyai fungsi ganda, yaitu: pertama, menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematis kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal, kedua menjembatani cultural gap, misalnya suatu program yang berasal dari suatu produk kebudayaan lain yang dianggap baik untuk diterapkan dan dijadikan milik kebudayaan sendiri sangat tergantung bagaimana strategi mengemas informasi itu dalam mengkomunikasikannya (Effendi, 1993).
37
Menurut Arifin (1984) strategi adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan, guna mencapai tujuan. Jadi merumuskan strategi komunikasi, berarti memperhitungkan kondisi dan situasi (ruang dan waktu) yang dihadapi dan yang akan mungkin dihadapi di masa depan, guna mencapai efektivitas. Dengan strategi komunikasi ini, berarti dapat ditempuh beberapa cara memakai komunikasi secara sadar untuk menciptakan perubahan pada diri khalayak dengan mudah dan cepat. Untuk merancang strategi komunikasi, teori komunikasi yang tampak relevan adalah yang dikemukakan oleh Harold D. Lasswell, yang menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menggambarkan dengan tepat sebuah tindak komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan “who says what in which channel to whom with what effect ?”. Jawaban atas formula Lasswell tersebut berupa unsur-unsur komunikasi yang selalu ada dan berproses dalam setiap konteks komunikasi, yang terdiri atas: komunikator (source), pesan (message), media (channel), komunikan (receiver), dan efek (effect). Formula Lasswell ditelaah lebih rinci oleh McQuail dan Windahl (1981) dalam bentuk skema seperti terlihat pada Gambar 2.1. siapa
mengatakan apa
melalui apa
kepada siapa
efeknya bagaimana
komunikator
pesan
media
komunikan
efek
analisis komunikator
analisis isi
analisis media
analisis komunikan
analisis efek
Gambar 2.1 Skema Formula Model Komunikasi Lasswell
38
Melalui telaah Formula Laswell (McQuail dan Windahl,1981) dapat memberikan petunjuk hal-hal yang perlu mendapat penekanan untuk merancang strategi komunikasi guna memperoleh komunikasi yang efektif. Seperti kriteria yang seyogyanya dimiliki oleh komunikator meliputi: memiliki rasa percaya diri (self confident), menguasai materi yang akan disampaikan, mampu memelihara relasi serta mengendalikan transaksional dengan komunikan. Strategi komunikasi harus mampu meramalkan efek komunikasi yang diharapkan, sehingga dapat ditetapkan teknik atau cara berkomunikasi, seperti memanfaatkan komunikasi tatap muka (face to face communication) untuk munculnya efek perubahan perilaku (behaviour change) pada komunikan. Pemanfaatan komunikasi bermedia (mediated communication), untuk fungsi informatif dengan jangkauan komunikan lebih banyak, walaupun sangat lemah dalam fungsi persuasif (DeVito, 1997). Di dalam strategi komunikasi peranan komunikator sangat penting, oleh karena itu, strategi komunikasi sebaiknya dirancang fleksibel, sehingga komunikator dapat lebih luluasa melakukan penyesuaian dalam setiap perubahan konteks komunikasi. Menurut DeVito (1997) salah satu taktik melancarkan komunikasi dapat menggunakan pendekatan A-A Procedure (from Attention to Action Procedure) dengan lima langkah yang disingkat AIDDA dengan jabaran sebagai berikut: A (Attention/perhatian), I (Interest/minat), D (Desire/hasrat), D (Decision/keputusan), dan A (Action/kegiatan). Strategi komunikasi untuk menciptakan efektivitas komunikasi dapat diupayakan dengan mengondisikan fungsi unsur-unsur komunikasi secara
39
maksimal.
Menurut Berlo (1960), unsur-unsur komunikasi yang terdiri atas
komunikator (source), pesan (message), media (channel), dan komunikan (receiver), masing-masing memiliki ramuan (ingredients) yang dapat mendukung fungsi unsur-unsur tersebut berperan menciptakan komunikasi yang efektif, seperti terlihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 A Model of The Ingredients in Communication (Berlo, 1960)
Komunikator dan komunikan agar dapat berperan menunjang efektivitas komunikasi hendaknya memperhatikan aspek-aspek: keterampilan berkomunikasi (communication skill), pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), sistem sosial (social system), dan budaya (culture). Pesan komunikasi yang dapat mendukung komunikasi efektif harus dikemas dengan memperhatikan aspek: unsur (elements), struktur (structure), isi (contents), pengemasan (treatment), dan simbol atau kode (code), sedangkan media komunikasi yang dimanfaatkan mengirim pesan seyogyanya dapat menyentuh sebanyak mungkin unsur panca indera komunikan,
40
seperti indera: penglihatan (seeing), pendengaran (hearing), perabaan (touching), penciuman (smelling), dan perasa (tasting). Menurut Rogers dan Adikarya (1978) agar komunikasi pembangunan efektif mencapai sasarannya, maka strategi komunikasi dapat dirumuskan dengan prinsip-prinsip: tailored messages, ceiling effect, narrow casting, traditional media, opinion leader, agent of change, dan participatory. Sedangkan Academy For Educational Development (dalam Nasution, 2002) menawarkan strategi komunikasi yang umum dimanfaatkan dalam penyebarluasan pesan-pesan pembangunan, yang meliputi: media based strategy, instructional design strategy, participatory strategy, dan marketing strategy. Strategi komunikasi menentukan efektivitas komunikasi dan dengan pemanfaatannya yang tepat sangat mendukung keberhasilan penyebarluasan suatu inovasi. Menurut catatan World Bank (1998), penerapan strategi komunikasi yang tepat sangat membantu mempercepat proses difusi inovasi program pembangunan di negara-negara berkembang. Hal tersebut tentu dapat dijadikan referensi untuk proses penyebaran inovasi Program Simantri. Thomas (2002) peran komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat dapat direalisasikan melalui strategi: (1) melatih komunikator pedesaaan, misalnya penyuluh atau petugas pendamping; (2) difokuskan pada kegiatan komunikasi partisipatif yang terpadu, (3) investasi pada komunikasi berbasis komunitas; (4) keterlibatan masyarakat dalam perencanaan komunikasi; (5) hak-hak masyarakat terhadap informasi/komunikasi. Berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam aktivitas komunikasi Servaes (2002) manyatakan bahwa bentuk partisipasi
41
komunikasi adalah manajemen diri, yang bermakna adanya hak untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan produksi isi media, sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh komunitas lokal. Wani Agriculture
(2008) dalam Production”
tulisannya
“Communication for Sustainable
mengemukakan
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi komunikasi antar lain: kedekatan personal, kepribadian, hubungan sosial, pengetahuan, dan parameter sosial ekonomi petani. Disamping itu, temuan Yadav Tahun 2002 (dalam Wani, 2008), menyatakan bahwa informasi dalam bentuk iklan (advertising), public relation, dan informasi dari mulut ke mulut (personal selling) ditemukan sebagai bentuk promosi yang paling baik. Hal-hal inilah pula yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan strategi komunikasi. Menurut Sukarmi dkk. (2010) di dalam pelaksanaan program edukasi oleh pihak perbankan terhadap nasabah perlu dilakukan evaluasi pelaksanaan program termasuk didalamnya strategi komunikasinya.
Selanjutnya disarankan untuk
menyusun perencanaan strategi komunikasi yang tepat dalam pelaksanaan komunikasi hak nasabah maupun sosialisasi program lainnya kepada masyarakat. Formula strateginya meliputi empat unsur utama, yaitu: mendefinisikan dan memformulasikan sasaran komunikasi, memilih kelompok target, membuat pesan kunci atau key messages bagi kelompok target, dan memilih pendekatan serta cannel atau media komunikasi.