BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Agensi Agency (keagenan) menurut Schoeder dan Clark (1998) mendefinisikan adanya hubungan antara dua belah pihak baik ituagent (pihak yang dipekerjakan) dan principal (pihak yang mempekerjakan) dalam suatu kontrak. Dalam konteks manajemen keuangan, hubungan ini muncul antara (a) pemegang saham (shareholders) dengan para manajer serta (b) pemegang saham (shareholders) dengan kreditur (bondholders atau pemegang obligasi). Problem keagenan (agency problem) antara pemegang saham (pemilik perusahaan) dengan manajer, potensial terjadi bila manajemen tidak memiliki saham mayoritas perusahaan. Pemegang saham tentu menginginkan manajer bekerja dengan tujuan memaksimumkan kemakmuran pemegang saham. Sebaliknya,
manajer
perusahaan
bisa
saja
bertindak
tidak
untuk
memaksimumkan kemakmuran pemegang saham, tetapi memaksimumkan kemakmuran mereka sendiri terjadilah conflict of interest. Untuk meyakinkan bahwa manajer bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan pemegang saham, maka pemegang saham harus mengeluarkan biaya yang disebut agency cost, yang meliputi pengeluaran untuk memonitor kegiatan manajer, pengeluaran untuk membuat suatu struktur organisasi yang meminimalkan tindakan-tindakan manajer yang tidak diinginkan serta opportunity cost yang
6
7
timbul akibat kondisi dimana manajer tidak dapat segera mengambil keputusan tanpa persetujuan pemegang saham (Atmaja, 1999: 13). Pengawasan secara total terhadap kegiatan para manajer akan memecahkan masalah keagenan, tetapi dibutuhkan biaya (agency costs) yang mahal dan kurang efisien. Terdapat beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi agency costs, antara lain : (a) mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham dengan mengikutsertakan manajer untuk memiliki saham perusahaan tersebut (insider ownership), (b) meningkatkan dividend payout ratio, (c) meningkatkan pendanaan dari utang, dan (d) meningkatkan kepemilikan institusional. Lebih lanjut Jensen & Meckling (1976) menunjukkan bahwa struktur kepemilikan, keputusan pendanaan dan kebijakan dividen dapat digunakan untuk mengurangi agency costs yang bersumber pada masalah keagenan (agency conflict). Menurut Jensen dan Meckling (1976), kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme corporate governance utama yang membantu mengendalikan masalah keagenan (agency conflict). Bathala et al. (1994) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan. Hal tersebut didasarkan pada logika bahwa peningkatan proporsi saham yang dimiliki manajer akan menurunkan
kecenderungan
manajer
untuk
melakukan
tindakan
mengkonsumsi fasilitas yang berlebihan, dengan demikian akan menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.
8
Agency problem juga muncul antara kreditur (pemberi hutang), misalnya pemegang obligasi perusahaan (bondholders) dengan pemegang saham (stockholders) yang diwakili oleh manajemen perusahaan. Konflik muncul jika (a) manajemen mengambil proyek-proyek yang risikonya lebih besar daripada yang diperkirakan oleh kreditur atau (b) perusahaan meningkatkan jumlah hutang hingga mencapai tingkatan yang lebih tinggi daripada yang diperkirakan kreditur. Kedua tindakan tersebut akan meningkatkan risiko finansial perusahaan, selanjutnya akan menurunkan nilai pasar hutang/ obligasi perusahaan yang belum jatuh tempo. Kreditur dirugikan jika perusahaan mengambil proyek yang terlalu berisiko karena hal ini akan meningkatkan risiko kebangkrutan perusahaan. Di lain pihak jika proyek berisiko tinggi tersebut memberikan hasil yang bagus, kompensasi yang diterima kreditur (berupa bunga) tidak ikut naik (Atmaja, 1999: 13).
2.2. Teori Signalling Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan (Jama’an, 2008).Signalling merupakan suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Tindakan manajemen tersebut akan tercerminkan dalam laporan keuangan yang dipublikasikan. Dalam konsep signalling dijelaskan bahwa terdapat asimetri informasi antara manajer dan para pemegang saham mengenai prospek perusahaan.
9
Dalam hal ini manajer memiliki informasi yang lebih lengkap mengenai prospek perusahaan di masa mendatang dan hal ini akan memunculkan asimetri informasi jika manajer tersebut tidak menyampaikan informasi secara lengkap kepada para pemegang saham dan publik. Asimetri informasi merupakan satu keadaan dimana dalam perdagangan saham salah satu pihak memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak lain menyangkut saham atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan. Dalam kondisi terjadi asimetri informasi, maka akan ada pihak yang berpotensi untuk dirugikan. Keterbatasan informasi keuangan yang dimiliki oleh pihak tersebut akan menjadikan keputusan yang diambil kurang berdasarkan informasi yang akurat. Asimetri informasi dapat terjadi di pasar modal ketika salah satu pelaku pasar modal memiliki informasi yang lebih dibandingkan dengan pelaku pasar modal yang lain. Ketidakseimbangan informasi tersebut akan berdampak buruk terhadap kinerja pasar modal. Dalam hal ini suatu pasar modal dikatakan
efisien jika penyebaran informasi ini dilakukan secara cepat
sehingga informasi menjadi simetris, yaitu setiap pelaku pasar memiliki informasi ini (Jogiyanto, 1998: 372). Asimetri informasi ini dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: 1.
Adverse Selection Merupakan jenis dari asimetri informasi yang mana satu atau lebih dari praktisi pasar melakukan suatu transaksi bisnis atau transaksi yang
10
potensial memiliki suatu informasi yang bermanfaat dibandingkan praktisi pasar lainnya. 2.
Moral Hazard Merupakan jenis asimetri informasi yang mana satu atau lebih dari praktisi pasar melakukan suatu transaksi bisnis atau transaksi yang potensial,dapat mengawasi tindakannya dalam penyelesaian dari suatu transaksi tetapi praktisi lainnya tidak.
2.3. Struktur Modal a. Konsep Dasar Struktur modal adalah kombinasi pendanaan, semua itu ada pada bagian kanan dari neraca yang menandakan bahwa sumber pendanaan sebagian besar berasal dari luar perusahaan.Struktur modal didefinisikan sebagai komposisi dan proposi utang jangka panjang dan ekuitas (saham preferen dan saham biasa) yang ditetapkan perusahaan (Handono Mardiyanto, 2009). Saat memperlajari kapitalisasi perusahaan, sangat penting untuk menghitung rasio utang terhadap total kapitalisasi (debt/ capitalization ratio : D / C), yang mengindikasikan proporsi utang, dan kepemilikan (ekuitas) yang diterbitkan perusahaan. Perusahaan harus mempertahankan keseimbangan antara utang dan ekuitas. Utang yang terlalu besar akan menambah risiko perusahaan, membuat investor kuatir akan kemampuan
11
perusahaan melunasinya kepada kreditor. Hal ini bisa menambah biaya modal. Tetapi utang bermanfaat pada perusahaan karena memberikan financial leverage. Pengurangan pajak dengan adanya pembayaran bunga kepada kreditor memungkinkan perusahaan memperoleh laba per saham (earnings per share) lebih tinggi (Saragih dkk., 2005: 135).
b. Financial Leverage Menurut Riyanto (2001:375) financial leverage adalah penggunanan danan dengan beban tetap untuk memperbesar pendapatan. Konsep ini berhubungan dengan penggunaan surat utang untuk mendanai investasi dan terdiri dari hubungan antara EBIT (earning before interest and taxes) dan EPS (earnings per share). Bunga yang dibayar dengan adanya utang, merupakan biaya sebelum pajak, sehingga arus pendapatan operasi (operating income) kepada investor akan lebih banyak. Tetapi utang yang semakin besar akan menambah risko keuangan. Ini berarti tingkat pendapatan operasi harus berkesinambungan dengan pembayaran kupon tetap (bunga) ditambah pembayaran pokok pinjaman. Sehingga utang yang bertambah, maka biaya tetap finansial bertambah dan bahaya lebih besar jika perusahaan tidak bisa memenuhi pembayaran tetap secara periodik. Dengan bertambahnya utang, maka risiko
finansial
bertambah dengan adanya pembayaran bunga yang menjadi semakin besar terhadap EBIT.
12
c. Memilih Kombinasi Modal yang Baik Struktur modal yang mempengaruhi risiko, imbal hasil (return / EPS), dan nilai perusahaan, membuat manajer keuangan harus memperhatikan dampak perubahan pada kombinasi modal pada nilai dan kekayaan perusahaan. Jika investor memandang utang terlalu besar, maka harus dicegah penambahan utang oleh perusahaan tersebut. Kebijakan utang yang berlebih tidak terlalu baik karena akan menaikkan risiko dan potensi gagal bayar (default). Tetapi kebijakan ekuitas yang berlebih juga bukan kebijakan yang baik karena itu akan menghilangkan manfaat dari financial leverage, dan weigghted average cost of capital (WACC) menjadi tidak berguna. Dalam beberapa kasus, menerbitkan
saham
baru
dapat
mengontrol
penggunaan
suara
(stockholder) pada perusahaan. Tetapi hasilnya adalah kombinasi modal yang tidak seimbang, yang bisa membuat rugi nilai perusahaan. Tujuan utama manajer keuangan adalah membentuk kombinasi modal yang dapat menurunkan biaya serendah mungkin, mempertahankan kebijakan deviden dan pendapatan, serta memaksimumkan kekayaan pemegang saham. Dengan kata lainstruktur modal optimal yang meminimumkan WACC dengan mempertahankan utang perusahaan pada level tertentu yang dapat merangsang masuknya dana baru (Saragih dkk., 2005: 136).
13
2.4. Risiko Bisnis Apabila suatu bisnis (atau suatu organisasi nirlaba) merusak atau melanggar prinsip pencocokan, maka tiga risiko yang saling berkaitan berikut ini akan terjadi: a. Risiko Tingkat Bunga (Interest rate risk) Ketika waktu pembaruan pinjaman datang, suku bunga pinjaman mungkin lebih tinggi. Karena kredit modal kerja seperti yang dideskripsikan di atas biasanya menggunakan suku bunga mengambang, maka persoalan tersebut menjadi terkesan teoritis (Dewi, 2004: 189). Akan tetapi hal ini tidak lagi persoalan teoritis bagi perusahaanperusahaan yang tidak mampu menanggung risiko tersebut.
b. Risiko Pembiayaan Kembali (Refinancing risk) Bisnis-bisnis yang bersandar sepenuhnya pada pinjaman-pinjaman modal kerja yang harus diperbarui setiap tahun harus memperhatikan persoalan ini: “Apa yang akan kita lakukan jika kreditur berhenti mengucurkan dana?” Jika Anda tidak menemukan jawaban yang pasti, maka anda perlu segera berbuat sesuatu. Jika respon Anda: “Para penyumbang dana tidak akan melakukan hal seperti itu,” berarti Anda tidak menemukan jawaban yang baik.
c. Risiko Kehilangan Otonomi Operasioanlisasi (Risk of loss of operating autonomy)
14
Para kreditur biasanya tidak berhenti memberikan pinjaman secara tibatiba, malah kadang-kadang mereka selalu berusaha membantu. Ketika persoalan-persoalan muncul, mereka juga lebih mengharapkan adanya perbaikan terlebih dahulu danmemberikan saran-saran yang mungkin berguna.
Terkadang
mereka
juga
meminta
persyaratan
baru
sepertiadanya tambahan jaminan atas kredit,jaminan-jaminan personal, atau suku bunga yang lebih tinggi. Bagi pemilik perusahaan, hubungan yang memburuk dengan kreditur (yang ditandai dengan perubahan beberapa persyaratan) berarti kabar buruk (Dewi, 2004: 190).
Dalam membahas permbiayaan sebuah usaha baru, dua partner dari perusahaan akuntansi Big Fight mengatakan hal berikut ini, mengenai pembiayaan modal kerja: “Identifikasikan jangka waktu kredit yang Anda perlukan”. Jika Anda membutuhkan modal permanen untuk mendukung pertumbuhan modal kerja, akuilah kebutuhan tersebut dan mintalah kreditur untuk memberikan pinjaman dengan jangka waktu sesuai dengan kebutuhan itu. Seringkali, para pengusaha berupaya memulai dengan pinjaman jangka pendek atau pinjaman-pinjaman lain yang menuntut pembayaran dalam jangka waktu tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa sering dengan pertumbuhan perusahaan semakin banyak dana yang akan dibutuhkan. Akibatnya, pengusaha tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya memikirkan persoalan pendanaan, khususnya dalam upaya untuk mengatur pembiayaan baru sehingga lupa berkonsentrasi pada persoalan paling fundamental dalam bisnis yang dilakukan. Ada baiknya mencoba mengikuti
15
prinsip berikut ini: “Jangan membiayai kebutuhan-kebutuhan jangka panjang dengan menggunakan dana jangka pendek.” (Dewi, 2004: 191). Dalam manajemen keuangan perusahaan, dikenal adanya konsep leverage ratio, yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiayai dengan hutang. Artinya berapa besar beban hutang yang ditanggung perusahaan dibandingkan dengan aktivanya. Dalam arti luas dikatakan bahwa leverage ratio atau disebut sebagai rasio solvabilitas ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dibubarkan (dilikuidasi). Secara umum, dapat dipahami bahwa hutang yang lebih besar dari ekuitas akan menambah risiko finansial. Hal ini mengakibatkan nilai kapitalisasi dari pengembalian (return) akan lebih rendah karena risiko yang bertambah akan menambah pembayaran bunga, sehingga tingkat diskonto pada EPS meningkat. Manajer keuangan harus membuat kebijakan yang mampu menghasilkan struktur modal yang optimal (Ferdinan, dkk., 2005: 138). Penggunaan leverage ratio atau rasio solvabilitas bagi perusahaan memberi banyak manfaat yang dapat dipetik, baik rasio rendah maupun rasio tinggi. Menurut Fred Weston, leverage ratio atau rasio solvabilitas memiliki beberapa implikasi berikut (Kasmir, 2008: 152). a. Kreditor mengharapkan
ekuitas
(dana yang disediakan pemilik)
sebagai marjin keamanan. Artinya jika pemilik memiliki dana yang
16
kecil sebagai modal, risiko bisnis terbesar akan ditanggung oleh kreditor. b. Dengan pengadaan dana melalui utang, pemilik memperoleh manfaat, berupa
tetap
dipertahankannya
penguasaan
atau
pengendalian
perusahaan. c. Bila perusahaan mendapat penghasilan lebih dari dana
yang
dipinjamkannya dibandingkan dengan bunga yang harus dibayarnya, pengembalian kepada pemilik diperbesar.
Dalam praktiknya, apabila dari hasil perhitungan, perusahaan ternyata memiliki rasio solvabilitas yang tinggi, hal ini akan berdampak timbulnya risiko kerugian lebih besar, tetapi juga ada kesempatan mendapat laba juga besar. Sebaliknya apabila perusahaan memiliki rasio solvabilitas lebih rendah tentu mempunyai risiko kerugian lebih kecil pula, terutama pada saat perekonomian menurun. Dampak ini juga mengakibatkan rendahnya tingkat hasil pengembalian (return) pada saat perekonomian tinggi. Oleh karena itu, manajer keuangan dituntut untuk mengelola rasio solvabilitas dengan baik sehingga mampu menyeimbangkan pengembalian yang tinggi dengan tingkat risiko yang dihadapi. Perlu dicermati pula bahwa besar kecilnya rasio ini sangat tergantung dari pinjaman yang dimiliki perusahaan, disamping aktiva yang dimilikinya (ekuitas) (Kasmir, 2008: 152).
17
2.5. Pajak Tangguhan Pajak tangguhan adalah pajak yang pengakuanya ditangguhkan pada periode
berikutnya.
Pajak
yang
ditangguhkan
disini
hanya
Pajak
Penghasilanya saja (PPH) baik penghasilan atas oprasional diluar maupun didalam. Terjadinya pajak tangguhan ini karena adanya selisih laba kena pajak (laba fiskal) dan laba akuntansi. Laba akuntansi adalah laba atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak. Penghasilan kena pajak atau laba fiscal (taxable profit) atau rugi pajak (tax loss) adalah laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan. Beban pajak (tax expense) atau penghasilan pajak (tax income) adalah jumlah agregat pajak kini (current tax) dan pajak tangguhan (deferred tax) yang diperhitungkan dalam penghitungan laba atau rugi pada satu periode.Pajak kini (current tax) adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) atas penghasilan kena pajak pada satu periode. Kewajiban pajak tangguhan (deferred taxliabilities) adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2002: 46.2). Aktiva pajak tangguhan (deferred tax assets) adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian.
18
Perbedaan temporer (temporary differences) adalah perbedaan antara jumlah tercatat aktiva atau kewajiban dengan DPP-nya. Perbedaan temporer dapat berupa: a. Perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan kena suatu jumlah kena pajak (taxable amounts) dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled); atau b. Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductible temporary differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah yang boleh dikurangkan (deductible amounts) dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled).
Dasar pengenaan pajak (DPP) aktiva atau kewajiban adalah nilai aktiva atau kewajiban yang diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam penghitungan laba fiskal. Surat Ketetapan Pajak adalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang dapat berupa: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan
pembayaran
pokok
pajak,
administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar;
besarnya
sanksi
19
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan; c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang; d. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
Surat Tagihan Pajak adalah surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi berupa bunga dan/atau denda.
2.6. Pengakuan Aktiva Pajak a. Pengakuan Aktiva Pajak Kini (Current Tax Assets) dan Kewajiban Pajak Kini (Current Tax Liabilities) Jumlah pajak kini, yang belum dibayar harus diakui sebagai kewajiban. Apabila jumlah pajak yang telah dibayar untuk periode berjalan dan periode-periode sebelumnya melebihi jumlah pajak yang terutang untuk periode-periode tersebut, maka selisihnya, diakui sebagai aktiva.
b. Pengakuan Aktiva Pajak Tangguhan (Deferred Tax Assests) dan Kewajiban Pajak Tangguhan (Deferred Tax Liabilities)
20
Semua perbedaan temporer kena pajak diakui sebagai kewajiban pajak tangguhan, kecuali jika timbul perbedaan temporer kena pajak: 1) Dari goodwill yang amortisasinya tidak dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal; atau 2) Pada saat pengakuan awal aktiva atau kewajiban dari suatu transaksi yang: a) Bukan transaksi penggabungan usaha; dan b) Pada saat transaksi, tidak mempengaruhi laba akuntansi dan laba fiskal.
Pengakuan suatu aktiva mengandung makna bahwa nilai tercatat aktiva tersebut akan terpulihkan dalam bentuk manfaat ekonomi yang akan diterima oleh perusahaan pada periode mendatang. Apabila nilai tercatat aktiva lebih besar daripada DPP-nya, jumlah manfaat ekonomi yang kena pajak akan melebihi jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal. Perbedaan ini merupakan perbedaan temporer kena pajak dan kewajiban pajak penghasilan pada periode mendatang merupakan kewajiban pajak tangguhan. Pada saat perusahaan memulihkan (recover) nilai tercatat aktiva, perbedaan temporer kena pajak akan terealisasi menjadi laba fiskal. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kewajiban pajak. Oleh karena itu, pernyataan ini menghendaki pengakuan semua kewajiban pajak tangguhan, kecuali pada kondisi tertentu seperti tersebut pada paragraf 14 (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2002: 46.5).
21
Beberapa perbedaan temporer
timbul apabila penghasilan atau
beban diakui dalam penghitungan laba akuntansi yang berbeda dengan periode saat pengasilan atau beban tersebut diakui dalam penghitungan laba fiskal.Perbedaan temporer juga timbul apabila: 1) biaya pemerolehan dalam suatu penggabungan usaha, yang secara substansi merupakan suatu akuisisi, dialokasikan pada aktiva dan kewajiban tertentu berdasarkan dasar nilai wajar sedangkan penyesuaian tersebut tidak diperkenankan untuk tujuan fiskal (lihat paragraf 18); 2) terdapat goodwill atau goodwill negatif yang muncul pada saat konsolidasi (lihat paragraf 18 dan 28); atau 3) pada saat pengakuan awal, DPP aktiva atau kewajiban berbeda dengan nilai tercatatnya, sebagai contoh apabila perusahaan memperoleh bantuan atau sumbangan (yang bukan merupakan obyek pajak) dalam bentuk aktiva (lihat paragraf 19 dan 29) (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2002: 46.6).
2.7. Pajak Tangguhan Dalam Laporan Laba Rugi Pajak kini dan pajak tangguhan diakui sebagai penghasilan atau beban pada laporan laba rugi periode berjalan, kecuali untuk pajak penghasilan yang berasal dari:
22
a. transaksi atau kejadian yang berlangsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas pada periode yang sama atau periode yang berbeda (lihat paragraf 39 hingga 41); atau b. penggabungan usaha yang secara substansi adalah akuisisi (lihat paragraf 42 hingga 43); (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2002: 46.10).
Pada umumnya, aktiva dan kewajiban pajak tangguhan muncul karena penghasilan atau beban diakui dalam penghitungan laba akuntansi pada periode yang berbeda dari periode pengakuan penghasilan atau beban tersebut dalam penghitungan penghasilan kena pajak (rugi pajak). Pajak tangguhan yang berasal dari aktiva dan kewajiban pajak tangguhan tersebut diakui pada laporan laba rugi. Sebagai contoh adalah biaya pengembangan yang telah dikapitalisasi
sesuai
dengan
PSAK
20
tentang
Biaya
Riset
dan
Pengembangan dan diamortisasi sebagai beban pada laporan laba rugi, namun untuk kepentingan pajak biaya tersebut dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan laba fiskal. Nilai tercatat aktiva dan kewajibanpajak tangguhan mungkin berubah walaupun tidak ada perubahan jumlah perbedaan temporer yang terkait dengan aktiva dan kewajiban pajak tersebut. Perubahan tersebut mungkin berasal dari: a. perubahan tarif pajak atau peraturan pajak; b. pengkajian kembali nilai aktiva pajak tangguhan yang dapat dipulihkan; c. perubahan cara pemulihan suatu aktiva.
23
Pajak tangguhan yang berasal dari perubahan tersebut diakui pada laporan laba rugi, kecuali untuk transaksi-transaksi yang sebelumnya telah langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas (lihat paragraf 41) (Ikatan Akuntansi Indonesia, 2002: 46.11).
2.8. Pefindo dan Rating Kredit 2.8.1. Gambaran Umum Pefindo Sebagai perusahaan pemeringkat tertua dan terpercaya di Indonesia, PT Pemeringkat Efek Indonesia, yang dikenal luas sebagai PEFINDO, didirikan pada tanggal 21 Desember 1993 berdssarkan inisiatif Otoritas Jasa Keuangan (dahulu dikenal sebagai Badan Pengawas Pasar Modal) dan Bank Indonesia. Pefindo, yang merupakan satu-satunya perusahaan pemeringkat efek yang dimiliki oleh para pemegang saham domestik, telah melakukan pemeringkatan terhadap banyak perusahaan dan surat-surat utang yang diperdagangkannya di Bursa Efek Indonesia. Sampai saat ini, Pefindo telah melakukan pemeringkatan terhadap lebi dari 500 perusahaan dan pemerintah daerah. Pefindo juga telah melakukan pemeringaktan terhadap surat-surat utang, termasuk obligasi dan obligasi sub-ordinasi konvensional, sukuk, MTN, KIK-EBA, dan reksa dana. Untuk mengembangkan pasar obligasi daerah di Indonesia, Pefindo, dengan dukungan kuat dari Bank Dunia dan Bak Pembagunan Asia, telah mulai melakukan pemeringkatan terhadap
24
pemerintah daerah sejak tahun 2011. Aliansi strategis dengan Standard & Poor’s (S&P), perusahaan pemeringkat global terkemuka, telah dilakukan sejak tahun 1996, yang memberi manfaat bagi Pefindo untuk menyusun metodologi pemeringkatan berstandar internasional. Pefindo telah melakukan diversifikasi usaha dengan cermat. Produkproduk jasa seperti Pefindo 25, indeks saham perusahaan berskala menengah dan kecil, dan pemeringkatan usaha kecil dan menengah adalah beberapa bentuk diversifikasi yang telah dilakukan. Untuk tetap mempertahankan independensinya, Pefindo dimiliki oleh 86 badan hukum (per 31 Desember 2014) yang merepresentasikan pasar modal Indonesia dengan tidak satupun pemegang saham yang memiliki lebih dari 50% saham.
2.8.2. Rating Kredit Pefindo Peringkat Kredit (rating kredit) Pefindo adalah opini Pefindo atas kelayakan kredit atas suatu obligor, atau kelayakan kredit obligor terkait suatu
surat
utang
atau
kewajiban
keuangan
lainnya
(http://www.pefindo.com, 2015). Pefindo melakukan dua jenis
pemeringkatan: Pemeringkatan
Perusahaan dan Pemeringkatan Utang. Peringkat Perusahaan, juga disebut General Obligation (GO) Rating atau Issuer Rating, adalah sebuah kajian menyeluruh atas kelayakan kredit sebuah perusahaan, atau kemampuannya untuk memenuhi seluruh kewajiban keuangannya. Jenis pemeringkatan
25
ini, tidak serta merta berlaku atas suatu jenis efek utang, karena tidak dipertimbangkan esensi dan prasyarat jaminan, statusnya dalam proses kebangkrutan atau likuidasi, preferensi statutoir dan legitimasi serta kemampuan untuk dapat mengambil alih aset jaminan itu sendiri. Selain itu Peringkat Perusahaan tidak mempertimbangkan kelayakan kredit dari penjamin, perusahaan asuransi atau bentuk lain enhancement kredit yang mendukung kualitas kredit. Jenis peringkat ini dapat digunakan oleh perusahaan atau untuk memberikan ukuran-ukuran tingkatan (visible grading measure) atas kualitas kredit secara relatif terhadap yang lainnya. Peringkat perusahaan dapat digunakan sebagai alat pemasaran untuk mempromosikan status perusahaan. Peringkat hutang adalah opini terkini atas kualitas kredit dari sebuah obligor terkait kewajiban finansial yang spesifik, jenis kelas kewajiban tertentu atau program keuangan tertentu. Dipertimbangkan juga kualitas kredit dari penjamin, perusahaan asuransi, atau bentuk lain dari enhancement kredit atas kewajiban. Opini tersebut juga mengevaluasi kemampuan obligor dan niatnya untuk memenuhi kewajiban keuangannya. Peringkat jenis ini akan mengarahkan penerbit utang untuk menetapkan struktur emisi utang (suku bunga, jangka waktu, enhancement kredit). Pada saat bersamaan, amat berguna bagi investor untuk membandingkan berbagai penerbit utang dan surat utang pada saat membuat keputusan investasi dan mengelola portofolio mereka.
26
Metodologi pemeringkatan Pefindo untuk lembaga keuangan (Perbankan, Multifinance, Sekuritas dan Asuransi) mencakup penilaian atas tiga risiko utama, yaitu risiko industri (industry risk), risiko bisnis (business risk) dan risiko keuangan (financial risk). Pefindo juga menerapkan metodologi dukungan Induk Perusahaan dalam memberikan peringkat. Metodologi dukungan Induk Perusahaan ini umumnya berlaku bagi perusahaan swasta, sementara untuk perusahaan yang dikendalikan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah, Pefindo menggunakan metodologi pemeringkatan atas entitas milik pemerintah dan lembaga terkait pemerintah (government related entities). a. Penilaian risiko industri Penilaian risiko pada masing-masing jenis industri adalah berdasarkan analisis mendalam terhadap lima faktor risiko utama, yaitu: 1. Pertumbuhan dan stabilitas Industri (Growth and Stability), yang terkait dengan kondisi permintaan dan penawaran, prospek, peluang pasar, tahapan industri (awal, pengembangan, matang, atau penurunan), dan jenis produk yang ditawarkan pada industri terkait (produk yang bersifat pelengkap vs produk yang bisa disubstitusi, umum vs khusus, dan sebagainya). 2. Struktur pendapatan dan struktur biaya dari Industri (Revenue and Cost), yang mencakup pemeriksaan komposisi aliran
pendapatan,
kemampuan
untuk
menaikkan
harga
27
(kemampuan untuk dengan mudah meneruskan kenaikan biaya kepada pelanggan/ para pengguna akhir), biaya dana dan operasional, struktur biaya dan komposisi, komposisi biaya tetap vs biaya variabel, dan pengadaan sumber pendanaan. 3. Persaingan di dalam industri (Competition Within The Industry), yang mencakup penilaian terhadap karakteristik industri untuk menentukan tingkat kesulitan masuk bagi para pemain baru. Penilaian juga mencakup analisis jumlah pemain dalam industri, pesaing terdekat, potensi perang harga, dan lain-lain untuk mengetahui tingkat kompetisi yang ada dan yang akan datang. 4. Peraturan (Regulatory Framework), pembatasan jumlah pemain, lisensi, kebijakan harga pemerintah, dan persyaratan lainnya. 5. Profil Keuangan (Financial Profile), industri umumnya dikaji dengan analisis beberapa tolok ukur keuangan yang diambil dari beberapa perusahaan besar dalam industri yang sebagian besar dapat mewakili industri masing-masing. Analisis kinerja keuangan industri meliputi analisis permodalan, kualitas aset, profitabilitas, dan likuiditas.
b. Penilaian risiko bisnis 1. Posisi Pasar (Market Position) Analisis komprehensif meliputi penilaian pangsa pasar bank dan besar kecilnya ukuran di lini kunci bisnis atau sektor serta prospeknya kedepan, produk bank yang sekarang ada, perluasan
28
pasar, dan keuntungan nyata lain yang dihasilkan dari penguasaan posisi pasar bank (penentuan harga vs kekuatan pendanaan) baik di pasar nasional, pasar regional, atau dalam segmen/ sektor tertentu. Posisi pasar bank yang rawan juga dilihat dengan membandingkan keuntungan kompetitif terhadap para pesaing sejenis.
2. Infrastruktur dan Kualitas Layanan (Infrastructure and Quality of Service) Analisis rinci mencakup penilaian pada jaringan distribusi bank seperti cabang, ATM, dan kemampuan TI untuk mendukung operasi perbankan sehari-hari dalam upaya untuk menyediakan produk yang lebih baik dan terpadu dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada para pelanggannya. Kualitas layanan Bank juga dinilai, karena dianggap sebagai faktor penting bagi bank
ritel
untuk
menarik
pelanggan
dan
mendukung
kesinambungan pertumbuhan bank, terutama dalam kompetisi usaha yang intensif. Faktor lain yang juga dinilai adalah, kemampuan
para
karyawan
dalam
memberikan
layanan
perbankan dan penanganan keluhan pelanggan, kecepatan layanan, aksesibilitas, ketepatan waktu dan sebagainya.
29
3. Diversifikasi (Diversification) Analisis meliputi penilaian menyeluruh pada jaringan bisnis sebuah bank berkenaan dengan geografis/sebaran lokasi, lini bisnis, produk, struktur pendapatan, basis nasabah dana & kredit, risiko kredit (diuraikan per sektor ekonomi, besarnya, dan basis pelanggan), serta keragaman ekonomi pasar bank, dan lain-lain.
4. Manajemen & Sumber Daya Manusia (Management & Human Resources) Analisis rinci meliputi penilaian terhadap kualitas bank dan kredibilitas manajemen dan personel kunci, strategi manajemen bank untuk mempertahankan pertumbuhan yang berkelanjutan (internal dan eksternal), kualitas bank dalam perencanaan keuangan dan strategi (agresif vs konservatif), struktur organisasi bank, kualitas bisnis bank, yang biasanya diukur dari kriteria underwriting,
proses
persetujuan
kredit,
pendelegasian
kewenangan pemberian kredit, penilaian agunan, pemantauan credit exposure, sistem pemeringkatan internal/ sistem skoring, alat-alat atau sistem untuk mengidentifikasi potensi masalah serta peran dan kehandalan audit internal dan departemen kepatuhan, serta efisiensi dan efektifitas manajerial bank. Pelaksanaan good corporate governance, terutama akuntabilitas manajemen dan transparansi dari laporan keuangan, juga dikaji.
30
c. Penilaian risiko keuangan 1. Permodalan (Capitalization) Analisis meliputi penilaian terhadap komposisi modal bank (ekuitas, utang subordinasi, revaluasi aset, keuntungan yang belum direalisasi, dan jenis lain kuasi-reorganisasi), posisi permodalan bank sesuai persyaratan Bank Sentral (Bank Indonesia), tingkat Rasio Kecukupan Modal (Total Modal & Modal Inti – CAR), rasio pembayaran dividen, pertumbuhan modal secara internal, kemampuan untuk mendapatkan modal dari sumber-sumber ekstern, modal dibandingkan dengan aset, serta filosofi dan strategi manajemen untuk meningkatkan modalnya. 2.
Kualitas Aset (Asset Quality) Analisis meliputi penilaian intensif kredit bermasalah bank yang diuraikan secara kategori, portofolio kredit berdasarkan sektor ekonomi, besar kecilnya, dan mata uang, konsentrasi pada risiko kredit (total eksposur terhadap industri, perusahaan, atau individu
tertentu),
penyelesaian
kredit-kredit
bermasalah
(pinjaman jatuh tempo, restrukturisasi pinjaman, atau jenis lain dari pinjaman bermasalah), dan kebijakan atas pencadangan dan kecukupannya. Selain itu, analisis mendalam juga dilakukan pada aspek-aspek kualitatif atas kualitas aset seperti apakah bank sepenuhnya mengidentifikasi dan mengungkapkan pinjaman bermasalah,
kebijakan
hapus
buku
dan
apakah
bank
31
mengimplementasikannya dengan benar, serta pertimbangan kredit lainnya yang dapat memberikan petunjuk tentang budata, kebijakan,
prosedur
perkreditan
di
bank
tersebut,
serta
pengaruhnya pada kualitas aset (http://www.pefindo.com , September 2014). 3. Profitabilitas (Profitability) Analisis mencakup penilaian menyeluruh terhadap bunga bersih bank dan margin (kecenderungan, kemampuan tumbuh dan kesinambungan), pendapatan diluar bunga (besar kecilnya, keragaman & potensi pertumbuhan), kualitas pendapatan, kemampuan untuk mengukur risiko di dalam komponen harga berbagai
produk,
laba
operasi,
dan
pendapatan
bersih
(kecenderungan, kemampuan untuk meningkatkan dana murah, stabilitas, dll), rasio biaya terhadap pendapatan (untuk mengukur efisiensi), dan strategi manajemen untuk mengendalikan biaya operasional dan meningkatkan pendapatan diluar bunga juga sering dinilai. 4.
Likuiditas dan Fleksibilitas Keuangan (Liquidity & Financial Flexibility) Analisis meliputi penilaian terhadap kondisi pasar saat ini dan pengaruhnya terhadap likuiditas bank, pemeriksaan terhadap manajemen likuiditas bank (dalam hal kebijakan & strategi), kemampuan untuk langsung memperoleh arus kas (secara intern/
32
ekstern) dan rencana kontinjensi untuk menanggulangi kebutuhan akan likuiditas. Pemeriksaan tingkat kesepadanan struktur suku bunga & struktur jatuh tempo, posisi devisa netto, rasio pinjaman terhadap simpanan serta evaluasi proporsi aset likuid yang dimiliki bank dibandingkan kewajiban jangka pendeknya juga dimasukkan dalam penilaian. Analisis fleksibilitas keuangan termasuk penilaian terhadap kemampuan bank untuk mengakses berbagai macam pasar pendanaan dan meningkatkan permodalan dari masyarakat atau pihak ketiga serta kemungkinan dukungan dari pemerintah, terutama dalam kondisi sulit.
33
2.9. Kerangka Pemikiran Kerangka mengenai hubungan antar masing-masing variabel dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.
Perubahan pada deferred tax
Perubahan pada rating kredit
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.10 Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesis Penelitian tentang pajak tangguhan pernah dilakukan oleh Crabtree dan Maher (2009). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara rating kredit dengan selisih nilai antara laba akuntansi dan taxable income. Hasil penelitian ini menimbulkan pertanyaan apakah keberadaan hubungan tersebut memunculkan kebutuhan bagi analis kredit untuk melakukan pengukuran atas selisih nilai antara laba akuntansi dan taxable income dalam menilai kelayakan suatu kredit atau pengukuran atas selisih nilai antara laba akuntansi dan taxable income tersebut sudah sejalan atau sudah berkaitan dengan faktor-faktor lain yang sudah dipertimbangkan oleh analis kredit. Namun Crabtree dan Maher (2009) menjelaskan bahwa setidaknya selisih nilai antara laba akuntansi dan taxable income dapat menjadi ukuran yang mampu memberikan informasi penting bagi kelayakan kredit seperti memberikan informasi tentang kualitas laba atau neraca.
34
Puspita Rani dan Christine (2011) mengkaji tentang pengaruh perbedaan book - tax income terhadap perubahan rating kredit. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa perubahan positif pada selisih nilai antara laba akuntansi dan taxable incometidak memiliki arah hubungan yang negatif dan signifikan dengan perubahan rating kredit. Demikian juga halnya dengan perubahan negatif pada selisih nilai antara laba akuntansi dan taxable incomeyang juga tidak memiliki arah hubungan yang negatif dan signifikan dengan perubahan rating kredit. Dalam penelitian ini, hipotesis dirumuskan, sebagai berikut: H1:
Terdapat hubungan negatif antara perubahan pada deferred tax dengan perubahan rating kredit