BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keterlambatan Proyek Menurut Ervianto (2005) terdapat hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proyek, yang pada umumnya dibedakan atas hubungan fungsional, yaitu pola hubungan yang berkaitan dengan fungsi dari pihak-pihak tersebut dan juga hubungan kerja formal, yaitu pola hubungan yang berkaitan dengan kerjasama antara pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi yang dikukuhkan dengan suatu dokumen kontrak. Secara fungsional terdapat 3 pihak yang sangat berperan dalam suatu proyek konstruksi, yaitu pihak pemilik proyek, pihak konsultan dan pihak kontraktor. Ketika proyek konstruksi terlambat, artinya pelaksanaan pekerjaan proyek tersebut tidak dapat diselesaikan sesuai dengan kontrak. Jika pekerjaan proyek tidak dapat dilaksanakan sesuai kontrak maka akan ada penambahan waktu. Apabila setelah penambahan waktu pelaksanaan proyek ini juga tidak selesai sesuai kontrak yang sudah disepakati, maka akan diberikan waktu tambahan oleh pihak pemilik (owner) kepada pihak pelaksana untuk menyelesaikan pekerjaan proyek tersebut. Dengan kata lain bahwa adanya waktu tambahan yang diberikan oleh pihak pemilik (owner) kepada pihak pelaksana untuk menyelesaikan pekerjaan proyek, tetapi tidak juga terlaksana, maka kemungkinan akan terjadi pemutusan kontrak kerja (Madjid, 2006). Tambahan waktu untuk menyelesaikan proyek adalah solusi penyelesaian
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
masalah. Tetapi adanya perpanjangan waktu dari jadwal kontrak, dapat disebabkan antara lain; pekerjaan tambah, perubahan desain, keterlambatan oleh pemilik. masalah diluar kendali kontraktor. Dengan adanya perbedaan perjanjian kontrak awal dengan selang waktu penyelesaian proyek maka terjadilah keterlambatan proyek yang tidak diinginkan oleh semua pihak-pihak terkait. Hal sama dinyatakan oleh Bordat et al. (2004) bahwa keterlambatan waktu pelaksanaan proyek adalah perbedaan antara pelaksanaan proyek pada saat perjanjian kontrak awal dan selang waktu penyelesaian proyek. Dalam pengertian lain Madjid (2006) berpendapat bahwa keterlambatan proyek konstruksi dapat diidentifikasi sebagai adanya perbedaan waktu pelaksanaan pekerjaan dengan jadwal yang direncanakan pada dokumen kontrak. Dapat dikategorikan sebagai tidak tepatnya waktu pelaksanaan proyek yang telah ditetapkan. Pembuatan rencana jadwal proyek konstruksi selalu mengacu pada perkiraan yang ada pada saat rencana pembangunan tersebut dibuat. Masalah dapat timbul apabila ada ketidaksesuaian antara jadwal rencana yang telah dibuat dengan pelaksanaannya. Sehingga dampak yang sering terjadi adalah keterlambatan waktu pelaksanaan penyelesaian proyek dan juga disertai dengan meningkatnya biaya pelaksanaan proyek tersebut (Widhiawati, 2009). Hal yang sama dinyatakan oleh Kaming et al. dalam Al-Najjar (2008) bahwa keterlambatan proyek diasumsikan sebagai perpanjangan waktu pelaksanaan proyek dari yang dijadwalkan oleh kontraktor sesuai kontrak. Keterlambatan proyek ini
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
berdampak pada progress proyek dan tertundanya aktifitas pelaksanaan proyek dan kegiatan pelaksanaan proyek. Keterlambatan pelaksanaan proyek ini termasuk adanya faktor penyebab oleh faktor cuaca, sumber daya, perencanaan. Namun menurut Vidalis et al. dalam Al-Najjar (2008) mengatakan bahwa keterlambatan proyek konstruksi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Penyebab keterlambatan proyek internal berasal dari pemilik, perencana (designer), kontraktor atau konsultan. Penyebab keterlambatan proyek eksternal (external) yaitu berasal dari luar proyek konstruksi seperti; keperluan perusahaan, pemerintah (government), sub kontraktor, pengadaan material (material suppliers), serikat buruh, keadaan alam yang tidak lazim (force majeur). Force majeur adalah kejadian diluar kemampuan kontraktor dan pemilik proyek, yang dapat mempengaruhi biaya, waktu seperti kejadian alam, huru hara, kebijakan pemerintah/ moneter. Hal berbeda dinyatakan oleh Alghbari et al. dalam Al-Najjar (2008) tentang penyebab keterlambatan eksternal seperti kurangnya material yang ada di pasaran, kurangnya peralatan dan alat-alat yang ada di pasaran, kondisi cuaca tidak lazim, kondisi lokasi, struktur tanah yang tidak layak, keadaan ekonomi yang tidak stabil (penukaran mata uang, inflasi), adanya perubahan undang-undang dan regulasi pemerintah, adanya keterlambatan pengiriman material, adanya faktor yang berasal dari pelayanan umum (jalan, fasilitas umum, public sevices). Dengan adanya keterlambatan proyek ini, maka 2 kategori yang berhubungan langsung yakni: masalah waktu pelaksanaan (time) proyek dan biaya (cost) (Le-Hoai et al. 2008).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Ahmad dalam Wei (2010) menyatakan bahwa keterlambatan pelaksanaan proyek dikategorikan 2 bagian yaitu: tidak cukup (lack) material dan faktor-faktor lain termasuk, tenaga kerja, material, peralatan, financial problem (masalah keuangan). Faktor-faktor tambahan seperti cuaca, terlambatnya penerimaan material, perubahan design, kesalahan spesifikasi, dan force majeure, terjadi pemogokan di lokasi proyek. Pengelompokkan menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) yang menyatakan bahwa penyebab keterlambatan waktu pelaksanaan proyek jembatan antara lain: 1. Keterlambatan yang layak mendapatkan ganti rugi (compensable delay), adalah keterlambatan yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pemilik proyek (owner). 2. Keterlambatan yang tidak dapat dimaafkan (non excusable delay), adalah keterlambatan yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan kontraktor. 3. Keterlambatan
yang
dapat
dimaafkan
(excusable
delay),
adalah
keterlambatan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian diluar kendali baik pemilik maupun kontraktor. Abdullah et al. (2010) berpendapat bahwa Compensable delay adalah keterlambatan proyek adanya kontraktor memperoleh tambahan waktu (additional time) pelaksanaan pekerjaan proyek dan kompensasi, akan tetapi untuk non compensable delay, maka kontraktor hanya memperoleh tambahan waktu pelaksanaan proyek saja.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Non excusable delay adalah keterlambatan proyek disebabkan kontraktor (contractor’d weakness) atau bukan kesalahan pemilik (owner). Kontraktor tidak mendapatkan tambahan waktu (no additional time) dan tambahan uang (no additional money) akibat keterlambatan pelaksanaan proyek (Alaghbari dalam Sallah, 2009). Kontraktor bertanggung jawab atas keterlambatan pelaksanaan proyek. Adanya faktor penyebab keterlambatan proyek, seperti terlambatnya pengadaan material, kesulitan finansial (financial difficulties), tidak efektifnya perencanaan dan penjadwalan, perubahan manajemen. Menurut Al-Najjar (2008) bahwa Concurrent delay dapat terjadi jika hanya satu faktor penyebab keterlambatan proyek dan ini umumnya antara pelaksanaan waktu proyek dan uang yang menjadi masalah. Akan tetapi yang lebih kompleks terjadi dan lebih spesifik, adanya masalah lebih dari satu faktor penyebab keterlambatan proyek pada saat waktu pelaksanaan bersamaan progress skedul atau tumpang tindih (overlapping) waktu pelaksanaan proyek. Hal yang terjadi ini, mengakibatkan kontraktor dan pemilik yang bertanggung jawab atas keterlambatan proyek. Dalam pengertian lain menurut Rubin et al. dalam Braimah (2008) berpendapat bahwa concurrent delay adalah kondisi dalam dua atau lebih keterlambatan proyek yang terjadi pada waktu bersamaan
progress pelaksanaan
proyek. Pengertian Concurrent delay adalah keterlambatan pelaksanaan proyek lebih kompleks tapi juga lebih spesifik jenis keterlambatan proyek. Adanya keterlambatan proyek disebabkan lebih satu faktor atau kombinasi dari dua atau lebih penyebab
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
keterlambatan proyek yang terjadi selama pada waktu bersamaan pelaksanaan proyek atau dapat terjadinya tumpang tindih (overlapping) periode waktu pelaksanaan proyek (Alaghbari dalam Sallah, 2009). Dalam pengertian lain, adanya keterlambatan pelaksanaan proyek terjadi waktu bersamaan pada progres pelaksanaan proyek dan kategori keterlambatan proyek ini termasuk excusable delay dan non excusable delay. Oleh karena itu dampak keterlambatan pelaksanaan proyek ini, kemungkinan bisa mengakibatkan terjadinya perselisihan (disputes) antara kontraktor dan pemilik.
2.1.1 Jenis-jenis Keterlambatan Proyek Jenis-jenis utama (main) keterlambatan proyek yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya yaitu Vidalis et al. dalam Al-Najjar (2008) antara lain: 1. Keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan (excusable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh kejadian-kejadian diluar kendali baik oleh pemilik maupun kontraktor. 2. Keterlambatan proyek yang tidak dapat dimaafkan (non excusable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor. 3. Keterlambatan proyek yang layak mendapat ganti rugi (compensable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan pemilik.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4. Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non compensable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor. 5. Critical atau non critical, keterlambatan proyek ini adalah akibat dari waktu progress pelaksanaan proyek. Keterlambatan proyek yang tidak kritis (non critical delays), maka tidak berdampak pada skedul project. Terjadi efeknya pada kegiatan critical path pada skedul. 6. Pelaksanaan progress atau terjadinya
pada waktu bersamaan
(concurrent) atau non concurrent. Hal ini terjadi ketika pemilik dan kontraktor yang bertanggung jawab atas penyebab keterlambatan pekerjaan proyek.
2.1.1.1 Keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan (excusable delay) Keterlambatan proyek terjadi diluar kontrol dan jika keterlambatan proyek ini terjadi, maka kontraktor mendapat biaya tambahan pelaksanaan proyek. Sedangkan menurut Al-Najjar (2008) bahwa keterlambatan proyek ini adalah suatu kejadian pelaksanaan proyek diluar prediksi dan diluar kontrol siapapun. Excusable delays dikenal dengan keterlambatan force majeure dan umumnya disebut Acts of God. Oleh karena itu yang terjadi ini bukan tanggung jawab dari pihak-pihak terlibat. Umumnya pada kontrak mengizinkan kontraktor mendapat tambahan waktu untuk penyelesaian proyek, akan tetapi tidak untuk tambahan uang (Alaghbari et al. dalam Al-Najjar 2008).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Menurut Wei (2010) bahwa standar umumnya berkaitan dengan general provisions suatu badan agensi spesifikasi publik. Wei juga mengatakan bahwa keterlambatan proyek dapat dimaafkan yang penyebab terjadinya antara lain: 1. Pemogokan pekerja. 2. Kebakaran. 3. Banjir. 4. Keterlambatan yang tidak terduga (acts of God). 5. Perubahan regulasi, seperti spesifikasi dari pemilik. 6. Salah, kelalaian, tak dicantumkan didalam perencanaan tentang spesifikasi. 7. Perbedaan kondisi lokasi lapangan (site) dengan kondisi yang berbeda dari perencanaan. 8. Keadaan cuaca yang tidak lazim (unsually severe weather). 9. Intervensi dari luar pemerintahan (government). 10. Kurangnya inspeksi, kontrol dari pemilik.
Terjadinya keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan (excusable delay) dengan konsuekensi bahwa kontraktor menerima pembayaran tambahan untuk waktu pelaksanaan proyek. Sehingga peristiwa ini terjadi jika pemilik telah menunda perjanjian dalam dokumen kontrak yang telah disepakati pada pelaksanaan proyek (Ahmed et al. 2002).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.1.1.2 Keterlambatan proyek
yang tidak dapat dimaafkan (non excusable
delay) Selama proyek berlangsung, kontraktor dapat mengikuti progress proyek yang sudah dijadwalkan atau meleset progressnya, tergantung dari kontraktor tersebut. Wei (2010) berpendapat bahwa keterlambatan ini terjadi, apakah kontraktor dapat mengontrol pelaksanaan proyek atau sebaliknya. Karena keterlambatan pelaksanaan proyek ini mengakibatkan kontraktor tidak memperoleh apapun tambahan waktu pelaksanaan dan juga kompensasi (ganti rugi). Sedangkan menurut Ahmed et al. (2002) bahwa kontraktor memperoleh sanksi akibat keterlambatan proyek tersebut.
2.1.1.3 Keterlambatan proyek yang layak mendapat ganti rugi (compensable delay) Keterlambatan proyek terjadi yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pemilik proyek (owner). Adanya keterlambatan pekerjaan proyek tersebut, maka pihak pelaksana (kontraktor) mendapat tambahan waktu pelaksanaan proyek. Selain itu memperoleh juga kompensasi (ganti rugi). Sedangkan Wei (2010) menyatakan bahwa apakah keterlambatan proyek itu mendapat ganti rugi, tergantung kontrak awal yang terjadi. Umumnya dengan adanya kontrak proyek, maka dapat memberikan spesifikasi jenis keterlambatan pelaksanaan proyek yang terjadi.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.1.1.4 Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non compensable delay) Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non compensable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor. Menurut Wei (2010) bahwa kontrak awal memberikan kategori spesifikasi, apakah keterlambatan proyek tersebut layak mendapat ganti rugi atau sebaliknya. Tentu saja hal ini tergantung dari kontrak awal. Jika terjadi keterlambatan proyek kategori non compensable delay, maka pihak yang terlibat adalah kontraktor. Kontraktor tidak menerima apapun tambahan uang. Akan tetapi kemungkinan diizinkan untuk mendapatkan tambahan waktu penyelesaian pekerjaan proyek.
2.1.1.5 Keterlambatan proyek yang kritis (critical delays) Menurut Wei (2010), keterlambatan proyek yang berakibat pada perubahan waktu pelaksanaan proyek. Hal ini mengakibatkan terjadinya perpanjangan waktu pelaksanaan dalam milestone, dan ini umumnya disebut dengan critical delays. Sedangkan keterlambatan proyek yang tidak mempunyai pengaruh adanya perubahan pelaksanaan atau milestone dan disebut non critical delays. Sementara itu jika kegiatan pelaksanaan proyek mengalami keterlambatan, maka kegiatan ini dapat dikontrol dengan adanya perpanjangan waktu pelaksanaannya antara lain dengan mengakibatkan:
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
1. Permasalahan yang terjadi pada proyek tersebut. 2. Perencanaan pekerjaan kontraktor dan skedulnya (critical path). 3.
Persyaratan kontrak selanjutnya.
4. Kendala dalam proyek seperti bagaimana merealisasi pelaksanaan penyebab keterlambatan proyek. 5. Adanya input untuk pekerjaan penyelesaian pelaksanaan proyek dari pandangan praktisi ahli.
2.1.1.6 Pelaksanaan progress atau terjadinya pada waktu bersamaan (concurrent delay) Al-Najjar (2008) mengatakan bahwa hal ini
terjadi jika ada satu faktor
penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek. Umumnya diantara kedua faktor tersebut adalah waktu dan uang. Akan tetapi yang lebih kompleks kemajuan progress skedul critical path method (CPM). Penyebab keterlambatan waktu pelaksanaan proyek khususnya lebih spesifik adalah lebih dari satu faktor penyebab keterlambatan proyek sekaligus terjadi pada waktu bersamaan atau tumpang tindih (overlapping) pada kemajuan progress skedul critical path method (CPM). Ini mengakibatkan pemilik (owner) dan kontraktor yang bertanggung jawab pada keterlambatan proyek ini. Jika keterlambatan pekerjaan proyek tersebut sulit diselesaikan dan tidak juga dapat di perbaiki (recover), maka ini ada kaitannya dengan pihak yang terlibat yaitu pemilik. Sehingga kemajuan progress skedul critical path method (CPM) berbeda
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
antara pemilik dan kontraktor. Tetapi hanya kontraktor mendapat efeknya terhadap perbedaan progress skedul critical path method (CPM). Jika ditinjau penjelasan diatas, keterlambatan pelaksanaan proyek concurrent delay terjadi dengan adanya kedua belah pihak terkait yang bertanggung jawab, kontraktor dan pemilik (owner). Hal kemungkinan terjadi jika keterlambatan proyek tersebut sulit diselesaikan, yang disebabkan adanya kemungkinan terjadi pergantian progress critical path method. Dengan adanya concurrent delay menurut Abdullah et al. (2010) berpendapat bahwa keterlambatan ini kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya perselisihan antara kontraktor dan pemilik, sehingga kontraktor hanya mendapat tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan atau kompensasi pada keterlambatan proyek kategori excusable delay. Akan tetapi penalti atau denda pada kategori non excusable delay. Untuk lebih jelasnya penjelasan diatas tentang jenis-jenis keterlambatan proyek dapat di gambarkan secara skematik pada Gambar 2.1: Excusable delay
Non excusable delay Concurrent
Compensable
Non compensable
Non concurrent
Critical
Non critical
Gambar 2.1 Kategori keterlambatan Proyek (Vitalis et al. dalam Al- Najjar, 2008)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.2 Klasifikasi
Penyebab
Keterlambatan
Proyek
ditinjau
dari
Aspek
Manajemen dalam Pelaksanaan Proyek Konstruksi Terdapat 2 jenis aspek manajemen pelaksana proyek konstruksi yaitu: aspek manajemen proyek dan aspek manajemen konstruksi. Karena kedua aspek manajemen tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan variabel dan sub faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek. Seperti penjelasan diatas, maka penulis merangkumnya didalam menentukan variabel penelitian disamping aspek-aspek lain yang dikombinasi, Definisi manajemen proyek adalah semua perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan koordinasi suatu proyek dari awal (gagasan) hingga berakhirnya proyek untuk menjamin pelaksanan proyek secara tepat waktu, tepat biaya dan tepat mutu (Ervianto, 2005). Manajemen konstruksi (construction management) menurut Ervianto (2005) adalah bagaimana agar sumber daya yang terlibat dalam proyek konstruksi dapat diaplikasikan oleh manajer proyek secara tepat. Sumber daya dalam proyek konstruksi dapat dikelompokkan menjadi manpower, material, machines, money, method. Disisi lain, Proboyo mengklasifikasikan penyebab keterlambatan berdasarkan aspek manajemen yang diambil sesuai definisi manajemen proyek, manajemen konstruksi dan dokumen kontrak. Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) mengatakan bahwa terdiri 45 jenis penyebab keterlambatan dan diklasifikasikan dalam aspek manajemen yang diambil 6 aspek kajian dalam penelitian antara lain:
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
A. Aspek Perencanaan dan Penjadwalan Pekerjaan antara lain: 1. Penetapan jadwal proyek yang amat ketat oleh pemilik. 2. Tidak lengkapnya identifikasi jenis pekerjaan yang harus ada. 3. Rencana urutan kerja yang tidak tersusun dengan baik/terpadu. 4. Penentuan durasi waktu kerja yang tidak seksama. 5. Rencana kerja pemilik yang sering berubah-ubah. 6. Metode konstruksi/pelaksanaan kerja yang salah atau tidak tepat. B. Aspek lingkup dan dokumen pekerjaan (kontrak) antara lain: 1. Perencanaan (gambar/spesifikasi) yang salah atau tidak lengkap. 2. Perubahan desain/detail pekerjaan pada waktu pelaksanaan. 3. Perubahan lingkup pekerjaan pada waktu pelaksanaan. 4. Proses pembuatan gambar kerja oleh kontraktor. 5. Proses permintaan dan persetujuan gambar kerja oleh pemilik. 6. Ketidak sepahaman aturan pembuatan gambar kerja. 7. Ada banyak (sering) pekerjaan tambah. 8. Adanya permintaan perubahan atas pekerjaan yang telah selesai. C. Aspek system organisasi, koordinasi dan komunikasi antara lain: 1. Keterbatasan wewenang personil pemilik dalam pengambilan keputusan. 2. Kualifikasi personil/pemilik yang tidak professional dibidangnya. 3. Cara inspeksi dan kontrol pekerjaan yang birokratis oleh pemilik.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4. Kegagalan pemilik mengkoordinasi pekerjaan dari banyak kontraktor/sub kontraktor. 5. Kegagalan pemilik mengkoordinasi penyerahan/penggunaan lahan. 6. Keterlambatan penyediaan alat/bahan dll yang disediakan oleh pemilik. 7. Kualifikasi dan teknis manajerial yang buruk dari personil-personil dalam organisasi kerja kontraktor. 8. Koordinasi dan komunikasi yang buruk antar bagian-bagian dalam organisasi kerja kontraktor. 9. Terjadinya kecelakaan kerja. D. Aspek kesiapan/penyiapan sumber daya antara lain: 1. Mobilisasi sumber daya (bahan, alat, tenaga kerja) yang lambat. 2. Kurangnya keahlian dan ketrampilan serta motivasi kerja para pekerjapekerja yang langsung di lapangan. 3. Jumlah pekerja yang kurang memadai/sesuai dengan aktifitas pekerjaan yang ada. 4. Tidak tersedianya bahan yang secara cukup pasti/layak sesuai kebutuhan. 5. Tidak tersedianya alat/peralatan kerja yang cukup memadai/sesuai kebutuhan. 6. Kelalaian/keterlambatan oleh pekerjaan sub kontraktor. 7. Pendanaan kegiatan proyek yang tidak terencana dengan baik (kesulitan pendanaan di kontraktor).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
8. Tidak terbayarnya kontraktor secara layak sesuai haknya. (kesulitan pembayaran oleh pemilik).
E. Aspek sistem inspeksi, kontrol dan evaluasi pekerjaan antara lain: 1. Pengajuan contoh bahan oleh kontraktor yang tidak terjadwal. 2. Proses permintaan dan persetujuan contoh bahan oleh pemilik yang lama. 3. Proses pengujian dan evaluasi uji bahan dari pemilik yang tidak relevan. 4. Proses persetujuan ijin kerja yang bertele-tele. 5. Kegagalan kontraktor melaksanakan pekerjaan. 6. Banyak hasil pekerjaan yang harus diperbaiki/diulang karena cacat/tidak benar. 7. Proses tata cara evaluasi kemajuan pekerjaan yang lama dan lewat jadwal yang disepakati.
F. Aspek lain-lain (aspek diluar kemampuan pemilik dan kontraktor) antara lain: 1. Kondisi dan lingkungan tapak ternyata tidak sesuai dengan dugaan. 2. Transportasi ke lokasi proyek yang sulit. 3. Terjadi yang hal-hal yang tidak terduga seperti kebakaran, banjir, badai/angin ribut, gempa bumi, tanah longsor, cacat amat buruk. 4. Adanya pemogokan buruh. 5. Adanya huru hara/kerusuhan, perang.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
6. Terjadinya kerusakan/pengerusakan akibat kelalaian atau perbuatan pihak ketiga. 7. Perubahan situasi atau kebijaksanaan politik/ekonomi pemerintah.
Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) menentukan 45 jenis (faktor-faktor) penyebab keterlambatan karena yang menjadi objek penelitiannya adalah proyek konstruksi bangunan gedung. Sedangkan peneliti melakukan penelitian adalah proyek konstruksi jembatan yang berlokasi di Sumatera Utara dan Aceh. Dengan demikian peneliti mengambil sumber kajian jenis penyebab keterlambatan berdasarkan penelitipeneliti (researches) sebelumnya yaitu: 1. Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009). 2. Vidalis et al dalam Al-Najjar (2008). 3. Theodore dalam Wei (2010). 4. Ahmed et al (2002). Dengan sumber kajian berdasarkan peneliti-peneliti (researches) sebelumnya, maka peneliti menentukan sebanyak 61 jenis faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan di Sumatera Utara dan Aceh. Namun selanjutnya enam puluh satu (61) jenis faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan ini akan dijelaskan pada bab tiga metodologi, apa saja jenis (faktor-faktor) tersebut.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.3 Hal-hal yang berkaitan dengan Pelaksanaan Proyek Konstruksi Jembatan Terdapat hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek konstruksi jembatan, diantaranya adalah: 2.3.1 Dampak Keterlambatan Proyek Konstruksi Jembatan Keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi jembatan tidak diinginkan semua pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), akibatnya dapat merugikan. Terlambatnya waktu penyelesaian proyek dari yang dijadwalkan semula, dan biaya tambah pelaksanaan penyelesaiannya. Termasuk juga pengguna jembatan adalah masyarakat. Dengan adanya masalah ini, maka pengguna jembatan yang seharusnya sampai ketempat tujuan dengan waktu sudah terjadwal. Akan tetapi lebih lama sampai ketempat tujuan dan termasuk biaya ongkos minyak kendaraan yang meningkat. Akibat menempuh perjalanan ketempat tujuan lebih jauh dan lama dari perjalanan yang normal. Dengan adanya keterlambatan penyelesaian waktu pelaksanaan proyek maka semua pihak dirugikan.
2.3.2 Pembuktian Keterlambatan Proyek Adanya permasalahan keterlambatan pelaksanaan proyek yang terjadi, maka dapat menyebabkan perubahan pelaksanaan penyelesaian progress yang sudah dijadwalkan.
Meningkatnya biaya dan kemungkinan putusnya kontrak (contract
termination) (Arditi & Pattanakitchamrron
dalam Wei, 2010). Oleh karena itu
diperlukan pembuktian keterlambatan proyek sesuai
kriteria penilaian terhadap
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
kondisi keterlambatan pekerjaan, karena hal ini berhubungan dengan faktor-faktor apa penyebab keterlambatan proyek. Seperti diketahui bahwa pada saat progress pekerjaan dinyatakan kritis maka menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 07/PRT/M/2011 pasal 39.1 bahwa apabila penyedia terlambat melaksanakan pekerjaan sesuai jadwal maka PPK harus memberikan peringatan secara tertulis atau dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis. Pada pasal kritis 39.2 apabila: a
Dalam periode I rencana fisik pelaksanaan 0% - 70% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana.
b
Dalam periode II
rencana fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak,
realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana. c
Rencana fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui tahun anggaran berjalan.
Kondisi keterlambatan pekerjaan berdasarkan Permen PU No.43/PRT/M/2007. Langkah selanjutnya adalah: 1. Berita acara dengan program kerja yang telah disepakati sebagai uji coba I. Kontraktor melakukan uji coba I untuk dievaluasi. 2. Dan bila uji coba I gagal, maka diingkatkan dengan SCM tahap II dan dibuat berita cara dengan program kerja yang telah disepakati sebagai uji coba II. 3. Namun, jika uji coba II gagal, maka ditingkatkan dengan SCM tahap III dan dibuat berita acara dengan program kerja yang telah disepakati sebagai uji coba III.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4. Pada akhirnya bila uji coba III gagal, maka akan dilakukan putus kontrak (contract termination by employer). Proses contract termination harus sesuai dengan Dokumen Kontrak (General Conditions pasal 15) antara lain, harus ada Surat Pemberitahuan (notice) dengan waktu yang telah ditentukan. Dijelaskan kembali urutan Permen PU No. 43/PRT/M/2007 menurut PusjatanBalitbang PU bahwa perlu adanya pembuktian keterlambatan proyek. Untuk itu diadakan pertemuan dalam hal terjadinya keterlambatan progress phisik oleh penyedia jasa berdasarkan jadwal kontrak (Contract schedule). Dalam hal terjadinya keterlambatan progress fisik oleh penyedia jasa, maka harus diikuti dalam pengambilan keputusan yakni: a) Jika terjadinya keterlambatan progress fisik antara 5%─ 10 %, maka rapat pembuktian keterlambatan akan diadakan antara Direksi Pekerjaan, Direksi Teknis (SE/supervision engineer ) dan penyedia jasa. b) Jika terjadinya keterlambatan progress fisik antara 10%─ 15%, maka rapat pembuktian keterlambatan akan dilaksanakan antara Pejabat Eselon II pada pemerintah pusat atau daerah yang memiliki kewenangan pembinaan jalan, Direksi Pekerjaan, Direksi Teknis, dan Penyedia Jasa. c) Jika terjadinya keterlambatan progres fisik pada periode I (rencana fisik 0% ─ 70 %) lebih besar dari 15% dan pada periode II ( rencana fisik 70%─ 100%) lebih dari 10% mengacu pada syarat-syarat umum kontrak pasal 33 (kontrak kritis).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
d) Selanjutnya kegiatan rapat pembuktian keterlambatan harus dibuat dalam Berita Acara rapat pembuktian keterlambatan yang ditandatangani oleh pimpinan dari masing-masing pihak sebagai catatan untuk membuat persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan berikutnya. Dengan diketahuinya faktor penyebab keterlambatan proyek maka akan dapat ditentukan langkah selanjutnya jenis keterlambatan proyek. Perlunya pengendalian pelaksanaan pekerjaan terhadap kuantitas dan kualitas dilaksanakan berdasarkan dokumen kontrak dan program mutu yang telah disepakati. Untuk lebih jelasnya kriteria penilaian terhadap kondisi keterlambatan pekerjaan Permen PU No. 43/PRT/M/2007 menurut Pusjatan-Balitbang PU dapat digambarkan pada Tabel 2.1 sebagai berikut: Tabel 2.1 Kriteria Keterlambatan Proyek Periode
Rencana Fisik
Kriteria Keterlambatan Wajar
Terlambat
Kritis
I
0% ─ 7%
0% ─ 7%
>7% ─ 10%
>10%
II
70% ─ 100%
0% ─ 4%
> 4% ─ 5%
> 5%
III
70% ─ 100%
Komposisi Tim Cause Meeting
Show
< 5%
Diserahkan pada PPK
Keterangan
Melampaui tahun anggaran Diserahkan pada PPK
Apabila sampai dengan Rapat Pembuktian Ketiga, Kontraktor gagal, maka dapat diusulkan: 1. Kesepakatan tiga pihak, atau 2. Putus Kontrak (Termination)
Sumber: Permen PU No. 43/PRT/M/2007
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Dengan adanya Permen PU No. 43/PRT/M/2007 menurut Pusjatan-Balitbang PU, maka setiap proyek
yang mengalami kriteria penilaian terhadap kondisi
keterlambatan penyelesaian proyek akan mengacu pada Permen PU No. 43/PRT/M/2007. Namun sekarang sudah diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 07/PRT/M/2011 tentang penanganan kontrak kritis pasal 39.3 yaitu: a. Dalam hal keterlambatan pada pasal 39.1 dan penanganan kontrak pada pasal kritis 39.2 penanganan kontrak kritis dilakukan dengan rapat pembuktian (show cause meeting/SCM). 1) Pada saat kontrak dinyatakan kritis direksi pekerjaan menerbitkan surat peringatan kepada penyedia dan selanjutnya menyelenggarakan SCM. 2) Dalam SCM direksi pekerjaan, direksi teknis dan penyedia membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba pertama) yang dituangkan dalam berita acara SCM tingkat tahap I. 3) Apabila penyedia gagal pada uji coba pertama, maka harus diselenggarakan SCM tahap II yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba kedua) yang dituangkan dalam berita acara SCM tahap II.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4) Apabila penyedia gagal pada uji coba kedua, maka harus diselenggarakan SCM tahap III yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba ketiga) yang dituangkan dalam berita acara SCM tahap III. 5) Pada setiap uji coba yang gagal, PPK harus menerbitkan surat peringatan kepada penyedia atas keterlambatan realisasi fisik pelaksanaan pekerjaan. b
Dalam hal keterlambatan pada pasal 39.2 c PPK setelah dilakukan rapat bersama atasan PPK sebelum tahun anggaran berakhir dapat langsung memutuskan kontrak secara sepihak dengan mengesampingkan pasal 1266 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
2.3.3 Penghentian Kontrak dan Pemutusan Kontrak Sesuai dokumen kontrak Dinas Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga antara lain: 1. Pasal 41.1 menyatakan bahwa penghentian kontrak dapat dilakukan karena pekerjaan sudah selesai. 2. Namun pada pasal 41.4 menyatakan pemutusan kontrak dilakukan para pihak terbukti melakukan kolusi, kecurangan atau tindak korupsi baik dalam proses pelelangan maupun pelaksanaan pekerjaan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Diketahui juga didalam Dokumen Kontrak (General Conditions pasal 15) dapat dilakukan proses contract termination
seperti pada penjelasan diatas
sebelumnya (dapat dilihat pada Tabel 2.2 Permen PU No. 43/PRT/M/2007). Menurut pasal 41.5 dokumen kontrak Dinas PU Direktorat Jenderal Bina Marga, pemutusan kontrak oleh pengguna jasa sekurang-kurangnya 30 hari setelah pengguna jasa menyampaikan pemberitahuan rencana pemutusan kontrak secara tertulis kepada penyedia jasa untuk kejadian (menurut pasal 41.5 dokumen kontrak Dinas PU Direktorat Jenderal Bina Marga) antara lain: a) Penyedia jasa tidak mulai melaksanakan pekerjaan berdasarkan kontrak pada tanggal mulai kerja sesuai dengan pasal 15.2. b) Penyedia jasa gagal pada uji coba ketiga dalam melaksanakan SCM sesuai pasal 33.2.a.6. c) Penyedia jasa tidak berhasil memperbaiki suatu kegagalan pelaksanaan, sebagimana dirinci dalam surat pemberitahuan penangguhan pembayaran sesuai dengan pasal 58.2. d) Penyedia jasa tidak mampu lagi melaksanakan pekerjaan atau bangkrut. e) Penyedia jasa gagal mematuhi keputusan akhir penyelesaian perselisihan. f) Denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan melampaui besarnya jaminan pelaksanaan. g) Penyedia jasa menyampaikan pernyataan yang tidak benar kepada pengguna jasa dan pernyataan tersebut berpengaruh pada hak, kewajiban, atau kepentingan pengguna jasa.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
h) Terjadinya keadaan kabar dan penyedia jasa tidak dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan pasal 37.7.c. Dengan adanya kejadian yang timbul seperti diatas sebagaimana dirinci dalam huruf a) sampai h), pasal 1.266 maka Kitab Undang Undang Perdata tidak diberlakukan. Seperti penjelasan diatas, dapat dibedakan antara penghentian kontrak dan pemutusan kontrak. Namun demikian, penelitian ini hanya terjadi penghentian kontrak yang dilaksanakan, karena pelaksanaan pekerjaan proyek jembatan sudah selesai meskipun penyelesaian pelaksanaan proyek jembatan terlambat dari yang sudah dijadwalkan dan bukan pemutusan kontrak. Masalah analisis faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan yang terlambat dari yang sudah dijadwalkan semula adalah penelitian yang dilakukan peneliti, dan diharapkan solusi penelitian ini diperoleh hasil sesuai dengan tujuan penelitian. 2.4 Penelitian sebelumnya berkaitan dengan Penyebab Keterlambatan Proyek Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan riset dan mempublikasikannya dalam bentuk jurnal, tesis, literature, handbook. Dibawah ini dijelaskan penelitian peneliti-peneliti sebelumnya, dan ini sebagai acuan untuk menyelesaikan tesis ini.
2.4.1 Beberapa Penelitian Terdahulu Analisis faktor faktor penyebab keterlambatan proyek konstruksi jembatan telah banyak dijadikan bahan penelitian. Beberapa penelitian menggunakan kuesioner, pengujian statistik, analisa tools yang sering digunakan adalah SPSS.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Dewati et al (2010) melakukan penelitian dengan judul Proyek Pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) WI Ruas Kebon Jeruk-Penjaringan Paket 4 & 5. Hasil penelitian mereka menemukan faktor faktor resiko yang paling dominan menyebabkan penurunan kinerja waktu, sehingga menyebabkan keterlambatan proyek pembangunan JORR (Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta) W 1 ruas Kebon Jeruk – Penjaringan (Paket 4&5). Penemuan ini membuka jalan dalam mendapatkan penanganan yang tepat untuk memperbaikinya. Nainggolan et al (2010) melakukan penelitian dengan judul Manajemen Resiko Kinerja Biaya dan Waktu Proyek Central Park Jakarta. Hasil penelitian yang diperoleh adalah proyek konstruksi apartemen termasuk salah satu proyek yang dipengaruhi oleh resiko dan ketidakpastian. Mengidentifikasi faktor faktor resiko dominan yang berpengaruh terhadap kinerja biaya dan waktu proyek pada konstruksi pembangunan Apartemen Central Park Jakarta Barat. Kuesioner ditujukan kepada stakeholder seperti Developer dan Main Contractor, dianalisa secara statistik untuk mendapatkan model hubungan antara faktor faktor resiko terhadap kinerja waktu dan biaya proyek serta bobot variabel yang mempengaruhinya. Proboyo (1999) melakukan penelitian dengan judul Keterlambatan Waktu Pelaksanaan Proyek. Hasil penelitian yang diperoleh adalah keberhasilan melaksanakan proyek konstruksi tepat pada waktunya adalah salah satu tujuan terpenting, baik bagi pemilik maupun kontraktor. Keterlambatan adalah sebuah kondisi yang sangat tidak dikehendaki karena akan sangat merugikan kedua belah pihak dari segi waktu dan biaya. Penelitian ini bertujuan menemukan faktor faktor
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
yang sangat berperan atau mendominasi segala penyebab keterlambatan dengan maksud agar proses perencanaan dan penjadwalan proyek konstruksi dapat dilakukan dengan lebih lengkap dan cermat, sehingga keterlambatan sedapat mungkin dihindari atau dikendalikan. Temuan penyebab-penyebab keterlambatan yang dikonfirmasikan dengan segi lapangan menggunakan kuesioner yang didistribusikan kepada kontraktor, menunjukkan bahwa masalah-masalah tidak seksamanya rencana kerja, tidak tersedianya sumber daya dan kurangnya komunikasi, koordinasi, merupakan faktor-faktor yang dominan sehingga penyebab keterlambatan dari sisi kontraktor. Dari sisi pemilik masalah ketidaklengkapan dan ketidakjelasan desain dan lingkup pekerjaan, masalah sistem pengawasan dan pengendalian proyek merupakan faktor yang dominan sebagai penyebab keterlambatan. Widhiawati (2009) melakukan penelitian dengan judul Analisis Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Proyek Konstruksi. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa pelaksanaan proyek konstruksi umumnya mempunyai rencana dan jadwal pembuatan, rencana proyek mengacu pada perkiraan saat rencana pembangunan dibuat. Masalah dapat timbul apa bila ada ketidaksesuaian antara rencana dengan pelaksanaannya. Dampaknya adalah keterlambatan pelaksanaan dan meningkatnya biaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui penyebab utama dan faktor-faktor penyebab keterlambatan kuesioner didistribusikan kepada kontraktor yang berada di kotamadya Denpasar dan terdaftar sebagai anggota Gapensi Bali. Dari 216 kontraktor gred 2-7 dikotamadya Denpasar, diambil sampel 56 dengan menggunakan metode stratified proportionate sampling. Metode analisis data yang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
digunakan adalah uji statistik non parametrik dengan analisis Kendall W menggunakan program SPSS 14.0 for windows. Menurut Andi et al (2003) dan Proboyo (1999), faktor-faktor keterlambatan dikelompokkan menjadi 10 faktor. Selanjutnya dipaparkan dalam kuesioner site manager dan pelaksanaan lapangan pada masing-masing kontraktor. Dari 168 responden yang turut berpartisipasi dapat disimpulkan bahwa faktor tenaga kerja mempunyai tingkat kesepakatan/keselarasan yang paling dominan, penyebab utama adalah keahlian tenaga kerja. Dapat ditunjukkan dengan nilai statistik hubungan > statistik tabel (242.260 > 12.592) dan probabilitas < 0.05 (0.00 < 0.005). Ho ditolak berarti ada keselarasan diantara responden tentang pengaruh faktor keterlambatan yang mempengaruhi serta nilai W sebesar 0.241 berada diantara 0.20-0.399 berarti tingkat keselarasan antara responden adalah rendah. Assaf et al (2006) melakukan penelitian dengan judul Change Order in Construction
Projects in
Saudi
Arabia.
Hasil
penelitian
yang diperoleh
mengemukakan tentang perbedaan kategori proyek konstruksi di Saudi Arabia. Ditetapkan bahwa penyebab keterlambatan proyek dengan melakukan survei terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan proyek yaitu; pemilik, konsultan dan kontraktor maka dari hasil survei terhadap 23 kontraktor, 19 konsultan dan 15 pemilik, terdapat 73 penyebab keterlambatan yang ditetapkan selama riset. 76% dari kontraktor, 56% konsultan menetapkan bahwa rata-rata keterlambatan pelaksanaan proyek sekitar 10% dan 30% dari waktu yang yang telah ditetapkan sesuai kontrak. Umumnya penyebab keterlambatan proyek yang didapatkan terhadap pihak-pihak
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
yang terlibat (kontraktor, konsultan dan pemilik) tentang adanya perubahan rencana (change order). Hasil dari survei diperoleh 70% terdapat proyek yang diperpanjang waktu pelaksanaannya dari yang dijadwalkan, dan 45 dari 76 proyek konstruksi terjadi keterlambatan pelaksanaan pekerjaan proyek. Digunakan koefisien korelasi Spearman untuk hubungan menyatakan setuju atau tidak didalam rangking penyebab penting keterlambatan konstruksi proyek dengan pihak-pihak yang terlibat, pemilik, kontraktor dan konsultan. Dengan demikian diperoleh hasil penelitian ini melalui responden terhadap pemilik, konsultan dan kontraktor.
Untuk penelitian ini
digunakan korelasi Spearman dengan koefisien korelasi antara +1 dan ─1, dimana +1 menyatakan setuju, sedangkan ─1 menyatakan tidak setuju. Korelasi rangking Spearman digunakan menentukan langkah selanjutnya yaitu perbandingan korelasi antara penyebab penting keterlambatan proyek terhadap pihak-pihak yang terkait yaitu: kontraktor, konsultan dan pemilik.
2.4.2 Resume Penyebab Keterlambatan Proyek dari Peneliti sebelumnya Penelitian penyebab keterlambatan proyek jembatan didasari latar belakang dari peneliti-peneliti (researches) sebelumnya, seperti pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Penyebab Keterlambatan Proyek didasari latar belakang dari peneliti-peneliti (researches) sebelumnya Peneliti (research)
Project
Jumlah penyebab yg diidentifikasi
Kasus Keterlambatan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Tabel 2.2 Penyebab Keterlambatan Proyek didasari latar belakang dari peneliti- peneliti (researches) sebelumnya Peneliti (research)
Project
Jumlah penyebab yg diidentifikasi
Menurut Kraiem dan Dickman (1987) dalam Proboyo (2009)
Keterlambatan waktu pelaksanaan proyek : Klasifikasi dan peringkat dari penyebabpenyebabnya.
45
Acharya et al (2006)
Analysis of Construction Delay Factor: A Korean Perspective
85
Kasus Keterlambatan
Kontraktor: tidak seksamanya rencana ke tersedianya sumberdaya, kurangnya komunikasi/koordinasi.
Pemilik: masalah ketidaklengkapan, ketid dan lingkup pekerjaan, masalah sistem pen pengendalian proyek.
Konsultan : pekerjaan yang berlebihan, tid gambar,tidak lengkapnya spesifikasi, pere (error), adanya perubahan keputusan, mel pekerjaan kembali yang salah, perubahan perubahan spesifikasi selama pelaksanaan
Kontraktor : perubahan personil staff, ku ahli, kurangnya dana (insufficient cash flo pengalaman tenaga ahli.
Pemilik: Perubahan lokasi proyek (site), p yang salah, waktu pelaksanaan proyek yan Abdullah et al (2010)
Causes of Delay in MARA Management Procurement Construction Projects.
18
Kontraktor: Cash flow, kesulitan keuanga manajemen yang buruk dilokasi lapangan, perencanaan, progress, skedul yang tidak e
Assaf et al (2011)
Change Orders in Construction Projects in Saudi Arabia.
21
Pemilik: kurang terlibatnya pengembanga terlambatnya material di proyek, adanya p material, pergantian material.
Konsultan: adanya konflik dalam perubah perencanaan, adanya perubahan setelah pe Ahmed et al (2002)
Construction Delays in Florida: An Empirical Study
50
Pemilik: Bencana alam, perubahan permin spesifikasi, kesulitan keuangan, terlambat kepada kontraktor, kesulitan ekonomi, dim kembali kontrak.
Kontraktor: terlambatnya fabrikasi bahan tidak memadai dilokasi proyek, tidak mam
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Lanjutan Tabel 2.2 Penyebab Keterlambatan Proyek didasari latar belakang dari peneliti - peneliti (researches) sebelumnya
/ pekerja dilokasi proyek, rusaknya konstr tersedianya peralatan, terjadinya perselisi lokasi proyek antar pekerja, perencanaan d yang tidak memadai, kurang koordinasi di keterlambatan transportasi, keahlian mana buruk. Rider et al ( 2011)
Analysis of Concurrent/Pacing Delay
Soon et al (2007) Causes and Effects of Delays in Malaysian Construction Industry
Bordat et al (2004).
An Analysis of Cost Overruns and Time Delays of INDOT Projects
46
Kontraktor:kondisi lokasi proyek (site) ya terduga, berbeda dari yang direncanakan.
28
Kontraktor: Perencanaan yang tidak sesua yang buruk di lokasi proyek (site),pengala kurang, pembayaran yang tidak tepat wakt padahal sudah menyelesaikan proyek, Ma sub kontraktor, material yang tidak mencu tenaga kerja, peralatan yang tersedia akan kurang komunikasi antar staff, kesalahan y selama pelaksanaan proyek
25
Pelaksanaan bisnis (business practices), p kondisi lokasi proyek (site) yang jauh dari kontraktor dan lembaga manajemen, skedu pemeliharaan daerah (zone ) traffic, peren salah.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Kelanjutan Tabel 2.2 tentang Penyebab Keterlambatan Proyek didasari latar belakang dari peneliti-peneliti (researches) sebelumnya dapat dilihat pada lampiran I.
2.5 Statistik yang digunakan untuk menganalisis Beberapa tahapan statistik yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini antara lain: 2.5.1 Teori Analisis Data Menurut Arikunto (2002) bahwa data kuantitatif yang dikumpulkan dalam penelitian koresional, komparatif, atau eksperimen diolah dengan rumus-rumus statistik yang sudah disediakan. Data yang telah terkumpul, maka diklasifikasikan menjadi dua kelompok data, yakni: data kuantitatif yang berbentuk angka-angka dan data kualitatif yang dinyatakan dalam kata-kata atau simbol atau juga dalam bentuk bukan angka. Analisis kualitatif merupakan analisis yang mendasar pada adanya hubungan semantik antar variabel yang sedang diteliti dan hubungan antar semantik sangat penting karena dalam analisis kualitatif. Tidak menggunakan angka-angka seperti pada analisis kuantitatif (Sarwono, 2006). Dengan adanya penjelasan diatas, maka perbedaan antara data kuantitatif dan kualitatif untuk analisis data ditentukan oleh peneliti. Peneliti menentukan analisis data kuantitatif dengan asumsi menurut penelitian The Ordnance Department of US Army and Ballistic Research Laboratory (BRL) dalam Azis et al (2010). Mereka telah banyak melakukan eksperimen. Dari eksperimen mereka, maka diperoleh
hasil
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
perkembangan eksperimen Army Corp of Engineers didalam formula ACE. Formula ACE telah menetapkan: 1. Korelasi. 2. Non parametrik. 3. Variabel ordinal. 4. Menggunakan korelasi Spearman. 5. Chi square test. Dasar formula ACE inilah yang dijadikan acuan peneliti untuk menentukan langkah selanjutnya penelitian ini.
2.5.2 Teori Metode Pengukuran Setiawan (2005) mengatakan bahwa teknik pengukuran yang sering digunakan dalam penelitian adalah skala Likert. Skala ini merupakan metode summated rating. Dan ini diaplikasikan untuk mengukur sikap seseorang terhadap sekumpulan pertanyaan yang berkaitan dengan variabel tertentu. Skala Likert dirancang untuk mengukur apakah sikap itu berada pada jenjang yang negatif atau positif, kemudian diberi skor secara berjenjang. Sedangkan menurut Weni (2007) bahwa skala Likert penting untuk mengetahui pendapat responden atau sikap tentang sesuatu, dimana responden harus mengidentifikasi lebih dekat pengalaman, pendapat yang cocok. Sesuai dengan pertanyaan didalam sebuah rating scale.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.5.3 Teori Sampling Sugiyono (2003) mengemukakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sampel adalah bagian dari sejumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi tersebut (Sugiyono, 2003). Penggunaannya adalah dengan mengambil sampel acak sederhana (simple random sampling), yaitu sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Dengan adanya ketentuan diatas maka populasi dalam penelitian ini adalah total responden pihak-pihak yang terlibat, kontraktor dan pemilik sebanyak 71 responden (Lampiran II).
2.5.4 Teori tentang Metode Jenis dan Sumber Data Terdiri dari 2 sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Data yang dikumpulkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer merupakan data yang didapat secara langsung dari sumber-sumber pertama baik individu maupun kelompok yaitu: penyebaran kuesioner di distribusi kepada responden yang ditargetkan, kontraktor BUMN dan non BUMN yang ada di Sumatera Utara dan kontraktor non BUMN Aceh. Sedangkan pemilik (owner) hanya di Sumatera Utara.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.5.5 Teori Statistik Non Parametrik Statistik non parametrik digunakan untuk pengujian hipotesis jika data berbentuk nominal dan ordinal. Data nominal adalah data yang menunjukkan frekuensi dari suatu atribut. Data ordinal adalah data yang menunjukkan urutan atau ranking. Penggunaan statistik non parametrik memerlukan berbagai persyaratan. Persyaratan tersebut adalah sumber penelitian harus diambil secara acak (random). Tetapi data yang dianalisis tidak harus berdistribusi tertentu. Setiawan (2005) menyatakan bahwa statistik non parametrik adalah bagian statistik yang parameter dari populasinya tidak mengikuti suatu distribusi tertentu atau memiliki distribusi yang bebas persyaratan dan variannya tidak perlu homogeni. Penggunaan statistik parametrik dan non parametrik tergantung dari asumsiasumsi dasar yang berkaitan dengan distribusi dan jenis skala data yang diperoleh dari populasi maupun sampel penelitiannya. Apabila tidak memenuhi persyaratan antara lain: 1. Variabel yang diukur tidak dalam skala interval. Skala interval termasuk ukuran yang bersifat numerik. Sehingga memungkinkan melakukan interpretasi terhadap hasilnya. 2. Analisis yang berkaitan dengan dua grup, maka populasi masing-masing grup harus memiliki varian yang sama, seperti diketahui varians adalah ukuran keragaman yang memperhitungkan posisi relatif setiap pengamatan terhadap nilai tengah gugus data. 3. Observasi diambil dari populasi yang berdistribusi normal.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
4. Hasil observasi harus bersifat independen. Pemilihan satu kasus tidak tergantung pada pemilihan kasus lainnya. Akan tetapi, jika tidak memenuhi semua persyaratan tersebut diatas, maka digunakanlah analisis metode statistik non parametrik. Uji statistik ini tidak memerlukan asumsi distribusi dari populasi. Terdapat kelebihan dan kekurangan antara statistik parametrik dan non parametrik. Setiawan (2005) menyatakan bahwa statistik non parametrik memiliki keunggulan dan kekurangan, adapun keuntungan dari penggunaan statistik non parametrik adalah sebagai berikut: 1. Statistik non parametrik dapat digunakan pada sampel kecil. 2. Dapat digunakan untuk menggarap sampel-sampel. Observasi tersebut terdiri dari beberapa populasi yang berlainan. 3. Dapat digunakan untuk menggarap data. Data tersebut merupakan ranking (rank). 4. Dapat digunakan untuk menggarap data. Data tersebut merupakan klasifikasi dan diukur dalam skala nominal. 5. Lebih mudah dipelajari dan diterapkan dibandingkan dengan statistik parametrik.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Sedangkan kekurangan dari penggunaan prosedur model statistik non parametrik adalah: 1. Penggunaan statistik non parametrik akan menjadi penghamburan data jika data memenuhi syarat model statistik parametrik. 2. Belum ada satupun dalam metode statistik non parametrik untuk mengukur interaksi-interaksi dalam model analisis varian. 3. Penggunanaan statistik non parametrik memerlukan banyak tenaga serta menjemukan. Penjelasan yang diberikan oleh Setiawan (2005) diatas, dapat memberikan gambaran keuntungan dan kerugian penggunaan statistik non parametrik. Namun, peneliti berpedoman kepada Ballistic Reserach Labolatory (BRL) seperti penjelasan pada Bab II. 2.5.1 tentang alasan digunakan statistik non parametrik.
2.6 Teori Analisis yang digunakan Penelitian ini membahas beberapa teori analisis yang digunakan dalam penyelesaian masalah yang terjadi tentang faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan di Sumatera Utara dan Aceh, diantaranya adalah:
2.6.1 Mean atau rata-rata Nazir (1999) menyatakan bahwa mean (rata-rata), yang sering digunakan adalah rata-rata hitung (arithmetic mean). Rata-rata hitung untuk data kuantitatif yang terdapat dalam sebuah sampel dihitung dengan jalan membagi jumlah nilai data oleh
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
banyak data. Jika X1, X2, …………….Xn adalah n buah pengamatan, maka mean dicari dengan rumus: n
_
Mean x = Dimana:
∑ i =1
f i xi (2.1)
n
= Nilai rata-rata (mean value) dari data kuesioner n = Jumlah observasi data Kuesioner pada setiap faktor/variabel (61) Xi = Skala scoring (scoring scale) (1,2,3,4,5) fi = frekuensi dari setiap observasi kuesioner dari setiap factor
Penentuan nilai rata-rata (mean rank) terendah (terkecil) diambil referensi oleh peneliti menurut Widhiawati (2009).
2.6.2 Teori Koefisien Korelasi Berdasarkan Rank Suatu himpunan data tertentu, dengan pengukuran atau anggapan normalitas untuk r tidak terpenuhi, maka digunakan koefisien korelasi non parametrik. Seperti diketahui bahwa korelasi adalah hubungan keterkaitan antara dua atau lebih variabel. Angka koefisien korelasi (r) terpenuhi sekitar
-1 = r = +1. Untuk menentukan
koefisien korelasi dengan metode non parameterik, maka digunakan koefisien korelasi rank spearman dan koefisien korelasi rank konkordansi Kendall. Koefisien korelasi berdasarkan rank adalah ukuran asosiasi yang menuntut kedua variabel diukur sekurang-kurangnya dalam skala ordinal sehingga objek-objek
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
yang dipelajari dapat di rangking dalam rangkaian berurut (Conover dalam Khotimah, 2007).
2.6.3 Teori tentang Korelasi Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel dan Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu teknik pengukuran asosiasi/ hubungan (measures of association).. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 s/d -1. Ada tiga penafsiran hasil analisis korelasi, meliputi: pertama, melihat kekuatan hubungan dua variabel; kedua, melihat signifikansi hubungan; dan ketiga, melihat arah hubungan. Untuk melakukan interpretasi kekuatan hubungan antara dua variabel dilakukan dengan melihat angka koefesien korelasi hasil perhitungan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: 1.
Jika angka koefesien korelasi menunjukkan 0, maka kedua variabel tidak mempunyai hubungan.
2.
Jika angka koefesien korelasi mendekati 1, maka kedua variabel mempunyai hubungan semakin kuat.
3.
Jika angka koefesien korelasi mendekati 0, maka kedua variabel mempunyai hubungan semakin lemah.
4.
Jika angka koefesien korelasi sama dengan 1, maka kedua variabel mempunyai hubungan linier sempurna positif.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
5.
Jika angka koefesien korelasi sama dengan -1, maka kedua variabel mempunyai hubungan linier sempurna negatif.
2.6.4 Teori tentang Koefisien Korelasi Rank Spearman Teori korelasi digunakan untuk menganalisis ada atau tidaknya hubungan antara variabel, jika ada hubungan maka berapa besar pengaruhnya. Peneliti memastikan validitas dari kuesioner, maka dilakukan uji statistik, yaitu tes Spearman. Seperti diketahui korelasi rangking Spearman adalah tes non parametrik, yang digunakan untuk mengetahui adanya variabel faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek terhadap pemilik, kontraktor.
Teknik yang digunakan untuk mengetahui
hubungan 2 variabel antara faktor-faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan (X) terhadap pihak-pihak yang terlibat Y{kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)} Dengan kata lain, dapat diketahui variabel faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan terhadap variabel pihak-pihak yang terlibat Y {kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)}. Digunakan statistik Rs
antara ─1 dan +1
yang menyatakan
mempunyai hubungan tidak berpengaruh atau berpengaruh. - Koefisien korelasi +1 mempunyai pengaruh positif. Dinyatakan berpengaruh - Sedangkan
koefisien
korelasi
─1
mempunyai
berpengaruh
negatif.
Dinyatakan tidak berpengaruh.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Menurut Sallah (2009) bahwa arti nilai Rs pada korelasi rank Spearman adalah; 1. Jika nilai Rs adalah ─1, maka ini korelasi negatif. 2. Diantara ─1 dan ─0.5 adalah korelasi negatif kuat. 3. Untuk ─0.5 dan 0 maka korelasi negatif lemah. 4. Sedangkan nilai 0, maka tidak ada korelasi. 5. Jika nilai 0 dan 0.5 maka korelasi positif lemah. 6. Dan jika 0.5 dan 1, maka korelasi positif kuat. 7. Sedangkan jika 1 maka terdapat korelasi positif.
Madjid (2006) menyatakan bahwa koefisien korelasi rangking Spearman adalah pengukuran asosiasi (hubungan) 2 variabel antara faktor-faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan (X) terhadap pihak-pihak yang terlibat Y {kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)}. Agar penentuan korelasinya yang signifikan dalam suatu faktor rangking keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi jembatan dalam persfektif kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2), maka korelasi rank Spearman (Sheskin dalam Madjid, 2006), dihitung dengan menggunakan rumus:
rs Dimana:
(2.2)
rs=Koefisien korelasi rank Spearman d=Perbedaan Rangking antara kontraktor dan pemilik N=Jumlah variabel (total responden sebanyak 71 orang)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Diperoleh besarnya koefisien korelasi spearman (rs) bervariasi yang memiliki batasan-batasan antara -1 < r < 1, interprestasi dan nilai koefisien korelasinya adalah: 1. Jika, nilai r > 0, artinya telah terjadi hubungan yang linear positif, yaitu makin besar nilai variabel X ( faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan ) maka besar pula nilai variabel Y {kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)} atau makin kecil nilai variabel X (faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan)
maka makin kecil pula nilai variabel
Y{kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)}. 2. Jika, nilai r < 0, artinya telah terjadi hubungan yang linear negatif, yaitu makin kecil nilai variabel X (faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan), maka makin besar nilai variabel Y {kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)} atau makin besar nilai variabel X (faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan), maka makin kecil pula nilai variabel Y {kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)}. 3. Jika, nilai r = 0, artinya tidak ada hubungan sama sekali antara variabel X (faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek) dengan variabel Y {kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2)}. 4. Jika, nilai r = 1 atau r = -1 adalah telah terjadi hubungan linear sempurna, berupa garis lurus, sedangkan untuk nilai r yang semakin mengarah ke angka 0 maka garis makin tidak lurus.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Dalam hubungan antara rangking kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2) diverifikasi dengan asumsi oleh tes hipotesis pada signifikan 95%. dimana Z = rs Agar supaya diketahui faktor-faktor yang sangat berpengaruh penyebab keterlambatan proyek dan tidak berpengaruh faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek antara dua grup responden, kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2) dalam faktor rangking, maka diperlukan tes hipotesis, yaitu: - Hipotesis nol (null hypothesis) H0 = Tidak ada pengaruh hubungan faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan didalam rangking terhadap kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2). = Ada pengaruh hubungan faktor-faktor
- Hipotesis Alternatif H1
penyebab keterlambatan proyek jembatan didalam
rangking terhadap
pemilik (Y2)
dan kontraktor (Y1).
Korelasi Spearman dalam pengujian statistik dapat dilakukan menurut pendapat
Setiawan
(2005)
asosiasi/relasi/hubungan
menyatakan
antara
2
bahwa
variabel
merupakan
antara
ukuran
faktor-faktor
kadar
penyebab
keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan (X) terhadap pihak-pihak yang terlibat (kontraktor dan pemilik) yang didasarkan atas rangking faktor-faktor penyebab
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
keterlambatan proyek jembatan dengan data berupa ordinal. Dengan perhitungan dan pengujiannya didalam penelitian yakni: 1. Diberikan rangking pada variabel X dan Y, jika ada rangking kembar buat rata-ratanya. 2. Hitung harga di=Xi─Yi. 3. Dibuat kuadrat masing-masing di (di)² dan jumlahkan (∑(di)²). 4. Tidak ada rangking berangka maka digunakan rumus:
rs
(2.3)
5. Dilakukan uji signifikansi Jika 4≤n≤30, digunakan tabel P ( Siegel, 1997) uji satu sisi. Dan jika≤α, p maka H0 ditolak. Jika n>30, dihitung dengan menggunakan rumus:
t
(2.4)
I
2.6.5 Teori tentang Koefisien Korelasi Rank Kendall (τ) Analisis korelasi rank Kendall digunakan untuk mencari hubungan dan menguji hipotesis antara dua variabel atau lebih. Jika datanya berbentuk ordinal dan rangking (Sugiyono, 2003). Untuk menentukan faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek pelaksanaan jembatan diantara responden, kontraktor (Y1), pemilik (Y2) didalam rangking,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
koefisien konkordansi Kendall digunakan. Koefisien ini memberikan jawaban faktorfaktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan diantara responden selama mendapatkan hasil data kuesioner dalam skala 0 sampai 1. Al-Juwairah (1997) menyatakan bahwa koefisien konkordansi Kendall (σ) adalah menyatakan sejauh mana pengaruhnya atau sebaliknya bahwa tidak ada pengaruhnya faktor-faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan yang diperoleh diantara rangking terhadap pihak-pihak terlibat yaitu kontraktor dan pemilik (owner). Dalam pengertian lain bahwa koefisien konkordansi Kendall ini digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan terhadap pihak-pihak terlibat yaitu kontraktor dan pemilik (owner). Dan juga untuk mengetahui apakah tidak mempunyai pengaruh faktor-faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan terhadap pihak-pihak terlibat yaitu kontraktor dan pemilik (owner). Widhiawati (2009) menyatakan bahwa uji konkordansi Kendall pada prinsipnya ingin mengetahui apakah ada keselarasan dari sekelompok subjek (orang) dalam menilai objek tertentu. Keselarasan (konkordansi) diberi nilai seperti halnya korelasi, yakni dari 0 sampai 1. Jika 0 berarti responden sama sekali tidak selaras satu dengan yang lain dalam menilai atribut dan jika 1 maka semua sangat selaras. Pada umumnya, angka konkordansi diatas 0.5 bisa dianggap tingkat keselarasan sudah cukup tinggi. Nilai konkordansi Kendall (Kendall W) dapat dicari dengan rumus:
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
W=
(2.5)
Dimana: k=Jumlah variabel n=Jumlah penilai (responden sebanyak 71) Ri= Jumlah data penilaian responden Untuk dapat memberi interpretasi terhadap kuatnya hubungan itu, maka dapat digunakan pedoman seperti yang tertera dibawah ini:
Tabel 2.3 Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi Rank Kendall Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0.00─0.199
Sangat rendah
0.20─0.399
Rendah
0.40─0.599
Sedang
0.60─0.799
Kuat
0.80─1.00
Sangat kuat
Sumber Sugiyono dalam Widhiawati, (2009)
Pengujian statistik menurut Setiawan (2005) bahwa koefisien korelasi rank Kendall merupakan ukuran kadar asosiasi/relasi/hubungan antara dua (2) variabel antara faktor-faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek jembatan (X) terhadap pihak-pihak yang terlibat yaitu kontraktor (Y1) dan pemilik (Y2). Variabel (faktor) berdasarkan atas rangking dan mempunyai data berskala ordinal. Perhitungan dan pengujiannya yang dilakukan oleh peneliti yakni:
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
1. Diberikan rangking pada variabel X dan Y, jika ada rangking kembar, dibuat rata-ratanya. 2. Diurutkan rangking X dari terkecil hingga terbesar (1,2,3,…………….n). 3. Ditentukan harga S berdasarkan rangking Y yang telah disusun mengikuti X. Dan diamati rangking Y mulai dari yang paling kecil menurut X, hingga yang terbesar menurut X. Kemudian diberi nilai +1 untuk setiap harga yang lebih tinggi berdasarkan susunan rangking X dan ─1 untuk setiap harga yang lebih rendah. Tidak ada rangking berangka maka digunakan rumus:
(2.6) Dilakukan uji signifikansi Jika 4≤n≤10, maka digunakan tabel Q Siegel, 1997 (uji satu sisi). Jika p ≤ α, maka H0 ditolak, Jika n>10, maka
Z
(2.7)
2.6.6 Teori tentang Uji Chi Kuadrat Uji Chi Kuadrat adalah salah satu prosedur non parametrik yang dapat digunakan dalam analisis statistik yang sering digunakan. Uji Chi kuadrat ini digunakan untuk menguji kebebasan antara dua sampel (variabel) yang disusun dalam tabel baris kali kolom atau menguji keselarasan. Pengujian ini dilakukan untuk
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
mencek ketergantungan dan homogenitas, apakah data variabel yang diambil menunjang hipotesis yang menyatakan bahwa populasi asal sampel tersebut mengikuti suatu distribusi yang telah ditetapkan. Kedua prosedur tersebut selalu meliputi perbandingan frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan bila hipotesis nol yang ditetapkan benar, oleh karena itu dalam penelitian yang dilakukan data yang diperoleh tidak selamanya berupa data skala interval, melainkan juga data skala nominal. Dengan memberikan interpretasikan terhadap Chi Kuadrat dan menentukan df. Maka dapat dibandingkan dengan tabel harga kritis Chi Kuadrat. Dapat juga dibandingkan antara harga Chi Kuadrat dari hasil perhitungan dengan harga kritis Chi Kuadrat dan dapat diambil suatu kesimpulan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Jika harga Chi Kuadrat sama atau lebih besar dari tabel Chi Kuadrat maka hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (H1) diterima. 2. Bila harga Chi Kuadrat lebih kecil dari tabel chi Kuadrat maka hipotesis nol (H0) diterima dan hipotesis alternatif (H1) ditolak.
2.7 Identifikasi Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek dari Aspek Manajemen Proyek Konstruksi Jembatan di Sumatera Utara dan Aceh Terdapat faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan telah ditetapkan oleh peneliti sebelumnya, yang ditinjau dari aspek manajemen proyek tersebut. Aspek manajemen proyek ini terdiri dari enam sub aspek manajemen kajian yaitu:
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
− Aspek perencanaan dan penjadwalan pekerjaan (X1). − Aspek lingkup dan dokumen pekerjaan /kontrak (X2). − Aspek sistem organisasi, koordinasi dan komunikasi (X3). − Aspek kesiapan/penyiapan sumber daya (X4 ). − Aspek sistem inspeksi, kontrol dan evaluasi pekerjaan (X5). − Aspek lain-lain (aspek diluar kemampuan pemilik dan kontraktor) (X6).
Aspek manajemen ini menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) dan oleh peneliti merupakan jumlah faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek sebagai variabel a. Peneliti juga telah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek terdiri dari 6 sub aspek manajemen proyek kajian secara rinci yaitu:
2.7.1 Aspek perencanaan dan penjadwalan pekerjaan Aspek ini terdiri dari 8 sub faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan sebagai variabel
X1. Penetapan sub faktor ini sebanyak 6 sub faktor
penyebab keterlambatan proyek jembatan, menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009). Peneliti mendengar dari pakar-pakar yang berpengalaman di bidang proyek konstruksi jembatan dan menangani keterlambatan proyek jembatan bahwa untuk menambahkan 2 faktor lagi penyebab keterlambatan proyek di Sumatera Utara dan Aceh. Saran yang diberikan mereka, seperti pada Tabel 2.4.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
Tabel 2.4 Saran-saran dalam aspek perencanaan dan penjadwalan pekerjaan yang diberikan oleh pakar-pakar konstruksi jembatan No
Sub Faktor/Variabel
1
Pembuatan lalu lintas kendaraan pengalihan sementara yang lama dari yang dijadwalkan sehingga pelaksanaan proyek tertunda.
2
Kondisi lapangan (site) pelaksanaan pada abutment yang tidak terduga.
Keterangan
Sumber
Pakar-pakar tersebut − Assaf et al (2006) − Ahmed et al (2002) berasal dari: − Bordat et al (2004) − instansi pemilik (owner) dengan posisi staff ahli dalam Final Report perencanan jalan dan − Ralls (2007) jembatan. − Wei (2011) dalam − general superintendent kuesioner tesisnya (GS) yang bekerja di − Pusjatan- Balitbang kontraktor non BUMN. PU − staff komersial yang bekerja di kontraktor BUMN. Pakar-pakar tersebut − Acharya et al berasal dari: (2006) − Ahmed et al (2002 ) − instansi pemilik (owner) dengan posisi staff ahli dalam Final Report perencanan jalan dan − Al-Dubaisi (2000) jembatan. − Bordat et al (2004) − general superintendent dalam tesisnya (GS) yang bekerja di kontraktor non BUMN. − staff komersial yang bekerja di kontraktor BUMN.
Pakar-pakar tersebut sampai sekarang masih bekerja di instansi pemilik (owner) dengan posisi staff ahli perencanaan jalan dan jembatan, general superintendent (GS) yang bekerja di kontraktor non BUMN dan staff komersial yang bekerja di kontraktor BUMN. Pakar-pakar tersebut menyatakan bahwa pembuatan lalu lintas kendaraan pengalihan sementara yang lama dari yang dijadwalkan sehingga pelaksanaan proyek tertunda, kondisi lapangan (site) pelaksanaan pada
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
abutment yang tidak terduga adalah salah satu faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan di Sumatera Utara dan Aceh.
2.7.2 Aspek lingkup dan dokumen pekerjaan (kontrak) Aspek ini terdiri dua belas sub faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan sebagai variabel X2. Penetapan sub faktor ini sebanyak 8 sub faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan, menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009). Selain itu peneliti mendengar dari pakar-pakar berpengalaman di bidang proyek konstruksi jembatan yang menangani keterlambatan proyek jembatan bahwa untuk menambahkan 4 faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan di Sumatera Utara dan Aceh. Saran yang diberikan mereka, seperti pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Saran-saran aspek lingkup dan dokumen pekerjaan (kontrak) yang diberikan oleh pakar-pakar konstruksi jembatan No 1
Sub Faktor/Variabel
Keterangan
Disetujui oleh pakarBanyak dikeluarkan pakar yang berasal addendum pada dari: kontrak, karena perbedaan dokumen − instansi pemilik kontrak dengan kondisi (owner) dengan tempat lokasi proyek posisi staff ahli (site). perencanan jalan dan jembatan. − general superintendent (GS) yang bekerja di kontraktor non BUMN. − staff komersial yang bekerja di kontraktor BUMN.
Sumber − Acharya et al (2006) dalam kuesioner tesisnya − Al-Dubaisi (2000) dalam kuesioner tesisnya − Al-Juwairah (1997) dalam kuesioner tesisnya − Al-Najjar (2008) − Lee-Hoai (2008) − Wei (2010) dalam kuesioner tesisnya
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2
Peralatan tidak sesuai kontrak.
− Sda
− Menurut Al- Najjar (2008) dalam kuesioner tesisnya − Assaf (2006) − Ahmed et al (2002) dalam Final Report − Madjid (2006) dalam kuesioner tesisnya − Ralls (2007) − Al-Dubaisi (2000)
3
Terlambatnya merevisi dan persetujuan dokumen perencanaan dan bahan.
− Sda
− Wei (2010) dalam kuesioner tesisnya − Assaf et al (2006) dalam kuesioner tesisnya
4
Tidak menggunakan prosedur yg sistematis pada perencanaan dan dokumen.
− Sda
− Menurut Al- Najjar (2008) dalam kuesioner tesisnya
Tambahan 4 faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan tersebut adalah peralatan tidak sesuai kontrak, banyak dikeluarkan addendum pada kontrak, karena perbedaan dokumen kontrak dengan kondisi tempat lokasi proyek (site), terlambatnya merevisi dan persetujuan dokumen dan bahan dan tidak menggunakan prosedur yang sistematis pada perencanaan dan dokumen.
2.7.3 Aspek sistem organisasi, koordinasi dan komunikasi Aspek ini terdiri dari 9 sub faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan sebagai variabel
X3. Penetapan sub faktor ini sebanyak 9 sub faktor penyebab
keterlambatan proyek jembatan, menurut
Kraiem dan Dickman dalam Proboyo
(2009).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.7.4 Aspek kesiapan/penyiapan sumber daya Aspek ini terdiri dari 15 sub faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan sebagai variabel
X4. Penetapan sub faktor ini sebanyak 7 sub faktor
penyebab keterlambatan proyek jembatan, menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009). Peneliti mendengar dari pakar-pakar yang berpengalaman di bidang proyek konstruksi jembatan dan menangani keterlambatan proyek jembatan bahwa untuk menambahkan 8 faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan di Sumatera Utara dan Aceh. Saran yang diberikan mereka, seperti pada Tabel 2.6. Tabel 2.6 Saran-saran aspek kesiapan/penyiapan sumber daya yang diberikan oleh pakar-pakar konstruksi jembatan No
Sub Faktor/Variabel
1
Mesin dan alat kerja yang tersedia di lapangan tidak dapat bekerja sesuai dengan rencana yang telah di plot.
2
Keterangan
Sumber
Disetujui oleh pakar- − Al-Najjar et al (2008) pakar yang berasal dalam kuesioner tesisnya dari: − Madjid (2006) dalam − instansi pemilik kuesioner tesisnya (owner) dengan − Ralls (2007) posisi staff ahli − Wei (2010) dalam perencanan jalan kuesioner tesisnya dan jembatan. − general superintendent (GS) yang bekerja di kontraktor non BUMN. − staff komersial yang bekerja di kontraktor BUMN. Pemasangan alat yang − Sda − Ahmed et al (2002) terlambat dan berdampak − Al-Najjar et al (2008) dalam mundurnya rencana kerja. kuesiner tesisnya − Madjid (2006) − Ralls (2007)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
3
Terjadinya konflik antar sesama personil di kontraktor.
4
Pengiriman material/bahan konstruksi terlambat sampai ke lapangan (site).
− Sda
− Sda
− − − − − − − − − − − − − −
5
6 7
8
Kurangnya pengalaman mekanik operator mengoperasikan pemakaian alat berteknologi tinggi di lapangan (site). Rendahnya moral dan motivasi (low morale and motivation). Kurangnya mengalokasikan daerah sekitar proyek sebelum pembuatan lalu lintas kendaraan pengalihan sementara. Kurangnya penggunaan teknologi yang tepat dalam pelaksanaan proyek.
− Sda
− − − − −
Wei (2010) Acharya (2006) Madjid (2006) Al-Najjar et al (2008) Lee-Hoai (2008) Ahmed et al (2002) Wei (2010) dalm kuesioner tesisnya Ahmed et al (2002) Al-Najjar et al (2008) dalam kuesioner tesisnya Al-Dubaisi (2000) Assaf et al (2011) Assaf et al (2006) Madjid (2006) dalam kuesioner tesisnya Wei (2010) dalm kuesioner tesisnya Bordat (2004) Assaf (2006) Ahmed et al (2002 ) dalam Final Report Madjid (2006) Wei (2010) dalam kuesioner tesisnya Madjid (2006)
− Sda
−
− Sda
− Assaf (2006) − Ahmed et al (2002 ) dalam Final Report − Ralls (2007)
− Sda
− Ahmed et al (2002 ) dalam Final Report − Assaf (2006) − Madjid (2006) − Wei (2010) dalam kuesioner tesisnya − Acharya (2006)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.7.5 Aspek sistem inspeksi, kontrol dan evaluasi pekerjaan Aspek ini terdiri dari 8 sub faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan sebagai variabel
X5. Penetapan sub faktor ini sebanyak 7 sub faktor
penyebab keterlambatan proyek jembatan, menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009). Peneliti mendengar dari pakar-pakar yang berpengalaman di bidang proyek konstruksi jembatan dan menangani keterlambatan proyek jembatan bahwa untuk menambahkan 1 faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan di Sumatera Utara dan Aceh. Saran yang diberikan mereka, seperti pada Tabel 2.7. Tabel 2.7 Saran-saran aspek sistem inspeksi, kontrol dan evaluasi pekerjaan yang diberikan oleh pakar-pakar konstruksi jembatan No
Sub Faktor/Variabel
1
Rusaknya bahan/material ketika dibutuhkan segera (urgently).
Keterangan
Sumber
Disetujui oleh pakarpakar yang berasal dari: − instansi pemilik (owner) dengan posisi staff ahli perencanan jalan dan jembatan. − general superintendent (GS) yang bekerja di kontraktor non BUMN. − staff komersial yang bekerja di kontraktor BUMN.
− Assaf (2006) − Bordat (2004) dalam Final Report − Wei (2010) dalam kuesioner tesisnya
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2.7.6 Aspek lain-lain (aspek diluar kemampuan pemilik dan kontraktor) Aspek ini terdiri dari 8 sub faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan sebagai variabel
X6. Penetapan sub faktor ini sebanyak 7 sub faktor
penyebab keterlambatan proyek jembatan, menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009). Peneliti mendengar dari pakar-pakar yang berpengalaman di bidang proyek konstruksi jembatan dan menangani keterlambatan proyek jembatan bahwa untuk menambahkan 1 faktor lagi penyebab keterlambatan proyek di Sumatera Utara dan Aceh. Saran yang diberikan mereka, seperti pada Tabel 2.8. Tabel 2.8 No 1
Saran-saran aspek diluar kemampuan pemilik dan kontraktor yang diberikan oleh pakar-pakar konstruksi jembatan
Sub Faktor/Variabel
Keterangan
Sumber
Disetujui oleh pakar-pakar − Al Dubaisi (2000) Terjadinya perselisihan yang berasal dari: antara kontraktor dan dalam kuesioner pemilik (dispute − instansi pemilik (owner) tesisnya between contractor and dengan posisi staff ahli − Assaf (2011) dalam owner). perencanan jalan dan kuesioner tesisnya jembatan. − general superintendent (GS) yang bekerja di kontraktor non BUMN. − staff komersial yang bekerja di kontraktor BUMN.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA