BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Franchise
2.1.1
Pengertian Franchise Franchising adalah suatu sistim pemasaran berkisar tentang perjanjian dua
belah pihak, dimana terwaralaba menjalankan bisnis sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh pewaralaba. Franchising dapat pula berarti sistem pemasaran yang melibatkan dua belah pihak yang terikat perjanjian, sehingga usaha waralaba harus dijadikan sesuai dengan aturan-aturan dari pewaralaba. Secara umum waralaba/franchise dapat diartikan sebagai pengaturan bisnis yang memiliki perusahaan (pewaralaba atau franchisor) memberi/menjual hak kepada pihak pembeli atau penerima hak (terwaralaba atau franchisee) untul menjual produk dan atau jasa perusahaan pewaralaba tersebut dengan peraturan dan syarat-syarat lain yang telah ditetapkan oleh pewaralaba. Menurut European Code of Ethics for Franchising di dalam sewu (2004:5-6) “Franchise adalah sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerjasama tertutup dan terus menerus antara pelaku-pelaku independent (maksudnya franchisor dan individual franchisee) dan terpisah baik secara legal (hukum) dan keuangan, dimana franchisor memberikan hak pada individual franchisee, dan membebankan kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor”.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian pengertian waralaba menurut Asosiasi Franchise Indonesia adalah: “Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu”. Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik
Indonesia No. 259/MPR/Kep/7/1997 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, “Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam rangka menyediakan dan atau penjualan barang dan jasa”. Beberapa terminologi berkaitan dengan usaha waralaba: 1.
Pemberi waralaba (Franchisor) adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan intelektual (HKI) atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
2.
Penerima waralaba (Franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak kekayaan intelektual (HKI) atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba. (http://ekonomi-holic.blogspot.com/2012/10/pengertian-jenis-dan-sejarah-bisnis)
Universitas Sumatera Utara
2.1.2
Sejarah Franchise (Waralaba) Pertama kali Waralaba dikenalkan pada tahun 1850-an oleh Isaac Singer,
pembuat mesin jahit Singer, ketika ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya. Walaupun usahanya tersebut gagal, namun dialah yang pertama kali memperkenalkan format bisnis waralaba ini di AS. Kemudian, caranya ini diikuti oleh pewaralaba lain yang lebih sukses, John S Pemberton, pendiri Coca-Cola. Namun menurut sumber lain, yang mengikuti Singer kemudian bukanlah Coca-Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, General Motors Industry ditahun 1898. Waralaba saat ini lebih didominasi oleh waralaba rumah makan siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restoran cepat sajinya. Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restoran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam
perkembangannya,
sistem
bisnis
ini
mengalami
berbagai
penyempurnaan terutama di tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua. Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di negara asalnya, AS, menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan di Inggris, berkembangnya waralaba dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 60-an. Bisnis waralaba tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan SARA. Kategori waralaba berbeda-beda antara lain: franchise dalam bentuk makanan, pendidikan dan lain-lain. salah satu bentuk nya adalah dan masih banyak lagi franchise yang berkembang di Indonesia
ini.
(http://ekonomi-holic.blogspot.com/2012/10/pengertian-jenis-dan-
sejarah-bisnis) 2.1.3
Jenis/Bentuk Franchise Dalam praktek franchise terdiri dari empat bentuk:
1.
Product Franchise Suatu
bentuk
franchise
dimana
penerima
franchise
hanya
bertindak
mendistribusikan produk dari petnernya dengan pembatasan areal 2.
Processing or Manufacturing Franchise Jenis franchise ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchisor. Jenis franchise ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.
3.
Bussiness Format atau System Franchise Franchisor memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket, seperti yang dilakukan oleh Mc.Donald’s dengan membuat variasi produknya dalam bentuk paket.
Universitas Sumatera Utara
4.
Group Trading Franchise Bentuk franchise yang menunjuk pada pemberian hak mengelola toko-toko grosir maupun pengecer yang dilakukan toko serba ada. Sedangkan menurut organisasi Franchise International yang beranggotakan
negara-negara di dunia, ada empat jenis franchise yang mendasar yang biasa digunakan di Amerika Serikat, yaitu: 1. Product Franchise Produsen menggunakan produk franchise untuk mengatur bagaimana cara pedagang eceran menjual produk yang dihasilkan oleh produsen. Produsen memberikan hak kepada pemilik toko untuk mendistribusikan barang-barang milik pabrik dan mengijinkan pemilik toko untuk menggunakan nama dan merek dagang pabrik. Pemilik toko harus membayar biaya atau membeli persediaan minimum sebagai timbal balik dari hak-hak ini. Contohnya, toko ban yang menjual produk dari franchisor, menggunakan nama dagang, serta metode pemasaran yang ditetapkan oleh franchisor. 2. Manufacturing Franchises Jenis franchise ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchisor. Jenis franchise ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.
Universitas Sumatera Utara
3. Business Oportunity Ventures Bentuk ini secara khusus mengharuskan pemilik bisnis untuk membeli dan mendistribusikan produk-produk dari suatu perusahaan tertentu. Perusahaan harus menyediakan pelanggan atau rekening bagi pemilik bisnis, dan sebagai timbal baliknya pemilik bisnis harus membayarkan suatu biaya atau prestasi sebagai kompensasinya. Contohnya, pengusahaan mesin-mesin penjualan otomatis atau distributorship. 4. Business Format Franchising Ini merupakan bentuk franchising yang paling populer di dalam praktek. Melalui pendekatan ini, perusahaan menyediakan suatu metode yang telah terbukti untuk mengoperasikan bisnis bagi pemilik bisnis dengan menggunakan nama dan merek dagang dari perusahaan. Umumnya perusahaan menyediakan sejumlah bantuan tertentu bagi pemilik bisnis membayar sejumlah biaya atau royalti. Kadangkadang, perusahaan juga mengaharuskan pemilik bisnis untuk membeli persediaan dari perusahaan. (http://ekonomi-holic.blogspot.com/2012/10/pengertian-jenis-dansejarah-bisnis) 2.1.4 Keunggulan dan Kelemahan Sistem Franchise Franchising juga merupakan strategi perluasan dari suatu usaha yang telah berhasil dan ingin bermitra dengan pihak ketiga yang serasi, yang ingin berusaha, dan memiliki usaha sendiri. Sistem franchise ini mempunyai keunggulan-keunggulan dan juga kerugian-kerugian. Keunggulannya adalah:” Seperti dalam praktek retailing, franchising menawarkan keuntungan untuk memulai suatu bisnis baru dengan cepat
Universitas Sumatera Utara
berdasar pada suatu merek dagang yang telah terbukti bisnisnya, tidak sama seperti dengan membangun suatu merek dan bisnis baru dari awal mula”. Selain itu menurut Rachmadi keunggulan lainnya dari sistem franchise bagi franchisee, antara lain: 1.
Pihak franchisor memiliki akses pada permodalan dan berbagi biaya dengan franchisee dengan resiko yang relatif lebih rendah.
2.
Pihak franchisee mendapat kesempatan untuk memasuki sebuah bisnis dengan cara cepat dan biaya lebih rendah dengan produk atau jasa yang telah teruji dan terbukti kredibilitas mereknya.
3.
Lebih dari itu, franchisee secara berkala menerima bantuan manajerial dalam hal pemilihan lokasi bisnis, desain fasilitas, prosedur operasi, pembelian, dan pemasaran. (Rachmadi, 2007:7-8) Sedangkan kerugian sistem franchise bagi franchisee menurut Rachmadi
(2007:9) adalah: 1.
Sistem franchise tidak memberikan kebebasan penuh kepada franchisee karena franchisee terikat perjanjian dan harus mengikuti sistem dan metode yang telah dibuat oleh franchisor.
2.
Sistem franchise bukan jaminan akan keberhasilan, menggunakan merek terkenal belum tentu akan sukses bila tidak diimbangi dengan kecermatan dan kehatihatian franchisee dalam memilih usaha dan mempunyai komitmen dan harus bekerja keras serta tekun.
Universitas Sumatera Utara
3.
Franchisee harus bisa bekerja sama dan berkomunikasi dengan baik dalam hubungannya dengan franchisor.
4.
Tidak semua janji franchisor diterima oleh franchisee.
5.
Masih adanya ketidakamanan dalam suatu franchise, karena franchisor dapat memutuskan atau tidak memperbaharui perjanjian.
2.1.5
Kerjasama Franchise Format bisnis franchise telah berkembang secara luas dalam sektor ekonomi
di USA dan UK (Mandelsohn, 1995:69). Pemberian ijin franchisor kepada franchisee untuk mengembangkan bisnis menggunakan mereknya. Pada dasarnya franchisor menyediakan proses managerial kepada franchisor untuk menjalankan bisnis sesuai dengan kontrak franchise (Cughlan, 2001:86). Sistem franchise tidak hanya sekedar sistem ekonomi tapi juga sistem sosial karena adanya unsur relationship yang berdasarkan dimensi ketergantungan, komunikasi dan konflik (Stern dan Reve dalam Tikoo, 2005:331). Hubungan kerjasama antara franchisor dalam mempengaruhi franchisee sering disertai dengan konflik. Dari hasil penelitian Tikoo (2005:329) peran franchisor meliputi permintaan, ancaman dan perjanjian mempunyai hubungan positif terhadap perselisihan hubungan franchise. Konflik sendiri biasanya terjadi disebabkan oleh asimetri distribusi atas kekuatan franchisor (Quinn dan Doherty, 2000:354).
Universitas Sumatera Utara
Aspek konflik harus dikelola untuk menciptakan hubungan baik antara franchisor dan franchisee. Karena hubungan franchise tidak dapat dikendalikan oleh ketergantungan franchisee. Sehingga peran franchisor diatas mempunyai hubungan negatif terhadap ketergantungan franchisee. Artinya keterikatan franchisee tidak bisa dilakukan dengan tekanan pihak franchisor. Sehingga solusi terbaik adalah terciptanya hubungan fair/adil atas 2 (dua) arah antara franchisor dengan franchisee (Tikoo, 2005:329) misal menggunakan pertukaran informasi (information exchange), kesanggupan
(promise),
pengendalian
diri
(restrain)
atas
penekanan
sebelumnya demand, treat dan legalistic dalam mempengaruhi franchisee. Dimensi
dari
hubungan
baik
antara
franchisor
dan
franchisor
adalah information exchange, recommedations, promises, request, treat, legalistic pleas (Tikoo, 2005:329). Kualitas hubungan digambarkan sebagai kedalaman dan iklim organisasi dari sebuah hubungan antar perusahaan. Dalam dunia franchise ada beberapa studi yang menyatakan variabel yang menggambarkan atas kualitas hubungan dalam jaringan franchise yaitu kepercayaan komitmen, konflik, kekeluargaan, kerjasama. (Monroy dan Alzola, 2005:585). Sehingga merupakan suatu hal yang penting mengukur kualitas hubungan antara franchisor dengan franchisee untuk menetapkan kekuatan hubungan ini dan untuk menjelaskan bahwa bukan hanya dalam network patner tapi dalam kinerja penjualan.
Universitas Sumatera Utara
Adapun beberapa penentu kesuksesan kerjasama dalam franchise antara lain: 1.
Kepercayaan Menurut Monroy dan Alzola, (2005:585) Kepercayaan adalah hal terpenting penentu kesuksesan kerjasama. Disamping itu kepercayaan dapat digambarkan dalam 2 komponen berbeda yaitu kredibilitas dan benevolence (kebajikan) Kredibilitas mengacu pada perluasan dimana satu partner mempercayai bahwa partner lain memiliki kecakapan untuk menampilkan kerja yang efektif dan dapat diandalkan. Sedangkan benevolence berdasarkan perluasan dimana satu partner mempercayai partner lain karena memiliki motivasi yang bermanfaat untuk mengatasi masalah yang ada.
2.
Komitmen Beberapa peneliti menyatakan bahwa komitmen adalah unsur yang essensial kesuksesan hubungan. (Monroy dan Alzola, 2005: 585). Komitmen penting sebagai hasil dari kerjasama yang mengurang potensi ketertarikan alternative ke hal lain dan akhirnya mampu meningkatkan profit. Geyskens dalam Monroy dan Alzola (2005:585) menyatakan bahwa perbedaan antara komitmen afektif dan komitmen kalkulatif adalah hal yang terpenting dalam hubungan antar organisasi. Secara umum komitmen afektif menghubungkan dengan keinginan untuk meneruskan hubungan karena pengaruh positif kedepan dalam mengidentifikasi partnernya. Partner yang memiliki komitmen afektif meneruskan hubungan karena menyukai partner lain, enjoyment dan rasa setia dan rasa memiliki. Namun sebaliknya komitmen
Universitas Sumatera Utara
kalkulatif merupakan komitmen yang berdasarkan pada perluasan partner yang menerima kebutuhan dalam menjaga hubungan yang mengacu pada perpindahan biaya yang ditinggalkan yang menghasilkan perhitungan antara biaya dan manfaat termasuk penetapan investasi yang dibuat dalam sebuah hubungan. 3.
Relasionalism (rasa kekeluargaan). Realsionalism dapat
disebut
sebagai
kerjasama
sosial
yang
mempertimbangkan referensi dari evaluasi perilaku partner. Pada kenyataannya mereka mengijinkan pertimbangan atas kenyamanan dari tindakan satu pihak dengan standar yang pasti dalam melengkapi penyusunan dasar untuk penyelesaian konflik. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam relasionalism adalah flexibilitas, solidaritas, mutuality dan harmonisasi konflik. Ada sepuluh permasalahan yang sangat penting diperhatikan oleh franchisor yang berpotensi menjadi wilayah konflik, yaitu : 1.
Franchisee Recruiting Franchisor harus sangat berhati-hati dalam mengevaluasi dan menyaring calon
franchisee-nya, karena itu penting menetapkan kriteria, meneliti dan memastikan mereka memiliki latar belakang keuangan dan pengalaman dalam mengoperasikan bisnis. Didalam bisnis Franchise, Calon Franchisee harus memiliki kekuatan keuangan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan modal usaha, termasuk juga untuk penggajian, sewa, pembelian produk, pajak, dan kebutuhan tak terduga lainnya. Idealnya, calon franchisee harus memiliki latar belakang menjalankan bisnis serupa atau yang sejalan dengan bisnis franchise atau setidaknya pengalaman bekerja
Universitas Sumatera Utara
yang memadai. Faktor lain yang berkontribusi terhadap sukses frachisee itu adalah motivasi, loyalitas, dan komitmen. Tentu saja, hampir mustahil untuk mengevaluasi calon franchisee hanya dari test tertulis, oleh karena itu franchisor harus melakukan wawancara langsung termasuk juga dengan beberapa referensi yang mereka berikan jika ada, setidaknya franchisor mempunyai gambaran awal yang cukup banyak tentang figur calon franchiseenya. Berhati-hati bila sejak awal calon franchisee sudah memunculkan
sikap
bermusuhan
dan
memancing
perdebatan.
Site Selection and Territorial Rights. Franchisee biasanya diberikan kebebasan untuk memilih lokasi bisnisnya, namun franchisor juga memiliki hak untuk menerima atau menolak lokasi yang diajukan franchisee, akan tetapi sejak awak franchisor harus sudah memberikan kriteria yang jelas mengenai pemilihan lokasi yang diinginkan dengan berbagai faktor pertimbangan seperti target market, ukuran luas, kesesuaian lokasi dengan jenis usaha, kapasitas parkir, biaya pengembangan, kemudahan akses, kompetitor usaha sejenis, demografi, populasi dan lain-lain. Franchisee seringkali mengharapkan banyak bantuan dalam pemilihan lokasi ini. Biasanya pertimbangan franchisee lebih pada dana yang harus dikeluarkan dan bagaimana tingkat pengembaliannya nanti. Franchisee akan diberikan wilayah eksklusif di mana tercantum dalam perjanjian sebagai radius tertentu untuk wilayah pemasarannya.
Jangan sampai terjadi overlap dalam penentuan lokasi dengan
franchisee lainnya karena ini akan menimbulkan konflik antara franchisor dengan franchisee.
Universitas Sumatera Utara
2.
Supervision and Support Franchisee biasanya individu independen yang ingin menjalankan bisnis untuk
diri mereka sendiri, mereka juga tertarik pada franchise karena bimbingan dan dukungan yang ditawarkan oleh franchisor yang menawarkan konsep bisnis yang mapan dan terbukti berhasil. Sebuah bisnis franchise dikatakan sukses tidak hanya sebatas dapat memenuhi komitmen kontrak yang ditetapkan oleh perjanjian franchise, tetapi franchisor bisa memberikan dukungan dan pengawasan tambahan yang bahkan tidak tercantum dalam kesepakatan. Pengawasan mengingatkan franchisor akan kesulitan yang mungkin dihadapi franchisee dan selalu mengingatkan untuk kembali kepada sistem. Sementara pengawasan berlebihan oleh franchisor biasanya tidak diperlukan dan bahkan dapat mengganggu kemampuan franchisee untuk menjalankan bisnis. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melakukan pengawasan, diantaranya dengan memelihara kontak rutin melalui telepon, SMS, email dan melakukan kunjungan sebagai tanda bahwa franchisor selalu menunjukkan kesediaan untuk membantu menyelesaikan masalah franchisee dan berkomitmen membantu mencapai tujuan franchisee. Kurangnya dukungan bisa menyebabkan ketidakpuasan dan berakhir konflik. Franchisee juga menginginkan support dalam bentuk pengembangan produk baru, sehingga franchisor memang harus sudah siap dengan
Research &
Development (R & D). Kegagalan dalam merespon dan mengelola masalah yang terjadi di operasional franchisee, akan membuat masalah semakin menumpuk dan menciptakan hubungan
Universitas Sumatera Utara
permusuhan antara para pihak. Dalam hal ini, sangat mungkin para franchisee saling berkomunikasi
dan membentuk
asosiasi franchisee. Franchisor dapat juga
menawarkan layanan konsultasi manajemen untuk program-program khusus dalam upaya pemasaran atau bahkan memberikan bantuan pada akses pendanaan dengan pihak ketiga. Komunikasi yang baik antara franchisee dan franchisor akan mengurangi kemungkinan timbulnya konflik, sehingga yang terjadi adalah bagaimana tujuan awal kerjasama kedua pihak bisa diwujudkan dengan saling menguntungkan. 3.
Quality Control Kontrol kualitas (Quality Control) bertujuan menjaga danmengarahkan agar
kualitas produk perusahaan dapat dipertahankan sesuaidengan rencana. Kontrol kualitas sangat diperlukan dalam memproduksi suatu barang untuk menjaga kestabilan mutu. Tidak hanya dalam industri,kontrol kualitas dibutuhkan juga pada manajemen. 4.
Accounting practices and Procedures (Praktek Akuntansi dan Prosedur) Perubahan yang cepat dalam masyarakat telah menyebabkan semakin
kompleksnya pengelolaan badan usaha atau perusahaan. Di samping itu, adanya peningkatan aktivitas usaha suatu perusahaan baik yang profit maupun yang non profit dirasakan sebagai beban yang berat. Oleh karena itu, agar semua kegiatan usaha dapat berjalan dengan baik dan lancar, suatu perusahaan memerlukan informasi mengenai keadaan seluruh kegiatan perusahaan secara cepat dan dapat diandalkan. Salah satu informasi yang sangat penting dan diperlukan oleh perusahaan adalah
Universitas Sumatera Utara
informasi mengenai keadaan keuangan dan hasil usaha yang telah dicapai. Informasi yang menyajikan keadaan tersebut dikenal sebagai akuntan. 5.
Misuse of Advertising fund (Penyalahgunaan dana Periklanan) Dengan adanya pengawasan yang tepat, penyalagunaan dana periklanan oleh
pihak franchisee dapat dihindarkan. 6.
Unequal Treatment Unequal Treatment
adalah jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi
pengertian penghasilan, apabila jumlahnya sama dikenakan tarif yang sama, tanpa membedakan jenis-jenis penghasilan atau sumber penghasilan. 7.
Transfers by Franchisees (Transfer oleh Franchisee) Transfer adalah suatu kegiatan jasa bank untuk memindahkan sejumlah dana
tertentu sesuai dengan perintah si pemberi amanat yang ditujukan untuk keuntungan seseorang yang ditunjuk sebagai penerima transfer. Baik transfer uang keluar atau masuk akan mengakibatkan adanya hubungan antar cabang yang bersifat timbal balik, artinya bila satu cabang mendebet cabang lain mengkredit. Keuntungan transaksi Transfer adalah menghemat waktu, lebih aman, Tidak perlu modal, tidak ada biaya menerima, dana langsung tersedia, relatif mudah, jarang ada transaksi palsu, dan tidak ada biaya membayar (kecuali transfer beda bank/beda kota atau negara) 8.
Training for Franchisor’s Management and Sales Team (Pelatihan Manajemen Franchisor dan Tim Penjualan) Pelajaran pertama yang dipelajari oleh profesional penjualan berbagai
pembinaan komunikasi persuasif dengan berbagai populasi. Staf penjualan dalam
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan konsumen khawatir tentang anggaran mereka, eksekutif yang sibuk dan orang-orang yang tidak pernah menganggap membeli produk perusahaan. 9.
Documentation (Dokumentasi) Pengelolaan dokumen suatu perusahaan merupakan salah satu unsur dari
pengelolahan informasi perusahaan. Dokumen perusahaan sebagai data, catatan, rekaman aktifitas perusahaan harus dikelolah dengan tepat oleh franchisee. 2.2
Konflik
2.2.1
Pengertian Konflik Dalam kehidupan yang dinamis antar individu dan antar komunitas, baik
dalam organisasi maupun di masyarakat yang majemuk, konflik selalu terjadi manakala saling berbenturan kepentingan. Konflik didefinisikan sebagai suatu proses interaksi sosial dimana dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih, berbeda atau bertentangan dalam pendapat atau tujuan mereka. Menurut Engkoswara & Komariah (2010:166) mengatakan” konflik adalah segala macam interaksi pertentangan atau antagonistik antara dua atau lebih pihak”. Pertentangan kepentingan ini berbeda dalam intensitasnya tergantung pada sarana yang dipakai. Masing-masing ingin membela nilai yang telah mereka anggap benar, dan memaksa pihak lain untuk mengakui nilai-nilai tersebut baik secara halus maupun kasar. Ada definisi lain tentang konflik kerja yaitu: Ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok (dalam suatu organisasi/perusahaan) yang harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan atau karena kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai atau
Universitas Sumatera Utara
persepsi. Konflik kerja juga dapat diartikan sebagai perilaku anggota organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain. Selain itu konflik diartikan sebagai perbedaan, pertentangan dan perselisihan” (Murni dan Veithzal , 2009:805). Menurut Antonius, dkk (2002:175) konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi. Sedangkan menurut Scannell (2010:2) konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. 2.2.2
Ciri-Ciri Konflik
Menurut Wijono( 2003:37) Ciri-ciri Konflik adalah : 1.
Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2.
Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3.
Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang- pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
Universitas Sumatera Utara
4.
Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5.
Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya. Organisasi terdiri dari berbagai macam komponen, dan tidak jarang
komponen-komponen tersebut bersinggungan dan menjadikan suatu konflik diantara organisasi tersebut. Terdapat beberapa tahapan perkembangan kearah terjadinya konflik, yaitu: Tabel 2.1 Tahapan perkembangan kearah terjadinya konflik. Konflik Penjelasan 1. Konflik masih tersembunyi (laten). Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya. 2. Konflik yang mendahului Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang (antecedent condition). belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya. 3. Konflik yang dapat diamati Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict). 4. Konflik terlihat secara terwujud Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta dalam perilaku (manifest behavior). akibat dari individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku. 5. Penyelesaian atau tekanan konflik Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan. 6. Akibat penyelesaian konflik Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja. Sumber: Wijono (2003:38-41)
Universitas Sumatera Utara
2.2.3
Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Konflik Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar
belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga kategori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. 1.
Komunikasi Komunikasi
yang
buruk,
dalam
arti
komunikasi
yang
menimbulkan
kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik. 2.
Struktur Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
Universitas Sumatera Utara
3.
Variabel Pribadi Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya. Selanjutnya, Kreitner dan Kinicki (1995:284-285) merinci lagi antecedent
conditions itu menjadi 12 faktor sebagai berikut: 1.
Ketidakcocokan kepribadian atau sistem nilai;
2.
Batas-batas pekerjaan yang tidak jelas atau tumpang-tindih;
3.
Persaingan untuk memperoleh sumberdaya yang terbatas;
Universitas Sumatera Utara
4.
Pertukaran
informasi
atau
komunikasi
yang
tidak
cukup
(inadequate
communication); 5.
Kesalingtergantungan dalam pekerjaan (misalnya, seseorang tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya tanpa bantuan orang lain);
6.
Kompleksitas organisasi (konflik cenderung meningkat bersamaan dengan semakin meningkatnya susunan hierarki dan spesialisasi pekerjaan);
7.
Peraturan-peraturan, standar kerja, atau kebijakan yang tidak jelas atau tidak masuk akal;
8.
Batas waktu penyelesaian pekerjaan yang tidak masuk akal sehingga sulit dipenuhi (unreasonable deadlines);
9.
Pengambilan keputusan secara kolektif (semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, semakin potensial untuk konflik);
10. Pengambilan keputusan melalui konsensus; 11. Harapan-harapan yang tidak terpenuhi (karyawan yang memiliki harapan yang tidak realistik terhadap pekerjaan, upah, atau promosi, akan lebih mudah untuk konflik); 12. Tidak menyelesaikan atau menyembunyikan konflik. 2.2.4
Strategi Mengatasi Konflik Pengertian manajemen adalah sebuah tindakan yang berhubungan dengan
usaha tertentu dan penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencaSpiritual tujuan sedangkan pengertian konflik adalah segala macam interaksi pertentangan antara dua pihak atau lebih. Konflik dapat timbul pada berbagai situasi sosial, baik
Universitas Sumatera Utara
terjadi dalam diri individu, antar individu, kelompok, organisasi, maupun negara. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik adalah cara yang digunakan individu untuk menghadapi pertentangan atau perselisihan antara dirinya dengan orang lain yang terjadi di dalam kehidupan. Manajemen konflik menurut Murni dan Veithzal (2009:346) adalah “Pemecahan masalah dibawah tekanan dan lingkungan emosional”. Adanya batasan dalam resolusi konflik memungkinkan pemimpin pendidikan memberikan penekanan pada periode singkat dimana terdapat sistem Pendidikan diluarnya. Manajemen konflik merupakan cara-cara yang dapat dilakukan individu maupun kelompok dalam menyelesaikan konflik, di bawah ini akan dijabarkan langkah-langkah yang dapat digunakan untuk mengatasi konflik baik antara individu, kelompok, maupun individu-kelompok menurut para ahli. Menurut Stevenin (2000:134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan: 1.
Pengenalan. Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
Universitas Sumatera Utara
2.
Diagnosis. Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3.
Menyepakati suatu solusi Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orangorang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4.
Pelaksanaan Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5.
Evaluasi Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi. Stevenin (2003:139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami konflik,
ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu: 1.
Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
Universitas Sumatera Utara
2.
Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
3.
Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar. Manajemen konflik dimaksudkan sebagai sebuah proses terpadu menyeluruh
untuk menetapkan tujuan organisasi dalam penanganan konflik, menetapkan caracara mencegahnya program-program dan tindakan sebagai tersebut maka dapat ditekankan tiga hal: 1.
Manajemen konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan sistem nilai/kultur organisasi manajemen konflik yang diterapkan akan terkait erat dengan ketiga hal tersebut.
2.
Manajemen konflik bersifat proaktif dan menekankan pada usaha pencegahan. Bila fokus perhatian hanya ditujukan pada pencarian solusi-solusi untuk setiap konflik yang muncul, maka usaha itu adalah usaha penanganan konflik, bukan manajemen konflik.
3.
Sistem manajemen konflik harus bersifat menyeluruh (corporate wide) dan meingat semua jajaran dalam organisasi.
2.2.5
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Manajemen Konflik Pandangan
psikologi,
setiap
perilaku
merupakan
interaksi
antara
kecenderungan di dalam diri individu (internal) dan kondisi eksternal. Cara individu bertingkah laku dalam menghadapi konflik dengan orang lain akan ditentukan oleh
Universitas Sumatera Utara
seberapa penting tujuan-tujuan pribadi dan hubungan dengan pihak lain yang dirasakan sehingga ada dua hal yang menjadi pertimbangan dalam penyelesaian masalah, yaitu: 1.
Tujuan atau kepentingan pribadi yang dirasa sebagai hal yang sangat penting sehingga harus dipertahankan atau tidak penting sehingga bisa dikorbankan.
2.
Hubungan dengan pihak lain. Sama halnya dengan tujuan pribadi, hubungan dengan pihak lain ketika konflik terjadi bisa menjadi sangat penting atau sama sekali tidak penting. Menurut Boardman dan Horowitz dalam Mardianto (2000:212), karakteristik
kepribadian berpengaruh terhadap gaya manajemen konflik individu. Karakteristik yang berpengaruh adalah kecenderungan agresif, kebutuhan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif atau kompetitif, kemampuan berempati dan kemampuan menemukan alternatif penyelesaian konflik. Boardman dan Horowitz juga mengatakan bahwa faktor jenis kelamin dan sikap etnosentrik sangat berpengaruh pada proses penyelesaian dan akhir konflik. Sikap etnosentrik adalah cara pandang yang menggunakan norma kelompok sebagai tolak ukur dalam memandang segala sesuatu serta mengukur atau menilai orang lain. Hal ini akan memperkecil kemungkinan terjadi proses pemecahan masalah yang produktif dalam interaksi antar individu dalam kelompok yang berbeda. Selain itu kemampuan manajemen konflik juga banyak didukung oleh karakteristikkarakteristik seperti keterbukaan akan pendapat, hubungan yang hangat, serta kebiasaan untuk tidak memecahkan masalah secara sepihak.
Universitas Sumatera Utara
2.3
Kerjasama
2.3.1
Pengertian Kerjasama Kerjasama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang
perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau tujuan bersama. Kerjasama (cooperation) adalah suatu usaha atau bekerja untukmencapai suatu hasil (Baron & Byane, 2000). Menurut Sunarto (2000:58) Kerjasama (Cooperation) adalah adanya keterlibatan secara pribadi diantara kedua belah pihak dami tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi secara optimal. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerjasama (Cooperation) adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok diantara kedua belah pihak manusia untuk tujuan bersama dan mendapatkan hasil yang lebih cepat dan lebih baik. 2.3.2 1.
Bentuk-bentuk Kerjasama
Merger Merger atau fusi adalah suatu penggabungan satu atau beberapa badan usaha sehingga dari sudut ekonomi merupakan satu kesatuan, tanpa melebur badan usaha yang bergabung. Di pandang dari segi ekonomi, ada dua jenis merger, yaitu merger horizontal dan merger vertikal. a. Merger horizontal adalah penggabungan satu atau beberapa perusahaan
yang masing-masing kegiatan bisnis (produksinya) berbeda satu sama lain sehingga yang satu dengan yang lain nya merupakan kelanjutan dari masing-masing produk. Contoh PT A mengusahakan kapas, bergabung
Universitas Sumatera Utara
dengan PT C yang mengusahakan kain dan seterusnya. Dengan demikian tujuan kerjasama disini adalah menjamin tersedianya pasokan atau penjualan dan distribusi di mana PT B akan mempergunakan produk PT A dan PT C akan mempergunakan produk PT B dan seterusnya. b. Merger vertikal adalah penggabungan satu atau beberapa perusahaan yang
masing-masing kegiatan bisnis berbeda satu sama lain, namun tidak saling mendukung dalam penggunaan produk. Misal nya badan usaha perhotelan, bergabung dengan badan usaha perbankan, perasuransian sehingga di sini terlihat adanya diversifikasi usaha dalam suatu penggabungan badan usaha. Di pandang dari aspek hukum, bentuk kerjasama ini hanya dapat dilakukan pada badan usaha dengan status badan hukum ( dalam hal ini perseroan terbatas ). 2.
Konsolidasi Antara konsolidasi dan merger sering kali dipersamakan sehingga dalam praktik kedua istilah ini sering di pertukarkan dan dianggap sama artinya, namun sebenarnya terdapat perbedaan pengertian antara konsolidasi dan merger. Dalam merger penggabungan antara dua atau lebih badan usaha tidak membuat badan usaha yang bergabung menjadi lenyap, sedangkan konsolidasi adalah penggabungan antara dua atau lebih badan usaha yang menggabungkan diri saling melebur menjadi satu dan membentuk satu badan usaha yang baru, oleh kerena itu, konsolidasi ini sering kali di sebut dengan peleburan.
Universitas Sumatera Utara
3.
Joint Venture Joint venture secara umum dapat di artikan sebagai suatu persetujuan di antara dua pihak atau lebih, untuk melakukan kerjasama dalam suatu kegiatan. Persetujuan di sini adalah kesepakatan yang di dasari atau suatu perjanjian yang harus tetap berpedoman kepada syarat sah-nya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHP perdata. Jadi menurut Amirizal joint venture adalah kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian belaka ( contractueel ). Subjek dari joint venture dapat di bagi menjadi dua jenis kerjasama yaitu: 1.
Antara orang atau badan hukum RI dengan orang atau badan hukum RI
2.
Antara orang atau badan hukum RI dengan orang atau badan hukum
asing/lembaga internasional. 4. Waralaba
Waralaba yang dulu dikenal dengan istilah franchise sekarang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3
Manfaat Kerjasama Menurut H. Kusnadi (2003:78) mengatakan bahwa berdasarkan penelitian
kerja sama mempunyai beberapa manfaat, yaitu sebagai berikut: 1.
Kerja sama mendorong persaingan di dalam pencapaian tujuan dan peningkatan produktivitas.
2.
Kerja sama mendorong berbagai upaya individu agar dapat bekerja lebih produktif, efektif dan efisien.
3.
Kerja sama mendorong terciptanya sinergi sehingga biaya operasionalisasi akan menjadi semakin rendah yang menyebabkan kemampuan bersaing meningkat.
4.
Kerja sama mendorong terciptanya hubungan yang harmonis antarpihak terkait serta meningkatkan rasa kesetiakawanan.
5.
Kerja sama menciptakan praktek yang sehat serta meningkatkan semangat kelompok.
6.
Kerja sama mendorong ikut serta memiliki situasi dan keadaan yang terjadi dilingkungannya, sehingga secara otomatis akan ikut menjaga dan melestarikan situasi dan kondisi yang telah baik.
2.4
Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan Sadat (2011) dengan judul “Pengaruh Konflik
Peran dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Astra Daihatsu Tbk Bagian Divisi Service”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Konflik Peran dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Astra Daihatsu Tbk bagian Divisi Service.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik peran tidak memiliki pengaruh namun tidak signifikan dalam mempengaruhi prestasi kerja pada PT. Astra Daihatsu Tbk, Bagian divisi service. Dengan nilai thitung 0,997 < 199714, dan tingkat signifikansinya 0,322 > 0,05. Variabel Faktor Gaya Kepemimpinan memiliki pengaruh dan signifikan terhadap peningkatan Kinerja Karyawan pada PT. Astra Daihatsu, Medan, dengan nilai thitung 3,972 > 1,99714 dan tingkat 0,000 < 0,05. Penelitian yang dilakukan oleh Sitompul (2011) dengan judul “Pengaruh Manajemen Konflik Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT PLN (Persero) Cabang Medan.” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh manajemen konflik dengan indikator keterbatasan sumber daya, komunikasi,struktur organisasi dan perbedaan individu, terhadap kinerja karyawan PT PLN (Persero) Cabang Medan, dengan indikator kunatitas kerja, kualitas kerja, pemanfaatan waktu dan kerja sama. Metode analisis yang dipergunakan adalah metode analisis deskriptif, metode analisis statistik yang terdiri dari analisis regresi linier sederhana, pengujian signifikan parsial dan pengujian koefisien determasi. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang positif dan signifikan dari variabel nilai pelanggan terhadap loyalitas nasabah, dengan nilai thitung sebesar 4,341 dan nilai koefisien determasi sebesar 23%.
Universitas Sumatera Utara
2.5
Kerangka Konseptual Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan subsistem lainnya tidak
ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatar belakangi munculnya ketidakcocokan atau ketegangan, antara lain sifat-sifat pribadi yang berbeda, perbedaan kepentingan, komunikasi yang “buruk”, perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik. Agar organisasi dapat tampil efektif, maka individu dan kelompok yang saling tergantung itu harus menciptakan hubungan kerja yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Gibson, et al. (2009:437), selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak saling bekerjasama satu sama lain. Sebuah organisasi tidak akan berjalan dengan baik kalau didalamnya tidak ada pemimpin sebagai orang yang bertanggung jawab atas organisasi tersebut, dan pemimpin itu tidak akan maksimal dalam melaksanakan tugasnya tampa adanya bawahan (karyawan) yang selalu berintraksi dan membantunya. Adanya pemimpin dan bawahan (karyawan) tersebut adalah suatu bukti bahwa organisasi dan struktur saling berkaitan. Oleh karena itu, istilah struktur digunakan dalam artian yang
Universitas Sumatera Utara
mencakup: ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kepada organisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan. Dan sebagai tolak ukur, dalam penelitian menunjukkan bahwa ukuran organisasi dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik struktur. Makin besar organisasi, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik. Jadi, konflik adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidak sesuaian atau perbedaan antara dua pendapat (sudut pandang), baik itu terjadi dalam ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota keorganisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan yang berpengaruh atas pihakpihak yang terlibat, baik pengaruh positif maupun dalam sebuah organisasi. Berdasarkan uraian diatas dapat dibuat kerangka konseptual sebagai berikut: Kerangka konseptual • • • •
Konflik (X) :
Konflik masih tersembunyi (laten). (1) Konflik yang mendahului (antecedent condition). (2) Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict). (3) Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior). (4)
Hubungan Kerjasama Franchise (Y)
Sumber : Gibson(2009) data diolah Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Universitas Sumatera Utara