BAB II SELAYANG PANDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PERATUN)
A. Sejarah Terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk. Pada awalnya pembentukan peradilan ini pada saat adanya pemerintahan Belanda yang diatur dalam pasal 134 IS (Indische Staats Regelement) serta pada regalement opde rechterlijke organisattle en het belieb de positive yang disahkan pada tanggal 30 April 1847. Setelah kemerdekaan sebelum dibentuknya undang-undang yang mengatur secara khusus hal tentang peradilan tata usaha negara diatur dalam pasal 66 Undang-Undang No. 19 Tahun 1948. Peradilan ini dibentuk dengan yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara tahun 1986 Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara 3344) 8 pada tanggal 29 Desember 1986 dalam konsideran “menimbang” Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum serta menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang dan selaras antara aparatur dibidang tata Usaha Negara dan para warga masyarakat, ini juga berarti menunjukkan salah satu langkah dalam upaya pembangunan bidang hukum, guna lebih memberi isi pada makna negara hukum 8
Lembaran Negara tahun 1986 Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara 3344
Universitas Sumatera Utara
Indonesia yang di dasarkan kepada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 dimana dijelaskan Negara Indonesia adalah sebuah Negara hukum “Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang menjadi maksud disini adalah bukanlah hanya sekedar artian dalam arti formal, atau negara penjaga malam, tetapi dalam artian luas yaitu materill. Maksud dari materill adalah tindakan penguasa harus berdasarkan undang-undang dan dapat berlaku asas legalitas. Maka dalam negara hukum materill tindakan dari penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan warga Negara dibenarkan menyimpang dari undang-undang atau berlaku asas opportunitas (asas yang dapat berlaku apabila pemerintah membuat sebuah hal yang menyimpang tetapi dengan tujuan yang baik dan benar). Dalam pembangunan hukum di Indonesia, pembuatan sebuah UndangUndang tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan suatu hal yang baru dalam sejarah Peradilan di Indonesia, karena sebelum Peraturan Tata Usaha Negara ini lahir, di parisada nusantara baik pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan sampai pada tahun 1986 belum pernah ada dibentuk lembaga Peradilan yang membidangi Tata Usaha Negara (TUN). Berkaitan dengan ini, maka pemerintah melalui menteri kehakiman pada saat itu Bapak Ismail Saleh,SH yang disampaikan pada tanggal 20 Mei 1986 mengatakan bahwa “Didalam politik pembangunan hukum kita hal ini merupakan dimensi penciptaan adalah dimensi dinamika dan kreativitas, yang sebelumnya tidak ada, tetapi diperlukan untuk kesejahteraan bangsa. Oleh itu selain merupakan hal baru dalam tata hukum kita, dengan lahirnya Undang-undang
Universitas Sumatera Utara
tersebut berarti pula menambah satu saluran hukum bagi yang dapat dimanfaatkan oleh setiap warga negara Indonesia dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara (pada saat itu disebut dengan Peradilan Administrasi Negara) Menurut beberapa ahli tentang dibentuknya Peradilan Administrasi, antara lain adalah Eddy Supriyanto berpendapat bahwa keberadaan peraturan Tata Usaha Negara adalah sebagai pelengkap dalam upaya untuk keadilan. Kelahirannya di saat-saat sekarang adalah diliputi oleh situasi kehidupan bernegara dan berbangsa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : 1. Peraturan lahir pada zaman orde baru. 2. Peraturan lahir pada kurun waktu Pelita IV sebagai era hukum. 3. Peraturan lahir setelah Pancasila diterima sebagai satu-satunya asas. 4. Peraturan lahir disaat menyongsong tinggal landas pada Pelita V. Tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam suatu bangsa adalah terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Bagi Republik Indonesia yang merupakan negara hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi dan disamping itu hak masyarakat. 9 Dalam perkembangan dan perjuangan bangsa Indonesia pada era awal dalam mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia, Indonesia telah mengalami berbagai masalah yang merupakan sebuah romantika perjuangan. Sering kali 9
Wijaya, Suprapto, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2005 hal 70
Universitas Sumatera Utara
kesatuan dan persatuan serta ideologi bangsa dan Negara terancam dengan banyaknya pemberontakan pada masa ini. Hal ini membuat bangsa Indonesia tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pembangunan yang dimana mengakibatkan ekonomi dan keamanan di Indonesia menjadi tidak stabil. Beberapa kali terjadi banyak penyimpangan dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, seperti dibentuknya Undang-undang Dasar Sementara tahun 1950, adanya pengangkatan Presiden seumur hidup, dan tidak terlaksananya Pemilu dalam kurun waktu sekali dalam lima tahun. Pada saat itu terjadi banyak pergolakan yang dilakukan oleh masyarakat sehinngga munculah sebuah Orde baru. Orde baru adalah suatu tatanan masyarakat Indonesia yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen dengan landasan idiil Pancasila dan landasan konstitusional yaitu Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke IV. Sejak orde baru muncul, pembangunan di Indonesia mengalami peningkatan, dimana di buat sebuah rancangan pembangunan lima tahun (REPELITA). Didalam PELITA periode ke IV adalah era hukum, yang ditandai dengan era hukum. Dimana didalam era ini munculah beberapa produk hukum salah satunya adalah lahirnya Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Pada saat dilaksanakan PELITA IV yaitu era hukum,maka di bagian politik, aparatur pemerintah, hukum dan penerangan serta pula media masa dalam hal ini adalah pancasila yang notabene merupakan landasan idiil dari negara harus dijalankan dengan benar dan baik. Hal-hal yang tidak diatur dan tidak digariskan oleh MPR sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan Negara (vide
Universitas Sumatera Utara
pasal 1 ayat 2 Undang Undang Dasar 1945) lebih lanjut dijabarkan dalam Undang-Undang nomor 3 tahun 1985 dan sebagai aturan pelaksanaan di keluarkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 1986. Jadi dengan diterimanya pancasila sebagai satu-satunya asas oleh seluruh kekuatan sosial-politik yang ada di DPR RI meberikan dampak yang membuat semakin kokohnya landasan politik dan semakin kuatnya kerangka landasan dibidang hukum, termasuk disini adalah salah satu proses penggodokan dari rancangan Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Undang-undang nomor 5 tahun 1986. Mengenai proses lahirnyan Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Usaha Negara di bentuk di penghujung tahun 1986. Sebenarnya peraturan sudah diawali sejak 38 tahunn yang lalu pada waktu adanya penetapan Undang-Undang nomor 19 tahun 1948 tentang susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman dan kejaksaan pada tanggal 8 Juni 1948. Oleh Undang-undang ini di dalam pasal 6 ayat 1 ditegaskan adanya tiga lingkungan Peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Pada masa sebelum dibentuknya Undang-undang ini, maka sengketa yang terjadi dalam Peradilan Tata Usaha Negara diserahkan kepada Pengadilan Tinggi sebagai tingkat pertama dan Mahkamah Agung sebagai tingkat kasasi dan hal ini menandai di serahkan kepada Peradilan Umum.
B. Karakteristik Peradilan Tata Usaha Negara Dalam pengenalan terhadap karakteristik peradilan ini, maka ada beberapa istilah tentang peradilan Tata Usaha Negara ini. Dalam arti luas “Peradilan
Universitas Sumatera Utara
Administrasi Negara adalah peradilan yang menyangkut pejabat-pejabat dan instansi administrasi negara, baik yang bersifat: perkara pidana, perkara perdata, perkara agama, perkara adat, dan perkara administratif murni. Sedangkan dalam arti sempit peradilan administrasi negara adalah peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi murni semata-mata” dan menurut Profesor Muhammad Abduh, SH bahwa yang diadili peradilan administrasi, adalah pelanggaran-pelanggaran dari ketentuan yang mengatur tentang administrasi, apakah sebagai aparatur/ sebagai fungsi serta proses. 10 Pada saat ini terkadang masih terdapat banyak kesalahpahaman terhadap peradilan administrasi dan peradilan tata usaha negara. Di dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1986 telah dijelaskan secara terperinci tentang pengertian yang termuat dalam Undang-undang itu, yakni: “Tata Usaha Negara adalah administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Karakteristik merupakan sebuah perpanjangan kata dari Karakter, dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) karakter adalah 1) sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membeadakan seseorang dengan yang lainnya, 2) karakter juga dapat bermakna huruf. Dalam artiannya, karakteristik adalah sebuah ciri khas yang dimiliki dan tidak dimiliki dengan yang lainnya. Hukum acara dari Peradilan Tata Usaha Negara merupakan bentuk dari sebuah hukum formal yang pada hakikatnya merupakan sebuah hukum publik. Hukum formal disebut juga
10
Muhammad Abduh, SH, Beberapa ciri Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum USU, Medan, 1979 hal 19
Universitas Sumatera Utara
berfungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium untuk menegakkan sebuah hukum formal. Hal-hal yang menjadi karakteristik Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal ini adalah perkembangan dalam hukum acaranya, yaitu : 1. Peranan hakim yang aktif (dominus litis) Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah karena hakim tata usaha negara dibebani dengan tugas untuk mencari sebuah kebenaran yang bersifat materiil dan dapat dipertanggung jawabkan. (pasal 63 ayat 2a dan b/ pasal 80 ayat 1/ pasal 85/ pasal 95 ayat 1/ dan pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk mengimbangi kedudukan para pihak karena tergugat adalah pejabat tata usaha negara sedangkan penggugat adalah sebuah badan hukum perdata atau orang perseorangan. (pasal 58). 2. Kompensasi ketidak seimbangan antara kedudukan antara penggugat dan juga oeh tergugat. 3. Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas (vrijbewijs) yang terbatas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian, dimana terdapat perbedaan dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut dalam pasal 107 Undang-undang no. 5 tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100.
Universitas Sumatera Utara
4. Gugatan di pengadilan tidak bersifat mutlak dan bersifat menunda pelaksanaan suatu keputusan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) yang digugat. Di dalam pasal 67 dijelaskan tentang hal tersebut dimana keputusan Tata Usaha Negara yang di gugat itu diperintahkan penundaannya. Pengadilan akan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara tersebut hanya apabila: pertama, terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugian yang akan diderita penggugat akan sangat tidak seimbang dan sebanding dengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi oleh keputusan dan pelaksanaan dari keputusan tata usaha negara itu; kedua, pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang digugat tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan. 5. Keputusan yang akan ditetapkan oleh hakim adalah tidak boleh bersifat ultra petita (melebihi tuntutan dari penggugat dalam persidangan) tetapi akan dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa penggugat kedalam sesuatu keadaan yang lebih buruk) selama masih diatur di dalam undang-undang. 6. Terhadap putusan hakim tata usaha negara berlaku dan mengikat asas erga omnes. Dimana dimaksudkan bahwa putusan itu tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga akan berlaku bagi para pihak lain yang akan terkait.
Universitas Sumatera Utara
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata
Usaha Negara berlaku bagi siapa
saja. Dalam rangka ini pasal 83 bertentangan dengan asas erga omnes. 7. Dalam proses pemeriksaan yang dipersidangan akan berlaku asas auti et alteram partem. Dimana asas ini dimaksudkan para pihak yang saling bersengketa harus diberikan kesempatan-kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang perkara tersebut sebelum hakim memberikan sebuah keputusan. 8. Dalam mengajukan sebuah gugatan harus terdapat kepentingan oleh salah satu pihak yang bersengketa, jadi apabila tidak terdapat kepentingan maka tidak boleh mengajukan sebuah gugatan. Gugatan yang ditujukan haruslah memiliki hal yang kuat dan penting bagi si penggugat dan memiliki dasar yang kuat dalam pengajuan gugatan. 9. Kebenaran yang akan dicapai adalah sebuah kebenaran materill dengan tujuan yaitu menyeimbangkan dari sebuah kepentingan perseorangan dengan kepentingan bersama. Setelah ke sembilan karakteristik yang telah kita ketahui tentang keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara, ternyata terdapat hal-hal yang dianggap lebih spesifik lagi. Hal ini yaitu adalah suatu keputusan Tata Usaha Negara yang akan selalu mengandung asas “prasumptio iustae causa”, yaitu bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara (TUN) atau disebut beschikking harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus
Universitas Sumatera Utara
selalu dan dapat harus segera dilaksanakan 11. Di dalam pengontrolan dan untuk menilai tindakan hukum pemerintah dalam bidang hukum publik, maka akan harus digunakan beberapa asas, yaitu: a. Asas “Prmsumptioiustae causa”, yaitu bahwa suatu keputusan tata usaha negara (beschikking) harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya, sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera dilaksanakan. b. Asas perlindungan terhadap kepentingan umum atau publik yang menonjol disamping perlindungan terhadap individu. c. Asas “self respect” atau “self obidence” dari aparatur pemerintah terhadap putusan-putusan peradilan administrasi, karena tidak dikenal adanya upaya pemaksa yang langsung melalui juru sita seperti halnya dalam prosedur perkara perdata. Mengenai perlindungan terhadap dua sisi yaitu kepentingan umum atau publik dan kepentingan individu, disebutkan dalam penjelasan umum Undang-undang no. 5 tahun 1986 angka 1 bahwa disamping hak-hak perseorangan, masyarakat juga mepunyai hak-hak tertentu. Oleh karena itu tujuan Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya tidak hanya semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak masyarakat. Ditinjau dari segi pernyataan tersebut persoalan selanjutnya merupakan mekanisme untuk melakukan penyeimbangan antara dua sisi
11
Triwulan, Titik dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara Dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011
Universitas Sumatera Utara
kepentingan tersebut, dimana hak itu perlu untuk ditransparansikan. Sebab masalahnya akan menyangkut segi ukuran objektif pemberian keadilan secara konsisten yang berkaitan pula dengan masalah kemandirian institusi peradilan dalam hakim memutus suatu perkara.
C.
Kompetensi Dari Peradilan Tata Usaha Negara (atribusi Van Rechmating) Kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana hal yangdiatur dalam PERATUN (yang berlaku secara efektif sejak tanggal 14 Januari 1991 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1991 tentang penerapan UndangUndang Nomor 5 tahun 1986 mengenai Peradilan Tata Usaha Negara-LNRI tahun 1991 nomor 8), dianggap sebagai perubahan yang sangat besar bagi bidang administrasi, dilihat dari banyaknya pengaduan dari m asyarakat.Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Menurut Thorbecke berkaitan dengan hal-hal kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, bila mana pokok sengketa (fundamentum petendi) terletak dilapangan hukum publik yang berwenang memutuskannya adalah hakim administrasi.
12
Kompetensi pada layaknya adalah dibagi menjadi dua sub-bagian,
yaitu adalah kompetensi absolut dan juga kompetensi relatif. Kewenangan untuk mengadili dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu kekuasaan kehakiman atribusi (atributie van rechmacht) dan kekuasaan 12
Yaved, Victor, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 hal 78
Universitas Sumatera Utara
kehakiman distribusi (distributie van rechmacht). Atribusi kekuasaan kehakiman adalah kewenangan mutlak atau kompetensi absolut itu adalah kewenangan badan pengadilan didalam memeriksa jenis perkara tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain. Atribusi kehakiman menurut Undangundang Nomor 5 tahun 1986 memiliki sifat yang lebih sempit dari apa yang diberikan oleh defenisi lainnya. Dan dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Secara Horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan sederajat/ setingkat. Dapat dijadikan contoh adalah pengadilan tata usaha negara dengan pengadilan negeri (umum). Pengadilan agama dengan pengadilan militer. b. Secara vertikal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan dengan jenis pengaadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh pengadian tinggi dan mahkamah agung. Distributie van rechmacht atau distribusi berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat terinci (relatif) diantara badan-badan sejenis mengenai wilayah hukum. Dapat diambil sebagai contoh Pengadilan Negeri Medan dengan pengadilan negeri Pematang Siantar dan Pengadilan Negeri Binjai.
Kompetensi Absolut Menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa dan mengadili, dan memutus suatu perkara. Sebagaimana diketahui berdasarkan pasal
Universitas Sumatera Utara
10 Undang-undang nomor 35 tahun 1999, kita dapat mengenal empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Disini yang kita jelaskan tentang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara, adalah memeriksa dan memutus sengketa yang timbul dalam bidang administrasi negara/ tata usaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seorang sampai batas waktu yang ditentukan 90 hari dalam suatu peraturan perundangundangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. (pasal 3 Undang-Undang no. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Kompetensi absolut ini akan tergantung kepada isi dari gugatan dan nilai daripada gugatan tersebut. Kompetensi absolut Peradilan tata usaha negara ini
13
menurut Undang-undang Peradilan tata usaha negara hanya menyangkut
kepada keputusan tata usaha negara (KTUN). Pasal 47 Undang-undang peradilan tata usaha negara menyebutkan pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Mengenai maksud sengketa tata usaha negara, pasal 1 angka 4 undang-undang peradilan tata usaha negara, merumuskan: “sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik dipusat maupun di daerah, sebagai 13
Yaved, Victor, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 hal89
Universitas Sumatera Utara
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan yang berlaku”.
Atas dasar rumusan diatas, sengketa dalam permasalahan tata usaha negara mengandung beberapa unsur, yaitu pertama, subjek sengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara. Menurut Sjachran Basah yang mengklarifikasikan sengketa administrasi kedalam sengketa intern (sengketa antar administrasi) dan sengketa ekstren (sengketa antar administrasi dengan rakyat), maka sengketa Tata usaha negara yang berlaku bukanlah sengketa intern melainkan sengketa ekstern. Kedua objek sengketa adalah keputusan tata usaha negara. Berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat 1 Undang-undang nomor 9 tahun 2004 yang menentukan: “orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang...” terhadap ketentuan pada pasal 1 angka 9 Undang-undang nomor 51 tahun 2009 tentang peradilan tata usaha negara (hasil revisi kedua), dapat disimpulkan bahwa objek sengketa tata usaha negara adalah keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara. Berarti sengketa tata usaha negara lahir dari adanya keputusan tata usaha negara, sehingga keputusan tata usaha negara (KTUN) merupakan conditio sine quanon bagi timbulnya sengketa tata usaha negara, tanpa adanya keputusan tata usaha negara tidak akan ada sengketa tata usaha negara. Didalam pasal 1 angka 9 undang-undang nomor 51 tahun 2009 tentang peradilan tata usaha negara (revisi kedua) disebutkan bahwa keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan
Universitas Sumatera Utara
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang
bersifat konkrit, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Didalam ketentuan pasal 3 yang disebut sebagai keputusan tata usaha negara fiktif dan juga serta pembatasan limitatif oleh ketentuan pasal 49 undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara. Pembatasan terhadap pengertian dari keputusan tata usaha negara (pasal 2 undang-undang nomor 9 tahun 2004), yang termasuk ruang lingkup kompetensi mengadili dari peradilan tata usaha negara. Pembatasan ini diadakan oleh karena beberapa hal, yaitu dapat dikaitkan dengan: a. Ada beberapa jenis keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak dapst digolongkan dalam pengertian keputusan tata usaha negara menurut undang-undang ini, keputusan tata usaha negara merupakan perbuatan hukum perdata. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pegaturan yang bersifat umum, dimana keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab undang-undang hukum pidana dan kitab undang-undang hukum acara pidana atau peraturan perundangundangan ;lain yang bersifat hukum pidana. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkannya atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana keputusan ini keputusan tata usaha tentara nasional indonesia dan
Universitas Sumatera Utara
keputusan komisi pemilihan umum baik dipusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. b. Dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan (pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
“kepentingan umum” adalah kepentyingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat bersama dan/ atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dapat diformulasikan pengertian keputusan tata usaha negara mengandung elemen-elemen tertentu sebagai kepastian dan bersifat final yang sudah defenitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum untuk menentukan bahwa keputusan organ pemerintahan itu sebagai keputusan tata usaha negara yang menjadi kompetensi absolut peradilan Tata Usaha Negara menrut Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara.
Kompetensi Relatif Kewenangan dari pengadilan sejenis yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang bersangkutan. Kompetensi relatif (distribusi kekuasaan pengadilan, kewenangan nisbi) ialah sesuai dengan yang disebut oleh asas “Actor Sequitur From Rei” (yang berwenang adalah pengadilan tempat
Universitas Sumatera Utara
kedudukan tergugat), maka pengadilan yang berwenang mengadili dalam sengketa Tata Usaha Negara ialah peradilan Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan dari tergugat (pasal 54 ayat 1). Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada pengadillan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat. Dalam penjelasan pasal 54 ayat 1 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara ini menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan “tempat kedudukan tergugat” adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum, namun demikian jika tempat kedudukan tergugat berada di luar daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan kepada pengadilan tata usaha negara tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Tanggal diterimanya gugatan oleh panitera pengadilan tersebut dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada pengadilan yang berwenang. Panitera pengadilan tersebut berkewajiban memberikan petunjuk secukupnya kepada penggugat mengenai gugatan pengugat tersebut. Demikian pula, apabila nantinya penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di jakarta. Penggugat yang bertempat kediaman di luar negeri dapat mengajukan gugatannya, dan diajukan di pengadilan jakarta. Dimana penggugat dapat mengajukan gugatannya dengan surat atau menunjuk seseorang yang diberi kuasa yang berada di Indonesia. Selanjutnya ketentuan pasal 6 Undang-undang nomor 9 tahun 2004 menentukan, tempat kedudukan pengadilan tata usaha negara:
Universitas Sumatera Utara
a. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota provinsi, dan daerah hukumnya terletak dan meliputi wilayah provinsi. Berkaitan dengan pembentukannya, ketentuan pasal 9 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 menentukan pengadilan tata usaha negara dibentuk oleh keputusan presiden, dan pasal 10 undang-undang nomor 5 tahun 1986
14
menentukan pengadilan tinggi tata usaha negara dibentuk dengan
undang-undang.
14
Kitab Undang- Undang Peradilan Tata Usaha Negara
Universitas Sumatera Utara