BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM UNDANGUNDANG NO. 8 TAHUN 2010
Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah kejahatan yang berupaya untuk menyembunyikan asal-usul uang sehingga dapat dipergunakan sebagai uang yang diperoleh secara legal. 37 Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendisendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 38
A.
Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Saat ini pemberantasan pencucian uang diatur dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang tersebut menggantikan undang-undang sebelumnya yang
37
Iman Sjahputra, Money Laundering (Suatu Pengantar), (Jakarta : Harvindo, 2006), hal. 2. Bagian Umum Penjelasan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 38
34
Universitas Sumatera Utara
35
mengatur pencucian uang, yaitu : Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. 39 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, mengatur berbagai hal dalam upaya untuk memberantas dan mencegah tindak pidana pencucian uang, yaitu 40 : 1. “Kriminalisasi perbuatan pencucian uang; 2. Kewajiban bagi masyarakat pengguna jasa, lembaga pengawas dan pengatur, dan pihak pelapor; 3. Pengaturan pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan; 4. Aspek penegakan hukum; 5. Kerjasama”.
Tindak Pidana Pencucian Uang diatur secara yuridis dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dimana pencucian uang dibedakan dalam 2 (dua) tindak pidana 41 : 1. “Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010). 2. Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana 39
PPATK E-Learning, “Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, Bagian 4 : Pengaturan Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang di Indonesia”, (Jakarta : PPATK, tanpa tahun), hal. 1. 40 Ibid., hal. 1-2. 41 Andry Mahyar, “Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)”, Medan : Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana USU, 2011, hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
36
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010)”.
Dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 (dua puluh) tahun, dengan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (Sepuluh Miliar Rupiah). 42
Hasil tindak pidana pencucian uang menurut Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menyebutkan bahwa : (1) “Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan 42
Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Sumatera Utara
37
perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. (2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n”.
B.
Metode Pencucian Uang Pencucian Uang umumnya dilakukan melalui tiga langkah tahapan, yaitu
penempatan (placement), pelapisan (layering), dan penggabungan (integration). Langkah pertama yakni uang/dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana/kejahatan diubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai cara (tahap penempatan/placement); langkah kedua adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (tahap pelapisan/layering); langkah ketiga (final) merupakan tahapan di mana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam harta kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material
Universitas Sumatera Utara
38
maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana (tahap integrasi). 43 Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun integration, sehingga dalam penanganannya membutuhkan peningkatan kemampuan secara sistematis dan berkesinambungan. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun integration, sehingga dalam penanganannya membutuhkan peningkatan kemampuan secara sistematis dan berkesinambungan. 44 Gambar 2. Ilustrasi Tahapan Pencucian Uang Yang Dapat Terjadi
Sumber
:
43 44
PPATK E-Learning, “Modul E-Learning 1 : Pengenalan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme”, (Jakarta : PPATK, 2014), hal. 2.
PPATK E-Learning, Op.cit., hal. 1-2. Ibid., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
39
1.
Penempatan (Placement) Placement (penempatan) merupakan upaya menempatkan uang tunai yang
berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Placement merupakan tahap yang paling sederhana, suatu langkah untuk mengubah uang yang dihasilkan dari kegiatan kejahatan ke dalam bentuk yang kurang menimbulkan kecurigaan dan pada akhirnya masuk ke dalam jaringan sistem keuangan. 45 Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui penyelundupan uang tunai, menggabungkan antara uang dari kejahatan dengan uang dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau melaluireal estate atau saham, atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang asing atau transfer uang ke dalam valuta asing. Dengan demikian, melalui penempatan (placement), bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul uang yang tidak sah tersebut. 46 Dalam rangka mencegah industri jasa keuangan dipakai oleh para pelaku tindak pidana untuk mencuci uangnya dan untuk mendeteksi proses placement diciptakanlah Cash Transaction Report atau CTR (laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai). Kadangkala placement ini dapat dideteksi juga dengan 45
Yenti Ganarsih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Cet. 1, (Jakarta : Program Pascasarjana FH-UI, 2003), hal. 55. 46 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2007), hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
40
menggunakan Laporan Transaksi Yang Mencurigakan (Suspicious Transaction Report atau STR). Kedua laporan ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Laporan transaksi tunai yang diatur undang-undang adalah untuk transaksi tunai yang berjumlah kumulatif sebesar lima ratus juta atau lebih, baik dalam rupiah rupiah maupun dalam valuta asing. Suatu jumlah yang dianggap oleh sementara orang sebagai jumlah yang terlalu besar. 47
2.
Transfer (Layering) Layering (transfer) merupakan upaya mentransfer harta kekayaan yang
berasal dari tindak pidana (dirty money) ynag telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dilakukannya layering, membuat penegak hukum sulit untuk dapat mengetahui asal-usul harta kekayaan tersebut. Dalam layering terjadi pemisahan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan atau pelaku pencuci uang berusaha memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya. Terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui transaksi kompleks yang didesain
47
Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menyatakan bahwa : “Penyedia Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi : a. Transaksi Keuangan Mencurigakan; b. Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri”.
Universitas Sumatera Utara
41
untuk menyamarkan sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank. Dengan demikian, pada tahap ini sudah terjadi pengalihan dana dari beberapa rekening ke rekening lain melalui mekanisme transaksi yang kompleks, termasuk kemungkinan pembentukan rekening fiktif dengan tujuan menghilangkan jejak. Proses “layering” ini dideteksi dengan adanya laporan transaksi keuangan yang mencurigakan (Suspicious Transaction Report atau STR) seperti diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Laporan STR ini mengingat memerlukan judgement dari bank sudah tentu lebih berbobot dibandingkan CTR. Sementara itu yang dimaksud dengan transaksi keuangan yang mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik nasabah serta kebiasan nasabah termasuk transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan. 48
48
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menyatakan bahwa : “Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah : a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana”.
Universitas Sumatera Utara
42
3.
Penggabungan (Integration) Integration (penggabungan) merupakan upaya menggunakan harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan (placement) atau transfer (layering) sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Disini yang yang “dicuci” malalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang dicuci. Integration ini merupakan tipu muslihat untuk dapat memberikan legitimasi terhadap uang hasil kejahatan. 49 Ada banyak cara melakukan integration, namun yang sering digunakan adalah metode yang berasal dari tahun 1930-an yaitu metode loan-back atau metode loan default. Metode loan-back meliputi simpanan berjumlah besaryang biasanya disimpan di bank luar negeri. Kemudian bank membuat pinjaman dari jumlah uang yang disimpan. Uang yang didapatkan dari pinjaman ini dapat digunakan dengan bebas karena uang itu akan terlacak sebagai uang yang berasal dari transaksi yang sah. Dengan kata lain, metode loan-back merupakan metode dengan meminjam uang sendiri. Pada tahap integration tersebut, uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini dideteksi dengan CTR atau STR.
49
Yenti Ganarsih, Op.cit., hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
43
Dalam ketiga tahap proses pencucian uang tersebut, laporan yang disampaikan oleh penyedian jasa keuangan sangat penting untuk digunakan sebagai upaya melakukan deteksi. Itu pulalah sebabnya mengapa penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK dipidana dengan denda paling sedikit Rp. 250.000.000,- (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliar Rupiah). Denda pidana ini sudah tentu diputuskan melalui proses pengadilan. Selain itu, apabila tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh korporasi, misalnya penyedia jasa keuangan, maka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu pertiga. 50 Korporasi tersebut dapat juga dikenakan hukuman tambahan berupa pemcabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi. Untuk bank, sanksi seperti ini merupakan suatu hal yang sangat berat, karena bank begitu banyak memiliki kreditur, debitur dan pegawai serta mengingat begitu pentingnya peranan perbankan dalam perekonomian. 51 Penyedia jasa keuangan di atas diartikan sebagai penyedia jasa dibidang keuangan, misalnya bank, perusahaan pembiayaan, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan
efek,
pedagang
valuta
asing,
penyelenggara
alat
pembayaran
menggunakan kartu, koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam, pegadaian, dan penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. 52
50
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 51 Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 52 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hal. 17. Lihat juga: Henricus W. Ismanthono, Kamus Istilah Ekonomi dan Bisnis, (Jakarta : Kompas, 2010), hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
44
Undang-Undang TPPU merupakan sarana untuk mewujudkan harapan banyak pihak sebagai hukum untuk mengantisipasi berbagai pola kejahatan yang mengarah pada kegiatan pencucian uang. Sasaran dalam undang-undang ini adalah mencegah dan memberantas sistem atau proses pencucian uang dalam bentuk placement, layering dan integration. Kemudian karena sasaran utama dalam kegiatan pencucian uang adalah lembaga keuangan bank maupun non bank, maka sasaran pengaturan dari undang-undang ini meliputi peranan-peranan aktif dari lembaga-lembaga ini untuk mengantisipasi kejahatan pencucian uang. Indonesia diduga merupakan salah satu tempat menarik bagi pelaku pencucian uang, karena dengan sistem keuangan yang sedang berkembang dan adanya ketentuan rahasia bank yang ketat serta kebutuhan dana dari luar negeri dalam jumlah besar untuk keperluan pembangunan, dan disamping belum adanya pengaturan khusus mengenai pencucian uang, membuat Indonesia sebagai tempat menarik bagi para pelaku money laundering (money launderer). Untuk memperbaiki citra negara Indonesia di mata dunia internasional dan dengan adanya desakan dari negara maju dan lembaga internasional untuk mempersempit peluang pelaku kejahatan internasional melakukan pencucian uang, serta keluar dari daftar hitam (black list) NCCT's, maka Pemerintah Indonesia membuat ketentuan yang melarang kegiatan pencucian uang (money laundering) dalam bentuk apapun yang diatur dalam UndangUndang TPPU.
Universitas Sumatera Utara
45
C.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan - PPATK (Inggris:
Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center – INTRAC) sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 adalah lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia. 53
1.
Visi dan Misi PPATK Adapun visi PAPTK adalah menjadi lembaga independen di bidang informasi
intelijen keuangan yang berperan aktif dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Visi tersebut memberikan makna bahwa PPATK dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya bersifat independen, bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan manapun, serta tidak mencampuri kewenangan pihak lain. PPATK menolak segala bentuk campur tangan dari pihak manapun terkait dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam rangka mencegah dan memberantas TPPU dan pendanaan terorisme. Sebagai lembaga intelijen keuangan, PPATK selalu berupaya untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan informasi di bidang keuangan yang bersifat rahasia terkait dengan dugaan adanya TPPU dan pendanaan terorisme untuk kepentingan penegakan hukum, serta memanfaatkan perannya sebagai focal point dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU. 54
53
Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 54 PPATK, Laporan Tahunan 2013, Op.cit., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
46
Adapun misi PPATK, antara lain 55 : a. “Meningkatkan upaya dan dukungan penungkapan praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme; b. Meningkatkan kerjasama dalam dan luar negeri; c. Meningkatkan tata kelola dan proses bisnis yang efektif untuk mendukung tugas, fungsi, dan wewenang PPATK”. Makna dari ketiga misi tersebut adalah 56 : a. “Meningkatkan upaya dan dukungan pengungkapan praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme; Peran PPATK sebagai focal point pencegahan dan pemberantasan TPPU dan pendanaan terorisme tercermin dalam uraian tugas, fungsi, dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010. Untuk dapat melaksanakan perannya dengan baik, maka PPATK perlu meningkatkan upaya dan dukungan terhadap pengungkapan praktik pencucian uang, (money laundering) antara lain melalui: 1) Peningkatan kepatuhan para Pihak Pelapor dalam memenuhi kewajiban menyampaikan laporan kepada PPATK; 2) Peningkatan kuantitas dan kualitas hasil analisis dan pemeriksaan atas laporan dan informasi yang disampaikan oleh Pihak Pelapor; 3) Peningkatan hasil riset dalam rangka mendeteksi tipologi/modus operandi TPPU; 4) Peningkatan efektivitas penyampaian LHA dan LHP kepada aparat penegak hukum, serta pemantauan tindak lanjutnya untuk mendukung pengungkapan kasus TPPU dan pendanaan terorisme. b. Meningkatkan kerjasama dalam dan luar negeri; TPPU merupakan salah satu bentuk kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan penanganan yang terkoordinasi dengan baik antar instansi/lembaga sesuai dengan kewenangannya. Pencegahan dan pemberantasan TPPU di Indonesia melibatkan banyak pihak, meliputi PPATK, para Pihak Pelapor, aparat penegak hukum, para Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP), serta instansi terkait lainnya. Penguatan kerjasama dan koordinasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010, yang mengamanatkan bahwa PPATK dapat bekerjasama dengan pihak-pihak 55 56
Ibid., hal. 3. Ibid., hal. 3-4.
Universitas Sumatera Utara
47
terkait dalam negeri, yang dituangkan dengan atau tanpa bentuk kerjasama formal. Selain itu, dalam rangka kerjasama internasional, PPATK diberikan ruang untuk melakukan kerjasama dengan lembaga sejenis yang ada di negara lain, dan lembaga internasional yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU, dalam bentuk kerjasama formal atau berdasarkan bantuan timbal balik atau prinsip resiprositas. Untuk dapat melaksanakan perannya dengan baik dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU, PPATK berupaya untuk meningkatkan efektivitas kerjasama baik dalam dan luar negeri, antara lain dengan melakukan kerjasama pertukaran informasi berupa permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi dengan pihak terkait dalam dan luar negeri, antara lain meliputi: 1) Instansi penegak hukum; 2) Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan (PJK); 3) Lembaga yang berwenang melakukan pembinaan terhadap Penyedia Barang dan/atau Jasa (PBJ); 4) Lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; 5) Lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan TPPU atau tindak pidana lain terkait dengan TPPU; 6) Financial Intelligence Unit (FIU) negara lain; 7) Lembaga internasional terkait. c. Meningkatkan tata kelola dan proses bisnis yang efektif untuk mendukung tugas, fungsi, dan wewenang PPATK. Pemantapan tata kelola dan proses bisnis yang efektif perlu dilaksanakan secara berkesinambungan dalam upaya mendukung pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang PPATK. Upaya tersebut dilaksanakan melalui penataan kelembagaan yang efektif, efisien, dan optimal, penataan sumberdaya manusia melalui manajemen kepegawaian berbasis kinerja, peningkatan akuntabilitas aparatur guna mendorong pertanggungjawaban kinerja, peningkatan pengawasan aparatur guna mengoptimalkan pelaksanaan fungsi pengawasan internal, serta peningkatan akuntabilitas pengelolaan keuangan guna meningkatkan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”.
Pada intinya PPATK mempunyai visi dan misi sebagai lembaga/badan yang dibentuk melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Universitas Sumatera Utara
48
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Terkait dengan teori hukum yang dikemukakan oleh Lawrenc M. Friedman, 57 PPATK adalah sebuah struktur hukum yang mengawal penegakan hukum anti money laundering (Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 sebagai Substansi hukumnya.
2.
Tugas PPATK PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana
Pencucian Uang serta mempunyai fungsi sebagai berikut 58 : 1. 2. 3. 4.
“Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; Pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)”.
Dalam pergaulan global di masyarakat internasional, PPATK dikenal sebagai Indonesian Financial Intelligence Unit yang merupakan unit intelijen keuangan dalam rezim Anti Pencucian Uang dan Kontra Pendanaan Terorisme (AML/CFT Regime) di Indonesia. PPATK merupakan anggota dari ''The Egmont Group'' yakni suatu asosiasi lembaga FIU di seluruh dunia dalam rangka mewujudkan dunia internasional yang bersih dari tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme sesuai standar-standar terbaik internasional.
57
Lawrence M. Friedman memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari subsistem, yaitu : Substansi hukum; Struktur hukum; dan Kultur hukum. Sumber : Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, 2nd Edition, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta : Tata Nusa, 2001), hal. 7-9. 58 Pasal 1 angka 2 Jo. Pasal 39 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Sumatera Utara
49
3.
Wewenang PPATK Kewenangan
PPATK
dalam
melaksanakan
fungsi
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu 59 : 1. “Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; 2. Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan; 3. Mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait; 4. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang; 5. Mewakili pemerintah republik indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; 6. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang; dan 7. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang”.
Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor, PPATK berwenang 60 : 1. “Menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi Pihak Pelapor; 2. Menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana Pencucian Uang; 3. Melakukan audit kepatuhan atau audit khusus; 4. Menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor; 5. Memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan; 6. Merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dan
59
Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 60 Pasal 43 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Sumatera Utara
50
7. Menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang tidak memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur”.
Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi, PPATK dapat 61 : 1. “Meminta dan menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor; 2. Meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait; 3. Meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK; 4. Meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri; 5. Meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun di luar negeri; 6. Menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana Pencucian Uang; 7. Meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana Pencucian Uang; 8. Merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; 9. Meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana; 10. Meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang; 11. Mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan 12. Meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik”.
Dalam melaksanakan kewenangannya, terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan. 62
61
Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 62 Pasal 45 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Sumatera Utara
51
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan PPATK diatur dengan Peraturan Presiden. 63
4.
Struktur Organisasi Sesuai dengan Peraturan Kepala PPATK Nomor : PER-07/1.01/PPATK/08/12
tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, susunan organisasi PPATK terdiri atas : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
“Kepala PPATK; Wakil Kepala PPATK; Sekretaris Utama PPATK; Deputi Bidang Pencegahan; Deputi Bidang Pemberantasan; Pusat Teknologi Informasi; Inspektorat; Jabatan Fungsional; dan Tenaga Ahli”. Adapun struktur organisasi PPATK adalah sebagai berikut :
Asas Kerahasiaan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak berlaku kepada PPATK. Hal ini untuk menjamin kewenangan PPATK untuk menjalankan tugas dan fungsinya. 63 Pasal 46 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Sumatera Utara
52
Gambar 3. Struktur Organisasi PPATK
Sumber
:
Website Resmi PPATK, “Struktur Organisasi”, http://www.ppatk.go.id/files/DesainBaganStrukturPPATKFINAL170812-TTD0.pdf., diakses Minggu, 03 Agustus 2014.
Pengaturan tindak pidana pencucian uang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Menurut teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman, Undang-undang tersebut merupakan substansi hukum, sedangkan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah struktur hukumnya. Akan tetapi, untuk menegakkan hukum anti pencucian uang di Indonesia, PPATK perlu bersinergi dengan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Bea Cukai, dan Pajak. Sinergi ini diperlukan karena
Universitas Sumatera Utara
53
PPATK sifatnya hanya memberikan laporan tentang adanya transaksi keuangan yang mencurigakan yang tidak sesuai dengan profil nasabah kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Selanjutnya, Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Bea Cukai, dan Pajak selaku penegak hukum melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada pihak-pihak yang dilaporkan oleh PPAT yang melakukan transaksi keuangan yang mencurigakan. Setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan, barulah berkas perkara dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dilakukan eksaminasi terhadap kelengkapan barang-barang bukti serta Berita Acara Pemeriksaan pihak-pihak terkait. Apabila berkas perkara telah dinyatakan lengkap (P-21) barulah Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuat dan menyusun Surat Dakwaan untuk dimajukan di Pengadilan Negeri setempat. Terkait
dengan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
1243/Pid.Sus/2012/PN-Mdn., tertanggal 08 Oktober 2012 atas nama Terdakwa Maha Nathy Naidu alias Rendy, berkas perkaranya merupakan hasil split dari beberapa orang, yaitu : Anly Yusuf alias Mami, Ramli Petrus alias Abeng, Suryono alias Aweng. Di dalam Dakwaan Kesatu yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Rendy, Jaksa Penuntut Umum telah mendakwakan Rendy telah “Menerima Penempatan, Pembayaran atau Pembelanjaan, Penukaran, Penyembunyian atau Penyamaran Investasi, Simpanan atau Transfer, Hibah, Waris, Harta atau Uang, Benda atau Asset Baik Dalam Bentuk Bergerak Maupun Tidak Bergerak, Berwujud atau Tidak Berwujud Diketahuinya Berasal Dari Tindak Pidana Narkotika”
Universitas Sumatera Utara
54
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 huruf b. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sedangkan, di dalam Dakwaan Kedua, JPU mendakwakan Rendy telah melakukan “Menerima atau Menguasai Penempatan, Pentransferan, Pembayaran, Hibah, Sumbangan, Penitipan, Penukaran atau Menggunakan Harta Kekayaan Yang Diketahuinya atau Patut Diduganya Merupakan Hasil Tindak Pidana” sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010. Putusan Pengadilan Negeri tersebut di atas, menghukum Rendy yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 137 huruf b. UndangUndang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Dakwaan Kesatu) dengan hukuman penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliar Rupiah) subsidair 4 (empat) bulan penjara. Apabila dibandingkan antara Pasal 137 huruf b. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan Pasal 3 Jo. Pasal 2 ayat (1) huruf c. UndangUndang No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka hukuman yang lebih ringan terdapat pada Undang-Undang Narkotika yaitu minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun penjara, sedangkan pada Undang-Undang TPPU menghukum pelaku kejahatan dengan pidana penjara paling lama 20 tahun. Begitu juga dengan dendanya, Undang-Undang Narkotika membatasi denda yang dikenakan yaitu paling sedikit Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak sebesar Rp. 5.000.000.000,- (Lima Miliar Rupiah), sedangkan pada Undang-Undang TPPU menghukum pelaku dengan denda paling banyak sebesar Rp. 10.000.000.000,- (Sepuluh Miliar Rupiah).
Universitas Sumatera Utara
55
D.
Hubungan Tindak Pidana Pencucian Uang Dengan Kejahatan Asal Tindak Pidana Narkoba Hukum tindak pidana narkotika termasuk dalam kategori yang bermotifkan
“economic gain” atau menghasilkan keuntungan ekonomi, terlebih dilakukan oleh korporasi atau organisasi kriminal atau sindikat. Dapat dipastikan akan bersinergi dengan tindak pidana pencucian uang untuk mengaburkan hasil kejahatan tersebut. Diperlukan koordinasi antar lembaga penegakan hukum dalam menangani permufakatan jahat dalam tindak pidana narkoba dengan tindak pidana pencucian uang karena memang hasil tindak pidana narkotika sangat menjanjikan keuntungan yang sangat besar. 64 Untuk itu, perlunya sinergitas penegak hukum antara penyidik BNN, Polri bekera sama dengan PPATK serta perbankan untuk menelusuri transaksi keuangan yang dilakukan oleh pelaku baik individu maupun korporasi dengan menggunakan pendekatan “follow the money”. Dari penelusuran dan hasil analisis dari PPATK, maka akan diketahui aliran dana atau transfer dan siapa pelakunya apakah individu atau korporasi. Jika pelakunya korporasi, maka perlu diteliti lagi siapa yang bertanggung jawab apakah pengurus korporasi, pengendali atau orang yang melaksanakan perintah untuk dan atas nama yang berbasis kepentingan korporasi atau “corporate liability”. Penyidikan kekayaan tersebut, perlu dikembangkan jika hasilnya signifikan, harus ditelusuri kemana saja transaksi keuangannya dengan minta laporan hasil harta kekayaan anak beserta istrinya seperti dalam Pasal 97 dan Pasal 98 Undang-Undang 64
Djoko Sarwoko dalam Harian Republika, “Antara Narkotika dan Pencucian Uang”, diterbitkan Sabtu, 23 November 2013.
Universitas Sumatera Utara
56
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Atau adakah kemungkinan bahwa hasil kejahatan narkotika tersebut dipergunakan untuk mendanai kegiatan terorisme. Hal ini perlu dicermati karena kemungkinan bersar hasil kejahatannya dipergunakan untuk membantu kegiatan teror, terutama jika pelaku adalah korporasi, bandar narkotika, sindikat, atau organisasi kriminal. Dalam penanganan kejahatan narkoba dan TPPU, proses hukum tersebut terbentur undang-undang yang belum mengatur kasus tersebut secara satu atap, yakni terpisah antara Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 No. 1243/Pid.B/2012/PN.Mdn. tertanggal 08 Oktober 2012 tentang Narkotika dan Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan danPemberantasan Tindak Pencucian Pencucian Uang Dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus narkoba dapat disusun dalam bentuk subsidaritas karena undang-undang yang ada masih berbenturan terkait kewenangan penyidik untuk menangani kedua kasus yang berbeda namun berkaitan tersebut Dalam Pasal 137 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 mengatur tentang minimum khusus, sedangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tidak mengatur hal itu. Sebetulnya Pasal 137 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara substansial mengandung unsur-unsur yang serupa dengan unsur-unsur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan danPemberantasan Tindak Pencucian Pencucian Uang. Oleh karena itu, dakwaan TPPU dapat disusun dalam bentuk subsidaritas dakwaan pencucian uang dahulu karena BNN memperoleh menyidik TPPU berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, kemudian subsidairnya Pasal 137 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Sumatera Utara
57
Sehingga Penyidik BNN tetap dapat melakukan penyidikan TPPU yang diduga melanggar Pasal 137 huruf a dan b. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Dari aspek sejarah, mengapa pembentuk undang-undang mencantumkan Pasal 137 pada UndangUndang No. 35 Tahun 2009, dikarenakan untuk mengantisipasi seandainya Pasal 74 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tidak mengatur kewenangan penyidik tindak pidana asal (BNN) melakukan penyidikan TPPU. 65 Meskipun termasuk dalam TPPU, hasil kejahatan narkotika yang dikaburkan melalu pencucian uang, sasaran subjeknya tidak seluas yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010. Rumusan delik Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 dikatakan lebih luas sasaran subjeknya karena mengandung frasa 'yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), terdapat 26 jenis tindak pidana termasuk narkotika. Pasal 137 huruf b Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang telah diadopsi dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 berisi ancaman pidana yang lebih berat, yakni penjara paling lama 20 tahun dengan denda paling banyak Rp. 5 miliar dan jika denda tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan selama satu tahun empat bulan. Lebih berat jika dibandingkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang tunduk pada Pasal 30 ayat (6) KUHP yang mengatur pidana kurungan pengganti tidak boleh dari delapan bulan.
Apabila
dikaitkan
dengan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
1243/Pid.B/2012/PN.Mdn., tanggal 08 Oktober 2012 dalam penelitian ini, Terdakwa
65
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
58
Maha Nathy Naidu alias Rendy dihukum berdasarkan Pasal 137 huruf b. UndangUndang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terdakwa Maha Nathy Naidu alias Rendy telah terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai orang yang menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak atau tidak bergera, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika. Adapun yang menjadi unsur yang utama dalam ketentuan Pasal 137 huruf b. tersebut adalah Terdakwa harus mengetahui bahwa uang yang diterimanya adalah berasal dari tindak pidana narkotika. Mengenai pembuktian unsur “Yang Diketahuinya Berasal Dari Tindak Pidana Narkotika” sangat sulit dibuktikan karena Terdakwa Maha Nathy Naidu alias Rendy tidak tahu sama sekali uang tersebut dari mana masuknya. Terdakwa Maha Nathy Naidu hanya mengetahui bahwa uang yang diterimanya itu adalah berasal dari transfer Bapak Kamal sebagai teman ayahnya Maha Nathy Naidu yaitu Bayu yang bergerak dalam bidang usaha money changer. Usaha Bapak Kamal tersebut juga menerima uang dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di Malaysia untuk selanjutnya ditransfer kepada keluarga TKI yang ada di Indonesia. Hal inilah yang disusupi oleh mafia narkoba dengan membuat kerjasama dengan Bapak Kamal sehingga akhirnya shabu-shabu dari Malaysia masuk ke Indonesia melalui Tanjung Balai. Dalam penyidikan tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Universitas Sumatera Utara
59
Uang, pihak yang berwenang melakukan penyidikan atas pencucian uang adalah PPATK. Lalu, dalam hal ini, PPATK telah memberikan hasil laporannya kepada Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sumatera Utara, sehingga akhirnya BNN melimpahkan perkara tersebut ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk disidangkan.
Universitas Sumatera Utara