BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UU NO. 8 TAHUN 2010
A. Pengertian dan Sejarah Pencucian Uang Di Indonesia Problematik pencucian uang yang dalam bahasa inggris dikenal dengan nama money laundering sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks apakah itu didalam buku teks hukum pidana atau kriminologi. Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari usaha kejahatannya dengan memakai si genius Meyer Lansky. Orang Polandia Lansky seorang akuntan mencuci uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu (laundry) demikianlah asal muasal muncul nama “money laundering”. 24 Istilah pencucian uang telah dikenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika mafia membeli perusahaan yang sah dan resmi sebagai salah satu strateginya. Investasi terbesar adalah perusahaan pencucian pakaian atau disebut laundromats yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat. Usaha pencucian pakaian ini berkembang maju dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras illegal, hasil perjudian dan hasil usaha pelacuran. 25
24 25
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2008, Hal. 1 Ibid, Hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1980-an uang hasil kejahatan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya bisnis haram, seperti perdagangan narkotik dan obat bius yang mencapai miliaran rupiah, karenanya kemudian muncul istilah “narco dollar” yang berasal dari uang haram hasil perdagangan narkotik. 26 Sedangkan pengertian pencucian uang menurut Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang No. 8 Tahun 2010 adalah: “Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.” Kemudian Alford menyatakan pengertian pencucian uang sebagai berikut : 27 “Pencucian uang (money laundering) adalah proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan dari korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan dan lain-lain dengan menggunakan sarana lembaga keuangan sehingga uang hasil dari kegiatan yang sah karena asal-usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan.” Melihat pada pengertian diatas, maka pencucian uang (money laundering) pada intinya melibatkan aset pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah / legal. Semula pandangan beberapa negara utama Amerika Serikat (leading country to combat laundering) melihat, kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang merupakan strategi jitu untuk memberantas berbagai kejahatan yang sulit ditangkap
26 27
Ibid Alford, Money Laundering. N.C.J Int’l & Com (Reg. Vol 19 : 1994), hal 437.
Universitas Sumatera Utara
pelakunya, seperti korupsi atau sindikat narkotika. Maka dimunculkan strategi untuk menaggulangi kejahatan yaitu dengan menghadang hasil kejahatannya. Bahkan, pertama kali pencucian uang diatur di Amerika Serikat tahun 1986 karena saat itu Amerika Serikat kewalahan menaggulangi kejahatan perdagangan gelap narkotika (illict drug trafficking) yang amat merugikan keuangan negara. 28 B. Objek Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut N. Welling, objek utama pencucian uang adalah “uang kotor” atau “uang haram”. Uang dapat menjadi “kotor” dengan dua cara yaitu : 29 a.
b.
melalui pengelakkan pajak (tax evasion), yaitu memperoleh uang secara ilegal tetapi jumlah uang yang dilaporkan kepada emerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit dari pada yang sebenarnya diperoleh. memperoleh uang melalui cara-cara melanggar hukum, misalnya hasil penjualan obat terlarang (drug sales), perjudian gelap (ilegal gambling), penyuapan (bribery), terorisme (terrorism), pelacuran (prostitution), perdangangan senjata (arms trafficking), penyelundupan (smuggling), dan kejahatan kerah putih (white collar crime). Pada awalnya objek pencucian uang yang paling utama dilakukan adalah hasil
dari penjualan obat-obatan terlarang dan penyelundupan. Namun sejak terjadinya bom WTC Amerika Serikat, maka kegiatan terorismepun mulai menjadi salah satu prioritas objek pencucian uang. Sedangkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, disebutkan bahwa objek Tindak Pidana Pencucian Uang adalah :
28
Chaikin Money Laundering. Crm. L.R Vol 2 No.3. (Spring : 1991), hal 417. Sutan Reny Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme. (Jakarta, Pustaka Utama Grafiti ) 2004), hal 9. 29
Universitas Sumatera Utara
1.
Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana berupa : a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
2.
Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Universitas Sumatera Utara
C. Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang Praktik money laundering tidak mudah memberantasnya. Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong maraknya kegiatan pencucian uang di berbagai negara, menurut Sutan Remy Sjahdeini terdapat 10 (sepuluh) faktor pendorong, yaitu sebagai berikut : 30 1. Faktor Globalisasi Globalisasi pada perputaran sistem keuangan internasional merupakan impian para pelaku money laundering dan dari kegiatan kriminal ini arus uang yang berjalan jutaan dollar per tahun berasal dari pertumbuhan ekonomi dimana uang yang sehat pada setiap negara sebagai dasar pada daerah pasar global. 2. Faktor cepatnya kemajuan teknologi Kemajuan teknologi yang paling mendorong maraknya pencucian uang adalah teknologi di bidang informasi, yaitu dengan munculnya internet yang memperlihatkan kemajuan yang luar biasa. 3. Faktor Rahasia Bank yang begitu ketat Ketatnya suatu peraturan bank dalam hal kerahasiaan atas nasabah dan data-data rekeningnya menyebabkan para pemilik dana gelap sulit dilacak dan disentuh. 4. Faktor belum diterapkannya azas “Know Your Customer” Perbankan dan Penyedia Jasa Keuangan lainnya belum secara sungguh-sungguh menerapkan sistem ini, sehingga seseorang dapat menyimpan dana dari suatu bank dengan menggunakan nama samaran (anonim). 30
Ibid, hal 39-50.
Universitas Sumatera Utara
5. Faktor electronic banking Dengan diperkenalkan sistem ini dalam perbankan maka diperkenankannya ATM (Automated Teller Machine) dan wire transfer. Electronic memberikan peluang bagi pencucian uang model baru dengan menggunakan jaringan internet yang disebut cyber laundering. 6. Faktor electronic money atau e-money Dengan munculnya jenis uang baru ini yang disebut e-money yang merupakan suatu sistem yang secara digital ditandatangani suatu lembaga penerbit melalui kunci enkripsi pribadi dan melalui enkripsi ini dapat ditransmisikan kepada pihak lain maka memudahkan pelaku electronic commerce melaui jaringan internet, pelaku tersebut juga sebagai cyberspace atau cyber laundering. 7. Faktor layering Penggunaan secara berlapis pihak pemberi jasa hukum (lawyer) dimana sumber pertama sebagai pemilik sesungguhnya atau siapa sebagai penyimpan pertama tidak diketahui lagi jelas, karena deposan yang terakhir hanyalah sekedar ditugasi untuk mendepositkannya di suatu bank. Pemindahan demikian dilakukan beberapa kali sehingga sulit dilacak petugas. 8. Faktor pemberi jasa hukum (lawyer) Adanya faktor ketentuan hukum bahwa hubungan lawyer dengan klien adalah hubungan kerahasiaan yang tidak boleh diungkapkan. Akibatnya, seorang lawyer tidak bisa dimintai keterangan mengenai hubungan dengan kliennya.
Universitas Sumatera Utara
9. Faktor kesungguhan pemerintah Adanya ketidaksungguhan dari negara-negara untuk melakukan pemberantasan praktik pencucian uang dengan sistem perbankan. Ketidakseriusan demikian adalah karena suatu negara memandang bahwa penempatan dana-dana di suatu bank sangat diperlukan untuk pembiyaan pembangunan. 10. Faktor peraturan setiap negara Belum adanya peraturan-peraturan money laundering di dalam suatu negara tertentu, sehingga menjadikan praktik money laundering menjadi subur. Faktor penyebab timbulnya money laundering berdasarkan pernyataan di atas dapat dibagi atas 5 (lima) faktor utama, yaitu sebagai berikut : 1. Globalisasi sistem perputaran secara internasional 2. Kemajuan teknologi di bidang perbankan yang menciptakan electronic banking dan e-money sehingga pelayanan bank dapat dilakukan dengan internet. 3. Kerahasiaan
bank
untuk
setiap
rekening
para
nasabahnya
sehingga
memungkinkan para nasabahnya menggunakan nama samaran (anonim) dalam proses penyimpanan dananya, serta dimungkinkan terjadinya layering (pelapisan), dimana sumber pertama sebagai pemilik sesungguhnya tidak diketahui jelas, karena deposan yang terkahir hanyalah sekedar ditugasi untuk mendepositkan di suatu bank. 4. Ketentuan hukum dimana hubungan lawyer dengan klien adalah hubungan kerahasiaan yang tidak boleh diungkapkan. 5. Belum adanya peraturan money laundering di dalam suatu negara tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Faktor penyebab timbulnya money laundering begitu komplek. Berbagai hal pendorong terjadinya praktik ini menimbulkan makin tumbuh dan berkembangnya bagi pelaku money laundering untuk melakukan aktifitasnya baik dalam negaranya sendiri maupun orang lain.
D. Tahap-Tahap Proses Pencucian Uang Tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu money laundering, karena kegiatannya sangat kompleks sekali, namun para pakar telah berhasil menggolongkan proses money laundering ke dalam 3 (tiga) tahap, yaitu : 31 1. Tahap Placement Tahap ini merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, kemudian uang tersebut masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Jadi misalnya melalui penyelundupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu bersifat ilegal dengan uang yang diperoleh secara legal. Variasi lain dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank ke dalam saham, mengkonversi ke dalam valuta asing. 2. Tahap Layering Tahap kedua ialah dengan cara pelapisan (layering). Berbagai cara dapat dilakukan melalui tahap pelapisan ini yang tujuannya menghilangkan jejak, baik 31
N.H.T Siahaan, Op. Cit, hal 9-10.
Universitas Sumatera Utara
ciri-ciri aslinya atau asal-usul uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari berbagai rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain dan dapat dilakukan berkali-kali, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, melakukan transaksi deriviatif dan lain-lain. Sering kali juga terjadi si penyimpan dana itu sudah merupakan lapis-lapis yang jauh, karena sudah diupayakan berkali-kali simpan menyimpan sebelumnya. Cara lain misalnya si pemilik uang kotor meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal. Dengan melakukan cara seperti ini, maka kelihatan bahwa kegiatan usahanya secara legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi. 3. Tahap Intergration Tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang kotor tersebut setelah melalui tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan ilegal sebelumnya dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.
Proses diatas dimulai pada saat pelaku kejahatan menggabungkan uang dari bermacam-macam sumber. Pada tahap kedua si pelaku membuat simpanan pribadi di bank. Dana tersebut kemudian melalui wire transferring (transfer dana melalui elektronik) dikirim ke bank lain di luar negeri. Dengan mudah pelaku dapat
Universitas Sumatera Utara
memanipulasi dan terhindar dari jangkauan penyelidik dari negara-negara yang telah mengundangkan anti pencucian uang. Tahap berikutnya, agitation meliputi penggunaan uang tadi dengan berselebung bisinis yang sah agar dapat ditempatkan dimana saja. Setelah beberapa kali transaksi akan sulit mengikuti jejak uang tersebut karena tidak dapat dibedakan dari uang yang beredar. Ketika mencapai tahap ini, uang akan menjadi halal dan aman tanpa jejak yang jelas dari mana sumbernya. 32 Secara rinci dan konkrit, modus operasional kejahatan pencucian uang, terdapat 13 (tiga belas) modus, yaitu : 33 1. Modus secara Loan Back Dengan cara meminjam uangnya sendiri. Modus terinci lagi dalam bentuk direct loan, yakni dengan cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri, yakni semacam perusahaan bayangan (immbolen investement company), yang direksi dan pemegang sahamnya ialah ia sendiri. Dalam bentuk back to loan, dimana si pelaku meminjam uang dari cabang bank asing di negaranya. Peminjam dengan jaminan bank asing secara stand bay letter of credit atau certificate of deposit bahwa uang didapat atas dasar uang dari kejahatan. Peminjam itu kemudian itu kemudian tidak dikembalikan, sehingga jaminan bank dicairkan. Bentuk lainnya dari modus ini ialah parallel loan, yakni pembiayaan internasional yang memperoleh aset dari luar negeri. Karena ada hambatan restriksi mata uang, maka
32 33
Ibid N.H.T Siahaan, Op. Cit, hal 13-18.
Universitas Sumatera Utara
dicari perusahaan di luar negeri untuk sama-sama mengambil loan dan dana dari loan itu di pertukarkan satu sama lain. 2. Modus Operasi C-Chase Modus ini cukup rumit karena memiliki sifat lika-liku sebagai cara menghapus jejak. Contoh seperti kasus dalam BCCI, dimana kurir-kurir datang ke bank di Florida untuk menyimpan dana sebesar US $ 10.000, supaya lolos dari kewajiban lapor. Kemudian beberapa kali dilakukan transfer, yakni dari New York ke Luxemburg, dari Luxemburg ke cabang bank di Inggris, lalu disana dikonversi dalam bentuk Cerificate of Deposit untuk menjamin loan dalam jumlah yang sama yang diambil oleh orang di Florida. Loan dibuat di negara Karabia yang terkenal dengan tax heaven-nya. Disini loan itu tidak pernah ditagih, namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito itu saja. Dari rekening drug dealer dan disana uang itu di distribusikan menurut keperluan dan bisnis yang serba gelap. Hasil investasi ini dapat tercuci dan aman. 3. Modus transaski dagang internasional Modus ini menggunakan sarana dokumen L/C. Karena yang menjadi fokus urusan bank, baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenai keadaan barang, maka hal ini dapat menjadi sasaran money laundering berupa invoice yang besar terhadap barang-barang yang kecil atau malahan barang itu tidak ada. 4. Modus penyelundupan uang tunai atau sistem bank pararel ke negara lain.
Universitas Sumatera Utara
Modus ini menyelundupkan sejumlah uang fisik uang itu ke luar negeri. Berhubung dengan cara ini terdapat resiko-resiko seperti dirampok hilang atau tertangkap dalam pemeriksaan, dicari modus berupa electronic transfer, yakni mentranfer dari suatu negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu. 5. Modus Akuisisi Yang dimaksud adalah perusahaan sendiri. Contohnya, seorang pemilik perusahaan di Indonesia , yang memiliki perusahaan di Indonesia, yang memiliki perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax heaven. Hasil usaha di Cayman didepositkan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia. Kemudian perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dari perusahaan yang ada di Indonesia (secara akuisisi). Dengan cara ini pemilik perusahaan di Indonesia memiliki dana sah, karena telah tercuci melalui hasil penjualan saham-sahamnya di perusahaan yang ada di Indonesia. 6. Modus Real Estate Corousule Dengan menjual suatu properti beberapa kali kepada paerusahaan di dalam kelompok yang sama. Pelaku money laundering memiliki sejumlah perusahaan (pemegang saham mayoritas) dalam bentuk real estate. Dari satu ke lain perusahaan dalam grup usaha properti melakukan penjualan pada perusahaan lain di lingkungan perusahaan itu juga dengan pola harga penjualan yang makin meningkat. Sasarannya supaya melalui transaksi ini, hasil uang penjualan menjadi putih, disamping itu pula, pemilik saham minoritas dapat ditarik memodali dalam proses money laundering. Modus yang sama pula dilakukan di dalam pasar
Universitas Sumatera Utara
modal, yakni pembeli saham itu hanya perusahaan-perusahaan di lingkungannya saja dengan tawaran harga tinggi. 7. Modus Investasi tertentu Investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang lukisan atau antik. Misalnya pelaku membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga yang mahal. Lukisan dengan harga yang tidak terukur, dapat ditetapkan dengan harga penjualan yang bersifat tinggi ini dapat dipandang sebagai dana yang sudah sah (tercuci). 8. Modus Over Invoices atau Double Invoice Modus ini dilakukan dengan mendirkan perusahaan ekspor-impor di negara sendiri, lalu di luar negeri (yang bersifat sistem tax heaven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell company). Perusahaan di negara tax heaven ini mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan yang ada di luar negeri itu membuat invoice pembelian dengan harga tinggi dan bila dibuat 2 invoices, maka disebut double invoices. Supaya perusahaan di Indonesia terus bertahan, maka perusahaan yang ada di luar nergri memberikan loan. Dengan cara loan ini, uang kotor di perusahaan di luar negeri. 9. Modus perdagangan saham Modus ini pernah terjadi di Belanda. Dalam suatu kasus di Bursa Efek Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini, menjadi pelaku kejahatan pencucian uang. Artinya,
Universitas Sumatera Utara
dana dari nasabahnya yang diinvestasi ini bersumber dari uang gelap. Nusse Brink membuat 2 buah rekening bagi nasabah-nasabah tersebut, yang satu untuk transaksi yang menderita kerugian, dan satunya lain untuk transaksi yang mempunyai keuntungan. Rekening itu diupayakan dibuka di tempat yang sangat terjamin proteksi kerahasiaannya, supaya sulit ditelusuri siapa beneficial owner dari rekening tersebut. 10. Modus Pizza Connection Modus ini dilakukan dengan menginvestasikan hasil perdagangan obat bius diinvestasikan
untuk
mendapat
koneksi
Pizza,
sementara
sisi
lainnya
diinvestasikan di Karabia dan Swiss. 11. Modus La Mina Kasus yang dipandang sebagai modus dalam money laundering terjadi di Amerika Serikat tahun 1990. Dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada pedagang grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat. Kemudian emas batangan diekspor dari Uruguay dengan maksud supaya impornya bersifat legal. Uang disimpan dalam desain kotak kemasan emas, kemudian dikirim kepada pedagang perhiasan yang bersindikat mafia obat bius. Penjualan dilakukan di Los Angles. Hasil uang tunai dibawa ke bank, dengan maksud supaya seakan-akan berasal dari penjualan emas dan permata dan dikirim ke Bank New York dan dari kota ini dikirim ke bank di Eropa melalui negara Panama. Uang tersebut akhirnya sampai di Kolombia guna didistribusi dalam
Universitas Sumatera Utara
berupa membayar ongkos-ongkos, untuk investasi perdagangan obat bius, tetapi sebagian besar untuk investasi jangka panjang. 12. Modus Deposit Taking Mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institutions (DTI) di Canada. DTI ini terkenal dengan sarana pencucian uang seperti charatered banks, trust companie dan credit union. Kasus money laundering yang melibatkan DTI antara lain transfer melalui telex, surat berharga penukaran valuta asing, pembelian obligasi pemerintah dan treasury buills. 13. Modus Identitas Palsu Dengan cara memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang, dengan cara mendepositokan secara nama palsu, menggunakan safe deposit box untuk menyembunyikan hasil kejahatan menyediakan fasilistas transfer supaya dengan mudah ditransfer ke tempat yang dikehendaki, atau menggunakan electronic fund transfer untuk melunasi kewajiban transaksi gelap. Menyimpan atau mendistribusikan transfer gelap itu. Selanjutnya perlu diketahui bagaimana para pelaku money laundering melakukan money laundering, sehingga bisa dicapai hasil dari uang legal. Secara metodik dikenal 3 (tiga) metode dalam money laundering : 34 1. Metode Buy and Sell Conversions Metode ini dilakukan melalui transaksi barang-barang dan jasa. Katakan suatu aset dapat dibeli dan dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau 34
Ibid, hal 27-28.
Universitas Sumatera Utara
menjual secara lebih mahal dari harga normal dengan mendapatkan fee atau diskon. Selisih harga dibayar dengan uang ilegal dan kemudian dicuci secara transaksi bisnis. Barang atau jasa itu dapat diubah seolah-olah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank. 2. Metode Offshore Conversions Dengan cara ini uang kotor dikonversi ke suatu wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money laundering centers) untuk kemudian didepositkan di bank yang berada di wilayah tersebut. Di negara-negara yang termasuk atau berciri tax heaven demikian memang terdapat sistem hukum perpajakan yang tidak ketat, terdapat sistem rahasia bank yang sangat ketat, birokrasi bisnis yang cukup mudah untuk memungkinkan adanya rahasia bisnis yang ketat serta pembentukan usaha trust fund. Untuk mendukung kegiatan demikian, para pelakunya memakai jasa-jasa pengacara, akuntan atau konsultan keuangan dan para pengelola dana yang handal untuk memanfaatkan segala celah yang ada dalam negara itu. 3. Metode Legitimate Busnises Conversions Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaat dari sesuatu hasil uang kotor. Hasil uang kotor ini kemudian dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank lainnya. Biasanya para pelaku bekerja sama dengan suatu perusahaan yang rekeningnya dapat dipergunakan sebagai “terminal” untuk menampung uang kotor tersebut.
Universitas Sumatera Utara
E. Kriminalisasi Pencucian Uang Kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy). 35 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat bahwa dalam kebijakan penegakan hukum dalam rangka penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiel dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan
dan
mengadakan
pendekatan
terhadap
tindakan
penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat. Berbicara mengenai syarat kriminalisasi pada hakikatnya berbicara tentang kriteria untuk menjadikan suatu perbuatan sebagai kejahatan. Oleh karena terlebih 35
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2003, Hal. 240
Universitas Sumatera Utara
dahulu harus diketahui apa yang disebut sebagai kejahatan. Mengenai kejahatan ada banyak pendapat. Menurut Roeslan Saleh menyatakan : 36 “Sejak lama orang menaruh perhatian terhadap pertanyaan : syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi, baru pembentuk undang-undang dapat menentukan suatu perbuatan atau perbuatan-perbuatan sebagai perbuatan pidana atau delik? Mencari jawaban atas pertanyaan ini mengakibatkan pula bahwa haruslah dipersoalkan terlebih dahulu mengenai tujuan apakah pada umumnya akan dicapai pembentuk undang-undang dengan menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana. Selagi mengenai tujuan dari hukum pidana orang masih berbeda pendapat, selama itu pula pembentuk undangundang pun akan menghadapi kesulitan untuk menetapkan apakah bentukbentuk baru dari kelakuan yang dipandang mengganggu ketenteraman masyarakat, akan dinyatakan suatu perbuatan pidana.” Hukum Pidana juga mengakui adanya bantuan dari kriminologi, dalam menentukan kriteria suatu perbuatan sebagai kejahatan. J.M van Bammelen menetapkan kriteria suatu perbuatan sebagai kejahatan, yaitu : 37 “Kejahatan adalah tiap-tiap kelakuan yang berbahaya dan juga tidak susila, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk menyatakan celaan dan perlawanannya terhadap kelakuan itu dalam bentuk sengaja membebankan derita yang dikaitkan dengan kelakuan tersebut.” Sejak defenisi yang mengacu pada pandangan kriminilogi ini maka muncul berbagai defenisi tentang kejahatan, antara lain pandangan yang menyatakan bahwa perbuatan jahat adalah perbuatan yang lebih dari sekedar licik atau akal-akalan
36
Roselan Saleh, Dari Lembaran Kepustkaan Hukum Pidana.(Jakarta, Sinar Grafitia : 1998), hal 73-74. 37 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana (Jakarta, Centra : 1968), hal 9.
Universitas Sumatera Utara
(criminal conduct more than slippery still), dan perbuatan itu dinyatakan melanggar hukum dan dapat dikenai pidana. 38 Sedangkan Moelyatno menyatakan bahwa perbuatan yang oleh hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan pidana. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa menurut wujud dan sifatnya, perbuatan ini adalah perbuatan melawan hukum, merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat dan disebut juga sebagai anti sosial. 39 Namun yang penting dalam mengukur suatu perbuatan sebagai kejahatan tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Hal ini dinyatakan pula oleh Roeslan Saleh : 40 “Istilah kejahatan tidak dapat digunakan begitu saja untuk mengganti perbuatan pidana-pengertian perbuatan pidana lain isinya dari pengertian starbaar feit-Perbuatan pidana hanya menunjukkan sifatnya perbuatan yang terlarang-Dalam merumuskan perbuatan pidana hendaknya diperhatikan… Oleh karena perbuatan pidana ini sehari-hari juga disebut dengan “kejahatan” maka isitlah kejahatan lalu tidak dapat digunakan begitu saja dalam hukum pidana.” Selain itu ada pula yang menyatakan kejahatan adalah bentuk prilaku penyimpangan dari aturan normatif yang berlaku, yang dipandang membahayakan norma-norma sosial yang melandasi kehidupan atau keteraturan sosial yang dapat
38
Hyaman Gross, A Theory Of Criminal Justice. (New York, Oxford University Press : 1979), hal 48-49. 39 Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Tahun 1995, hal 9 40 Roselan Saleh, Op Cit, hal 3.
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial dan mengancam terjaminnya ketertiban dalam dalam masyarakat. 41 Uraian mengenai kejahatan diatas bagaimana dengan pencucian uang, apakah perbuatan ini dapat dikatagorikan sebagai kejahatan? Menyatakan pencucian uang sebagai kejahatan dapat dilihat dari proses tujuan menyimpang, misalnya, dengan menggelapkan identitas dan asal-usul uang dicuci. Dari sudut tujuan jelas sekali bahwa pencucian uang tersebut dimaksudkan untuk mengelak beberapa kewajiban, misalnya, berkaitan dengan pajak, atau untuk menyamarkan agar sumber uang yang berasal dari kejahatan yang tidak diketahui. Sedangkan dari sudut kerugian jelas bahwa perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat karena berkembangnya kejahatan pokok. Dari uraian mengenai indikasi yang ada maka praktik pencucian menyalahi norma yang ada dalam masyarakat, menimbulkan kerugian dan mendatangkan pencelaan. Selain itu membiarkan praktik pencucian uang berarti mengijinkan atau memungkinkan kejahatan yang mendasarinya tetap berkembang dengan subur. Berkaitan dengan hal itu dinyatakan bahwa praktik pencucian uang sangat erat kaitannya dengan kelangsungan kejahatan lain, yaitu bahwa hasil pencucian uang untuk membiayai kejahatan lain. 42
41
Sapirah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perlakuan Menyimpang. (Jakarta, Bulan Bintang : 1996), hal 56. 42 Sarah N Welling, Smurf. Money Laundering And The U.S Fed. Criminal Law : The Crime Of Structuring Transactions. (Flo. L. Rev. Vol 41 : 1989), hal 291.
Universitas Sumatera Utara
Kriminalisasi termasuk salah satu dari masalah pokok dalam hukum pidana. 43 Menganalisis syarat kriminalisasi, tidak mungkin lepas dari konsepsi integral antar kebijakan kriminal dan kebijakan sosial. Berkaitan dengan hal tersebut diatas terdapat syarat kriminalisasi yanag harus didahalui pertimbangan-pertimbangan : 44 a. Penggunaan Hukum Pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional; b. Penggunaan Hukum Pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penaggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman itu sendiri; c. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki karena perbuatan mendatangkan kerugian bagi masyarakat; d. Penggunaan Hukum Pidana harus pula menggunakan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle)
Dari pertimbangan tersebut diatas maka syarat kriminal pada umumnya meliputi : 45 1. adanya korban; 2. kriminalsasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan; 3. harus berdasarkan azas ratio principle dan; 4. adanya kesepakatan sosial (public support) Syarat yang menyebutkan adanya korban ini menyiratkan bahwa perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan kerugian. Berkaitan dengan pencucian uang, setelah perdebatan panjang maka disepakati bahwa 43
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung, Alumni : 1992),
hal 160. 44
Sudarto, Op. Cit, hal 14-18 Muladi, Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia. Makalah Dalam Rangka Hari Ulang Tuhan Fakultas Hukum UNDIP, (11 Januari 1998), hal 22-23. 45
Universitas Sumatera Utara
pencucian uang tidak merugikan individu secara langsung tetapi berdampak pada munculnya kerugian keuangan nasional bahkan dianggap membahayakan keuangan global. 46 Berkaitan dengan pandangan bahwa masyarakat (awam) secara individu tidak merasa dirugikan, hal itu tidak benar. 47 Bagaimanapun juga kerana pencucian uang melibatkan uang dalam jumlah besar, akan mempengaruhi perekonomian secara nasional
bahkan
internasional.
Oleh
karenanya
seharusnyalah
masyarakat
berkepentingan merasa menjadi korban. 48 Selain itu kejahatan ini sangat merugikan lembaga keuangan, terutama perbankan. Karena pada umumnya mereka menggunakan sarana ini untuk melakukan proses pencucian uang. Apabila suatu bank terbukti digunakan untuk proses pencucian uang, maka bank tersebut akan kehilangan kepercayaan dari nasabahnya. Dengan memanfaatkan sarana lembaga keuangan mereka membangun jaringan bisnis sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi. Oleh karena itu pencucian uang juga dimasukkan sebagai kejahatan ekonomi bahkan ada yang menyatakan pencucian uang sebagai economic crime industry, bila dikaitkan dengan pernyataan : 49 “What is the economic crime industry? Or what does it consist? The activities, which make up economic crime, as a broad as the expression it self. The industriy comprises all nation of mafia, drug dealers, or any Organized criminal activity involving the funneling of money out of legitimate hands into criminal hands within the economic an umbrella” 46
Scott Sultzer, “Op Cit.”, hal 144. Rajeev Savena, Cyber Laundering : The Next Step For Money Launders? (St.Thomas L. Rev. Vol 10 : 1998), hal 687. 48 Fletcher N Baldwin Jr, Money Laundering And Wire Transfer : When The New RegulationTake Affect. Will They Help?. (DICK. J. Int’l, Vol 14 : 1996), hal 413. 49 Ibid, hal 418 47
Universitas Sumatera Utara
Terjemahan bebas oleh Penulis : “Apa saja kejahatan ekonomi industri? Atau terdiri dari apa yang dilakukan? Merupakan kegiatan yang melakukan kejahatan atas ekonomi, yang luas sebagaimana ungkapan kejahatan ekonomi industri itu sendiri. Industri yang terdiri dari semua bangsa mafia, bandar narkoba, atau apapun yang diselenggarakan, kegiatan kriminal yang melibatkan penyaluran uang dari tangan ke tangan dengan payung hukum pidana ekonomi. ” Dimasukkan pencucian uang dalam kriteria kejahatan tersebut karena perbuatan itu menimbulkan kerugian. Kerugian perekonomian akan semakin meningkat manakala dihubungkan dengan globalisasi. Globalisasi telah memacu tidak saja aktifitas ekonomi antar negara yang sah tetapi juga memicu aktifitas yang ilegal. 50 Kejahatan pencucian uang dalam konsep akutansi internasional juga mengakibatkan adanya defisit neraca transaksi berjalan, menimbulkan statistical error dan tidak mustahil menimbulkan secret money. 51 Pencucian uang adalah suatu proses untuk menyembunyikan sumber uang yang berasal dari kejahatan, sehingga para pelaku kejahatan dengan leluasa bisa menggunakan uang tersebut dengan aman. Dalam hal ini termasuk juga untuk membiayai kejahatan tertentu seperti yang dilakuakan organized crime. Pencucian
50
Wolfgang H Reinicke, Global Public Policy : Governing Without Government. (Brookings Institution Pess : 1998), hal 135. 51 Hariyiadi Ramelan dan Delfiano Ras, Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan. (Vol 1 No.4 : Maret 1999).
Universitas Sumatera Utara
dengan demikian mendukung berkembangnya suatu kejahatan, artinya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat. 52 Kriminalisasi dilakukan tidak semata-mata ditujukan untuk membalas dendam, artinya bahwa dalam melihat permasalahan tidak hanya untuk memberikan suatu sanksi saja tetapi lebih dari itu, harus dipikirkan efektifitas pemberian sanksi. Selain itu kriminalisasi harus mempunyai tujuan yang lebih luas, seperti menjaga stabilisasi keuangan, kepercayaan terhadap lembaga keuangan. 53 Mengingat sifatnya sebagai follw up crimes maka kriminalsasi pada akhirnya diharapkan untuk menanggulangi tidak saja kejahatan pencucian uang, tetapi juga menanggulangi kejahatan utamanya (core crimes). Misalnya, dengan menangkap pelaku pencucian uang dari hasil kejahatan organized crime diharapkan dapat pula ditangkap pelaku kejahatan utamanya. Selain itu sebagaimana disebutkan dalam konvensi-konvensi internasional, kriminalisasi pencucian uang tidak hanya ditujukan untuk menghukum pelaku tetapi juga harus diupayakan untuk melakukan penyitaan. 54 Selanjutnya kriminalsasi tetap harus memperhatikan ratio principle, artinya kriminalsasi
harus
benar-benar
menunjang
tujuan
yang
dicapai.
Harus
52
Yenti Garnasih, Kriminalsasi Pencucian Uang (Money Laundering)”. Cet.1, (Jakarta), Perpustakaan Nasional-Katalog Dalam Terbitan (KDT) : 2003, hal 72-73. 53 Fletcher N Baldwin Jr, Op Cit , hal 413. 54 Andrew Haynes, Money Laundering And Changes In International Banking Regulation. J.Int’l Banking Law, (1993), hal 454.
Universitas Sumatera Utara
memperhitungkan prinsip keuntungan bila dibandingkan dengan kerugian yang timbul kalau tidak dilakukan kriminalisasi. 55 Dalam kaitan dengan ini jelas sekali betapa kerugian yang diakibatkan oleh pencucian uang. Begitu besar angka pencucian uang di seluruh dunia telah memperlihatkan pentingnya dilakukan krimilasasi. Kemudian begitu gencar perhatian internasional tehadap masalah ini, termasuk munculnya desakan bagi Indonesia untuk melakukan kriminalsasi terhadap pencucian uang. Sekilas memang nampak adanya dilema, kalau melakukan kriminalsasi, berarti dana yang diharapkan masuk akan berkurang. Sebaliknya kalau tidak dilakukan kriminalsasi, Indonesia akan berhadapan dengan sanksi ekonomi dari masyarakat internasional. Indonesia tidak mempunyai pilihan lain kecuali melakukan kriminalisasi. Selain secara moral sangatlah tidaklah terpuji, menutup mata atas modal yang tidak jelas asalnya, masuk dan turut membiayai pembangunan nasional Indonesia. Membiarkan modal yang berasal dari kejahatan masuk ke Indonesia berarti juga membiarkan berkembangnya kejahatan yang melandasi (underlying crime) pencucian uang tersebut. 56 Dalam menyusun suatu ketentuan perundang-undangan baru, antara lain harus dipikirkan mengenai anggaran untuk menegakkan peraturan perundang-undangan tersebut. 57 Misalnya dalam melaksanakan peraturan perbankan biaya penegakkan
55
Muladi, Op Cit , hal 24. Yenti Garnasih, Op Cit , hal 74. 57 John Braithwaite, Following The Money Trail To What Desnatioan? An Introdiction To The Symposium. Ala. L. Rev Vol 44 : 3 : 657 (1993), hal 658. 56
Universitas Sumatera Utara
peraturan tersebut harus diperhitungkan pula. 58 Selain itu juga harus diperhitungkan anggaran untuk penegakkan hukum pencucian uang dan diperhitungkan mengenai pendapatan pajak yang hilang karena ulah para penjahat. 59 Sama pentingnya juga harus dipertimbangkan adanya kemungkinan hak pribadi yang hilang pada nasabah yang tidak bersalah, yang informasi keuangannya telah dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Kesepakatan sosial yang diperlukan untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang sangatlah jelas. Berbagai konvensi telah membahas tentang pentingnya kriminalisasi. Berbagai diskusi dalam seminarseminar
baik
dilakukannya
nasional
maupun
kriminalisasi.
internasiomal
Berbagai
pandangan
diadakan muncul
untuk
mendorong
berkaitan
tentang
kesepakatan tentang sifat tercela dan merugikannya pencucian uang. Pentingnya kesepakatan sosial, adalah adanya suatu penilaian yang sama terhadap suatu perbuatan yang sudah sepantasnya dianggap sebagai perbuatan yang anti sosial. Terlebih lagi kalau ada kecendrungan internasioanl yang mendorong negaranegara di dunia melakukan kriminalisasi pencucian uang, walaupun dibatasi hanya terhadap hasil kejahatan yang berkaitan dengan hasil kejahatan yang berkaitan dengan obat bius. 60
58
John J. Byrne, The Bank Secrecy Act, Do Reporting Requirments Really Assist The Government?. Ala L. Rev, Vol 44 (1993), hal 801. 59 John Braithwaite, Op Cit, 658. 60 Ibid , hal 659.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga adanya dorongan dari Financial Action Task Force, yang antara lain menyatakan : 61 “Each country should consider extending the offences of drug money laundering to any other crimes for which there is a link to narcotics : an alternative approach is to criminalize money laundring based on serious offences, and / or on all offences that generate a significant amount of proceeds, or on certain serious offences”. Terjemahan bebas oleh Penulis : “Setiap negara harus mempertimbangkan memperluas pelanggaran pencucian uang dari narkoba kepada kejahatan lainnya yang terdapat hubungan dengan perdagangan ilegal : alternatif pendekatan adalah untuk kriminalisasi pencucian uang berdasarkan pelanggaran serius, dan / atau pada semua pelanggaran yang menghasilkan sejumlah besar hasil, atau pada beberapa pelanggaran serius”.
Selain keempat syarat tersebut, upaya kriminalsasi tersebut harus dilakuakan dilakukan dengan cepat dan analisis yang mendalam. Ketidakcermatan dalam melakukan
kriminalisasi
hanya
akan
menimbulkan
permasalahan
dalam
penegakannya. 62
61 62
Financial Action Task Force On Money Laundering,, Report (1990), hal 16. Sarah N Welling, Op Cit, hal 288-289.
Universitas Sumatera Utara