SANKSI PIDANA PELAKU PASIF TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: ALFIAH 107043203719
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015M/ 1436H
S.ANKSI PIDANA PELAKU PASIF TINDAK PIDANA PEI\CUCIAN UANG
MENURUT I{UKUM PIDANA ISLAM DAN TINDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN
2O1O
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (Sltr)
Oleh:
ALFIAH NIM. 107043203719 Pembimbing:
/\
Dr. Fuad Thohari. MA
NIP. 19700323200003
1001
KONSENTRASI PERBANI}INGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZ}IAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
aAMl{|l43sH
,[
LEMBAR PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
:Alfiah
NIM
:TA7A$203719 :Perbandingan Hukum :Perbandingan Madzhab Dan Hukum :Syariah Dan Hukum
Konsentrasi Prodi Fakultas Judul Skripsi
:",94if/{,S/ PIDANA PELAKA PASIF TINDAK PIDANA PENCACIAN UANG MENARAT IIT]KAM PIDANA ISLAM DAN A(/ NOMOR 8 TAHUN
2O1O
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakankarya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi saiah satu persyaratan memperoieh gelar strata satu (S-1) di Fakuitas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian
hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka
saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 November 2014
Alfiah 1074$203719
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "^94NK,S/ PIDANA PEL,4KU PASIF TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENARUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UA NOMOR 8 TAHUN 2010 telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 November 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Program Studi Perbandingan Hukum.
Jakarta, l0 November 2014 Mengesahkan Dekan,
I /_ /
nr. ftritt. J.M. Muslimin, M. A. NIP. l 9680 812t99903 l0r 4
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH Ketua
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NIP. 19651119 199803 | 002
Sekretaris
Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si. NIP. 19742113 200312 1 002
Pembimbing I
Dr. Fuad Thohari, MA. NrP. 19700323 200003
Penguji I
Penguji
II
I
001
Dr. Asmawi, M.Ag NrP. 19721010 199703 1 008 Ismail Hasani, SH.,MFI. NrP. 19771217 2007t0 1002
ill
7)
ABSTRAK Alfiah, NIM 107043203719. SANKSI PIDANA PELAKU PASIF TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMER 8 TAHUN 2010. Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum. Konsentrasi Perbandingan Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1435 H- 2014 M , Halaman ... Perbuatan pencucian uang sangat merugikan masyarakat dan negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan tasyri itu sendiri yaitu mencegah mafsadah dan menciptakan maslahah, artinya perbuatan yang justru menimbulkan kerusakan, kerugian, kemudaratan dan sekaligus menjauhkan kemaslahatan kehidupan manusia adalah perbuatan tercela dan terlarang dan perbuatan tersebut dapat disebut sebagai tindak pidana. Berangkat dari fenomena tersebut penyusun tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang identifikasi, kriteria serta sanksi pidana terhadap pelaku pasif tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif dalam komparasi dua sistem hukum, yaitu hukum Islam dan hukum positif (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang). Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yaitu menggunakan data berupa buku dan karya tulis lain yang berhubungan dengan pembahasan mengenai masalah yang di teliti dan sifatnya persepektif dan terapan. Sedangkan teknik dan pengumpulan data adalah mereduksi berbagai ide, teori, dan konsep dari berbagai literatur yang relevan serta menitikberatkan pada pencarian kata kunci yang diambil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat para ulama. Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data, dan data display. Pembimbing Daftar pustaka
: Dr. Fuad Thohari, M. Ag. : Tahun 1983 sampai 2014
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim Allhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan taufiknya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Salawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa risalah kebenaran untuk umat Islam khususnya. Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, saya menghaturkan banyak terima kasih kepada yang telah berjasa dan yang terhormat: 1. Dr. Phill. J. M. Muslimin. MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembantu Dekan (Pudek) I, II, dan III yang telah membimbing penulis. 2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH/PH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis selama perkuliahaan. 3. Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH/PH) Universitas Islam Negeri
v
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaik-baiknya. 4. Dr. Fuad Thohari, MA selaku Dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan dan arahan serta meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis. 5. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Kepada kedua orang tua, Ibunda Supriyati dan Ayahanda Wiyono saya haturkan banyak terima kasih atas do’a, dukungan dan motivasi yang telah banyak diberikan secara moril maupun materiil kepada penulis. 7. Terima kasih kepada Mbak Ayun Nurul Djanah, Mas Nurcholis, Mbak Sri Wahyu Ningsih dan keponakan ku Nilna Ameera Ramadhan, yang telah banyak memberikan motivasi selama ini kepada penulis. 8. Untuk sahabat ku Cyntia Nurulita, Opie Saptariani, Eviana Wanandi, Yani Suryani, yang selalu ada saat penulis merasa gundah gulana dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Keluarga besar PH 07 terima kasih semuanya atas kebersamaan selama ini di kelas dan di luar kelas. Kak Septian, Kak Fariz, Rani, Rudi, Hari Budi, dan Kak domain terima kasih atas bantuannya. 10. Kawan-kawan KKS Crew 21 yang telah memotivasi penulis, Oppa Ieteuk, Heechul, Donghae, Yesung, Siwon, Eunhyuk, Ryewook, Kyuhyun, Sungmin,
vi
Shindong, dan Kangin. Terima kasih karena lagu-lagu kalian selalu menemani penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala partisipasi dan motivasi dari semua pihak dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga skripsi ini berguna bagi diri penulis dan pembaca sekalian serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Semoga setiap do’a dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT. Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Jakarta,
September 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING .........................................
i
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................... iii ABSTRAK ............................................................................................................... iv KATA PENGANTAR .............................................................................................
v
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
7
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .........................................
8
E. Metode Penelitian........................................................................
9
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 11 BAB II
TINJAUAN
UMUM
TENTANG
TINDAK
PIDANA
PENCUCIAN UANG A. Pengertian Hukum Pidana ........................................................... 13 B. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010..................................................... 21 C. Tindak Pidana Pencucian Uang menurut Hukum Pidana Islam . 32
viii
BAB III
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PASIF MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Pencucian Uang Pasif menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. ................................................................................ 38 B. Pencucian Uang Pasif menurut Hukum Pidana Islam................. 40 C. Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif ..................... 41
BAB IV
ANALISA SANKSI PIDANA PELAKU PENCUCIAN UANG PASIF A. Analisa Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif menurut Pidana Islam ................................................................................ 45 B. Sanksi Pidana Pencucian Uang Pasif dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. ................................................................. 48
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 54 B. Saran ............................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hukum diartikan sebagai suatu aturan yang derivasi (diturunkan) dari norma-norma yang berkembang di masyarakat, pada dasarnya merupakan seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang telah dinegosiasikan antara anggota komunitas,1 digunakan pelindung bagi para individu agar tidak diperlakukan semena-mena di satu pihak, dan di pihak lain hukum merupakan pelindung bagi masyarakat dan negara agar tidak seorangpun melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama Dengan demikian hukum bukan saja merupakan salah satu jaminan perlindungan terhadap individu agar tidak diperlakukan semena-mena, tetapi juga merupakan alat pengatur antara hak dan kewajiban serta antara kewajiban dan ketertiban.2 Bicara penerapan hukum tidak bisa lepas dari alat penegak hukum yang menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Dalam menjalankan tugasnya, penegak hukum tidak semata-mata bertolak pada kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,
1
Hasanuddin AF, dkk. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kerja sama antara Pustaka al-Husna dengan UIN Press, 2003), h.1 2 Kejaksaan Agung, Himpunan Amanat Jaksa Agung Republik Indonesi Kejagung RI. 1981), h.45
1
2
tetapi juga wajib melayani kebutuhan hukum individu dan kebutuhan masyarakat atau negara sebagai salah satu kesatuan secara serasi dan seimbang. Aparat hukum harus berani mengambil langkah-langkah secara tegas kepada setiap pelanggar hukum dan melindungi setiap orang dari tindakan pelanggaran hukum. Penegakan hukum dalam perkara pidana dalam suatu negara dapat dikatakan berhasil, tidak hanya semata-mata hakim yang menangani perkara pidana tersebut telah menjatuhkan sanksi pidana yang adil, baik bagi si korban ataupun si pelaku itu sendiri. Namun perlu juga diperhatikan bahwa putusan yang menyangkut penjatuhan sanksi pidana tersebut, seharusnya dapat diterapkan sebagai tindakan untuk merubah perilaku salah (menyimpang) yang di lakukan oleh pelaku tersebut. Dalam membahas hukum pidana, maka tidak bisa di pisahkan dari pembahasan mengenai sanksi pidana yang di kenakan bagi para pelaku tindak pidana. Tujuan hukum pidana itu sendiri adalah; pertama, untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan (prepentive). Kedua, untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya (represif).3 Penjatuhan pidana dijatuhkan bukan sekedar berat ringannya pidana akan tetapi juga pidana itu efektif atau tidak dan pidana itu sesuai dengan nilai-nilai dan struktural yang hidup dan berkembang di masyarakat.
3
Wirjono Prodjodikoro. Asas–Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), h.20
3
Proses pemidanaan harus sesuai dengan apa yang diperbuat si pelaku dan dapat membuat pelaku jera serta menjadikan pelaku berubah kearah yang lebih baik, hal tersebut merupakan suatu bagian penting dalam mewujudkan penegakan hukum. Terwujudnya suatu tindak pidana tidak selalu dijatuhkan pidana terhadap pembuatnya. Undang-Undang telah memberikan dasar-dasar yang meniadakan pidana. Adanya aturan ini membuktikan bahwa Undang-Undang memisahkan antara tindak pidana dengan si pembuatnya. Pembentuk Undang-Undang membuat aturan ini bertujuan mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. Ada banyak hal, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, yang mendorong dan mempengaruhi seseorang mewujudkan suatu tingkah laku yang pada kenyataannya dilarang oleh undangundang. Pemikiran yang semacam inilah yang mendasari dibentuknya ketentuan umum perihal faktor-faktor yang menyebabkan tidak dipidananya si pembuat.4 Dalam praktek penyelenggaraan hukum pidana melalui bekerjanya criminal justice system, seringkali berhadapan dengan kasus yang tergolong unik dan spesifik. Keunikan dan kekhususan kasus tersebut bisa saja karena pelakunya, cara melakukannya maupun jenis perbuatan pidananya. Dilihat dari profil pelaku, mungkin tidak pernah tergambarkan sebelumnya bahwa pelaku akan melakukan perbuatan pidana. Terkadang pelakunya adalah orang-orang terdekat korban seperti pasien, teman kerja, teman dalam hubungan bisnis, pacar, bahkan mungkin 4
Alfitrah . Gugur Atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia, (Jakarta: Sejahtera Printing, 2009) h. 35
4
masih memiliki hubungan keluarga, meskipun tidak menutup kemungkinan juga orang yang belum dikenal sebelumnya. Fenomena yang sekarang timbul adalah bukan masyarakat umum yang acuh tehadap peraturan-peraturan yang dibuat, tetapi para pejabat yang seharusnya menjadi contoh justru menjadi “Suri Tauladan” yang tidak baik. Pelanggaran-pelanggaran hukum terjadi di masyarakat akhir-akhir ini mengenai masalah perbuatan pidana. Dari data yang ada bahwa pelanggaran pidana yang banyak
dilakukan
oleh
masyarakat
mengalami
persentasi
yang
cukup
mengejutkan kasus seperti pencurian, penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, dan tindak pidana lainnya. Dari pelanggaran pidana tersebut, tentunya pemerintah tidak bisa tinggal diam saja, karena hal ini menyangkut masalah keamanan dan ketentraman masyarakat. Hal ini adalah salah satu tugas dan kewajiban negara dalam melindungi setiap individu yang ingin mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan ini. Negara perlu memfasilitasi warganya untuk mendapatkan sebuah kenyamanan yang layak. Pemerintah dalam menangani pelanggaran-pelanggaran pidana yang ada seharusnya mencari solusi atau jalan keluar agar bagaimana pelanggaranpelanggaran pidana yang dilakukan tidak mengalami kenaikan. Dan itu perlu ada prioritas yang mana yang didahulukan. Salah satu prioritas yang menjadi agenda Pemerintah saat ini adalah pencegahan dan pengawasan tindak pidana pencucian uang. Akhir-akhir ini, istilah pencucian uang atau money laundering, sudah begitu populer di sebagai masyarakat kita.
5
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa money laundering adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan penghilang jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati keuntungan-keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan. Penjualan senjata secara ilegal, penyeludupan, dan kegiatan kejahatan terorganisasi, contohnya perdagangan obat dan prostitusi, dapat menghasilkan jumlah uang yang banyak. Penggelapan, perdagangan orang dalam (insider trading), penyuapan, dan bentuk penyalahgunaan komputer dapat juga menghasilkan keuntungan yang besar dan menimbulkan dorongan untuk menghalalkan (legitimize) hasil yang diperoleh melalui money laundering.5 Diakui atau tidak bahwa dalam pemberantasan tindak pidana selama ini menghadapi kendala baik teknis maupun non teknis. Pendekatan dalam pemberantasan tindak pidana-tindak pidana selama ini lebih menitikberatkan bagaimana menjerat pelaku tindak pidana dengan mengidentifikasi perbuatan pidana yang dilakukan. Sejak April 2002 telah diperkenalkan sistem penegakkan hukum yang relatif baru sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan persoalan diatas bukan hanya karena metode yag digunakan berbeda dengan penegakan hukum secara konvensional tetapi juga memberikan kemudahan dalam penanganan perkaranya. Sistem yang dimaksud adalah rezim anti pencucian uang, di mana
5
M. Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, (Malang: Bayumedia, 2004), h.9
6
pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money trial) atau transaksi keuangan. Pendekatan ini tidak terlepas dari suatu pendapat bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”. Artinya merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan sekaligus titik lemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga akan meghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi atau sulit dilakukan. Dari uraian diatas penulis sangat tertarik untuk membahas masalah tindak pidana pencucian uang, yaitu dengan mengadakan pengkajian dalam bentuk skripsi yang berjudul: “SANKSI PIDANA PELAKU PASIF TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UU NOMOR 8 TAHUN 2010”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan penulis diatas, maka penulis membatasi masalah yang penulis kaji adalah masalah tindak pidana pencucian uang, dimana dalam judul skripsi ini adalah Sanksi Pidana Pelaku Pasif Tindak Pidana Pencucian Uang menurut Hukum Pidana Islam dan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 . Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
7
1. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam mengenai pencucian uang? 2. Bagaimana proses hukum bagi pelaku pasif tindak pidana pencucian uang menurut hukum pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010? 3. Apa sanksi pidana bagi seorang pelaku pasif tindak pidana pencucian uang? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Pada setiap penelitian yang dilakukan pada dasarnya memiliki tujuan dan fungsi tertentu yang ingin dicapai baik yang berkaitan langsung dengan penulisan atau dengan pihak lain yang memanfaatkan hasil penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis: a. Memberikan penjelasan tindak pidana pencucian uang menurut hukum pidana Islam. b. Menjelaskan proses pemidanaan pelaku pasif pencucian uang menurut hukum pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. c. Menjelaskan sanksi pidana apa yang akan diterima seorang pelaku pasif tindak pidana pencucian uang. 2. Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat yang diharapkan setelah penelitian ini dilakukan oleh penulis adalah: a. Selain dimaksudkan untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan pihak lain yang memanfaatkannya, juga diharapkan hasil penelitian ini dapat mendeskripsikan tentang masalah pelaku pasif tindak pidana pencucian
8
uang yang sedang ramai dibicarakan. b. Dengan penelitian ini kiranya bisa memberikan informasi tentang masalah-masalah kriminal dalam perkembangan ilmu hukum. c. Menginformasikan kepada masyarakat khususnya penulis mengenai pelaku pasif tindak pidana pencucian uang.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Saat ini kasus atau tindak pidana pencucian uang sedang ramai dibicarakan. Mulai dari golongan ahli hukum sampai dengan masyarakat. Tidak jarang juga sudah beberapa orang mulai untuk meneliti tindak pidana pencucian uang, baik dari cara pembuktiannya ataupun yang lainnya. Seperti skripsi yang sebelumnya yang ditulis oleh -
Tarmizi Tohir yang berjudul Pembuktian Terbalik dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif) pada tahun 2012. Dimana pada skripsi ini menjelaskan bagaimana proses pembuktian pada tindak pidana pencucian uang tersebut. Skripsi tersebut hanya membahas permasalahan pembuktiannya saja.
-
Aili sahril yang berjudul Sanksi Tindak Pidana Korupsi Pasif dalam Hukum Islam dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 pada tahun 2008. Pembahasan di dalam skripsi ini adalah sanksi pidana yang diterima seorang pelaku pasif pada tindak pidana korupsi. Dimana isinya membahas tentang apa itu tindak pidana korupsi, dan siapa saja yang bisa di katakan sebagai pelaku pasif pada tindak pidana korupsi.
9
Jika dilihat dari kedua studi terdahulu diatas, jelas berbeda objek serta masalah yang dikaji oleh penulis nantinya, karena yang akan penulis angkat adalah tentang sanksi pidana yang diterima pelaku pasif tindak pidana pencucian uang. Akan tetapi secara umum, kesamaa dengan dua skripsi diatas adalah pembahasan tentang tindak pidananya dan pelaku pasifnya. Oleh karena itu penulis juga akan menjadikan pegangan dan pembelajaran dalam penyusunan skripsi nantinya dari kedua skripsi diatas.
E. Metode Penelitian. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yang berbentuk Deskriptif Analisis, sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif, yang berusaha mengkombinasikan pendekatan normative dan empiris. Normative yang berdasarkan nilai-nilai yang umum dan disepakati oleh masyarakat, sedangkan empiris adalah pendekatan berdasarkan uji coba, fakta dilapangan dan pengalaman-pengalaman yang ada.6 Dan pendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum ini adalah pendekatan kasus (case approach), pendekatan kasus yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus
6
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet ke 6, h. 189.
10
yang berkaitan dengan isu yang dihadapi. Kasus ini dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia.7 Adapun sumber data yang dipergunakan oleh penulis adalah: a. Sumber data primer, yaitu bahan-bahan utama yang bersifat mengikat berupa ayat-ayat al-Qur‟an, KUHP, dan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2010. b. Sumber data sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan dalam mengkaji data primer, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, dan datadata yang masih relevan dan dapat menunjang penelitian ini. 2. Teknik Pengumpulan Data Studi Pustaka, alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang penulis butuhkan, yaitu dengan cara melihat dokumen dan arsip-arsip yang ada di perpustakaan, selain itu penulis juga menggunakan salinan UndangUndang Nomor. 8 Tahun 2010 beserta penjelasannya yang hasilnya berupa kutipan atau catatan. 3. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif, yaitu pendekatan isi yang menekankan pada pengambilan kesimpulan dan analisa yang bersifat deduktif, yaitu penalaran berawal dari hal yang umum untuk menentukan hal yang khusus sehingga mencapai suatu kesimpulan.8
7
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), cet ke 3, h. 94. Sutrisno Hadi, Metodologi Reaserch, (Yogyakarta; Andi Offset, 1990), h. 42-215.
8
11
Sedangkan teknik penulisannya mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi (Fakultas Syari‟ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta 2012).
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan, penulis membagi penyusunan ke dalam BAB, dan masing-masing BAB dibagi menjadi sub-sub yang lengkap ialah sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan, dalam BAB ini diuraikan tentang, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II: Dalam BAB II ini penulis membahas tentang tinjauan umum tindak pidana pencucian uang, yang terdiri dari: pengertian pidana, tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2010 dan hukum pidana Islam. Bab III: Dalam BAB III penulis menjelaskan mengenai tindak pidana pencucian uang pasif menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan hukum Islam, yang terdiri dari: pengertian pencucian uang pasif menurut Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2010 dan hukum pidana Islam, dan pembuktian tindak pidana pencucian uang pasif. Bab IV: Dalam BAB IV ini penulis membahas tentang analisis sanksi pidana
12
pencucian uang pasif menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan hukum pidana Islam. Bab V: Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
A. Pengertian Hukum Pidana Ada kesukaran untuk memberikan suatu batasan yang dapat mencakup seluruh isi atau aspek dari pengertian hukum pidana karena isi hukum pidana itu sangatlah luas dan mencakup banyak segi, yang tidak mungkin untuk dimuat dalam suatu batasan dengan suatu kalimat tertentu. Dalam memberikan batasan tentang pengertian hukum pidana, biasanya hanya melihat dari satu atau beberapa sisi saja, sehingga selalu ada sisi atau aspek tertentu dari hukum pidana yang tidak masuk, dan berada diluarnya. Walaupun dalam memberikan batasan tentang hukum pidana selalu ada aspek hukum pidana yang berada di luarnya, namun demikian tetap berguna untuk terlebih dulu memberikan batasan tersebut. Faedah itu adalah dari batasan itu setidaknya dapat memberikan gambaran awal tentang arti hukum pidana sebelum memahaminya lebih jauh dan dengan lebih mendalam.9 Yang dimaksud dengan hukum pidana pada dasarnya adalah hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang beserta sanksi hukum yang dapat dijatuhkan apabila larangan tersebut dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut dikenal dengan sebutan tindak pidana atau delik, sedangkan sanksi hukumnya dikenal dengan istilah pidana (straaf). Pidana sendiri 9
Chazawi Adami. Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2002), Bag.
I, h.1
13
14
didefinisikan sebagai hukuman berupa derita atau nestapa yang sengaja ditimpakan oleh negara kepada pelaku tindak pidana. Secara sosiologis, hukum merupakan salah satu norma perilaku (behavioral norms) yang ada dalam suatu masyarakat terdapat norma-norma perilaku yang lain seperti norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma agama. Kelebihan yang dimiliki oleh hukum sebagai norma perilaku jika dibandingkan dengan norma-norma perilaku lainnya adalah bahwa norma hukum dapat dipaksakan berlakunya oleh negara. Norma-norma hukum tersebut dipaksakan berlakunya oleh negara dengan cara memberikan ancaman hukuman kepada setiap warga negara atau anggota masyarakat yang ingin melanggarnya. Melalui ancaman hukuman tersebut anggota masyarakat dipaksa untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Paksaan semacam ini bersifat psikologis (psycologische dwang). Untuk menegakkan norma hukum tersebut, negara memiliki aparat khusus yang dikenal dengan nama aparat penegak hukum (legal enforcement officier). Dalam konteks hukum pidana, penegak hukumnya dilakukan oleh Polisi, Jaksa Penuntut Umum, Hakim.10 Sedangkan menurut wikipedia, hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya.
10
H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 3
15
Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran. 1. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. 2. Sedangkan Pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya. Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis). 11 Sedangkan dalam Islam hukum pidana mempunyai pengertian sendiri, dimana hukum pidana tersebut berisi ketentuan-ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan serta ancaman sanksinya apabila perbuatan itu dilanggar. Jadi pada prinsipnya hukum pidana itu mengatur tentang tindak pidana dan 11
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum Kamis, 17 Juli 2013, Jam 12:29 WIB
16
pidana. Berdasarkan prinsip ini, maka hukum pidana Islam dapat didefinisikan sebagai hukum yang mengatur persoalan tindak pidana (jarimah) dan sanksi pidana („uqubah). Jarimah berasal dari kata (َ )جَرَوyang sinonimnya (َ )كَسَةَ وَقَطَعartinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha di sini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia.12 Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu definisi yang jelas, bahwa ْ ًُّْق وَانْ َع ْدلِ وَانطَ ِرَ ْيّقِ ان ِح َ ْ)اِ ْرتِكَابُ ُكمِ يَا ُهوَ يُخَانِفٌ نِه jarimah itu adalah (ِستَ ِقيْى Melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama). Dari keterangan ini jelaslah bahwa jarimah menurut arti bahasa adalah melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik, dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan jalan yang lurus (agama).13 Perbuatan yang dilarang (ٌطوْرَات ُ ْ )يَخadakalanya berupa mengerjakan perbutan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan lafaz syar‟iyah (ٌعيَة ِ )شَ ْرdalam definisi tersebut mengandung pengertian, bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara‟ dan diancam dengan hukuman. Dengan
12
Muhammad Abu Zahra, Al Jarimah wa Al „Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, (Maktabah Al Angelo Al Mishriyah: Kairo) h.22 13 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika: Jakarta,September 2004), cet-pertama, h. 9.
17
demikian apabila perbuatan itu tidak ada larangannya dalam syara‟ maka perbuatan tersebut hukumnya mubah, sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya.14 Jika pengelompokan hukum-hukum Islam sebagaimana dikemukakan di atas diamati, nyatalah bahwa hukum pidana itu termasuk bagian dari hukum Islam (syariat Islam) yang dipelajari dalam ilmu fiqih (Fiqih Jinayah). Jadi dengan demikian bisa dikatakan di sini bahwa hukum pidana Islam itu adalah hukum Islam yang berkaitan dengan masalah pidana, atau dengan kata lain hukum pidana Islam adalah hukum yang berkaitan dengan tindak pidana dan sanksinya menurut syariat Islam. Membicarakan tujuan hukum pidana Islam tidak dapat dilepaskan dari membicarakan tujuan syariah Islam secara umum, karena hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam. Syariat Islam ketika menetapkan hukumhukum dalam masalah kepidanaan mempunyai tujuan umum, yaitu mendatangkan maslahat kepada umat dan menghindarkan mereka dari mara bahaya. Syariah Islam secara umum bertujuan untuk mengamankan lima hal-hal mendasar dalam kehidupan umat manusia. Lima hal itu adalah aspek agama, aspek akal, aspek jiwa, aspek harta benda, dan keturunan. Lima hal ini merupakan perkara yang sangat fundamental dalam pandangan Islam bagi umat manusia. 14
Jalaluddin Asy Syuthi, Al Asybah wa An Nazhair, (Dar Al Fikr, tanpa tahun), h. 43.
18
Kelima hal ini dikenal dengan istilah lima perkara pokok (dharuriyah alkhamsah). Kepentingan terhadap lima hal inilah yang ingin dilindungi oleh syariah Islam.15 Adapun mengenai karakteristik hukum pidana Islam, pada dasarnya sama dengan karakteristik syariat Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan karena ia merupakan bagian dari syariat Islam seperti telah disebutkan di atas. Berikut ini dijelaskan beberapa karakteristik hukum pidana Islam yang merupakan keunggulan jika dibandingkan dengan hukum pidana buatan manusia. 1. Buatan Tuhan (God made law as opposed to man made law). Maksudnya, hukum pidana Islam itu ciptaan Allah, sedang hukum pidana lainnya itu adalah buatan manusia. Karena diciptakan oleh Allah, maka hukum Islam bersifat sempurna dari segi pengaturannya.16 2. Berakar pada keimanan seseorang (rooted in one‟s belief). Hukum pidana Islam itu berakar pada iman atau keyakinan seseorang. Artinya, orang yang beriman itu meyakini hukum pidana Islam sebagai bagian dari syariat Islam yang diturunkan oleh Allah. Hal ini membuat mereka patuh dan tunduk terhadapnya. Kepatuhan tersebut lahir dari kesadaran imani. Dengan demikian kesadaran hukum yang terbangun dalam diri anggota masyarakat adalah kesadaran sejati, bukan kesadaran artifisial.17
15
H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 19 16 H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 24 17 H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 25
19
3. Menyediakan sanksi dunia dan akhirat (provides sanction both here and hereafter). Hukum pidana Islam itu, karena berdasarkan syariat Islam, maka hukuman yang dikenakan kepada pelaku kejahatan adalah di dunia dan akhirat. Jika seseorang itu mencuri, lalu dijatuhi hukuman di dunia ini sesuai dengan syariat Islam, maka ia tetap akan mendapatkan balasannya di akhirat selagi ia tidak bertaubat. Sedangkan dalam hukum positif tidak ada pembahasan mengenai hukuman di akhirat, karena ia hanya mengatur masalah pidana dan sanksinya di dunia saja.18 4. Antisipasi (anticipative as opposed to responsive). Maksudnya, hukum pidana Islam itu telah mengantisipasi segala perbuatan mukallaf (orang Islam yang dibebani dengan beban agama) terutama yang berkenaan dengan tindak pidana. Dengan perkataan lain, hukum Islam telah menyediakan norma-norma terkait dengan masalah tindak pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masa mendatang. Oleh karena itu tidak heran jika segala bentuk jarimah (tindak pidana) yang ada pada saat turunnya wahyu hingga hari kiamat itu dapat ditentukan hukumannya serta ditetapkan hukumannya, yakni melalui apa yang dikenal dengan ijtihad. Jika dibandingkan dengan hukum positif, maka hukum positif hanya menetapkan sesuatu itu sebagai perbuatan tindak pidana setelah peristiwa kejahatan terjadi,
18
H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 26
20
dengan kata lain hukum tersebut dibuat dalam rangka merespon fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat.19 5. Mengatur perbuatan jasmani dan perbuatan hati (governs both physical and heart act). Hukum pidana Islam mengatur baik perbuatan fisik maupun perbuatan hati, perbuatan lahir maupun perbuatan batin. Islam melarang sikap-sikap batin tertentu yang dianggap buruk dan membahayakan seperti iri, dengki, dendam, dan takabur. Pelarangan ini merupakan langkah perventif terjadinya kejahatan.20 6. Memperhatikan aspek moral (concern with ethics). Hukum pidana Islam sangat memperhatikan dan memelihara akhlak masyarakat. Ini karena ia berdiri tegak di atas landasan agama. Zina diharamkan meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka. Arak dilarang walaupun tidak membuat mabuk. Pornografi dan pornoaksi diharamkan karena merusak akhlak masyarakat, meskipun sebagian orang berdalih mengatas-namakannya dengan HAM dan seni.21 7. Komprehensif (comprehensive as opposed to partial). Hukum pidana Islam memiliki keunggulan karena ia bersifat komprehensif, dan bukan parsial. Artinya, pengaturan hukum pidana Islam itu mencakup
19
H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 27 20 H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 28 21 H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 29
21
seluruh aktivitas kehidupan manusia. Segala aktivitas yang melanggar hukum telah ditetapkan beserta sanksinya di dunia maupun di Akhirat. Sedangkan dalam hukum positif, hukum pidana yang berlaku hanya menghukumi sebagian aktivitas, dan itupun berubah-ubah, hari ini suatu perbuatan dianggap tindak pidana, esok hal itu sudah dianggap bukan.22 Dari penjelasan diatas penulis mendapat penjelasan bahwa ada perbedaan dan persamaan antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Dimana menurut penulis hukum pidana Islam lebih berkekuatan dan lebih banyak memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan agar tidak kembali melakukan kejahatan. Karena hukum pidana Islam tidak hanya memberikan hukuman kepada manusia dengan negara, manusia dengan manusia tetapi juga manusia dengan Tuhannya.
Penulis berpendapat demikian karena melihat
penjelasan diatas. Bukan berarti hukum pidana positif tidak memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Tetapi menurut penulis efek jera yang diberikan oleh hukum pidana Islam lebih kuat di banding hukum pidana positif.
B. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Sebelum mengemukakan pengertian money laundering atau pencucian uang, terlebih dahulu, dikemukakan perkembangan kejahatan dan kaitannya dengan kejahatan pencucian uang sebagai salah satu jenis kejahatan yang 22
H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 30
22
mendunia. Dewasa ini kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihannya. Demikian juga dengan ancamannya terhadap keamanan dunia. Akibatnya, kejahatan tersebut dapat menghambat kemajuan suatu negara, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun budaya. Mengingat, kejahatan itu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, wajar ada satu ungkapan: kejahatan itu tua dalam usia, tapi muda dalam berita. Artinya, sejak dulu hingga kini, orang selalu membicarakan kejahatan, mulai dari yang sederhana (kejahatan biasa) sampai yang sulit pembuktiannya. Bahkan, dalam sejarahnya, kejahatan sudah ada sejak Nabi Adam AS. Kejahatan merupakan sebuah istilah yang sudah lazim dan populer dikalangan masyarakat Indonesia atau crime bagi orang Inggris. Tetapi, jika ditanyakan; apakah sebenarnya yang dimaksud kejahatan? Orang mulai berpikir dan atau bahkan balik bertanya. Menurut Hoefnagels
(1972: 72), kejahatan
merupakan suatu pengertian yang relatif. Banyak pengertian yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial yang berasal dari bahasa sehari-hari tidak memberikan gambaran yang jelas tentang kejahatan, tetapi hanya merupakan suatu ekspresi dalam melihat perbuatan tertentu.23 Sampai saat ini, tidak atau belum ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang di maksud dengan tindak pidana pencucian uang atau money laundering. Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini menggarisbawahi,
23
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, November 2011), cetakan kedua, h. 17
23
dewasa
ini
istilah
money
laundering
sudah
lazim
digunakan
untuk
menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum untung melegalisasi uang “kotor”, yang di peroleh dari hasil tindak pidana (Sjahdeini: 2004).24 Ada beberapa pengertian dari money laundering dari berbagai sumber. Money laundering, menurut Sarah N. Welling (1992): “Money laundering is the process by wich one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and then disguises that income to make it appear lagitimate”. (Pencucian uang adalah proses di mana seseorang menyembunyikan keberadaan sumber (pendapatan) ilegal atau aplikasi pendapatan ilegal dan kemudian menyamarkan sumber (pendapatan) tersebut agar terlihat seperti sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku).
Dalam definisi David Fraser (1992): “Money laundering is quite simply the process through which “dirty” money (proceeds of crime), is whased through “clean” or legitimate sources and enterprises so that the “bad guys” may more safely enjoy their ill‟gotten gains”. (Pencucian uang kurang lebih adalah proses dimana uang “kotor” (hasil tindak pidana) dicuci menjadi “bersih” atau uang kotor yang dibersihkan 24
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, November 2011), cetakan kedua, h.18
24
melalui suatu sumber hukum dan perusahaan yang legal sehingga „para penjahat‟ dapat dengan aman menikmati hasil jerih payah tindak pidana mereka).25 Apapun definisinya, pada hakikatnya pencucian uang menunjukan pada upaya pelaku untuk mengurangi ataupun menghilangkan risiko ditangkap ataupun uang yang dimilikinya disita sehingga tujuan akhir dari kegiatan ilegal itu yakni memperoleh keuntungan, mengeluarkan serta mengkonsumsi uang tersebut dapat terlaksana, tanpa terjerat oleh aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian menyimpan uang hasil kegiatan ilegal adalah sama dengan mencuci uang tersebut, walaupun si pelaku tindak pidana sendiri hanya menyimpan uang tersebut dan tidak mengeluarkan uang tersebut karena belum “dicuci”. 26 Secara sederhana aktivitas pencucian uang dapat dilakukan melalui perbuatan memindahkan, menggunakan, atau melakukan perbuatan lainnya terhadap hasil dari suatu tindak pidana, baik itu pelakunya organized crime maupun individu yang melakukan tindak pidana korupsi, perdagangan obat narkotika dan tindak pidana lainnya dengan maksud menyembunyikan atau menaburkan asal-usul uang tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang halal.
25
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, November 2011), cetakan kedua, h. 18 26 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, November 2011), cetakan kedua, h.19
25
Instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan sistem keuangan. Perbankan merupakan alat utama yang paling menarik digunakan dalam pencucian uang mengingat perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling banyak menawarkan instrumen keuangan. Pemanfaatan bank dalam pencucian uang dapat berupa : 1. Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu; 2. Menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabungan/rekening/giro; 3. Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih besar atau lebih kecil; 4. Menggunakan fasilitas transfer; 5. Melakukan transaksi ekspor-impor fiktif dengan menggunakan L/C (Letter of Credit) dengan memalsukan dokumen bekerja sama dengan oknum terkait; 6. Pendirian/pemanfaatan bank gelap.27 Proses money laundering (The Money Laundering Process) biasanya dilakukan melalui tiga tahap, yaitu Placement, Layering, dan Integration. Placement adalah perbuatan kriminal penempatan untuk pertama kalinya atau tahap awal dari siklus pencucian uang haram. Uang/aset ditempatkan pada sistem finansial atau diselundupkan ke luar negeri, tujuannya untuk memindahkan uang/aset tersebut dari sumber asalnya. Untuk menghindari pengawasan pihak
27
http://0sprey.wordpress.com/2012/05/29/pengertian-dan-metode-tindak-pidana-pencucianuang/ diakses 27 juli 2013
26
berwajib dan kemudian mengkonversinya ke dalam bentuk aset yang berbeda atau modus operandinya adalah dana ditempatkan jauh dari lokasi kejahatan. Umumnya dalam bentuk tunai, traveler cheque, giro pos, dan lain-lain. Biasanya dibawa ke luar negeri dan disetor ke bank dengan berbagai cara untuk mengelabui pelacakan. Atau kini dapat dilakukan dengan memasukkan dana langsung ke epurse kalau perlu memecahnya ke dalam sejumlah transaksi di beberapa bank yang mempunyai layanan/product e-cash. Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari aktivitas kejahatan misalnya memecah uang tersebut dalam pecahan besar atau kecil untuk ditempatkan dalam sistem perbankan, atau placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah. Proses placement ini merupakan titik yang paling lemah dalam pencucian uang. Layering adalah pengalihan dari suatu bentuk investasi ke bentuk investasi lainnya yang dilakukan untuk memperpanjang jalur pelacakan atas suatu tindakan untuk menutupi sunber sebenarnya dari uang/aset dengan melakukan transaksi finansial yang berlapis-lapis yang dirancang untuk menghilangkan jejak dan menciptakan anonim. Modus operandinya adalah dana ditransfer ke luar negeri misalnya sebagai bagian dari pembayaran impor melalui L/C yang dibayarkan ke perusahaan yang sah, setelah 2-3 kali ditransaksikan dan sudah sukar untuk dilacak karena tahap
27
pencucian uang sudah dilakukan dengan melapis dana tidak sah dengan dana lain yang sah. Dengan demikian layering dapat disimpulkan sebagai proses memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekeningrekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.28 Integration adalah perbuatan kriminal yang sudah melalui tahap placement dan layering untuk menjadi investasi yang terlihat benar-benar legal. Pada tahap ini uang/aset diintegrasikan ke dalam sistem finansial yang legal dan diasimilasikan dengan semua aset yang ada dalam sistem finansial. Jadi pelaku berusaha menetapkan landasan sebagai suatu legitimate explanation bagi hasil kejahatan.29 Modus operandinya adalah dilakukan transaksi yang bersih. Dana yang telah terlapis tadi digunakan untuk pembayaran, kemudian transaksi itu dapat dilakukan melalui lembaga keuangan biasa sebagai bagian dari transaksi yang sahih. Misalnya pembayaran hutang atau tagihan lainnya. Dari tahapan proses ini maka ada empat faktor yang dilakukan dalam proses money laundering, pertama merahasiakan siapa pemilik uang hasil kejahatan tersebut, kedua bentuk sehingga mudah dibawa kemana-mana, ketiga
28
M. Arief, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, Publishing), Cet-kedua, h. 6 29 M. Arief, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, Publishing), Cet-kedua, h. 7
(Malang: Bayumedia (Malang: Bayumedia
28
merahasiakan proses pemutihan sehingga menyulitkan pelacakan, dan keempat mudah diawasi oleh pemilik sebenarnya dari uang hasil kejahatan ini. Perlu diketahui bahwa kegiatan money laundering berbeda dengan kegiatan
pemalsuan
uang.
Tujuan
pemalsuan
uang
adalah
bagaimana
memasukkan uang palsu ke dalam sirkulasi sistem pembayaran yang sah, sebaliknya pihak yang memutihkan uang haram menggunakan sistem pembayaran yang sah untuk merubah status uangnya dari ilegal menjadi legal. Money laundering makin mudah dilakukan di Indonesia antara lain karena Traveller Cheque pun dapat dijual tanpa memerlukan tanda tangan maupun identitas pembeli maupun penjualnya dan pelaku money laundering ini bisa institusi keuangan dan kalangan profesional. Institusi keuangan bisa berupa Fund Manager, Reksadana, Banker dan Asuransi, sedangkan kalangan profesional bisa meliputi akuntan, lawyer, dan bankir. Menurut pemerintah Kanada yang dikeluarkan oleh Department of Justice yang berjudul Electronic Money Laundering: An Environmental Scan, Oktober 1988, mengemukakan beberapa dampak negatif terhadap masyarakat yang ditimbulkan oleh money laundering : 1. Money laundering memungkinkan para penjahat memperluas operasinya sehingga meningkatkan biaya penegakan hukum dalam pemberantasannya dan biaya perawatan bagi korban. 2. Money laundering merongrong masyarakat keuangan. Potensi korupsi semakin besar karena banyaknya uang haram yang beredar.
29
3. Pencucian mengurangi pendapatan pemerintah dari sektor pajak dan secara tidak langsung merugikan pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah. 4. Mengganggu keamanan dalam negeri suatu negara.30 Pencucian uang menurut para pelakunya, hal itu wajar dan tidak ada yang menyimpang karena semuanya dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh perbankan (sebagai salah satu lembaga keuangan). Di samping itu, perbuatan tersebut hanya merupakan hubungan keperdataan antara nasabah (penyimpan dana) dengan pihak bank. Tetapi, menurut pandangan para pemerhati, perbuatan menyimpan uang di bank itu tidak lagi dapat dilihat atau berlindung dibalik hubungan keperdataan, sebagaimana lazimnya dalam dunia perbankan. Hal itu disebabkan apa yang dilakukan oleh si penyimpan dana merupakan upaya untuk mengaburkan asal-usul uang yang disimpan. Oleh sebab itu, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang perlu ditindak dan diberantas. Apabila hendak dilihat dari sudut yuridis, maka pertanyaan, “apakah kejahatan berupa pencucian uang tersebut merupakan kejahatan menurut hukum pidana positif?” Jika demikian halnya, tentu tidak ada pilihan lain, kecuali membuka Undang-Undang. Sebaliknya, apabila hendak melihat dari sudut kriminologis, jawabannya pun tergantung pada siapa yang melihatnya. Selain itu, juga tergantung pada subjektivitas dan yang terancam kepentingannya.
30
http://0sprey.wordpress.com/2012/05/29/pengertian-dan-metode-tindak-pidana-pencucianuang/ diakses 27 juli 2013
30
Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan: “apakah yang dimaksud dengan money laundering tersebut?” Terdapat bermacam-macam pengertian tentang money laundering, namun semua tetap dalam satu tujuan untuk menyatakan bahwa money laundering merupakan salah satu jenis kejahatan yang potensial dalam mengancam berbagai kepentingan baik dalam skala nasional maupun internasional.31 Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau dana atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah atau legal.32 Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yang dimaksud dengan pencucian uang ada pada Pasal 1 ayat 1 yaitu: “Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”. Dari pasal diatas sudh sangat jelas bahwa pencucian uang itu sendiri masuk kedalam kategori tindak pidana, dimana tindak pidana pencucian uang itu memiliki beberapa unsur yang dijelaskan didalam undang-undang tersebut. Unsur-unsur tindak pidana pencucian uang. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal 3,4,5,6,7,8,9, dan 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yang termasuk ke dalam unsur-unsur tindak pidana 31
M. Arief, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, (Malang: Bayumedia Publishing), cetakan kedua, h. 8-9. 32 http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang artikel diambil pada 10 juli 2013
31
pencucian uang adalah: pertama, setiap orang baik orang perseorangan maupun korporatif dan personil pengendali korporasi. Kedua,
menempatkan,
mentransfer,
mengalihkan,
membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak-tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010. Ketiga,
menerima
atau
menguasai
penempatan,
pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak-tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Keempat, bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak-tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.33
33
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Sinar Grafika, Jakarta, 2011), Cet II
32
C. Tindak Pidana Pencucian Uang menurut Hukum Pidana Islam Menurut Ulama, pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan negara. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan tasyri' yaitu mencegah mafsadah dan menciptakan mashlahah. Selain itu, pencucian uang menimbulkan kerusakan, kerugian, mudharat, sekaligus menjauhkan kemaslahatan dari kehidupan manusia, tercela, dan terlarang sehingga dapat disebut sebagai tindak pidana dan dalam konteks hukum Islam, dapat dikenai hukuman ta'zir bagi pelakunya. Dalam kajian fiqih jinayah (hukum pidana Islam) klasik belum dikenal secara jelas mengenai tindak pidana pencucian uang. Secara umum, ajaran Islam mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara yang bathil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri. Hukum pidana Islam secara eksplisit tidak menyebutkan mengenai pencucian uang. Secara umum, ajaran Islam mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara yang batil, seperti merampok, mencuri, atau membunuh. Pencucian uang merupakan perbuatan tercela dan dapat merugikan kepentingan umum. Hal ini sangatlah bertentangan dengan hukum Islam. Money Laundering termasuk kedalam jarimah ta‟zir karena tidak secara eksplisit
33
disebutkan dalam al-Qur‟an dan hadis, namun jelas sangat merugikan umat manusia dan beberapa efek negatif lain, yaitu a. Membahayakan kehidupan manusia. b. Menghambat terwujudnya kemaslahatan. c. Merugikan kepentingan umum. d. Mengganggu ketertiban umum. e. Merupakan maksiat. f. Mengganggu kehidupan sekaligus harta orang lain. Di samping itu, money laundering juga mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah
terhadap
kebijakan
ekonomi,
menimbulkan
distorsi
dan
ketidakstabilan ekonomi, hilangnya pendapatan negara, menimbulkan rusaknya reputasi negara, dan menimbulkan biaya sosial yang tinggi.34 Namun, melihat dari kompleksitas masalah terkait dengan modus operasi tindak pidana kejahatan yang kemudian disembunyikan seolah-olah menjadi aktivitas yang legal, yang dampaknya bisa meresahkan, membahayakan, dan merusak tatananan masyarakat, maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa kejahatan ini bisa dikategorikan sebagai jarimah ta‟zir. Dijelaskan dalam Ijitima Ulama Komisis Fatwa di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, pencucian uang merupakan jarimah (tindak pidana), karena merupakan bentuk penggelapan (ghulul) dengan tujuan menyembunyikan dan menyamarkan aset yang diperoleh secara tidak sah. 34
M, Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, pertama, h. 171
Maret 2013), cetakan
34
Pengertian Ta‟zir ialah memberi pengajaran (at-ta‟dib). Tetapi untuk hukum pidana Islam istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri. Syara‟ tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta‟zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim di beri kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah ta‟zir serta keadaan si pembuatnya juga. Jadi hukuman-hukuman jarimah ta‟zir tidak mempunyai batas tertentu. Menurut Abu Bakr Jabir Al Jazairi, ta‟zir adalah sanksi disiplin dengan pemukulan, atau penghinaan, atau embargo, atau pengasingan.35 Maka tindak pidana ta‟zir adalah tindak pidana yang apabila dilakukan diancam dengan sanksi disiplin berupa pemukulan, penghinaan, embargo, atau pengasingan. Hanya saja, sebagian ulama memasukkan hukuman mati bagi kasus tertentu dalam tindak pidana ta‟zir. Semua yang belum ditetapkan kadar sanksinya oleh syar‟i, maka sanksinya diserahkan kepada penguasa untuk menetapkan jenis sanksinya.36 Dengan kata lain, ta‟zir adalah pengajaran atas dosa-dosa yang tidak disyariatkan hukuman hudud atasnya, atau hukuman atas jarimah-jarimah yang belum ditentukan oleh syariat hukumannya.
35
Abu Bakr Jabir Al- Jazairi. Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, (Jakarata: Daarul Falah, 2003), cetakan ke-empat, h. 708 36 Asadulloh Al Faruq. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Pidana Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, Oktober 2009),cetakan pertama, h. 54
35
Tindak pidana ta‟zir ini tidak ditentukan oleh syariat sebagaimana dalam hudud dan qisas wa diyat. Syariat hanya menetapkan sebagian saja, yaitu seperti riba, mengkhianati amanah, mencel orang lain dan korupsi. Ini karena jarimahjarimah tersebut mempunyai sifat berbahaya yang terus menerus bagi masyarakat dan tata tertib umum. Sedang sebagian besar lainnya diserahkan kepada yang berwenang untuk menetapkannya sendiri dengan syarat harus diperlukan oleh masyarakat, demi memelihara kemaslahatan dan peraturan umumnya dan dengan syarat tidak menyalahi nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya. Perbedaannya adalah, yang ditetapkan oleh syariat itu keharamannya terus menerus, sedangkan yang ditetapkan oleh pemerintah itu tidak demikian. Menurut hukum Islam hukuman ta‟zir adalah hukuman yang tidak tercantum nash atau ketentuannya dalam Al Qur‟an dan As-Sunnah, dengan ketentuan yang pasti dan terperinci. Sedangkan menurut hukum positif dalam pengertian di atas, hukuman itu harus tercantum dalam Undang-Undang. Akan tetapi, apabila dipelajari dengan teliti maka dapat juga kita temui persesuaiannya terutama pada garis besarnya. Hukuman ta‟zir dimaksudkan untuk mencegah kerusakan dan menolak timbulnya bahaya. Apabila tujuan diadakannya ta‟zir itu demikian maka jelas sekali hal itu ada dalam Al-Qur;an dan As-Sunnah, karena setiap perbuatan yang merusak dan merugikan orang lain hukumnya tetap dilarang. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur‟an. (QS. Al-Qashash: 77)
36
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashash: 77) Juga dalam sebuah hadis Rasulullah SAW, bersabda:
Dari Abi Sa‟id Sa‟ad ibn Malik ibn Sinan ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah membahayakan orang lain dan jangan membahayakan diri sendiri. (HR. Ibnu Majah dan Ad-Duruquthni)37 Abdul Qadir Audah membagi hukam ta‟zir kepada tiga bagian: -
Hukuman ta‟zir atas perbuatan maksiat.
-
Hukuman ta‟zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.
-
Hukuman ta‟zir atas perbuatan-perbuatan pelanggaran (mukhalafah).38
37
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika: Jakarta, September 2004), cetakan pertama, h. 11. 38 Abdul Qadir Audah, At Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islamiy,(Dar Al-Kitab Al‟Araby, Beirut, tanpa tahun), h. 128.
37
Perbedaan mendasar antara macam-macam ta‟zir diatas adalah bahwa suatu perbuatan itu, dalam kategori pertama hukumnya adalah haram selamalamanya dan merupakan maksiat. Jadi zatnya itu haram. Sedangkan perbuatan itu pada kategori kedua tidak dianggap haram melainkan memenuhi kriteria tertentu. Dengan demikian yang haram bukan zatnya, tapi sifatnya. Adapun perbuatan pada kategori ketiga itu memang diperintahkan atau dilarang akan tetapi melakukannya dianggap sebagai pelanggaran, bukan maksiat. Jadi yang ketiga ini merupakan perbuatan yang diharamkan syariat zatnya, namun jika dilakukan dianggap sebagai pelanggaran, bukan sebagai maksiat. Dengan melihat penjelasan diatas maka seorang pelaku tindak pidana pencucian uang dapat dihukum dengan hukuman ta‟zir (sanksi pidana yang ditetapkan oleh negara).39
39
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/07/04/19758/menerima-uang-daritindak-pidana-pencucian-hukumnya-haram artikel diambil pada 10 juli 2013
BAB III TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PASIF MENURUT UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pencucian Uang Pasif menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pasal yang mendukung tentang pencucian uang pasif dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 terdapat di Pasal 5 ayat 1 yaitu: “Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Penulis memiliki pandangan yang sama dengan apa yang di maksud dalam Pasal 5 ayat 1 ini, bahwa seseorang yang menerima aatau memanfaatkan uang yang patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, maka orang tersebut bisa diberikan sanksi sesuai dengan isi pasal 5 ayat UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut. Yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.
Ketika ada pencucian aktif pasti ada pencucian pasifnya, yang jelas di dalam hukum penerima pasif itu adalah bagian dari pencucian uang. Contoh lain
38
39
adalah penanganan pencucian uang yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan tersangka Kalapas Narkotika Nusakambangan Marwan Adli. Dalam kasus tersebut, Marwan memanfaatkan nama dua anak dan seorang cucunya untuk membuka rekening dan menampung uang hasil transaksi narkotika. Mereka yang dimanfaatkan, memang tidak mengetahui dari mana dan untuk apa uang yang ditransfer ke rekening mereka. Anak dan cucu Marwan pun diketahui tidak pernah menikmati uang tersebut, karena pengelolaan sepenuhnya di tangan Marwan. Artinya harus mulai dimunculkan kesadaran untuk bertanya uang tersebut berasal dari mana. Langkah itu untuk menghindari praktik-praktik korupsi dari awal. Dalam upaya penyidikan kasus pencucian uang yang dilakukan Fathanah, KPK dapat menerapkan pola demikian. Penyidikan dapat dilakukan sekaligus baik aktor pencucian uang yang berperan aktif atau pun pasif (penerima). "Kalau berlama-lama tidak dijerat maka pelaku akan memiliki cara sendiri untuk menghilangkan hasil dari pencucian uang". Vitalia Shesya, Ayu Azhari, dan beberapa perempuan lainnya menerima aliran dana dari Fathanah. Mereka ada yang sudah mengembalikan dan ada juga yang hartanya disita KPK. "Sejauh ini, hasil pemeriksaan mereka tidak ada kesengajaan untuk melindungi. Mereka tidak tahu asal usul uang itu," kata juru bicara KPK Johan Budi saat dikonfirmasi detikcom, Jumat (10/5/2013). Johan menjelaskan, pengakuan Fathanah, perempuan itu adalah temannya. Uang itu juga, berdasarkan pengakuan diberikan
40
untuk hubungan bisnis, manggung, dan sebagai teman. "Mereka juga tidak menanyakan dari mana uang itu," tuturnya.40
B. Pencucian Uang Pasif Menurut Hukum Pidana Islam. Penjelasan mengenai pencucian uang pasif antara hukum Islam dan hukum konvensional adalah sama, dimana apabila kita menerima hadiah ataupun hibah dari seseorang alangkah lebih baik kalau kita menyelidiki asal usulnya pemberian tersebut. Mencari asal usul harta yang diberikan kepada kita di perbolehkan apalagi di zaman seperti sekarang ini, segala sesuatunya harus lebih berhati-hati. Karena semakin berkembangnya jaman semakin berkembang pula kejahatannya. Dimana menerima dan memanfaatkan uang yang berasal dari pencucian uang haram hukumnya. Hal ini diatur dalam al-Quran Surat al-Baqarah 188.
Artinya: dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 188) Hal sama juga ditegaskan dalam al-Quran Surat al-Nisa: 29.
40
http://news.detik.com/read/2013/05/12/064425/2243405/10/kpk-bisa-jerat-penerima-pasifduit-fathanah-dengan-pasal-pencucian-uang artikel diambil 5 juli 2013
41
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. Al-Nisa: 29) Penerima uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikannya kepada negara. Uang tersebut kemudian dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum. Penerima hasil pencucian uang tidak perlu dihukum jika sudah mengembalikan hasil itu kepada negara. Hal ini dinilai wajar, karena penerima belum tentu berperan sebagai pelaku kejahatan asal yang kemudian hasilnya diputar dalam proses pencucian uang.
C. Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif Pada ranah hukum pidana Islam, permasalahan kejahatan Money Laundering ini dapat dikategorikan ke dalam Fiqih Jinayat. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut delik atau tindak pidana. Secara etimologi, Jinayah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana yang berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan itu mengenai jiwa,
42
harta benda, atau lainnya.41 Dalam Islam sangatlah dikenal perkataan Umar tentang pembuktian “Pembuktian itu diwajibkan bagi yang penggugat, dan sumpah diwajibkan bagi (pihak) yang meolak (pengakuan)” sedangkan yang dimaksud dengan pembuktian didalam al Qur‟an, Sunnah dan perkataan para sahabat adalah sebutan bagi segala sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran. 42 Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah penetapan pada jarimah ta‟zir menurut mereka yaitu: Pengakuan, bukti, pengetahuan hakim, saksi-saksi baik laki-laki
maupun
perempuan,
saksi
ahli,
ketetapan-ketetapan
hakim
(Yurisprudensi).43 Sedangkan yang menarik dalam sejarah Islam tentang pembuktian yang terjadi pada masa Rasullulah S.A.W dimana ada dua orang yang berpekara menghadap nabi dan salah satunya menguasai perbantahan dan yang lain tidak menguasai, maka nabi memenangkan yang pandai itu. Dan berkatalah yang kalah “ Ya Rasullulah, demi dia yang tidak ada Tuhan selain dia, sayalah yang sebenarnya berhak.” Dan lalu Rasullulah mengulangi lagi pemeriksaan, dan kembali memenangkan si pandai. Tapi orang itu mengulangi kembali kalimat tadi, dan karena itu Rasullulah mengulangi sekali lagi, lalu beliau berkata “Barang siapa
mengambil
bagian
harta
seorang
muslim
dengan
(kepandaian)
perbantahannya, ia mengambil satu potongan api.” Tiba-tiba berkatalah si pandai “ Ya Rasullulah barang ini hak dia.” Maka sahut Rasullulah “Barang siapa 41
http://syariahpublication.com/2010/08/27/pembuktian-terbalik-dalam-perspektif-syariatislam/diakses 18 Juni 2014 42 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), cet. Ke-5 h. 6. 43 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa-Abdillatuh, Cet. IV, (Damaskus: Dar-al-Fikr, 2004), J. VII,. H. 5604.
43
mengambil bagian, dengan perbantahannya, dan mendapatkan hak orang lain, hendaklah ia menyiapkan tempatnya sendiri di neraka.”44 Menurut penulis dimana dalam tindak pidana pencucian uang pasif dapat menggunakan pembuktian terbalik dimana seorang tersangka tindak pidana pencucian uang pasif sudah dianggap bersalah, sehingga ia harus membuktikan bahwa harta yang dimilikinya bukan dari hasil tindak pidana pencucian uang. Seperti yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dalam pasal 77 dan 78 ayat 1 dan 2. Dalam pasal tersebut diatur ketentuan bahwa terdakwa harus mampu membuktikan asal-usul dana yang dimiliki, namun melalui penetapan hakim. Di pasal 77 dan 78 itu dikatakan bahwa terdakwa harus bisa membuktikan asal usul dana yang dimiliki, sedangkan pasal 78 mekanismenya adalah hakim yang memerintahkan terdakwa untuk membuktikan itu. Penerapan pembuktian terbalik ini tidak bisa diterapkan dalam kasus korupsi murni. Melainkan pada kasus korupsi yang memiliki unsur pidana pencucian uang. Jadi ini terkait dengan masalah tindak pidana pencucian uang, kalau semata-mata hanya masalah korupsi, kita tidak bisa menerapkan metode pembuktian terbalik, kita baru bisa menerapkan pembuktian terbalik apabila dakwaannya adalah pencucian uang. 45
44
Syu‟bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur‟an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 403. 45 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Badan Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, (Bandung: PT Alumni, 2008)
44
Mengenai kejahatan asal, dalam kajian tersebut dikatakan bahwa kejahatan asal itu sangat penting dibuktikan, artinya harus didapati dulu adanya kejahatan asal yang hasilnya di cuci. Tetapi menurut Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan, di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Oleh karena itu kejahatan asal akan diselidiki kepada seseorang yang sudah menjadi terpidana.
BAB IV ANALISA SANKSI PIDANA PELAKU PENCUCIAN UANG PASIF
A. Analisa Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif menurut Pidana Islam Apabila perbuatan pencucian uang pasif ini kita samakan dengan pencurian maka sanksi bagi para pelaku tindak pidana pencucian uang pasif dapat dikenakan hukuman ta‟zir. Ta‟zir adalah bentuk sangsi yang bersifat terbuka dan dinamis yang memungkinkan para qadhi (hakim) atau penguasa memiliki wewenang untuk bertindak dalam rangka mengatasi berbagai dekadensi moral dan sosial. Hanya saja, bentuk sangsi ini tidak boleh menyamai sangsi hudud, kecuali pada hal-hal yang sangat darurat.46 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan yang masuk ke dalam jarimah hudud dan qishosh diyat bersifat limitatif, yaitu pada delik-delik tertentu saja yang sudah ditentukan oleh nash. Delik-delik yang masuk dalam dua jarimah tersebut juga terikat oleh syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, kejahatan Money Laundering sebagai suatu kejahatan yang berakibat pada kemudhorotan yang besar dapat dimasukan ke dalam jarimah ta‟zir, yaitu jarimah yang di ancam dengan hukuman ta‟zir (selain hudud dan qishash diyat) di mana pelaksanaanya baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nash atau tidak, baik perbuatan itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa. 46
Abdul Halim Uways, Fiqih statis & Fiqih dinamis,penerjemah: A. Zarkasyi Chumaidy, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 126.
45
46
Untuk hukuman bagi terpidana tindak pidana pencucian uang pasif ini sepenuhnya diserahkan kepada hakim sesuai dengan berat ringannya jarimah dan keadaan terpidana, karena hukuman ta‟zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Khusus terhadap penerapan mati dalam jarimah ta‟zir, pada dasarnya menurut syari‟ah Islam, hukuman ta‟zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta‟dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman ta‟zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqoha‟ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemeberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta‟zir tidak ada hukuman mati. Penulis memang tidak menemukan mengenai Money Laundering di dalam khazanah fiqh jinayat, akan tetapi kejahatan tersebut dapat dimasukkan ke dalam perbuatan fasad. Allah SWT membenci perbuatan fasad dan derivasinya diulang selama 47 kali dalam al- Qur‟an, dan 83 kali dalam hadits yang terdapat dalam kitab-kitab hadits. Fasad mengandung makna yang luas, yaitu: eksploitasi, salah arus,
anarki,
ketidakadilan
dengan
berbagai
bentuknya,
penyia-nyiaan,
penyimpangan moral, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, penyuapan, dan segala bentuk yang menyimpang dari kebenaran.
47
Namun perlu diperhatikan bahwa money laundering merupakan kejahatan yang pasti didahului dengan kejahatan lain. Dari kejahatan-kejahatan yang mendahului money laundering ini ada beberapa yang dikategorikan sebagai jarimah hudud, yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nash yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman hudud yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Misalnya saja pencurian yang jenis hukumannya sudah ditentukan oleh nash. Maka pencuriannya merupakan jarimah tersendiri, sementara untuk pencucian uang juga merupakan jarimah tersendiri yaitu termasuk dalam kategori jarimah ta‟zir yang hukumannya diserahkan sepenuhnya melalui penetapan ulil amri atau kepala negara. Ijtima' Ulama Indonesia menilai kejahatan pencucian sejajar dengan pencurian dan penipuan. Kejahatan ini mendapat perhatian khusus, karena tindak pidana ini belum pernah dibahas para ulama zaman dulu. Ketentuan hukum yang disepakati dalam ijtima' yang diikuti oleh beberapa ulama ini memutuskan lima hal. Pertama, pencucian uang merupakan tindak pidana, karena merupakan bentuk pencurian dan penipuan. Kejahatan ini dinilai terorganisir karena melibatkan sejumlah orang. Pelakunya dipastikan tidak sendirian. Ada yang berperan sebagai pelaku tindak pidana, seperti korupsi misalkan. Kemudian hasil korupsi dimanfaatkan untuk membuka usaha konstruksi bangunan misalkan.
48
Kedua, pelaku tindak pidana ini layak dihukum dengan ancaman hukuman yang berlaku dan kemudian dikucilkan. Mereka harus diberikan pelajaran agar tidak lagi melakukan kejahatan yang sama. "Intinya adalah hukuman yang memberikan efek jera," paparnya. Ketiga, menerima dan memanfaatkan uang yang berasal dari pencucian uang haram hukumnya. Keempat, penerima uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikannya kepada negara. Uang tersebut kemudian dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum. Kelima, penerima hasil pencucian uang tidak perlu dihukum jika sudah mengembalikan hasil itu kepada negara. Hal ini dinilai wajar, karena penerima belum tentu berperan sebagai pelaku kejahatan asal yang kemudian hasilnya diputar dalam proses pencucian uang.47
B. Sanksi Pidana Pencucian Uang Pasif Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pengaturan hukum tindak pidana pencucian uang di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 diundangkan pada 22 oktober 2010 menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang yang sebelumnya juga telah 47
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/07/04/19758/menerima-uang-daritindak-pidana-pencucian-hukumnya-haram artikel diambil 10 juli 2013
49
diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang, yang dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan penegakkan hukum, praktik, dan standar Internasional. Adapun sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana pencucian uang berupa pidana penjara dan pidana denda (diatur dalam ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), dan (2), Pasal 7 ayat (1) dan (2), Pasal 8, Pasal 9 ayat (1) dan (2), dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010). Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucin uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000.00., (sepuluh miliar rupiah). Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00., (lima miliar rupiah). Dari kedua pasal diatas menjelaskan hukuman yang diterima oleh pelaku aktif dari tindak pidana pencucian uang. Menurut pandangan penulis disini, seseorang bisa dikatakan sebagai pelaku aktif karena dia orang pertama yang
50
melakukan tindak pidana pencucian uang tersebut, dia adalah pelaku utama tindak pindana pencucian uang ini. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan. Penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana pencucian uang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000., (satu miliar rupiah).” Menurut penulis dalam pasal 5 ayat 1 ini sudah sangat jelas, siapa yang bisa dikatakan sebagai pelaku pasif , dan sanksi pidana apa yang akan diterima oleh pelaku pasif tersebut. Di mana seorang pelaku pasif tidak bisa dibiarkan saja tanpa adanya sanksi yang tegas. Penulis sangat setuju dengan isi dari Pasal 5 ini, di mana efek jera yang diberikan sangat kuat. Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana diaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 dilakukan oleh korporasi pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau Personil pengendali Korporasi.” Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang . a) Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi. b) Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi. c) Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah, dan. d) Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.” Dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) ini berisi tentang tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi. Korporasi itu sendiri adalah kelompok yang
51
terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau non-finansial baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap koorporasi adalah pidana denda paling banyak Rp 100.000.000.000.00,. (seratus miliar rupiah).” Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. Pengumuman putusan hakim; b. Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi; c. Pencabutan izin usaha; d. Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi; e. Perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau f. Pengambilalihan korporasi oleh negara.” Pasal 7 ayat (1) dan (2) ini berisi tentang sanksi pidana yang diterima oleh korporasi apabila terbukti telah melakukan tindak pidana pencucian uang. Penulis melihat sanksi yang dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) ini sangat jelas dan tegas. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi. “Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan.” Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Dalam hal penjualan harta kekayaan milik korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan
52
pengganti denda dijatuhkan terhadap personil pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayarkan”. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berbunyi: “Setiap orang yang berada didalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.” Penjelasan dari masing-masing Pasal yang penulis tuliskan diatas sudah sangat jelas, dimana bahwa seorang pelaku tindak pidana pencucian uang tersebut akan menerima sanksi pidana, baik itu statusnya sebagai pelaku aktif, pelaku pasif ataupun atas nama korporasi. Sanksi yang diberikan cukup setimpal dengan apa yang telah dilakukan oleh si pelaku tindak pidana tersebut, baik sanksi denda yang harus dibayarkan ataupun pidana kurungan yang dijalaninya. Dari uraian diatas sangat lah jelas bentuk dari berbagai macam hukuman yang diterima oleh pelaku pencucian uang. Untuk lebih jelasnya sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pencucian uang pasif yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagai berikut. “Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 menjelaskan setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana pasal 2 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Yang dimaksud dengan “patut diduganya.” Adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya. Transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.”
53
Berdasarkan penjelasan diatas penulis memiliki pemikiran tentang sanksi pidana yang diterima oleh pelaku pasif tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, seorang pelaku pasif tindak pidana pencucian uang dapat dikenakan hukuman penjara ataupun denda, sedangkan dalam hukum pidana Islam seorang pelaku pasif tindak pidana pencucian uang apabila sudah mengembalikan uang yang diterimanya secara keseluruhan kepada negara, maka dia sudah bisa dibebaskan tanpa ada tambahan hukuman penjara ataupun denda. Penulis sendiri lebih setuju dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010, dimana seorang pelaku pasif tindak pidana pencucian uang bisa dikenakan hukuman penjara ataupun denda. Agar masyarakat bisa lebih berhati-hati apabila mendapatkan hadiah atau uang dalam jumlah yang besar, supaya terlebih dahulu diselidiki asal usul hadiah atau uang yang diterima.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan perumusan masalah dalam skripsi ini, maka penulis memberikan kesimpulan atas masalah yang telah penulis rumuskan adalah sebagai berikut: 1. Menurut hukum Islam, pencucian uang termasuk sebagai perbuatan yang dilarang. Karena dapat merugikan banyak orang, baik dalam skala nasional maupun internasional. Pencucian uang sendiri dalam hukum Islam klasik tidak ada pengaturannya. Para ulama mengkategorikan pencucian uang sama dengan pencurian. Dimana sama-sama mengambil harta orang lain dan merugikan orang lain. Menurut penulis sendiri perbedaan antara pelaku pencucian uang dengan seorang pencuri hanya berbeda dari segi tata cara perbuatan mereka. Dimana seorang pelaku pencucian uang sudah lebih matang mempersiapkan, harta yang bukan hasil dari dirinya sendiri untuk dialihkan agar negara atau orang lain tidak bisa mengetahui asal usul harta yang diperolehnya. Sedangkan seorang pencuri, sama-sama mengambil harta orang lain dan seorang pencuri hanya akan menyimpan atau langsung menggunakan hasil rampasannya tersebut tanpa perlu di alihkan. Mengacu kepada hal tersebut maka para ulama sepakat untuk mengkategorikan tindak pidana pencucian uang termasuk dengan pencurian. Pelaku tindak pidana pencucian uang tentu mendapatkan hukuman.
54
55
2. Dalam hukum Islam proses pidana yang dilakukan seorang pelaku tindak pidana pencucian uang di serahkan sepenuhnya kepada hakim. Karena dikategorikan sebagai jarimah ta‟zir sehingga hakim lah yang berhak menentukan besar dan beratnya hukuman tersebut dengan berdasarkan keadilan bagi masyarakat umum. Pelaku pasif tindak pidana pencucian uang dalam hukum Iislam sendiri. Apabila pelaku sudah mengembalikan segala keseluruhan harta yang diterima dari hasil pencucian uang kepada negara, maka pelaku pasif tersebut tidak perlu di berikan hukuman penjara taupun sanksi denda. Karena sudah dianggap selesai. Pelaku tindak pidana pencucian uang tentu mendapatkan hukuman. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sudah sangat jelas di pasal 3, 4 dan 5 ayat 1. Dimana disebutkan dalam pasal tersebut baik pelaku aktif dan pelaku pasif tindak pidana pencucian uang dapat di penjara dan denda. Seorang pelaku aktif tindak pidana pencucian uang di pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda Rp. 5.000.000.000,00 sampai dengan Rp. 10.000.000.000,00. Sedangkan seorang pelaku pasif tindak pidana pencucian uang dapat di pidana penjara 5 tahun dan denda Rp. 1.000.000.000,00. 3. Alasan penjatuhan pidana terhadap seorang pelaku pasif tindak pidana pencucian uang adalah, agar masyarakat bisa lebih berhati-hati. Apabila menerima sumbangan atau hadiah berupa uang ataupun yang lainnya, yang berasal dari seseorang dikenal ataupun yang tidak dikenal tanpa alasan yang jelas jangan langsung diterima begitu saja. Melainkan harus dicari tahu
56
terlebih dahulu darimana asal-usul dan untuk alasan apa kita mendapatkan hadiah atau sumbangan tersebut?. Apabila si pemberi sumbangan atau hadiah tersebut tidak bisa menjelaskan apa yang di tanyakan akan lebih baik kita tidak langsung menerimanya. Karena bisa saja sumbangan atau hadiah tersebut hanya sebuah kamuflase bahwa itu hasil dari tindak pidana pencucian uang. Apabila kita tetap menerimanya walaupun kita sudah mengetahui darimana asal usul sumbangan atau hadiah tersebut dan ternyata berasal dari tindak pidana pencucian uang, maka dapat di katakan kita sebagai pelaku pencucian uang pasif. Dan untuk itu penulis beranggapan bahwa perlu adanya sanksi pidana yang tegas bagi pelaku pencucian uang pasif. Agar bisa menimbulkan efek jera yang bagus di masyarakat dan juga agar masyarakat bisa lebih berhati-hati apabila menemukan hal-hal yang seperti itu agar segera melaporkannya ke pihak yang berwenang. Penulis mendapatkan kesimpulan yang besar terhadap pelaku pasif tindak pidana pencucian uang. Dimana penulis mengambil kesimpulan, baik pelaku aktif maupun pelaku pasif samasama bersalah. Walaupun seorang pelaku pasif merasa bahwa mereka tidak secara langsung mengetahui asal usul hadiah atau harta yang diterima tersebut hasil dari tindak pidana pencucian uang. Untuk itu penulis merasa agar masyarakat lebih berhati-hati dalam menerima bantuan baik hadiah maupun harta dari seseorang, alangkah lebih baiknya kita sebagai masyarakat lebih menyelidiki asal usul hadiah atau harta yang diberikan tersebut, agar kita sebagai masyarakat tidak ikut dalam perbuatan tindak pidana pencucian uang tersebut.
57
B. Saran Berdasarkan penjelasan diatas penulis sendiri memiliki saran khususnya untuk tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Terutama pelaku tindak pidana tersebut. Selain kita lebih berhati-hati sebagai masyarakat umum. Alangkah lebih baik jika sosialisasi tentang tindak pidana pencucian uang ini harus sering dilakukan, baik oleh aparat penegak hukum itu sendiri maupun masyarakat yang lebih mengerti tentang tindak pidana pencucian uang ini. Dimana menurut penulis, masyarakat saat ini masih banyak yang kurang paham dan mengerti apa itu tindak pidana pencucian uang? Sehingga ketika mereka menerima hadiah atau harta dari seseorang, dan ternyata hadiah atau harta tersebut hasil dari tindak pidana pencucian uang, mereka tidak terima di katakan sebagai pelaku pasif, karena mereka menganggap mereka hanyalah korban. Seperti dalam kasus yang sedang fenomenal saat ini tentang impor daging yang melibatkan Ahmad Fathonah. Dimana Ahmad Fathonah memberikan hadiah atau harta kepada beberapa teman perempuannya, dengan dalih diberikan karena ada kerja sama ataupun pemberian secara cuma-cuma. Apabila melihat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, maka jelas sekali perempuan-perempuan tersebut dapat dipidana kan. Itupun apabila aparat hukum bertujuan untuk menegakkan keadilan. Meskipun mereka sudah mengembalikan hadiah atau harta tersebut kepada negara. Saran penulis yang sangat jelas disini adalah, apabila memang sudah di atur dalam sebuah undang-undang. Pelaku pasif tindak pidana pencucian uang
58
tersebut harus di hukum sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam UndangUndang tersebut. Agar sebuah undang-undang tidak hanya sebatas sebagai wacana saja, tetapi juga di terapkan dalam masyarakat. Dan juga sosialisasi sebuah undang-undang perlu diperbaiki agar seluruh masyarakat mengerti bahwa negara kita memiliki Undang-Undang yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang. Dimana didalam Undang-Undang tersebut banyak dijelaskan tentang pencucian uang dan siapa saja yang bisa dijerat dengan Undang-Undang tersebut. Agar masyarakat tidak menjadi korban bahkan pelaku pasif tindak pidana pencucian uang.
DAFTAR PUSTAKA Abu, Muhammad Zahra. Al Jarimah wa Al‟Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy. Kairo: Maktabah Al Angelo Al Mishriyah. Tanpa tahun. AF, Hasanuddin, dkk. Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta: Kerja sama antara Pustaka alHusna dengan UIN Press, 2003. Al Faruq, Asadulloh. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Pidana Islam. Bogor: Ghalia Indonesia, 2009. Alfitrah . Gugur Atau Batalnya Hak Penuntutan Serta Menjalankan Pidana Menurut Hukum Positif Indonesia. Jakarta: Sejahtera Printing. 2009. Amrullah, M. Arief, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering. Malang: Bayumedia. 2004. Arief, M., Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, Cet. II. Malang: Bayumedia Publishing. 2010. Asa, Syu‟bah. Dalam Cahaya Al-Qur‟an, Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2000. Asy, Jalaluddin Syuthi, Al Asybahwa An Nazhair. Kairo: Dar Al Fikr. Tanpa Tahun. Bakr, Abu Jabir Al Jazairi, Ensiklopedi Muslim: Minkhajul Muslim. Jakarta: Darul Falah. 2003. Hadi, Sutrisno. Metodologi Reaserch. Yogyakarta; Andi Offset. 1990. Halim, Abdul. Uways, Fiqih statis & Fiqih dinamis, penerjemah: A. Zarkasyi Chumaidy. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Hanafi, Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1993. Kejaksaan Agung, Himpunan Amanat Jaksa Agung Republik Indonesi. Kejagung RI. 1981. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta; Kencana, 2007. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif. Yogyakarta: LabHukum FHUMY. 2008.
59
60
Mulyadi, Lilik. Asas Pembalikan Badan Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi. Bandung: PT Alumni. 2008. Prodjodikoro, Wirjono. Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. 2003. Qadir, Abdul Audah. At Tasyri „Al-Jinaiy Al-Islamiy. Beirut: Dar Al-Kitab Al‟Araby. Tanpa Tahun. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. 2003. Syamsuddin, Aziz., Tindak Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika. 2011. Cet II. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Wandi, Ahmad Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2004. Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islamy wa-Abdillatuh, Cet. IV. Damaskus: Dar-al-Fikr, 2004.
Internet http://0sprey.wordpress.com/2012/05/29/pengertian-dan-metode-tindak-pidanapencucian-uang/ diakses 27 juli 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum Kamis, 17 Juli 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang artikel diambil pada 10 juli 2013. http://news.detik.com/read/2013/05/12/064425/2243405/10/kpk-bisa-jerat-penerimapasif-duit-fathanah-dengan-pasal-pencucian-uang artikel diambil 5 juli 2013. http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/07/04/19758/menerima-uangdari-tindak-pidana-pencucian-hukumnya-haram artikel diambil pada 10 juli 2013. http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/07/04/19758/menerima-uangdari-tindak-pidana-pencucian-hukumnya-haram artikel diambil 10 juli 2013.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Mengingat
:
:
a.
bahwa tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana;
c.
bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: . . .
-2-
MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.
Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
2.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.
3.
Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.
4.
Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.
5.
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
6. Transaksi . . .
-3-
6.
Transaksi Keuangan Tunai adalah Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam.
7.
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai dugaan adanya tindak pidana.
8.
Hasil Pemeriksaan adalah penilaian akhir dari seluruh proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional yang disampaikan kepada penyidik.
9.
Setiap Orang adalah orang perseorangan atau Korporasi.
10. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 11. Pihak Pelapor adalah Setiap Orang yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan kepada PPATK. 12. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa Pihak Pelapor. 13. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung. 14. Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan Korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya. 15. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang. 16. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a.
tulisan, suara, atau gambar; b. peta . . .
-4-
b.
peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
c.
huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
17. Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor. 18. Pengawasan Kepatuhan adalah serangkaian kegiatan Lembaga Pengawas dan Pengatur serta PPATK untuk memastikan kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini dengan mengeluarkan ketentuan atau pedoman pelaporan, melakukan audit kepatuhan, memantau kewajiban pelaporan, dan mengenakan sanksi. Pasal 2 (1)
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. u.
korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; v. di bidang . . .
-5-
v. w. x. y. z.
(2)
di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n. BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 3
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 4 Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 5 . . .
-6-
Pasal 5 (1)
Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. Pasal 6
(1)
Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi.
(2)
Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang: a.
dilakukan atau diperintahkan Pengendali Korporasi;
oleh
Personil
b.
dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c.
dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d.
dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi. Pasal 7
(1)
Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2)
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a.
pengumuman putusan hakim;
b.
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi; c. pencabutan . . .
-7-
c.
pencabutan izin usaha;
d.
pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
e.
perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
f.
pengambilalihan Korporasi oleh negara. Pasal 8
Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Pasal 9 (1)
Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
(2)
Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar. Pasal 10
Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
BAB III . . .
-8-
BAB III TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 11 (1)
Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2)
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12
(1)
Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
(2)
Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur. Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada Pengguna Jasa atau pihak lain.
(3)
(4)
(5)
Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang-Undang ini. Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 13 . . .
-9-
Pasal 13 Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. Pasal 14 Setiap Orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 15 Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 16 Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. BAB IV PELAPORAN DAN PENGAWASAN KEPATUHAN Bagian Kesatu Pihak Pelapor Pasal 17 (1)
Pihak Pelapor meliputi: a. penyedia jasa keuangan: 1. bank; 2. perusahaan pembiayaan; 3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; 4. dana . . .
- 10 -
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. b.
penyedia barang dan/atau jasa lain: 1. 2. 3. 4. 5.
(2)
dana pensiun lembaga keuangan; perusahaan efek; manajer investasi; kustodian; wali amanat; perposan sebagai penyedia jasa giro; pedagang valuta asing; penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; penyelenggara e-money dan/atau e-wallet; koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam; pegadaian; perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; atau penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang. perusahaan properti/agen properti; pedagang kendaraan bermotor; pedagang permata dan perhiasan/logam mulia; pedagang barang seni dan antik; atau balai lelang.
Ketentuan mengenai Pihak Pelapor selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Pasal 18 (1)
Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(2)
Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kewajiban . . .
- 11 -
(3)
Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat: a. b.
c.
d.
melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa; terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa.
(4)
Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
(5)
Prinsip mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat:
(6)
a.
identifikasi Pengguna Jasa;
b.
verifikasi Pengguna Jasa; dan
c.
pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, ketentuan mengenai prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan Peraturan Kepala PPATK. Pasal 19
(1)
Setiap Orang yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor wajib memberikan identitas dan informasi yang benar yang dibutuhkan oleh Pihak Pelapor dan sekurang-kurangnya memuat identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan Dokumen pendukungnya.
(2)
Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan informasi mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi pihak lain tersebut. Pasal 20 . . .
- 12 -
Pasal 20 (1)
Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain.
(2)
Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain, Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas dan Dokumen pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain tersebut.
(3)
Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi dengan orang tersebut. Pasal 21
(1)
Identitas dan Dokumen pendukung yang diminta oleh Pihak Pelapor harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur.
(2)
Pihak Pelapor wajib menyimpan catatan dan Dokumen mengenai identitas pelaku Transaksi paling singkat 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan Pengguna Jasa tersebut.
(3)
Pihak Pelapor yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 22
(1)
(2)
Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib memutuskan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa jika: a.
Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa; atau
b.
penyedia jasa keuangan meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Pengguna Jasa.
Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkannya kepada PPATK mengenai tindakan pemutusan hubungan usaha tersebut sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan. Bagian . . .
- 13 -
Bagian Ketiga Pelaporan Paragraf 1 Penyedia Jasa Keuangan Pasal 23 (1)
Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi: a.
Transaksi Keuangan Mencurigakan;
b.
Transaksi Keuangan Tunai dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja; dan/atau
c.
Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri.
(2)
Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Keputusan Kepala PPATK.
(3)
Besarnya jumlah Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri yang wajib dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Kepala PPATK.
(4)
Kewajiban pelaporan atas Transaksi Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikecualikan terhadap:
(5)
a.
Transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan dengan pemerintah dan bank sentral;
b.
Transaksi untuk pembayaran gaji atau pensiun; dan
c.
Transaksi lain yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan penyedia jasa keuangan yang disetujui oleh PPATK.
Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk Transaksi yang dikecualikan. Pasal 24 . . .
- 14 -
Pasal 24 (1)
Penyedia jasa keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4).
(2)
Penyedia jasa keuangan yang tidak membuat dan menyimpan daftar Transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 25
(1)
Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dilakukan sesegera mungkin paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan.
(2)
Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
(3)
Penyampaian laporan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
(4)
Penyedia jasa keuangan yang tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikenai sanksi administratif.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala PPATK. Pasal 26
(1)
Penyedia jasa keuangan dapat melakukan penundaan Transaksi paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak penundaan Transaksi dilakukan.
(2) Penundaan . . .
- 15 -
(2)
Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Pengguna Jasa: a.
melakukan Transaksi yang patut diduga menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
b.
memiliki rekening untuk menampung Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); atau
c.
diketahui dan/atau patut diduga menggunakan Dokumen palsu.
(3)
Pelaksanaan penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam berita acara penundaan Transaksi.
(4)
Penyedia jasa keuangan memberikan salinan berita acara penundaan Transaksi kepada Pengguna Jasa.
(5)
Penyedia jasa keuangan wajib melaporkan penundaan Transaksi kepada PPATK dengan melampirkan berita acara penundaan Transaksi dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak waktu penundaan Transaksi dilakukan.
(6)
Setelah menerima laporan penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) PPATK wajib memastikan pelaksanaan penundaan Transaksi dilakukan sesuai dengan Undang-Undang ini.
(7)
Dalam hal penundaan Transaksi telah dilakukan sampai dengan hari kerja kelima, penyedia jasa keuangan harus memutuskan akan melaksanakan Transaksi atau menolak Transaksi tersebut. Paragraf 2 Penyedia Barang dan/atau Jasa lain Pasal 27
(1)
Penyedia barang dan/atau jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan Transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada PPATK. (2) Laporan . . .
- 16 -
(2)
Laporan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan.
(3)
Penyedia barang dan/atau jasa lain yang tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif. Paragraf 3 Pelaksanaan Kewajiban Pelaporan Pasal 28
Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Pihak Pelapor dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor yang bersangkutan. Pasal 29 Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini. Pasal 30 (1)
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan Pasal 27 ayat (3) dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)
Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, pengenaan sanksi administratif terhadap Pihak Pelapor dilakukan oleh PPATK.
(3)
Sanksi administratif yang dikenakan oleh PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: a.
peringatan;
b.
teguran tertulis;
c.
pengumuman kepada publik mengenai tindakan atau sanksi; dan/atau
d.
denda administratif.
(4) Penerimaan . . .
- 17 -
(4)
(5)
Penerimaan hasil denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dinyatakan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala PPATK. Bagian Keempat Pengawasan Kepatuhan Pasal 31
(1)
(2)
(3)
(4)
Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban pelaporan bagi Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK. Dalam hal Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atau belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, Pengawasan Kepatuhan atas kewajiban pelaporan dilakukan oleh PPATK. Hasil pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan yang dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada PPATK. Tata cara pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK sesuai dengan kewenangannya. Pasal 32
Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur menemukan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang tidak dilaporkan oleh Pihak Pelapor kepada PPATK, Lembaga Pengawas dan Pengatur segera menyampaikan temuan tersebut kepada PPATK. Pasal 33 Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib memberitahukan kepada PPATK setiap kegiatan atau Transaksi Pihak Pelapor yang diketahuinya atau patut diduganya dilakukan baik langsung maupun tidak langsung dengan tujuan melakukan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. BAB V . . .
- 18 -
BAB V PEMBAWAAN UANG TUNAI DAN INSTRUMEN PEMBAYARAN LAIN KE DALAM ATAU KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA Pasal 34 (1)
Setiap orang yang membawa uang tunai dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau instrumen pembayaran lain dalam bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup bayar, atau bilyet giro paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia wajib memberitahukannya kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib membuat laporan mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan.
(3)
PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 35
(1)
Setiap orang yang tidak memberitahukan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa dengan jumlah paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2)
Setiap orang yang telah memberitahukan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), tetapi jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa lebih besar dari jumlah yang diberitahukan dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari kelebihan jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa dengan jumlah paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (3) Sanksi . . .
- 19 -
(3)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang berkaitan dengan pembawaan uang tunai diambil langsung dari uang tunai yang dibawa dan disetorkan ke kas negara oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4)
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus membuat laporan mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan menyampaikannya kepada PPATK paling lama 5 (lima) hari kerja sejak sanksi administratif ditetapkan. Pasal 36
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain, pengenaan sanksi administratif, dan penyetoran ke kas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 37 (1)
PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun.
(2)
PPATK bertanggung jawab kepada Presiden.
(3)
Setiap Orang dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
(4)
PPATK wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Pasal 38
(1)
PPATK berkedudukan di Republik Indonesia.
Ibukota
Negara
Kesatuan
(2)
Dalam hal diperlukan, perwakilan PPATK dapat dibuka di daerah. Bagian . . .
- 20 -
Bagian Kedua Tugas, Fungsi, dan Wewenang Pasal 39 PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang. Pasal 40 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, PPATK mempunyai fungsi sebagai berikut: a.
pencegahan dan Pencucian Uang;
pemberantasan
tindak
pidana
b.
pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
c.
pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan
d.
analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 41
(1)
Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK berwenang: a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan; c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait; d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang; e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; f. menyelenggarakan . . .
- 21 -
f.
menyelenggarakan program pendidikan pelatihan antipencucian uang; dan
dan
g.
menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
(2)
Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 42
Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b, PPATK berwenang menyelenggarakan sistem informasi. Pasal 43 Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c, PPATK berwenang: a.
menetapkan ketentuan dan pelaporan bagi Pihak Pelapor;
pedoman
tata
cara
b.
menetapkan kategori Pengguna Jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana Pencucian Uang;
c.
melakukan audit kepatuhan atau audit khusus;
d.
menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Pihak Pelapor;
e.
memberikan peringatan kepada Pihak Pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan;
f.
merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha Pihak Pelapor; dan
g.
menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali Pengguna Jasa bagi Pihak Pelapor yang tidak memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur.
Pasal 44 . . .
- 22 -
Pasal 44 (1) Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, PPATK dapat: a.
meminta dan menerima laporan dan informasi dari Pihak Pelapor;
b.
meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;
c.
meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK;
d.
meminta informasi kepada Pihak berdasarkan permintaan dari instansi hukum atau mitra kerja di luar negeri;
e.
meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun di luar negeri;
f.
menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana Pencucian Uang;
g.
meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana Pencucian Uang;
h.
merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
i.
meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;
j.
meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana Pencucian Uang;
k.
mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan
l.
meneruskan hasil kepada penyidik.
analisis
atau
Pelapor penegak
pemeriksaan
(2) Penyedia . . .
- 23 -
(2)
Penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i harus segera menindaklanjuti setelah menerima permintaan dari PPATK. Pasal 45
Dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan. Pasal 46 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewenangan PPATK diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Ketiga Akuntabilitas Pasal 47 (1)
PPATK membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara berkala setiap 6 (enam) bulan.
(2)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Bagian Keempat Susunan Organisasi Pasal 48
Susunan organisasi PPATK terdiri atas: a. kepala; b. wakil kepala; c. jabatan struktural lain; dan d. jabatan fungsional. Pasal 49 (1)
Kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a mewakili PPATK di dalam dan di luar pengadilan. (2) Kepala . . .
- 24 -
(2)
Kepala PPATK dapat menyerahkan kewenangan mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wakil Kepala PPATK, seorang atau beberapa orang pegawai PPATK, dan/atau pihak lain yang khusus ditunjuk untuk itu. Pasal 50
Kepala PPATK adalah penanggung jawab yang memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang PPATK. Pasal 51 Untuk dapat diangkat sebagai Kepala atau Wakil Kepala PPATK, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. warga negara Indonesia; b. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan; c. sehat jasmani dan rohani; d. takwa, jujur, adil, dan memiliki integritas pribadi yang baik; e. memiliki salah satu keahlian di bidang ekonomi, akuntansi, keuangan, atau hukum dan pengalaman kerja di bidang tersebut paling singkat 10 (sepuluh) tahun; f. bukan pemimpin partai politik; g. bersedia memberikan informasi mengenai daftar Harta Kekayaan; h. tidak merangkap jabatan atau pekerjaan lain; dan i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara. Pasal 52 (1)
Wakil Kepala PPATK bertugas membantu Kepala PPATK.
(2)
Wakil Kepala PPATK dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Kepala PPATK.
(3)
Dalam hal Kepala PPATK berhalangan, Wakil Kepala PPATK bertanggung jawab memimpin dan mengendalikan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang PPATK. Pasal 53 . . .
- 25 -
Pasal 53 Kepala dan Wakil Kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a dan huruf b diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 54 (1)
Kepala dan Wakil Kepala PPATK sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama dan kepercayaannya di hadapan Presiden.
(2)
Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya untuk menjadi Kepala/Wakil Kepala PPATK langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apa pun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapa pun". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apa pun". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan kepada siapa pun hal-hal yang menurut peraturan perundang-undangan wajib dirahasiakan". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewenangan selaku Kepala/Wakil Kepala PPATK dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab". "Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia terhadap negara, konstitusi, dan peraturan perundangundangan yang berlaku". Pasal 55
Kepala dan Wakil Kepala PPATK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Pasal 56 Jabatan Kepala atau Wakil Kepala PPATK berhenti karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan . . .
- 26 -
b.
mengundurkan diri;
c.
berakhir masa jabatannya; atau
d.
diberhentikan. Pasal 57
(1)
Pemberhentian Kepala atau Wakil Kepala PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf d dilakukan karena: a. bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia; c. menderita sakit terus-menerus yang penyembuhannya memerlukan waktu lebih dari 3 (tiga) bulan yang tidak memungkinkan melaksanakan tugasnya; d. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; e. f.
merangkap jabatan; dinyatakan pailit oleh pengadilan; atau
g.
melanggar sumpah atau janji jabatan.
(2)
Dalam hal Kepala dan/atau Wakil Kepala PPATK menjadi terdakwa tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan jabatannya, Kepala dan/atau Wakil Kepala PPATK diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3)
Dalam hal tuntutan terhadap Kepala dan/atau Kepala PPATK menjadi terdakwa dinyatakan terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, jabatan bersangkutan dipulihkan kembali.
(4)
Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden.
Wakil tidak telah yang
Pasal 58 (1)
Kepala dan Wakil Kepala PPATK berhak memperoleh penghasilan, hak-hak lain, penghargaan, dan fasilitas.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghasilan, hak-hak lain, penghargaan, dan fasilitas bagi Kepala dan Wakil Kepala PPATK diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 59 . . .
- 27 -
Pasal 59 Kepala PPATK dapat mengangkat tenaga ahli paling banyak 5 (lima) orang untuk memberikan pertimbangan mengenai masalah tertentu sesuai dengan bidang keahliannya. Pasal 60 Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja PPATK diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Kelima Manajemen Sumber Daya Manusia Pasal 61 Kepala PPATK adalah pejabat pembina kepegawaian di lingkungan PPATK. Pasal 62 (1)
Kepala PPATK selaku pejabat pembina kepegawaian menyelenggarakan manajemen sumber daya manusia PPATK yang meliputi perencanaan, pengangkatan, pemindahan, pengembangan, pemberhentian, dan pemberian remunerasi.
(2)
Penyelenggaraan manajemen sumber daya manusia PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan dilaksanakan berdasarkan prinsip meritokrasi.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai manajemen sumber daya manusia PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Pembiayaan Pasal 63
Biaya untuk pelaksanaan tugas PPATK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB VII . . .
- 28 -
BAB VII PEMERIKSAAN DAN PENGHENTIAN SEMENTARA TRANSAKSI Pasal 64 (1) PPATK melakukan pemeriksaan terhadap Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait dengan adanya indikasi tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain. (2) Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain, PPATK menyerahkan Hasil Pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. (3) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyidik melakukan koordinasi dengan PPATK. Pasal 65 (1)
(2)
PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) huruf i. Dalam hal penyedia jasa keuangan memenuhi permintaan PPATK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan penghentian sementara dicatat dalam berita acara penghentian sementara Transaksi. Pasal 66
(1)
(2)
Penghentian sementara Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima berita acara penghentian sementara Transaksi. PPATK dapat memperpanjang penghentian sementara Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja untuk melengkapi hasil analisis atau pemeriksaan yang akan disampaikan kepada penyidik. Pasal 67
(1) Dalam hal tidak ada orang dan/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara Transaksi, PPATK menyerahkan penanganan Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. (2) Dalam . . .
- 29 -
(2)
(3)
Dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan Harta Kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memutus dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
BAB VIII PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Bagian Kesatu Umum Pasal 68 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pasal 69 Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Pasal 70 (1)
(2)
Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan penundaan Transaksi terhadap Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai: a. nama dan jabatan yang meminta penundaan Transaksi;
b. identitas . . .
- 30 -
b.
identitas Setiap Orang yang Transaksinya akan dilakukan penundaan;
c.
alasan penundaan Transaksi; dan
d.
tempat Harta Kekayaan berada.
(3)
Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja.
(4)
Pihak Pelapor wajib melaksanakan penundaan Transaksi sesaat setelah surat perintah/permintaan penundaan Transaksi diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim.
(5)
Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan penundaan Transaksi kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang meminta penundaan Transaksi paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan penundaan Transaksi. Pasal 71
(1)
Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan pemblokiran Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari: a. b. c.
(2)
(3)
Setiap Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik; tersangka; atau terdakwa.
Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai: a.
nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b.
identitas Setiap Orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa;
c.
alasan pemblokiran;
d.
tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e.
tempat Harta Kekayaan berada.
Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.
(1)
(4) Dalam . . .
- 31 -
(4)
Dalam hal jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, Pihak Pelapor wajib mengakhiri pemblokiran demi hukum.
(5)
Pihak Pelapor wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima dari penyidik, penuntut umum, atau hakim.
(6)
Pihak Pelapor wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim yang memerintahkan pemblokiran paling lama 1 (satu) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.
(7)
Harta Kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Pihak Pelapor yang bersangkutan. Pasal 72
(1)
Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana Pencucian Uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari: a. b. c.
orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik; tersangka; atau terdakwa.
(2)
Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lain.
(3)
Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dengan menyebutkan secara jelas mengenai: a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas orang yang terindikasi dari hasil analisis atau pemeriksaan PPATK, tersangka, atau terdakwa; c. uraian singkat tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan d. tempat Harta Kekayaan berada.
(4) Permintaan . . .
- 32 -
(4)
Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disertai dengan: a. b. c.
laporan polisi dan surat perintah penyidikan; surat penunjukan sebagai penuntut umum; atau surat penetapan majelis hakim.
(5)
Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) harus ditandatangani oleh: a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum; atau d. hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
(6)
Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditembuskan kepada PPATK. Pasal 73
Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang ialah: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan Dokumen. Bagian Kedua Penyidikan Pasal 74 Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.
Pasal 75 . . .
- 33 -
Pasal 75 Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK. Bagian Ketiga Penuntutan Pasal 76 (1)
(2)
Penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana Pencucian Uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap. Dalam hal penuntut umum telah menyerahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan negeri wajib membentuk majelis hakim perkara tersebut paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya berkas perkara tersebut. Bagian Keempat Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Pasal 77
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pasal 78 (1)
(2)
Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. Pasal 79 . . .
- 34 -
Pasal 79 (1)
(2)
(3)
(4)
(5) (6)
Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian Uang, hakim atas tuntutan penuntut umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang telah disita. Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dimohonkan upaya hukum. Setiap Orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 80
(1)
(2)
Dalam hal hakim memutus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3), terdakwa dapat mengajukan banding. Pengajuan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan langsung oleh terdakwa paling lama 7 (tujuh) hari setelah putusan diucapkan. Pasal 81
Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada Harta Kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan penyitaan Harta Kekayaan tersebut. Pasal 82 . . .
- 35 -
Pasal 82 Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi, panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. BAB IX PELINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI Pasal 83 (1)
Pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan Pihak Pelapor dan pelapor.
(2)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan. Pasal 84
(1)
Setiap Orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana Pencucian Uang wajib diberi pelindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
(2)
Ketentuan mengenai tata cara pemberian pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 85
(1)
Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
(2)
Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 86 . . .
- 36 -
Pasal 86 (1)
(2)
Setiap Orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang wajib diberi pelindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Ketentuan mengenai tata cara pemberian pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 87
(1)
(2)
Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas laporan dan/atau kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan. Saksi yang memberikan keterangan palsu di atas sumpah dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
BAB X KERJA SAMA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Pasal 88 (1)
(2)
(1)
(2)
Kerja sama nasional yang dilakukan PPATK dengan pihak yang terkait dituangkan dengan atau tanpa bentuk kerja sama formal. Pihak yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pihak yang mempunyai keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia. Pasal 89 Kerja sama internasional dilakukan oleh PPATK dengan lembaga sejenis yang ada di negara lain dan lembaga internasional yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. Kerja sama internasional yang dilakukan PPATK dapat dilaksanakan dalam bentuk kerja sama formal atau berdasarkan bantuan timbal balik atau prinsip resiprositas. Pasal 90 . . .
- 37 -
(1)
(2)
(3)
Pasal 90 Dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang, PPATK dapat melakukan kerja sama pertukaran informasi berupa permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi dengan pihak, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, yang meliputi: a. instansi penegak hukum; b. lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan; c. lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; d. lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang; dan e. financial intelligence unit negara lain. Permintaan, pemberian, dan penerimaan informasi dalam pertukaran informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas inisiatif sendiri atau atas permintaan pihak yang dapat meminta informasi kepada PPATK. Permintaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPATK diajukan secara tertulis dan ditandatangani oleh: a. hakim ketua majelis; b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah; c. Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi; d. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik, selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; e. pemimpin, direktur atau pejabat yang setingkat, atau pemimpin satuan kerja atau kantor di lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penyedia jasa keuangan; f. pimpinan lembaga yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; g. pimpinan dari lembaga lain yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang atau tindak pidana lain terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang; atau h. pimpinan financial intelligence unit negara lain. Pasal 91 . . .
- 38 -
(1)
(2)
(1)
(2)
Pasal 91 Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan jika negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas. Pasal 92 Untuk meningkatkan koordinasi antarlembaga terkait dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang, dibentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pembentukan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang diatur dengan Peraturan Presiden. BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 93
Dalam hal ada perkembangan konvensi internasional atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan pendanaan terorisme, PPATK dan instansi terkait dapat melaksanakan ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 94 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. PPATK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, ditetapkan sebagai PPATK berdasarkan Undang-Undang ini. b. PPATK . . .
- 39 -
b.
PPATK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tetap menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini.
c.
Susunan organisasi PPATK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tetap berlaku sampai terbentuknya susunan organisasi PPATK yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
d.
Kepala dan Wakil Kepala PPATK yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tetap menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya sampai dengan diangkatnya Kepala dan Wakil Kepala PPATK yang baru paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
e.
Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2004 tetap menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya sampai dibentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 95
Tindak Pidana Pencucian Uang yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, diperiksa dan diputus dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. BAB XIII . . .
- 40 -
BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 96 Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dilaksanakan paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 97 Pelaksanaan kewajiban pelaporan Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 98 Semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 99 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 100 Undang-Undang diundangkan.
ini
mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar . . .
- 41 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 122
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,
Setio Sapto Nugroho
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
I. UMUM Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konsep antipencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil tindak pidana tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila Harta Kekayaan hasil tindak pidana yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang memerlukan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian Harta Kekayaan hasil tindak pidana. Penelusuran Harta Kekayaan hasil tindak pidana pada umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan melaporkan Transaksi tertentu kepada otoritas (financial intelligence unit) sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya disampaikan kepada penyidik.
Lembaga . . .
-2-
Lembaga keuangan tidak hanya berperan dalam membantu penegakan hukum, tetapi juga menjaga dirinya dari berbagai risiko, yaitu risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya Transaksi, dan reputasi karena tidak lagi digunakan sebagai sarana dan sasaran oleh pelaku tindak pidana untuk mencuci uang hasil tindak pidana. Dengan pengelolaan risiko yang baik, lembaga keuangan akan mampu melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga pada gilirannya sistem keuangan menjadi lebih stabil dan terpercaya. Dalam perkembangannya, tindak pidana Pencucian Uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan Pihak Pelapor (reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang perlu dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan Harta Kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi. Penanganan tindak pidana Pencucian Uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif. Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif. Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana Undang-Undang ini.
Untuk . . .
-3-
Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, perlu disusun Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10. 11. 12. 13. 14. 15.
redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang; penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana Pencucian Uang; pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif; pengukuhan penerapan prinsip mengenali Pengguna Jasa; perluasan Pihak Pelapor; penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya; penataan mengenai Pengawasan Kepatuhan; pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda Transaksi; perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean; pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana Pencucian Uang; perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK; penataan kembali kelembagaan PPATK; penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara Transaksi; penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana Pencucian Uang; dan pengaturan mengenai penyitaan Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 . . .
-4-
Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “penyuapan” adalah penyuapan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang mengenai tindak pidana suap. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “penyelundupan tenaga kerja” adalah penyelundupan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Huruf f Yang dimaksud dengan “penyelundupan migran” adalah penyelundupan migran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai keimigrasian. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Yang dimaksud dengan “perdagangan orang” adalah perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Huruf m . . .
-5-
Huruf m Yang dimaksud dengan “perdagangan senjata gelap” adalah perdagangan senjata gelap sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang mengubah "Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen" (Staatsblad 1948: 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Yang dimaksud dengan “penculikan” adalah penculikan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Yang dimaksud dengan “prostitusi” adalah prostitusi sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Cukup jelas. Huruf y . . .
-6-
Huruf y Cukup jelas. Huruf z Cukup jelas. Berdasarkan ketentuan ini, maka dalam menentukan hasil tindak pidana, Undang-Undang ini menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi yang memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya Transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Korporasi mencakup juga kelompok yang terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau non-finansial baik secara langsung maupun tidak langsung. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
-7-
Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Ketentuan ini termasuk sebagai ketentuan mengenai rahasia jabatan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Ketentuan ini dikenal sebagai “anti-tipping off”. Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar Pengguna Jasa tidak memindahkan Harta Kekayaannya sehingga mempersulit penegak hukum untuk melakukan pelacakan terhadap Pengguna jasa dan Harta Kekayaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ”anti-tipping off” berlaku pula bagi pejabat atau pegawai PPATK serta pejabat atau pegawai Lembaga Pengawas dan Pengatur untuk mencegah Pengguna Jasa yang diduga sebagai pelaku kejahatan melarikan diri dan Harta Kekayaan yang bersangkutan dialihkan sehingga mempersulit proses penyidikan tindak pidana. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 . . .
-8-
Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam pengertian “penyedia jasa keuangan” adalah Setiap Orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan baik secara formal maupun nonformal. Huruf b Yang dimaksud dengan “penyedia barang dan/atau jasa lain” meliputi baik berizin maupun tidak berizin. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa” adalah Customer Due Dilligence (CDD) dan Enhanced Due Dilligence (EDD) sebagaimana dimaksud dalam Rekomendasi 5 Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan “identifikasi Pengguna Jasa” termasuk pemutakhiran data Pengguna Jasa. Huruf b Cukup jelas.
Huruf c . . .
-9-
Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan” antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur seperti Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pasal 22 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” termasuk hubungan rekening koran. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Pada dasarnya, Transaksi Keuangan Mencurigakan diawali dari Transaksi antara lain: 1)
tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas;
2)
menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran; atau
3)
aktivitas Transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran.
Apabila . . .
- 10 -
Apabila Transaksi-Transaksi yang tidak lazim tersebut memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5, Transaksi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan yang wajib dilaporkan. Sedangkan terhadap Transaksi atau aktivitas di luar kebiasaan dan kewajaran sebagaimana tersebut di atas, penyedia jasa keuangan diminta memberikan perhatian khusus atas semua Transaksi yang kompleks, tidak biasa dalam jumlah besar, dan semua pola Transaksi tidak biasa, yang tidak memiliki alasan ekonomis yang jelas dan tidak ada tujuan yang sah. Latar belakang dan tujuan Transaksi tersebut harus, sejauh mungkin diperiksa, temuan-temuan yang didapat dibuat tertulis, dan tersedia untuk membantu pihak berwenang dan auditor. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan Transaksi dengan pemerintah adalah Transaksi yang menggunakan rekening pemerintah, dan dilakukan untuk dan atas nama pemerintah yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian atau badan-badan pemerintah lainnya, namun tidak termasuk badan usaha milik negara/daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “Transaksi lain” adalah TransaksiTransaksi yang dikecualikan sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket.
Selain . . .
- 11 -
Selain berdasarkan jenis transaksi, Kepala PPATK dapat menetapkan transaksi lain yang dikecualikan berdasarkan besarnya jumlah transaksi, bentuk atau wilayah kerja Pihak Pelapor tertentu. Pemberlakukan pengecualian tersebut dapat dilakukan baik untuk waktu yang tidak terbatas (permanen) maupun untuk waktu tertentu. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar data atau informasi mengenai Transaksi yang dikecualikan tersebut dapat diteliti atau diperiksa oleh PPATK untuk keperluan analisis. Rincian daftar Transaksi yang wajib dibuat dan disimpan pada dasarnya sama dengan Transaksi tunai yang seharusnya dilaporkan kepada PPATK. Daftar dapat dibuat dalam bentuk elektronik sepanjang dapat dijamin bahwa data atau informasi tersebut tidak mudah hilang atau rusak. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar penyedia jasa keuangan dapat sesegera mungkin melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku Pencucian Uang dapat segera dilacak. Unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 12 -
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Hal ini berarti paling lama pada hari kerja kelima penundaan transaksi dilakukan, penyedia jasa keuangan harus memutuskan akan melaksanakan Transaksi atau menolak Transaksi tersebut. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Yang dimaksud dengan “dituntut secara perdata” antara lain adalah tuntutan ganti rugi. Yang dimaksud dengan “dituntut secara pidana” antara lain tuntutan pencemaran nama baik. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Dengan demikian, terhadap Pihak Pelapor yang telah memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur ada 2 (dua) pintu Pengawasan Kepatuhan, yaitu oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) . . .
- 13 -
Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Cek, cek perjalanan (travellers cheque), surat sanggup bayar, atau bilyet giro yang dikenal sebagai Bearer Negotiable Instruments. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “melakukan segala bentuk campur tangan” adalah perbuatan atau tindakan dari pihak mana pun yang mengakibatkan berkurangnya kebebasan PPATK untuk dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya. Ayat (4) Cukup jelas. . Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 . . .
- 14 -
Pasal 40 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pengawasan kepatuhan dilakukan oleh PPATK terhadap Pihak Pelapor yang belum memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur, atau terhadap Pihak Pelapor yang pengawasannya telah diserahkan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur kepada PPATK. Huruf d Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” antara lain Direktorat Jenderal Pajak dan Pusat Pembina Akuntan dan Jasa Penilai Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pertanahan Nasional (BPN). Yang dimaksud dengan “lembaga swasta” antara lain asosiasi advokat, asosiasi notaris, dan asosiasi akuntan. Yang dimaksud “profesi tertentu” antara lain advokat, konsultan bidang keuangan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan akuntan independen. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g . . .
- 15 -
Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta tidak memerlukan izin siapa pun. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 42 Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan sistem informasi” antara lain: a.
membangun, mengembangkan, dan memelihara sistem aplikasi;
b.
membangun, mengembangkan, dan memelihara infrastruktur jaringan komputer dan basis data;
c.
mengumpulkan, mengevaluasi data dan informasi yang diterima oleh PPATK secara manual dan elektronik;
d.
menyimpan, memelihara data dan informasi ke dalam basis data;
e.
menyajikan informasi untuk kebutuhan analisis;
f.
memfasilitasi pertukaran informasi dengan instansi terkait baik dalam negeri maupun luar negeri; dan
g.
melakukan sosialisasi penggunaan sistem aplikasi kepada Pihak Pelapor.
Pasal 43 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Audit khusus dapat dilakukan terhadap: 1.
penyedia jasa keuangan yang pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan bagi penyedia jasa keuangan tersebut dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK;
2.
penyedia jasa keuangan berdasarkan permintaan lembaga atau instansi yang berwenang meminta informasi kepada PPATK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d . . .
- 16 -
Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Permintaan informasi dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri dalam ketentuan ini dilakukan sepanjang tidak mengganggu kepentingan nasional dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang hubungan luar negeri dan perjanjian internasional. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana Pencucian Uang, dapat berupa melakukan audit khusus baik yang dilakukan sendiri oleh PPATK maupun dilakukan bersama-sama dengan Lembaga Pengawas dan Pengatur. Huruf h Cukup jelas.
Huruf i . . .
- 17 -
Huruf i Permintaan PPATK kepada penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana, dilakukan untuk pemeriksaan. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 45 Yang dimaksud dengan “kerahasiaan” antara lain rahasia bank, rahasia non-bank, dan sebagainya. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan, DPR RI sewaktuwaktu berhak meminta laporan PPATK. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Huruf a Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 18 -
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pekerjaan lain” adalah pekerjaan yang berpotensi mempengaruhi pelaksanaan tugas dan menimbulkan konflik kepentingan. Huruf i Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas.
Pasal 59 . . .
- 19 -
Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan Hasil Pemeriksaan PPATK diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia dan tembusannya disampaikan kepada penyidik lain sesuai kewenangannya berdasarkan Undang-Undang ini. Ayat (3) Dalam ketentuan ini koordinasi juga dilakukan diantara penyidik tindak pidana asal yang memperoleh Hasil Pemeriksaan PPATK. Pasal 65 Ayat (1) Yang dimaksud dengan ”menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi” adalah tidak melaksanakan Transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas.
Pasal 69 . . .
- 20 -
Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Ayat (1) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tahap pemeriksaan, yakni pada tahap penyidikan kewenangan pada penyidik, pada tahap penuntutan kewenangan pada penuntut umum, dan kewenangan hakim pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Ayat (2) Surat permintaan pemblokiran yang dikirimkan kepada penyedia jasa keuangan tersebut harus ditandatangani oleh: a. koordinator penyidikan;
penyidik/ketua
tim
penyidik
untuk
tingkat
b. kepala kejaksaan negeri untuk tingkat penuntutan; c. hakim ketua majelis untuk tingkat pemeriksaan pengadilan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan” juga termasuk ketentuan mengenai kerahasiaan yang berlaku bagi Pihak Pelapor. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
- 21 -
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dalam hal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah, atau pimpinan instansi atau lembaga atau komisi, atau Jaksa Agung atau kepala kejaksaan tinggi berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka jika terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa. Ayat 2 . . .
- 22 -
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Disamping itu sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan Negara. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “harus dilakukan langsung oleh terdakwa” adalah terdakwa harus hadir dan menandatangani sendiri akta pernyataan banding di pengadilan negeri yang memutus perkara tersebut. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelapor” adalah setiap orang yang beritikad baik dan secara sukarela menyampaikan laporan terjadinya dugaan tindak pidana Pencucian Uang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 . . .
- 23 -
Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kerja sama formal” antara lain nota kesepahaman atau memorandum of understanding. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup Jelas. Pasal 91 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah undang-undang yang mengatur mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan undang-undang yang mengatur mengenai perjanjian internasional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Ketentuan ini dimaksudkan agar PPATK dan instansi terkait dapat menetapkan ketentuan sesuai dengan perkembangan konvensi internasional atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang, antara lain mengeluarkan ketentuan atau pedoman mengenai penerapan program antipencucian uang bagi penyedia jasa keuangan. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 . . .
- 24 -
Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5164